PEMBENTUKAN STRUKTUR A G M R I A PADA MASYARAKAT
PINGGIRAN HUTAN:
Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kecarnatan
Palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah
OLEH:
SYAHYUTI
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
SYAHYUTI. Pembentukan S t ~ k t u r Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan:
Studi Kasus di Desa Sintuwu dan
Desa
Berdikari, Kecamatan Palolo. KabupatenDonggala, Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh M.T. FELIX SITORUS dan
ENDRIATMO SOETARTO.
Indonesia menghadapi berbagai pennasalahan kehutanan berupa kerusakan hutan dan konflik kepentingan, mi&lnya yang te jadi pada areal hu&n produksi dan taman nasional. Penelitian ini rnenggunakan pendekatan peneliian
kualitatif, dengan menerapkan mi
shrdi
kasus ~ dan rnulti metodepengumpulan data berupa wawancara, pengamatan langsung, serta studi
dokumen. Lokasi penelitian di Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala. Sulawesi
Tengah, yang merupakan kawasan yang berbatasan dengan wilayah hutan, yaitu Desa Sintuwu yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu dan Desa Berdikari yang berbatasan tangsung dengan Hutan Produksi
Terbatas milik negara. W&ncara dilakukan terutama di tingkai masyarakat
dilengkapi di berbagai instansi baik pernerintah, balai taman nasional dan LSM. Selain itu, untuk dukungan data kuantitatif tentang pemilikan tanah dan cam
perolehannya, dilakukan wawancaraterstruktur kepada 61 orang responden.
Kedua desa merupakan desa bentukan melalui migrasi swakarsa berbagai suku dan sub-suku, yaitu suku asli Sulawesi Tengah (Suku Kaili dan
Kulawi) dan suku pendatang (Bugis, Manado, Toraja, serta sedikit Jawa, Sunda,
dan Bali) semenjak tahun 1961. Kedua desa saat ini didominasi perkebunan kakao pheobrvma cacao) dengan melakukan ekspansi ke wilayah hutan negara. Cara perolehan tanah berkaitan dengan tahun kedatangan migran selain
karena faktor suku. Pada era 1960-an dan 1970-an. setiap pendatang dapat
membuka sendiri kawasan desa yang rnasih berupa hutan dibawah pengaturan
kepala desa bersangkutan. Setelah itu. pendatang periode . berikutnya
memperoleh dengan cara diberi kerabat atau mernbeli. Pemberian dan jual beti
cenderung terjadi dalam keluarga dan antar kerabat. atau setiiaknya daiam satu
suku. Suku Kaili Taa di Sintuwu dan Kulawi di Berdikari lebih banyak memperoleh tanah dengan membuka secara langsung, namun orang Bugis kbih
suka membeli. Suku-suku pendatang pertama oendewng mengalami
majinalisasi penguasaan terhadap tanah, disebabkan "keterpaksaan" mereka menjual tanah-tanahnya untuk membiayai pesta perkawinan dan selarnatan perkawinan. Hal ini rnenjadi faktor pendorong mereka melakukan ekspansi ke dalam kawasan hutan.
Di kedua kawasan hutan ditemukan konflik antafa pemerintah di s t u
kubu dengan swasta dan masyarakat di kubu lain. Pengawasan dan penegakan hukum yang lemah rnenyebabkan pencurian kayu dan penanam lahan hutan (landgmbbing). Hal ini disebabkan karena tarikan pasar dunia kakao dan gejala "kekurangan" tanah.
SUKAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang be judul:
PEMBENTUKAN STRUKTUR AGRARIA PADA MASYARAKAT PINGGIRAN
HUTAN: Studi Kans di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kesamatan Pablo,
Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah
adalah benar hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber
data dan inforrnasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
PEMBENTUKAN STRUKTUR AGRAR1A PADA MASYARAKAT PlNGGlRAN HUTAN:
Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kecamatan Pafolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk rnernperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
HALAMANPENGESAHAN
Judul Tesis : Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat
Pinggiran Hutan: Studi Kasus di Desa Sintuwu dan
Desa Berdikari. Kecamatan Palolo, Kabupaten
Donggala. Sulawesi Tengah.
: Syahyuti : 99?40
: Sosiologi Pedesaan. Nama
NRP
Program Studi
Menyetujui, 1. Kornisi Pernbirnbing
-
Dr. M.T. Felix Sitorus Ketua
2. Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
-
-ADr. M.T Felix Sitorus
Mengetahui,
Penulis dilahirkan di Kabupaten Padang Pariaman pada tanggal 2
Februari 1967 sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Pendidikan sajana
ditempuh pada Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus tahun 199f. Pada tahun 1999 penuiis
diterima di Program Studi Sosiologi Pedesaan pada Program Pasca Sarjana
lnstitut Pertanian Bogor dan menamatkannya tahun 2002.
