• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Fenotipe Dan Jarak Genetik Domba Donggala Di Tiga Lokasi Di Sulawesi Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Fenotipe Dan Jarak Genetik Domba Donggala Di Tiga Lokasi Di Sulawesi Tengah"

Copied!
252
0
0

Teks penuh

(1)

DI SULAWESI TENGAH

AMIRUDIN DG MALEWA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Karakteristik Fenotipe dan Jarak Genetik Domba Donggala di Tiga Lokasi Di Sulawesi Tengah adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2007

(3)

ABSTRACT

AMIRUDIN DG MALEWA. Fenotype characteristics and genetic distance of sheep from three different location at Donggala regency, Central Sulawesi. Supervised by SRI SUPRAPTINI MANSJOER and CECE SUMANTRI.

Sheeps is one of preeminent commodities of Central Sulawesi in term of natural/pastural resources, climatic and cultural social condition. All varieties of sheep in Central Sulawesi were results of cross-breeding between Fat-tail sheep (FTS) and Merbas sheep. This research was aimed to identify the potential of pasture, population dynamic, reproduction, quantitative and qualitative traits as well as their genetic distance as criteria for sheep selection. The study carried out in Palu City, Subdistrict Biromaru, Central Sulawesi in November 2005, from Februari up to May and from November up to December 2006. Data were collected from different location and all of sheep. A total of 412 sheep were used and selected randomly. Adult sheep were observed 102 heads (24%) from East Palu, 122 heads (10%), from South Palu, and 56 heads (28%) from Biromaru. Sheep kids 28 heads from east and 64 heads from south of Palu, respectively. Baby sheep were 15 heads from East Palu and 25 heads from South Palu and 17 heads from Biromaru.

Results showed that sheep population tended to decrease every year and only 3 270 remains. Between three locations, the highest body weight of sheep were found in Biromaru. The average of birth weight, weaning, adult males and females body were 3.25±0.53 kgs, 11.25±3.33 kgs, 42.00±6.245 kgs, and 30.14±6.28 kgs, respectively. Body size of sheep 18-24 months from Biromaru were also higher compared to the other location, while from age of groups 36 at months, sheep from East Palu and Biromaru were higher than from South Palu. Principal Component Analysis (PCA) showed that the best characters of sheep for selection were breast diameter, body lenght, height of hip, and wide of tail. Qualitative characters of sheep from Donggala regency at 3 reserach locations were varies on head and ear colour and type wool and tails. Dominant colour wool of sheep and colour patterns were white 60-80% and solid FTS in South Palu dominated by male sheep (94.59%) while Medium tail sheep (MTS) were dominant in Biromaru (67.50%). The genetic distance of sheep from East Palu and South Palu were closer than the sheep from higher Biromaru.

(4)

ABSTRAK

AMIRUDIN DG MALEWA. Karakteristik Fenotipe dan Jarak Genetik Domba Donggala di Tiga Lokasi di Sulawesi Tengah. Dibimbing olehSRI SUPRAPTINI MANSJOER dan CECE SUMANTRI

Domba merupakan salah satu komoditas unggulan di Sulawesi Tengah berdasarkan kondisi sumber daya lahan, iklim dan sosial budaya. Domba yang ada pada awalnya hanya domba ekor gemuk (DEG) kemudian disilangkan dengan domba Merbas. Penelitian ini bertujuan untuk identifikasi potensi sumber pakan, dinamika populasi, sifat reproduksi, berbagai sifat kuantitatif, kualitatif dan jarak genetik domba Donggala di Sulawesi Tengah untuk digunakan sebagai kriteria seleksi. Penelitian ini dilaksanakan di Kodya Palu dan Kec. Biromaru Sulawesi Tengah. Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada bulan November 2005, Februari-Mei dan Nov-Des 2006. Pengumpulan data ukuran tubuh ternak diambil dari tiga daerah yaitu Kel. Poboya Kec. Palu Timur, Kel. Kawatuna Kec. Palu Selatan dan Desa Loru Kec. Biromaru. Ternak domba yang digunakan milik peternak rakyat sebanyak sebanyak412 ekor. Teknik pengambilan ternak sampel dilakukan secara acak, dimana domba dewasa di Palu Timur 102 ekor (24%), Palu Selatan 122 ekor (10%) dan Biromaru 56 ekor (28%). Domba anak 28 ekor Palu Timur dan 64 ekor Palu Selatan. Domba muda 15 ekor Palu Timur, 25 ekor Palu Selatan dan 17 ekor di Biromaru.

Populasi domba Donggala cenderung menurun dari tahun ke tahun dan kini tinggal 3 270 ekor. Domba di Biromaru memiliki rerata bobot badan yang tertinggi dibanding lokasi lainnya yakni bobot lahir (3.25±0.53) kg, bobot sapih (11.25±3.33) kg. Demikian pula rerata bobot dewasa domba jantan umur 36 bulan (42.00 ±6.245) kg dan domba betina (30.14 ± 6.28) kg). Secara umum ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan domba pada umur 18-24 bulan di Biromaru lebih besar dibandingkan di lokasi lainnya. Hasil analisis AKU menunjukkan bahwa penciri ukuran dan bentuk tubuh yang juga dapat dijadikan kriteria seleksi domba Donggala jantan dan betina adalah lingkar dada, panjang badan, tinggi pundak, tinggi pinggul, lebar ekor di tiga lokasi. Sifat kualitatif domba Donggala di tiga lokasi penelitian beragam pada warna kepala, warna telinga, bentuk bulu dan bentuk ekor. Warna bulu domba di tiga lokasi umumnya berwarna putih 60-80% dengan pola warna polos. Di Palu Selatan domba ekor gemuk dengan persentase terbanyak (94.59%) adalah pada domba jantan, sedangkan persentase domba ekor sedang terbanyak di Biromaru (67.50%). Domba Palu Timur dan Palu Selatan memiliki jarak genetik yang lebih dekat dibandingkan domba di Biromaru.

(5)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak Cipta dilindungi

(6)

KARAKTERISTIK FENOTIPE DAN JARAK GENETIK

DOMBA DONGGALA DI TIGA LOKASI

DI SULAWESI TENGAH

AMIRUDIN DG MALEWA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis : Karakteristik Fenotipe dan Jarak Genetik Domba Donggala di Tiga Lokasi di Sulawesi Tengah

Nama : Amirudin Dg Malewa, SPt

NIM : D051040031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(8)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat, karunia dan pertolongan yang diberikan Tesis dengan judul “Karakteristik Fenotipe dan Jarak Genetik Domba Donggala di Tiga Lokasi di Sulawesi Tengah dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun berdasarkan data yang diperoleh melalui pengukuran

dilapangan (data primer) maupun data yang diperoleh dari peneliti lain (data sekunder). Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dasar mengenai karakteristik fenotipe domba yang ada di Indonesia, sehingga akan mempermudah dalam penyusunan program pemuliaan.

Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Ibunda Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada

rekan-rekan Program Studi Ilmu Ternak angkatan 2004 Syahrir Akil, Fitri Nova Lubis, Moh Rusdin, Dian Agustina, Desy Berliana, Merry, Linda, Nursanti Asminaya, Yusmadi, Jhon Bestari dan Janetty. Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Harimurti Martojo, Zakaria, Toto Toharmat, Jerry F. Salamena, Feri Munier, Harun dan rekan-rekan HIMPAST (Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Tengah) dan teman-teman komunitas Nurul Falah. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibunda Johareng atas segala doa dan kasih sayangnya dan ayahanda Abdul Karim almarhum yang meninggal saat penulis masih menempuh S2 semoga almarhum mendapat tempat yang terindah disisi-Nya.

Penulis sangat menyadari Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2007

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Solonsa Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah pada tanggal 21 Pebruari 1969 dari ayah Abdul Karim (almarhum) dan ibu Johareng. Penulis merupakan anak kedua dari delapan bersaudara.

Tahun 1990 penulis lulus dari SMA Negeri I Kolonodale Kab. Morowali dan pada tahun yang sama lulus seleksi bebas tes masuk Universitas Tadulako. Penulis memilih Program Studi Produksi Ternak Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar Universitas Tadulako Jurusan Peternakan sejak tahun 2000 melalui jalur beasiswa Tunjangan Ikatan Dinas (TID) Departemen Pendidikan Nasional. Sebelum menjadi staf di UNTAD,

(10)

DAFTAR ISI Tujuan dan Manfaat Penelitian ...

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh domba ekor gemuk di

Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Sumenep ... 11

2. Standar mutu bibit domba lokal, garut dan ekor gemuk ... 14

3. Umur domba berdasarkan pergantian gigi seri tetap ... 15

4. Gambaran umum keadaan lokasi penelitian ... 30

5. Populasi ternak besar dan kecil di tiga lokasi penelitian ... 31

6. Tingkat pendidikan menurut kelurahan/desa ... 33

7. Struktur populasi domba Donggala di lokasi penelitian ... 36

8. Dinamika populasi domba Sulawesi Tengah tahun 2005 ... 37

9. Beberapa sifat reproduksi domba Donggala ... 38

10. Rataan bobot badan domba jantan umur 0-12 minggu di lokasi penelitian ... 40

11. Rataan bobot badan domba betina umur 0-12 minggu di lokasi penelitian ... 40

12. Persentase kelahiran domba kembar dua di lokasi penelitan ... 42

13. Rataan dan simpangan baku bobot badan (kg) domba dari umur 6-36 bulan di lokasi penelitian . ... 46

14. Rataan ukuran tengkorak domba Donggala di lokasi penelitian ... 49

15. Rataan ukuran tanduk domba Donggala di lokasi penelitian ... 51

16. Rataan ukuran telinga domba Donggala di lokasi penelitian ... 53

17. Rataan ukuran leher domba Donggala jantan dan betina di lokasi penelitian ... 55

18. Rataan ukuran tubuh bagian depan domba Donggala ... 56

19. Rataan ukuran bagian tengah domba Donggala ... 59

20. Rataan ukuran dada jantan dan betina domba Donggala dari umur 12-36 bulan di lokasi penelitian ... 61

21. Rataan ukuran tubuh bagian belakang domba Donggala jantan dan betina umur 12-36 bulan di lokasi penelitian... 64

22. Rataan ukuran kaki belakang domba Donggala jantan dan betina umur 12-36 bulan di lokasi penelitian ... 66

23. Rataan ukuran ekor domba Donggala di lokasi penelitian ... 68

(12)

