• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sosiologis Tokoh Wanita Zaman Heian Dalam Novel The Dragon Scroll Karya Inggrid J Parker

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Sosiologis Tokoh Wanita Zaman Heian Dalam Novel The Dragon Scroll Karya Inggrid J Parker"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

ANALISIS SOSIOLOGIS TOKOH WANITA ZAMAN HEIAN

DALAM NOVEL THE DRAGON SCROLL

KARYA INGGRID JPARKER

TRI WULANDARI

100708085

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Karya sastra lahir di tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi sesuai

dengan perkembangan zaman. Karya sastra banyak diminati oleh masyarakat,

khususnya novel. Novel adalah karya prosa yang panjang, mengandung rangkaian

cerita kehidupan manusia dengan setiap orang di sekelilingnya, dengan

menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku yang disajikan secara menarik. Salah

satu karya sastra berupa novel adalah novel “The Dragon Scroll” karya Inggrid J

Parker yang diterjemahkan oleh Meithya Rose Prasetya.

The Dragon Scroll merupakan cerita novel yang berlatar belakang zaman

Heian (794-1185). Pada saat itu Jepang dikendalikan langsung dari ibukota Heian

Kyo (Kyoto) oleh seorang kaisar dengan birokrasi yang rumit. Novel ini bercerita

mengenai pengungkapan kasus penarikan pajak di Provinsi Kazusa. Dimana

dalam cerita novel ini memiliki beberapa tokoh wanita yang menjadi acuan

analisis penulis.

Lady Tachibana seorang wanita Jepang golongan kelas atas. Status wanita

ini merupakan istri seorang mantan gubernur pada masa itu. Status sebagai istri

kedua dijalaninya dengan kepasrahan. Sebagai istri seorang golongan atas bukan

berarti memiliki kekuasaan. Sebaliknya membuatnya tidak memiliki kuasa atas

dirinya. Ayako, tipikal seorang wanita yang begitu menikmati kehidupannya.

Statusnya sebagai wanita golongan bawah membuatnya menjadi wanita yang

bebas meski karena kemiskinannya dia harus membantu melakukan pekerjaan

(3)

dan kelebihannya sebagai seorang pelukis, tidak mampu begitu menikmati

kehidupannya.

Penulisan skripsi ini menggunakan novel The Dragon Scroll Karya Inggrid

J Parker. Memusatkan perhatian pada kehidupan pada kerakter wanita golongan

atas oleh Lady Tachibana dan wanita golongan bawah oleh Ayako dan Otomi

dalam lingkungan keluarga dan dalam lingkungan sosial pada zaman Heian.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif untuk

mendekripsikan hasil analisis secara rinci dan jelas. Sumber data pada penulisan

skripsi ini adalah novel The Dragon Scroll karya Inggrid J Parker. Data penggalan

kalimat dan dialog mengenai kehidupan Lady Tachibana dalam keluarga dan

dalam lingkungan sosial pada zaman Heian. Dan kehidupan Ayako dan Otomi

dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sosial pada zaman Heian.

Dari hasil penulisan skripsi ini, bahwa peran Lady Tachibana sebagai

wanita golongan atas sangat terbatas. Mereka menghabiskan sebagian hidup

mereka di dalam rumah suami mereka. Sedangkan Ayako dan Otomi sebagai

wanita golongan bawah bekerja bahu-membahu dengan kaum lelaki. Perempuan

kelas atas bisa memiliki harta benda, tetapi mereka di bawah kendali laki-laki.

Perempuan kelas bawah lebih memiliki kebebasan tapi sedit bisa memiliki dan

menikmati waktu santai. Salah satunya Ayako, bukan tipe wanita pada zamannya.

(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah S.W.T, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis diberikan kesehatan selama mengikuti perkuliahan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Cukup banyak hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini. Karena itulah usaha diiringi doa merupakan dua hal yang memampukan penulis untuk menyelesikan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul Analisis Sosiologis Tokoh Wanita Zaman Heian Dalam Novel The Dragon Scroll Karya Inggrid J Parker ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pada jurusan Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulis tidak terlepas dari bimbingan, dorongan serta bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

(5)

4. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum selaku Pembimbing II penulis atas semua masukan, pengarahan, dukungan serta meluangkan waktu dan pikirannya dalam membantu pengerjaan skripsi ini.

5. Semua Bapak/Ibu Dosen Program Studi Sastra Jepang Universitas Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengajaran bahasa dan sastra Jepang selama masa perkuliahan. Dan juga kepada Bang Djoko selaku pegawai staf administrasi Departemen Sastra Jepang yang telah banyak membantu kelancaran administrasi penulis.

6. Kepada kedua orang tua penulis, Bapak Sarmin dan Ibunda Samini, yang selalu mendukung dan mendoakan penulis agar selalu semangat dan pantang menyerah. Serta selalu memberikan dukungan baik moral mupun materil yang tidak terhingga sehingga penulis bisa menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini. Semoga Allah membalas semua kebaikan dan tiap tetes keringat mereka.

7. Kepada kakak, abang penulis, Rani, Dahnial Zuhra, Yunita Sari, Ahmad Nurdin atas dukungan dalam moral maupun materil sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Serta dua keponakan tercinta Khonsa Fatiha Mumtaza dan Zahida Alima Ahmad yang selalu menghibur penulis.

8. Untuk teman-teman mahasiswa/i Sastra Jepang angkatan 2010, terima kasih untuk pertemanan kita dan bantuannya selama lebih dari 4 tahun, maaf karena tidak dapat disebutkan satu persatu.

(6)

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan saran yang membangun agar dapat memperbaiki kesalahan pada masa mendatang. Akhir kata, penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan khususnya bagi pembaca.

Medan, Januari 2015

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Ruang Lingkup Penelitian ... 5

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka teori ... 6

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.6 Metode Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN UMUMNOVEL THE DRAGON SCROLL DAN KEHIDUPAN WANITA JEPANG 2.1 Definisi Novel ... 12

2.2 Setting Novel The Dragon Scroll ... 17

2.3 Kehidupan Wanita Zaman Heian ... 18

2.3.1 Kehidupan Wanita Jepang Zaman Heian Dalam lingkungan keluarga ... 20

2.3.2 Kehidupan Wanita Jepang Zaman Heian Dalam lingkungan sosial ... 21

2.4 Kajian Sosiologis Sastra ... 24

(8)

BAB III ANALISIS PARA TOKOH WANITA ZAMAN HEIAN DALAM

NOVEL THE DRAGON SCROLL KARYA INGGRID J

PARKER

3.1 Kehidupan Lady Tachibana Sebagai Masyarakat Golongan Atas

3.1.1 Dalam lingkungan keluarga ... 31

3.1.2 Dalam lingkungan sosial ... 35

3.2 Kehidupan Ayako dan Otomi sebagai Masyarakat Golongan

Bawah

3.2.1 Dalam lingkungan keluarga ... 40

3.2.1 Dalam lingkungan sosial ... 43

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ... 50

4.2 Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA

(9)
(10)

ABSTRAK

Karya sastra lahir di tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi sesuai

dengan perkembangan zaman. Karya sastra banyak diminati oleh masyarakat,

khususnya novel. Novel adalah karya prosa yang panjang, mengandung rangkaian

cerita kehidupan manusia dengan setiap orang di sekelilingnya, dengan

menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku yang disajikan secara menarik. Salah

satu karya sastra berupa novel adalah novel “The Dragon Scroll” karya Inggrid J

Parker yang diterjemahkan oleh Meithya Rose Prasetya.

The Dragon Scroll merupakan cerita novel yang berlatar belakang zaman

Heian (794-1185). Pada saat itu Jepang dikendalikan langsung dari ibukota Heian

Kyo (Kyoto) oleh seorang kaisar dengan birokrasi yang rumit. Novel ini bercerita

mengenai pengungkapan kasus penarikan pajak di Provinsi Kazusa. Dimana

dalam cerita novel ini memiliki beberapa tokoh wanita yang menjadi acuan

analisis penulis.

Lady Tachibana seorang wanita Jepang golongan kelas atas. Status wanita

ini merupakan istri seorang mantan gubernur pada masa itu. Status sebagai istri

kedua dijalaninya dengan kepasrahan. Sebagai istri seorang golongan atas bukan

berarti memiliki kekuasaan. Sebaliknya membuatnya tidak memiliki kuasa atas

dirinya. Ayako, tipikal seorang wanita yang begitu menikmati kehidupannya.

Statusnya sebagai wanita golongan bawah membuatnya menjadi wanita yang

bebas meski karena kemiskinannya dia harus membantu melakukan pekerjaan

(11)

dan kelebihannya sebagai seorang pelukis, tidak mampu begitu menikmati

kehidupannya.