Penulis bekeja sebagai peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian. 8adan Penelian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian sejak tahun 1992 di Bogor. Bidang penelitian yang
menjadi tanggung jawab penulis adalah Penelitian Kelernbagaan dan Organisasi
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Atlah SWT atas segala
karunianya sehingga karya ilrniah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yaAg dilaksanakan sejak bulan Mei
2001
sarnpaidengan bulan Juli 2001 ini ialah agraria dengan judul Pernbentukan Stmktur
Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan: Studi Kasus di Desa Sintuwu dan
Desa Berdikari, Kecamatan Palolo. Kabupaten Donggala. Sulawesi Tengah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. M.T. Felix Sitorus dan
Bapak Dr. Endriatmo Soebrto selaku pembirnbing. Di sarnping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada proyek ARM (Agriculfural Research Managemenf)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah memberi biaya
selama studi serta penelitian STORMA (Stability
of
Rain Forest Margins), suatukejasama penelitian antara lnstitut Pertanian Bogor, Universitas Tadulako,
Georg-August-Universitat Gottingen dan Universitat Gesamthochscfiule KasseI
Witzenhausen, Jerman yang telah membantu pembiayaan selama penelitian
lapang Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada isteri tercinta (Indri
DAFTAR tSI
...
PENDAHULUANLatar Belakang Penetitian
...
Pertanyaan Penelitian ......
Tujuan Penelitian...
...
TIN JAUAN PUSTAKA i
Karakteristik Sistem Sosial Masyarakat Dan Struktur Agraria pada Masyarakat Pinggiran Hutan
...
...
Keterjaminan Keamanan Sosial Ekonomi dalam Masyarakat...
Keberlajutan Ekosistem dan Sum ber-Surnber AgrariaMETODOFOGI PENELITIAN
...
Batasan Konsep Penelitian.
...
Kerangka Pemikiran dan Hipotesa...
...
Metode PenelitianGAMBARAN UMUM SOSIAL EKONOMI Dan PEMBENTUKAN
...
WllAYAH DATARAN PALOLOKarakteristik Geografi dan Ekonorni
...
..
...
Karakteristik Demografi dan Sejarah Pernbentukan Wilayah...
...
RangkumanPERKEMBANGAN PEMBENTUKAN DESA DAN STRUKTUR
MASYARAKAT
...
...
Desa SintuwuDesa Berdikari
...
...
RangkurnanPEMBENTUKAN STRUKTUR AGRARlA 131 DESA S I N T W U DAN
...
BERDIKARI...
...
Struktur Agraria dan Proses Pembentukannya
:
...
Kete rjaminan Kemanan Sosial EkonomiStatus Stabilitas Sumber-Sumber Agraria dan Prospek Keberlanjutan E kosistern ...
...
Sistem Ekonomi Tanaman KakaoHubungan zntara Pembentukan Struktur Agraria. Keterjaminan
Keamanan Sosial Ekonomi
.
dan Stabilitas Sumber-Sumber Agraria .... .... Rangkuman
... KESIMPULAN
...
DAFTAR PUSTAKA
...
LAMP1 RAN
DAFTAR TABEL
...
Jenis dan metode pengumpulan dataSebaran penduduk berdasarkan dusun dan suku di desa Sintuwu
...
Sebaran penduduk berdasarkan dusun dan suku di desa Berdikari
...
Jenis dan luas penggunaan tanah di Desa Sintuwu dan Berdikari. 2001
...
Cara perolehan tanah berdasarkan suku di Desa Sintuwu
...
(berdasarkan jumlah persil) ....
.
Cara perolehan tanah berdasarkan suku di Desa Sintuwu (berdasarkan luas tanah)
...
Cara perolehan tanah berdasarkan suku di Desa Berdikari
...
(berdasarkan jurnlah persil) .....
Cara perolehan tanah berdasarkan suku di Desa Berdikari
...
(berdasarkan luas tanah) :.
Rata-rata luas penguasaan kebun kakao per rumah tangga
res~onden berdasarkan suku di Desa Sintuwu dan Berdikari.
Halaman
26
Halarnan
...
...
1
.
Peta burni Kecarnatan Palolo .. 1352
.
Peta nama ternpat dan pernukirnan penduduk di Desa Sintuwu...
136...
3 . Peta penggunaan tanah di Desa Sintuwu 137
4
.
Gambar transek Desa Sintuwu...
1385
.
Peta nama tempat dan pernukirnan pencjuduk di Desa Berdikari...
7396
.
Peta penggunaan tanah di Desa Berdikari...
140...
7
.
amb bar transek dusun 4 Desa Berdikari 1417 (lanjutan)
.
Garnbartransek dusun 2 dan 3 Desa Berdikari...
1428
.
Penguasaan tanah oleh responden berdasarkan suku di DesaSintuwu
...
1439
.
Cara perolehan tanah oleh suku Kaili di Desa Sintuwu...
14410
.
Cara perolehan tanah oleh Suku Bugis di Desa Sintuwu...
14511
.
Cara perolehan tanah oleh Suku Kutawi dan Sunda di DesaSintuwu ... 146
12
.
Gambar skerna umurn perolehan dan transaksi tanah antar sukudi Desa Sintuwu
...
14713
.
Penguasaan tanah oleh responden berdasarkan suku di Desa Berdikari 148-I4 . Cara perolehan tanah oleh Suku Kulawi di Desa Berdikari
...
14915
.
Cara perolehan tanah oleh Suku Bugis di desa Berdikari ... 15016 . Cara perolehan tanah oleh suku Toraja. Manado. Jawa. dan- Sunda
di Desa Berdikari ... 153
17
.
Gambar skerna umurn perolehan dan transaksi tanah antar sukudi Desa Berdikari
...
15218
.
Pernbentukan desa melalui rnigrasi dan kaitannya dengan...
hubungan sosioagraria di Desa Sintuwu 153
19 . Pernbentukan desa melalui rnigrasi dan kaitannya dengan
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Pada setiap kornunitas akan didapati kaitan yang kuat antara organisasi
sosial yang dikembangkan dengan sumber daya agraria yang dimilikinya.
