• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study Conservation of Kulim (Scorodocarpus borneensis Becc.) In Indigenous Forest of Aur Kuning Village, Riau Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study Conservation of Kulim (Scorodocarpus borneensis Becc.) In Indigenous Forest of Aur Kuning Village, Riau Province"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KONSERVASI KULIM

(

Scorodocarpus borneensis

Becc.) DI HUTAN ADAT

DESA AUR KUNING, PROVINSI RIAU

ELIA ERNAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENASI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Konservasi Kulim (Scorodocarpus borneensis Becc.) di Hutan Adat Desa Aur Kuning, Provinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, 2013

(4)

RINGKASAN

ELIA ERNAWATI. Kajian Konservasi Kulim (Scorodocarpus borneensis Becc.) di Hutan Adat Desa Aur Kuning, Provinsi Riau. Dibimbing oleh ERVIZAL A.M.ZUHUD dan AGUS PRIYONO KARTONO.

(5)

sudah termasuk jenis langka dan harusnya mendapat perhatian dalam hal kelestariannya. Adanya campur tangan pemerintah dan berbagai pihak terkait diharapkan dapat mendukung upaya konservasi kulim. Kegiatan konservasi yang dilakukan secara bersama antara pihak pemerintah dan masyarakat diharapkan mampu membangun sikap masyarakat sehingga akan muncul suatu tindakan konservasi. Hal ini penting guna menunjang kelestarian hutan.

(6)

SUMMARY

ELIA ERNAWATI. Study Conservation of Kulim (Scorodocarpus borneensis Becc.) In Indigenous Forest of Aur Kuning Village, Riau Province. Under supervised by ERVIZAL A.M. ZUHUD and AGUS PRIYONO KARTONO.

Kulim (Scorodocarpus borneensis) is one of whose existence is threatened in the natural forest. Kulim in Riau has now become one of the rare plant species. Utilization of plant and logging is one of the causes the scarcity of a particular type of population. Limited information about kulim cause conservation of kulim is not a priority. This study aims to estimate the population of kulim contained in natural forest of Aur Kuning village, alternative uses of kulim by the people and conservation efforts that can be done. Vegetation data retrieval is done using analysis of vegetation checkered line method that is then analyzed by descriptive quantitative. Data retrieval regarding the form of utilization and conservation efforts of kulim is done using in-depth interviews to the local community and then analyzed by descriptive. Based on the results of this research kulim allegedly contained in the forest of Aur Kuning village is 1333 ind / ha nursery, 101 ind / ha stakes, 9 ind / ha poles, and 24 ind / ha tree. These results indicate that kulim stands in natural forest is not normal because of the large number of seedling growth into tree is not matched . Based on the observation, there is a disturbance in the growth of kulim form of kulim logging and kulim timber growth that is relatively slow. This can lead to declines kulim population. Kulim utilization by the community that is as raw material for frame houses, bridges, and raw materials in the wooden shipbuilding industry. Kulim fruit used as raw material for traditional medicine. The existence of utilization kulim made by public are not controlled and well managed, this is feared could cause kulim population will decrease. Hence the need for kulim conservation efforts supported with cultibation efforts. Judging from the tri-stimulus AMAR (natural, benefits, willing) it is known that the attitude shown by the people only look at the use of kulim. Kulim slow growth and low interest of the community to make cultivation efforts causes no stimulus that could encourage people to conserve kulim. Therefore,it is needed for government to intervention in the conservation of kulim. Communities can act as a driver of conservation and the government can act as area and seed provider. This is because kulim included rare breed and should receive attention in terms of sustainability. The intervention of the government and other stakeholders are expected to support Kulim conservation efforts. Conservation activities carried out jointly between the government and the public should be able to build people's attitudes so that there will be a conservation action. It is important to support sustainability.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa menca ntumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

KAJIAN KONSERVASI KULIM

(

Scorodocarpus borneensis

Becc.) DI HUTAN ADAT

DESA AUR KUNING, PROVINSI RIAU

ELIA ERNAWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Kajian Konservasi Kulim (Scorodocarpus borneensi Becc.) di Hutan Adat Desa Aur Kuning, Provinsi Riau

Nama : Elia Ernawati

NIM : E351100101

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Ervizal A M Zuhud, MS Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Konservasi Biodiversitas Tropika

Prof Dr Ir Ervizal A M Zuhud, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan kehadlirat Allah SWT karena atas limpahan Berkah, Rahmat dan Hidayah-Nya maka tesis dengan judul “Kajian Konservasi Kulim (Scorodocarpus borneensis Becc.) di Hutan Adat Desa Aur Kuning, Provinsi Riau” dapat diselesaikan.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus dan tak terhingga penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah memberikan berbagai masukan dan bantuan yang tidak ternilai harganya, diantaranya:

1. Prof Dr Ir Ervizal A M Zuhud, MS dan Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi selaku komisi pembimbing atas kesabarannya dalam membimbing dan memberi arahan bagi penulis.

2. Dr Ir Agus Hikmat MScF selaku penguji luar pada ujian tesis, atas masukan yang diberikan demi perbaikan tulisan ini menjadi lebih baik.

3. Dr Ir Burhanuddin Masy’ud MS selaku ketua pada sidang tesis.

4. Keluarga besar H M Amin atas dukungan moril dan kasih sayang yang telah diberikan.

5. Masyarakat Desa Aur Kuning yang telah bersedia membantu dan memberikan dukungan teknis selama penelitian.

6. Bapak Sunaryo dari balai Diklat Kehutanan Provinsi Riau yang telah bersedia membantu dalam proses identifikasi jenis tumbuhan.

7. Dosen-dosen Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika atas ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang telah diberikan.

8. Sekretariat Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika atas bantuan dan dukungan administratif yang telah diberikan.

9. Teman-teman Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika dan Manajemen Ekoswisata dan Jasa Lingkungan atas diskusi-diskusi yang membangun dan kebersamaannya.

10.Jadda Muthiah, Irwani Gustina, Nugroho Ari Setiawan selaku sahabat atas bantuan yang diberikan selama penulis tinggal di Bogor.

Semoga karya ini dapat bermanfaat.

Bogor, 2013

(13)

DAFTAR ISI

Taksonomi dan Deskripsi Scorodocarpus borneensis Becc. 6

Sifat Kayu 8

3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 11

Kondisi Geografis Kecamatan Kampar Kiri Hulu 11

Kondisi Hutan 12

Potensi Tumbuhan di Desa Aur Kuning 13

Sosial Ekonomi Penduduk 14

Sarana dan Prasarana Desa 14

Agama, Sosial Budaya dan Sarana Informasi 16

4 METODE PENELITIAN 17

Populasi kulim di hutan Desa Aur Kuning 25

Dominansi tumbuhan 27

Pola sebaran kulim 29

Asosiasi kulim dengan jenis spesies lain 29 Pemanfaatan Kulim oleh Masyarakat Desa Aur Kuning 31

(14)

Pemanfaatan kayu kulim sebagai bahan baku jembatan

dan tiang rumah 33

Pemanfaatan kayu kulim sebagai bahan baku kapal 34 Pemanfaatan kayu kulim sebagai bahan baku kusen pintu 35 Faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian kulim 37

Rekomendasi Upaya Konservasi Kulim 39

6 SIMPULAN DAN SARAN 45

Simpulan 45

Saran 45

DAFTAR PUSTAKA 46

(15)

DAFTAR TABEL

1 Tabel kontingensi 22

2 Lima (5) indeks nilai penting spesies pada berbagai tingkat

pertumbuhan 28

3 Asosiasi kulim dengan sepuluh (10) jenis tumbuhan lain 30 4 Matriks upaya konservasi kulim dilihat dari karakteristiknya 40

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 5

2 Daun, Buah, dan Batang Kulim 7

3 Desa Aur Kuning 11

4 Lokasi Desa Aur Kuning di dalam kawasan hutan 12 5 Alat transportasi masyarakat Desa Aur kuning 15

6 Peta lokasi penelitian 17

7 Skema penempatan transek dan petak pengamatan pada analisis

vegetasi dengan metode garis berpetak 19

8 Diagram alir “Tri-stimulus AMAR pro-konservasi”: stimulus,

sikap dan perilaku aksi konservasi 24

9 Dugaan populasi kulim pada tiap tingkat pertumbuhan 25 10 Jumlah kayu kulim berdasarkan kelas diameter 26 11 Jembatan dari kayu kulim di Desa Aur Kuning 33 12 Kapal kayu dengan bahan baku kayu kulim 35 13 Kusen rumah yang terbuat dari kayu kulim 36

14 Semai kulim 38

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil Perhitungan INP Tingkat Semai 51

2 Hasil Perhitungan INP Tingkat Pancang 53

3 Hasil Perhitungan INP Tingkat Tiang 55

4 Hasil Perhitungan INP Tingkat Pohon 57

5 Asosiasi Scorodocarpus borneensis dengan jenis lain 59

6 Gambar Sket Desa Aur Kuning 61

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terdapat keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan berupa kayu dan nonkayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata, dan sebagainya. Beberapa masyarakat lokal yang hidup di sekitar areal hutan memanfaatkan hutan secara intensif demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Masyarakat lokal telah mengembangkan dan beradaptasi secara langsung terhadap lingkungannya untuk mempertahankan hidup berdasarkan pengetahuan lokal yang mereka miliki secara turun temurun. Kenyataan membuktikan bahwa pengetahuan lokal telah teruji secara turun temurun dan memberikan sumbangsihnya terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pengetahuan yang dimiliki masyarakat lokal mereka terapkan dalam melakukan pemanfaatan sumberdaya. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang dapat diterapkan bagi upaya konservasi alam yang berbasis masyarakat sebelum modernisasi masuk dan mengubah pola hidup masyarakat. Hal ini menjadi penting karena modernisasi dengan mudah telah menggeser sejumlah pengetahuan asli suku bangsa di luar pulau Jawa (Waluyo 1991).

Pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan secara tidak terkontrol dan tidak terkelola merupakan faktor utama yang menyebabkan laju kepunahan suatu jenis tumbuhan semakin cepat. Hal ini dapat mengancam kelestarian suatu spesies. Sastrapradja (1992) menyatakan bahwa penyusutan keanekaragaman hayati lebih banyak disebabkan oleh faktor manusia berupa eksploitasi hutan, sementara upaya reboisasi tidak seimbang dengan kegiatan eksploitasi. Menurut Rachmawati (1998) masalah penebangan liar merupakan gangguan terbesar bagi tegakan kayu dewasa maupun anakan sementara upaya budidayanya masih sangat kurang.

Salah satu jenis tumbuhan yang masih kurang mendapatkan perhatian dalam hal budidayanya adalah kulim. Jenis tumbuhan ini terdaftar dalam 200 jenis tumbuhan langka Indonesia (Mogea et al. 2001). Kulim merupakan jenis pohon yang potensial untuk dijadikan kusen pintu rumah dan kapal kayu terutama bagian dinding/palka, dan tiang kapal (Martawijaya et al. 1989). Kulim merupakan jenis kayu khas khususnya di daerah Riau. Kulim pada beberapa daerah di Riau dijadikan sebagai bahan baku industri masyarakat misalnya industri pembuatan kapal dan telah dikenal luas.

(18)

tentu akan mengakibatkan populasi kulim yang tersedia di alam semakin lama akan semakin menurun. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ismail (2000) di Bagan Siapi-api Riau, terjadi kenaikan permintaan bahan baku kulim rata-rata 15% lebih setiap tahunnya. Kenaikan permintaan bahan baku kulim ini jika tidak diimbangi dengan persediaan yang cukup dapat menyebabkan kulim punah di alam.

Status kulim saat ini menurut IUCN adalah not evaluated. Hal ini menjadikan kulim belum menjadi jenis prioritas untuk dilakukan konservasi. Spesies yang terancam punah seringkali dihadapkan kepada beberapa kendala yaitu belum adanya petunjuk teknis untuk memudahkan perencanaan, masih kurangnya informasi sebaran dan habitat jenis yang terancam punah, dan tata guna lahan yang belum mantap. Primack (1998) menyatakan bahwa suatu populasi yang stabil biasanya mempunyai distribusi umur yang khas dengan perbandingan antara individu muda, dewasa dan tua. Jika anggota suatu kelas umur terutama individu anakan tidak ditemukan atau terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit, gejala ini biasanya menunjukkan bahwa populasi akan menurun. Tidak sebandingnya jumlah permudaan yang ada dengan jumlah pohon yang ditebang akan menyebabkan struktur tegakan kayu terganggu dimana jumlah anakan akan lebih sedikit dibandingkan jumlah pohon dewasa. Sebaliknya, jika individu anakan terdapat dalam jumlah besar hal ini mungkin menunjukkan bahwa populasi berada dalam keadaan stabil dan bahkan mungkin akan mengalami peningkatan.

Salah satu daerah yang diketahui masih terdapat kulim adalah daerah hutan di Desa Aur Kuning. Desa ini merupakan desa tertinggal yang lokasinya terisolir, jauh dari wilayah perkotaan sehingga dalam kehidupannya masyarakat masih memanfaatkan sumberdaya alam dengan sistem tradisional. Hutan yang mengelilingi Desa Aur Kuning merupakan areal hutan yang termasuk dalam kawasan hutan lindung Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling namun sebagian dari kawasan hutan ini yang dekat dengan perkampungan masyarakat diakui sebagai tanah milik masyarakat dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Besarnya potensi hutan dan adanya nilai manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat menjadikan tingginya rasa memiliki masyarakat terhadap alam sehingga upaya konservasi sumberdaya diharapkan akan lebih efektif dilakukan. Nilai-nilai yang dirasakan langsung oleh masyarakat ini diharapkan mampu menjadi stimulus untuk melakukan upaya konservasi.

(19)

dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan kelestarian kulim tetap terjaga serta mendukung konservasi hutan di Desa Aur Kuning.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menduga struktur populasi, dominansi tumbuhan, pola sebaran, dan asosiasi kulim.

2. Mengidentifikasi bentuk pemanfaatan kulim oleh masyarakat. 3. Memberikan rekomendasi upaya konservasi kulim.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu : a) menjadi salah satu sumber informasi mengenai potensi tegakan kulim yang masih ada di daerah Riau khususnya di hutan adat Desa Aur Kuning, b) sebagai masukan bagi pemerintah dan pihak terkait untuk melakukan konservasi kulim, dan c) sebagai acuan dalam melakukan pemberdayaan masyarakat lokal yang mendukung konservasi kulim dan sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat.

Kerangka Pemikiran

Hutan memiliki potensi yang sangat besar bagi kehidupan manusia khususnya bagi masyarakat lokal. Hutan masyarakat diketahui memiliki kekayaan alam yang belum dikelola dengan baik. Salah satunya adalah kulim. Jenis ini dahulunya merupakan jenis kayu primadona di Riau karena memiliki kelas awet yang baik sehingga cocok dijadikan sebagai bahan baku pembuatan kapal maupun bangunan, namun keterbatasan bahan baku menyebabkan beberapa usaha ini terhenti. Pemanfaatan kulim yang terus berlangsung menjadikan kayu kulim semakin langka sementara upaya budidayanya belum dilakukan. Hal ini harusnya mampu menjadi perhatian masyarakat maupun pemerintah karena status tumbuhan ini yang langka dan data mengenai populasi kulim belum banyak diketahui.

(20)

sebagai pengganti aroma bawang putih (biji dan kulit kayunya), sebagai sayuran (daun), obat tradisional (akar dan daun) dan pelengkapan upacara ritual (kulit kayu dan buah) (Siagian et al. 2000).

Terbatasnya wilayah penyebaran kulim dan semakin berkurangnya areal hutan di Indonesia mengakibatkan populasi kulim semakin terancam. Lambatnya pertumbuhan kayu kulim dan adanya penebangan kulim dapat menyebabkan reproduksi kulim berjalan sangat lambat. Hal ini memungkinkan terjadinya penurunan populasi kulim, sementara upaya budidayanya belum dilakukan. Sosef et al. (1998) menyebutkan bahwa secara alami pertumbuhan kulim relatif`lambat, hal ini dilihat dari riap rata-rata diameter tahunan (avarage annual diameter increament) kulim pada hutan alam di Semenanjung Malaysia yaitu antara 0,2 – 0,3 cm. Hal ini membuktikan bahwa secara ekologi pertumbuhan kulim yang lambat akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menambah jumlah populasi, disamping itu juga tumbuhan akan bersaing dengan jenis-jenis vegetasi lain sehingga akan terjadi seleksi alam. Hal ini dapat menyebabkan keberadaan kulim di alam semakin terancam karena pemanfaatan yang terus berlangsung. Oleh karena itu dibutuhkan suatu mekanisme pengelolaan yang baik dan upaya budidaya kulim sehingga kelestarian kulim tetap terjaga dan pemanfaatannya masih dapat terus berlangsung.

Belum adanya upaya budidaya kulim mengakibatkan kayu kulim di alam menjadi tempat persediaan kayu kulim. Salah satu kawasan yang diketahui masih terdapat kayu kulim adalah kawasan hutan adat Desa Aur Kuning. Kayu kulim di daerah ini umumnya tumbuh liar di kawasan hutan dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan baku pembuatan kusen rumah, jembatan, dan sebagai bahan obat tradisional. Pemanfaatan yang terus berlangsung bukan tidak mungkin akan menyebabkan populasi kulim di hutan ini akan terus berkurang dan hingga saat ini belum diketahui berapa besar potensi kulim yang terdapat di lokasi ini.

(21)

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian.

Konservasi kulim terancam Penebangan kayu

kulim

Belum ada budidaya Pemanfaatan sbg

bahan baku industri

Ketersediaan kayu kulim di alam

Pertumbuhan kulim lambat

Mengetahui kondisi populasi dan pemanfaatan kulim

Masyarakat

Membantu penyebaran dan budidaya kulim

Pemerintah Program dan aturan mengenai konservasi kulim

Konservasi kulim terwujud Sikap dan aksi konservasi

(22)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi dan Deskripsi Scorodocarpus borneensis Becc.

Taksonomi dari Scorodocarpus borneensis Becc. menurut Lawrence (1951) yaitu termasuk Kingdom Tumbuhan, Divisio Spermatophyta, Sub divisio Angiospermae, Kelas Dicotyledoneae, Ordo Santalales, Famili Olacaceae, Genus Scorodocarpus, Spesies Scorodocarpus borneensis Becc.