25. Ringkasan penciri ukuran dan bentuk tubuh domba Donggala jantan

dan betina umur 18 bulan di lokasi penelitian ... 72 26. Ringkasan penciri ukuran dan bentuk tubuh domba Donggala jantan

dan betina di lokasi penelitian umur 24 bulan ... 78 27. Ringkasan penciri ukuran dan bentuk tubuh domba Donggala jantan

dan betina di lokasi penelitian Umur 36 Bulan ... 83 28. Persentase peubah penciri ukuran dan bentuk domba jantan di tiga

lokasi penelitian ... 88 29 Persentase peubah penciri ukuran dan bentuk domba betina di tiga

lokasi penelitian ... 89 30. Sifat-sifat kualitatif domba Donggala di tiga lokasi penelitian ... 91 31. Persentase nilai kesamaan dan campuran di dalam dan antar

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka fikir penelitian ... 2. Peta lokasi penelitian ... 3. Pengukuran berdasarkan anatomi kerangka (skeleton ) pada domba ... 4. Kawasan penggembalaan ternak ruminansia di Kawatuna ... 5. Kandang domba Donggala di lokasi penelitian ... 6. Histogram bobot anak domba jantan (kiri) dan betina (kanan) dari umur 0 - 8 minggu di tiga lokasi penelitian ... 7. Pertumbuhan domba Donggala jantan dan betina dari

umur 0-36 bulan di lokasi penelitian ... 8. Grafik pertumbuhan domba jantan dan betina masing-masing

(14)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Domba merupakan salah satu komoditas unggulan Sulawesi Tengah berdasarkan kondisi sumber daya lahan, iklim, dan sosial ekonomi. Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil sebagai sumber protein hewani di pedesaan. Domba yang berkembang di Indonesia adalah domba Priangan, domba ekor gemuk dan domba-domba lokal. Domba Priangan banyak dijumpai di daerah Jawa Barat, sedangkan domba ekor gemuk berkembang di daerah Jawa Timur, Madura, Nusatenggara dan Sulawesi.

Salah satu domba–domba lokal yang berada di kawasan timur Indonesia dikenal dengan nama domba Donggala atau domba lokal Palu yang berada di lembah Palu dan Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. Domba yang ada pada awalnya hanya domba ekor gemuk (DEG) yang kemudian disilangkan dengan domba pejantan Merbas (Doho dan Tantu 1997), sehingga kini cenderung terdapat dua jenis domba di Palu yaitu domba ekor gemuk dan domba hasil silangan. Domba lokal ini telah berkembang puluhan generasi, sehingga membentuk karakteristik khas yang hanya dimiliki oleh ternak tersebut.

(15)

digunakan sebagai sumber genetik dalam perbaikan domba Donggala melalui seleksi dan persilangan. Dengan demikian domba Donggala merupakan sumberdaya genetik (plasma nutfah) ternak yang dapat dikembangkan untuk pengembangan dan perbaikan mutu genetik bangsa domba secara nasional dengan tetap menjaga kemurnian dan kelestariannya. Apalagi domba Donggala termasuk ternak spesifik lokasi yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak diusahakan masyarakat, sehingga sangat mendesak untuk ditangani secara serius.

Populasi domba Donggala masih sangat rendah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Pada tahun 1989 populasi domba Donggala masih berjumlah 16.192 ekor tahun 1987 kemudian menjadi 7.408 ekor tahun 2003 bahkan populasi domba tersebut kini tinggal berjumlah 3.270 ekor (Disnak Sulteng 2005). Hal tersebut sangat memprihatinkan mengingat penurunan populasi tersebut dikhawatirkan berdampak terhadap mutu genetik domba Donggala. Hal ini kemungkinan disebabkan penjualan/pemotongan atau kematian domba yang tidak terkontrol, artinya ternak-ternak besar yang memiliki harga tinggi dijual atau dipotong. Sebagai akibatnya ternak yang tertinggal di kandang mutu genetiknya dapat menjadi lebih rendah, dan jika hal ini terus berlangsung, maka akan terjadi pengurasan sumber daya genetik, sehingga yang tersisa adalah domba yang memiliki produktivitas rendah. Apalagi Domba Donggala sudah

tercemar dengan darah domba Merbas (Duma dan Rusdi 2001). Sehingga sangat ironis jika kualitas ternak seperti ini yang akan menjadi bibit generasi domba masa mendatang.

(16)

Dukungan Kebijakan PEMDA SULTENG berkaitan dengan status populasi, sifat reproduksi dan inventarisasi sifat kuantitatif, sifat kualitatif dan jarak genetiknya.

Permasalahan

1. Domba Donggala mengalami penurunan populasi dan dikhawatirkan terjadi penurunan mutu genetiknya.

2. Karakterisasi fenotipik domba Donggala belum memadai, padahal informasi ini penting dalam penyusunan kebijakan pemuliaan untuk perbaikan mutu genetiknya dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan regional, khususnya protein hewani.

Kerangka Fikir

Pengembangan Domba Donggala sbg Penghasil Daging

™ Peningkatan jumlah populasi,

™ Seleksi & pemurnian, persilangan

™ Konservasi dan pelestarian Keunggulan :

¾ Daya adaptasi tinggi

¾ Dpt bertahan hidup dgn pakan kualitas rendah dan tekanan iklim setempat (suhu34,5 oC)

Masalah :

¾ Terjadi penurunan populasi

¾ Karakteristik fenotipik & status populasi belum diketahui

PENELITIAN

Keragaman sifat reproduksi

sifat kuantitatif & kualitatif, Dinamika populasi

REKOMENDASI ¾ Kriteria seleksi

(17)

Gambar 1 Kerangka fikir penelitian. TUJUAN

Melakukan identifikasi potensi sumber pakan, dinamika populasi, sifat reproduksi, berbagai sifat kuantitatif, kualitatif dan jarak genetik domba Donggala di Sulawesi Tengah untuk kriteria seleksi.

MANFAAT

(18)

pertalian genetik yang relatif dekat akan kurang memberikan laju pertumbuhan anaknya dengan baik.

Sifat morfolgis ternak seperti ukuran tubuh dan pola warna dapat digunakan untuk menganalisis estimasi jarak pertalian genetik rumpun domba antar daerah seperti yang dilakukan oleh Herera et al. (1996) dan Suparyanto et al. (1999). Hartl (1988) menyatakan bahwa pola perbedaan sifat fenotipik yang ada dalam setiap individu ternak dapat digunakan untuk menentukan asal rumpun ternak.

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kodya Palu dan Kecamatan Biromaru Sulawesi Tengah. Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada bulan November 2005 dan selanjutnya dilakukan pada bulan Februari - Mei serta Nov-Des 2006.

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian.

Poboya

Kawatuna

(19)

Materi dan Peralatan

Pengumpulan data ukuran tubuh ternak diambil dari tiga daerah yaitu Kel. Poboya Kecamatan Palu Timur, Kel. Kawatuna Kec. Palu Selatan dan Desa Loru Kec. Biromaru. Ternak domba yang digunakan milik peternak rakyat sebanyak sebanyak 412 ekor. Teknik pengambilan ternak sampel dilakukan secara acak, domba dewasa di Palu Timur 102 ekor (24%), Palu Selatan 122 ekor (10%) dan Biromaru 56 ekor (28%). Domba anak 28 ekor Palu Timur dan 64 ekor Palu Selatan. Domba muda 15 ekor Palu Timur, 25 ekor Palu Selatan dan 17 ekor berasal dari Biromaru.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan berdiri kapasitas 100 kg, mistar ukur, kaliper, pita ukur, borang dan alat-alat tulis.

Peubah yang Diamati Dinamika Populasi

1. Jumlah jantan dan betina dewasa

2. Jumlah domba pada berbagai strata umur (anak, muda, dewasa), 3. Ternak masuk,

4. Ternak keluar/ pemotongan 5. Mortalitas .

6. Jumlah pemilikan ternak domba/KK,

7. Jumlah peternak, 8. Pekerjaan peternak,

9. Pendidikan peternak dan pengalaman peternak Sifat Reproduksi

1. Jumlah anak sepelahiran (tunggal, kembar dua, kembar tiga,) 2. Jarak beranak antara dua partus

(20)

Sifat Kuantitatif

Penentuan umur dilakukan terlebih sebelum pengamatan dengan melihat pergantian gigi seri dan berdasarkan informasi dari peternak. Peubah yang berkaitan dengan ukuran-ukuran tubuh yang diukur pada domba jantan dan betina dewasa (gigi genap/12-36 bulan).

Bobot Badan

Bobot badan (BB) pada domba dewasa, bobot lahir-12 minggu, sapih dan muda pada jantan dan betina(6 bulan), ditimbang pada pagi hari sebelum domba diberi makan/digembalakan dengan timbangan gantung kapasitas 50 kg (satuan dalam kg).

Tubuh Bagian Kepala

1. Panjang tengkorak (PTR) diukur jarak antara titik yang anterior kepala sampai titik posterior tengkorak, dengan mistar ukur (satuan dalam cm).

2. Lebar Tengkorak (LTR), diukur jarak antara titik penonjolan tengkorak paling luar kiri dan kanan menggunakan kaliper (satuan dalam cm).

3. Tinggi tengkorak (TKR), diukur jarak antara titik dorsal tengkorak sampai titik lateral rahang terendah dengan kaliper (satuan dalam cm).

