• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Potensi Kawasan Pesisir Bagi Pengembangan Ekowisata Di sekotong, Kabupaten Lombok Barat- NTB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Potensi Kawasan Pesisir Bagi Pengembangan Ekowisata Di sekotong, Kabupaten Lombok Barat- NTB"

Copied!
338
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI

PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG,

KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB

ARTIKA RATNA WARDHANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Potensi Kawasan Pesisir Bagi Pengembangan Ekowisata di Sekotong, Kabupaten Lombok Barat – NTB adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2007

(3)

ABSTRAK

ARTIKA RATNA WARDHANI. Kajian Potensi Kawasan Pesisir bagi

Pengembangan Ekowisata di Sekotong, Kabupaten Lombok Barat – NTB. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan UNGGUL AKTANI.

Kawasan pesisir Sekotong merupakan salah satu lokasi pengembangan ekowisata di Kabupaten Lombok Barat. Belum optimalnya pengelolaan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong, maka guna mendukung pengembangannya perlu adanya kajian mengenai potensi kawasan tersebut sebagai daerah ekowisata, baik dari segi lingkungan, ekonomi maupun aspek masyarakat setempat.

Tujuan dari penelitian ini adalah: (i) mengkaji potensi dan kondisi sumberdaya alam yang dapat dikembangkan untuk kegiatan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong; (ii) memperkirakan daya tampung wisatawan, sebagai kondisi supply; (iii) mengkaji potensi demand dan nilai ekonomi pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong serta (iv) mengkaji keterlibatan dan peran stakeholder dalam mendukung pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong. Metode yang dilakukan adalah: (i) identifikasi potensi dan kondisi sumberdaya melalui analisa supply dan analisa kesesuaian kawasan; (ii) analisa daya tampung wisatawan; (iii) analisa demand melalui TCM dan CVM serta (iv) analisa stakeholder.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, perairan dan pantai serta gugusan gili atau pulau-pulau kecil di kawasan pesisir Sekotong dapat dikembangkan untuk kegiatan ekowisata. Daya tampung wisatawan untuk kegiatan ekowisata di Sekotong adalah 864 sampai 1728 orang per- hari atau dalam setahun adalah sebanyak 250.560 sampai 501.120 HOW (Hari Orang Wisata). Jumlah tersebut merupakan kondisi supply bagi pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong.

Nilai ekonomi kawasan ekowisata Sekotong melalui metode travel cost adalah sebesar Rp 610.120,65 sedangkan melalui metode contingent value adalah sebesar Rp 30.311.181,00. Apabila daya tampung wisatawan di kawasan ekowisata Sekotong per-tahun dapat terpenuhi, maka nilai ekonomi kawasan tersebut adalah sebesar Rp 35.681.616,00 sampai Rp 71.690.587,00. Masyarakat dan pengusaha wisata setempat merupakan stakeholder utama, yaitu sebagai pelaku dan pemanfaat dari kegiatan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong. Pemerintah daerah setempat dan Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat berperan sebagai stakeholder kunci. Sedangkan stakeholder sekunder adalah instansi pemerintah lainnya, LSM dan akademisi, yang turut berperan sebagai pendukung kegiatan ekowisata di kawasan ini.

Kawasan pesisir Sekotong memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata, namun secara aktual kawasan ini memiliki nilai ekonomi yang relatif rendah dibandingkan potensi yang dimilikinya. Hal ini disebabkan permintaan wisatawan ke kawasan tersebut masih sangat sedikit dibandingkan kapasitas daya tampungnya. Kawasan ini memiliki potensi nilai ekonomi yang tinggi apabila pengembangan ekowisata di kawasan ini dikelola dengan baik dan benar, sehingga mampu mendatangkan wisatawan sesuai kapasitas daya tampungnya. Pengelolaan ekowisata di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong harus terintegrasi dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, manajemen dan kelembagaan.

Kata kunci: Kawasan pesisir, ekowisata, daya tampung wisatawan, nilai

(4)

ABSTRACT

ARTIKA RATNA WARDHANI. Study on Potency of Coastal Area for

Ecotourism Development in Sekotong, West Lombok– NTB. Under the direction

of ACHMAD FAHRUDIN and UNGGUL AKTANI

Coastal area of Sekotong was planned for ecotourism by Government of West Lombok District. Therefore, it was needed to study several aspects of coastal resources to support ecotourism. The objectives of this study were: (1) to identify natural resources for supporting ecotourism in coastal area of Sekotong, (2) to estimate physical carrying capacity for ecotourism activities, (3) to analyzed potential demand of ecotourism and (4) to analyze the involvement and role of stakeholders for supporting ecotourism development in Sekotong.

The methods used were: (1) supply analysis; (2) PCC by standard of WTO; (3) demand analysis and (4) stakeholder analysis. The data of coral life form were obtained by line transect sampling and then analyzed by land suitability for coastal ecotourism. The data of socio-economics were collected by interviewing several tourists and then analyzed by TCM and CVM.

The results of this study are: (1) coral reefs, mangroves and beach conditions are suitable for ecotourism (2) physical condition of coastal area of Sekotong can support ecotourism for 864 to 1728 tourists per day, (3) the economic values of ecotourism development are Rp 610,120.59 (using TCM analysis) and Rp 30,311,181.00 (using CVM analysis), and (4) the local community and the owner accomodation are act as primary stakeholders, while the local governments are act as key stakeholders and the other institutions are act as secondary stakeholders.

The development of ecotourism in coastal area of Sekotong should be implemented by coordination among stakeholders and integrated in all aspects, include: ecology, economic, social, management and institusional. Besides that, needs several activities, such as natural resources conservation, providing appropriate promotion, and infrastructure development, especially freshwater supply and accommodation facilities.

Keywords: coastal resource, ecotourism, physical carrying capacity, economic

(5)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

(6)

KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI

PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG,

KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB

ARTIKA RATNA WARDHANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis : Kajian Potensi Kawasan Pesisir bagi Pengembangan Ekowisata di Sekotong, Kabupaten Lombok Barat - NTB

Nama : Artika Ratna Wardhani

NRP : C251040011

Program Studi : Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir.Achmad Fahrudin, M.Si Dr. Unggul Aktani

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Manajemen Dekan Sekolah Pascasarjana

Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc Prof. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS

(8)

PRAKATA

Syukur Alhamdulilah Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si dan Bapak Dr. Unggul Aktani atas kesediaan dan kesabarannya dalam membimbing penulis. Terimakasih juga kepada Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku penguji dan Bapak Dr. Ir Mennofatria Boer, DEA serta Komisi Akademik SPL, yang telah banyak memberikan masukan. Disamping itu, penulis sampaikan penghargaan kepada Bapak Ir.H. Lalu Wardi, MS selaku Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi NTB dan Bapak Ir. IB. Made Swastika Jaya, M.Si selaku Kepala Balai Budidaya Laut Sekotong beserta staf, yang telah memberikan dukungan dan bantuan fasilitas selama di lokasi penelitian.

Ungkapan terimakasih serta penghargaan yang tiada terhingga, penulis haturkan kepada kedua orangtua yang senantiasa memberikan cinta dan dukungannya, walaupun ternyata tidak dapat menemani hingga selesainya pendidikan yang sedang penulis jalani. Semoga Allah SWT memberikan tempat yang mulia untuk kedua orangtua yang sangat penulis kagumi.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis, baik selama kegiatan perkuliahan maupun pada saat penelitian sampai selesainya penulisan tesis ini, terutama penyandang dana BPPS-Dikti, instansi (Universitas 45 Mataram), Staf Akademik SPL dan rekan-rekan SPL XI. Terimakasih juga kepada keluarga besar penulis (Mbak Ririn, Mbak Nindya, Mas Agung, Mbak Lusy dan Dik Wicaksono), serta keluarga: Mbak Nirmala dan Mbak Yanti, atas segala dukungan dan bantuannya. Teristimewa kepada suami, Mas Haryanto KA dan ananda tersayang: Adhyaksa Aussiedienta, Ayesha Almeria serta Aurellia Amethyssa, permohonan ma’af dan terimakasih yang tulus penulis sampaikan, atas segala pengertian, dukungan dan waktu yang telah kita lalui bersama dalam suka dan duka. Semoga Allah SWT memberkati dan melimpahkan RahmatNya kepada kita semua.

Akhir kata, seperti ungkapan tiada gading yang tak retak sebagaimana juga karya ilmiah ini yang jauh dari kesempurnaan, namun harapan penulis semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 7 April 1971, dari Ayahanda Agus Suryawardhana (Alm) dan Ibunda Hj. Yun Setyawati (Alm-ah). Penulis merupakan putri kelima dari enam bersaudara .