Penulisan skripsi ini menggunakan novel The Dragon Scroll Karya Inggrid

J Parker. Memusatkan perhatian pada kehidupan pada kerakter wanita golongan

atas oleh Lady Tachibana dan wanita golongan bawah oleh Ayako dan Otomi

dalam lingkungan keluarga dan dalam lingkungan sosial pada zaman Heian.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif untuk

mendekripsikan hasil analisis secara rinci dan jelas. Sumber data pada penulisan

skripsi ini adalah novel The Dragon Scroll karya Inggrid J Parker. Data penggalan

kalimat dan dialog mengenai kehidupan Lady Tachibana dalam keluarga dan

dalam lingkungan sosial pada zaman Heian. Dan kehidupan Ayako dan Otomi

dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sosial pada zaman Heian.

Dari hasil penulisan skripsi ini, bahwa peran Lady Tachibana sebagai

wanita golongan atas sangat terbatas. Mereka menghabiskan sebagian hidup

mereka di dalam rumah suami mereka. Sedangkan Ayako dan Otomi sebagai

wanita golongan bawah bekerja bahu-membahu dengan kaum lelaki. Perempuan

kelas atas bisa memiliki harta benda, tetapi mereka di bawah kendali laki-laki.

Perempuan kelas bawah lebih memiliki kebebasan tapi sedit bisa memiliki dan

menikmati waktu santai. Salah satunya Ayako, bukan tipe wanita pada zamannya.

(12)

seperti itulah hidup yang harus dijalani ketika ditakdirkan menjadi wanita miskin

di zaman Heian. Inilah yang ditunjukkan dalam novel THE DRAGON SCROLL

secara umum.

Ketika di dalam sejarah adanya permasalahan yang menarik, Nurani

penulis novel akan terpanggil untuk segera mengungkapkan sebuah kebenaran

lewat sebuah cerita fiksi. Begitu juga dengan novel THE DRAGON SCROLL yang

merupakan salah satu wujud kepekaan penulisnya; Inggrid J Parker, atas struktur

kemasyarakatan, sosial, dan budaya dalam sejarah yang dialami masyarakat

Jepang pada zaman Heian terhadap kaum wanita khususnya.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengangkat permasalahan yang

akan dibahas pada penulisan skripsi, yaitu:

1. Bagaimana kehidupan wanita pada zaman Heian di Jepang ?

2. Bagaimana kehidupan tokoh wanita golongan atas dan bawah dalam

lingkungan keluarga dan lingkungan sosial pada zaman Heian di

Jepangyang terdapat dalam novel THE DRAGON SCROLL karya

Inggrid J Parker ?

1.3Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan yaitu pada hal-hal

yang berkaitan dengan kehidupan wanita Jepang pada zaman Heian dalam novel

THE DRAGON SCROLL. Untuk melihat kehidupan tokoh wanita Jepang pada

zaman Heian yang terdapat dalam novel THE DRAGON SCROLL, penulis merasa

perlu untuk membahas mengenai bagaimana kehidupan tokoh wanita golongan

atas dan bawah dalam lingkungan keluarga dan lingkunagn sosial pada zaman

(13)

ini akan memberi kemudahan kepada penulis dalam menganalisa pokok

permasalahan, yaitu pada pemaparan masalah mengenai kehidupan wanita

golongan atas dan bawah dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sosial pada

zaman Heian di Jepang yang digambarkan oleh Inggrid J Parker dalam novel

THE DRAGON SCROLL.

Karena tulisan ini akan membahas mengenai kehidupan wanita pada

zaman Heian, maka pembahasan akan difokuskan kepada kehidupan tokoh wanita

yang termasuk memegang peranan penting dalam novel THE DRAGON

SCROLL.Tiga orang tokoh wanita dalam novel ini adalah Lady Tachibana Ayako,

dan Otomi.

1.4 Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Menurut Wellek dan Warren dalam Pradopo (2002:18), Karya sastra

merupakan struktur lapis-lapis norma, lapis-lapis norma yang diatas menimbulkan

lapis norma dibawahnya, begitu seterusnya. Disamping itu karya sastra

merupakan karya imaginatif yang bermedium bahasa dan fungsi estetikanya

dominan.

Menurut Luxemburg (1986:23-24), sastra dapat dipandang sebagai suatu

gejala sosial, sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu berkaitan dengan

norma-norma dan adat-istiadat zaman itu. Sastra pun digunakan sebagai sumber

untuk menganalisa sistem masyarakat. Sastra juga mencerminkan kenyataan

dalam masyarakat dan merupakan sarana untuk memahaminya. Selain itu, Suroto

(14)

secara terurai mengenai suatu masalah atau hal atau peristiwa dan lain-lain.

Menurut dua pendapat diatas bisa dikatakan bahwa karya tidak akanterlepas

kaitannya dengan adat-istiadat, peristiwa, dan masalah yang terangkum dalam

kebudayaan masyarakat.

Malinowski dalam Bambang (2000:83), menyatakan bahwa kebudayaan

berisikan artefak yang diwariskan, barang-barang, proses-proses teknik,

pemikiran-pemikiran (ideas) kebiasaan-kebiasaan (habits) dan nilai-nilai (values).

Koentjaraningrat (1974:16), menyatakan bahwa salah satu wujud

kebudayaan yang disebut dengan sistem sosial mengenai kelakuan berpola dari

manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas

manusia-manusia berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain dari detik

ke detik, selalu menurut pola–pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.

Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka

sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi disekeliling kita sehari-hari, bisa

diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. karena itulah setiap manusia memiliki

bermacam-macam peran yang berasal dari pola kehidupannya.

Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan / status

(soedjono,2003:243). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya

maka di menjalankan suatu peran. Sebagai anggota masyarakat, baik pria maupun

wanita disesuaikan dengan posisi dan kondisinya dalam masyarakat. Hal ini

berarti bahwa peran menentukan apa yang diperbuat seseorang kepada masyarakat,

baik berupa pengaruh maupun efek pada lingkungan masyarakat tersebut yang

(15)

Zaman Heian merupakan salah satu catatan sejarah perjalanan Jepang

sebelum maju seperti sekarang. Dimana penulis begitu tertarik untuk

membahasnya dalam bentuk skripsi.

Pada zaman Heian ibu kota dipindahkan ke Kyoto tepatnya pada abad ke 8,

dimana pemerintahan berada ditangan Kaisar. Tetapi karena Kaisar sering

melaksanakan politik sekkan (sesho dan kanpaku). Sesho adalah wali Kaisar

untuk menjalankan kekuasaan ketika Kaisar melakukan Insei (bertapa di kuil),

dan Kanpaku adalah wali Kaisar menjalankan kekuasaan ketika Kaisar masih

anak-anak. Maka sering terjadi keributan di Kyoto (Situmorang, 2011:84). Mulai

dari hubungan para petani dengan tuan tanahnya hingga adanya keterbatasan para

kaum perempuan saat itu.

1.4.2 Kerangka Teori

Agar dapat menganalisa kehidupan wanita Jepang, diperlukan sebuah teori

pendekatan yang sesuai dengan objek dan tujuan dari penulisan ini. Dalam

penelitian terhadap novel THE DRAGON SCROLL karya Inggrid J Parker ini,

penulis menggunakan pendekatan sosiologis.

Pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang berusaha memahami latar

belakang kehidupan sosial budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan

kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya ataupun

zamannya pada saat sastra itu di wujudkan (Aminuddin, 2002:46).

Pendekatan sosiologis menurut Ratna (2004: 59) menganalisis manusia

(16)

Pendekatan sosiologis juga memiliki impplikasi metodologis berupa pengalaman

mendasar mengenai kehidupan manusia dalam masyarakat.

Setiap penelitian memerlukan titik tolak atau landasan berfikir dalam

memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori

yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana

penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001:39-40).

Suatu teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau

lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan

sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris. Dan

untuk mendukung keempirisan data tersebut penulis menggunakan pendekatan

semiotik.

Semiotik digunakan untuk memberikan makna kepada tanda-tanda

sesudah suatu penelitian struktural. Semiotik hanya dapat dilaksanakan melalui

penelitian strukturalisme yang memungkinkan kita menemui tanda-tanda yang

dapat memberi makna (Junus, 1998: 98). Jadi, teori semiotik mempunyai

kelebihan utama dalam membedah karya sastra secara mendalam.

Berdasarkan uraian di atas, maka analisis semiotik prosa fiksi yang harus

dilakukan adalah melihat semua struktur sebagai tanda.

1.5Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.5.1 Tujuan Penelitian

Dalam setiap penulisan skripsi tentu ada tujuan yang hendak dicapai.

