ANDI ASRIANTO ISKANDAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir yang berjudul : Kajian Pengembangan Agribisnis Ikan Balita (Studi Kasus di UD. Suhada, Kabupaten Cianjur) merupakan hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain serta belum pernah dipublikasikan. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, November 2012
ANDI ASRIANTO ISKANDAR. A Study of Balita Fish Agribusiness Development (A Case Study at UD. Suhada, in Cianjur Regency). Under direction of SAPTA RAHARJA and KOMAR SUMANTADINATA
The world market demand for fishery products is increasing even frequently not fulfilled. Therefore, it required an effort to overcome the problems in fulfilling the demand for fishery products. Efforts in the field of aquaculture freshwater fish and has the potential to provide a significant contribution to the lives of the people especially for the micro, small and medium enterprises.UD. (Enterprises Trade) Suhada are entrepreneurs in the agribusiness freshwater fisheries, particularly in the agribusiness of fish toddler. Balita fish is a type of freshwater fish; the term ‘balita’ is taken from the acronym of ‘dibawah lima-tiga’ (under five-three) centimeters or in short it means fish under 3-5 cm in size. Types of freshwater fish cultivated for balita fish at UD. Suhada is a type of tilapia and goldfish. The purpose of this study is to examine the feasibility of balita fish agribusiness investment in UD. Suhada; identify the internal and external factors that influence the development of agribusiness balita fish at UD. Suhada; formulate and recommend appropriate alternative development strategies to be applied to agribusiness balita fish at UD. Suhada in business development.Methods of data collection using purposive sampling method, is by deliberately selecting the sample to be studied as a respondent. Respondents were selected from the management and the workers UD. Suhada. Financial analysis at 14 percent of interest rate and 5 years of project lifetime resulted in feasible decision with Rp. 1, 105,005,110 of NPV; 4.85 of net B / C Ratio; 38.95 percent of IRR, 3 years and 5 month of PBP; and Rp. 1, 522,035,876 or 32.725 kg of BEP.The combination of value IFE EFE values for 2.688 and 2.651 in the IE matrix shows that the position of the business in V (five) cells, that cell growth. Based on the SWOT analysis and QSPM analysis the strategic priorities is to create a diverse variety of products while maintaining the quality of balita fish (score 5.605), extending the range of distribution and marketing (score 5.532), in collaboration with researchers in developing the quality of balta fish products to face competition (score of 5.437).
(Studi Kasus di UD. Suhada, Kabupaten Cianjur). Di bawah bimbingan SAPTA RAHARJA dan KOMAR SUMANTADINATA
Salah satu karakteristik UMKM yang merupakan pilar pembangunan serta membedakan dengan usaha besar lainnya adalah kegiatan-kegiatan produksi dari kelompok usaha yang berada di wilayah pedesaan, pada umumnya berbasis pertanian. Oleh karena itu, upaya-upaya pemerintah mendukung UMKM sekaligus juga merupakan suatu cara tidak langsung, tetapi efektif untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan produksi di sektor pertanian. Dalam hal ini, sektor pertanian secara luas yang meliputi pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan.
Agribisnis ikan balita merupakan salah satu peluang usaha di sektor agribisnis perikanan yang berkembang pesat sampai saat ini. Ikan balita merupakan jenis ikan air tawar, istilah balita diambil dari akronim di bawah lima-tiga sentimeter atau kalau dinotasikan secara singkat: ikan berukuran dibawah 3-5 cm. Namun dalam kenyataannya ikan balita banyak yang menggunakan ikan dengan ukuran lebih besar, yaitu 5-8 cm. Jenis ikan air tawar yang dibudidayakan untuk ikan balita adalah jenis ikan nila, ikan mas, ikan nilem, ikan mujair, ikan lele dan ikan gurame (Amri & Khairuman 2007).