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Perumusan Masalah... 3

Perkiraan ... 4

Tujuan Penelitian... 4

Manfaat Penelitian... 5

Kerangka Pemikiran... 5

TINJAUAN PUSTAKA... 7

Konsep Ekowisata ... 7

Ekosistem dan Sumberdaya Wilayah Pesisir ... 9

Perencanaan Pengembangan Ekowisata ... 12

Kegiatan Ekowisata ... 14

Sediaan Wisata... 15

Permintaan Wisata ... 16

Konsep Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam ... 17

METODE PENELITIAN... 20

Lokasi dan Waktu Penelitian... 20

Teknik Pengumpulan Data... 20

Responden ... 24

Analisa Data ... 25

KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

Kondisi dan Potensi Sumberdaya Alam di Sekotong... 35

Daya Tampung Wisatawan... 48

Potensi Demand dan Nilai Ekonomi Ekowisata di Sekotong... 54

Keterlibatan dan Peran Stakeholder... 63

Peluang Keterlibatan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata di Sekotong... 72

Potensi Pengembangan Ekowisata di Perairan dan Gugusan Gili di Sekotong... 75

Kendala dalam Pengembangan Ekowisata di Sekotong... 79

Arahan Pengelolaan Ekowisata di Sekotong... 81

KESIMPULAN DAN SARAN... 88

DAFTAR PUSTAKA... 91

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Matrik kesesuaian dan sistem penilaian kelayakan untuk wisata pantai 2 Matrik kesesuaian dan sistem penilaian kelayakan untuk wisata bahari 3 Kondisi umum oceanografi di Kecamatan Sekotong... 4 Daya tampung wisatawan untuk wisata pantai berdasarkan standar

WTO... 5 Daya tampung wisatawan untuk wisata bahari berdasarkan standar

WTO... 6 Kebutuhan lahan akomodasi dan kebutuhan air tawar berdasarkan

jumlah daya tampung wisatawan menurut standar WTO... 7 Daya tampung wisatawan untuk wisata pantai berdasarkan modifikasi standar WTO... 8 Daya tampung wisatawan untuk wisata bahari berdasarkan

modifikasi standar WTO... 9 Kebutuhan lahan akomodasi dan kebutuhan air tawar berdasarkan

jumlah daya tampung wisatawan dengan modifikasi standar WTO... 10 Rata-rata biaya perjalanan wisatawan ke kawasan pesisir Sekotong.... 11 Persentase besaran nilai WTP wisatawan...

26 26 30

48

49

50

51

52

53

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram kerangka pemikiran penelitian... 2 Lokasi penelitian... 3 Grafik persentase pengamatan terumbu karang... 4 Peta kesesuaian wisata pantai... 5 Peta kesesuaian wisata bahari...

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta administrasi Kecamatan Sekotong... 2 Hasil identifikasi sumberdaya alam di Sekotong... 3 Hasil pengamatan terumbu karang... 4 Interval kelas kesesuaian kawasan ... ... 5 Identifikasi parameter kesesuaian wisata pantai di pulau-pulau kecil

Sekotong... 6 Identifikasi parameter kesesuaian wisata bahari di pulau-pulau kecil Sekotong... 7 Hasil penilaian kesesuaian kawasan untuk wisata pantai ... 8 Hasil penilaian kesesuaian kawasan untuk wisata bahari ... 9 Data analisa ekonomi ... 10 Hasil identifikasi wisatawan... 11 Sarana akomodasi di lokasi penelitian... 12 Matrik analisa stakeholder ... 13 Kuisioner untuk wisatawan domestik... 14 Kuisioner untuk wisatawan mancanegara... 15 Kuisioner untuk masyarakat... 16 Kuisioner untuk stakeholders... 17 Kondisi demografi dan sosial Kecamatan Sekotong ... 18 Dokumentasi penelitian...

96 97 102 103

104

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang dengan aneka ikan hiasnya. Pulau Lombok, merupakan salah satu wilayah Nusa Tenggara Barat yang memiliki potensi sumberdaya alam pesisir yang relatif alamiah, sehingga saat ini menjadi salah satu alternatif tujuan wisata bahari setelah Pulau Bali (Bappeda NTB 2000). Bagi pulau kecil yang memiliki keterbatasan lahan, maka pembangunan pariwisata merupakan alternatif yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi bagi daerah tersebut. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka pembangunan pariwisata di Pulau Lombok diharapkan dapat menjadi salah satu andalan sumber pendapatan daerah NTB.

Namun demikian, dalam pembangunan pariwisata perlu dipertimbangkan bahwa kegiatan pariwisata merupakan jasa pelayanan, sehingga dalam memanfaatkan sumberdaya alam guna mendukung pelayanan pariwisata, maka haruslah: (i) tidak merusak tata lingkungan hidup manusia; (ii) dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh, dan (iii) memperhitungkan generasi yang akan datang (Reksohadiprodjo dan Brojonegoro 1992). Dahuri et al. (1996) menambahkan, bahwa dalam perencanaan pengembangan pariwisata di wilayah pesisir hendaknya dilakukan secara menyeluruh, termasuk diantaranya inventarisasi dan penilaian sumberdaya yang cocok untuk pariwisata serta perkiraan tentang berbagai dampak terhadap lingkungan pesisir, karena keindahan dan keaslian alam merupakan modal utama bagi obyek wisata.

(15)

yang dapat dilakukan untuk pengelolaan pariwisata berkelanjutan di daerah ini adalah melalui pengembangan kawasan wisata yang ditujukan bagi pemanfaatan yang tidak bersifat eksploitatif, yaitu berkonsep ekowisata.

Menurut Western (1993) dan Lindberg (1995), ekowisata diartikan sebagai

perjalanan bertanggungjawab ke wilayah-wilayah alami, yang melindungi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Dalam hal ini terdapat penegasan bahwa aspek yang terkait tidak hanya bisnis seperti halnya pariwisata massal, tetapi lebih cenderung pada pariwisata minat khusus dengan obyek dan daya tarik wisata alam. Jadi, ekowisata merupakan sebuah konsep pariwisata yang menggabungkan suatu komitmen yang bertanggungjawab terhadap alam, ekonomi dan sosial.

Sekotong merupakan salah satu kawasan pesisir Kabupaten Lombok Barat yang terletak di bagian Selatan Pulau Lombok. Dalam RTRW Pesisir dan Laut Kabupaten Lombok Barat Tahun 2004, pemerintah daerah setempat telah menetapkan rencana pengembangan kawasan ekowisata di Pantai Sekotong serta di Gili Gede dan sekitarnya. Kawasan ini memiliki gugusan gili, yaitu pulau-pulau sangat kecil yang potensial untuk dikembangkan sebagai daerah tujuan ekowisata. Kemudahan aksesnya dari Bali serta keunikan kawasan yang memiliki keindahan panorama yang masih relatif alami hampir di sepanjang pantai, merupakan faktor yang sangat mendukung diupayakannya ekowisata.

Konsep pemanfaatan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong ini pada dasarnya juga telah sesuai dengan RTRW Pesisir dan Laut Pulau Lombok Propinsi NTB Tahun 2000, dimana disebutkan bahwa kawasan Gili Gede dan sekitarnya yang mencakup dua desa, yaitu Desa Pelangan dan Desa Sekotong Barat merupakan daerah kawasan lindung dan kawasan resapan air, karena di kawasan ini terdapat TWA Bangko-Bangko dan TWA Pelangan.

(16)

pencemaran oleh adanya kegiatan dan aktivitas-aktivitas lain yang berkaitan dengan ekowisata, sehingga dapat menurunkan nilai ekologi dan nilai ekonomi sumber daya alam dan lingkungan yang mendukung keberlanjutan usaha ekowisata tersebut.

Belum optimalnya pengelolaan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong, maka guna mendukung pengembangannya perlu adanya kajian mengenai potensi kawasan tersebut sebagai daerah ekowisata, baik dari segi lingkungan, ekonomi maupun aspek masyarakat setempat. Atas dasar pemikiran tersebut, maka dilakukan penelitian yang berjudul “Kajian Potensi Kawasan Pesisir Bagi Pengembangan Ekowisata di Sekotong, Kabupaten Lombok Barat - NTB”.

Perumusan Masalah

Aktivitas wisata telah ada di kawasan pesisir Sekotong sejak tahun 1990-an, namun sejauh ini belum mengalami perkembangan yang berarti. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, apakah dari segi potensi sumberdayanya, dari segi permintaannya atau dari dukungan sosial masyarakatnya.

Dari segi potensi sumberdaya, kawasan pesisir Sekotong memiliki pantai berpasir putih, ekosistem mangrove dan terumbu karang serta gugusan pulau-pulau kecil. Potensi ini dimiliki oleh masing-masing lokasi dengan kondisi yang berbeda-beda, oleh karena itu perlu diketahui bagaimana kondisi potensi sumberdaya alam di kawasan ini agar dapat menentukan kegiatan ekowisata yang sesuai dengan potensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh masing-masing lokasi. Pemilihan lokasi wisata yang sesuai dengan aktivitas wisatawan akan berpengaruh pada tingkat kepuasan dan tingkat kunjungan wisatawan. Pemilihan lokasi yang kurang sesuai dengan kegiatan wisatawan dapat menimbulkan kekecewaan karena ternyata kondisi lokasi tidak seperti yang diharapkan oleh wisatawan, yang pada akhirnya akan menurunkan intensitas kunjungan wisatawan.

(17)

wisatawan untuk berkunjung ke kawasan pesisir Sekotong. Namun, jumlah wisatawan yang berada di kawasan ini tidak boleh melebihi kapasitas daya tampungnya tersebut, agar tidak menganggu keseimbangan ekosistem yang berada di kawasan ini, sehingga permintaan ekowisata di kawasan ini dapat berkelanjutan.

Sedangkan dari segi sosial, perlu dilakukan kajian bagaimana dukungan masyarakat terhadap kegiatan ekowisata di kawasan ini, baik dari masyarakat setempat maupun masyarakat dalam arti luas, yaitu stakeholder yang terdiri dari para pelaku usaha, instansi pemerintah dan lembaga non pemerintah serta akademisi. Hal ini karena dukungan stakeholder sangat berpengaruh bagi prospek pengembangan ekowisata yang berkelanjutan, agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi berbagai pihak.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong adalah:

1. Bagaimana keberadaan potensi sumberdaya alam yang dapat dikembangkan sebagai peluang kegiatan ekowisata di kawasan ini?