Famili Olacaceae umumnya berupa pohon atau semak, jarang, dan bisa dipanjat. Daun tunggal, biasanya selang seling, seluruhnya exstipulate. Bunga berukuran kecil berwarna hijau/putih, biasanya biseksual, dalam racemes atau cymes. Mahkota terdiri dari 4 – 6, terpisah atau connate, valvate. Benang sari sama atau dua kali lebih banyak dari daun mahkota (membelakangi petal ketika jumlahnya banyak). Memiliki ruang sari 4 – 6 ruang dan kadang-kadang satu ruang, satu ovule dalam setiap ruang dalam axile placenta, jenisnya satu. Buah berbiji atau seperti kacang-kacangan dengan satu biji/benih (Keng 1969).

Nama daerah S.borneensis Becc. antara lain kayu bawang, kulim, rengon, ansam, bawang utan, merca, madudu, sedau, selaru, terdu (Martawijaya et al. 1989). Heyne (1987) menyebutkan nama daerah kulim yaitu hulim, kulim, kayu bawang utan. Menurut Giorn (1877) nama umum S.borneensis antara lain di Brunai disebut bawang hutan; di Sumatera dan Kalimantan disebut kayu bawang; di Kalimantan disebut kayu bawang utan, selaru; di Sabah dan Serawak disebut bawang hutan, sagan berauh, ungsunah; di Thailand (Semenanjung Thailand) disebut krathiam ton, kuleng, kulim.

Umumnya tinggi pohon kulim ± 20 meter dengan diameter 50-60 cm namun tingginya dapat mencapai 36 meter dengan diameter lebih dari 80 cm. Batang pada umumnya tegak, bulat torak, di bagian kaki batang sedikit berjalur atau bersiku, mahkota daun tinggi, tinggi bebas cabang batang pada umumnya ± 15 meter dan kadang-kadang lebih dari 20 meter (Heyne 1987). Kayu teras kulim berwarna merah tua atau coklat-kelabu semu-semu lembayung. Kayu gubal berwarna kekuning-kuningan atau kemerah-merahan, agak jelas dapat dibedakan dengan kayu teras, lebarnya 3-5 cm. Tekstur kayu halus dan merata dengan arah serat lurus atau berpadu. Permukaan kayu licin dan agak mengkilap. Kayu yang masih basah berbau bawang sedangkan kayu yang sudah kering dan baru dikerjakan berbau lada yang lama kelamaan hilang (Martawijaya et al. 1989).

(23)

menggunakan broccoli cysteine sulphoxide lyase (C-S lyase) yang kemudian akan menghasilkan senyawa piruvat dan sulfur yang mudah menguap dan beraroma bawang putih (Gmelin et al. 1976 dalam Jones et al. 2004).

Pohon kulim biasanya berbunga pada bulan Januari - Juli dan berbuah hampir sepanjang tahun, di Semenanjung Malaysia dan di Borneo biasanya berbuah antara Juni - September. Buah kulim berbentuk bulat, besar dan berdaging, berbiji satu dengan ukuran diameter ± 5 cm diliputi oleh lapisan daging tipis yang berwarna hijau yang segera menjadi busuk. Bila buah jatuh di atas tanah akan terlihat bagian buah yang keras dan keriput/berurat. Sebelum disimpan biji harus dijemur selama 10 hari. Biji mempunyai daya kecambah kira-kira 80% dengan persen tumbuh sekitar 80% (Martawijaya et al. 1989). Heyne (1987) mengatakan bahwa S.borneensis mudah dikenali karena memberikan bau yang khas seperti bawang putih dari kulit dan buahnya.

(24)

Sifat kayu

Kayu kulim termasuk ke dalam kelas awet I – II dan kelas kuat I dengan berat jenis rata-rata 0,94 (0,73-1,08). Kayunya keras dengan nilai penyusutan dari keadaan basah sampai kering tanur sebesar 4,8% (radial) dan 5,7% (tangensial). Kayu kulim termasuk mudah dikerjakan dan tidak cepat menumpulkan gigi gergaji. Hasil serutan bervariasi tergantung kepada tingkat perpaduan serat, kayu yang mempunyai arah serat lurus dapat diserut sampai licin. Kayu kulim dapat dibor dengan halus. Kayunya agak mudah dikeringkan tetapi cenderung untuk pecah dalam arah radial. Kayu teras agak sulit diawetkan tetapi kayu gubal lebih mudah dimasuki bahan pengawet (Martawijaya 1977). Kulim menghasilkan kayu teras berbobot menengah sampai berat dengan kerapatan 645-1080 kg/m3 pada kadar air 15%, kayunya agak keras sampai keras dan bersifat agak tahan lama sampai tahan lama dan rata-rata pemakaiannya 4 tahun (Sosef et al. 1998).

Kayu teras kulim berwarna merah tua atau coklat kelabu, semu-semu lembayung, kayu gubal berwarna kekuning-kuningan atau kemerah-merahan, agak jelas dapat dibedakan dengan kayu teras. Tekstur kayu halus dan merata dengan arah serat lurus atau berpadu dan permukaan kayu licin (Martawijaya 1989). Kayu kulim mudah dikenali karena memberikan bau yang khas seperti bawang putih dari kulit dan buahnya. Pohon ini mempunyai kekhasan yaitu kulit yang lepas dari irisannya berwarna ungu, tebal, dari luar berwarna merah kecoklat-coklatan dan dapat lepas menjadi bagian yang kecil berbentuk lempeng segi empat (Heyne 1987).

Bahan pembentuk kayu kulim terdiri dari Selulosa (48.4%), Lignin (33.1%), Pentosan (16.4%), Abu (0.8%), dan Silika (0.1%). Kelarutan Alkohol-Benzena (1.5%), air dingin (1.8%), air panas (2.5%), dan NaOH 1% (11.5%) (Martawijaya 1989).

Permudaan

(25)

Habitat dan Penyebaran

Heyne (1987) menyatakan bahwa kulim tumbuh di hutan tropis primer dan tersebar di bagian barat nusantara, tumbuh di dataran rendah dan bukit sampai ketinggian 300 mdpl, terutama pada daerah kering atau berpasir, tidak pernah hidup di rawa-rawa, tidak membentuk hutan murni, tetapi di hutan rimba tumbuh secara berkelompok. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rachmawati (1998) dan Ismail (2000) di daerah Riau, jenis tanah yang ditumbuhi kulim yaitu jenis tanah padzolik merah kuning yang terbagi dalam tiga struktur tanah yaitu lempung, lempung berpasir, dan lempung liat. Daerah penyebaran kulim meliputi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Palembang, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.

Kegunaan

Kayu kulim digunakan sebagai tiang jembatan, umpak dalam tanah, balok tiang, dan papan pada bangunan perumahan, serta bagian untuk lunas perahu. Kayu kulim kurang baik digunakan sebagai bantalan rel karena jika terkena pengaruh matahari kayu akan sobek tetapi sifat ini dapat dihindari dengan membiarkannya terlebih dahulu sebelum dipakai (Heyne 1987). Menurut Martawijaya et al. (1989), kayu kulim banyak digunakan untuk tiang jembatan, bantalan rel, tiang listrik dan telepon, lunas perahu, dan bagian perumahan balok, tiang, papan, dan lantai. Kayu kulim juga digunakan sebagai tiang rumah pada masyarakat suku Sakai (Medi 1998).

Buah kulim dapat digunakan sebagai pengganti bawang putih pada masakan karena dapat memberikan aroma (bau) khas seperti bawang putih. Buah dan daun kulim digunakan sebagai bahan rempah-rempah pada masyarakat suku Sakai (Medi 1998). Bijinya setelah dipanggang dapat digunakan sebagai obat cacing (Heyne 1987). Daun mudanya dimakan sebagai sayuran di Sarawak. Ekstrak buahnya memperlihatkan aktivitas anti mikroba (Sosef et al. 1998). Buah dan kulit kayunya digunakan untuk penangkal racun antiaris (Antiaris toxicaria Leech). Burkil (1935) menyatakan buah kulim dapat dijadikan sebagai obat penangkal racun berbisa dan tempurung pada buah kulim dapat dijadikan sebagai kotak tembakau pada masyarakat tradisional.

(26)

nyamuk, diketahui bahwa kandungan senyawa aktif ekstrak kulit batang kayu kulim terdiri dari saponin, steroid dan flavonoid.

Potensi

Berdasarkan penelitian Ismail (2000) diketahui terdapat 83 pohon, 29 tiang, 16 pancang dan 34 semai yang dapat ditemui di HPH PT. Rokan Permai Timber. Berdasarkan hasil ini dapat diperkirakan populasi kulim di Riau mulai dari diameter 20 cm ke atas yang ada di alam tinggal 195816 pohon. Untuk kelompok hutan Gelawan Kabupaten Kampar, potensi kayu kulim yang berdiameter 20 cm ke atas diperkirakan 189045 pohon (Heriyanto et al. 2001). Di Taman Nasional Tesso Nilo diketahui terdapat 9 pohon, 11 tiang, 10 pancang, dan 9 semai yang masih dapat dijumpai di hutan ini (Handayani 2010). Berdasarkan perkiraan jumlah populasi kulim ini dan masih berlangsungnya pemanfaatan kulim oleh masyarakat Riau dapat dipastikan bahwa populasi kulim akan semakin menurun.