4. Panjang tanduk (PTD), diukur dari pangkal tanduk sampai ujung tanduk mengikuti alur putaran tanduk sebelah luar dengan mistar ukur (satuan

dalam cm).

5. Lingkar pangkal tanduk (LPT), diukur melingkar pada pangkal tanduk dengan pita ukur (satuan dalam cm).

6. Jarak antar tanduk (JAT), diukur dari jarak antar pangkal tanduk sebelah kiri dan kanan dengan pita ukur (satuan dalam cm).

7. Panjang telinga (PTl), diukur jarak antara pangkal daun telinga sampai titik ujung telinga dengan mistar ukur (satuan dalam cm).

(21)

Tubuh Bagian Depan

1. Panjang leher (tulang leher) (PL), diukur dari pangkal leher sampai pangkal punggung dengan pita ukur (satuan dalam cm).

2. Lingkar leher (LkH), diukur melingkar leher bagian tengah dengan pita ukur (satuan dalam cm).

3. Tinggi pundak (TPd), jarak tertinggi pundak sampai tanah, diukur menggunakan mistar ukur (satuan dalam cm).

4. Panjang humerus (PH) diukur dari ujung head humerus sampai ujung bagian bawah humerus diukur dengan mistar ukur (satuan dalam cm). 5. Panjang radius- ulna (PRU) diukur dari olecranon sampai stiloid process

of ulna dekat carpus diukur dengan mistar ukur (satuan dalam cm).

6. Panjang metacarpus (PM) diukur dari carpus sampai prox sesamoids diukur dengan mistar ukur (satuan dalam cm).

7. Lingkar kanon (LkK)/ tulang pipa (metacarpus), diukur melingkar di tengah-tengah tulang pipa kaki depan sebelah kiri dengan pita ukur (satuan dalam cm).

Tubuh Bagian Tengah

1. Tinggi punggung (TPg), jarak bagian punggung paling atas sampai ke tanah, diukur menggunakan mistar ukur (satuan dalam cm).

2. Panjang badan (PB), jarak garis lurus dari tepi depan luar tulang Scapula sampai benjolan tulang tapis (tulang duduk/os ischium), diukur menggunakan mistar ukur (satuan dalam cm).

3. Lebar dada (LD), jarak antara bagian tengah tulang dada kiri dan kanan diukur dengan kaliper (satuan dalam cm).

4. Dalam dada (DD), jarak antara titik tertinggi pundak dan tulang dada bawah, diukur dengan mistar ukur (satuan dalam cm).

5. Lingkar dada (LD), diukur melingkar rongga dada di belakang sendi tulang bahu (os scapula) menggunakan pita ukur (satuan dalam cm).

Tubuh Bagian Belakang

(22)

2. Panjang dalam pinggul (PDPgl), jarak antara bagian anterior tulang pinggul sampai ujung benjolan tulang tapis (os ischium), diukur dengan menggunakan mistar (dalam cm).

3. Lebar antara tulang tapis (LATT) jarak antara dua os ischium sisi tulang tapis kiri dan kanan, diukur dengan kaliper (satuan dalam cm).

4. Panjang tulang paha (PTP) femur, jarak antara dua ujung tulang paha diukur dengan mistar (satuan dalam cm).

5. Panjang tibia (PT) diukur dari bagian atas sampai ujung bawah tibia diukur dengan mistar ukur (satuan dalam cm).

6. Panjang metetarsus (PMt) diukur dari jarak antara dua ujung metatarsus dengan mistar ukur (satuan dalam cm).

Bagian Ekor

1. Panjang ekor (PEk), diukur jarak dari pangkal ekor sampai ujung ekor dengan pita ukur (dalam satuan cm).

2. Lebar pangkal ekor (LPEk), diukur jarak lebar antara titik sisi kiri dan kanan pangkal ekor dengan pita ukur (satuan dalam cm).

3. Lingkar pangkal ekor(LkPEk), diukur dengan melingkarkan pita ukur ke pangkal ekor dengan pita ukur (satuan dalam cm).

Bagian Scrotum

1. Panjang scrotum (PjS), diukur tegak lurus sepanjang scrotum menggunakan pita ukur (satuan dalam cm).

2. Lebar scrotum (LS), diukur jarak antara sisi kiri dan kanan bagian tengah scrotum menggunakan kaliper (satuan dalam cm).

3. Lingkar scrotum (LkS), diukur melingkar bagian tengah scrotum menggunakan pita ukur (satuan dalam cm).

Sifat Kualitatif

1. Garis muka, dilihat dari samping dan diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu lurus dan cembung.

(23)

3. Posisi telinga, diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu mengantung, tegak samping dan tegak atas.

4. Bentuk telinga diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu rumpung (sempit) daun hiris (medium) dan rubak (lebar). Telinga rumpung yaitu bila daun telinga menguncup (seperti kuncup bunga ros) atau menggulung dan lubang telinga tidak tampak jelas, berukuran pendek, kecil bahkan tampak seolah olah tidak berdaun telinga. Telinga berdaun hiris (medium) seolah–olah hampir menggulung, tetapi lubang telinga masih tampak jelas dan daun telinga meruncing ke ujung. Telinga rubak (lebar) daun telinga lebar dan panjang, ujung telinga tidak runcing (bulat), lubang telinga tampak jelas. Secara kuantitatif menurut Mulliadi (1996), telinga rumpung (sempit) bila ukuran panjang krang dari 4 cm, daun telinga hiris (medium) panjang daun telinga antara 4-8 cm dan daun telinga rubak (lebar) bila panjang daun telinga lebih dari 8 cm.

5. Ada tidaknya tanduk, baik pada jantan atau betina diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu tidak bertanduk, benjolan dan bertanduk.

6. Garis punggung, dilihat dari samping pada posisi berdiri normal, diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu cembung, lurus dan cekung. 7. Bentuk ekor, diklasifikasikan dalam tiga kelompok berdasarkan

pengukuran lebar pangkal ekor, yaitu gemuk bila pangkal ekor lebar lebih dari 9 cm, ekor sedang antara 5-8 cm dan ekor tipis (sempit) lebar kurang dari 4 cm.

8. Bentuk wol/bulu, diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yatiu lurus, berombak dan keriting.

(24)

ANALISIS DATA Sifat Kuantitatif

Data sifat kuantitatif berupa bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh domba Donggala dihitung nilai rata-rata (X), simpangan baku (SB) dan koefisien keragaman (KK). Untuk mengetahui pengaruh lokasi, umur dalam lokasi dan jenis kelamin dalam umur dalam lokasi terhadap bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh domba Donggala dilakukan analisis keragaman (ANOVA) dengan menggunakan General Linier Model (GLM).

Untuk memberikan diskriminasi terhadap ukuran dan bentuk tubuh domba Donggala, data ukuran-ukuran tubuh dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (AKU). Pengolahan data hasil penelitian dan pembuatan diagram menggunakan perangkat lunak statistik Minitab 14. Hasil AKU akan diperoleh persamaan ukuran dan bentuk diturunkan dari matriks kovarian.

Model matematika AKU menurut Gasperz (1992) sebagai berikut :

Yp = a1pX1 + a2pX2 + . . . + appXp Keterangan :

Yp = komponen utama ke-p

a1p-app = vektor ciri atau vektor Eigen ke-p untuk p = 1,2,3,...,17. Xp = peubah ke-p untuk p = 1,2,3,...,17

Dua komponen utama yang mempunyai nilai keragaman tertinggi digunakan sebagai persamaan ukuran dan bentuk. Korelasi antara ukuran dan bentuk dari masing-masing peubah dihitung berdasarkan rumus (Gaspersz 1992) .

rxiyj =

i j ij

S a λ

Keterangan :

rxiyj = korelasi antara peubah-peubah xi dan komponen utama ke-j (j

=1,2,3,...,17 )

ij

a = vektor Eigen/Vektor ciri ke-j ; λj = nilai Eigen /Akar ciri ke-j

i

(25)

Sifat Kualitatif

Sifat kualitatif yang diamati. yaitu morfologi tubuh meliputi warna kepala, warna bulu tubuh, pola warna bulu, bentuk wol dan bentuk ekor dianalisis secara deskriptif. Analisis menggunakan Frekuensi Relatif (Mulliadi 1996) dengan formula sebagai berikut .

Frekuensi Relatif Sifat A = Σ Sifat A x 100%

Keterangan : A = salah satu sifat yang diamati N = total sampel yang diamati

Jarak Genetik

Fungsi diskriminan sederhana dilakukan untuk penentuan jarak genetik (Manly 1989). Pendugaan kesamaan genetik dan jarak genetik dihitung dengan menggunakan semua peubah morfometrik yang diamati. Analisis data

menggunakan paket program SAS 6,12. Dari hasil matrik tersebut dilakukan analisis pohon fenogram dengan menggunakan soft ware aplikasi MEGA2 yang dibangun oleh Kumar at al. (1993).

Gambar 3 Pengukuran berdasarkan anatomi kerangka (skeleton ) pada domba; Sisson (1953).

(26)

PUSTAKA Klasifikasi Domba

Domba termasuk dalam filum Chordata, klas mammalia, ordo

Artiodactyla, famili Bovidae, Sub-famili Caprinae, genus Ovis dan dalam spesies Ovis aries (Banerjee 1982). Domba-domba domestik umumnya memiliki komposisi genetik dari berbagai jenis domba lainnya seperti domba argali, Ovis ammon, yang hidup di Asia tengah, domba Urial, Ovis vignei, juga hidup di Asia dan domba Moufflon, Ovis musimon, yang hidup di Asia Kecil dan Eropa.