2. Bagaimana memperkirakan daya tampung wisatawan sebagai kondisi supply bagi pengembangan ekowisata di kawasan ini?

3. Bagaimana potensi demand dan nilai ekonomi pengembangan ekowisata di kawasan ini?

4. Bagaimana keterlibatan dan peran stakeholder dalam mendukung pengembangan ekowisata di kawasan ini?

Perkiraan

Berdasarkan permasalahan di atas, diajukan perkiraan bahwa potensi supply dan potensi demand serta peranan stakeholder berpengaruh dalam merumuskan arahan pengelolaan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji kondisi dan potensi sumberdaya alam yang dapat dikembangkan untuk kegiatan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong.

2. Memperkirakan daya tampung wisatawan, sebagai kondisi supply dalam pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong.

(18)

4. Mengkaji keterlibatan dan peran stakeholder dalam mendukung pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai :

1. Bahan pertimbangan bagi pihak pengelola dan instansi terkait dalam pengelolaan ekowisata di kawasan pesisir, terutama di Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat.

2. Bahan kajian ilmiah dalam pengembangan ekowisata, khususnya dalam aspek rencana pengelolaan untuk kawasan pesisir.

3. Sarana informasi bagi masyarakat dalam upaya turut berpartisipasi dalam kegiatan ekowisata, melalui pelestarian budaya dan peningkatan kreativitas usaha.

Kerangka Pemikiran

Kawasan Sekotong memiliki sumberdaya alam yang berpotensi sebagai obyek wisata. Namun demikian, potensi tersebut akan cepat rusak bila pengelolaannya bersifat eksploitatif dan tidak ramah lingkungan. Agar pengelolaan pariwisata di kawasan tersebut berkelanjutan, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah berdasarkan konsep ekowisata.

Upaya pengelolaan kawasan pesisir Sekotong melalui pengembangan ekowisata harus memperhatikan berbagai aspek, baik dari aspek masyarakat setempat, wisatawan, maupun kelestarian potensi wisata yang ada. Agar pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong dapat berkelanjutan, maka diperlukan suatu pengelolaan yang tepat. Salah satu upaya guna mendukung kegiatan tersebut adalah melalui penelitian tentang potensi sumberdaya, potensi permintaan dan nilai ekonomi serta peranan stakeholder (masyarakat, LSM, pemerintah dan swasta) bagi pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong.

(19)

mengestimasi kebutuhan air tawar serta kebutuhan lahan untuk akomodasi dan penampungan limbah. Selanjutnya, pada tahap keempat melakukan analisa demand, yaitu mengkaji potensi permintaan wisatawan terhadap ekowisata di kawasan ini melalui Travel Cost Method dan Contingent Value Method. Dari hasil analisa demand dan hasil penentuan daya tampung wisatawan tersebut dapat diketahui nilai ekonomi dari pengembangan ekowisata di kawasan ini. Terakhir tahap kelima, melakukan analisa stakeholder, yaitu mengidentifikasi keterlibatan dan peran pihak pengelola (pemerintah, masyarakat, LSM dan dunia usaha atau pihak swasta) dalam menunjang kegiatan ekowisata di kawasan tersebut. Selanjutnya dirumuskan arahan pengelolaan dalam pengembangan ekowisata di kawasan pesisir Sekotong, berdasarkan kondisi di lokasi dan studi pustaka yang mendukung.

Secara skematik, kerangka pemikiran penelitian adalah sebagai berikut:

Keterangan :

TINJAUAN PUSTAKA

Analisa Demand

Pengelolaan Ekowisata Berkelanjutan

Analisa Supply (Identifikasi Kondisi dan Potensi

Sumberdaya) Analisa

Stakeholder

Analisa Kesesuaian Kawasan

TCM

CVM GIS

Daya tampung wisatawan

Nilai Ekonomi Atraksi dan

kegiatan Ekowisata

Alur penelitian

Tool yang digunakan dalam analisis TCM : Travel Cost Method

CVM : Contingent Value Method

Kawasan Pesisir Sekotong

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Ekowisata

Ada berbagai definisi tentang konsep ekowisata yang dikemukakan oleh para ahli, dimana berbagai definisi tersebut menunjukkan masih terus berkembangnya konsep ekowisata. Pengertian ataupun ide yang terkandung dalam ekowisata telah lama dilakukan orang, namun pada banyak makalah disebutkan bahwa Hector Ceballos Lascurain adalah yang pertama kali mempergunakan frasa ecotourism pada tahun 1983, yaitu mendefinisikannya sebagai suatu perjalanan ke daerah yang relatif belum terganggu atau yang bersejarah, dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, flora dan fauna serta atraksi budaya (Agrusa dan Guirdy 1999).

Cater (1993) dalam Agrusa dan Guidry (1999) juga menyatakan bahwa ekowisata mempunyai berbagai pengertian dari setiap orang yang berbeda latar belakang. Namun, pada prinsipnya didefinisikan sebagai perjalanan ke daerah alami yang melindungi budaya dan lingkungan, juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Ekowisata ini memberikan kesempatan pada negara-negara untuk memanfaatkan atraksi alam yang dimiliki guna menumbuhkan keuntungan ekonomi melalui pariwisata yang tidak merusak sumberdaya alam. Konsep ini didukung oleh Fennel (1999), yang mendefinisikan ekowisata sebagai suatu perjalanan dan kunjungan yang bertanggungjawab dari segi lingkungan ke alam yang relatif tidak terganggu, dalam rangka menikmati dan menghargai alam, mendukung konservasi, berdampak negatif pengunjung yang rendah dan memberikan manfaat bagi penduduk setempat melalui keterlibatan aktif mereka secara sosial ekonomi.

Pelaku konservasi alam melihat ekowisata sebagai kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan finansial dalam kegiatan konservasi serta meningkatkan kepedulian masyarakat akan pentingnya upaya-upaya konservasi alam. Sementara ilmuwan melihat ekowisata dapat mendukung dan melindungi lingkungan alami pada suatu kawasan konservasi, serta diharapkan dapat menjaga kelestarian lingkungan flora dan fauna (Adhikerana 2001).

(21)

kepada pengunjung. Wood (2002) juga berpendapat bahwa ekowisata merupakan perjalanan wisata yang bukan semata-mata mencari kesenangan dan hiburan dari suguhan lingkungan alami yang ditontonnya, melainkan diharapkan untuk ikut berpartisipasi langsung dalam membantu konservasi lingkungan sekaligus memperoleh pemahaman lebih dalam tentang seluk beluk ekosistem alam dan budaya, yang pada akhirnya akan membangunkan kesadaran tentang bagaimana ia harus bersikap di masa yang akan datang agar alam dan budaya tetap lestari.

Cater dan Lowman (1994) menambahkan, ada empat gambaran wisata yang berlabel ekowisata, yaitu: (i) wisata berbasis alam (nature based tourism), (ii) kawasan konservasi sebagai pendukung obyek wisata (conservation supporting tourism) (iii) wisata yang sangat peduli lingkungan (environmentally aware tourism) dan (iv) wisata yang berkelanjutan (sustainabilty of tourism).

The International Ecotourism Society mendefinisikan ekowisata sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke daerah-daerah alami yang melindungi lingkungan dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini berarti bahwa siapa saja yang melaksanakan dan berpartisipasi dalam aktivitas ekowisata harus mengikuti prinsip-prinsip berikut: (i) meminimalisir dampak; (ii) menghargai lingkungan dan budaya; (iii) memberikan pengalaman yang positif, baik pada pengunjung maupun penyelenggara; (iv) memberikan keuntungan dana secara langsung untuk konservasi; serta (v) memberikan keuntungan penghasilan dan memberdayakan masyarakat setempat [TIES- http://www.ecotourism.org].

Sementara itu, Ditjen Perlindungan dan Konservasi Alam (2000) menyatakan terdapat lima karakteristik dasar kegiatan ekowisata, yaitu:

1. Nature based, yakni ekowisata merupakan bagian atau keseluruhan dari alam itu sendiri, termasuk unsur-unsur budayanya, dimana besarnya keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya merupakan kekuatan utama dan sebagai nilai jual bagi pengembangan ekowisata;

2. Ecologically sustainable, yakni bersifat berkelanjutan secara ekologis, artinya semua fungsi lingkungan, baik biologi, fisik dan sosial selalu berjalan dengan baik, dimana perubahan–perubahan yang terjadi dijamin tidak mengganggu fungsi-fungsi ekologis;

(22)

dan masyarakat untuk lebih peduli terhadap konservasi, sehingga membantu kelestarian dalam jangka panjang;

4. Bermanfaat untuk masyarakat lokal, yakni dengan melibatkan masyarakat dalam kegiatan ekowisata, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat secara langsung dan tidak langsung bagi masyarakat, misalnya penjualan barang kebutuhan wisatawan, penyewaan sarana wisata, bertambahnya wawasan, biaya konservasi dan sebagainya;

5. Kepuasan wisatawan, yakni kepuasan akan pengalaman yang didapat dari fenomena-fenomena alam sehingga dapat meningkatkan kesadaran dan penghargaan terhadap konservasi alam dan budaya setempat.