Interaksi manusia dan sumber daya alam pada satu kawasan akan melahirkan
suatu pola organisasi agraria tertentu tergantung kondisi spesifik fisik dan
sosialnya, yang terlihat dari struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan
surnber-surnber agraria. Struktur yang terbentuk tersebut rne~pakan hasil dari
berbagai faktor penyebab, baik yang berasal dari rnasyarakat itu sendiri berupa
sejarah dinamika internalnya. maupun dari luar misahya intervensi birokrasi dan
pihak swasta.
Sebagai suatu sistern, hubungan antara alarn dan manusia pada areat
tertentu bersifat tirnbal balik (coherent system). Hal ini juga berlaku untuk kasus
hubungan antara hutan dan manusia. Kelestarian surnber-surnber agraria
kehutanan tergantung kepada struktur agraria rnasyarakat seternpat yang hidup
dr dalarn ataupun di sekitamya. Sebaliknya, beroperasinya struktur agraria
tersebut didasarkan atas kapasitas sosial . ekonomi sumber daya di wilayah
prnggiran hutan tersebut.
Permasatahan rnasyarakat yang hidup di pinggiran hutan negara adalah
tidak adanya pengakuan hak-hak rnasyarakat adat oleh negara, sehingga
menirnbulkan konfl~k pernanfaatan hutan (Gunawan et. a/, 1998: 4). Untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut dibutuhkan kajian sosiologis terhadap
masyarakat pinggiran hutan secara mendalarn. khususnya berkenaan dengan
aspek sosloagrananya Pernaharnan terhadap masyarakat pingg~ran hutan perlu
ini disebabkan oleh sistem pengelolan yang tidak berakar kepada
pengembangan kelembagaan setempat (Wibowo, 1993: 26). Pengembangan
kelembagaan lokal sangat dibutuhkan untuk pengelolaan kehutanan dalam
kerangka pembangunan yang berkelanjutan, yang mencakup aspek-aspek
ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara ekonomi pengelolaan kehutanan hams
dapat rnemberi hasil maksimal kepada pihak-pihak terlibat, secara sosial dapat
diterima, dan secara lingkungan hams dapat menjaga potensi sumber daya
alam.
Pemerintah rnerniliki beberapa bentuk pengelolaan sumber daya hutan,
dua di antaranya adalah hutan produksi dan tarnan nasional. Kedua jenis bentuk
pengelolaan tersebut saat ini dihadapkan kepada berbagai persoalan yang
menjurus kepada kerusakan hutan. Kerusakan pada hutan taman nasional
disebabkan oleh konflik antara pihak tarnan nasional dengan masyarakat di
sekitamya yang merasa memiliki wilayah taman nasional tersebut (Machmur,
1999: 90). Masyarakat sekitar hutan melakukan pencurian hasil hutan,
penyerobotan lahan untuk perladangan, dan pendudukan wilayah taman
nasionat sebagai pemukiman'
Dari uraian di atas jelastah, tyrhwa pengelolaan hutan dengan
menerapkan sistem administrasi sentfal selama ini cenderung gagal, karena
kurang menghargai dan mernpertimbangkan kompleksitas dan keragaman sosial
ekonomi rnasyarakat setempat. Untuk menjamin keberlanjutan (sustainability)
sumber daya kehutanan di rnasa datang, diperlukan kesadaran untuk
mengembangkan kapasitas komur?itas lokal, termasuk perubahan paradigma
pengelolaan taman nasional dengan menempatkan manusia sebagai bagian
Integral dl dalamnya2. Untuk merancang kelembagaan yang dibangun
berdasarkan paradigrna baru tersebut, diperlukan pengetahuan yang cukup
terhadap bangun orgartisasi sosioagraria masyarakat setempat.
Hal ini disadari sebagai tugas yang sulit apalagi rnenyangkut tanah-tanah
adat di luar Jawa yang coraknya sangat beragam dan terlihat pelik bagi orang
luar (Ngo. 1989: 73). Untuk alasan itulah perlu dilakukan banyak studi agar dapat
rnernetakan persoalan agraria yang sangat beragarn tersebut, terutama di luar
Jawa yang merniliki sejarah dan dinamika politik agraria yang berbeda dengan di
pulau Jawa.
Masyarakat yang rnendiarni witayah pinggiran hutan saat ini juga ada
yang merupakan rnasyarakat bentukan barn karena migrasi pendatang dari luar.
Hal ini didorong oleh kekayaan sumber daya agraria di sana dan adanya peluang
akses bagi pendatang. Pada kasus ini akan dijumpai dinamika sosioagraria yang
berbeda dibandingkan dengan rnasyarakat pinggiran hutan yang telah turun
temurun mendiarni wilayah tersebut. Proses pernbentukan struktur agraria serta
ketejaminan sosial ekoncnni pada masyarakat tersebut diperkirakan menjadi
dasar bagaimana keberlanjutan sumber-sumber agraria yang dimilikinya,
termasuk keberlanjutan ekosistern hutan dr dekaf mereka.