Pada umumnya domba di Indonesia berekor tipis (thin-thailed) seperti domba Garut, tetapi ada pula yang berekor gemuk (fat-tailed) seperti domba Donggala atau domba yang berada di Jawa Timur (Devendra dan McLeroy 1992). Domba ekor tipis merupakan domba asli Indonesia dikenal sebagai domba lokal, domba kampung atau domba kacang yang disebut demikian, karena bertubuh kecil. Domba ini tidak jelas asal-usulnya dan dijumpai di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah (Devendra dan McLeroy 1992).

Domba Ekor Gemuk

Diperkirakan domba ekor gemuk yang hidup di Indonesia berasal dari Asia Barat Daya atau Afrika Timur lewat jalur pedagang-pedagang Arab (Devendra dan McLeroy 1982). Pada awalnya pulau Madura memiliki populasi domba ekor gemuk terbanyak, kemudian menyebar ke daerah Jawa Timur. Akhirnya domba ekor gemuk (DEG) menjadi domba khas daerah Jawa Timur (Edey 1983). Di Sulawesi ada domba peranakan disebut domba Donggala mempunyai ekor tidak terlalu gemuk, dan termasuk tipe ekor gemuk sedang

(Devendra dan McLeroy 1992).

(27)

bertanduk tetapi ukuran tanduknya kecil (Edey 1983). Biasanya terdapat sedikit wol di bagian belakang dan sisi tengah badan, dan ukuran tubuhnya relatif besar (Smith 1979). Bobot badan domba ekor gemuk jantan unggul dapat mencapai 43 kg, betina unggul mencapai 40 kg, dan rataan bobot potong mencapai 24 kg (Devendra dan McLeroy 1982).

Menurut Kasim (1996) bahwa pertambahan bobot badan anak prasapih domba Donggala sebesar 38,57 g/ekor/hari lebih rendah dibandingkan domba daerah tropik 45-64 g/ekor/hari. Selanjutnya menurut (Amar et al. 2005) bahwa rataan pertambahan bobot badan pascasapih tanpa pakan tambahan adalah 65,07 g/ekor/hari sedangkan pertambahan bobot badan domba Donggala yang diberi pakan tambahan adalah 82,84 g/ekor/hari. Hal ini berarti pemberian pakan tambahan dapat meningkatkan pertambahan bobot badan domba Donggala.

Domba Donggala dengan bobot potong 20 kg mempunyai bobot karkas 8 kg atau 40% pada domba ekor gemuk dan pada domba persilangan, bobot karkasnya lebih tinggi yakni 9 kg atau 45% dari bobot potong. Hal tersebut menurut (Kasim 1996) bahwa introduksi pejantan Merbas kedalam populasi ternak domba lokal (DEG) mempunyai efek positif terhadap peningkatan produktivitas karkas meskipun tidak berbeda nyata karena kondisi pemeliharaan yang masih tradisional. Hal ini berarti ada potensi untuk meningkatkan bobot

potong dan bobot karkas jika ada pemberian pakan yang berkualitas. Menurut Herman (2005) domba ekor gemuk dengan bobot potong 25,0 kg mempunyai bobot karkas 13,04 kg atau 52,16%. Dengan demikian bobot karkas domba Donggala masih lebih rendah dibanding bobot karkas domba ekor gemuk di Jawa.

(28)

dalam uterusnya sebesar 59%. Beberapa induk domba ekor gemuk dapat melahirkan anak kembar tiga dan kadang-kadang empat (Junus 1984).

Seleksi umumnya dilakukan pada sifat kualitatif dan kuantitatif. Seleksi yang dilakukan oleh masyarakat umumnya berdasarkan sifat kualitatif ternak. Sifat kualitatif ternak yang banyak diperhatikan oleh petani peternak adalah bangsa, warna bulu dan bentuk tanduk. Diantara kriteria yang digunakan tersebut lebih banyak mengarah pada penampilan ternak, dari pada produktivitasnya. Ciri-ciri fisik yang terdapat pada domba, diyakini dapat menentukan status sosial dan hal ini tidak dapat dipisahkan dari unsur seni, budaya (Sutisna 2001).

Mempelajari komponen-komponen keragaman pada ternak sangat penting artinya, karena akan membantu dalam perencanaan pemuliaan untuk meningkatkan mutu genetik (Liu dan Makarechian 1990). Selanjutnya Lasley (1978) menjelaskan bahwa keragaman fenotipik total merupakan sumbangan keragaman yang disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksi keduanya. Keragaman fenotipik sifat-sifat yang dimiliki setiap individu dapat digunakan untuk membantu dalam mempelajari keragaman genetik suatu populasi ternak terutama bila dilakukan terhadap sifat-sifat yang sudah diketahui mempunyai nilai repitabilitas yang tinggi.

Keragaman fenotipik total dari suatu sifat yang diakibatkan oleh pengaruh genetik digunakan istilah heritabilitas (Warwick et al.1995). Heritabilitas dalam arti sempit merupakan dugaan bagian aditif dari ragam keturunan yang sangat penting, karena dapat menunjukkan perubahan yang dicapai seleksi untuk suatu sifat dalam populasi (Johanson dan Randel 1966).

(29)

Dinamika Populasi

Pada tahun 1989 populasi domba Donggala masih berjumlah 16.192 ekor (Disnak Sulteng 1987), namun populasi domba tersebut kini tinggal berjumlah 3.270 ekor (Disnak Sulteng 2005). Populasi adalah suatu kelompok mahluk yang sama spesiesnya dan mendiami suatu ruang tertentu pada waktu tertentu (Tarumingkeng 1994). Populasi ternak selalu mengalami perubahan atau dinamika, dan dinamika ini dipengaruhi oleh adanya kelahiran, kematian, pemotongan ekspor/impor dan populasi awal (Soehadji 1991). Pengembangan domba sebagaimana ternak lainnya diperlukan ketersediaan data populasi dan dinamika populasi yang akurat dan handal. Disamping itu pengembangan domba pada suatu wilayah dan periode tertentu, akan sangat dipengaruhi oleh besarnya populasi, daya dukung wilayah dan jumlah peternak domba (Sumadi 2001).

Suatu cara untuk mempertahankan mutu genetik domba Donggala sebagai sumber bibit adalah dengan menghitung secara tepat jumlah yang dapat dikeluarkan seimbang dengan jumlah dan mutu bibit yang dipertahankan sebagai ternak pengganti (Sumadi 2001). Natural increase dihitung berdasarkan selisih tingkat kelahiran dengan tingkat kematian dalam kurun waktu satu tahun. (Hardjosubroto 1994). Banyaknya domba yang dapat dikeluarkan untuk dikirim ke daerah lain atau dipotong dari suatu daerah tertentu tanpa menggangu

(30)

Produktivitas Ternak Domba

Produktivitas adalah hasil yang diperoleh oleh seekor ternak pada kurun waktu tertentu dan dapat dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan (Hardjosubroto 1994), sehingga produktivitas ternak merupakan gabungan sifat-sifat produksi dan reproduksi (Lasley 1978). Produktivitas pada ternak dapat dilihat dari Service per Conception (S/C), jumlah anak sekelahiran (litter size), panen anak selama satu tahun (kid crop), interval kelahiran dan mortalitas (Hardjosubroto 1994).

Atkins (1980), menyatakan bahwa produktivitas induk domba berdasarkan bobot lahir, bobot sapih, bobot potong setelah dipuasakan 24 jam bobot karkas dan bagian-bagiannya. Edey et al. (1981), menyatakan bahwa bobot lahir anak domba ekor gemuk rataannya adalah 2,16 kg ±0,36 kg bagi yang lahir tunggal dan 1,48 ± 0,23 kg bagi yang lahir kembar dua; rataan pertambahan bobot hidup harian sebelum disapih pada jantan adalah 66,07 g dan betina 61,25 g bagi yang dilahirkan tunggal dan jantan 42,52 g, betina 53,70 g bagi anak lahir kembar.

Sifat Reproduksi Ternak Domba

Kegiatan reproduksi domba di negara beriklim panas tidak dipengaruhi oleh musim dan reproduksinya berlangsung sepanjang tahun. Penampilan reproduksi dapat diperkirakan sebagai petunjuk dari kemampuan produktivitas

dari ternak domba, yang terutama dititik beratkan pada anak domba dan perlu diusahakan perbaikan faktor-faktor yang mempengaruhi reproduksi tersebut (Hafez 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi reproduksi induk diantaranya sistem perkawinan, umur beranak pertama, jumlah anak yang dilahirkan (litter size), selang beranak dan laju mortalitas (Subandriyo et al. 1994).

Rataan Jumlah Anak Perkelahiran

(31)

menyatakan bahwa jumlah anak perkelahiran domba ekor gemuk lebih rendah dari domba ekor tipis.

Selang Beranak

Selang beranak berhubungan dengan lama waktu dikawinkan seperti beranak, terjadinya pembuahan, laju mortalitas anak dan kualitas nutrisi yang dikonsumsi (Subandrio 1994). Rataan jarak beranak pada induk domba yang digembalakan lebih pendek dibandingkan dengan domba yang dikandangkan (249 hari dan 266 hari). Hal tersebut disebabkan kesempatan untuk kawin pada domba yang digembalakan lebih besar dibanding domba yang dikandangkan, karena perkawinan domba di pedesaan dilakukan secara alami tanpa bantuan petani peternak (Priyanto et al. 1992).

Mortalitas

Eleiser et al. (1994) menyatakan bahwa mortalitas anak disebabkan oleh persaingan untuk mendapatkan colustrum dan air susu induk, persaingan selama dalam kandungan dan sifat keindukan dalam menghadapi masing-masing anak dibandingkan kembar dua atau tunggal. Laju mortalitas ini menurut Subandrio et

al. (1994) dapat ditekan dengan sedikit perbaikan dalam perawatan induk bunting tua, induk menyusui dan perbaikan tatalaksana pemberian pakan. Menurut Eleiser et al. (1994) bahwa adanya hubungan antara mortalitas anak dengan tipe kelahiran, dan umumnya anak kembar mortalitasnya lebih besar dibandingkan dengan anak tunggal, karena vigoritas anak tunggal lebih tinggi dari pada dengan anak kembar, dimana zat makanan yang tersedia dalam uterus hanya dikonsumsi untuk satu ekor calon anak.