Secara umum, tujuan ekowisata menurut Departemen Kehutanan (1993) dalam Arsyad (1999) adalah: (i) memelihara proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas manusia, (ii) melindungi keanekaragaman genetis melalui perlindungan terhadap keutuhan kawasan konservasi, (iii) menjamin pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam beserta ekosistemnya melalui upaya pemeliharaan terhadap daya dukung dan biodiversity.

Ekosistem dan Sumberdaya Wilayah Pesisir

Menurut Soegiarto (1976) dalam Dahuri et al. (1996), definisi wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Dalam suatu wilayah pesisir terdapat ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami antara lain terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa: kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture) dan kawasan pemukiman (Dahuri et al. 1996).

(23)

yang tidak bisa diperbaharui atau tidak dapat pulih (non-renewable or exhaustible resources), contohnya: bahan bakar alam, logam dan non logam, dan mineral lainnya; serta (iii) sumberdaya yang secara potensial bisa diperbaharui (potentially renewable resources), yaitu sumberdaya yang bila pemanfaatannya tidak melampaui batas-batas daya dukung akan mampu secara alami memperbaharui diri, contohnya adalah: terumbu karang (coral reef), hutan mangrove, padang lamun (seagrass bed), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. (Dahuri et al. 1996; Kusumastanto 2000).

Ekosistem Mangrove. Ekosistem mangrove seringkali disebut sebagai

hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau, dimana merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Namun, akibat ketergantungan terhadap aliran air tawar menyebabkan penyebaran mangrove juga terbatas (Dahuri et al. 1996).

Sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki beberapa fungsi ekologis penting, yaitu: (i) sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan penangkap sedimen; (ii) sebagai penghasil detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan yang rontok;serta (iii) sebagai daerah asuhan, daerah mencari makan dan daerah pemijahan berbagai biota perairan (Bengen 2004). Selanjutnya, pengelompokan komunitas mangrove menurut Macnae (1968) dalam Supriharyono (2000) dibagi dalam enam zona, yaitu: (i) zona perbatasan dengan daratan; (ii) zona semak-semak tumbuhan Ceriops; (iii) zona hutan Bruguiera; (iv) zona hutan Rhizopora; (v) zona Avicennia; dan (vi) zona Sonneratia.

(24)

komunitas burung sehingga dapat bermanfaat langsung sebagai area birdwatching, fotografi, dan canoeing (Huttche et al. 2002)

Ekosistem Terumbu Karang. Ekosistem terumbu karang sebagai

ekosistem dasar laut tropis yang komunitasnya didominasi oleh biota laut penghasil kapur merupakan: (i) tempat tumbuh biota laut, yaitu sebagai tempat memijah, mencari makan, dan daerah asuhan berbagai biota laut; (ii) sumber plasma nutfah; (iii) sumber bahan baku berbagai macam kegiatan, yaitu bahan bangunan, perhiasan, dan penghias rumah; serta (iv) obyek wisata bahari. Selain itu, ekosistem ini berfungsi sebagai pencegah erosi dan mendukung terbentuknya pantai berpasir, serta pelindung pantai dari hempasan ombak dan keganasan badai, sehingga mampu menjadi pelindung usaha perikanan di laguna dan pelabuhan-pelabuhan kecil (Nybakken 1992; Dahuri et al. 1996).

Berdasarkan bentuk pertumbuhannya, Dahl (1981) dalam Ongkosongo (1988) membedakan bentuk hewan karang menjadi enam jenis, yaitu: (i) karang bercabang (Branching); (ii) karang padat (Massive); (iii) karang kerak (Encrusting); (iv) karang meja (Tabulate); (v) karang daun (Foliose) dan (vi) karang jamur (Mushroom). Formasi terumbu karang tersebut selanjutnya secara struktural oleh Odum (1971); Sheppard (1963) dalam Ongkosongo (1988); dikelompokkan menjadi tiga tipe umum, yaitu: (i) terumbu karang tepi (fringing reef/ shore reef), (ii) terumbu karang penghalang (barrier reef) dan (iii) terumbu karang cincin (atoll). Diantara ketiga struktur tersebut, terumbu karang tepi yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia (Supriharyono 2000).

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang subur dan mempunyai produktvitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan terumbu untuk menahan nutrien dalam sistem serta berperan untuk menampung segala masukan dari luar (Nybakken 1992). Perairan ekosistem terumbu karang juga kaya akan keragaman spesies penghuninya. Salah satu penyebab tingginya keragaman spesies tersebut adalah adanya variasi habitat yang terdapat di terumbu, dimana ikan merupakan sumberdaya yang paling banyak ditemui. Keunikan dan keindahan ekosistem terumbu karang tersebut dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata bahari (Dahuri et al. 1996).

(25)

Perencanaan Pengembangan Ekowisata

Pengembangan ekowisata merupakan konsep wisata yang relatif baru, sehingga diperlukan perencanaan dan kebijakan agar upaya pengembangan yang dilakukan berjalan dengan baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan ekowisata. Secara konsep, Depdagri (2000) menyatakan bahwa untuk mengembangkan produk kegiatan ekowisata perlu memperhatikan berbagai hal, antara lain:

(i) Tata ruang, aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam tata ruang daerah tujuan ekowisata adalah: peruntukan kawasan, kepemilikan, sarana menuju kawasan ekowisata, ambang batas kawasan terhadap dampak kegiatan ekowisata dan topografi.

(ii) Sarana dan prasarana; low invest-high value merupakan konsep dalam pengembangan sarana akomodasi ekowisata, yaitu dengan menggunakan sumberdaya lokal yang ramah lingkungan.

(iii) Atraksi dan kegiatan; dimana keanekaragaman hayati dan ekosistem yang khas serta budaya yang unik merupakan kekuatan sekaligus nilai jual bagi pengembangan ekowisata.

(iv) Pendidikan dan penghargaan, dilakukan dalam rangka pengembangan kualitas SDM pelaksana kegiatan ekowisata, misalnya melalui pelatihan ecoguide, tour operator, perencanaan pemasaran dan lain-lain, yang bertujuan untuk memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat.

Sedangkan aspek teknis yang perlu diperhitungkan demi keberhasilan ekowisata menurut Adhikerana (2001) , diantaranya adalah:

(i) adanya konservasi sumberdaya alam yang sedang berlangsung;

(ii) tersedianya semua informasi yang diperoleh dari berbagai kegiatan penelitian di kawasan, serta penerapan hasil-hasil penelitian dalam pengelolaan kawasan;

(iii) tersedianya pemandu wisata yang benar-benar memahami seluk-beluk ekosistem kawasan;

(iv) tersedianya panduan yang membatasi penggunaan kawasan sebagai arena ekowisata, misalnya panduan tentang kegiatan yang dapat dilakukan, tentang zonasi kawasan sesuai dengan ekosistemnya, jalur-jalur yang dapat dilalui dalam kawasan, dan daya tampung kawasan;

(26)

(vi) tersedianya fasilitas pendukung yang memadai, terutama sarana dan prasarana wisata.

Hasil studi Isaacs (2000) mengemukakan bahwa ekowisata ditujukan sebagai kegiatan ekonomi yang dapat meminimalisir dampak negatif manusia pada habitat flora dan fauna serta memberikan insentif dalam menjaga alam lingkungan. Namun ternyata potensi ekowisata sebagai sebuah strategi konservasi flora-fauna tersebut dibatasi oleh ketidakmampuannya dalam melindungi kualitas lingkungan secara jangka panjang dan oleh kecenderungannya untuk secara langsung berkontribusi pada degradasi lingkungan. Hal ini dapat terjadi akibat kesalahan dalam menyelenggarakan jasa ekowisata yang cenderung berorientasi ekonomi. Keterbatasan tersebut dapat diatasi jika pemerintah dan pengusaha-pengusaha yang menyelenggarakan jasa ekowisata mampu untuk meminimalisir efek-efek kerusakan dari tingkah laku ekonomi manusia. Jadi dalam mempromosikan ekowisata sebenarnya harus lebih mengutamakan tentang perlindungan lingkungan.

Sedangkan studi Wall (1997) menyatakan bahwa kontribusi peranan pariwisata dalam pembangungan berkelanjutan tidak dapat dilihat sebagai aspek tunggal, tetapi harus dilihat keterkaitannya dengan aspek-aspek lainnya. Jika pariwisata ditujukan untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, maka harus meningkatkan secara ekonomi serta bertanggungjawab dalam aspek ekologi dan budaya. Dalam hal ini dipercaya bahwa suatu bentuk pariwisata yang berkelanjutan adalah ekowisata. Namun perlu diketahui bahwa pariwisata berkelanjutan dan ekowisata adalah tidak sama. Banyak ekowisata yang mungkin tidak dapat berkelanjutan, jika pengelolaannya tidak benar. Jika ekowisata diharapkan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, maka dibutuhkan perencanaan dan pengelolaan yang hati-hati.

(27)

kepuasan pengunjung tidak terpenuhi, sehingga memberikan dampak merugikan bagi ekonomi dan budaya masyarakat.

Kegiatan pembangunan dalam pengelolaan wilayah pesisir untuk wisata, akan tetap berkelanjutan jika memenuhi tiga persyaratan daya dukung lingkungan yang ada. Pertama, bahwa kegiatan wisata harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik (ekologis) sesuai persyaratan yang dibutuhkan untuk kegiatan ini. Kedua, jumlah limbah dari kegiatan wisata yang dibuang ke lingkungan pesisir hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi, yaitu kemampuan sistem lingkungan untuk menerima limbah tanpa terjadi indikasi pencemaran lingkungan atau bahaya kesehatan manusia. Ketiga, bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resource) hendaknya tidak melebihi kemampuan pulih sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu (Dahuri 1993).

