• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan: Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari. Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala. Sulawesi Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan: Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari. Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala. Sulawesi Tengah"

Copied!
338
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)
(120)
(121)
(122)
(123)
(124)
(125)
(126)
(127)
(128)
(129)
(130)
(131)
(132)
(133)
(134)
(135)
(136)
(137)
(138)
(139)
(140)
(141)
(142)
(143)
(144)
(145)
(146)
(147)
(148)
(149)
(150)
(151)
(152)
(153)
(154)
(155)
(156)
(157)
(158)
(159)
(160)
(161)
(162)
(163)
(164)
(165)
(166)
(167)
(168)
(169)
(170)
(171)
(172)
(173)
(174)
(175)

PEMBENTUKAN STRUKTUR A G M R I A PADA MASYARAKAT

PINGGIRAN HUTAN:

Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kecarnatan

Palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah

OLEH:

SYAHYUTI

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(176)

ABSTRAK

SYAHYUTI. Pembentukan S t ~ k t u r Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan:

Studi Kasus di Desa Sintuwu dan

Desa

Berdikari, Kecamatan Palolo. Kabupaten

Donggala, Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh M.T. FELIX SITORUS dan

ENDRIATMO SOETARTO.

Indonesia menghadapi berbagai pennasalahan kehutanan berupa kerusakan hutan dan konflik kepentingan, mi&lnya yang te jadi pada areal hu&n produksi dan taman nasional. Penelitian ini rnenggunakan pendekatan peneliian

kualitatif, dengan menerapkan mi

shrdi

kasus ~ dan rnulti metode

pengumpulan data berupa wawancara, pengamatan langsung, serta studi

dokumen. Lokasi penelitian di Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala. Sulawesi

Tengah, yang merupakan kawasan yang berbatasan dengan wilayah hutan, yaitu Desa Sintuwu yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu dan Desa Berdikari yang berbatasan tangsung dengan Hutan Produksi

Terbatas milik negara. W&ncara dilakukan terutama di tingkai masyarakat

dilengkapi di berbagai instansi baik pernerintah, balai taman nasional dan LSM. Selain itu, untuk dukungan data kuantitatif tentang pemilikan tanah dan cam

perolehannya, dilakukan wawancaraterstruktur kepada 61 orang responden.

Kedua desa merupakan desa bentukan melalui migrasi swakarsa berbagai suku dan sub-suku, yaitu suku asli Sulawesi Tengah (Suku Kaili dan

Kulawi) dan suku pendatang (Bugis, Manado, Toraja, serta sedikit Jawa, Sunda,

dan Bali) semenjak tahun 1961. Kedua desa saat ini didominasi perkebunan kakao pheobrvma cacao) dengan melakukan ekspansi ke wilayah hutan negara. Cara perolehan tanah berkaitan dengan tahun kedatangan migran selain

karena faktor suku. Pada era 1960-an dan 1970-an. setiap pendatang dapat

membuka sendiri kawasan desa yang rnasih berupa hutan dibawah pengaturan

kepala desa bersangkutan. Setelah itu. pendatang periode . berikutnya

memperoleh dengan cara diberi kerabat atau mernbeli. Pemberian dan jual beti

cenderung terjadi dalam keluarga dan antar kerabat. atau setiiaknya daiam satu

suku. Suku Kaili Taa di Sintuwu dan Kulawi di Berdikari lebih banyak memperoleh tanah dengan membuka secara langsung, namun orang Bugis kbih

suka membeli. Suku-suku pendatang pertama oendewng mengalami

majinalisasi penguasaan terhadap tanah, disebabkan "keterpaksaan" mereka menjual tanah-tanahnya untuk membiayai pesta perkawinan dan selarnatan perkawinan. Hal ini rnenjadi faktor pendorong mereka melakukan ekspansi ke dalam kawasan hutan.

Di kedua kawasan hutan ditemukan konflik antafa pemerintah di s t u

kubu dengan swasta dan masyarakat di kubu lain. Pengawasan dan penegakan hukum yang lemah rnenyebabkan pencurian kayu dan penanam lahan hutan (landgmbbing). Hal ini disebabkan karena tarikan pasar dunia kakao dan gejala "kekurangan" tanah.

(177)

SUKAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang be judul:

PEMBENTUKAN STRUKTUR AGRARIA PADA MASYARAKAT PINGGIRAN

HUTAN: Studi Kans di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kesamatan Pablo,

Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah

adalah benar hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber

data dan inforrnasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

(178)

PEMBENTUKAN STRUKTUR AGRAR1A PADA MASYARAKAT PlNGGlRAN HUTAN:

Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kecamatan Pafolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk rnernperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(179)

HALAMANPENGESAHAN

Judul Tesis : Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat

Pinggiran Hutan: Studi Kasus di Desa Sintuwu dan

Desa Berdikari. Kecamatan Palolo, Kabupaten

Donggala. Sulawesi Tengah.

: Syahyuti : 99?40

: Sosiologi Pedesaan. Nama

NRP

Program Studi

Menyetujui, 1. Kornisi Pernbirnbing

-

Dr. M.T. Felix Sitorus Ketua

2. Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan

-

-A

Dr. M.T Felix Sitorus

Mengetahui,

(180)

Penulis dilahirkan di Kabupaten Padang Pariaman pada tanggal 2

Februari 1967 sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Pendidikan sajana

ditempuh pada Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus tahun 199f. Pada tahun 1999 penuiis

diterima di Program Studi Sosiologi Pedesaan pada Program Pasca Sarjana

lnstitut Pertanian Bogor dan menamatkannya tahun 2002.