Sifat Reproduksi Jantan

(32)

produktivitas, aplikasinya pada ternak untuk memperoleh daging, susu, kulit, wol atau rambut. Kegagalan reproduksi baik pada jantan ataupun betina, berarti pula kegagalan terhadap harapan produksi. Alat reproduksi yang berfungsi baik, merupakan hal utama dalam menentukan keberhasilan ternak. Aktivitas reproduksi ternak jantan dapat diukur melalui libido dan besarnya testes yang secara tidak lansung diukur berdasarkan skrotum, karena lingkaran skrotum mempunyai hubungan dekat dengan berat testes. Dengan mengetahui besarnya skrotum dapat diharapkan memiliki kuantitas dan kualitas sperma yang baik (Ismaya 1992).

Sifat Kuantitatif Bobot Badan dan Ukuran Tubuh

Rataan bobot badan domba ekor gemuk menurut Doho (1994) telah berada di atas rataan bobot potong (24 kg), namun masih jauh bila dibandingkan dengan bobot badan jantan unggul (43 kg) dan betina unggul (40 kg) yang dinyatakan Devendra dan McLeroy (1982). Rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh domba ekor gemuk di Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Sumenep dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh domba ekor gemuk di Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Sumenep

No. Ukuran-ukuran tubuh Lokasi

Bondowoso Sumenep 1. Bobot badan (kg) 27,63 26,75 2. Panjang badan (cm) 58,12 56,04 3. Tinggi pundak (cm) 59,16 59,58 4. Lingkar dada (cm) 68,92 66,94 5. Panjang ekor (cm) 26,66 26,28 6. Lebar ekor (cm) 10,12 10,28

Sumber : Doho (1994)

(33)

mempengaruhi tinggi pundak. Tinggi pundak dianggap sebagai indikator yang baik untuk ukuran kerangka. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Diwyanto et al. (1984), bahwa peranan tinggi pundak dalam persamaan untuk menduga bobot badan tubuh domba jantan memberi petunjuk bahwa domba tersebut cenderung kearah tipe adu.

Menurut Fourie et al. (2002) yang mengamati domba Dorper, bobot badan dan panjang badan merupakan bagian yang paling penting. Dalam dada, tinggi pundak, lebar pundak dan umur mempunyai pengaruh pada bobot badan. Bobot badan, dalam dada dan lebar pundak memberikan konstribusi yang tinggi terhadap performa ternak. Menurut Diwyanto et al. (1984), lingkar kanon dan lebar panggul dapat digunakan untuk menduga bobot badan betina sesuai dengan penelitian sebelumnya. Secara umum menurut Fourie et al. (2002), lingkar dada, panjang badan, lebar dada, dalam dada dan lingkar tulang kanon berkorelasi posistif dengan pertumbuhan domba pada kondisi ekstensif. Ukuran tubuh dan penilaian visual selalu digabungkan dengan hasil uji performa dan nilai pemuliaan.

Keragaman fenotipik sifat kuantitatif yang dimiliki setiap individu ditentukan oleh banyak pasang gen dan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi keragaman fenotipik

setiap individu ternak dapat berupa lingkungan internal (seks, umur, pengaruh maternal, kebuntingan), dan dapat pula berupa lingkungan eksternal (lokasi, musim, klimat, penyakit dan pakan) (Turner dan Young 1969). Selain itu ikut pula berperan faktor motivasi pemeliharaan ternak domba yang ternyata sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan seleksi dilapangan, baik dalam memilih domba jantan maupun betina (Diwyanto 1982).

(34)

Ukuran-ukuran Tubuh

Pengukuran ukuran tubuh yang dilakukan pada kerbau oleh Amano et al. (1981), terdiri dari sepuluh macam pengukuran ukuran tubuh yaitu tinggi pundak, tinggi kelangkang (pinggul), panjang badan, lebar dada, dalam dada, lebar pinggul, lebar pangkal paha, panjang kelangkang, lingkar dada, lingkar pipa (kanon). Sedangkan pada domba selain beberapa ukuran tubuh tersebut, dilakukan pula terhadap ukuran panjang tanduk, lebar muka, lebar ekor, panjang ekor dan berat badan (Diwyanto 1982). Pada banteng selain ukuran tersebut dilakukan pula pengukuran terhadap bagian kepala (panjang, lebar, dan tinggi), bagian telinga (panjang dan lebar) serta bagian ekor yaitu panjang dan lebarnya (Mansjoer 1993).

Menurut Diwyanto (1982), penampilan seekor hewan adalah hasil dari suatu proses pertumbuhan yang berkesinambungan dalam seluruh hidup hewan tersebut. Setiap komponen tubuh mempunyai kecepatan pertumbuhan atau perkembangan yang berbeda-beda, karena pengaruh genetik maupun lingkungan. Ukuran permukaan dan bagian tubuh hewan mempunyai banyak kegunaan, karena dapat menaksir bobot badan dan karkas, serta memberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri suatu bangsa tertentu. Penggunaan ukuran-ukuran tubuh dilakukan berdasarkan ukuran yang umum pada ternak, yaitu sebagai sifat

kuantitatif untuk dapat memberikan gambaran eksterior seekor domba dan mengetahui perbedaan-perbedaan dalam populasi ternak ataupun digunakan dalam seleksi (Mulliadi 1996). Penggunaan ukuran tubuh yang meliputi tinggi pundak, tinggi panggul, panjang badan, lingkar dada, dalam dada, lebar dada, lebar panggul dan lingkar kanon pada domba Priangan Diwyanto (1982).

(35)

Menurut Jaya (1981) yang melakukan penelitian pada domba Garut melaporkan bahwa ukuran lingkar dada erat kaitannya dengan bobot badan dan lingkar dada adalah besar dan bernilai positif. Menurut Fourie et al. (2002), lingkar dada dan panjang badan mempunyai pengaruh besar pada bobot badan. Lingkar dada meningkat seiring dengan umur ternak. Korelasi positif antara lingkar dada dan tingkat pertumbuhan lepas sapih menandakan bahwa seleksi pada lingkar dada menjadi petunjuk kecepatan pertumbuhan ternak yang berakibat pula pada peningkatan tinggi pundak dan ukuran kerangka. Namun perlu diperhatikan bahwa daya adaptasi ternak dapat berkurang, karena adanya korelasi negatif antara ukuran kerangka dan daya adaptasi lingkungan. Standar mutu bibit domba lokal, Garut dan ekor gemuk dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Standar mutu bibit domba lokal, Garut dan ekor gemuk

Standar Khusus

Sifat Kuantitas Domba Lokal Domba Garut

Domba Ekor

Warna bulu bermacam- putih, hitam, putih dan kasar macam putih dan hitam

Tanduk :

Jantan bertanduk kecil,

tanduk

melingkar tidak bertanduk tidak melingkar dan besar;

pangkal tanduk kanan &

(36)

& panjang Sumber : Pangestu & Mansjoer (1996)

Analisis Komponen Utama (AKU)

Menurut Everitt dan Dunn (1998), metode multivariate yang paling tua dan paling banyak digunakan adalah Principle Componen Analysis (PCA). PCA yang diterjemahkan sebagai Analisis Komponen Utama (AKU) (Gaspersz, 1992) pada dasarnya bertujuan untuk menerangkan struktur ragam-peragam melalui kombinasi linier dari peubah-peubah yang diamati. Menurut Everitt dan Dunn (1998), dasar metode ini untuk menggambarkan variasi dari rangkaian data multivariate yang berkenan dengan rangkaian peubah yang masing-masing tidak berhubungan dengan kombinasi linier khusus dari peubah yang asli.

Menurut Otsuka et al. (1982), AKU sudah sering digunakan untuk membedakan fenotipe antara populasi. Menurut Nishida et al. (1982), Everitt dan Dun (1998), AKU digunakan untuk membedakan ukuran-ukuran tubuh. Pada aplikasi morfometrik, komponen utama pertama dapat diterima sebagai vektor ukuran dan komponen utama kedua sebagai vektor bentuk. Hal tersebut menunjukkan tingkat variasi yang berbeda pada kondisi tubuh dari kelompok hewan.

Penentuan Umur Domba

Menurut Sumoprastowo, (1993) anak domba yang baru lahir telah mempunyai dua buah gigi seri sulung. Menginjak pada umur sekitar satu bulan semua gigi seri sulung telah lengkap. Penentuan umur domba berdasarkan pergantian gigi seri dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Umur domba berdasarkan pergantian gigi seri tetap

Umur (tahun) Gigi Seri Tetap Kode < 1,0 Belum ada gigi tetap (gigi susu) Io 1,0–1,5 Sepasang gigi tetap I1 1,5-2,0 Dua pasang gigi tetap I2 2,5-3,0 Tiga pasang gigi tetap I3 3,5-4,0 Empat pasang gigi tetap I4 > 4,0 Gigi tetap aus mulai lepas >I4

(37)

Peningkatan Mutu Genetik Domba Ekor Gemuk

Perbaikan mutu genetik ternak domba melalui pemuliaan yang lebih terarah dapat dilakukan dengan cara 1) seleksi antara dan dalam genotip lokal; 2) memasukkan domba-domba eksotik; dan 3) pemanfaatan heterosis (Sakul et al.

1994). Seleksi dapat dilakukan atas dasar satu sifat atau kombinasi dari beberapa sifat, baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Haley et al. 1987). Seleksi adalah suatu proses pemilihan individu yang lebih disukai di antara individu-individu lainnya dalam suatu kelompok untuk membentuk generasi yang akan datang (Lasley 1978). Pirchner (1969) menyatakan bahwa seleksi merupakan suatu cara memilih tetua untuk mendapat keturunan yang lebih baik dimasa yang akan datang. Seleksi harus ditujukan untuk menentukan hewan-hewan yang kemungkinan paling besar mempunyai genotipe yang baik (Warwick et al. 1995).