Pertanyaan Penetiiian
Bertolak dari prinsip hubungan ko-evolusi antara alam dan rnanusia,
rnaka proses pernbentukan struktur agraria akan rnempengaruhi bagaimana
keberlanjutan hubungan ekosistem tersebut di masa datang. Untuk itu, penelitian
ini akan menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu: bagaimana proses
Hal ini misalnya sudah dujicobakan pada masyarakat adat berbagai etnik dari suku Dayak di TN Kayan Mentarang (Kaltirn) yang ikut rnengelola kawasan konsewasi tersebut dengan menggunakan hukum-hukum adat nereka (Kornpas, 3 November 2000: "Masyarakat Adat akan lkut Kelola TN Kayan Mentarang").
pembentukan struktur agrana pada rnasyarakat pinggiran hutan, bagaimana
keterjaminan keamanan sosial ekonominya (socioeconomic security), serta
bagaimana prospek keberlanjutan ekosistem (biofisik) setempat sebagai akibat
aktivitas sosial masyarakat yang mendiaminya.
Untuk menjawab pertanyan-pertanyaan tersebut peneliti akan sampai
kepada pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik sebagai berikut:
(1) Struktur agraria menyangkut dua kornponen utarna yaitu surnber-surnber
agraria dan rnanusianya, sehingga dari pertanyaan bagairnana proses
pembentukan struktur agraria diperolefi pertariyaan-pertanyaan spesifik
berikut:
a. Bagairnana kondisi dan potensi sumber daya agraria yang terdapat
pada masyarakat pinggiran hutan, serta bagaimana perubahan
penggunaan dan faktor-faktor penyebabnya?
b. Siapa dan bagaimana bentuk organisasi yang merniliki akses terhadap
sumber-sumber agraria, serta faktor apa yang menentukan
pernbentukan tersebut?
(2) Dari pertanyaan ketejaminan keamanan sosial ekonomi diperoleh
pertanyaan-pertanyaan spesifik berikut
a. Bagairnana keterjaminan keamanan sosial ekonomi terbentuk dan faktor-
faktor apa yang menentukannya?
b. Bagairnana institusi penjamin kearnanan sosial ekonomi yang terbentuk,
apakah didasarkan kepada ikatan genealogis atau ikatan teritorial?
(3) Dan pertanyaan prospek keberlanjutan ekosistem setempat diperoleh
perianyaan-pertanyaan spesifik berikut:
a Baga~rnana masyarakat mernperlakukan tanah, khususnya tanah-
untuk rnengetahui status stabilitas sumber-sumber agraria di kawasan
tersebut
b. Faktor-faktor apa saja yang diperkirakan akan rnempengaruhi prospek
stabilitas sumber-surnber agraria di daerah tersebut, khususnya
berkenaan dengan shktur agraria dan kete jarninan kearnanan sosial
ekonorni yang dirniliki rnasyarakat?
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pertanyaan utarna penelitian, maka tujuan penelitian
adalah:
1. Mernperoleh garnbaran proses pernbentukan struktur agraria pada
rnasyarakat pinggiran hutan yang merupakan rnasyarakat bentukan barn.
2. Mernperoleh garnbaran ketejarninan kearnanan sosial ekonorni rnasyarakat
yang berdiarn di pinggiran hutan.
3. Mernperoleh gambaran tentang prospek stabilitas ekosistern seternpat
berdasarkan proses sosioagraria yang bedangsung dalarn kehidupan
TINJAUAN PUSTAKA
Masyarakat pinggiran hutan memiliki struktur sosial dan sosio agraria
yang berbeda-beda. Sebagian di antaranya dapat dikategorikan sebagai
"rnasyarakat adat" dengan perilaku okupasi yang dijiwai oleh kearifan dengan
berpegang kepada prinsipprinsip kelestarian alam khas masyarakat adat,
sementara sebagiannya lagi m e ~ p a k a n rnasyarakat transisi, atau bahkan
mempakan rnasyarakat bentukan baru yang belum tentu memiliki kearifan
serupa. Mobilitas penduduk antar wilayah yang tinggi karena perbedaan tekanan
penduduk dan kesernpatan ekonomi melahirkan kelompok-kelompok masyarakat
yang plural sarnpai ke desa-desa. Dengan demikian, pada kawasan pinggir hutan
akan dijurnpai beragarn tingkat kornunalitas kelornpok masyarakat yang
selanjutnya akan berirnplikasi kepada tingkat keberlangsungan ekosistem
setempat.
Karakteristik Sistem Sosial dan S t ~ k t u r Agraria pada ~ a s ~ a r a k a t Pinggiran Hutan.
Kawasan yang disebut dengan pinggiran hutan (foresf margin) adalah
wilayah yang pada satu atau lebih sisinya berbatasan langsung dengan wilayah
kehutanan. Pada wilayah demikian terdapat areal pertanian dengan segenap
infrast~ktur pendukungnya yang menjadi basis sosial ekonomi kehidupan
rnasyarakatnya. Satu ha1 yang khas pada rnereka adalah, selain hidup dari
budidaya pertanian, mereka juga hidup dengan mengeksploitasi sumber-sumber
agraria yang berada di kawasan hutan. Penelitian Kartasubrata eta1 (1995: 84)
pada masyarakat sekitar hutan di Jawa menemukan bahwa secara sosial
lnteraksi manusia dengan alam (man-natue relationship) akan mernbentuk pola interaksi yang khas. Dalam ha1 ini, manusia meiakukan fungsi
menjaga sekaligus membentuk lingkungannya (fisrk dan biologi). Karena itu.
kelangsungan sistem sosial masyarakat pinggiran hutan akan berpulang kepada
bagaimana struktur agraria yang menjadi komponen dari sistem organisasi
masyarakat tersebut.