Penulis bekeja sebagai peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan

Sosial Ekonomi Pertanian. 8adan Penelian dan Pengembangan Pertanian,

Departemen Pertanian sejak tahun 1992 di Bogor. Bidang penelitian yang

menjadi tanggung jawab penulis adalah Penelitian Kelernbagaan dan Organisasi

(181)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Atlah SWT atas segala

karunianya sehingga karya ilrniah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yaAg dilaksanakan sejak bulan Mei

2001

sarnpai

dengan bulan Juli 2001 ini ialah agraria dengan judul Pernbentukan Stmktur

Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan: Studi Kasus di Desa Sintuwu dan

Desa Berdikari, Kecamatan Palolo. Kabupaten Donggala. Sulawesi Tengah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. M.T. Felix Sitorus dan

Bapak Dr. Endriatmo Soebrto selaku pembirnbing. Di sarnping itu, penghargaan

penulis sampaikan kepada proyek ARM (Agriculfural Research Managemenf)

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah memberi biaya

selama studi serta penelitian STORMA (Stability

of

Rain Forest Margins), suatu

kejasama penelitian antara lnstitut Pertanian Bogor, Universitas Tadulako,

Georg-August-Universitat Gottingen dan Universitat Gesamthochscfiule KasseI

Witzenhausen, Jerman yang telah membantu pembiayaan selama penelitian

lapang Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada isteri tercinta (Indri

(182)
[image:182.559.82.471.67.556.2]

DAFTAR tSI

...

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penetitian

...

Pertanyaan Penelitian ...

...

Tujuan Penelitian

...

...

TIN JAUAN PUSTAKA i

Karakteristik Sistem Sosial Masyarakat Dan Struktur Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan

...

...

Keterjaminan Keamanan Sosial Ekonomi dalam Masyarakat

...

Keberlajutan Ekosistem dan Sum ber-Surnber Agraria

METODOFOGI PENELITIAN

...

Batasan Konsep Penelitian

.

...

Kerangka Pemikiran dan Hipotesa

...

...

Metode Penelitian

GAMBARAN UMUM SOSIAL EKONOMI Dan PEMBENTUKAN

...

WllAYAH DATARAN PALOLO

Karakteristik Geografi dan Ekonorni

...

..

...

Karakteristik Demografi dan Sejarah Pernbentukan Wilayah

...

...

Rangkuman

PERKEMBANGAN PEMBENTUKAN DESA DAN STRUKTUR

MASYARAKAT

...

...

Desa Sintuwu

Desa Berdikari

...

...

Rangkurnan

PEMBENTUKAN STRUKTUR AGRARlA 131 DESA S I N T W U DAN

...

BERDIKARI

...

...

Struktur Agraria dan Proses Pembentukannya

:

...

Kete rjaminan Kemanan Sosial Ekonomi

Status Stabilitas Sumber-Sumber Agraria dan Prospek Keberlanjutan E kosistern ...

...

Sistem Ekonomi Tanaman Kakao

Hubungan zntara Pembentukan Struktur Agraria. Keterjaminan

Keamanan Sosial Ekonomi

.

dan Stabilitas Sumber-Sumber Agraria .... .

... Rangkuman

... KESIMPULAN

...

DAFTAR PUSTAKA

...

LAMP1 RAN

(183)

DAFTAR TABEL

...

Jenis dan metode pengumpulan data

Sebaran penduduk berdasarkan dusun dan suku di desa Sintuwu

...

Sebaran penduduk berdasarkan dusun dan suku di desa Berdikari

...

Jenis dan luas penggunaan tanah di Desa Sintuwu dan Berdikari. 2001

...

Cara perolehan tanah berdasarkan suku di Desa Sintuwu

...

(berdasarkan jumlah persil) ...

.

.

Cara perolehan tanah berdasarkan suku di Desa Sintuwu (berdasarkan luas tanah)

...

Cara perolehan tanah berdasarkan suku di Desa Berdikari

...

(berdasarkan jurnlah persil) ...

..

Cara perolehan tanah berdasarkan suku di Desa Berdikari

...

(berdasarkan luas tanah) :.

Rata-rata luas penguasaan kebun kakao per rumah tangga

res~onden berdasarkan suku di Desa Sintuwu dan Berdikari.

Halaman

26

(184)

Halarnan

...

...

1

.

Peta burni Kecarnatan Palolo .. 135

2

.

Peta nama ternpat dan pernukirnan penduduk di Desa Sintuwu

...

136

...

3 . Peta penggunaan tanah di Desa Sintuwu 137

4

.

Gambar transek Desa Sintuwu

...

138

5

.

Peta nama tempat dan pernukirnan pencjuduk di Desa Berdikari

...

739

6

.

Peta penggunaan tanah di Desa Berdikari

...

140

...

7

.

amb bar transek dusun 4 Desa Berdikari 141

7 (lanjutan)

.

Garnbartransek dusun 2 dan 3 Desa Berdikari

...

142

8

.

Penguasaan tanah oleh responden berdasarkan suku di Desa

Sintuwu

...

143

9

.

Cara perolehan tanah oleh suku Kaili di Desa Sintuwu

...

144

10

.

Cara perolehan tanah oleh Suku Bugis di Desa Sintuwu

...

145

11

.

Cara perolehan tanah oleh Suku Kutawi dan Sunda di Desa

Sintuwu ... 146

12

.

Gambar skerna umurn perolehan dan transaksi tanah antar suku

di Desa Sintuwu

...

147

13

.

Penguasaan tanah oleh responden berdasarkan suku di Desa Berdikari 148

-I4 . Cara perolehan tanah oleh Suku Kulawi di Desa Berdikari

...

149

15

.

Cara perolehan tanah oleh Suku Bugis di desa Berdikari ... 150

16 . Cara perolehan tanah oleh suku Toraja. Manado. Jawa. dan- Sunda

di Desa Berdikari ... 153

17

.

Gambar skerna umurn perolehan dan transaksi tanah antar suku

di Desa Berdikari

...