Selain pemanfaatan ikan balita sebagai kebutuhan konsumsi konsumen yang menyukai menu ikan balita goreng, tetapi juga untuk memenuhi permintaan pasar alternatif lainnya. Peluang pasar alternatif sangat potensial tersebut adalah pemanfaatan ikan balita sebagai pakan ikan hias tertentu dan untuk memenuhi permintaan para pendeder ikan yang membesarkan ikan balita menjadi ikan remaja dan dewasa (konsumsi berukuran besar).
UD. Suhada merupakan pelaku agribisnis ikan balita mulai dari pengepulan benih ikan balita sampai pada pengolahan ikan balita dalam bentuk kemasan untuk dipasarkan yang berlokasi di Kampung Joglo, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur. Sumber benih ikan yang disimpan di UD. Suhada adalah jenis ikan nila dan ikan mas yang berasal dari berbagai wilayah di Cianjur.
Suhada dimana responden tersebut dianggap mengetahui informasi mengenai analisis usaha UD. Suhada, faktor strategis internal dan eksternal serta kondisi perusahaan secara menyeluruh.
Penelitian ini menggunakan metode pengolahan data secara kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk menganalisis secara deskriptif usaha agribisnis ikan balita dilihat dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, dan aspek sosial. Sedangkan metode kuantitatif dilakukan untuk menganalisis kelayakan investasi atau finansial pada agribisnis ikan balita tersebut. Analisis kelayakan usaha memiliki beberapa indikator, agar dapat mengetahui kelayakan usaha agribisnis ikan balita di UD. Suhada, yaitu NPV, Net B/C, IRR, PP dan BEP.
Analisis kelayakan usaha akan tergambar layak atau tidak layak usaha dijalankan. Jika menurut analisis usaha ini layak, maka dilakukan perumusan strategi pengembangan usaha yang merupakan suatu rangkaian aktivitas perusahaan, yang meliputi beberapa tahapan yaitu : (1) Tahap Masukan (The Input Stage) menggunakan analisis Matriks IFE dan EFE; (2) Tahap Pencocokan (The Matching Stage) menggunakan analisis Matriks IE dan SWOT; (3) Tahap Keputusan (The Decision Stage) menggunakan analisis Matriks QSP. Memberikan rekomendasi alternatif-alternatif dan memprioritaskan strategi-strategi yang terbaik dalam pengembangan usahanya dan untuk proses implementasi strategi diserahkan kepada pengambil keputusan manajemen perusahaan.
Berdasarkan kajian kelayakan investasi agribisnis ikan balita di UD. Suhada dilihat dari aspek finansial menguntungkan dan layak dilaksanakan. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat suku bunga 14% diperoleh nilai NPV Rp.1.105.005.110, nilai Net B/C Ratio 4,85, nilai IRR 38,95% lebih besar dari tingkat suku bunga, nilai PBP (Payback Period) 3,58 tahun atau nilai ini lebih pendek dari jangka waktu umur ekonomis proyek investasi. Berdasarkan analisis perhitungan BEP diketahui bahwa titik impas untuk usaha pengolahan ikan balita di UD. Suhada pada penjualan senilai Rp.1.522.035.876 atau dapat juga dikatakan bahwa diperlukan penjualan sebesar 32.725 kg ikan balita segar untuk mendapatkan kondisi seimbang antara biaya dengan keuntungan.
yang tepat untuk diterapkan bagi agribisnis ikan balita di UD. Suhada dalam pengembangan usahanya adalah meningkatkan produksi dan produktivitas usaha ikan balita dalam memanfaatkan permintaan ikan balita yang semakin meningkat (skor 5,734), memanfaatkan teknologi informasi dalam mempromosikan produk ikan balita (skor 5,637), menciptakan variasi produk yang beragam dengan tetap mempertahankan mutu ikan balita (skor 5,605), memperluas jangkauan distribusi dan pemasaran (skor 5,532), bekerjasama dengan pihak peneliti dalam mengembangkan mutu produk ikan balita guna menghadapi persaingan usaha (skor 5,437) dan pengembangan segmentasi usaha dalam menghadapi fluktuasi harga (skor 5,375).