Masyarakat pinggiran memiliki lingkungan yang khas dengan sumber-
sumber agraria dari kwasan hutan berupa kayu, air, bahan tambang, lahan
pertanian, serta produk hutan lain. Bagi masyarakat yang sudah terbiasa hidup
dengan hutan. khususnya masyarakat adat, yang menjadikan hutan sebagai
sumber berbagai macam kebutuhan subsistensi, mereka membagi wilayah hutan
untuk masing-masing keperiuan dengan pertimbangan kebutuhan dan
kemampuan kawasan hutan dengan dilandasi prinsip-prinsip kelestarian3.
Penelitian Devung (1999: 238) pada Suku Dayak menemukan bahwa mereka
membagi wilayah hutan kedalam beberapa kawasan dengan fungsi tertentu,
yaitu kawasan untuk pemukiman, kawasan pertanian, kawasan hutan lindung
adat, dan sisanya hutan umum desa yang dapat dipakai untuk berbagai
keperiuan ekonomi. Untuk menjaga berlakunya aturan-aturan ini, maka
ditetapkan berbagai batasan dan larangan yang hams dipatuhi warga setempat.
Karena persoalan tanah menjadi objek yang penting dalam sistem sosial
rnasyarakat, maka dalam hukum adat telah dikembangkan aturan pola
peruntukkan tanah yang dipatuhi komuniias tersebut. Penelitian Ruwiatuti et. a/,
(1998: 50-1) mencatat adanya ragam peruntukkan lahan di berbagai kelornpok
"masyarakat adat" yang menunjukkan adanya kearifan ekologis. Sebagai contoh,
Masyarakat adat ada[ah suatu satuan kornunitas yang merniliki asal-usul leiuhur secara turun temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta merniliki sistern nilai, ideologi,
ekonorni politik, budaya, dan sosial yang khas (Machmur. 1999: 95).
masyarakat suku Kaili di Pornbui. Kecamatan Marawola, Sulawesi Tengah,
membagi peruntukkan lahannya menjadi ernpat jenis sebagai benkut, yaitu:
1. Petoo: yaitu wilayah yang berada dalam penguasaan anggota suku.
Lahan ini berisi kebun, pemukiman, hutan bekas kebun, dan hutan
primer.
2. Vana: hutan rimba untuk berburu dan mengambil hasil hutan yang khusus
untuk anggota suku saja.
3. Pengak: hutan lebat milik koleMif anggota suku. Areal ini dibiarkan tetap
menjadi hutan berdasarkan pertirnbangan ekologis, karena adanya
sumber air, bertopografi miring. atau karena kurang subur untuk
usahatani. Wilayah hutan ini adalah juga sebagai tempat keramat yang
diakui seluruh anggota suku.
4. Kaore, Orna, dan Ova: hutan bekas kebun yang sedang diistirahatkan
oleh pemiliknya dalam waktu lama.
Pola dan ragam pembagian ini . tidak sama pada setiap kelompok
masyarakat. Meskipun demjkian tarnpaknya ada pola tertentu sedemikian rupa,
sehingga pada pembagian tersebut akan dapat ditemukan tanah yang khusus
untuk pertanian intensif, pertanian ekstensif, pemukiman, sebagai hutan produksi
yang diarnbit produksinya, serta hutan yang tidak diambil hasil produksinya
bahkan terlarang untuk dimasuki.
Adanya kesepakatan penggunaan sumber daya tersebut hanya akan
tercapai pada masyarakat yang berbentuk 'komunitas". Menurut Soekanto (1 982:
162-3: dan 1983: 92), kornunitas (community) atau dapat disebut dengan "masyarakat setempat" adalah kelompok yang hidup bersama dengan kriteria
tingginya interaksi sosial (social relationship) di antara mereka. Mereka
bertempat tinggat di satu wilayah (secara gepografis) dengan batas-batas
tertentu dimana faktor utarna yang menjadi dasarnya adalah interaksi yang lebih
besar di antara para anggotanya dibandingkan dengan penduduk di luar batas
wilayah tersebut. Seiain itu, mereka harus rnerniliki perasaan yang sama,
sepenanggungan dan saling mernerlukan.
Namun dernikian, gambaran pemanfaatan surnber daya secara ideal
pada rnasyarakat adat tersebut saat ini banyak yang telah mengalami degradasi,
karena pengaruh pendatang. Kernudahan transportasi dan terbukanya
kornunikasi mendorong terjadinya rnigrasi penduduk antar wilayah, dimana ada
kecenderungan angkatan rnuda di dataran tinggi berrnigrasi ke kota, sebaliknya
banyak penduduk dataran rendah yang rnencari kehidupan ke witayah dataran
tinggi karena tebih tehukanya peluang akses tehadap surnber-sumber agraria di
sana (FA0 dan IRR, 1995: I I ) .