152

18

.

Pernbentukan desa melalui rnigrasi dan kaitannya dengan

...

hubungan sosioagraria di Desa Sintuwu 153

19 . Pernbentukan desa melalui rnigrasi dan kaitannya dengan

(185)

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Pada setiap kornunitas akan didapati kaitan yang kuat antara organisasi

sosial yang dikembangkan dengan sumber daya agraria yang dimilikinya.

Interaksi manusia dan sumber daya alam pada satu kawasan akan melahirkan

suatu pola organisasi agraria tertentu tergantung kondisi spesifik fisik dan

sosialnya, yang terlihat dari struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan

surnber-surnber agraria. Struktur yang terbentuk tersebut rne~pakan hasil dari

berbagai faktor penyebab, baik yang berasal dari rnasyarakat itu sendiri berupa

sejarah dinamika internalnya. maupun dari luar misahya intervensi birokrasi dan

pihak swasta.

Sebagai suatu sistern, hubungan antara alarn dan manusia pada areat

tertentu bersifat tirnbal balik (coherent system). Hal ini juga berlaku untuk kasus

hubungan antara hutan dan manusia. Kelestarian surnber-surnber agraria

kehutanan tergantung kepada struktur agraria rnasyarakat seternpat yang hidup

dr dalarn ataupun di sekitamya. Sebaliknya, beroperasinya struktur agraria

tersebut didasarkan atas kapasitas sosial . ekonomi sumber daya di wilayah

prnggiran hutan tersebut.

Permasatahan rnasyarakat yang hidup di pinggiran hutan negara adalah

tidak adanya pengakuan hak-hak rnasyarakat adat oleh negara, sehingga

menirnbulkan konfl~k pernanfaatan hutan (Gunawan et. a/, 1998: 4). Untuk

menyelesaikan permasalahan tersebut dibutuhkan kajian sosiologis terhadap

masyarakat pinggiran hutan secara mendalarn. khususnya berkenaan dengan

aspek sosloagrananya Pernaharnan terhadap masyarakat pingg~ran hutan perlu

(186)

ini disebabkan oleh sistem pengelolan yang tidak berakar kepada

pengembangan kelembagaan setempat (Wibowo, 1993: 26). Pengembangan

kelembagaan lokal sangat dibutuhkan untuk pengelolaan kehutanan dalam

kerangka pembangunan yang berkelanjutan, yang mencakup aspek-aspek

ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara ekonomi pengelolaan kehutanan hams

dapat rnemberi hasil maksimal kepada pihak-pihak terlibat, secara sosial dapat

diterima, dan secara lingkungan hams dapat menjaga potensi sumber daya

alam.

Pemerintah rnerniliki beberapa bentuk pengelolaan sumber daya hutan,

dua di antaranya adalah hutan produksi dan tarnan nasional. Kedua jenis bentuk

pengelolaan tersebut saat ini dihadapkan kepada berbagai persoalan yang

menjurus kepada kerusakan hutan. Kerusakan pada hutan taman nasional

disebabkan oleh konflik antara pihak tarnan nasional dengan masyarakat di

sekitamya yang merasa memiliki wilayah taman nasional tersebut (Machmur,

1999: 90). Masyarakat sekitar hutan melakukan pencurian hasil hutan,

penyerobotan lahan untuk perladangan, dan pendudukan wilayah taman

nasionat sebagai pemukiman'

Dari uraian di atas jelastah, tyrhwa pengelolaan hutan dengan

menerapkan sistem administrasi sentfal selama ini cenderung gagal, karena

kurang menghargai dan mernpertimbangkan kompleksitas dan keragaman sosial

ekonomi rnasyarakat setempat. Untuk menjamin keberlanjutan (sustainability)

sumber daya kehutanan di rnasa datang, diperlukan kesadaran untuk

mengembangkan kapasitas komur?itas lokal, termasuk perubahan paradigma

pengelolaan taman nasional dengan menempatkan manusia sebagai bagian

(187)

Integral dl dalamnya2. Untuk merancang kelembagaan yang dibangun

berdasarkan paradigrna baru tersebut, diperlukan pengetahuan yang cukup

terhadap bangun orgartisasi sosioagraria masyarakat setempat.

Hal ini disadari sebagai tugas yang sulit apalagi rnenyangkut tanah-tanah

adat di luar Jawa yang coraknya sangat beragam dan terlihat pelik bagi orang

luar (Ngo. 1989: 73). Untuk alasan itulah perlu dilakukan banyak studi agar dapat

rnernetakan persoalan agraria yang sangat beragarn tersebut, terutama di luar

Jawa yang merniliki sejarah dan dinamika politik agraria yang berbeda dengan di

pulau Jawa.

Masyarakat yang rnendiarni witayah pinggiran hutan saat ini juga ada

yang merupakan rnasyarakat bentukan barn karena migrasi pendatang dari luar.

Hal ini didorong oleh kekayaan sumber daya agraria di sana dan adanya peluang

akses bagi pendatang. Pada kasus ini akan dijumpai dinamika sosioagraria yang

berbeda dibandingkan dengan rnasyarakat pinggiran hutan yang telah turun

temurun mendiarni wilayah tersebut. Proses pernbentukan struktur agraria serta

ketejaminan sosial ekoncnni pada masyarakat tersebut diperkirakan menjadi

dasar bagaimana keberlanjutan sumber-sumber agraria yang dimilikinya,

termasuk keberlanjutan ekosistern hutan dr dekaf mereka.