Kriteria Kelangkaan

Saat ini banyak jenis tumbuhan yang belum menjadi prioritas pengelolaan padahal keberadaan beberapa jenis tumbuhan di alam sudah mencapai kondisi populasi yang mengkhawatirkan. Menentukan kriteria kelangkaan suatu jenis tumbuhan dapat mengacu pada kategori yang ditetapkan oleh suatu instansi terkait. Kategori Status konservasi IUCN Red List merupakan kategori yang digunakan oleh IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) dalam melakukan klasifikasi terhadap spesies-spesies berbagai makhluk hidup yang terancam kepunahan. Berdasarkan kriteria IUCN tahun 2008 spesies diklasifikasikan ke dalam kelompok yang diatur berdasarkan kriteria-kriteria seperti jumlah populasi, penyebaran geografi dan risiko dari kepunahan (IUCN 2011).

(27)

3

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografis Kecamatan Kampar Kiri Hulu

Wilayah Kecamatan Kampar Kiri Hulu terletak di sebelah selatan Kabupaten Kampar dengan batas wilayah :

Sebelah barat : Kabupaten 50 Kota Propinsi Sumatera Barat.

Sebelah utara : Kecamatan XIII Koto Kampar, Kecamatan Bangkinang Kecamatan Kampar, Kota Pekanbaru.

Sebelah selatan : Kabupaten Kuantan Singingi.

Sebelah timur : Kabupaten Pelalawan dan Kota Pekanbaru.

Desa Aur Kuning merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Status pemerintahan dari lokasi ini yaitu berupa desa, dengan nama Desa Aur Kuning. Desa ini dipimpin oleh seorang kepala desa dimana keberadaan dan lokasi kantor kepala desa terdapat di dalam wilayah desa, serta terdapat juga badan perwakilan desa dan perangkat adat berupa ninik mamak. Pencapaian menuju Desa Aur Kuning ini ditempuh dengan melewati beberapa daerah. Jarak tempuh dari Kota Pekanbaru ke Kecamatan Lipat Kain sekitar 75 km, kemudian diteruskan ke Kecamatan Gema dengan jarak tempuh 28 km. Untuk mencapai Desa Aur Kuning, perjalanan ditempuh sekitar 30 km. Lokasi ini harus ditempuh dengan jalur darat dan air. Jalur darat dapat ditempuh dengan menggunakan mobil dari Kota Pekanbaru ke Kecamatan Gema dan jalur air ditempuh dengan menggunakan perahu bermesin dari Kecamatan Gema hingga Desa Aur Kuning (Gambar 3).

(28)

Kondisi Hutan

Desa Aur Kuning berada di sekitar/tepi kawasan hutan yang merupakan kawasan hutan dengan kemiringan lahan tergolong sedang yaitu antara 15%-25%. Desa Aur Kuning merupakan salah satu desa yang terdapat dalam kawasan hutan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling (Gambar 4). Status kawasan ini sebagai suaka margasatwa belum mampu memberikan manfaat bagi masyarakat sebaliknya masyarakat dianggap sebagai perusak alam. Masyarakat adat Desa Aur Kuning telah hidup di dalam kawasan dan hidup selaras dengan alam jauh sebelum ditetapkannya status kawasan ini. Kebijakan Pemerintah yang menetapkan Bukit Rimbang Bukit Baling sebagai Suaka Margasatwa didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 173/Kpts-II/l986 Tanggal 6 Juni 1986 yang kini luasnya 84011 ha. Terdapat lebih kurang 16 Desa yang hidup dan bergantung terhadap potensi hutan ini, salah satunya adalah Desa Aur Kuning.

Kawasan hutan yang berada di sekitar desa dianggap masyarakat sebagai hutan adat masyarakat yang boleh dimanfaatkan oleh masyarakal lokal. Keberadaan hutan adat ini diakui juga dalam UU No. 41 thn 1999 dimana hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Pemanfaatan hutan ini boleh dilakukan oleh masyarakat sepanjang pemanfaatan tersebut tidak mengganggu fungsi hutan dalam hal ini sebagai suaka margasatwa.

(29)

Sebagian besar desa yang terdapat di wilayah Kabupaten Kampar Hulu merupakan daerah perbukitan/lereng yang berada di kaki Bukit Barisan dengan ketinggian 0 – 500 m dpl. Struktur tanah adalah arganosol, gleihumus alluvial, hidromorfik kelabu, padzolik merah kuning, litosol dan regosol. Jenis tanah argosol ini merupakan jenis tanah yang semakin jauh dari pinggir sungai semakin tebal bahan gambutnya.

Terdapat delapan sungai besar di wilayah Kabupaten Kampar Hulu yaitu : 1. Sungai Kampar Kanan yang melintasi wilayah Kecaman Siak Hulu dan

Kecamatan Perhentian Raja.

2. Sungai Kampar Kiri yang melintasi wilayah Kecamatan Kampar Kiri, Kampar Kiri Tengah, Kecamatan Gunung Sahilan, dan Kecamatan Kampar Kiri Hilir.

3. Sungai Subayang yang melintasi Kecamatan Kampar Kiri Hulu. 4. Sungai Lipai yang melintasi wilayah Kecamatan Gunung Sahilan. 5. Sungai Setingkai yang melintasi wilayah Kecamatan Kampar Kiri.

6. Sungai Paku yang melintasi sebagian desa-desa di Kecamatan Kampar Kiri.

7. Batang Bio yang melintasi Kecamatan Kampar Kiri Hulu. 8. Batang Lipai yang melintasi Kecamatan Kampar Kiri Hulu.

Potensi Tumbuhan di hutan Desa Aur Kuning

(30)

mraginatus), terap (Artocarpus odoratissimus), dan pandan (Pandanus sp.). Selain itu, terdapat juga tumbuhan tumbuhan penghasil pakan ternak, tumbuhan hias, dan tumbuhan aromatik. Terdapat 98 jenis yang digunakan sebagai tumbuhan obat oleh masyarakat. Salah satu jenis tumbuhan yang digunakan sebagai obat di desa ini adalah kulim. Bagian yang digunakan yaitu buahnya sebagai obat sakit perut dan untuk mengobati bengkak.

Sosial Ekonomi Penduduk

Desa Aur Kuning dihuni oleh 169 keluarga dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 345 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 331 jiwa. Pemukiman masyarakat berada di pinggir sungai dengan dua lokasi yaitu di sisi kiri dan kanan aliran sungai dan dihubungkan oleh jembatan (Lampiran 6). Sumber penghasilan utama sebagian masyarakat disini berasal dari sektor perkebunan dengan jenis komoditi getah karet. Selain itu terdapat juga masyarakat yang bekerja di sektor perdagangan. Kehidupan masyarakat di desa ini masih bersifat kekeluargaan dengan memegang adat istiadat yang berlaku di daerah ini dengan pemangku adat sebagai pemegang tertinggi kekuasaan. Desa ini telah memiliki kepala desa untuk bidang pemerintahan yang mengatur hubungan antara satu desa dengan desa lainnya hingga ketingkat kabupaten dan kota.

Sarana dan Prasarana Desa

(31)

Gambar 5 Alat transportasi masyarakat Desa Aur kuning.

Sumber penerangan bagi desa ini berasal dari non-PLN yaitu berupa mesin diesel yang dimiliki secara pribadi oleh tiap-tiap keluarga. Tidak semua keluarga memiliki alat penerangan hanya sekitar 110 keluarga yang telah menikmati penerangan, sebagian masyarakat masih mengandalkan penerangan dari lampu teplok. Kurangnya fasilitas penerangan menyebabkan jalan-jalan utama desa belum mendapatkan penerangan yang memadai sehingga ketika malam hari desa ini masih terasa gelap dan aktifitas hanya berlangsung hingga semua listrik padam. Jenis bahan bakar yang digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan memasak masih bersifat sangat sederhana yaitu berupa kayu bakar namun sudah terdapat beberapa masyarakat yang menggunakan kompor gas.

Fasilitas pendidikan di desa ini sudah cukup memadai yaitu terdapat satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) dan satu Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN). Sekolah Menengah Atas (SMA) hanya terdapat di daerah kota yang harus ditempuh dengan jalur air sekitar 30 km sedangkan untuk melanjutkan sekolah ke tingkat universitas harus ke Kota Pekanbaru. Akses menuju kota Pekanbaru sangat sulit yaitu harus ditempuh dengan jalur air dan jalur darat. Sulitnya akses dan rendahnya pendapatan masyarakat di desa ini mengakibatkan mutu pendidikan masyarakat masih rendah.

(32)

Agama, Sosial Budaya dan Sarana Informasi

Mayoritas masyarakat adat Desa Aur Kuning adalah suku Melayu Riau. Penduduk desa ini beragama Islam sehingga unsur-unsur kebudayaan Islam hampir berpengaruh disemua segi kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam bentuk tulisan lama yang disebut tulisan Arab Melayu, upacara ritual, dan bentuk keseniannya yaitu pencak silat. Pengaruh ajaran Islam juga terlihat dari ketaatan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban agama seperti sholat lima waktu, puasa Ramadhan, dan dalam setiap perayaan hari besar agama Islam. Dominannya pengaruh ajaran Islam ini tercermin dalam pepatah adat Melayu yang berbunyi “Tungku tiga sejerangan, tali tiga sepilin” yang maksudnya “Adat

bersendi syarak, syarak bersendikan kitabullah”. Tiga hal yang tidak dapat dipisahkan adalah adat istiadat, agama, dan pemerintah.