Setiap daerah mempunyai kemampuan tertentu untuk menerima wisatawan, yaitu yang disebut daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan dinyatakan dalam jumlah wisatawan per satuan luas per satuan waktu. Daya dukung lingkungan tidak cukup hanya dilihat dari sarana pelayanan wisatawan, melainkan juga harus dari segi kemampuan lingkungan untuk mendukung sarana itu. Perencanaan wisata yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan akan menurunkan kualitas lingkungan dan rusaknya ekosistem yang dipakai untuk kegiatan wisata, sehingga akhirnya akan menghambat bahkan menghentikan perkembangan wisata itu (Soemarwoto 1997).

Kegiatan Ekowisata

Kegiatan ekowisata merupakan hal tentang menciptakan dan memuaskan keinginan akan alam, tentang eksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan, serta mencegah dampak negatif terhadap ekosistem, kebudayaan dan keindahan (Western 1993 dalam Lindberg dan Hawkins 1993). Ada beberapa bidang dalam kegiatan ekowisata yang berkaitan dengan bidang konservasi, yaitu tentang pengelolaan kawasan yang dilindungi, pembangunan berkelanjutan dan pendidikan lingkungan untuk konsumen (Boo 1993).

(28)

(i) Kegiatan ilmiah, merupakan kegiatan ekowisata yang ditujukan menambah pengetahuan tentang ekowisata. Kegiatan ini dapat berupa pengenalan: vegetasi mangrove, ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun dan pengenalan satwa liar.

(ii) Kegiatan penelitian, merupakan kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan suatu kawasan dan proses pengendalian dalam sistem pengelolaan ekowisata, karena melalui penelitian bisa dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan pengelolaan ekowisata.

(iii) Kegiatan rekreasi, merupakan kegiatan ekowisata yang diharapkan memberikan pengalaman yang berarti dan menyenangkan bagi wisatawan, misalnya: menikmati pemandangan (sight seeing), memotret (photo hunting), mengamati burung (bird watching), board walking, jogging, hiking, camping, panjat tebing, berjemur, olahraga pantai, menyelam, berenang, berlayar dan memancing.

(iv) Kegiatan budaya, merupakan kegiatan pengenalan budaya masyarakat setempat, berupa upacara-upacara adat, atau melihat kehidupan masyarakat lokal dalam melakukan kegiatan budidaya dan pengolahan hasil perikanan.

Sediaan Wisata

Kawasan yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata, perlu dipertimbangkan aspek-aspek yang memperhatikan tentang keberlanjutan, perlindungan lingkungan dan konservasi sumberdaya alam, serta ekosistemnya (Fandelli 2000). Analisa sediaan wisata diperlukan untuk mencapai suatu pengelolaan areal wisata yang baik, hal ini karena kompleksnya komponen yang ada dalam sistem kepariwisataan. Analisa tersebut akan memberikan informasi kepada publik tentang kemungkinan pengembangan yang akan dijadikan tempat-tempat wisata (Gold 1980 dalam Maryadi 2003).

(29)

Permintaan Wisata

Permintaan terhadap suatu komoditas timbul dari kemauan dan kemampuan dalam membeli komoditas tersebut. Teori permintaan mengatakan bahwa jumlah yang diminta (quantity demanded) dari suatu komoditas dipengaruhi oleh harga komoditas tersebut, pendapatan konsumen, harga komoditas lain yang berkaitan (substitusi atau komplemen) dan selera konsumen (Kusumastanto 1995). Selanjutnya, hukum permintaan (law of demand) menyatakan bahwa kuantitas produk yang diminta akan meningkat apabila harga menurun dan kuantitas produk yang diminta akan menurun apabila harga meningkat (Gaspersz 2000).

Beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan wisata menurut Yoeti (1990) adalah: (i) pendapatan, (ii) harga, (iii) struktur keluarga, (iv) kualitas obyek wisata sangat mempengaruhi apakah jasa tersebut akan dibeli orang atau tidak; (v) perubahaan cuaca; dan (vi) faktor hari libur. Sedangkan menurut Douglass (1970) diacu dalam Hermawan (1993) mengemukakan bahwa permintaan wisata dipengaruhi oleh kondisi masyarakat, ketersediaan waktu, keuangan atau tingkat pendapatan, dan komunikasi. Selain itu juga dipengaruhi oleh selera, alternatif wisata, atraksi, waktu perjalanan dan penawaran wisata yang meliputi seluruh daerah tujuan wisata yang ditawarkan kepada pengunjung. Penawaran wisata yang unsur-unsurnya terdiri dari ketersediaan (availability) dan keterjangkauan (accessibility) dapat mempengaruhi dalam permintaan wisata alam terbuka.

Menurut Lindberg dan Huber (1993) dalam Lindberg dan Hawkins (1993), konsep dasar untuk mengevaluasi pasar atau permintaan adalah tingkat kunjungan dan kesanggupan wisatawan untuk membayar suatu atraksi wisata. Faktor-faktor permintaan secara umum ditentukan oleh:

i. Pendapatan. Wisatawan yang lebih kaya akan melakukan perjalanan yang lebih banyak dan mampu membayar lebih.

ii. Populasi. Semakin banyak populasi akan semakin banyak permintaan wisata.

iii. Selera. Permintaan liburan ekowisata tergantung pada tingkat kesadaran dan kepedulian terhadap konservasi lingkungan.

(30)

v. Kompetisi antar obyek wisata. Semakin unik suatu obyek wisata, semakin tinggi biaya yang ditetapkan.

vi. Biaya perjalanan. Semakin rendah biaya perjalanan, semakin tinggi permintaan.

vii. Kualitas obyek wisata yang disuguhkan. Tempat-tempat yang menyuguhkan atraksi wisata yang menarik, beraneka ragam dan mudah untuk dilihat, akan lebih banyak permintaan.

viii. Kualitas pengalaman perjalanan. Perjalanan yang memberikan kualitas pengalaman, seperti: kondisi penginapan, makanan, guide dan lain-lain berpengaruh pada permintaan.

ix. Stabilitas politik dan ekonomi. Wisatawan cenderung memilih lokasi wisata ke negara yang memiliki kondisi politik dan ekonomi stabil.

x. Obyek wisata pendukung. Akan lebih banyak permintaan pada tempat-tempat yang memiliki banyak lokasi wisata.

Konsep Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam

Secara umum nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan membayar (willingness to pay = WTP) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dalam pengukuran nilai sumberdaya alam tidak selalu bahwa nilai tersebut harus diperdagangkan untuk mengukur nilai moneternya. Yang diperlukan di sini adalah pengukuran seberapa besar keinginan kemampuan membayar (purchasing power) masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa dari suatu sumberdaya (Fauzi 2004).

(31)

keberadaan suatu sumberdaya alam yang terlepas dari manfaat yang dapat diambil.

Teknik penilaian atau valuasi ekonomi sumberdaya alam yang tidak dipasarkan (non market valuation) menurut Fauzi (2004) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Pertama, teknik pengukuran tidak langsung (revealed WTP), yang meliputi travel cost, hedonic pricing, dan random utility process. Kedua, teknik valuasi secara langsung dari survei (expressed WTP), yaitu contingent valuation method (CVM), random utility model, dan contingent choice. Travel Cost Method. Kusumastanto (2000) mengemukakan beberapa konsep dalam metode valuasi dengan biaya perjalanan (Travel Cost Method), yaitu: (i) dapat digunakan untuk menilai daerah tujuan wisata alam; (ii) dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya terhadap respon pengunjung suatu obyek wisata; (iii) biaya perjalanan total merupakan biaya perjalanan PP, makan dan penginapan; serta (iv) surplus konsumen merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek wisata tersebut.

Pada dasarnya, prinsip kerja Travel Cost Method (TCM) menurut Fauzi (2004) cukup sederhana, yakni untuk mengetahui nilai sumberdaya alam yang atraktif dari suatu tempat rekreasi, misalnya pantai, dimana dilakukan melalui pendekatan proxy. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari sumberdaya alam tersebut.

Lebih lanjut Fauzi (2004) menjelaskan, secara umum ada dua teknik sederhana yang digunakan untuk menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM ini. Pertama, pendekatan TCM melalui zonasi, yaitu pendekatan TCM yang relatif simpel dan murah karena data yang diperlukan relatif banyak mengandalkan data sekunder dan beberapa data sederhana dari responden pada saat survei. Kedua, pendekatan individual TCM, dimana secara prinsip sama dengan sistem zonasi, namun pada pendekatan ini analisa lebih didasarkan pada data primer yang diperoleh melalui survei dan teknik statistika yang relatif kompleks. Kelebihan dari metode kedua ini adalah hasil yang relatif lebih akurat daripada metode zonasi.

(32)

per musim atau tidak sama sekali. Unsur ketertarikan tidak lagi disebabkan oleh jumlah trip, tetapi oleh pilihan tertentu apakah akan mengunjungi atau tidak lokasi yang dipilih.