Metode seleksi yang paling sederhana adalah pemilihan individu yang didasari pada fenotipe individu itu sendiri (Lasley 1978). Seleksi dapat pula dilakukan berdasarkan catatan produksi silsilah, catatan kerabat segenerasi (kolateral), catatan keturunan) progeni test maupun atas dasar kombinasi berbagai catatan (Warwick et al. 1995). Peningkatan mutu genetik domba ekor gemuk melalui seleksi masih kurang dilakukan, padahal ini penting untuk meningkatkan produktivitasnya. Oleh karena itu Subandriyo (1993) menganjurkan agar seleksi domba ekor gemuk sebaiknya diarahkan untuk peningkatan pertumbuhan dan bobot dewasa tubuh dan jarak beranak yang pendek.

Sifat Kualitatif

Sifat kualitatif adalah suatu sifat mewaris yang diperoleh pada ternak, sifat

(38)

epistasis dan hipostasis. Sifat-sifat ini dalam populasi secara statistik tidak berdistribusi normal, dan dapat dikelompokkan ke dalam kelas yang berbeda demikian pula sifat ini tidak banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Warna

Peranan warna bulu dan warna kulit sangat penting artinya dalam kehidupan seekor ternak, karena berhubungan dengan daya tahan ternak bersangkutan dalam menghadapi cekaman radiasi matahari. Sifat kualitatif warna bulu, poliformisme protein darah dan golongan darah dapat digunakan untuk mengetahui latar belakang filogenetik ternak (Amano et al. 1981).

Sifat lain domba ekor gemuk tampak dari warna bulu umumnya putih dengan bercak hitam sekitar mata, hidung atau bagian lainnya hampir sama dengan domba lokal dengan kualitas wol dan kulit relatif baik ( Mason 1980). Disamping bentuk tubuh yang ramping, pola warna sangat beragam dari bercak putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan hitam (Tiesnamurti 1992). Kualitas wol sangat rendah dan termasuk wol kasar (Mason 1980) yang biasanya wol ini dibuang tidak dimanfaatkan (Devendra dan McLeroy 1992).

Sifat kualitatif warna atau pigmentasi yang terjadi pada domba Merino (Turner dan Young 1969), berkisar dari warna terang, abu-abu kemudian bervariasi membayangi warna coklat dan hitam. Pemunculan warna ini tersebar

dan aksi pigmentasinya ditentukan oleh satu gen resesif. Pada pewarisan ini dapat pula muncul bercak-bercak hitam selain putih, tetapi pemunculan sifat fenotipe yang berbeda masih belum jelas.

(39)

bangsa domba lainnya yang berwarna atau coklat, mungkin disebabkan oleh aksi gen white-spotting yang bersifat dominan tidak lengkap.

Telinga

Bentuk telinga merupakan sifat kualitatif bentuknya mulai dari kecil, sedang dan lebar. Siregar (1981) menyatakan bahwa keadaan tipe telinga yang kecil dipengaruhi oleh sepasang gen resesif dalam keadaan homozigot, telinga sedang (medium) diakibatkan keadaan gen yang heterozigot dan dalam keadaan homozigot dominan akan menampakkan bantuk telinga yang panjang. keadaan ini berbeda dengan sifat yang tidak bertelinga. Diwyanto (1982) melaporkan bahwa telinga pendek dipengaruhi oleh sepasang gen dalam keadaan homozigot resesif (tt), sedangkan telinga sedang atau medium dalam keadaan heterozigot (Tt), dan untuk telinga panjang dalam keadaan homozigot dominan (TT).

Tanduk

Menurut Diggins dan Bundy (1958) bila domba jantan murni tidak bertanduk dikawinkan dengan betina bertanduk, diperoleh keturunannya tidak bertanduk. Sifat tidak bertanduk diduga dominan dan yang lainnya resesif, tetapi pada generasi berikutnya tampak yang diperlihatkan resesif tetapi muncul tanduk. Sifat tidak bertanduk ini menurut beberapa peneliti (Johansson dan Rendel 1966; Turner dan Young 1969 dan Warwick et al. 1995) diketahui sebagai gen dominan,

dan sifat bertanduk adalah resesif.

(40)

dipengaruhi faktor genetik pertumbuhan tanduk, juga dipengaruhi oleh aktivitas hormon testosteron. Hal ini menurut Turner dan Young (1969) bahwa anak domba jantan yang dikastrasi tampak pertumbuhan tanduk terhenti. Dari percobaan tersebut dapat dikatakan bahwa pertumbuhan tanduk dipengaruhi pula oleh jenis kelamin. Lasley (1978) mendapatkan bahwa ekspresi dari sifat pertandukan pada domba dipengaruhi oleh jenis kelamin, walaupun sebenarnya gen sifat pertandukan terletak pada autosom tetapi dalam kondisi tertentu yang seharusnya menimbulkan tanduk (pada jantan), tetapi pada betina hal tersebut tidak muncul tanduk.

Ekor

Merkens dan Soemirat (1979) menjelaskan bahwa pada domba Garut bagian belakang ekornya mempunyai 5-6 ruas tulang, sedangkan domba ekor gemuk ruas tulang ekornya mencapai 14 ruas atau lebih. Pembentukan lemak pada domba Garut terdapat di dasar ekor tampak ekor lebar dan keujung lebih kecil, pada domba ekor gemuk terjadi bukan pada bagian dasar ekor melainkan di kedua sisi pinggang ekor, gemuknya terdapat ditengah dan bagian bawah ekor. Devendra dan McLeroy (1982) menyatakan domba ekor gemuk memiliki ujung ekor berbentuk lancip dan sigmoid dengan rataan panjang ekor ±10 cm dan lebar ekor sekitar 4-8 cm. Dugaan adanya korelasi positif antara ukuran ekor (panjang

dan lebar) dan bobot badan domba ekor gemuk, karena ekor domba ekor gemuk menyimpan lemak dalam jumlah besar yang berfungsi sebagai sumber energi yang membuat mereka dapat bertahan hidup pada saat kekurangan pakan yang berkepanjangan dan sebagai stabilisator saat temperatur sangat tinggi/ekstrim.

Jarak Genetik

(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kawasan lembah Palu meliputi wilayah Kota Palu dan sebagian wilayah Kabupaten Donggala. Wilayah Kota Palu yang termasuk kawasan Lembah Palu yaitu Kecamatan Palu Barat, Kecamatan Palu Timur, Kecamatan Palu Utara dan Kecamatan Palu Selatan, sedangkan Kabupaten Donggala yaitu Kecamatan Sigi-Biromaru, Kecamatan Dolo, Kecamatan Marawola, Kecamatan Tawaeli. Bagian tengah Lembah Palu dibelah oleh Sungai Palu yang membentang dari Timur ke Barat dan sungai ini bermuara di Teluk Palu. Perbatasan wilayah Lembah Palu yaitu sebelah timur berbatasan dengan gunung Lolo (wilayah Kecamatan Parigi, Kabupaten Parimou), sebelah Barat berbatasan dengan gunung Watu Ralele dan gunung Lebanu, sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tawaeli Kota Palu dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala.

Iklim

Iklim merupakan komponen penting dan penentu dalam keberhasilan pengembangan suatu komoditas, sehingga penentuan suatu program pengembangan perlu ditunjang oleh ketersediaan data yang akurat dan rinci. Pengembangan komoditas pakan ternak tidak terlepas dari komponen iklim seperti curah hujan, kelembaban udara, penyinaran dan suhu. Iklim seperti curah hujan di Lembah Palu berada pada kisaran 450–1.000 mm/tahun dengan sebaran curah hujan tertinggi pada bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus. Curah hujan yang sangat menentukan perkembangan suatu komoditas di suatu wilayah tidak hanya berfungsi sebagai penyedia air, akan tetapi juga dapat berfungsi sebagai pelarut hara dalam tanah dan alat transportasi. Suhu udara pada tahun 2003-2004 berkisar antara 27,5-27,20C dengan kelembaban udara antara 72,8 - 74,8% (BPS Kota Palu 2004).

(42)

musim, saat musim hujan terjadi pertumbuhan vegetasi hijauan pakan yang tinggi namun saat musim kemarau hijauan pakan terbatas, dan kering serta terjadi pengayuan (lignification). Gambaran umum keadaan daerah penelitian disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Gambaran umum keadaan lokasi penelitian

Potensi Lokasi (Poboya) di (Kawatuna) di (Loru) di Palu Timur Palu Selatan Biromaru

Luas wilayah (km2) 63,41 20,67 57,68

Bentang lahan (%))

a. dataran 25 50 60

b. perbukitan 50 25 25

c. pegunungan 25 25 15

Curah hujan (mm/bln) 100 100 150

Ketinggian dpl (m) 100 250 500

Jumlah penduduk(jiwa) 1.287 2.666 1.906

Jumlah penduduk (KK) 601 613 496

Pertanian (ha)

- sawah 50 213 226

- ladang 150 378 286

- padang gembalaan 607 457 325 Populasi domba (ekor) 425 1.213 200

Jarak dr Palu Selatan(km) 5 0 10

Sumber : BPS Kota Palu 2004

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa luas dataran, persawahan dan ladang di tiga lokasi yang bervariasi, secara umum peternak di tiga lokasi melepaskan ternaknya merumput di padang penggembalaan. Sekilas tampak bahwa lokasi penggembalaan di Palu Timur dan Palu Selatan lebih luas dibanding Biromaru, namun produksi hijauannya lebih rendah. Apalagi populasi ternak di Palu Timur dan Palu Selatan lebih banyak dibanding Biromaru. Disamping itu area penggembalaan di Palu Timur dan Palu Selatan mulai bergeser kebukit akibat perkembangan pemukiman penduduk dan perumahan.