(33)

4

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Gambar 6 Peta Lokasi Penelitian.

Alat Penelitian

(34)

Data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu :

1. Populasi kulim meliputi jumlah populasi, struktur tegakan, dominansi tumbuhan, pola sebaran dan asosiasi kulim

2. Pemanfaatan kulim oleh masyarakat meliputi bentuk pemanfaatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian kulim

3. Nilai-nilai dan upaya yang dilakukan masyarakat untuk melakukan konservasi kulim.

Metode Pengumpulan Data

Analisis vegetasi

Potensi sumberdaya tumbuhan yang menjadi tujuan utama penelitian adalah kulim namun dilakukan juga inventarisasi tumbuhan yang berada disekitar tegakan kulim. Metode yang digunakan dalam melakukan analisis vegetasi adalah metode garis berpetak. Banyaknya petak pengamatan yang dibuat adalah 150 petak dengan tiga jalur transek dengan masing-masing transek dibuat sebanyak 50 petak pengamatan. Peletakan petak pertama ditentukan dari hasil survey awal yang dilakukan. Kegiatan yang dilakukan dalam analisis vegetasi adalah :

a) Menentukan lokasi peletakan petak pengamatan pertama, kemudian membuat garis/transek mengikuti garis kontur hutan. Peletakan petak pengamatan berikutnya dilakukan secara sistematik mengikuti garis/transek.

b) Selanjutnya petak pengamatan tersebut dibagi menjadi sub petak pengamatan berdasarkan tingkat pertumbuhan yaitu 20m x 20m untuk pohon, 10m x 10m untuk tiang, 5m x 5m untuk pancang, dan 2m x 2m untuk semai.

c) Menghitung jumlah pohon, tiang, pancang dan semai pada setiap petak ukur.

Parameter yang diukur pada setiap petak contoh meliputi :

a. Spesies dan jumlah tingkat semai (anakan pohon mulai dari tingkat kecambah sampai yang memiliki tinggi < 1,5 m)

b. Spesies dan jumlah tingkat pancang (anakan pohon dengan tinggi > 1,5 m atau pohon muda dengan diameter setinggi dada < 10 cm)

c. Spesies, jumlah, tinggi total, tinggi bebas cabang dan diameter tingkat tiang (pohon-pohon dengan diameter setinggi dada 10 cm – 19 cm)

(35)

Gambar 7 Skema penempatan transek dan petak pengamatan pada analisis vegetasi dengan metode garis berpetak.

Keterangan :

A = Petak pengamatan untuk vegetasi tingkat semai (2 m x 2 m) B = Petak pengamatan untuk vegetasi tingkat pancang (5 m x 5 m) C = Petak pengamatan untuk vegetasi tingkat tiang (10 m x 10 m) D = Petak pengamatan untuk vegetasi tingkat pohon (20 m x 20 m)

Untuk melihat asosiasi kulim dengan spesies lainnya dilakukan dengan membuat petak pengamatan di lokasi yang terdapat kayu kulim yang akan dijadikan titik pusat, kemudian disekitarnya akan diletakkan petak pengamatan berikutnya. Ukuran masing-masing petak pengamatan yaitu 20 m x 20 m yang kemudian akan dilakukan analisis vegetasi. Pembuatan petak pengamatan ini dilakukan pada empat lokasi titik kulim. Asosiasi ini dibutuhkan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kulim dengan spesies lain yang berada di sekitar kulim sehingga akan bermanfaat untuk melakukan pengelolaan terhadap habitat kulim dan mengetahui karakteristik tempat tumbuh kulim jika dilihat kaitannya dengan spesies lain disekitarnya.

(36)

identitas herbarium. Setelah material herbarium diberi label dan dirapikan kemudian dimasukkan kedalam kertas koran. Satu lipatan koran hanya digunakan untuk satu spesimen (contoh). Kemudian lipatan kertas koran yang berisi material herbarium ditumpuk dan dimasukkan kedalam kantong plastik. Lalu disiram dengan alkohol 70% hingga semua bagian tersiram secara merata. Kemudian kantong plastik ditutup rapat dan direkatkan agar alkohol tidak menguap dan tidak menimbulkan jamur.

Bentuk pemanfaatan kulim oleh masyarakat

Data mengenai pemanfaatan kulim oleh masyarakat diperoleh dengan melakukan wawancara dengan panduan pertanyaan terhadap masyarakat adat Desa Aur Kuning serta dari literatur atau sumber pustaka yang menunjang. Responden yang diwawancarai ditentukan dengan metode snowball sampling yaitu responden berikutnya didasarkan atas informasi dari responden sebelumnya. Responden kunci (key person) yang menjadi sumber informasi terdiri dari para pencari kayu kulim, ahli pengobatan (dukun), dan pelaku industri. Banyaknya responden yang diwawancarai adalah 30 orang. Parameter yang digunakan dalam wawancara adalah bagian yang dimanfaatkan dan kegunaan bagi masyarakat.

Upaya pelestarian kulim

(37)

Pengolahan Data

Kondisi Populasi

Dominansi suatu diperlukan untuk mengetahui tingkat dominansi jenis tumbuhan di dalam komunitasnya. Dominansi suatu jenis akan ditunjukkan oleh besaran Indeks Nilai Penting (INP). Indek nilai penting untuk vegetasi tingkat pancang, tiang, dan pohon merupakan penjumlahan dari nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR) dan dominansi relatif (DR) atau INP = KR+FR+DR. Indeks nilai penting untuk tingkat semai dapat dihitung dengan INP = KR+FR. Persamaan-persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai-nilai tersebut sebagai berikut (Soerianegara & Indrawan 2008).

Kerapatan (K) =

Kerapatan relatif (KR) = 100%

Frekuensi (F) = ∑

Frekuensi relatif (FR) = 100%

Dominansi (D) =

Dominansi relatif (DR) = 100%

(38)

id

=

(�i−�

2)

(� )2−�i

Nilai indeks morisita yang diperoleh diinterpretasikan sebagai berikut: id < 1, pemencaran individu cenderung acak

id = 1, pemencaran individu bersifat merata

id > 1, pemencaran individu cenderung berkelompok.

Data yang diperoleh dari analisis vegetasi merupakan data populasi kayu kulim mulai dari tingkat anakan, pancang, tiang, dan pohon. Dari data populasi dapat dilihat struktur tegakan kayu kulim dan berapa jumlah populasi kulim yang ada serta jenis yang mendominasi pada areal tersebut. Untuk mengetahui bahwa dua jenis berasosiasi maka digunakan metode tabel kontingensi 2x2, kemudian diuji dengan chi-square (x2).

a = jumlah sampling dengan kedua jenis hadir. b = jenis A hadir dan B tidak hadir.

c = jenis A tidak hadir dan B hadir. d = jenis A dan B tidak hadir. n = jumlah sampling keseluruhan.

Bila nilai x2 hitung lebih besar dari x2 tabel (3,841) maka jenis tumbuhan tersebut dinyatakan berasosiasi dengan pasangan tumbuhan yang diuji, artinya kemungkinan untuk tumbuh hidup bersama-sama lebih besar daripada tidak dengan pasangan tumbuhan tersebut begitu juga sebaliknya. Sifat asosiasi ditentukan jika : (1) asosiasi positif, apabila nilai a > E (a) berarti pasangan jenis terjadi bersama lebih sering dari yang diharapkan (2) asosiasi negatif, apabila nilai a < E (a) berarti pasangan jenis terjadi bersama kurang sering dari yang diharapkan. Dimana E (a) = (a + b) (a + c) / n.

Tingkat asosiasi diuji dengan menggunakan indeks Jaccard yang mempunyai arti bahwa semakin mendekati angka 1 maka tingkat asosiasi mendekati maksimum atau asosiasi penuh, begitu juga sebaliknya semakin menjauhi angka 1 semakin kecil tingkat asosiasinya, bahkan berasosiasi negatif dan tidak berasosiasi. Rumus yang digunakan untuk melihat asosiasi kulim dengan spesies lainnya yaitu Indeks Jaccard (JI) (Ludwig & Reynold 1988). :

=

a

(39)

Keterangan :

a = banyaknya frekuensi spesies a dan spesies b yang ditemukan secara bersama-sama b = banyaknya frekuensi spesies a ditemukan, namun spesies b tidak ditemukan c = banyaknya frekuensi spesies b ditemukan, namun spesies a tidak ditemukan

Bentuk pemanfaatan kulim oleh masyarakat

Data yang diperoleh dari wawancara akan digunakan untuk mengetahui jenis pemanfaatan kulim, bagian yang dimanfaatkan, asal perolehan kayu kulim, jumlah pemanfaatan kayu kulim yang dilakukan. Data yang diperoleh tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif.

Upaya pelestarian kulim

Hal yang paling penting untuk dapat terwujudnya konservasi seperti apa yang diharapkan adalah adanya kerelaan berkorban untuk melakukan konservasi (Zuhud 2007). Tri-stimulus AMAR konservasi merupakan suatu alat untuk mengimplementasikan pengelolaan kawasan konservasi (Gambar 8). Nilai alamiah adalah nilai-nilai kebenaran di alam. Nilai manfaat berkaitan erat dengan pandangan praktis atau pragmatis, yang bahkan menjadi pegangan banyak orang terutama apabila dikaitkan dengan kenyataan dan tujuan yang ingin dicapai baik pada tingkat individu, kelompok maupun masyarakat (Zuhud 2007). Nilai rela, moral dan spiritual berkaitan dengan konservasi tumbuhan yaitu berupa nilai kearifan tradisional yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat. Menurut Zuhud (2007) stimulus rela-religius sangat berpengaruh dan efektif mendorong terwujudnya sikap dan perilaku untuk aksi konservasi.