Fauzi (2004) menambahkan, dalam menentukan fungsi permintaan untuk kunjungan ke tempat wisata, pendekatan TCM menggunakan regresi sederhana. Hipotesis yang dibangun adalah bahwa kunjungan ke tempat wisata akan sangat dipengaruhi oleh biaya perjalanan (travel cost) dan diasumsikan berkorelasi negatif, sehingga diperoleh kurva permintaan yang memiliki kemiringan negatif.

Contingent Value Method. Merupakan metode valuasi ekonomi sumberdaya yang didasarkan atas preferensi atau penghargaan manusia terhadap sumberdaya yang disediakan oleh alam. Preferensi ini sangat tergantung pada karakteristik manusianya, seperti pendapatan, umur, pendidikan dan sebagainya. CVM merupakan suatu teknik yang potensial untuk mengukur nilai barang-barang dan jasa yang tidak dipertukarkan di pasar atau yang tidak mempunyai harga pasar (Adrianto 2006).

Fauzi (2004) menambahkan bahwa Contingent Value Method (CVM) merupakan salah satu metode pengukuran nilai ekonomi sumberdaya secara langsung, dengan menanyakan kepada individu atau masyarakat mengenai keinginan mereka membayar (willingness to pay) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Pendekatan CVM secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi komputer dan kedua, melalui teknik survei. Secara operasional terdapat lima tahap dalam penerapan pendekatan CVM, yaitu: (i) membuat hipotesis

(33)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong bagian utara, tepatnya di Desa Sekotong Barat, Desa Pelangan dan Desa Batu Putih (Gambar 2), yang dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2006. Selanjutnya dilakukan analisa data serta pembuatan laporan atau penulisan tesis.

Teknik Pengumpulan Data

Data primer diperoleh secara langsung melalui metode observasi atau pengamatan di lapangan, dan juga melalui wawancara berdasarkan kuisioner. Data sekunder diperoleh melalui berbagai sumber, berupa laporan studi dan penelitian, publikasi ilmiah, publikasi daerah, dan peta-peta yang telah dipublikasikan.

Data yang dibutuhkan menurut tahap penelitian adalah sebagai berikut: 1. Analisa supply (identifikasi kondisi dan potensi sumberdaya), diperlukan:

a. Data primer, berupa pengamatan tentang:

¾ Fasilitas pendukung ekowisata (aksesibilitas menuju lokasi, infrastruktur, akomodasi, kebersihan dan kenyamanan lingkungan). ¾ Potensi sumberdaya, meliputi :

Profil pulau-pulau kecil dan kawasan pantai Sekotong.

Pengamatan yang dilakukan berupa kondisi fisik pantai, seperti tipe pantai, penutupan lahan pantai dan ketersediaan air tanah. Selain itu juga pengamatan terhadap kondisi flora dan fauna.

Kondisi terumbu karang.

(34)
[image:34.595.80.769.91.533.2]
(35)

Penutupan terumbu karang adalah persentase penutupan suatu jenis karang hidup pada suatu area tertentu dengan rumus

C =

[ ]

li/lx100% (English et al. 1994), dimana li = panjang

transek yang melalui lifeform ke i dan l adalah panjang garis transek. Selanjutnya data kondisi persentase total penutupan karang hidup yang diperoleh dikategorikan berdasarkan Gomes dan Yap (1988), yaitu:

a. 0% - 24,9% : penutupan karang kategori jelek b. 25% - 49,9% : penutupan karang kategori sedang c. 50% - 74,9% : penutupan karang kategori baik

d. 75% - 100% : penutupan karang kategori sangat baik.

Identifikasi Ikan Karang

Metode yang dilakukan untuk identifikasi ikan karang melalui pengamatan terhadap ikan-ikan karang yang ditemui sepanjang garis transek pada saat transek karang. Keberadaan ikan karang dicatat berdasarkan gambar panduan jenis-jenis ikan karang yang dibawa oleh penyelam, dan penentuan jenis ikan karang tersebut berdasarkan nama latin spesiesnya.

b. Data sekunder, berupa laporan studi dan penelitian tentang kondisi: terumbu karang di perairan Sekotong, ikan karang, mangrove, flora, fauna dan kondisi fisik kawasan, serta publikasi daerah tentang kondisi sosial, ekonomi, budaya, demografi dan infrastruktur di lokasi penelitian.

2. Analisa kesesuaian kawasan, yang diperlukan:

a. Data primer, berupa pengamatan dan pengambilan data insitu dari hasil identifikasi sumberdaya yang berkaitan dengan parameter kesesuaian kawasan untuk wisata bahari dan wisata pantai.

b. Data sekunder, berupa laporan studi dan penelitian yang mendukung, serta peta tematik Kecamatan Sekotong hasil kajian MCRMP NTB (2004), meliputi peta: ekosistem pesisir, penggunaan lahan, infrastruktur, batimetri, kecerahan perairan dan peta kecepatan arus.

3. Analisa daya tampung wisatawan, yang diperlukan:

(36)

4. Analisa demand

a. Data primer, berupa penyebaran kuisioner melalui wawancara pada wisatawan, untuk mengetahui:

- Profil wisatawan, yaitu: umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan asal wisatawan

- Motivasi kunjungan

- Penilaian wisatawan tentang kualitas lingkungan di lokasi

- Informasi biaya perjalanan, meliputi biaya: akomodasi, konsumsi serta pengeluaran lain menuju dan selama di lokasi (travel cost)

- Informasi contingent value tentang kesediaan untuk membayar (willingness to pay) terhadap jasa lingkungan yaitu obyek wisata yang dinikmati di lokasi.

b. Data sekunder, berupa informasi dan publikasi daerah dari instansi pemerintah atau swasta tentang kegiatan wisata di lokasi.

5. Analisa stakeholder

a. Data primer, berupa penyebaran kuisioner pada : ¾ masyarakat setempat, untuk mengetahui:

- kondisi sosial ekonomi masyarakat

- respon masyarakat terhadap wisatawan

- persepsi masyarakat tentang ekowisata

- peran dan kontribusi masyarakat dalam ekowisata. ¾ pihak swasta, untuk mengetahui:

- jenis dan aktivitas yang dilakukan di lokasi

- persepsinya tentang ekowisata

- peran dan kontribusi yang dilakukan dalam kegiatan yang berkaitan dengan ekowisata di lokasi.

- jumlah dan asal tenaga kerja

¾ LSM, untuk mengetahui:

- jenis dan aktivitas yang dilakukan di lokasi

- persepsinya tentang ekowisata

- peran dan kontribusi yang dilakukan dalam kegiatan yang berkaitan dengan ekowisata di lokasi.

¾ instansi pemerintah (mulai tingkat desa sampai propinsi), untuk mengetahui:

(37)

- jenis dan aktivitas yang dilakukan di lokasi

- persepsi instansi pemerintah tentang ekowisata

- peran dan kontribusi instansi pemerintah dalam mendukung pengelolaan ekowisata di lokasi.

b. Data sekunder, berupa laporan penelitian dan publikasi yang mendukung.

Responden

Responden diperlukan untuk pengambilan data primer melalui pengisian kuisioner, yang ditujukan pada:

a. Wisatawan

Responden untuk wisatawan dibagi menjadi dua kategori, yaitu wisatawan mancanegara (wisman) dan wisatawan domestik atau nusantara (wisnus). Pemilihan responden dari unsur wisatawan dilakukan di tiga titik lokasi, dengan pertimbangan di lokasi tersebut telah ada aktivitas wisata, yaitu di Gili Nanggu, Gili Gede dan Tanjung Bangko-Bangko. Sedangkan pelaksanaannya secara accidental sampling, yaitu sampel yang diambil dari siapa saja yang kebetulan ada dan bersedia menjadi responden (Soeratno dan Arsyad 1993), mengingat jumlah wisatawan yang datang di kawasan tersebut belum begitu banyak.

Wisatawan yang bersedia menjadi responden pada penelitian ini berjumlah 53 orang, terdiri dari 39 orang wisman dan 14 orang wisnus. Dengan rincian: 11 orang wisman dan 3 orang wisnus di Tanjung Bangko-Bangko, 7 orang wisman dan 2 wisnus di Gili Gede serta 21 orang wisman dan 9 orang wisnus di Gili Nanggu.

b. Masyarakat

(38)

c. Pengelola

Pemilihan responden dari unsur pengelola (stakeholder) lain, baik dari instansi pemerintah maupun swasta, ditentukan secara purposive sampling. Responden dipilih dengan pertimbangan merupakan pihak-pihak yang berperan secara langsung dalam pengelolaan wisata di lokasi atau pihak-pihak yang tidak berperan secara langsung namun telah berpengalaman di bidang ekowisata.

Pada penelitian ini, responden dari unsur swasta merupakan pihak yang secara langsung berprofesi sebagai pengelola wisata di lokasi, berjumlah tujuh orang, yaitu lima orang merupakan pengelola sarana penginapan (resort), serta pemilik sarana informasi wisatawan (tourism information center), dan pemilik diving club, masing-masing satu orang.

Responden dari unsur instansi pemerintah sebanyak 13 orang, yakni merupakan perwakilan instansi pemerintah yang berada di lokasi, yaitu Balai Budidaya Laut Sekotong (dibawah manajemen DKP Pusat), Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Pantai (dibawah manajemen DKP Propinsi NTB) dan kantor pemerintahan mulai dari tingkat desa sampai kecamatan, serta perwakilan dari instansi pemerintah yang tidak berada di lokasi namun secara langsung maupun tidak langsung berperan dalam pelaksanaan pengembangan ekowisata di Sekotong, yaitu: Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat, Dinas Pariwisata Propinsi NTB, Bappeda Propinsi NTB, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi NTB, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Lombok Barat, serta Dinas Kehutanan dan BKSDA Propinsi NTB.