Pertanyaan Penetiiian

Bertolak dari prinsip hubungan ko-evolusi antara alam dan rnanusia,

rnaka proses pernbentukan struktur agraria akan rnempengaruhi bagaimana

keberlanjutan hubungan ekosistem tersebut di masa datang. Untuk itu, penelitian

ini akan menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu: bagaimana proses

Hal ini misalnya sudah dujicobakan pada masyarakat adat berbagai etnik dari suku Dayak di TN Kayan Mentarang (Kaltirn) yang ikut rnengelola kawasan konsewasi tersebut dengan menggunakan hukum-hukum adat nereka (Kornpas, 3 November 2000: "Masyarakat Adat akan lkut Kelola TN Kayan Mentarang").

(188)

pembentukan struktur agrana pada rnasyarakat pinggiran hutan, bagaimana

keterjaminan keamanan sosial ekonominya (socioeconomic security), serta

bagaimana prospek keberlanjutan ekosistem (biofisik) setempat sebagai akibat

aktivitas sosial masyarakat yang mendiaminya.

Untuk menjawab pertanyan-pertanyaan tersebut peneliti akan sampai

kepada pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik sebagai berikut:

(1) Struktur agraria menyangkut dua kornponen utarna yaitu surnber-surnber

agraria dan rnanusianya, sehingga dari pertanyaan bagairnana proses

pembentukan struktur agraria diperolefi pertariyaan-pertanyaan spesifik

berikut:

a. Bagairnana kondisi dan potensi sumber daya agraria yang terdapat

pada masyarakat pinggiran hutan, serta bagaimana perubahan

penggunaan dan faktor-faktor penyebabnya?

b. Siapa dan bagaimana bentuk organisasi yang merniliki akses terhadap

sumber-sumber agraria, serta faktor apa yang menentukan

pernbentukan tersebut?

(2) Dari pertanyaan ketejaminan keamanan sosial ekonomi diperoleh

pertanyaan-pertanyaan spesifik berikut

a. Bagairnana keterjaminan keamanan sosial ekonomi terbentuk dan faktor-

faktor apa yang menentukannya?

b. Bagairnana institusi penjamin kearnanan sosial ekonomi yang terbentuk,

apakah didasarkan kepada ikatan genealogis atau ikatan teritorial?

(3) Dan pertanyaan prospek keberlanjutan ekosistem setempat diperoleh

perianyaan-pertanyaan spesifik berikut:

a Baga~rnana masyarakat mernperlakukan tanah, khususnya tanah-

(189)

untuk rnengetahui status stabilitas sumber-sumber agraria di kawasan

tersebut

b. Faktor-faktor apa saja yang diperkirakan akan rnempengaruhi prospek

stabilitas sumber-surnber agraria di daerah tersebut, khususnya

berkenaan dengan shktur agraria dan kete jarninan kearnanan sosial

ekonorni yang dirniliki rnasyarakat?

Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pertanyaan utarna penelitian, maka tujuan penelitian

adalah:

1. Mernperoleh garnbaran proses pernbentukan struktur agraria pada

rnasyarakat pinggiran hutan yang merupakan rnasyarakat bentukan barn.

2. Mernperoleh garnbaran ketejarninan kearnanan sosial ekonorni rnasyarakat

yang berdiarn di pinggiran hutan.

3. Mernperoleh gambaran tentang prospek stabilitas ekosistern seternpat

berdasarkan proses sosioagraria yang bedangsung dalarn kehidupan

(190)

TINJAUAN PUSTAKA

Masyarakat pinggiran hutan memiliki struktur sosial dan sosio agraria

yang berbeda-beda. Sebagian di antaranya dapat dikategorikan sebagai

"rnasyarakat adat" dengan perilaku okupasi yang dijiwai oleh kearifan dengan

berpegang kepada prinsipprinsip kelestarian alam khas masyarakat adat,

sementara sebagiannya lagi m e ~ p a k a n rnasyarakat transisi, atau bahkan

mempakan rnasyarakat bentukan baru yang belum tentu memiliki kearifan

serupa. Mobilitas penduduk antar wilayah yang tinggi karena perbedaan tekanan

penduduk dan kesernpatan ekonomi melahirkan kelompok-kelompok masyarakat

yang plural sarnpai ke desa-desa. Dengan demikian, pada kawasan pinggir hutan

akan dijurnpai beragarn tingkat kornunalitas kelornpok masyarakat yang

selanjutnya akan berirnplikasi kepada tingkat keberlangsungan ekosistem

setempat.

Karakteristik Sistem Sosial dan S t ~ k t u r Agraria pada ~ a s ~ a r a k a t Pinggiran Hutan.

Kawasan yang disebut dengan pinggiran hutan (foresf margin) adalah

wilayah yang pada satu atau lebih sisinya berbatasan langsung dengan wilayah

kehutanan. Pada wilayah demikian terdapat areal pertanian dengan segenap

infrast~ktur pendukungnya yang menjadi basis sosial ekonomi kehidupan

rnasyarakatnya. Satu ha1 yang khas pada rnereka adalah, selain hidup dari

budidaya pertanian, mereka juga hidup dengan mengeksploitasi sumber-sumber

agraria yang berada di kawasan hutan. Penelitian Kartasubrata eta1 (1995: 84)

pada masyarakat sekitar hutan di Jawa menemukan bahwa secara sosial

(191)

lnteraksi manusia dengan alam (man-natue relationship) akan mernbentuk pola interaksi yang khas. Dalam ha1 ini, manusia meiakukan fungsi

menjaga sekaligus membentuk lingkungannya (fisrk dan biologi). Karena itu.

kelangsungan sistem sosial masyarakat pinggiran hutan akan berpulang kepada

bagaimana struktur agraria yang menjadi komponen dari sistem organisasi

masyarakat tersebut.

Masyarakat pinggiran memiliki lingkungan yang khas dengan sumber-

sumber agraria dari kwasan hutan berupa kayu, air, bahan tambang, lahan

pertanian, serta produk hutan lain. Bagi masyarakat yang sudah terbiasa hidup

dengan hutan. khususnya masyarakat adat, yang menjadikan hutan sebagai

sumber berbagai macam kebutuhan subsistensi, mereka membagi wilayah hutan

untuk masing-masing keperiuan dengan pertimbangan kebutuhan dan

kemampuan kawasan hutan dengan dilandasi prinsip-prinsip kelestarian3.