(43)

bahwa dengan menggabungkan data produksi pada dua musim berbeda sebagai rata-rata daya tampung sepanjang tahun menunjukkan bahwa estimasi daya tampung lahan penggembalaan di Poboya sepanjang tahun sangat rendah. Seekor ternak domba dewasa membutuhkan 1,5 ha/tahun (1 ha domba dewasa hanya mampu menampung 0,67 ekor ternak domba, atau 14,4 ha/tahun untuk seekor sapi dewasa (1 ha hanya mampu menampung 0,07 ekor ternak sapi). Jika menggunakan patokan unit-ternak (UT) menurut Amar (2002), maka daya tampung lahan rata-rata hanya 0,06 UT/tahun (1 UT = 1 ekor sapi dewasa dengan bobot 500 kg). Dari patokan tersebut maka daya tampung padang rumput pada masing-masing lokasi adalah 36,79 UT di Palu Timur, 27, 70 UT di Palu Selatan dan 19,7 UT di Biromaru. Populasi ternak masing-masing lokasi di sajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Populasi ternak besar dan kecil di tiga lokasi penelitian

Ternak Palu Timur Palu Selatan Biromaru

(ekor) (Poboya) (Kawatuna) (Loru)

Sapi 505 718 270

Kuda 42 48 −

Kambing 315 1829 295

Domba 425 1213 200

Jumlah 1287 3808 765

Sumber : BPS Kota Palu 2004

Berdasarkan hasil perhitungan daya tampung padang penggembalaan dengan populasi ternak yang ada pada Tabel 5 menyebabkan ternak yang ada khususnya domba tidak mampu menampilkan potensi genetiknya secara optimal, Upaya-upaya alternatif terus dilakukan untuk mengatasi masalah misalnya penelitian pemberian pakan sebagaimana telah dilakukan oleh Munier et al. (sistem semi intensif (2002) maupun intensif (2004). Munier (2002) menyimpulkan bahwa pemberian pakan tambahan dapat meningkatkan produktivitas domba dibandingkan tanpa pemberian pakan tambahan. Jika sistem pemeliharaan dilakukan secara semi intensif di tiga lokasi, maka di Loru berpotensi untuk pengembangan ternak karena didukung lokasi persawahan dan

(44)

Sumber Pakan

Hasil penelitian Hamsun dan Amar (2001) menyatakan bahwa rumput-rumputan memperlihatkan respon positif terhadap bulan basah dengan peningkatan produksi. Rumput merupakan kontributor dominan dalam mempersiapkan bahan kering. Proporsinya lebih tinggi pada bulan basah dari pada bulan kering. Di Kelurahan Kawatuna, rumput alam yang mendominasi adalah Cynodon sp dan Digitaria fuscescens dengan kapasitas tampung padang penggembalaan 0,5 ekor/ha/tahun untuk domba. Kandungan protein kasar Cynodon sp rendah hanya 11,16% sementara kebutuhan protein kasar saat tumbuh domba dengan rataan bobot hidup 21,55 kg membutuhkan protein kasar sebesar 15,80%. Dilaporkan juga bahwa beberapa jenis leguminosa yang tumbuh di padang penggembalaan Kelurahan Kawatuna seperti Tephrosia sp, Desmodium triflorum dan Alysicarpus sp dengan kandungan protein kasar 8,6−9,3%

Selanjutnya menurut Amar (2002) bahwa jenis rumput pakan ternak yang dominan di penggembalaan Poboya adalah Cynodon sp. dan Digitaria fuscescens, sedangkan jenis legume yang paling banyak adalah Tephrosia sp, Desmodium triflorum dan Alysicarpus sp. Kawasan penggembalaan ternak ruminansia di lembah Palu disajikan pada Gambar 4.

a. Musim hujan (kiri) b. Musim kemarau (kanan) Gambar 4 Kawasan penggembalaan ternak ruminansia di Kawatuna.

(45)

Keadaan Umum Peternak

Usaha utama peternak adalah bertanam padi sawah, palawija, buah-buahan, sayur-sayuran, kakao dan kelapa dalam sedangkan usaha ternak ruminansia kecil hanya bersifat penunjang. Meskipun beternak domba sebagai usaha sambilan, hasil penjualan ternaknya cukup besar memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarganya terutama untuk menyekolahkan anak-anaknya, acara-acara keagamaan dan sosial. Hal ini didukung oleh Priyanti et al. (1989) bahwa meskipun usaha ternak ruminansia kecil sebagai usaha penunjang tetapi kenyataannya memberikan sumbangan yang besar bagi pendapatan peternak. Hasil penjualan produk-produk pertanian hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagian dikonsumsi mereka. Keterlibatan wanita dalam usaha ternak domba memberikan andil yang cukup besar. Wanita menggantikan untuk menggembalakan ternak apabila suaminya melakukan kegiatan dilahan sawah atau kebunnya terutama saat pengolahan tanah, penanaman dan panen.

Menurut Munier (2003) bahwa jumlah peternak tertinggi di Kelurahan Kawatuna Kecamatan Palu Selatan 50 kepala keluarga (KK), dan di Kelurahan Paboya Kecamatan Palu Timur 8 KK, di Kecamatan Biromaru 8 KK. Tingkat pendidikan peternak bervariasi dari yang terendah tamat SD dan tertinggi tamat SLTA. Pada umumnya peternak dapat membaca dan berhitung dengan baik.

Kaitannya dengan umur peternak ditemukan di lapang juga bervariasi dengan kisaran 23–75 tahun. Tingkat pendidikan responden disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Tingkat pendidikan peternak menurut kelurahan

Lokasi Penelitian

Tingkat pendidikan

(orang) Jumlah

SD SMP SLTA

Kelurahan Kawatuna (%) 12 3 3 18 Kelurahan Poboya (%) 2 4 2 8

Biromaru (%) 2 3 3 8

Jumlah (KK) 16 10 8 34

Persentase (%) 47,06 29,41 23,52 Sumber : Munier (2003)

Tingkat pendidikan peternak pada Tabel 6 didominasi oleh tamatan SD

(46)

lapang peternak masih mengandalkan pengalaman secara turun temurun dalam memanfatkan sumber pakan guna meningkatkan bobot badan. Kebiasaan menggembala ternak masih disukai oleh peternak karena dianggap lebih praktis dari pada mengambilkan rumput ternaknya sebagaimana umumnya petani di Jawa. Hal tersebut mungkin disebabkan selain hijauan yang kurang, domba yang digembala cukup banyak sekitar 50-100 ekor lebih setiap penggembala juga menurut Diwyanto et al. (2002) karena pengaruh faktor sosial dan budaya. Namun dari 23,53% lulusan SLTA tersebut diatas memiliki potensi dalam mengakses perkembangan inovasi-inovasi teknologi beternak yang semakin berkembang.

Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah setempat dan perguruan tinggi dalam meningkatkan produktivitas petani peternak adalah dengan membentuk wadah (kelompok) sebagai sarana untuk memberikan penyuluhan atau pemberian bantuan. Disamping itu domba dilokasi penelitian sering dijadikan sebagai obyek penelitian sehingga dengan interaksi peternak dengan para peneliti memberikan tambahan pengetahuan bagi peternak untuk mengelola ternaknya.

Sistem Pemeliharaan

Sistem pemeliharaan domba dilokasi penelitian umumnya digembalakan

(47)

mengering. Jika hari hujan peternak lebih memilih untuk tidak melepas ternaknya.

Perkandangan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya kandang domba di lokasi penelitian adalah berlantai tanah. Lantai tanah di tiga lokasi masing-masing di Palu Timur 81,82% , Palu Selatan 73,33 % dan Biromaru 88,89% selebihnya berlantai panggung. Demikian pula dinding kandang umumnya menggunakan kayu. Penggunaan kayu sebagai dinding kandang di Palu Timur 63,64%, di Palu Selatan 80% dan di Biromaru 88,89%, selebihnya menggunakan dinding kandang dari papan. Sedangkan penggunaan atap rumbia sebesar 90-100% di tiga lokasi.

Lantai yang terbuat dari panggung umumnya dibuat berkat adanya bantuan dari dinas terkait atau kegiatan-kegiatan penelitian di lokasi tersebut. Setiap kandang baik lantai tanah maupun panggung di buatkan kamar kecil sebagai tempat melahirkan atau sebagai tempat mengumpulkan anak yang baru lahir sebelum domba dewasa digembalakan agar tidak ikut bersama induknya. Hal ini dilakukan setiap hari sampai anak berumur 6-8 minggu dengan asumsi anak sudah mampu berjalan mengikuti domba dewasa.

a. Lantai panggung (kiri) di Poboya b. Lantai tanah (kanan) di Kawatuna

Gambar 5 Kandang domba Donggala di lokasi penelitian.

(48)

Unsur iklim yang banyak mempengaruhi produksi ternak adalah temperatur dan kelembaban udara yang tinggi terutama di daerah-daerah tropis seperti di Indonesia, khususnya Sulawesi Tengah yang memiliki temperatur rata-rata 34,5oC. Hal tersebut akan mengganggu aktivitas fisiologis tubuh dan secara tidak langsung mempengaruhi konsumsi pakan, pertumbuhan maupun kualitas daging. Menurut Yousef (1985) bahwa daerah untuk domba berkisar pada suhu udara 4-24oC. Untuk mengurangi beban panas tubuh domba perlu dilakukan manajemen pemeliharaan seperti pemilihan sistem perkandangan. Kandang mempunyai peranan yang sangat penting, karena kandang berfungsi untuk melindungi ternak dari cekaman sinar matahari, angin kencang, curah hujan, gangguan hewan lain (anjing) serta pencuri ternak.