Sedangkan responden dari unsur lembaga non pemerintah sebanyak empat orang, meliputi dua orang perwakilan dari LSM Koslata dan LSM Kenari serta dua orang perwakilan dari akademisi/ lembaga penelitian Universitas Mataram dan Universitas 45 Mataram. Jadi total responden dari unsur stakeholder selain masyarakat setempat adalah sebanyak 24 orang.

Analisa Data

Analisa yang digunakan pada penelitian ini adalah:

1. Analisa supply, yaitu merupakan identifikasi potensi dan kondisi sumberdaya yang dapat menjadi daya tarik ekowisata di suatu kawasan (Huttche et al. 2002).

(39)

(1996), lalu parameter tersebut di-overlay melalui teknik GIS (Geographic Information System), sehingga dihasilkan peta kesesuaian wisata pantai dan wisata bahari. Parameter yang digunakan dalam matrik kesesuaian dan sistem penilaian kelayakan untuk kesesuaian wisata pantai adalah seperti Tabel 1 berikut:

Tabel 1 Matrik kesesuaian dan sistem penilaian kelayakan untuk wisata pantai

Parameter Bobot S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor

Kedalaman dasar perairan (m)

10 1 -7 4 7 –12 3 12-18 2 >18 1

Material dasar perairan

15 Pasir 4 Karang berpasir

3 Karang hidup

2 Lumpur 1

Kecepatan arus (m/det) 10 0.06-0.098 4 0.098-0.105 3 0.105-0.112

2 0.112-0.12 1

Kecerahan perairan (m)

15 <6 4 6 – 8 3 8 - 10 2 10-12 1

Tipe pantai 20 Berpasir 4 Berpasir, sedikit karang

3 Pasir dan karang, sedikit terjal 2 Lumpur, karang, terjal 1 Penutupan lahan pantai 20 Kelapa, lahan terbuka 4 Semak belukar rendah, savanna 3 Belukar tinggi, hutan 2 Bakau, pemukiman, pelabuhan 1 Ketersediaan air tawar (km)

10 <0,5 4 0,5 - 1 3 1 – 1,5 2 >1,5 1

Total 100 S1 400 S2 300 S3 200 N 100

Sumber: Modifikasi Bakosurtanal (1996).

Parameter yang digunakan dalam matrik kesesuaian dan sistem penilaian kelayakan untuk kesesuaian wisata bahari tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Matrik kesesuaian dan sistem penilaian kelayakan untuk wisata bahari

Parameter Bobot S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor

Kecerahan perairan (m)

20 10 - 12 4 8 – 10 3 6 - 8 2 <6 1

Tutupan karang hidup (%)

50 >50 4 25 – 50 3 20 – 25 2 <20 1

Kecepatan arus (m/det) 20 0.06-0.098 4 0.098-0.105 3 0.105-0.112 2 0.112-0.12 1 Kedalaman dasar laut (m)

10 18– 24 4 12 – 18 3 7-18 2 <7 1

Total 100 S1 400 S2 300 S3 200 N 100

(40)

3. Analisa daya tampung wisatawan, yaitu jumlah maksimum wisatawan yang dapat ditampung oleh suatu kawasan dalam satu waktu kunjungan. Menurut Huttche et al. (2002) daya tampung wisatawan merupakan daya dukung fisik kawasan untuk menerima wisatawan. Rumus yang digunakan adalah:

Carrying Capacity (CC) = Area yang digunakan wisatawan Rata-rata kebutuhan area per-individu

Daya tampung wisatawan per-hari = CC x Koefisien Rotasi

Koefisien Rotasi = Jumlah jam area terbuka untuk wisatawan

Rata-rata waktu satu kunjungan

a. Daya tampung wisatawan untuk pariwisata berkelanjutan menurut standar WTO (Huttche et al. 2002; Wong 1991), meliputi:

(i) Wisata pantai dihitung berdasarkan kapasitas panjang pantai berpasir, yaitu kapasitas: (a) sedang: 15 m per-orang; (b) nyaman: 20 m per-orang dan (c) mewah: 30 m per-orang.

(ii) Wisata bahari (diving dan snorkeling) dihitung berdasarkan kapasitas luasan area wisata, yaitu pada penelitian ini adalah luasan tutupan terumbu karang yang dalam kondisi sedang sampai baik, meliputi kebutuhan area per- orang: (a) sedang: 15 m2 ; (b) nyaman: 20m2 dan (c) mewah: 30 m2 .

b. Daya tampung wisatawan untuk ekowisata dengan modifikasi standar WTO. Pertimbangan ini diambil karena pada kawasan ekowisata, suasana harus alami dan seolah-olah tidak ada wisatawan lain yang berkunjung. Jadi antara wisatawan yang satu dengan wisatawan lain tidak dapat berpapasan. Berdasarkan hal tersebut, pertimbangan yang diambil meliputi:

(i) Areal yang dibutuhkan wisatawan untuk wisata pantai adalah pantai pasir sepanjang 100 m per-individu, sedangkan wisata bahari adalah area ekosistem terumbu karang, untuk diving seluas 200 m2

per-individu dan untuk snorkeling seluas 50m2 per-individu.

(41)

4. Analisa demand, menggunakan Travel Cost Method (TCM) dan Contingent Value Method (CVM), yang diacu berdasarkan Fauzi (2004) dan Adrianto (2006).

(42)

KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Kondisi Geografis

Secara fisik, Kecamatan Sekotong Kabupaten Lombok Barat merupakan wilayah dataran rendah di tepi pantai, yang mempunyai topografi berbukit dan landai yang membentang di seluruh wilayah, serta pada beberapa kawasan juga terdapat rawa-rawa pasang surut. Adapun letak Kecamatan Sekotong berbatasan dengan:

- Sebelah Utara : Kecamatan Lembar

- Sebelah Selatan : Samudra Indonesia

- Sebelah Timur : Kabupaten Lombok Tengah

- Sebelah Barat : Selat Lombok

Secara administratif, terdapat 6 desa di Kecamatan Sekotong, yang hampir keseluruhannya memiliki wilayah yang berbatasan dengan pesisir dan laut. Keenam desa tersebut masing-masing adalah Desa Sekotong Tengah, Buwun Mas, Desa Kedaro, Desa Sekotong Barat dan Desa Pelangan serta Desa Batu Putih yang merupakan pemekaran dari Desa Pelangan sejak tahun 2006.

Luas wilayah daratan Kecamatan Sekotong Kabupaten Lombok Barat secara administrasi adalah sebesar 34.523 ha. Wilayah pesisir yang dimiliki terdiri dari: 316 ha lahan perikanan; 25 ha rawa-rawa; 5.000 ha hutan dan 2,5 ha hutan bakau atau mangrove (DKP Lobar 2005).

Di wilayah pesisir Sekotong, pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga tipe pantai, yaitu pantai berpasir, pantai berhutan mangrove, dan pantai berlumpur. Elevasi dataran pantai ini berkisar antara 5 m hingga 50 m. Panjang garis pantai yang dimiliki wilayah Kecamatan Sekotong adalah sepanjang 208.515,88 meter, yang terdiri dari panjang pantai kawasan daratan sepanjang 172.352,97 meter, ditambah keliling pulau-pulau kecil yang ada yaitu sepanjang 36.162,91 meter (DKP Lobar 2005).

Kondisi Iklim

(43)
[image:43.595.98.510.123.826.2]

Kondisi Oceanografi

Tabel 3 Kondisi umum oceanografi di Sekotong

Sumber : DKP Lobar (2005)

Kondisi Sosial

Pendidikan. Kualitas sumberdaya manusia di Desa Sekotong Barat dan

Desa Pelangan, termasuk Desa Batu Putih relatif masih rendah. Hal ini terlihat dari masih cukup besarnya jumlah penduduk yang berpendidikan tidak tamat sekolah dasar. Adanya indikasi banyaknya penduduk yang belum tamat SD tersebut menuntut tingkat kepedulian pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah tersebut agar jumlah penduduk yang berpendidikan lebih tinggi dapat meningkat. Sedangkan peningkatan kualitas SDM pada penduduk dewasa diperlukan guna mendukung pengembangan ekowisata di kawasan ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui pendidikan informal seperti pemberian pelatihan-pelatihan tentang ketrampilan yang berkaitan dengan wisata, seperti pembuatan kerajinan tangan, pemandu wisata, perhotelan dan sebagainya.

Mata Pencaharian. Berdasarkan data BPS tentang sektor pekerjaan

utama penduduk di Kecamatan Sekotong, diketahui bahwa sektor pertanian menduduki tempat tertinggi, dimana sektor pertanian yang dimaksud adalah dalam arti luas, termasuk peternakan dan perikanan. Jadi dari data tersebut, Parameter Kondisi Keterangan Kecepatan angin 35 knot

15 knot

Saat musim barat (Desember – Pebruari). Saat musim timur (Juni – September). Salinitas < 33 ppm

< 37,4 ppm < 34 ppm

Pada kedalaman 0 -100m Pada kedalaman 125-175m Pada kedalaman 300-400m.

Kedalaman laut 30 - 45 m,

kemiringan 7-8%

Pada jarak 600m dari garis pantai.