Adapun tujuan tersebut adalah:

(17)

2. Mendeskripsikan kehidupan para tokoh wanita golongan atas dan

bawah dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sosial yang ada

dalam novel THE DRAGON SCROLL karya Inggrid J Parker.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Dengan mengadakan penelitian terhadap novel THE DRAGON SCROLL

karya Inggrid J Parker, diharapkan memberi manfaat, yakni:

1. Untuk menambah pengetahuan mengenai kehidupan wanita pada

zaman Heian di Jepang, khususnya bagi mahasiswa jurusan Sastra

Jepang.

2. Untuk menambah pemahaman mengenai kehidupan wanita golongan

atas dan bawah dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sosial

pada zaman Heian dalam novel THE DRAGON SCROLL karya Inggri

J Parker.

1.6 Metode Penelitian

Sesuai dengan tema dan permasalahan yang akan dianalisis dalam novel

THE DRAGON SCROLL, maka penelitian ini menggunakan metode Deskriptif

Kwalitatif.

Menurut koentjaraningrat (1976:30), penelitian yang bersifat deskriptif

yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin tentang suatu individu,

keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Dalam penelitian ini penulis

menguraikan dan menjelaskan secermat mungkin maslah-masalah yang terdapat

(18)

Penulis menggunakan metode ini karena penulis mencoba

mendeskripsikan atau menganalisa mengenai kehidupan wanita Jepang golongan

atas dan bawah dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sosial pada zaman

Heian yang ada dalam novel THE DRAGON SCROLL karya Inggrid J Parker.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka (library research),

yaitu dengan menyelusuri sumber- sumber kepustakaan dengan buku-buku dan

referensi yang berkaitan dengan tema penulisan ini. Data diperoleh dari berbagai

(19)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP

NOVEL “THE DRAGON SCROLL” DAN

KEHIDUPAN WANITA JEPANG ZAMAN HEIAN

2.1 Defenisi Novel

Novel menurut Henry Guntur dalam Fikri (2010:3) adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang tertentu yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan yang nyata dalam suatu alur atau keadaan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel adalah karya prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya, dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Selain itu Nurgiyantoro (1995:9) menyatakan bahwa novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajkan dengan halus.

Sebagai suatu karya fiksi, novel memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Bentuknya panjang, biasanya lebih dari 10.000 kata b. Sering menawarkan lebih dari satu tema.

(20)

e. Ditulis dengan gaya narasi yang terkadang dicampur deskripsi untuk menggambarkan suasana.

f. Lebih mencerminkan gambaran tokoh nyata yaitu tokoh yang berangkat dari realitas.

Selain itu, novel mampu menghadirkan perkembangan suatu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa rumit yang terjadi beberapa tahun silam dengan lebih menditail. Jadi novel merupakan suatu media untuk mengungkapkan sisi kehidupan secara nyata dalam bentuk yang lebih menarik.

Novel dengan tokoh, alur, tema dan permasalahannya yang kompleks harus memiliki keutuhan dan kelengkapan agar novel tersebut menjadi karya sastra yang baik. Keutuhan dan kelengkapan sebuah novel dapat dilihat dari unsur-unsur yang membangunnya.

Secara garis besar unsur-unsur pembangun novel ada dua yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

1. Unsur intrinsik

(21)

Unsur-unsur tersebut adalah tokoh, alur, latar, judul, sudut pandang, gaya bahasa, tema, dan amanat (Wiyatmi, 2009:30).

a. Tokoh

Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh dalam novel merupakan ciptaan pengarang meskipun dapat juga merupakan gambaran dari orang-orang yang ada dikehidupan yang nyata. Tokoh terbagi 2 yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak terlibat cerita dan paling banyak berhubungan dengan tokoh lain.

b. Alur

Alur adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan hubungan sebab-akibat. Alur sering berpusat pada konflik, namun konflik tidak bisa dipaparkan begitu saja. Biasanya, sebelum konflik urutan alur diawali dengan pengenalan, timbulnya konflik, konflik memuncak, klimaks, kemudian pemecahan soal. Alur terbagi 2 yaitu alur maju (progresif) dan alur mundur atau flash back (regresif).

c. Latar

Latar atau setting terdiri dari latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Fungsi latar adalah memberi konteks cerita, yaitu sebuah cerita yang terjadi dan dialami oleh tokoh di suatu tempat tertentu, pada suatu masa dan lingkungan masyarakat tertentu.

d. Judul

(22)

kombinasi dari ketiganya. Judul harus mewakili keseluruhan isi cerita. Bentuknya singkat namun padat dan jelas.

e. Sudut Pandang

Sudut pandang atau point of view terbagi atas sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga. Sudut pandang orang pertama dibagi lagi menjadi sudut pandang akuan sertaan (first person central) yaitu cerita disampaikan oleh tokoh utama dengan memakai kata ganti “aku”, dan sudut pandang akuan taksertaan (first person peripheral) yaitu pencerita merupakan tokoh pembantu yang hanya muncul diawal cerita dan akhir cerita.

Sedangkan sudut pandang orang ketiga dibagi lagi menjadi sudut pandang diaan maha tahu (third person omniscient) yaitu pencerita berada diluar cerita dan menjadi pengamat dan mengetahui banyak hal tentang tokoh-tokoh lain, dan sudut pandang diaan terbatas (third person limited) yaitu pencerita hanya tahu dan menceritakan tokoh yng menjadi tumpuan cerita saja. Sudut pandang ini jarang ditemui dengan detail tokoh yang terbatas, cerita menjadi tidak hidup.

f. Gaya

Gaya merupakan cara pengungkapan yang khas bagi seorang pengarang. Gaya tersebut meliputi penggunaan diksi (pilihan kata), imajeri (citraaan), dan sintaksis (pilihan pola kalimat). Gaya dalam karya sastra akan memperindah bahasa, sehingga membuat nilai lebih suatu karya sastra.

(23)

Tema merupakan makna cerita atau sikap pengarang terhadap subjek atau pokok cerita. Fungsi tema adalah menyatukan unsur-unsur lainnya. Dalam sebuah novel bisa mengemukakan lebih dari satu tema, karena bentuk novel yang cukup luas dan kompleks.

h. Amanat

Amanat adalah pesan yang disampaikan pengarang kepada pembaca. Amanat biasanya merupakan pandangan hidup pengarang tentang nilai-nilai kebenaran yang ingin disampaikan kepada pembaca. Menurut Kenny dalam Fikri (2010:19), amanat dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis kemudian dapat diambil melalui cerita oleh pembaca.

2. Unsur ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur diluar karya sastra tetapi secara tidak langsung mempengaruhi suatu karya sastra. Unsur ekstrinsik merupakan segala faktor yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Unsur ekstrinsik karya sastra cukup berpengaruh terhadap totalitas keterpaduan cerita yang dihasilkan.

(24)

teologi, serta mengkaji hubungan antara sastra dengan semangat zaman, atmosfir atau ilkim intelektual tertentu.

Unsur ekstrinsik meliputi tradisi dan nilai-nilai, struktur kehidupan sosial, keyakinan dan pandangan hidup, suasana politik, lingkungan hidup, agama, dan sebagainya.

2.2Setting Novel The Dragon Scroll

Sebagai salah satu bagian dari unsur pembangun karya fiksi, setting selalu memiliki hubungan dengan unsur-unsur signifikan lain dalam rangka membangun totalitas makna serta adanya kesatuan dari keseluruhan isi yang dipaparkan pengarang. Setting selalu memiliki hubungan dengan penokohan, perwatakan, suasana cerita, alur atau plot maupun dalam rangka mewujudkan tema suatu cerita (Aminuddin, 2000:69).

Staton dalam Fikri dalam Arum (2012:23) menyebutkan bahwa setting merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.

Sedangkan Abrams dalam Fananie (2000:61) menyebutkan bahwa setting merupakan tempat terjadinya suatu peristiwa secara umum, waktu berlangsungnya suatu tindakan.

(25)

terdapat pada zaman Heian (794-1192) yang ditandai dengan dipindahknnya ibukota dari Nara ke Kyoto (HeianKyo) oleh kaisar Kanmu.

Jepang pada masa itu didominasi oleh bangsawan dengan kekuasaan politik Istana Kekaisaran berada di tangan keluarga bangsawan. Pada saat itu, keluarga Fujiwara adalah bangsawan yang paling berkuasa.

Tidak hanya dalam pemerintahan, peran perempuan dimasyarakat Jepang pada masa itu sangat terbatas. Golongan perempuan kelas atas menghabiskan sebagian hidup mereka di dalam rumah orang tua atau suami mereka, sedangkan perempuan menengah dan miskin bekerja bahu-membahu dengan kaum laki-laki. Perempuan kelas atas di abad sebelas bisa memiliki harta benda, tetapi mereka berada di bawah kendali laki-laki. Perempuan kelas bawah lebih memiliki kebebasan tapi sedikit bisa menikmati waktu santai.