Penelitian Devung (1999: 238) pada Suku Dayak menemukan bahwa mereka

membagi wilayah hutan kedalam beberapa kawasan dengan fungsi tertentu,

yaitu kawasan untuk pemukiman, kawasan pertanian, kawasan hutan lindung

adat, dan sisanya hutan umum desa yang dapat dipakai untuk berbagai

keperiuan ekonomi. Untuk menjaga berlakunya aturan-aturan ini, maka

ditetapkan berbagai batasan dan larangan yang hams dipatuhi warga setempat.

Karena persoalan tanah menjadi objek yang penting dalam sistem sosial

rnasyarakat, maka dalam hukum adat telah dikembangkan aturan pola

peruntukkan tanah yang dipatuhi komuniias tersebut. Penelitian Ruwiatuti et. a/,

(1998: 50-1) mencatat adanya ragam peruntukkan lahan di berbagai kelornpok

"masyarakat adat" yang menunjukkan adanya kearifan ekologis. Sebagai contoh,

Masyarakat adat ada[ah suatu satuan kornunitas yang merniliki asal-usul leiuhur secara turun temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta merniliki sistern nilai, ideologi,

ekonorni politik, budaya, dan sosial yang khas (Machmur. 1999: 95).

(192)

masyarakat suku Kaili di Pornbui. Kecamatan Marawola, Sulawesi Tengah,

membagi peruntukkan lahannya menjadi ernpat jenis sebagai benkut, yaitu:

1. Petoo: yaitu wilayah yang berada dalam penguasaan anggota suku.

Lahan ini berisi kebun, pemukiman, hutan bekas kebun, dan hutan

primer.

2. Vana: hutan rimba untuk berburu dan mengambil hasil hutan yang khusus

untuk anggota suku saja.

3. Pengak: hutan lebat milik koleMif anggota suku. Areal ini dibiarkan tetap

menjadi hutan berdasarkan pertirnbangan ekologis, karena adanya

sumber air, bertopografi miring. atau karena kurang subur untuk

usahatani. Wilayah hutan ini adalah juga sebagai tempat keramat yang

diakui seluruh anggota suku.

4. Kaore, Orna, dan Ova: hutan bekas kebun yang sedang diistirahatkan

oleh pemiliknya dalam waktu lama.

Pola dan ragam pembagian ini . tidak sama pada setiap kelompok

masyarakat. Meskipun demjkian tarnpaknya ada pola tertentu sedemikian rupa,

sehingga pada pembagian tersebut akan dapat ditemukan tanah yang khusus

untuk pertanian intensif, pertanian ekstensif, pemukiman, sebagai hutan produksi

yang diarnbit produksinya, serta hutan yang tidak diambil hasil produksinya

bahkan terlarang untuk dimasuki.

Adanya kesepakatan penggunaan sumber daya tersebut hanya akan

tercapai pada masyarakat yang berbentuk 'komunitas". Menurut Soekanto (1 982:

162-3: dan 1983: 92), kornunitas (community) atau dapat disebut dengan "masyarakat setempat" adalah kelompok yang hidup bersama dengan kriteria

tingginya interaksi sosial (social relationship) di antara mereka. Mereka

bertempat tinggat di satu wilayah (secara gepografis) dengan batas-batas

tertentu dimana faktor utarna yang menjadi dasarnya adalah interaksi yang lebih

(193)

besar di antara para anggotanya dibandingkan dengan penduduk di luar batas

wilayah tersebut. Seiain itu, mereka harus rnerniliki perasaan yang sama,

sepenanggungan dan saling mernerlukan.

Namun dernikian, gambaran pemanfaatan surnber daya secara ideal

pada rnasyarakat adat tersebut saat ini banyak yang telah mengalami degradasi,

karena pengaruh pendatang. Kernudahan transportasi dan terbukanya

kornunikasi mendorong terjadinya rnigrasi penduduk antar wilayah, dimana ada

kecenderungan angkatan rnuda di dataran tinggi berrnigrasi ke kota, sebaliknya

banyak penduduk dataran rendah yang rnencari kehidupan ke witayah dataran

tinggi karena tebih tehukanya peluang akses tehadap surnber-sumber agraria di

sana (FA0 dan IRR, 1995: I I ) .

Secara teoritis, kearifan masyarakat setempat daiam pemanfaatan

surnber-sumber agraria kehutanan akan tetap te jaga apabila tidak ada intervensi

dari pihak luar. Hal ini dibuktikan dafl penelitian Brewer (-3985: 163-88) di

Sumbawa Timur (NTB) yang rnenernukan bahwa intewensi pemerintah telah

rnerusak hukum adat tentang tanah yang.telah mengatur penguasaan, tata guna,

serta pengusahaan secara baik. Selain pemerintah, kedatangan migran yang

menyebabkan tingginya . tekanan - penduduk juga berdampak kepada

pernanfaatan lahan secara turnpang tindih yang cenderung over-eksploitasi dan

terjadinya degradasi yang merusak elernen dasar dari sumber daya alam

(Mulatsih dan Parnbudy, 1999: 2). Gambaran ini juga didukung oleh pengamatan

F A 0 dan IlRR (1995: 511) secara urnurn di Asia Tenggara, dimana wilayah

kawasan pinggir hutan dicirikan oleh adanya degradasi sumber daya alam di

sarnping perrnasalahan pemilikan dan penguasaan (land tenure).