(40)

Gambar 8 Diagram alir “tri-stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap dan perilaku aksi konservasi (Zuhud et al. 2007).

(41)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Populasi Kulim

Populasi Kulim di Hutan Desa Aur Kuning

Salah satu jenis tanaman yang termasuk dalam kategori langka adalah kulim (Mogea et al. 2001). Tumbuhan langka Indonesia adalah tumbuhan asli Indonesia yang takson atau populasi taksonnya cenderung berkurang, baik dalam jumlah individu, populasi maupun keanekaragaman genetisnya, sehingga jika tidak dilakukan usaha pelestarian yang cukup berarti maka akan punah dalam waktu singkat. Kulim memiliki wilayah penyebaran yang sangat terbatas khususnya di Indonesia hanya dijumpai di Sumatera dan Kalimantan (Sleumer 1982).

Berdasarkan hasil perhitungaan diketahui nilai dugaan populasi kulim yang terdapat di hutan adat Desa Aur Kuning seperti tersaji pada Gambar 9. Nilai dugaan ini didasarkan pada perhitungan terhadap jumlah kulim yang ditemukan dengan luas lokasi pengamatan.

Gambar 9 Dugaan populasi kulim pada tiap tingkat pertumbuhan.

Data komposisi jenis dan struktur hutan berguna untuk memprediksi kecenderungan komposisi tegakan di masa mendatang (Whittaker 1974). Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa nilai dugaan jumlah semai per hektar yaitu 1333 ind/ha dan kemudian jumlahnya menurun dengan jumlah pancang 101 ind/ha, tiang 9 ind/ha, dan pohon 24 ind/ha. Jika dilihat dari dugaan populasi kulim di lokasi ini menunjukkan bahwa struktur tegakan kayu kulim mengalami fluktuasi dimana pada saat pertumbuhan awal (semai) ditemukan banyak sekali individu kulim namun dalam perkembangannya semai ini tidak berkembang

(42)

hingga menjadi pohon. Banyaknya semai yang tidak tumbuh menjadi anakan dapat disebabkan oleh tempat tumbuhnya yang tidak baik atau kondisi buah yang rusak. Kondisi seperti ini mengindikasikan bahwa populasi kulim di hutan adat Desa Aur Kuning tidak menunjukkan kondisi tegakan normal di hutan alam. Populasi kulim yang ditemukan kondisinya menunjukkan hasil yang tidak seimbang antara jumlah anakan yang banyak dan jumlah pohon yang sangat sedikit. Hal ini menyebabkan populasi kulim di hutan adat Desa Aur Kuning dikhawatirkan akan mengalami penurunan bahkan dapat menyebabkan kelangkaan.

Berkurangnya lahan hutan dan banyaknya perkebunan kelapa sawit di Riau juga mengakibatkan banyak jenis kayu potensial yang tumbuh di areal hutan Riau menjadi hilang dan tidak mendapat perhatian dalam hal pelestariannya. Maraknya perambahan kayu secara ilegal yang terjadi pada tahun 1990-an juga mengakibatkan banyak wilayah hutan di Riau kehilangan keanekaragaman hayati salah satu diantaranya adalah kayu kulim. Kayu kulim di Riau merupakan salah satu tumbuhan yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi bagi masyarakat dan merupakan tumbuhan yang tumbuh di hutan-hutan masyarakat maupun kawasan konservasi.

Berdasarkan kelas diameter kayu kulim maka dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelas seperti terlihat pada Gambar 10.

Berdasarkan Gambar 10 dapat diketahui bahwa jumlah kayu kulim yang banyak dijumpai di hutan adat Desa Aur Kuning memiliki diameter antara 10 cm – 20 cm. Jumlahnya kemudian menurun menurut kelas diameternya. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah yang menurun ini mungkin disebabkan karena adanya penebangan yang dilakukan oleh masyarakat yang berasal dari luar Desa Aur Kuning. Apabila penebangan ini terus dilakukan dapat menyebabkan

0

10-20 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 81-90

ju

(43)

berkurangnya jumlah kayu kulim yang produktif menghasilkan biji dan akan menganggu populasi kulim.

Suatu populasi yang stabil biasanya mempunyai distribusi umur yang khas dalam suatu kawasan. Ada kalanya pada suatu kelas umur terutama individu muda, tidak ditemukan individu atau individu yang ditemukan hanya terdapat dalam jumlah yang sedikit. Gejala ini menunjukkan bahwa populasi akan menurun. Sebaliknya, apabila anakan dan individu terdapat dalam jumlah besar berarti populasi berada dalam keadaan stabil dan bahkan mungkin akan mengalami peningkatan (Primack 1998).

Dominansi Tumbuhan

Hutan di desa ini memiliki berbagai jenis tumbuhan dimana jenis-jenis tersebut memiliki peran tersendiri dalam komunitas. Indeks nilai penting merupakan besaran yang menunjukkan kedudukan (dominansi) suatu jenis terhadap jenis lain dalam suatu komunitas. Kayu kulim di hutan Desa Aur Kuning memiliki nilai INP sebagai berikut 42.11% pada tingkat pohon 15.685% pada tingkat semai, 7.115% pada tingkat tiang, dan 5.1192% pada tingkat pancang. Nilai ini menunjukkan bahwa dominansi kulim pada tingkat pohon lebih tinggi daripada untuk tingkat pertumbuhan lainnya. Jika dibandingkan dengan jenis tumbuhan lainnya indeks nilai penting pada berbagai tingkat pertumbuhan beberapa jenis tumbuhan di hutan Desa Aur Kuning dapat dilihat dalam Tabel 2. (selengkapnya tersaji pada Lampiran 1-4).

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat pada berbagai tingkat pertumbuhan jenis tumbuhan yang memiliki indeks nilai penting (INP) tertinggi berbeda-beda. Semakin besar INP suatu jenis maka peranannya dalam komunitas tersebut semakin penting. Perbedaan nilai INP mungkin disebabkan oleh jenis tumbuhan tersebut tidak ditemukan pada setiap lokasi pengamatan. Jenis kulim diketahui mendominasi pada tingkat pertumbuhan pohon, sedangkan untuk tingkat tiang didominasi Swintonia shwenkii, pada tingkat pancang didominasi Syzygium palembanicum, dan pada tingkat semai didominasi Santiria laevigata.

(44)

Tabel 2. Lima (5) Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi spesies pada berbagai tingkatan pertumbuhan

Klasikasi Nama ilmiah Nama lokal Famili INP (%)

Santiria laevigata Lalan Burseraceae 20.182

Semai Calophyllum inophyloides Bintangur Guttiferae 17.518

Syzygium napiforme Kelat Myrtaceae 16.157

Syzygium palembanicum Kelat Myrtaceae 15.882

Scorodocarpus borneensis Kulim Olacaceae 15.685

Syzygium palembanicum Kelat Myrtaceae 12.968

Pancang Syzygium napiforme Kelat Myrtaceae 9.9314

Aglaia sp. Parak Meliaceae 6.3815

Canarium littorale Kenari Burseraceae 5.4981

Scorodocarpus borneensis Kulim Olacaceae 5.1192

Swintonia shwenkii Kereta Anacardiaceae 19.402

Tiang Palaquium burckii Balam ketawah Sapotaceae 18.815

Gironniera nervosa Siluk Ulmaceae 18.162

Scaphium macropodum Merpayang Sterculiaceae 17.539

Syzygium napiforme Kelat Myrtaceae 17.374

Scorodocarpus bornensis Kulim Dipterocarpaceae 42.11

Pohon Swintonia shwenkii Kereta Anacardiaceae 12.418

Dialium platysepalum Karanji Fabaceae 10.711

Shorea leprosula Meranti pirang Dipterocarpaceae 10.487

Gironniera nervosa Siluk Ulmaceae 8.9299

Kulim pada tingkat pohon merupakan jenis yang banyak dijumpai, hal ini mungkin disebabkan lokasi ini memenuhi kriteria yang cocok bagi tempat tumbuh kulim yaitu tanah padzolik merah kuning dan pada daerah kering atau perbukitan dengan ketinggian mencapai 300 m dpl. Podsolik Merah Kuning merupakan jenis tanah yang mempunyai penyebaran sangat luas di Indonesia (Buurman 1980). Tanah ini merupakan jenis tanah yang miskin hara, warna tanah kemerah-merahan sampai kuning atau kekuning-kuningan, tekstur tanah lempung sampai liat, kebanyakan lempung berliat, keasaman tanah (pH tanah) nya sangat rendah yaitu antara 4-5.5. Jika dilihat dari jenis tanah ini, kulim dapat tumbuh pada kondisi tanah yang miskin hara dan dapat tumbuh hampir di semua wilayah di Riau namun karena terjadinya penyusutan areal hutan di Riau mengakibatkan kulim sekarang sulit untuk dijumpai.