Lokasi dan tempat terjadinya cerita novel “The Dragon Scroll” adalah di Jepang khususnya di Provinsi Kazusa. Nama tempat-tempat yang ada pada masa itu dalam novel tersebut adalah kediaman gubernur, tempat tinggal tamu, pasar, toko sake, rumah Tachibana, rumah Ayako, Rumah petak Jasmin, sekolah sumo, penjara, dan beberapa tempat lainnya.

2.3Kehidupan Wanita Zaman Heian

(26)

jepang di zaman Heian. Wanita-wanita di zaman Heian memiliki keterbatasan dalam menentukan kehidupannya sendiri. Hal ini terdapat dalam novel The Dragon Scroll karya Inggrid J Parker. Inggrid mengungkapkan wanita pada zaman Heian secara jelas bagi wanita golongan atas dan golongan bawah. Dan penulis akan menganalisis kehidupan wanita-wanita tersebut dengan melihat dari aspek keluarga dan sosial masyarakat.

Citra wanita dalam aspek sosial disederhanakan ke dalam dua peran, yaitu peran wanita dalam keluarga dan peran wanita dalam masyarakat. Peran ialah bagian yang dimainkan seseorang pada setiap keadaan, dan cara bertingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan keadaan (Wolfman dalam Sugihastuti 2000: 121). Peran dapat berarti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat. Peranan wanita artinya bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan wanita. Ada berbagai peran wanita yang dimilikinya sejak lahir sampai pada usia-usia selanjutnya. Peran-peran itu merupakan bagian dari hidupnya.

(27)

Kehidupan wanita disetiap negara pastilah memiliki perbedaan. Masing-masing negara memiliki cirikhas tersendiri. Perbedaan disetiap negara itu bisa berupa kehidupan sosial, karir, dan sebagainya. Perbedaan itu sendiri sewaktu-waktu juga bisa berubah maupun berkembang disetiap negara. Hal ini juga tidak terlepas dari faktor-faktor budaya dan kehidupan masyarakat yang ada pada saat itu.Begitu juga halnya dengan Jepang. Jepang juga memiliki cirikhas tersendiri terhadap kehidupan sosial wanitanya. Kehidupan sosial ini terus berkembang dan mengalami perubahan dari zaman ke zaman.

2.3.1 Kehidupan Wanita Jepang Zaman Heian Dalam Lingkungan

Keluarga

Peran perempuan dalam keluarga golongan kelas atas menghabiskan sebagian besar hidup mereka didalam rumah orangtua atau suami mereka, sedangkan perempuan menengah dan miskin bekerja bahu-membahu dengan kaum lelaki. Perempuan kelas bawah di abad sebelas bisa memiliki kebebasan tapi sedikit bisa menikmati waktu santai.Ayako, sudah tentu, bukanlah tipe perempuan sejamannya, walaupun hubungan seks secara bebas dipertukarkan di semua golongan, dan laki-laki ningrat bukan hanya praktik poligami tapi juga memiliki hubungan gelap sebagai sampingan.

(28)

sudah terjadi pernikahan dan pengantin pria diterima oleh keluarga pengantin wanita dengan menyuguhi kue beras khusus.Dia biasanya menetap di rumah istrinya.Status istri bergantung pada status suami, perilakunya, atau kedudukan orangtua si istri, karena si pria bisa saja memiliki beberapa istri.Selain itu tak jarang pula terjadi si suami mempunyai sejumlah gundik.Si pria juga dapat menceraikan istrinya cukup hanya dengan memberitahukan keputusannya itu.Akan tetapi, seorang gadis biasanya dijaga dengan baik oleh keluarganya.

2.3.2 Kehidupan Wanita Jepang Zaman Heian Dalam

LingkunganSosial

Pada zaman Heian, kehidupan dalam istana kerajaan Jepang saat itu sungguh tak menguntungkan bagi kaum wanita. Seperti di banyak kerajaan lainnya, para wanita keluarga raja sangat dijaga. Hidup para wanita penuh aturan dan batasan. Dunia di luar istana nyaris tak mereka kenali. Para wanita hanya boleh keluar ketika ada acara pesta rakyat. Pendidikan yang mereka ketahui pun terbatas. Hanya sedikit di antara mereka yang bisa membaca dan menulis. Dalam suasana seperti inilah lahir novelis wanita pertama dunia, Shikibu Murasaki. Dialah penulis Genji Monogatari (Kisah Genji), karya novel pertama dalam sejarah.

(29)

belum menikah mengenakan hakama warna gelap. Sementara, perempuan yang sudah menikah mengenakan hakama dengan warna-warna cerah, umumnya merah.

Penghuni istana amat memiliki cita rasa seni yang tinggi. Pakaian pun dibuat indah dengan aturan warna untuk masing-masing level di istana bahkan warna yang berbeda untuk setiap musim. Kaum wanitanya pun berbusana Kimono yang sudah menggunakan teknik pencelupan warna dan sulaman yang indah.

(30)

beberapa lapisan pakaian. Wanita memakai sampai enam lapisan baju dengan lengan yang panjang dengan warna yang berbeda-beda. Jika salah satu dari warna-warna ini terlalu pucat atau terlalu terang, maka itu akan menjadi banyak kritikan. Bangsawan zaman Heian dapat memiliki reputasi yang tidak baik hanya karena pakaian yang tidak tepat.

Karena zaman itu posisi wanita dianggap cukup penting, seorang wanita yang memiliki kemampuan dalam menulis puisi, cerita, atau bermain musik, maka wanita tersebut bisa masuk ke kalangan atas dan menjadi selir atau istri. Kaum bangsawan pria sering meminta selirnya untuk menciptakan puisi secara mendadak, jadi apabila sang wanita bisa memenuhi permintaannya tersebut maka wanita itu akan dihormati. Dengan pengaruh ini, nuansa kebudayaan Jepang penuh dengan gairah kebudayaan.

Transportasi saat itu tidak praktis dan lamban. Di kota, untuk berpergian dari satu tempat ke tempat lain umumnya orang berjalan kaki, kecuali kalau kedudukannya memungkinkan dia mendapat kereta yang ditarik lembu. Selain itu, pria maupun wanita lazim menunggang kuda atau diusung dengan tandu.

Kebiasaan makan dan minum pada abad kesebelas agak berbeda dengan kebiasaan di masa belakangan. Minum teh belum lazim dilakukan. Umumnya orang meminum sake beras. Daging, dengan pengecualian unggas liar, jarang dikonsumsi. Makanan rakyat jelata terdiri atas sayur, kacang buncis, dan millet. Mereka yang cukup berada menambahkan nasi, ikan, dan buah-buahan.

(31)

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. sosiologi berasal dari kata akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, soio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan intruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik (Ratna, 2003:1-2).

Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang objek studinya berupa aktivitas sosial manusia. Sastra adalah karya seni yang merupakan ekspresi kehidupan manusia. Dengan demikian, antara karya sastra dengan sosiologi sebenarnya merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi. Sosiologi tidak hanya menghubungkan manusia dengan lingkungan sosial budayanya, tetapi juga dengan alam (Fananie, 2000:132).

(32)

unsur-unsur karya sastra dalam kaitannya dengan perubahan-perubahan struktur sosial yang terjadi dalam masyarakat.

Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut:

1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek danWarren,1990:112).

(33)

3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.

Sebagai sebuah dunia miniatur, karya satra berfungsi untuk menginvestarisasikan sejumlah besar kejadian-kejadian, yaitu kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi. Pada dasarnya, seluruh kejadian dalam karya, bahkan juga karya-karya yang termasuk ke dalam genre yang paling absurd pun merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ciri kreativitas dan imajinasinya, sastra memiliki kemungkinan yang paling luas dalam mengalihkan keragaman kejadian alam semesta ke dalam totalitas neratif semantis, dari kuantitas kehidupan sehari-hari kedalam kualitas dunia fiksional (Ratna, 2003:35).

Sastra dapat dikatakan sebagai cermin masyarakat, atau diasumsikan sebagai salinan kehidupan, tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya dapat tergambar dalam sastra. Yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial. Seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya.

(34)

1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.

2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.

3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.

4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. 5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas,

masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

(35)

Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, genre prosalah yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan, diantaranya adalah novel menampilkan unsur-unsur cerita paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling luas, bahasa novel juga cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa novel merupakan genre paling sosiologis dan responsif. Oleh karena itu pulalah, menurut Hauser dalam Ratna (2003:336) karya sastra lebih jelas dalam mewakili ciri-zamannya. Seperti dalam novel The Dragon Scroll yang menunjukkan kehidupan wanita dalam zaman feodal keshogunan.