Gelombang Pasang surut

1 – 1,5m 1 – 1,5m

Kecepatan arus Arah arus

0,002-0,035 m/det Mengalir ke Timur Mengalir ke Barat

(44)

jumlah penduduk yang bekerja sebagai nelayan tidak dapat diidentifikasi dengan jelas, padahal cukup banyak penduduk yang bermukim di wilayah pesisir.

Curah hujan dan sumber air di kawasan ini terbatas, sehingga sebagian besar penduduk setempat hanya mengusahakan lahannya sebagai tegalan. Lahan yang produktif di kawasan ini sedikit, maka sebagian besar berupa semak belukar. Guna mengatasi hal ini diperlukan upaya pemerintah agar membudidayakan tanaman produktif yang tahan terhadap kekeringan namun bernilai ekonomi yang cukup tinggi.

Agama. Mayoritas penduduk di kawasan ini adalah beragama Islam, oleh

karena itu, dalam pengembangan ekowisata di kawasan ini harus mempertimbangkan budaya dan agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat setempat. Hal ini agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat sehingga pembangunan ekowisata di kawasan ini dapat menumbuhkan rasa aman dan nyaman baik bagi masyarakat maupun wisatawan.

Kondisi Prasarana dan Sarana Transportasi

Prasarana transportasi di sepanjang lokasi penelitian merupakan bagian dari sistem transportasi di Kecamatan Sekotong. Sistem transportasi utama di daerah ini meliputi transportasi darat dan transportasi laut.

Transportasi Darat. Prasarana transportasi darat yang ada di lokasi

penelitian meliputi jaringan jalan sepanjang 86 km yang terdiri dari : jalan di Desa Sekotong Barat sepanjang 39 km, yang meliputi jalan propinsi 16 km dan jalan desa sepanjang 23 km. Sedangkan jaringan jalan di Desa Pelangan sepanjang 47 km, meliputi jalan negara sepanjang 14 km, jalan propinsi sepanjang 11 km, dan jalan desa sepanjang 22 km. Sementara jaringan jalan di Desa Batu Putih belum ada data tersendiri, karena desa ini merupakan pemekaran dari Desa Pelangan, yang secara administratif baru berjalan di tahun 2006 ini.

(45)

pariwisata berbasis ekowisata. Kondisi jaringan jalan yang saat ini terbatas tentu akan menghambat minat wisatawan untuk datang berwisata. Padahal di TWA Bangko-Bangko tersebut selain berupa kawasan hutan juga memiliki perairan pantai yang merupakan areal surfing yang diminati banyak wisatawan mancanegara. Sebagai pertimbangan bagi pemerintah daerah setempat, pengembangan jaringan jalan di daerah ini merupakan hal yang penting dalam upaya pengembangan wilayah ini menjadi kawasan ekowisata, mengingat peran jalan sebagai akses kegiatan sosial ekonomi, dimana perkembangannya sangat tergantung dengan kondisi dan sarana jalan yang ada.

Sarana angkutan umum untuk barang dan penumpang yang terdapat di lokasi penelitian terdiri dari kendaraan roda empat atau angkutan pedesaan dan kendaraan roda dua yang dioperasikan oleh para tukang ojek. Kendaraan lain yang menjadi ciri khas daerah setempat dan juga ciri khas daerah Lombok adalah cidomo, yaitu semacam dokar namun menggunakan roda mobil. Sarana angkutan inilah yang mendukung kegiatan masyarakat sehari-hari.

Transportasi Laut. Prasarana transportasi laut sebagai akses menuju

kawasan pesisir Sekotong adalah berupa pelabuhan Lembar yang terletak berbatasan dengan Kecamatan Sekotong. Ada juga beberapa pelabuhan tradisional yang dijadikan sebagai sarana penyeberangan, seperti pelabuhan nelayan di Labuan Poh dan beberapa lokasi pelabuhan penyeberangan ke pulau-pulau kecil (gugusan gili). Selain itu, juga ada lokasi pendaratan ikan yang dimanfaatkan masyarakat nelayan setempat sebagai pelabuhan. Disamping itu, beberapa pengelola cottage dan resort juga membangun darmaga kecil atau jeti sebagai akses tempat berlabuhnya kapal-kapal sewa ke kawasan penginapan tersebut.

Sarana transportasi penyeberangan ke gugusan pulau-pulau kecil adalah perahu-perahu sewa bermesin, yang disewa dari tempat-tempat penyeberangan yang berada di Pantai Sekotong. Di samping itu, banyak juga wisatawan yang datang ke pulau-pulau kecil tersebut dan ke lokasi surfing di Tanjung Bangko-Bangko melalui kapal-kapal pesiar dari Pulau Bali.

Kondisi Prasarana Listrik, Air, dan Komunikasi

(46)

Listrik. Pelayanan listrik saat ini telah menjangkau hampir seluruh wilayah daratan kawasan pesisir Kecamatan Sekotong, namun belum sampai menjangkau ke gugusan pulau-pulau kecil.. Begitu juga dengan masyarakat yang ada di areal TWA Bangko-Bangko masih belum dapat menikmati sarana listrik. Perbandingan jumlah penduduk yang menggunakan fasilitas penerangan listrik jauh lebih sedikit dibandingkan penduduk yang menggunakan penerangan minyak tanah. Hal ini dapat disebabkan oleh masih rendahnya daya beli penduduk terhadap fasilitas listrik, atau dapat juga karena jaringan listrik yang belum menjangkau sampai ke seluruh dusun yang ada di desa lokasi penelitian.

Air Bersih. Masyarakat setempat mendapatkan air bersih dari sumber

mata air di sumur, perigi atau mata air tanah dan sungai. Sampai saat ini, pelayanan air bersih di Kecamatan Sekotong belum dapat ditangani oleh PDAM. Hal ini tentu harus dipikirkan dan direalisasikan karena kebutuhan masyarakat akan air bersih adalah mutlak, terutama untuk mendukung pengembangan ekowisata di kawasan ini.

Sedangkan di gugusan pulau-pulau kecil, sumber mata air tawar terdapat di Gili Gede, Gili Rengit, Gili Layar dan Gili Asahan. Di pulau-pulau kecil yang lain yang telah dihuni oleh beberapa penduduk seperti di Gili Nanggu, Gili Tangkong dan Gili Sudak, hanya terdapat sumber mata air payau. Air payau tersebut hanya dimanfaatkan oleh penduduk untuk MCK, sedangkan untuk air minum dan memasak mereka membeli kebutuhan air tawar dari kawasan daratan Sekotong.

Komunikasi. Sarana komunikasi yang menyebar dan dapat dinikmati

(47)

Kondisi Akomodasi

Sarana akomodasi merupakan sarana pendukung yang sangat diperlukan bagi daerah wisata. Sarana akomodasi ini terutama berupa penginapan, rumah makan atau restauran, dan sarana penunjang lain seperti tourist information center dan penyewaan peralatan snorkeling dan diving. Berdasarkan survei, dapat diketahui bahwa fasilitas akomodasi di lokasi penelitian masih sangat terbatas, mengingat areal kawasan pengembangan ekowisata yang cukup luas. Hal ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah daerah setempat, agar dapat menambah fasilitas akomodasi di kawasan pesisir Sekotong.

(48)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi dan Potensi Sumberdaya Alam di Sekotong

Suatu daerah memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai daerah ekowisata apabila daerah tersebut mempunyai kekhasan yang menjadi daya tarik bagi wisatawan. Daya tarik kawasan pesisir Sekotong berupa pemandangan alam pantai berpasir putih dengan gugusan pulau-pulau kecil yang masih alami dan ekosistem terumbu karang dengan aneka ikan hias di perairan sekelilingnya. Daya tarik sumberdaya alam tersebut merupakan

Gambar

Gambar 2  Lokasi  penelitian
Tabel  3  Kondisi umum oceanografi di Sekotong
Gambar 3.  Grafik persentase pengamatan terumbu karang
Gambar 4  Peta kesesuaian wisata pantai
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu kawasan subak yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai ekowisata ada di Desa Belimbing, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan.. Identifikasi potensi dari

Potensi-potensi yang dimiliki subak di Desa Belimbing dapat dikembangkan sebagai ekowisata, karena kawasan subak setempat sudah memiliki daya tarik berupa sawah berterasnya

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah pesisir Kabupaten Buleleng dengan tujuan 1) mendeskripsikan potensi ekowisata yang dimiliki DTW wilayah pesisir Kabupaten Buleleng, 2)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi sumberdaya pesisir Kabupaten Buleleng cukup tinggi dengan kondisi sumberdaya yang tergolong sedang.Tingkat kesesuaian dan

Kecamatan Paloh memiliki potensi wisata yang cukup tinggi sehingga perlu adanya kebijakan pemerintah daerah untuk dapat menjadikan wilayah ini sebagai kawasan ekowisata

METODE KEGIATAN Berdasarkan analisis potensi wisata di kawasan wisata hutan bakau tanjung batu desa sekotong tengah, maka kelompok KKN Tematik Universitas Mataram Desa Wisata Sekotong

Nilai Moneter Serapan Karbon Vegetasi Mangrove Hasil analisis spasial diketahui bahwa, luas Kawasan Ekowisata Mangrove Bagek Kembar yang tertutupi oleh vegetasi mangrove sekitar 43,95

bahwa dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada BUPATI LOMBOK BARAT, DENGAN RAHMATTUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PEMBENTUKAN DESA PERSIAPAN PESISIR MAS KECAMATAN SEKOTONG KABUPATEN