(45)

Pola Sebaran Kulim

Distribusi semua tumbuhan di alam dapat disusun dalam tiga pola dasar, yaitu acak, teratur, dan mengelompok. Pola distribusi demikian erat hubungannya dengan kondisi lingkungan. Organisme pada suatu tempat bersifat saling bergantung, sehingga tidak terikat berdasarkan kesempatan semata, dan bila terjadi gangguan pada suatu organisme atau sebagian faktor lingkungan akan berpengaruh terhadap keseluruhan komunitas (Barbour et al. 1987). Bila seluruh faktor yang berpengaruh terhadap kehadiran spesies relatif sedikit, maka faktor kesempatan lebih berpengaruh, dimana spesies yang bersangkutan berhasil hidup di tempat tersebut.

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan indeks Morisita diketahui nilai id = 3.398. Hal ini menunjukkan bahwa pola sebaran kulim adalah mengelompok dimana nilai id >1. Hasil ini menunjukkan kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ismail (2000) yaitu pola penyebaran kayu kulim di Riau adalah mengelompok. Hal ini disebabkan kulim bereproduksi dengan biji yang kemudian anakan hidup di sekitar pohon induknya. Tumbuhnya anakan di sekitar pohon induk menyebabkan pola sebaran kulim menjadi mengelompok dan biasanya selalu berada berdekatan dengan pohon kulim lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan campur tangan manusia untuk membantu pemencaran kulim agar tumbuhan ini dapat tumbuh tersebar. Jarak tumbuh antara pohon kulim yang satu dengan yang lainnya di lokasi hutan Desa Aur Kuning yaitu 10 meter.

Pola sebaran kulim yang mengelompok ini menyebabkan habitat kulim menjadi spesifik. Kulim hanya dapat tumbuh di wilayah-wilayah tertentu sehingga keberadaannya menjadi terancam apabila habitat tersebut rusak. Kondisi habitat kulim yang spesifik ini membutuhkan upaya pengelolaan habitat yang baik sehingga cocok sebagai tempat tumbuh kulim. Habitat kulim di Desa Aur Kuning diketahui berada pada daerah punggung bukit yang bergelombang. Areal ini dapat menjadi salah satu kawasan pelestarian kulim.

Asosiasi Kulim dengan Jenis Spesies Lain

(46)

terjadi apabila suatu jenis tumbuhan tidak hadir secara bersamaan (McNaughton et al. 1992).

Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui jenis-jenis tumbuhan yang berasosiasi dengan kulim di lokasi ini, diantaranya dapat dilihat pada Tabel 3 (selengkapnya tersaji pada Lampiran 5).

Tabel 3. Nilai asosiasi kulim dengan sepuluh (10) jenis tumbuhan

No Jenis Sifat asosiasi Tingkat

asosiasi

Keterangan

1 Alseodaphne sp. - 0.6667 Tinggi

2 Artocarpus elasticus + 0.2308 Rendah

3 Baccaurea deflexa + 0.2308 Rendah

4 Calophyllum inophylloidea + 0.2143 Sangat rendah

5 Dyera costulata + 0.2308 Rendah

Ket : 1.00-0.75 Sangat Tinggi (ST) ;0.74-0.49 Tinggi (T); 0.48-0.23 Randah (R) ; < 0.22 Sangat Rendah (SR)

Berdasarkan Tabel 3 diketahui beberapa jenis yang memiliki asosiasi positif dengan kayu kulim antara lain Artocarpus elasticus, Baccaurea deflexa, Calophyllum inophylloidea, Dyera costulata, Gironniera nervosa, Koompassia malaccensis, Shorea singkawang, Swintonia penangiana, dan Pometia pinnata. Hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis ini merupakan jenis tumbuhan yang umumnya biasa dijumpai tumbuh secara bersama dengan jenis kulim. Hal ini bisa saja disebabkan karena adanya kesamaan habitat.

Jenis Alseodaphne sp. memiliki nilai asosiasi negatif dengan kulim. Asosiasi antar spesies yang bersifat negatif menunjukkan bahwa terjadi perebutan dalam penggunaan sumberdaya. Dengan meningkatnya jumlah individu yang satu akan menekan pertumbuhan individu spesies lain (Soegianto 1994). Interaksi yang bersifat negatif memberikan petunjuk pula bahwa tidak terdapat toleransi untuk hidup secara bersama atau tidak ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan, terutama dalam pembagian ruang hidup. Barbour et al. (1999) dalam (Kurniawan 2008) mengemukakan bahwa asosiasi yang bersifat negatif memberikan petunjuk bahwa setiap tumbuhan dalam suatu komunitas terjadi saling memberi tempat hidup pada suatu area habitat yang sama. Menurut Krivan & Sirot (2002) dikemukakan bahwa dalam asosiasi interspesifik dapat memunculkan kompetisi interspesifik. Pada kondisi dimana asosiasi bersifat negatif ekstrim, suatu spesies dapat muncul sebagai kompetitor yang mendominasi spesies lain.

(47)

memiliki lokasi tumbuh yang sama dengan kulim yaitu hidup pada hutan dataran rendah dengan ketinggian ± 300 m dpl. Hal ini menunjukkan bahwa ketinggian tempat tumbuh merupakan salah satu faktor yang menentukan ada atau tidaknya tumbuhan tersebut dijumpai secara bersama. Selain itu berdasarkan pengamatan di lapang, kulim merupakan tumbuhan intoleran dimana dalam pertumbuhannya jenis ini memerlukan cahaya matahari yang cukup sehingga tidak tahan hidup di bawah naungan pohon lain dan diketahui tumbuh pada lokasi yang berbukit. Lokasi tempat tumbuh kulim yang berada pada lokasi bergelombang ini merupakan salah satu cara adaptasi kulim untuk dapat bertahan hidup. Keberadaan pohon-pohon yang memiliki ukuran daun yang kecil dan batang yang tinggi dapat memaksimalkan asupan cahaya matahari yang masuk ke dalam hutan. Tingkat asosiasi diuji dengan indeks Jaccard yang mempunyai arti bahwa semakin mendekati angka 1, maka tingkat asosiasi mendekati maksimum atau asosiasi penuh, begitu juga sebaliknya semakin menjauhi angka 1 semakin kecil tingkat asosiasinya. Dari 10 jenis diatas diketahui tingkat asosiasi dengan kulim yaitu Artocarpus elasticus (0.2308), Baccaurea deflexa (0.2308), Calophyllum inophylloidea (0.2143), Dyera costulata (0.2308), Gironniera nervosa (0.2667), Koompassia malaccensis (0.2308), Shorea singkawang (0.2667), Swintonia penangiana (0.2667), dan Pternandra azurea (0.1429). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan jenis tumbuhan lain yang berada pada lingkungan sekitar kulim tidak memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pertumbuhan kulim karena tingkat asosiasinya rendah. Faktor lain yang menentukan keberadaan jenis ini mungkin lebih disebabkan adanya kesamaan habitat antara kulim dengan jenis-jenis tersebut.

Pemanfaatan Kulim Oleh Masyarakat

Sistem pengetahuan tentang alam dan tumbuh-tumbuhan merupakan pengetahuan dasar yang amat penting bagi masyarakat lokal dalam mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Seiring dengan berubahnya ekosistem tempat mereka hidup, perubahan lingkungan dan arus lalu lintas, komunikasi dan informasi dari luar menyebabkan nilai-nilai budaya yang selama ini tumbuh dan berkembang di masyarakat ikut berkembang.

(48)

mencakup suatu kesatuan wilayah berupa lahan pertanahan, tumbuhan yang hidup secara liar dan binatang yang hidup liar diatasnya sehingga dalam pemanfaatannya diatur oleh peraturan-peraturan ada yang berlaku pada setiap desa. Adapun beberapa fungsi tanah ulayat bagi masyarakat adat Desa Aur Kuning adalah sebagai berikut :

1. Sebagai zona pembatas antara habitat satwaliar dengan daerah kebun atau pemukiman masyarakat. Di daerah ini masyarakat masih sering menemukan adanya berbagai jenis satwaliar seperti harimau, babi, rusa, landak, dll. Keberadaan tanah ulayat ini menjadi sangat penting untuk melindungi daerah kebun atau pemukiman masyarakat demi menjaga keselarasan hidup antara manusia dengan satwaliar.

2. Hutan ulayat merupakan suatu kawasan hutan yang menyimpan segala sumberdaya alam yang dibutuhkan oleh masyarakat baik itu kebutuhan akan buah hutan, bahan obat tradisional, bahan bangunan, dsb.

3. Kawasan hutan ulayat merupakan kawasan yang berfungsi sebagai pengatur keseimbangan ekologis dimana keberadaan hutan alam ini dapat mencegah terjadinya bencana alam seperti banjir.

Jika dilihat dari pengetahuan masyarakat terhadap hutan dapat dikatakan bahwa masyarakat sangat mengerti akan pentingnya fungsi hutan. Adanya status lindung yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap keberadaan hutan ulayat masyarakat ini secara tidak langsung memberikan legalitas terhadap perlindungan areal hutan tersebut. Dilihat dari pola tingkah laku masyarakat yang sangat menjaga hutan dan memanfaatkan sumberdaya hutan sesuai dengan kebutuhan mereka, keberadaan hutan ulayat bagi kehidupan masyarakat Desa Aur Kuning merupakan salah satu bentuk perlindungan yang dilakukan secara tradisional oleh masyarakat, dimana dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat di kawasan hutan ini masyarakat tidak boleh sembarangan dan harus mengikuti peraturan adat yang berlaku. Pemahaman masyarakat tentang pentingnya arti hutan belum diiringi dengan pengetahuan masyarakat tentang status konservasi baik tumbuhan maupun hewan. Masyarakat masih menganggap semua yang tersedia di alam adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hal ini yang dikhawatirkan dapat mengganggu kelestarian jenis-jenis tumbuhan yang keberadaannya sudah langka.