Populasi dan Kepemilikan Ternak

Struktur populasi domba Donggala di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Struktur populasi domba Donggala di lokasi penelitian

Jantan Betina

Lokasi Anak Muda Dewasa Anak Muda Dewasa Total ………...……(ekor)………..…………

Palu Timur 84 34 22 98 68 354 660

Palu Selatan 80 44 33 112 60 347 676

Biromaru 29 23 23 50 35 150 310

Dari Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah betina dewasa belum diimbangi dengan jumlah anak yang lahir. Namun replacement masih diatas 15%, berarti masih sesuai dengan patokan teknis produksi. Jumlah peternak di tiga lokasi penelitian masing di Palu Timur 16 KK, di Palu Selatan 20 KK dan di Biromaru 13 KK. Dengan demikian rata-rata peternak memiliki 41,25 ekor Palu Timur, 33,80 ekor Palu Selatan dan 23,85 ekor untuk Biromaru. Ternak domba yang dipelihara oleh peternak di Lembah Palu adalah milik sendiri dan sebagian peternak memelihara ternak ruminansia kecil sebagai ternak gaduhan yang pemiliknya berasal dari Kota Palu.

(49)

kecil pada setiap keluarga petani hanya 3–5 ekor yang berorientasi pada pemilikan ternak daerah padat penduduk seperti Jawa dan Bali. Tingginya rataan kepemilikan ternak domba ini karena ketersediaan padang penggembalaan serta daya adaptasi ternak dengan lingkungan setempat. Disamping itu di wilayah ini merupakan sentra pengembangan domba yang diprogramkan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Palu. Pola kepemilikan ternak domba umumnya yang berkembang adalah sistem kooperasi keluarga kecil, karena prinsipnya dalam satu kandang tediri dari puluhan bahkan ratusan ekor ternak domba yang dimiliki 3-5 orang peternak dengan jadwal penggembalaan tujuh atau 10 hari setiap peternak.

Daging domba sudah merupakan salah satu sumber protein hewani yang sudah memasyarakat di lembah Palu. Permintaan terhadap ternak ini juga terus meningkat terutama untuk acara-acara hajatan atau hari raya. Akibatnya jumlah pengeluaran, pemotongan dan kematian belum sebanding dengan tingkat kelahiran. Tingkat pengeluaran terbesar terjadi pada domba jantan, dengan jantan dewasa menempati pengeluaran tertinggi. Dinamika populasi domba di Sulawesi Tengah tahun 2005 disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Dinamika populasi domba Sulawesi Tengah tahun 2005 di lokasi penelitian

(50)

dari tahun ke tahun. Sebab lainnya adalah besarnya pengeluaran ternak domba melalui pengiriman antar pulau. Jika hal hal ini terus terjadi menjadi akan sangat mengancam populasi domba di daerah ini. Oleh karena itu harus ada upaya mengatasi hal tersebut supaya ternak domba yang sudah beradaptasi dengan lingkungan lembah Palu tidak terancam kepunahan.

Berdasarkan kondisi tersebut maka kebijakan untuk tetap mempertahankan populasi serta meningkatkannya adalah dengan menekan pengeluaran dan pemotongan. Selanjutnya pemerintah mendorong peternak untuk melakukan seleksi terhadap betina produktif. Mempertahankan pejantan unggul yang ada dengan cara, pemerintah membeli pejantan-pejantan yang unggul kemudian menitipkan kembali kepada peternak atau menggilir kepada peternak lain, sehingga tidak ada beralasan jika peternak hendak menjualnya karena membutuhkan uang. Mendatangkan pejantan unggul, menambah wilayah baru yang potensial untuk pengembangan ternak domba serta meningkatkan pengetahuan terhadap peternak melalui penyuluhan.

Tabel 9 Beberapa sifat reproduksi domba Donggala hasil penelitian

Palu Timur Palu Selatan Biromaru

1 Persentase beranak (%) 51,41 55,33 57,25

2 Rasio anak dan induk 1:1,94 1:1,81 1:1,75

3 Persentase anak sapih

dari total kelahiran 14,86 33,29 13,92

4 Rasio jantan & betina dewasa 1:16 1:10,5 1:6

Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa persentase beranak domba Donggala pada ketiga lokasi masih rendah yakni dibawah 60% dengan jarak beranak antara 7-8 bulan. Menurut Wiradarya (2005) bahwa tingkat produksi anak domba perkelahiran adalah 90%. Rendahnya persentase beranak tersebut mungkin disebabkan karena peternak belum melakukan seleksi terhadap betina yang produktif dan mengafkir induk yang tidak produktif sehingga mempengaruhi perhitungan persentase beranak. Rasio jantan dan betina dewasa masih rendah

(51)

Peluang Pasar Ternak Domba Donggala

Hasil wawancara dengan peternak bahwa harga jual harga jual domba Donggala jantan dewasa berkisar Rp 750.000-1.500.000 lebih tinggi dibanding domba betina dewasa sekitar Rp 500.000-750 000. Kebutuhan domba masyarakat Palu dan sekitarnya sebanyak 1.181 ekor/tahun atau 15,9% dari total populasi domba tahun 2003 (7.408 ekor). Dengan demikian ternak domba cukup menjanjikan oleh karena itu Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah telah menjadikan Domba sebagai salah satu komoditas unggulan berdasarkan kondisi sumber daya lahan, iklim dan sosial budaya. Penetapan komoditas unggulan suatu wilayah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi usaha tani dan memacu perdagangan antar daerah dan antarnegara. (Disnak, 2003)

Usaha pemeliharaan domba tersebut memilki peluang pasar yang baik karena lokasi pengembangan dekat kota Palu dimana masyarakatnya menyukai daging domba. Hal tersebut ditunjukkan tingginya pemotongan untuk kebutuhan hajatan, aqikah dan hari raya. Peluang pemasaran ternak domba ke Kalimantan Timur sampai saat ini belum bisa dipenuhi karena populasi yang masih rendah sehingga hal ini menjadi tantangan Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah dan masyarakat peternak untuk melihat domba sebagai salah satu komoditas unggulan Sulawesi Tengah.

(52)

Sifat Kuantitatif Bobot Badan Bobot Badan Pra Sapih

Rataan bobot badan domba jantan dan betina umur 0-8 minggu dilokasi penelitian disajikan pada Tabel 10 dan Tabel 11.

Tabel 10 Rataan bobot badan domba jantanumur 0-8 minggu dilokasi penelitian

Tabel 11 Rataan bobot badan domba betinaumur 0-8 minggu dilokasi penelitian

Keterangan SB: simpangan baku

Rata-rata bobot lahir domba jantan Palu Timur, Palu Selatan dan Biromaru masing-masing 2,70; 2,91 dan 3,25 kg sedangkan domba betina adalah 2,66; 2,74

(53)

bobot lahir sebesar 2,6; 3,3 dan 6,0 kg, bila dikandangkan dan bila digembalakan didapatkan bobot lahir sebesar 2,1 dan 3,0 kg untuk ternak dengan jumlah anak sekelahiran 1 dan 2 secara berturut-turut.

Grafik pertumbuhan domba Donggala dari bobot lahir sampai bobot umur 8 minggu di lokasi penelitian berdasarkan bobot badan disajikan pada Gambar 6.

Keterangan : PT : Palu Timur; PS : Palu Selatan; BM : Biromaru

Gambar 6 Histogram bobot anak domba jantan (kiri) dan betina (kanan) dari umur 0-8 minggu di tiga lokasi penelitian.

Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa bobot lahir anak domba di Biromaru lebih tinggi dibanding lokasi lainnya meskipun hasil uji Tukey tidak berbeda nyata (P>0,05), hal ini mungkin disebabkan perbedaaan pasokan nutrien induk yang lebih cukup saat bunting. Lokasi lainnya berada pada kondisi padang penggembalaan yang lebih miskin pakan dibandingkan dengan lokasi induk-induk yang di Biromaru. Demikian pula pertumbuhan anak domba di Palu Selatan lebih tinggi dibanding domba di Palu Timur, namun lebih rendah dibandingkan anak domba di Biromaru baik jantan maupun betina.

Sutama (1993) menyatakan bahwa domba ekor gemuk adalah domba prolifik dengan jumlah litter yang bervariasi 1-3 ekor (rata-rata 1,6 ekor)

Gambar

Tabel 4  Gambaran umum keadaan lokasi penelitian
Gambar 4  Kawasan penggembalaan ternak ruminansia di Kawatuna.
Gambar 5  Kandang domba Donggala di lokasi penelitian.
Gambar 6.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam dada, panjang tengkorak, lebar tengkorak, panjang tanduk domba tangkas Wanaraja jantan berbeda nyata dengan kelompok domba yang lain saat

Ketiga bangsa kelinci berjenis kelamin jantan mempunyai penciri ukuran yang sama yaitu panjang tulang punggung dan penciri bentuk adalah lingkar dada, bentuk kelinci Rex jantan

Kerbau sungai (Murrah) betina secara umum memiliki ukuran tubuh yang tidak berbeda dengan silangan kecuali pada ukuran dalam dada, dalam dada (75,9±4,85 cm) dan lingkar dada

Domba betina pada umumnya mempunyai jenis warna tubuh dominan lebih banyak dibandingkan domba jantan untuk setiap bangsa (Gambar 12) kecuali bangsa domba betina

Data merupakan data primer ukuran tubuh dan pengamatan sifat kualitatif pada 49 ekor kerbau sungai yaitu kerbau Murrah (15 jantan dan 34 betina), 20 ekor kerbau silangan (2 jantan

Lingkar dada dan panjang badan dijadikan sebagai faktor penentu produktivitas domba silangan Lokal-Garut jantan pada kelompok ternak Mandala Maju, Cikadu dan Sukaresik dengan

Pada kelima kelompok domba betina menunjukkan tinggi pundak, panjang badan, lingkar dada, dalam dada dan lebar dada yang tidak berbeda bahkan banyak yang lebih besar bila

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa hubungan antara morfometrik tubuh panjang badan, lingkar dada, dan tinggi pundak dengan bobot badan domba sakub jantan pada berbagai