Secara teoritis, kearifan masyarakat setempat daiam pemanfaatan
surnber-sumber agraria kehutanan akan tetap te jaga apabila tidak ada intervensi
dari pihak luar. Hal ini dibuktikan dafl penelitian Brewer (-3985: 163-88) di
Sumbawa Timur (NTB) yang rnenernukan bahwa intewensi pemerintah telah
rnerusak hukum adat tentang tanah yang.telah mengatur penguasaan, tata guna,
serta pengusahaan secara baik. Selain pemerintah, kedatangan migran yang
menyebabkan tingginya . tekanan - penduduk juga berdampak kepada
pernanfaatan lahan secara turnpang tindih yang cenderung over-eksploitasi dan
terjadinya degradasi yang merusak elernen dasar dari sumber daya alam
(Mulatsih dan Parnbudy, 1999: 2). Gambaran ini juga didukung oleh pengamatan
F A 0 dan IlRR (1995: 511) secara urnurn di Asia Tenggara, dimana wilayah
kawasan pinggir hutan dicirikan oleh adanya degradasi sumber daya alam di
sarnping perrnasalahan pemilikan dan penguasaan (land tenure).
Dalam kerangka hubungan manusia terhadap tanah (aspek lepemilikan)
akan sarnpai kepada masalah sistern hukum. Ketidaksesuaian antara sistem
hukum akan bennuara kepada konflik baik dalam kepemilikan, penguasaan, dan
tata guna. Secara umum dl rnasyarakat pinggiran hutan akan ditemui adanya
konflik antara hukurn adat atau kebiasaan (wsfomary law) dengan hukurn
negara (state law). Datarn persoalan ini. hukum adat sernestinya tidak
bertentangan dengan hukurn negara, karena hukurn nasional dibuat dari hukurn
adat dengan mengarnbil konsepsinya, azas-azasnya, serta lernbaga hukurnnya
(Peranginangin, 1979: 10-1 ; Soetiknjo, 1994: 7, 15).
Kepastian hukurn rnerupakan aspek pokok yang rnenentukan hubungan
anbra orang dengan tanah, terutama tentang pernilikan dan penguasaan. yang
keduanya kernudian menjadi bagian pokok dalarn rnernbentuk struktur sosial
ekonomi masyarakat yang betbasiskan pertanian. Ketimpangan penguasaan
tanah akan menghasilkan ketirnpangan penclapatan (Hayarni dan Kikuchi, 1987).
Struktur pernilikan dan penguasaan juga terkai dengan bagaimana sistern
pewarisan yang berlaku dalarn keluarga dan kerabat (Wolf. 1985). Sistern
pewarisan yang dapat dibagi (partible inheritance) akan munuil ketika tak ada
lagi tanah-fanah baru yang dapat dibuka, sementara tekanan anggota keluarga
sernakin besar. Pewarisan terpecah ini menyebabkan hilangnya kornbinasi
ekologis yang optimal, yaltu perpaduan tegalan, tempat penggernbalaan. tanah
hutan, dan tanah garapan.
Garnbaran rnasyarakat pinggiran hutan saat ini, baik pada hutan prnduksi
rnaupun hutan negara, mempakan suatu bagian dari konflik agraria nasional.
terutarna berupa konflik penguasaan tanah4. Sumber utama konflik tersebut
adalah karena pemerintah Orde Baru kurang memberi perhatian kepada rnasalah
agraria khususnya tentang sistern hukurn (Tjondronegoro, 1999). Undang-
Undang Kehutanan tahun 1967 misalnya, kurang mernberi perhatian kepada
Wradi (2000) mendefinisikan konflik agraria sebagai proses interaksi antara dua atau
lebih orang atau kelompok yang masing-masing rnernpejuangkan kepentingannya atas
perencanaan tata guna tanah. Pernerintah hanya melihat keuntungan jangka
pendek seperti penebangan kayu, namun tidak bertindak sebagai pengelola
surnber daya tanah yang baik. Konflik ini disebabkan praktek politik agraria
kapifalis pemerintahan Orde Baru dalam adaptasinya dengan kapitalisrne gtobal.
Konflik tersebut sangat meluas dan terjadi pada wilayah baik dengan ekosistem
sawah. perkebunan, maupun kehutanan.
Objek konflik di wilayah kehutanan terutarna sekali disebabkan oleh
kegiatan eksptoitasi hutan. Konflik tersebut terjadi karena kebijakan
pernerintahan Orde Baru yang rnenjadikan produksi hutan sebagai sumber
pendapatan nasional yang cukup penting (Fauzi, 1999). Hak-hak rnasyarakat
adat atas tanah kurang dipedulikan, terlihat dari klausul dalam Peraturan
Pernerintah No. 21 tahun 1970 yang rnenyebutkan: "Demi kesdamatan umum di
areal hufan yang sedang dikerjakan dafam mngka pengusahaan hutan,
pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasif hufan dibekukann.
Landasan operasional pengelolaan hutan semra komersial diletakkan
pada berbagai undang-undang yang mernbuat penduduk asli kurang dilindungi
oleh sumber-sumber hukum tersebut, bahkan terpojokkan dengan irnplernentasi
hukurn-hukum tersebut (Gunawan et. al, 1998: 60-73). Masahh yang kemudian
muncul adalah tejadinya konflik dalam rnenafsirkan perolehan hak penguasaan
hutan, rneskipun rnasyarakat adat dengan perangkat hukum adatnya merasa
mempunyai hak yang sama dengan pemerintah.
Pengelolaan sumber-surnber agraria kehutanan selama ini secara
sentralistis telah banyak rnelakukan kesalah-keiolaan (mismanagement), karena
itu perbaikannya menuntut pelibatan kelembagaan lokal (Wibowo. 1993: 37).