(36)

Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan menurut Nyoman dalam Parinduri (2008:14-15) meliputi tiga macam, yaitu:

1. Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek intrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi.

2. Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika.

3. Menganalisis karya sastra dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan karya sastra sebagai gejala kedua.

Di dalam menganalisis dengan menggunakan sosiologi sastra, masyarakatlah yang harus lebih berperan. Masyarakatlah yang mengkondisikan karya sastra, bukan sebaliknya.

2.5Biografi Inggrid.J. Parker

Inggrid. J. Parker lahir di Munich, jerman pada tanggal 21 Maret 1962. Ia lahir dan besar disana. Ia adalah seorang penulis novel detektif atau misteri dan kisahnya yang paling terkenal adalah seri petualangan Akitada Sugawara, seorang detektif Jepang DI zaman Heian.

(37)

bukunya “Akitada’s First Case”, yang diterbitkan pada tahun 1999. Sampai saat ini, Inggrid. J. Parker tinggal di Virginia sebagai Professor Bahasa Inggris dan Asing di Norflok State University.

Inggrid. J. Parker memulai risetnya tentang Jepang di abad kesebelas dikarenakan ketertarikan profesionalnya pada literatur budaya Jepang pada masa tersebut. Hal ini yang membawanya untuk menulis cerita pertamanya tentang Akitada, “Instrument Of Murder”, yang diterbitkan di Majalah Alfred Hitchcock’s Mystery pada Oktober 1997.

(38)

BAB III

ANALISIS PARA TOKOH WANITA ZAMAN HEIAN

DALAM NOVEL THE DRAGON SCROLL

KARYA INGGRID J PARKER

3.1 Kehidupan Lady Tachibana Sebagai Masyarakat Golongan Atas

3.1.1 Dalam lingkungan keluarga

Berikut cuplikan kehidupan lady Tachibana sebagai masyarakat golongan

atas dalam lingkungan keluarga yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut.

Cuplikan 1 Hal 120

Akitada teringat sesuatu dalam perkataan Junjiro tadi dan memutuskan

untuk bertanya lebih jauh. “Lady Tacibana yang sekarang adanya baru-baru ini?”

Sato mengambil satu tarikan napas dan menyeka air mata. “Benar, tuan.

Dia puteri dari teman lama majikan hamba. Majikan hamba membawanya ke sini

sebagai isteri kedua karena janji beliau pada ayahnya yang meninggal. Ketika

isteri pertama meninggal, isteri kedua lalu mengambil alih rumah tangga.” Sato

menekan bibir dan melemparkan tatapan marah ke arah rumah itu. Jelas sekali dia

tak menyukai nyonya muda Tachibana.

Analisis

Dalam cuplikan diatas merupakan percakapan antara Akitada dan Sato.

Dalam percakapan tersebut Sato menyatakan bahwa Lady Tachibana merupakan

istri kedua Tachibana. Pada masa ini laki-laki boleh memiliki lebih dari satu istri

(39)

laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Tidak jarang juga banyak laki-laki yang

memiliki selingkuhan di luar rumah. Seperti kisah Genji Monogatari karya

Murasaki Shikibu, dalam ceritanya banyak menceritakan tentang perselingkuhan

para tokohnya.

Cuplikan 2 Hal 159

Kini akitada dapat melihat para rahib dan pelayat secara lebih baik. Para

pelayan, yang tinggal lima orang, berkumpul di sekitar Sato tua dan kelihatan

kurang sedih maupun ketakutan. Para pelayat, yang seluruhnya laki-laki dan

tampak asing bagi Akitada, yang memasang wajah alim ini sepertinya adalah

orang-orang yang lebih suka berada di tempat lain. Di mana teman-teman

Tachibana? Apakah mereka sudah mendahuluinya? Di mana teman-teman janda

itu?

Perempuan yang malang! Akitada tahu, gadis itu tak punya sanak-keluarga,

dan terlalu muda serta terlalu pemalu untuk menjalin hubungan pertemanan

dengan perempuan bangsawan dari keluarga tetangga. Akitada menjadi iba dan

melirik sekilas ke arah partisi itu. Rasanya dia mendengar isakan pelan, namun

sura itu tenggelam oleh lonceng kuningan yang baru.

Analisis

Cuplikan diatas merupakan keadaan Lady Tachibana yang mengikuti

proses upacara kematian suaminya. Dalam cuplikan tersebut tampak Akitada yang

menyaksikan kesedihan Lady Tachibana yang ditinggal suaminya diusia mudanya

(40)

Tachibana? Apakah mereka sudah mendahuluinya? Di mana teman-teman

janda itu?

Dalam cuplikan tersebut kesendirian Lady Tachibana tampak bahwa seorang istri

golongan atas pada masa ini menghabiskan sebagian besar hidup mereka dalam

rumah suami mereka. Sehingga Lady Tachibana ditambah usia mudanya tidak

memiliki teman segolongan dengannya.

Cuplikan 3 Hal 167-168

“kalau begitu, maukah kau mengizinkan aku membantumu menangani

urusan praktis? Aku menyandang pendidikan hukum dan pasti ada banyak sekali

berkas dan urusan kekayaan yang harus dihadapi tak lama lagi. Apakah Lord

Tachibana sudah menunjuk wali?”

Tangan janda itu bergerak-gerak dan mengepal. “Aku tak mengerti urusan

itu,” katanya. “Aku tidak tahu apa-apa tentang hal seperti itu. Tak seorang pun

yang datang menemuiku.”

Analisis

Dalam cuplikan di atas merupakan percakapan Akitada dan Lady

Tachibana dimana akitada sebagai seorang detektif menawarkan untuk menjadi

wali untuk menangani urusan kekayaan yang ditinggalkan oleh Tachibana.

Tergambar pada cuplikan “Tak seorang pun yang datang menemuiku.”Dalam

percakapan tersebut tampak bahwa Lady Tachibana merasa kesepian karena tidak

ada sanak keluarga yang datang mengunjunginya. Hal ini terjadi karena ada

(41)

teman yang mengunjunginya, hal ini terkait dalam cuplikan sebelumnya dimana

suami mengusir teman Lady Tachibana ketika sedang berkunjung kerumahnya.

Cuplikan 4 Hal 171

“ya, dia masih sangat muda.” Akitada mendesah. Pengasuh ini pantas

dipuji atas kasih sayang pada majikan kecilnya, walaupun celaannya terhadap

majikan laki-lakinya bukanlah hal yang pantas.

“Usianya baru tujuh belas tahun. Musim panas kemarin, kapten muda itu

datang berkunjung. Oh, betapa nyonya mudaku suka tertawa mendengar lelucon

dan ceritanya. Dia gadis yang berbeda saat itu. Tapi tuan tidak suka. Beliau justru

mengusirnya.”

Analisis

Cuplikan di atas merupakan percakapan Akitada dan pelayan Lady Tachibana

yang membicarakan Lady Tachibana yang masih sangat muda membutuhkan

perhatian dari seseorang yang membuatnya bahagia, tetapi karena dia menjadi

seorang istri Mantan gubernur, yang merupakan golongan atas, kebahagiannya

sirna karena usianya dengan suaminya terpaut jauh, terlepas dari itu, dari cuplikan

diatas pada kalimat “tapi tuan tidak suka. Beliau justru mengusirnya”tampak

bahwa seorang wanita yang sudah menikah bergantung pada suaminya, si suami

yang membatasi pergaulan istrinya dengan laki-laki lain. Jadi pada masa Heian

seorang wanita yang sudah menikah bergantung pada suaminya dalam arti si

suami kerap membatasi pergaulan si istri, meskipun dalam pergaulannya dengan

(42)

Cuplikan 5 Hal 273-274

“apa maksud anda?”

“Ibunya seorang pelacur di ibukota. Ayahnya kasmaran pada perempuan

ini sangat berkunjung ke sana, mengeluarkan dia dari sana lalu menjadikannya

sebagai gundik. Setelah ibunya melahirkan, ayahnya kehilangan minat.

Perempuan itu kembali ke dunia lamanya, membawa serta anak itu dan sejumlah

besar emas. Ketika perempuan itu meninggal, si anak dikirim kembali ke ayah

kandungnya yang, setelah awalnya syok, kemudian memanjakannya secara

berlebihan. Konon katanya, anak itulah yang menghancurkan ayahnya, dan dia

pun menghancurkan Tachibana dengan seleranya yang mahal.” Motosuke tampak

jijik. “Aku belum pernah bertemu dengannya. Apakah dia cantik sekali?”