Dalam kerangka hubungan manusia terhadap tanah (aspek lepemilikan)

akan sarnpai kepada masalah sistern hukum. Ketidaksesuaian antara sistem

hukum akan bennuara kepada konflik baik dalam kepemilikan, penguasaan, dan

(194)

tata guna. Secara umum dl rnasyarakat pinggiran hutan akan ditemui adanya

konflik antara hukurn adat atau kebiasaan (wsfomary law) dengan hukurn

negara (state law). Datarn persoalan ini. hukum adat sernestinya tidak

bertentangan dengan hukurn negara, karena hukurn nasional dibuat dari hukurn

adat dengan mengarnbil konsepsinya, azas-azasnya, serta lernbaga hukurnnya

(Peranginangin, 1979: 10-1 ; Soetiknjo, 1994: 7, 15).

Kepastian hukurn rnerupakan aspek pokok yang rnenentukan hubungan

anbra orang dengan tanah, terutama tentang pernilikan dan penguasaan. yang

keduanya kernudian menjadi bagian pokok dalarn rnernbentuk struktur sosial

ekonomi masyarakat yang betbasiskan pertanian. Ketimpangan penguasaan

tanah akan menghasilkan ketirnpangan penclapatan (Hayarni dan Kikuchi, 1987).

Struktur pernilikan dan penguasaan juga terkai dengan bagaimana sistern

pewarisan yang berlaku dalarn keluarga dan kerabat (Wolf. 1985). Sistern

pewarisan yang dapat dibagi (partible inheritance) akan munuil ketika tak ada

lagi tanah-fanah baru yang dapat dibuka, sementara tekanan anggota keluarga

sernakin besar. Pewarisan terpecah ini menyebabkan hilangnya kornbinasi

ekologis yang optimal, yaltu perpaduan tegalan, tempat penggernbalaan. tanah

hutan, dan tanah garapan.

Garnbaran rnasyarakat pinggiran hutan saat ini, baik pada hutan prnduksi

rnaupun hutan negara, mempakan suatu bagian dari konflik agraria nasional.

terutarna berupa konflik penguasaan tanah4. Sumber utama konflik tersebut

adalah karena pemerintah Orde Baru kurang memberi perhatian kepada rnasalah

agraria khususnya tentang sistern hukurn (Tjondronegoro, 1999). Undang-

Undang Kehutanan tahun 1967 misalnya, kurang mernberi perhatian kepada

Wradi (2000) mendefinisikan konflik agraria sebagai proses interaksi antara dua atau

lebih orang atau kelompok yang masing-masing rnernpejuangkan kepentingannya atas

(195)

perencanaan tata guna tanah. Pernerintah hanya melihat keuntungan jangka

pendek seperti penebangan kayu, namun tidak bertindak sebagai pengelola

surnber daya tanah yang baik. Konflik ini disebabkan praktek politik agraria

kapifalis pemerintahan Orde Baru dalam adaptasinya dengan kapitalisrne gtobal.

Konflik tersebut sangat meluas dan terjadi pada wilayah baik dengan ekosistem

sawah. perkebunan, maupun kehutanan.

Objek konflik di wilayah kehutanan terutarna sekali disebabkan oleh

kegiatan eksptoitasi hutan. Konflik tersebut terjadi karena kebijakan

pernerintahan Orde Baru yang rnenjadikan produksi hutan sebagai sumber

pendapatan nasional yang cukup penting (Fauzi, 1999). Hak-hak rnasyarakat

adat atas tanah kurang dipedulikan, terlihat dari klausul dalam Peraturan

Pernerintah No. 21 tahun 1970 yang rnenyebutkan: "Demi kesdamatan umum di

areal hufan yang sedang dikerjakan dafam mngka pengusahaan hutan,

pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasif hufan dibekukann.

Landasan operasional pengelolaan hutan semra komersial diletakkan

pada berbagai undang-undang yang mernbuat penduduk asli kurang dilindungi

oleh sumber-sumber hukum tersebut, bahkan terpojokkan dengan irnplernentasi

hukurn-hukum tersebut (Gunawan et. al, 1998: 60-73). Masahh yang kemudian

muncul adalah tejadinya konflik dalam rnenafsirkan perolehan hak penguasaan

hutan, rneskipun rnasyarakat adat dengan perangkat hukum adatnya merasa

mempunyai hak yang sama dengan pemerintah.

Pengelolaan sumber-surnber agraria kehutanan selama ini secara

sentralistis telah banyak rnelakukan kesalah-keiolaan (mismanagement), karena

itu perbaikannya menuntut pelibatan kelembagaan lokal (Wibowo. 1993: 37).

Pendbahan pendekatan ini sejalan dengan diguiirkannya program social forestry

sebagai koreksi terhadap pendekatan sebelumnya yang sentralistis, termasuk

dalam pengelolaan taman nasional (Nasendi. 1986: 453).

(196)

Merujuk kepada pemikiran Noman Uphoff (1986: 11). pengertian lokal

adalah sebagai suatu tingkatan yang dikaitkan dengan tingkatan aktivitas dan

pengambilan keputusan. Apa yang dirnaksud dengan tingkatan lokal mencakup

tiga tingkatan, yaitu tingkatan kelompok (gmup level), masyarakat {community

level), dan lokalitas (locality level). Lembaga-lembaga lokal dimaksud mencakup

lembaga pemerintah dan swasta yang aktivitasnya dihubungkan oleh sektor

perantara seperti organisasi-organisasi kemasyarakatan- Ada enam kategori

utama yang terdapat pada level lokal tersebut, yaitu local administration berupa

lembaga pemerintah wakil pusat di daerah, local government sebagai lembaga

pernerintah daerah, membership otganization berupa kelompok-kelompok

swadaya masyarakat, koperasi yang lebih berorientasi ekonomi, iembaga-

lembaga pelayanan, dan usaha bisnis swasta.