Pendbahan pendekatan ini sejalan dengan diguiirkannya program social forestry
sebagai koreksi terhadap pendekatan sebelumnya yang sentralistis, termasuk
dalam pengelolaan taman nasional (Nasendi. 1986: 453).
Merujuk kepada pemikiran Noman Uphoff (1986: 11). pengertian lokal
adalah sebagai suatu tingkatan yang dikaitkan dengan tingkatan aktivitas dan
pengambilan keputusan. Apa yang dirnaksud dengan tingkatan lokal mencakup
tiga tingkatan, yaitu tingkatan kelompok (gmup level), masyarakat {community
level), dan lokalitas (locality level). Lembaga-lembaga lokal dimaksud mencakup
lembaga pemerintah dan swasta yang aktivitasnya dihubungkan oleh sektor
perantara seperti organisasi-organisasi kemasyarakatan- Ada enam kategori
utama yang terdapat pada level lokal tersebut, yaitu local administration berupa
lembaga pemerintah wakil pusat di daerah, local government sebagai lembaga
pernerintah daerah, membership otganization berupa kelompok-kelompok
swadaya masyarakat, koperasi yang lebih berorientasi ekonomi, iembaga-
lembaga pelayanan, dan usaha bisnis swasta.
Pengeiolaan kehutanan tergantung kepada kineja s e l ~ ~ h lembaga
tersebut, dalam ha1 siapa yang tertibat dan bagairnana susunan
kelembagaannya. Konfgurasi ini sangat tergantung pula kepada bagaimana
kekhasan surnber-sumber agraria yang dimilikinya. Lebih jauh perlu
s
mempertirnbangkan pembatasan sumberdaya dan penggunannya, distribusi
biaya dan manfaat, karakteristik sumberdaya, karakteristik penggunannya. dan
pertimbangan untuk pemilikan bersama. Pelibatan atau partisipasi anggota
masyarakat di sekitar hutan dipercaya akan memperbaiki pengelolaan sumber-
sumber agraria secara lebih baik.
Untuk taman nasional sebagai bentuk pengelolaan hutan yang khusus,
keteilibatan rnasyarakat sekitar iebih lemah dibandingkan dengan hutan
produksi. Dalam UU No. 5 tahun 1990. tentang Konservasi Surnberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, disebutkan Taman Nasional adalah kawasan
pelestarian yang mempunyai ekosistem asli. dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman nasional berfungsi untuk perlindungan
sistern penyangga kehidupan. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa, serta pernanfaatan secara lestari surnberdaya alam hayati dan
ekosisternnya. hidasarkan UU tersebut. dalarn pengetohan taman nasional
dilarang menangkap, rnelukai, membunuh, rnengambil, rnerniliki, rnemelihara,
mengangkut, menebang, merusak, dan mernusnahkan, serta memperdagangkan
satwa atau tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan
hidup maupun mati (Dephutbun, 1999: 1 48).
Taman nasional sebagai kawasan yang dilindungi memiliki manfaat
ierhadap perkernbangan pertanian di kawasan di luarnya, misalnya menghalangi
banjir serta rnengendalikan populasi harna pertanian. Narnun pertanian yang
intensif dan kawasan yang dilindungi bukanlah tetangga yang baik. karena itulah
diperlukan pengembangan suatu kawasan penyangga (buffer zone) untuk
rnemisahkan antara keduanya (John dan Mackinnon, 1986: 98-100). Kawasan
penyangga adalah kawasan yang berdekatan dengan kawasan yang ditindungi,
yang penggunaannya tanahnya terbatas, untuk mernberikan lapisan
perlindungan tambahan bagi kawasan yang dilindungi dan sekaligus bermanfaat
bagi rnasyarakat pedesaan sekitamya. Jadi, kawasan penyangga rnemiliki fungsi
penyangga perluasan dan penyangga sosial sekaligus.
Keterjaminan Keamanan Sosial Ekonomi dalam Masyarakat
Setiap kelornpok sosial sebagai suatu sistern (closed system) akan
rnengernbangkan kelernbagaan dengan seperangkat aturan yang akan rnenjarnin
kehidupan anggotanya. Hal ini rnerupakan fungsi pokok yang dirniliki oleh satu
kelornpok sosial. Terbangunnya kelernbagaan ini memerlukan prasyarat pokok,
yaitu apabila kelornpok rnasyarakd tersebut memiliki ikatan genedogis ataupun
ikatan teritorial dalarn suatu "kornunitas".
Dalarn kelornpok berdasarkan ikatan genealogis berupa sistem
ke kerabatan, keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family)
rnerupakan dua kelompok sosial yang rnemitiki fungsi langsung dalarn urusan
rnata pencaharian hidup anggotanya. Dalarn kedua kelornpok ini, terutarna dalarn
keluarga inti, setiap individu dapat rnenikmati bantuan utama dari sesarnanya
untuk terpenuhinya kearnanan daiam hidup (Koentjaraningrat, 1974: 106).
Secara umum, dalam suatu kelornpok kekerabatan, mereka terikat oleh suatu
sistem hak dan kewajiban bagi para individunya terhadap sejurnlah harta
produktif , h a d konsurntif, atau harta pusaka yang tertentu. Hak dan kewajiban
tersebut Iebih terasa dalam kelompok kekerabatan berkorporasi (cwrporate kin
groups), yaitu pada keluarga inti.