Analisis

Cuplikan di atas merupakan percakapan mengenai latar belakang Lady Tachibana

yang diungkapkan oleh oleh Motosuke, seorang gubernur baru. Dalam cuplikan

tersebut menyatakan mengenai ibu Lady Tachibana adalah seorang gundik

ayahnya yang awalnya ibunya seorang pelacur. Hal ini berarti bahwa pada masa

Heian, sangat lazim bagi seorang laki-laki yang sudah menikah memiliki beberapa

istri dan menyimpan seorang gundik. Hal tersebut tampak dalam kalimat

Ayahnya kasmaran pada perempuan ini sangat berkunjung ke sana,

mengeluarkan dia dari sana lalu menjadikannya sebagai gundik”.

3.1.2 Dalam lingkungan sosial

Berikut cuplikan kehidupan lady Tachibana sebagai masyarakat golongan

(43)

Cuplikan 1 Hal 110-111

Sejenak perempuan itu terpaku, seperti pelayan tua tadi, menatap ke mayat

suaminya. Kemudian dia mulai terhuyung-huyung. Akitada sempat menangkap

sebelum janda jatuh menimpa mayat itu, lalu menggendongnya.

Badan perempuan ini sangat lemas, bobot badannya sangat ringan dan

lembut. Akitada mencium wewangian, tapi tak tahu apakah dari jubah atau rambut

suteranya yang panjang. Menggendong perempuan yang segolongan dengannya

adalah suatu pengalaman baru karena hal ini tak terbayangkan dalam kelompok

masyarakat mereka yang kaku. Dia merasakan dirinya memerah malu. Apa yang

dia lakukan pada perempuan ini ?. Dia tidak bisa membawanya melewati kebun.

Jika salah seorang pelayan lihat, beraneka gosip bisa bermunculan. Lebih buruk

lagi karena sang residen, Ikeda, yang berpikiran kotor, bisa datang sewaktu-waktu

dengan petugas koroner dan polisi.

Analisis

Dalam cuplikan diatas menunjukkan bahwa menyentuh wanita yang

segolongan merupakan hal yang dianggap tidak seharusnya. Tergambar dalam

cuplikan Akitada sempat menangkap sebelum janda jatuh menimpa mayat itu,

lalu menggendongnya. Badan perempuan ini sangat lemas, bobot badannya

sangat ringan dan lembut. Akitada mencium wewangian, tapi tak tahu apakah

dari jubah atau rambut suteranya yang panjang”.Menggendong perempuan

yang segolongan dengannya termasuk hal yang tidak diperbolehkan dalam aturan

(44)

Cuplikan 2 Hal 112

Akitada maju selangkah lalu membuka mulut untuk membalas, tapi

perempuan itu pergi disertai bunyi desiran halus, meninggalkan jejak harum

kehadirannya.

Akitada berdiri di ambang pintu, terpaku dan anehnya merasa kehilangan,

mengawasi Lady Tachibana berjalan kembali ke rumahnya, kimononya yang

warna-warni serta gerakan yang anggun mengingatkan Akitada akan seekor

kupu-kupu indah yang tak semestinya berada di dunia penuh salju di musim yang

dingin.

Analisis

Dalam cuplikan diatas merupakan kekaguman Akitada terhadap kecantikan Lady

Tachibana. Dalam cuplikan tersebut tampak bahwa seorang wanita golongan atas

mengenakan kimono berwarna-warni. Pada zaman Heian seorang wanita

golongan atas mengenakan Kostum dipilih berdasarkan jabatan dan musim.

Kimono perempuan menggunakan sistem kombinasi warna yang melambangkan bunga dan tanaman yang spesifik yang ada di suatu musim atau bulan, contohnya irome dan kasane no irome. Pada umumnya, perempuan yang belum menikah

mengenakan hakama warna gelap. Sementara, perempuan yang sudah menikah mengenakan hakama dengan warna-warna cerah, umumnya merah.

Cuplikan 3 Hal 133

“Mungkin tidak, setidaknya tidak seperti yang kau maksud,” Akitada

(45)

Dia berdiri, mengibas-ngibaskan jubah suteranya, dan berkata buru-buru,

“Rasanya aku harus melakukan kunjungan belasungkawa yang sepantasnya

kepada Lady Tachibana. Dia masih sangat muda dan belum berpengalaman.

Mungkin dia butuh bantuan untuk menangani tanah mendiang suaminya. Seimei,

rancanglah surat pembebasan untuk gubernur. Dan kau, Tora, sebaiknya mulai

melakukan pekerjaan yang berguna, seperti bercakap-cakap dengan penduduk

kota ini.”

Analisis

Dalam cuplikan diatas menunjukkn bahwa seorang wanita golongan atas

menggunakan baju sutera panjang yang tidak boleh dikenakan oleh wanita

golongan bawah.

Cuplikan 4 Hal 166-167

“Oh pekik janda itu. “Maaf. Kau pasti menganggapku buruk. Kau orang

penting dari ibukota, kan? Tak sepantasnya aku meminta hal seperti itu.”

“Tidak, tidak. Tidak sama sekali.” Akitada mengambil resiko. “aku akan

senang sekali mengunjungimu setiap hari bila kau izinkan. Aku merasa terhormat

dengan kepercayaan nyonya.”

Perempuan itu mengeluarkan helaan napas lega yang lembut dan

kemudian tangan kecilnya merayap keluar dari bawah tirai. Akitada menatap ke

arah itu. Menyentuh perempuan ningrat yang bukan anggota keluarga adalah hal

yang terlarang, tapi tangan itu begitu mungil dan tak berdaya, tangan anak kecil.

Dia boleh saja janda Tachibana, tetapi usianya masih muda, tak beda dari adiknya.

(46)

jaminan, perlu seseorang yang, betapa pun singkatnya, bisa menjadi kakak atau

ayah yang tak di milikinya. Akitada mencondongkan badan ke depan dan meraih

tangan itu dan menggenggamnya. Tangan itu terasa dingin mengibakan dan

bergelung antusias di jari-jari hangat akitada.

Analisis

Cuplikan diatas kembali menunjukkan bahwa menyentuh wanita golongan atas

yang bukan anggota keluarga merupakan hal yang terlarang dalam aturan pada

zaman ini. tergambar pada cuplikan “Perempuan itu mengeluarkan helaan

napas lega yang lembut dan kemudian tangan kecilnya merayap keluar dari

bawah tirai. Akitada menatap ke arah itu. Menyentuh perempuan ningrat yang

bukan anggota keluarga adalah hal yang terlarang, tapi tangan itu begitu

mungil dan tak berdaya, tangan anak kecil”.

Cuplikan 5 Hal 169

Pengasuh itu menggerutu dan berjalan melewatinya untuk meletakkan

kembali penopang tirai. Terdengar suara berbisik di antara kedua perempuan,

kemudian pengasuh itu berkata kasar, “Beliau perlu istirahat. Datanglah besok.”

Akitada berbalik untuk pergi.

“Jangan, tunggu,” teriak janda itu.

Akitada menunggu. Takut melihat janda di balik pembatas yang tak

selayaknya, Akitada menatap ke seberang ruangan, ke lukisan bangau menari-nari

yang digantung di antara sepasang meja ukiran tinggi, salah satu meja itu

memamerkan jambangan hijau giok berleher tipis dari Cina.

(47)

Dalam cuplikan diatas merupakan diaog antara pelayan Lady Tachibana dengan

Akitada yang sedang datang mengunjungi Lady Tachibana yang sudah berada

dalam ruangan Lady Tachibana. Karena seorang wanita bangsawan tidak boleh

berhubungan dengan laki-laki yang bukan kerabatnya, maka dalam ruangan

seorang wanita bangsawan memiliki tirai pembatas yang membatasi antara wanita

dengan tamu yang bukan kerabat. Hal tersebut tergambar dalam cuplikan

“Akitada menunggu. Takut melihat janda di balik pembatas yang tak

selayaknya”.

3.2 Kehidupan Ayako, Otomi sebagai Masyarakat Golongan Bawah

3.2.1 Dalam lingkungan keluarga

Berikut adalah kehidupan Ayako, Otomi sebagai masyarakat golongan

bawah dalam lingkungan keluarga yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut.

Cuplikan 1 Hal 72

Hikeguro berkata dengan rendah hati, “Putriku terlalu melebih-lebihkan,

tapi dia benar. Izinkan kami mengungkapkan rasa terima kasih. Waktu otot-otot

tungkai kakiku lumpuh, aku berkonsentrasi melatih lengan dan badan bagian atas.

Membengkokkan busur panah dan memanah ke sasaran adalah latihan yang bagus.