Pengeiolaan kehutanan tergantung kepada kineja s e l ~ ~ h lembaga

tersebut, dalam ha1 siapa yang tertibat dan bagairnana susunan

kelembagaannya. Konfgurasi ini sangat tergantung pula kepada bagaimana

kekhasan surnber-sumber agraria yang dimilikinya. Lebih jauh perlu

s

mempertirnbangkan pembatasan sumberdaya dan penggunannya, distribusi

biaya dan manfaat, karakteristik sumberdaya, karakteristik penggunannya. dan

pertimbangan untuk pemilikan bersama. Pelibatan atau partisipasi anggota

masyarakat di sekitar hutan dipercaya akan memperbaiki pengelolaan sumber-

sumber agraria secara lebih baik.

Untuk taman nasional sebagai bentuk pengelolaan hutan yang khusus,

keteilibatan rnasyarakat sekitar iebih lemah dibandingkan dengan hutan

produksi. Dalam UU No. 5 tahun 1990. tentang Konservasi Surnberdaya Alam

Hayati dan Ekosistemnya, disebutkan Taman Nasional adalah kawasan

pelestarian yang mempunyai ekosistem asli. dikelola dengan sistem zonasi yang

dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

(197)

budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman nasional berfungsi untuk perlindungan

sistern penyangga kehidupan. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan

satwa, serta pernanfaatan secara lestari surnberdaya alam hayati dan

ekosisternnya. hidasarkan UU tersebut. dalarn pengetohan taman nasional

dilarang menangkap, rnelukai, membunuh, rnengambil, rnerniliki, rnemelihara,

mengangkut, menebang, merusak, dan mernusnahkan, serta memperdagangkan

satwa atau tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan

hidup maupun mati (Dephutbun, 1999: 1 48).

Taman nasional sebagai kawasan yang dilindungi memiliki manfaat

ierhadap perkernbangan pertanian di kawasan di luarnya, misalnya menghalangi

banjir serta rnengendalikan populasi harna pertanian. Narnun pertanian yang

intensif dan kawasan yang dilindungi bukanlah tetangga yang baik. karena itulah

diperlukan pengembangan suatu kawasan penyangga (buffer zone) untuk

rnemisahkan antara keduanya (John dan Mackinnon, 1986: 98-100). Kawasan

penyangga adalah kawasan yang berdekatan dengan kawasan yang ditindungi,

yang penggunaannya tanahnya terbatas, untuk mernberikan lapisan

perlindungan tambahan bagi kawasan yang dilindungi dan sekaligus bermanfaat

bagi rnasyarakat pedesaan sekitamya. Jadi, kawasan penyangga rnemiliki fungsi

penyangga perluasan dan penyangga sosial sekaligus.

Keterjaminan Keamanan Sosial Ekonomi dalam Masyarakat

Setiap kelornpok sosial sebagai suatu sistern (closed system) akan

rnengernbangkan kelernbagaan dengan seperangkat aturan yang akan rnenjarnin

kehidupan anggotanya. Hal ini rnerupakan fungsi pokok yang dirniliki oleh satu

kelornpok sosial. Terbangunnya kelernbagaan ini memerlukan prasyarat pokok,

yaitu apabila kelornpok rnasyarakd tersebut memiliki ikatan genedogis ataupun

ikatan teritorial dalarn suatu "kornunitas".

(198)

Dalarn kelornpok berdasarkan ikatan genealogis berupa sistem

ke kerabatan, keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family)

rnerupakan dua kelompok sosial yang rnemitiki fungsi langsung dalarn urusan

rnata pencaharian hidup anggotanya. Dalarn kedua kelornpok ini, terutarna dalarn

keluarga inti, setiap individu dapat rnenikmati bantuan utama dari sesarnanya

untuk terpenuhinya kearnanan daiam hidup (Koentjaraningrat, 1974: 106).

Secara umum, dalam suatu kelornpok kekerabatan, mereka terikat oleh suatu

sistem hak dan kewajiban bagi para individunya terhadap sejurnlah harta

produktif , h a d konsurntif, atau harta pusaka yang tertentu. Hak dan kewajiban

tersebut Iebih terasa dalam kelompok kekerabatan berkorporasi (cwrporate kin

groups), yaitu pada keluarga inti.

Terbangunnya kelernbagaan dengan peraturan seperti ini juga dapat

ditemui pada rnasyarakat yang dibentuk oleh ikatan teritorial, sebagaimana

ditemukan dalam penelitian James Scott (1981:5-7) pada rnasyarakat

prakapitalis di Asia Tenggara, dirnana desa menjamin kehidupan minimum

warganya melalui berbagai pengaturan dengan mengedepankan prinsip

rnendahulukan selarnat (safety first), meskipun tanggung jawab tersebut secara

lndlvldual aaa pada patron-patron yang ditekan oleh lernbaga desa sebagai

pengawasnya. Kondisi seperti ini juga terdapat di Jawa ketika masih berbentuk

"desa komunal" (Temple. 1976: 19-20), yang rnenciptakan jaminan kehidupan

minimum bagi seturuh warganya dengan jarninan sernua anggota desa

rnengambil bagian dalarn proses produksi5.

Bagi penduduk yang tersusun oleh berbagai kelornpok yang berbeda,

misalnya kelompok suku, maka pembauran sosial (asirnilasi) menuju

terbentuknya suatu kolektjvitas tidak terjadi secara serta-merta. Ketika

(199)

pernbauran tersebut belum terbentuk. maka masyarakat hanya mencapai tahap

integrasi, dimana masing-masing hidup dengan identitasnya sendiri, namun

hubungan kedua pihak dapat dilakukan dengan baik, saling menguntungkan dan

saling isi (Soemardjan, 1988: 5). Dalarn kondisi seperti ini institusi penjamin

keamanan sosial ekonomi berada pada pundak kelompok-kelompok kekerabatan

bedasarkan ikatan genealogis.