Pemanfaatan buah kulim

(49)

dibalurkan ke perut bayi atau orang dewasa supaya tidak mudah masuk angin. Daging buah kulim juga dapat dimakan untuk mengobati penyakit cacingan. Burkil (1935) menyatakan buah kulim dapat dijadikan sebagai obat penangkal racun berbisa dan tempurung pada buah kulim dapat dijadikan sebagai kotak tembakau pada masyarakat tradisional.

Pada masyarakat Suku Sakai di Riau, buah dan daun kulim biasa digunakan sebagai salah satu bahan rempah (Medi 1998). Kebanyakan rempah-rempah dari Indonesia mempunyai daya guna ganda yang dapat dimanfaatkan sebagai penyedap masakan, minuman, wewangian makanan atau dapat juga diramu sebagai bahan obat tradisional. Pemanfaatan buah kulim pada masyarakat Suku Sakai yaitu dengan digiling secara halus kemudian dimasukkan ke dalam masakan. Pemanfaatan daun kulim pada masyarakat Suku Sakai dengan cara dicuci bersih kemudian dimasukkan ke dalam masakan sebagai pewangi masakan sedangkan pada masyarakat di Serawak daun mudanya biasa digunakan sebagai sayuran.

Pemanfaatan kayu kulim sebagai bahan baku jembatan dan tiang rumah

Pemanfaatan kayu/batang kulim yang dilakukan oleh masyarakat Desa Aur Kuning adalah sebagai bahan baku pembuatan jembatan (Gambar 11) dan tiang rumah. Kayu kulim yang dijadikan sebagai bahan baku langsung diambil masyarakat dari hutan alam karena belum adanya kegiatan budidaya kulim. Kriteria kayu kulim yang dapat ditebang ditetapkan sendiri oleh masyarakat agar kayu yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik. Kriteria yang ditetapkan misalnya kayu tidak berlubang dan memiliki diameter yang cukup besar. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang diperoleh masyakarat berdasarkan pengalaman mereka yang biasa menebang kayu di dalam hutan. Jembatan ini merupakan alat penghubung antar kampung. Pada awalnya masyarakat menyebrang dengan menggunakan sampan, namun kini dengan adanya jembatan dapat lebih memudahkan akses masyarakat.

(50)

Kayu kulim dimanfaatkan juga sebagai tiang rumah. Dahulunya perumahan di Desa Aur Kuning merupakan rumah panggung dengan bahan yang sepenuhnya berasal dari kayu, namun kini perumahan di desa ini sebagian besar sudah bersifat permanen dan terbuat dari semen. Perumahan yang masih menggunakan bahan kayu dapat dijumpai pada masyarakat suku Sakai di Riau. Bentuk rumah panggung bertujuan untuk melindungi pemiliknya dari gangguan alam, binatang buas, dan gangguan roh halus. Salah satu bahan baku pembuatan tiang rumah pada masyarakat suku ini adalah kayu kulim. Rumah-rumah masyarakat suku Sakai umumnya bertiang tinggi, tidak berjendela, dan tidak berkamar (Medi 1998).

Pemanfaatan kayu kulim sebagai bahan baku kapal

Masyarakat di Bagan Siapi-api Riau memanfaatkan kulim sebagai bahan baku dalam industri pembuatan kapal (Gambar 12). Industri ini merupakan industri masyarakat dan sudah menjadi ciri khas daerah ini. Keberadaan industri rakyat berupa galangan kapal kayu yang telah berjalan puluhan tahun di Bagan Siapi-api dan merupakan galangan kapal terbesar di Riau, akan tetapi keterbatasan kayu kulim menyebabkan industri ini terancam keberlangsungannya.

(51)

Gambar 12 Kapal kayu dengan bahan baku kayu kulim (sumber: Ismail 2000).

Setiap kapal membutuhkan bahan baku yang berbeda-beda sesuai peruntukkannya, semakin besar ukuran kapal yang dibuat maka akan membutuhkan bahan baku yang besar pula. Satu unit kapal besar (120-150 ton) akan membutuhkan bahan baku dari kayu kulim sebanyak 115.91 m3, dan waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu unit kapal adalah 8-9 bulan. Untuk kapal ukuran sedang (60-80 ton) dibutuhkan kayu kulim sebanyak 28.41 m 3 dengan waktu pengerjaan 4-5 bulan, dan untuk kapal ukuran kecil (3-6 ton) dibutuhkan bahan baku kayu kulim sebanyak 8.1 m3 dengan waktu pengerjaan selama 2 bulan (Ismail 2000).

Perkiraan kayu kulim yang harus ditebang setiap tahunnya di hutan alam Provinsi Riau berdasarkan kategori kelas diameter untuk memenuhi kebutuhan industri galangan kapal ini adalah sebagai berikut, jika yang ditebang berdiameter 20-29 cm maka dibutuhkan kayu kulim sekitar 10989 batang/tahun kayu kulim, jika yang ditebang berdiameter 30-39 cm maka dibutuhkan sekitar 3303 batang/tahun kayu kulim, jika yang ditebang berdiameter 40-49 cm maka dibutuhkan sekitar 1830 batang/tahun kayu kulim, jika yang ditebang berdiameter 50-up cm maka dibutuhkan sekitar 1 458 batang/tahun kayu kulim (Ismail 2000). Jika industri galangan kapal yang terdapat di Bagan Siapi-api ini terus berproduksi maka dapat dipastikan persediaan kayu kulim di alam tidak akan mampu mencukupi kebutuhan industri tersebut. Hal ini bisa menyebabkan usaha ini terhenti kalau budidaya kulim belum dilakukan.

Pemanfaatan kayu kulim sebagai bahan baku kusen pintu

(52)

13). Kebutuhan bahan baku kulim untuk industri pengetaman kayu khusus kusen pintu di Pekanbaru yaitu sekitar 42972 m3/tahun atau jika dilihat berdasarkan jumlah pohon kulim yaitu sekitar 6389 batang/tahun untuk kayu kulim berukuran 50-up cm (Ismail 2000). Besarnya permintaan pasar akan kusen yang terbuat dari kulim mengindikasikan bahwa ini sangat diminati oleh masyarakat karena keawetan kayu kulim yang tinggi. Harga kayu kulim yang berlaku pada industri pengetaman kayu adalah tiga juta enam ratus ribu rupiah per m3 dan lima juta rupiah per m3 untuk kusen pintu yang tebuat dari kayu kulim. Tingginya harga kayu kulim tersebut disebabkan sulitnya mendapatkan bahan baku. Hal ini sesuai dengan hipotesa yang dikemukakan oleh Bernett & Morse dalam Suparmoko (1997) yaitu hipotesa kuat dan hipotesa lemah. Hipotesa kuat menyatakan biaya riil per satuan luas barang-barang ekstraktif akan meningkat dengan berkembangnya waktu karena adanya keterbatasan dalam jumlah maupun kualitas sumberdaya. Hipotesa lemah menyatakan bahwa meningkatnya kelangkaan sumberdaya alam cenderung meningkatkan biaya produksi riil, tetapi peningkatan ini lebih cepat daripada kekuatan yang akan menekan kenaikan biaya karena adanya perubahan teknik dan kekuatan ekonomi lainnya.

Gambar 13 Kusen rumah yang terbuat dari kayu kulim.

Kulim merupakan sumberdaya alam yang sudah diketahui dan terbukti bernilai ekonomis. Hal ini terlihat dari jumlah permintaan kulim sebagai bahan baku kapal kayu dan kusen yang setiap tahunnya terus meningkat. Menurut penelitian Ismail (2000) diketahui bahwa diperkirakan populasi kulim yang ada di hutan alam Riau yang memiliki diameter 20 cm ke atas hanya 273451.2 m3, dalam jumlah pohon sekitar 195816 pohon. Berdasarkan perkiraan ini dikhawatirkan pemanfaatan yang terus berlangsung akan menyebabkan kondisi populasi kulim di alam akan punah.

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian.
Gambar 2  Daun, Buah, dan Batang Kulim.
Gambar 3  Desa Aur Kuning.
Gambar 4 Lokasi Desa Aur Kuning di dalam Kawasan Hutan.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam inovasi pendidikan terdapat difusi inovasi pendidikan yaitu, penyebarluasan dari gagasan inovasi pendidikan tersebut melalui suatu proses komunikasi yang dilakukan

[r]

Dari data-data yang telah ditampilkan di atas didapatkan kesimpulan bahwa tidak terdapat perubahan yang bermakna terhadap jumlah trombosit yang diberikan sebagai profilaksis

mendapatkan hasil penelitian yang valid. 173) “valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.” Hal ini berarti bahwa

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkanbahwa keterampilan motorik halus anak pada kelompok A di RA miftahul ulum II Lumbang dapat

Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah untuk mendanai kebutuhan

pekerjaan yang tidak tertera pada lembar kerja.. 3)

Kedua, dikaji dari pandangan Sosiolinguistik, pilihan kode pada Mahasiswa Riau di Yogyakarta merupakan salah satu gejala dwibahasa yang menarik untuk dikaji, mengingat