Begitu mulai mahir, aku lalu mengambil murid.”Dia menunjuk ke lembaran kertas

bertuliskan huruf yang menempel di dinding. “Kami hidup berdasarkan kata-kata

itu.”

(48)

“Tidak Kerja-Tidak Makan,” baca Hikeguro. “kami semua bekerja dengan

cara kami sendiri, termasuk puteri bungsuku. Dia melukis dan sangat baik dalam

bidang itu. Setelah bekerja seharian, puteri-puteriku berbagai pekerjaan rumah

tangga sementara aku membuat sandal jerami. Kau pasti mengira kami tuan

rumah yang sangat miskin. Bagaimana kalau tamu kita dijamu makanan,

anak-anak?”

Analisis

Dalam cuplikan diatas merupakan percakapan antara Hikeguro dan Tora.

Hikeguro mengungkapkan mengenai keadaan bagaimana dia hidup dengan kedua

anaknya Ayako dan Otomi. Dalam cuplikan ini kembali menunjukkan bagaimana

sebagai keluarga miskin untuk bertahan hidup dengan cara berkerja dengan keras

dengan kaum laki-laki. Hal ini terdapat dalam cuplikan “Tidak Kerja-Tidak

Makan,” baca Hikeguro. “kami semua bekerja dengan cara kami sendiri,

termasuk puteri bungsuku. Dia melukis dan sangat baik dalam bidang itu.

Setelah bekerja seharian, puteri-puteriku berbagai pekerjaan rumah tangga

sementara aku membuat sandal jerami.

Cuplikan 2 Hal 133

“Oh aku janji akan berusaha mempelajari apapun yang kau ajarkan,

Seimei,” kata Tora, “tapi kau salah tentang Otomi. Dia bisa membaca dan

menulis.”

“Bagaimana dengan puteri yang lain?”tanya Akitada.

Tora meringis. “Ayako? Dia jenis gadis yang maskulin. Membantu

(49)

Analisis

Dalam cuplikan diatas merupakan dialog antara Tora dan Akitada. Mereka sedang

membicarakan Otomi dan Ayako. Dalam cuplikan “Membantu ayahnya melatih

murid-muridnya seni bela diri”,menunjukkan bahwa seorang wanita golongan

bawah bekerja bahu-membahu dengan kaum laki-laki pada masa Heian.

Tergambar pada cuplikan tersebut, Ayako seorang wanita yang berkerja keras

membantu ayahnya, sekalipun pekerjaan tersebut hany pantas dilakukan oleh

laki-laki.

Cuplikan 3 Hal 191

Selama bercerita kisah tragis ini, senyum tak hilang dari wajahnya, dan

Akitada sangat tersentuh oleh ketabahan luar biasa itu. “Kau mengalami

kehidupan yang sangat sulit,” katanya dengan kikuk.

“Sama sekali tidak. Aku orang yang beruntung. Ayako membantuku

mengelola sekolah, dan Otomi menghasilkan banyak uang dengan

lukisannya.”Dia tersenyum dengan penuh kasih sayang dan kebanggaan luar biasa

pada kedua puterinya.

Analisis

Dalam cuplikan diatas kembali menunjukkan bahwa seorang wanita yang

belum menikah tergantung pada orangtuanya. Dan juga bekerja bahu-membahu

dengan kaum laki-laki. Hal ini tergambar pada cuplikan “Sama sekali tidak. Aku

orang yang beruntung. Ayako membantuku mengelola sekolah, dan Otomi

menghasilkan banyak uang dengan lukisannya.”Dia tersenyum dengan penuh

(50)

3.2.2 Dalam lingkungan sosial

Berikut adalah kehidupan Ayako, Otomi sebagai masyarakat golongan

bawah dalam lingkungan sosial yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut.

Cuplikan 1 Hal 44

Tora tiba-tiba bersiul.

“Ada apa?” tanya Seimei, mengangkat pandangannya dari cangkir sake

yang kosong.

Tora menunjuk. “lihat gadis itu! Cantiknya. Lehernya luar biasa! Belum

lagi pinggul dan pahanya!”

Di seberang penginapan, seorang penjual sayuran sedang mengatur

keranjang berisi lobak, kacang, tumbuhan jamu, kentang manis, dan kastanye.

Seorang gadis cantik, yang rambutnya diikat sesuai gaya wanita kelas rendahan

dan badan rampingnya dibungkus ketat gaun katun bergaris polos, sedang

menawar sebongkah lobak besar dengan tangan yang terus digerakkan.

Analisis

Dalam cuplikan diatas menunjukkan bahwa wanita golongan bawah pada

umumnya menggunakan pakaian dari bahan katun polosdengan gaya rambut yang

diikat biasa. Berbeda dengan wanita golongan atas yang memakai kimono sutera

berlapis dengan warna cerah atau gelap. Hal ini tergambar pada cuplikan

Seorang gadis cantik, yang rambutnya diikat sesuai gaya wanita kelas

rendahan dan badan rampingnya dibungkus ketat gaun katun bergaris polos,

(51)

bawah yang menggunakan pakaian katun tanpa berlapis dengan rambut yang

hanya diikat.

Cuplikan 2 Hal 60

Di persimpangan ketiga, Tora beruntung sekilas dia melihat jubah sefron

membelok menghilang di ujung jauh sana lalu dipercepatlah larinya. Ketika

berbelok di tikungan itu, dia melihat mereka. Gadis langsing itu melawan sambil

meronta-ronta di antara dua orang penangkapnya yang berotot. Salah seorang

rahib menampar keras gadis itu.

Tora meraung dan melompat. Menarik kerah kedua orang itu, dia lalu

menyentaknya ke belakang. Diserang secara mengejutkan, mereka pun terjungkal.

Tora menendang ke bagian iga salah satu rahib, kemudian menarik jubah sang

rahib lalu meninjunya. Rahib itu jatuh tanpa bersuara. Tapi ketika berbalik untuk

menghadapi temannya, Tora melihat rahib itu sudah mengambil langkah seribu,

jubah kuningnya diangkat sampai lutut dan sandalnya menggelepak-gelepak di

ujung kakinya yang panjang.

Gadis itu meringkuk di dinding sebuah pondokan, ujung lengan bajunya

menekan bibirnya yang berdarah.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Tora menghampiri.

Gadis itu mengangguk pelan, menatapnya dengan mata lebar berurai

tangis.

Analisis

Dalam cuplikan diatas menunjukkan bahwa meskipun kaum wanita golongan

(52)

sasaran empuk para laki-laki jahat. Hal ini tergambar dalam cuplikan Gadis

langsing itu melawan sambil meronta-ronta di antara dua orang penangkapnya

yang berotot. Salah seorang rahib menampar keras gadis itu.Cuplikan tersebut

menunjukkan bahwa Otomi yang sedang santai berbelanja diganggu oleh

sekumpulan rahib-rahib jahat.

Cuplikan 3 Hal 71

Tora terguncang. Dia tak menatap bagian bawah badan laki-laki itu,

alih-alih menatap berang ke Ayako. Petarung perempuan! Memang ada beberapa kisah

tentang perempuan seperti itu, tapi Tora sangat tersinggung karena merasa tak

sepatutnya begitu. Kaum perempuan diharapkan untuk lemah, lembut,

menyenangkan dan melayani pria mereka. Mungkin ada pengecualian dalam

kasus ini. sang ayah lumpuh dan tak memiliki putera sebagai penerusnya, tapi

dalam pandangan Tora, Ayako bukan lagi perempuan idaman.

Analisis

Dalam cuplikan diatas menunjukkan bahwa seorang wanita pada zaman Heian

tidak lebih berharga dengan laki-laki. Kedudukan Laki-laki lebih utama dibanding

dengan kedudukan wanita. Hal tersebut tergambar dalam cuplikan Kaum

perempuan diharapkan untuk lemah, lembut, menyenangkan dan melayani

pria mereka.Pada cuplikan tersebut Tora menganggap wanita hanya diharapkan

untuk melayani laki-lakinya. Tora merupakan gambaran yang mewakili laki-laki

lainnya pada zaman ini. karena dia tidak menyukai gaya wanita seperti Ayako

(53)

lagi-lagi penulis menganggap pengarang menngunakan karakter Ayako untuk bisa

menghidupkan atau menguatkan cerita novel The Dragon Scroll.

Cuplikan 4 Hal 132

Tora kelihatan senang. Melemparkan tatapan malu-malu kearah Seimei,

dia bertanya, “Menurutmu, pak, apakah orang seperti aku bisa belajar menulis?”

Melihat wajah kaget di kedua lawan bicaranya, dia menambahkan dengan muka

merona, “maksudku hanya beberapa huruf. Kata-kata menyenangkan yang

mungkin seorang gadis suka mendengarnya.”