Terbangunnya kelernbagaan dengan peraturan seperti ini juga dapat
ditemui pada rnasyarakat yang dibentuk oleh ikatan teritorial, sebagaimana
ditemukan dalam penelitian James Scott (1981:5-7) pada rnasyarakat
prakapitalis di Asia Tenggara, dirnana desa menjamin kehidupan minimum
warganya melalui berbagai pengaturan dengan mengedepankan prinsip
rnendahulukan selarnat (safety first), meskipun tanggung jawab tersebut secara
lndlvldual aaa pada patron-patron yang ditekan oleh lernbaga desa sebagai
pengawasnya. Kondisi seperti ini juga terdapat di Jawa ketika masih berbentuk
"desa komunal" (Temple. 1976: 19-20), yang rnenciptakan jaminan kehidupan
minimum bagi seturuh warganya dengan jarninan sernua anggota desa
rnengambil bagian dalarn proses produksi5.
Bagi penduduk yang tersusun oleh berbagai kelornpok yang berbeda,
misalnya kelompok suku, maka pembauran sosial (asirnilasi) menuju
terbentuknya suatu kolektjvitas tidak terjadi secara serta-merta. Ketika
pernbauran tersebut belum terbentuk. maka masyarakat hanya mencapai tahap
integrasi, dimana masing-masing hidup dengan identitasnya sendiri, namun
hubungan kedua pihak dapat dilakukan dengan baik, saling menguntungkan dan
saling isi (Soemardjan, 1988: 5). Dalarn kondisi seperti ini institusi penjamin
keamanan sosial ekonomi berada pada pundak kelompok-kelompok kekerabatan
bedasarkan ikatan genealogis.
Ketiadaan institusi penjamin yang menyebabkan terancamnya keamanan
sosiai ekonomi dapat melahirkan perilaku yang cenderung merusak. Penurunan
jaminan keamanan sosiai ekonomi karena krisis ekonomi misainya terbukti
menjadi faktor mendorong meningkatnya aMivitas pencurian kayu di masyarakat
pinggiran hutan di Surnatera Selatan (Ginoga
Dan
Ewidodo. 2001: 15-30). Di sisilain, terancamnya keamanan sosial ekonomi juga dapat disebabkan karena
tingginya tekanan penduduk dibandingkan sumber-sumber agraria yang tersedia.
sehingga melahirkan rumah-rumah tangga yang berkategori miskin. Penelitian di
empat desa di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrsngo Jawa Barat
menemukan bahwa pada desa yang penduduknya miskin maka kerusakan
hutanya juga lebih besar {Mukhtar. 1986: 9).
Keberlanjutan Ekosistem dan Sumber-sumber Agraria
Konsep keberfanjutan (sustainabiiity) ekosistern berada datam konteks
saling keterkaitan antara manusia dan alam. Pengelolaan sumber-sumber
agraria kehutanan yang berkelanjutan merupakan suatu proses mengelola
surnber-surnber agraria kehutanan untuk mencapai satu atau iebih tujuan-tujuan
spesifik yang berkaitan dengan suatu aliran yang kontinyu dari produksi dan jasa
dari hutan. tanpa mengalami penurunan nilai yang tidak semestinya dari
produktivitas masa depan dan tanpa darnpak-dampak yang tidak diharapkan
berupa kerusakan lingkungan fisik dan sosial. Kata kunci dari konsep
keberlanjutan ini adatah kondisi yangtetap (stabil) dari ekosistern, jika tidak bisa
lebih baik. Keberlanjutan ekosistem tergantung kepada apakah ekosistem
tersebut dalam status yang tetap (stabilisasi) atau semakin menurun
(destabilisasi).
Dalam konsep keberlanjutan ekosistem secara keselumhan yang
mencakup lingkungan fisik, biologi, dan sosial, maka perlu mernpertimbangkan
tiga kriteria keberlanjutan, yaitu (CIFOR, 1997: 7):
(1) Keberlanjutan ekologi atau lingkungan (ecological or envimrnental
sustainabiiity) yang mensyaratkan suatu kondisi yang sama atau lebih baik
dari ekosistern untuk dapat menjaga kernampuan dan fungsinya.
(2) Keberlanjutan secara sosial (social sustainability). Konsep ini rnerefleksikan
hubungan antara kultural
(wttutal
ethics), norma sosial, danpengembangannya. Suatu aktivitas dapat secara sosial dikatakan
berkelanjutan bila itu sesuai dengan nilai-nilai etik dan norma sosial, atau
tidak melonggarkannya melebihi toleransi komunitas tersebut untuk benrwh.
(3) Keberlanjutan secara ekonomi (economic sustainability). Konsep ini
mensyaratakan bahwa keuntungan untuk komunitas rnelebihi biaya yang
dikeluarkan, dan beberapa bentuk sumber daya yang ekuivalen tetap dapat
dengan mudah diperoleh dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Ketiga konsep ini tidak be rjalan secara paralel dan sating terpisah, karena
manusia sebagai aktor yang aktif rnemiliki pelwng lebih besar sebagai penentu
keberlanjutan ekosistem secara keseluruhan. Dengan kata lain, keberlanjutan
ekologi dan lingkungan merupakan variabel dependen dari keberlanjutan sosial
dan ekonorni.
Lebih jauh, rnenurut ITTO (1998: 6-18) ada tujuh kriteria untuk menilai
sLiatu pengelolaan surnber daya alarn (khsususnya hutan) yang berkelanjutan,
yang di dalamnya terbagi menjadi berbagai indikator. Ketujuh kriteria tersebut