Ketiadaan institusi penjamin yang menyebabkan terancamnya keamanan

sosiai ekonomi dapat melahirkan perilaku yang cenderung merusak. Penurunan

jaminan keamanan sosiai ekonomi karena krisis ekonomi misainya terbukti

menjadi faktor mendorong meningkatnya aMivitas pencurian kayu di masyarakat

pinggiran hutan di Surnatera Selatan (Ginoga

Dan

Ewidodo. 2001: 15-30). Di sisi

lain, terancamnya keamanan sosial ekonomi juga dapat disebabkan karena

tingginya tekanan penduduk dibandingkan sumber-sumber agraria yang tersedia.

sehingga melahirkan rumah-rumah tangga yang berkategori miskin. Penelitian di

empat desa di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrsngo Jawa Barat

menemukan bahwa pada desa yang penduduknya miskin maka kerusakan

hutanya juga lebih besar {Mukhtar. 1986: 9).

Keberlanjutan Ekosistem dan Sumber-sumber Agraria

Konsep keberfanjutan (sustainabiiity) ekosistern berada datam konteks

saling keterkaitan antara manusia dan alam. Pengelolaan sumber-sumber

agraria kehutanan yang berkelanjutan merupakan suatu proses mengelola

surnber-surnber agraria kehutanan untuk mencapai satu atau iebih tujuan-tujuan

spesifik yang berkaitan dengan suatu aliran yang kontinyu dari produksi dan jasa

dari hutan. tanpa mengalami penurunan nilai yang tidak semestinya dari

produktivitas masa depan dan tanpa darnpak-dampak yang tidak diharapkan

berupa kerusakan lingkungan fisik dan sosial. Kata kunci dari konsep

(200)

keberlanjutan ini adatah kondisi yangtetap (stabil) dari ekosistern, jika tidak bisa

lebih baik. Keberlanjutan ekosistem tergantung kepada apakah ekosistem

tersebut dalam status yang tetap (stabilisasi) atau semakin menurun

(destabilisasi).

Dalam konsep keberlanjutan ekosistem secara keselumhan yang

mencakup lingkungan fisik, biologi, dan sosial, maka perlu mernpertimbangkan

tiga kriteria keberlanjutan, yaitu (CIFOR, 1997: 7):

(1) Keberlanjutan ekologi atau lingkungan (ecological or envimrnental

sustainabiiity) yang mensyaratkan suatu kondisi yang sama atau lebih baik

dari ekosistern untuk dapat menjaga kernampuan dan fungsinya.

(2) Keberlanjutan secara sosial (social sustainability). Konsep ini rnerefleksikan

hubungan antara kultural

(wttutal

ethics), norma sosial, dan

pengembangannya. Suatu aktivitas dapat secara sosial dikatakan

berkelanjutan bila itu sesuai dengan nilai-nilai etik dan norma sosial, atau

tidak melonggarkannya melebihi toleransi komunitas tersebut untuk benrwh.

(3) Keberlanjutan secara ekonomi (economic sustainability). Konsep ini

mensyaratakan bahwa keuntungan untuk komunitas rnelebihi biaya yang

dikeluarkan, dan beberapa bentuk sumber daya yang ekuivalen tetap dapat

dengan mudah diperoleh dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Ketiga konsep ini tidak be rjalan secara paralel dan sating terpisah, karena

manusia sebagai aktor yang aktif rnemiliki pelwng lebih besar sebagai penentu

keberlanjutan ekosistem secara keseluruhan. Dengan kata lain, keberlanjutan

ekologi dan lingkungan merupakan variabel dependen dari keberlanjutan sosial

dan ekonorni.

Lebih jauh, rnenurut ITTO (1998: 6-18) ada tujuh kriteria untuk menilai

sLiatu pengelolaan surnber daya alarn (khsususnya hutan) yang berkelanjutan,

yang di dalamnya terbagi menjadi berbagai indikator. Ketujuh kriteria tersebut

Gambar

GAMBARAN UMUM SOSIAL EKONOMI Dan PEMBENTUKAN .............................................................
Tabel 1. Pokok penelitian, data yang dikumpulkan, dan metode pengumpulan data.
Tabel 3. Sebaran penduduk beradasarkan dusun dan suku di Desa
Tabel 4. Jenis dan luas penggunaan tanah di Desa Sintuwu dan Berdikari tahun 2001.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai

Upaya pemerintah dalam meningkatkan pertanian pangan dapat dilihat dari program yang dilakukan seperti Upaya Khusus (Upsus) dalam peningkatan produksi pangan yang

Kedua menggunakan metode MRF dengan input kecepatan putar rotor dari metode FDR untuk memperoleh nilai torsi yang akan digunakan untuk menghitung daya dan CP.. Adapun

Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengkonfirmasi keberadaan Marka ETH10 pada lokus mikrosatelit dalam hubungannya dengan perubahan sifat

Proses pertukaran panas yang terjadi pada Air Cooler Heat Exchanger diharapkan dapat menurunkan temperatur udara panas keluaran kompresor sekitar 140 o C,

Menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul: “PENGARUH IMPLEMENTASI PENGENDALIAN INTERN, TOTAL QUALITY MANAGEMENT, DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP PENERAPAN GOOD

Pemodelan multibahaya penurunan tanah dan banjir pasang di wilayah pesisir Kabupaten Demak bertujuan untuk mengetahui keccenderungan penurunan tanah serta kecenderungan

4.19.Hasil Korelasi Kecintaan Masyarakat Terhadap Produk Sepatu Buatan Cibaduyut Dan Kondisi Ekonomi Pengrajin SepatuDi Kawasan Wisata Belanja Cibaduyut .... Lokasi Kawasan