Seimei mendengus kembali. “aku akan ajari cara memegang kuas dan

mengarahkan sapuan,” katanya, “tapi keahlian ini jauh lebih bernilai daripada

sekadar menulis surat cinta. Bagaimanapun, kaum perempuan tak bisa membaca

atau menulis. Kepala mereka tak bisa mencerna hal-hal seperti itu.”

“Oh, aku janji akan berusaha mempelajari apa pun yang kau ajarkan,

Seimei,” kata Tora, “tapi kau salah tentang Otomi. Dia bisa membaca dan

menulis.”

Analisis

Dalam cuplikan diatas menunjukkan bahwa pada zaman Heian kaum

wanita golongan bawah tidak banyak atau bahkan sebagian besar mereka tidak

bisa membaca dan menulis. Kegiatan membaca dan menulis hanya dilakukan oleh

kaum masyarakat golongan atas. Seperti karya Genji Monogatari yang ditulis oleh

seorang wanita pertama pada era Heian Lady Murasaki Shikibu. Pada era inilah

karya sastra diperkenalkan di Jepang. Tetapi tidak untuk wanita golongan bawah.

Hal ini tergambar pada cuplikan “Bagaimanapun, kaum perempuan tak bisa

(54)

“Oh, aku janji akan berusaha mempelajari apa pun yang kau ajarkan,

Seimei,” kata Tora, “tapi kau salah tentang Otomi. Dia bisa membaca dan

menulis.”. dalam cuplikan tersebut tampak bahwa meskipun Otomi berasal dari

golongan bawah, tetapi dia bisa membaca dan menulis. Penulis menganggap hal

ini merupakan salahsatu tindakan pengarang untuk menghidupkan cerita novel ini.

Cuplikan 5 Hal 136

“Tidak, tapi aku perlu melihat Otomi. Rahib-rahib itu mengintai di sekitar

sini lagi.”

Alis mata Higekuro terangkat. “Betulkah? Baiklah, dia akan pulang

sebentar lagi.”

Tora mengerutkan dahi. “kalau begitu, aku akan tunggu dia, ” katanya.

“Tunggu saja sendiri.” Higekuro terkekeh-kekeh lagi dan kembali ke latihannya.

Tora melangkah mondar-mandir, mulai kesal dan membayangkan yang

terburuk, sampai pintu terbuka dan Otomi bersama Ayako masuk dengan

membawa keranjang belanjaan. Dia membentak, “Kemana saja kalian? Tak

tahukah kau di luar sana itu berbahaya bagi dua perempuan?”

Analisis

Dalam cuplikan di atas kembali menunjukkan bahwa meskipuun wanita

golongan bawah memiliki kebebasan dalam pergaulan, tidak jarang mereka akan

diganggu oleh laki-laki jahat. Hal ini tergambar pada cuplikan Tora melangkah

mondar-mandir, mulai kesal dan membayangkan yang terburuk, sampai pintu

(55)

belanjaan. Dia membentak, “Kemana saja kalian? Tak tahukah kau di luar

sana itu berbahaya bagi dua perempuan?” pada cuplikan tersebut tampak bahwa

Tora yang khawatir pada ayako dan Otomi yang sedang keluar uantuk berbelanja.

Cuplikan 6 Hal 254

Jalanan yang biasanya sepi di sekolah Hikeguro kini menjadi dunia yang

berbeda. Dalam senja hari, para tetangga berbincang-bincang di jalan. Ayako pun

beradadi luar, bersandar pada sapu dan tertawa bersama seorang perempuan tua

yang menggendong anak kecil. Ayako hanya mengenakan baju terusan sederhana

dan rambutnya ditarik ke belakang lalu diikat pita, tapi jantung Akitada berhenti

berdetak.

Analisis:

Dalam cuplikan diatas menunjukkan kembali bahwa wanita golongan pada zaman

Heian menggunakan pakaian polos tidak berlapis seperti yang digunakan wanita

golongan atas. Dan dengan gaya mengikat rambut dibelakang.

Cuplikan 7 hal 448

Amarah mencekam Akitada. “Lancangnya kau menuduhku tidak memiliki

kehormatan?” hardiknya. “kaulah yang memberikan tubuhmu pada sersan

rendahan yang suka keluyuran demi mencari tempat bersembunyi dari hukum.

Kenapa kau tak berpikir kalau dia akan membuangmu kalau sudah terdesak untuk

pergi? Bagi orang seperti itu, kau hanyalah alat untuk bersenang-senang, mata

pencaharian, dan pengahangat di malam hari.”

(56)

Dalam cuplikan diatas menunjukkan bahwa pada masa Heian sex secara bebas

dipertukarkan di semua golongan, seperti tergambar pada cuplikan berikut

“kaulah yang memberikan tubuhmu pada sersan rendahan yang suka

keluyuran demi mencari tempat bersembunyi dari hukum. Kenapa kau tak

berpikir kalau dia akan membuangmu kalau sudah terdesak untuk pergi? Bagi

orang seperti itu, kau hanyalah alat untuk bersenang-senang, mata

pencaharian, dan pengahangat di malam hari.”Pada cuplikan tersebut tampak

Ayako berhubungan sex dengan laki-laki segolongan dengannya, yang

sebelumnya dia sudah melakukan hubungan itu dengan Akitada, seorang jaksa

(57)

BAB 1V

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Di akhir penulisan skripsi ini, penulis membuat kesimpulan dari

keseluruhan isi skripsi yaitu sebagai berikut:

1. Novel The Dragon merupakan novel karya I J Parker yang termasuk ke

dalam jenis novel misteri dengan setting sejarah pada zaman Heian

(794-1185), terutama kehidupan sosial masyarakat Jepang pada masa itu.

2. Novel The Dragon Scroll mempunyai beberapa tokoh wanita yaitu: Lady

Tacibana sebagai wanita golongan atas, Ayako dan Otomi sebagai wanita

golongan bawah. Di dalam novel ini dapat dilihat hubungan Lady

Tachibana sebagai wanita golongan atas dengan orang lain dalam

masyarakat dan bagaimana dia berinteraksi dengan orang lain. Begitu juga

dengan Ayako dan Otomi sebagai wanita golongan bawah bagaimana

mereka berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat.

3. Dalam novel The Dragon Scroll dapat dilihat peran wanita di masyarakat

Jepang pada zaman Heian sangat terbatas. Golongan perempuan kelas atas

menghabiskan sebagian hidup mereka didalam rumah orangtua atau suami

mereka, sedangkan perempuan golongan kelas bawah bekerja

bahu-membahu dengan kaum lelaki. Perempuan kelas atas bisa memiliki harta

benda, tetapi mereka dibawah kendali laki-laki. Perempuan kelas bawah

lebih memiliki kebebasan tapi sedikit bisa memiliki dan menikmati waktu

santai. Salah satunya Ayako, bukan tipe perempuan pada

(58)

golongan, dan laki-laki ningrat bukan hanya melakukan praktik poligami

tapi juga memiliki hubungan gelap sebagai sampingan.

4.2 Saran

1. Melalui skripsi ini penulis berharap agar apresiasi masyarakat terhadap sastra

lebih baik lagi, khususnya Novel yang berjenis sejarah. Karena selain

mendapatkan cerita yang bagus, berbagai macam pengetahuan pun dapat

diketahui, terutama terhadap novel The Dragon Scroll yang memang telah

dibaca oleh jutaan orang di dunia.

2. Penulis menyarankan pada siapa yang ingin menganalisis sebuah karya sastra,

terutama novel yang dilihat dari sosiologinya, terlebih dahulu harus

mengumpulkan berbagai referensi mengenai novel yang akan diteliti, seperti

zaman yang ada di dalam novel dan memahami dengan benar mengenai

Referensi

Dokumen terkait

Ketika sinyal dari masukan berlogika tinggi (0V) maka arus akan melewati dioda D2 (D2 on), kemudian arus tersebut akan membias transistor T2, sehingga arus yang akan mengalir

Secara umum, dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa telah dikembangkan instrumen tes untuk mengukur kemampuan berpikir matematis tingkat

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh

Bapak sudah memperhatikan saya.Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak." Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas telapak tangan

To make sure the data of speaking performance were collected more valid, every student has three rubric that scored by the teacher, the researcher and a volunteer

Ampas tebu juga dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan bioetanol karena memiliki kandungan selulosa dan hemiselulosa yang cukup tinggi.. Namun juga

Corollary 3 to the Mean Value Theorem tells us that ƒ decreases on de- creases on (0, 1), and increases on The First Derivative Test for Local Extrema tells us that ƒ does not have

Sedangkan model pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang dapat kita gunakan untuk merancang pembelajaran tatap muka di dalam kelas atau dalam