©
Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-UndangDilarang mengutip sebagian atau seluruh Karya Tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
ANDI ASRIANTO ISKANDAR
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada
Program Studi Industri Kecil Menengah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NIM : P054100065 Program Studi : Industri Kecil Menengah
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Sapta Raharja, DEA Prof.Dr.Ir. Komar Sumantadinata, M.Sc Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Industri Kecil Menengah
Prof.Dr.Ir.H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir yang berjudul Kajian Pengembangan Agribisnis Ikan Balita (Studi Kasus di UD. Suhada, Kabupaten Cianjur). Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Magister Profesional Industri Kecil Menengah, Sekolah Pascsarjana Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih disampaikan atas bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak sehingga tugas akhir ini bisa terselesaikan. Untuk itu, disampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA selaku pembimbing utama yang telah memberikan arahan, bimbingan dan dorongan selama kegiatan kajian dan penulisan tugas akhir ini.
2. Prof. Dr. Komar Sumantadinata, M.Sc selaku pembimbing anggota yang juga telah memberikan pengarahan dan bimbingannya.
3. Prof.Dr.Ir.H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA selaku penguji luar komisi pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan atas penulisan tugas akhir ini.
4. Seluruh staf administrasi dan dosen pengajar PS MPI IPB yang telah turut memberi bantuan dan dukungan kepada penulis.
5. Rima Melati Oktapiani, A.Md, istri penulis, tercinta atas dukungan serta dorongan semangat yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini, serta Alifa Rianti, anak penulis, tersayang atas pengertian dan cintanya yang selalu memberikan inspirasi bagi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan ini.
6. Ayi Solihin, pemilik usaha ikan balita UD. Suhada serta seluruh karyawan yang telah banyak membantu dan memberikan informasi yang mempermudah dalam penyelesaian tugas akhir ini.
8. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.
Semoga laporan tugas akhir ini dapat menambah khasanah pengetahuan untuk pembangunan UKM di Indonesia serta pihak-pihak yang membutuhkan. Saran dan kritik sangat diharapkan untuk kesempurnannya. Segala kesalahan dalam penulisan tugas akhir ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
Bogor, November 2012
Penulis dilahirkan pada tanggal 20 April 1985 di Makassar, Propinsi Sulawesi Selatan. Penulis adalah anak kedua dari tiga orang bersaudara, dari pasangan Bapak Ir. H. Iskandar dan Ibu Dra. Hj.Andi Sisu. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 2 Makassar, lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis meninggalkan Kota Makassar untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dari mengembangkan pola pikir.
Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). Penulis mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi (SE) di FEM-IPB pada tahun 2007. Pada tahun 2009 penulis menikah dengan Rima Melati Oktapiani dan dikarunia seorang puteri yang bernama Alifa Rianti.
Halaman
1. Subsistem Pengadaan Sarana dan Prasarana Produksi... 6
2. Subsistem Proses Produksi ... 7
3. Subsistem Pengolahan Hasil Perikanan dan Pemasaran ... 7
4. Subsistem Pendukung ... 8
D. Aspek-Aspek Analisis Kelayakan ... 20
A. Kerangka Pemikiran Operasional ... 38
B. Analisis Kualitatif ... 47
1. Aspek Pasar ... 47
2. Aspek Teknis ... 51
3. Aspek Manajemen ... 55
4. Aspek Sosial ... 56
C. Analisis Kuantitatif ... 56
1. Net Present Value ... 57
1. Identifikasi Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman ... 58
xv
No. Halaman
1. Produksi Benih Ikan dari UPR Kecamatan Karangtengah, Kabupaten
Cianjur Tahun 2011-2012 ... 4
2. Kriteria Benih Ikan Mas untuk Pendederan ... 14
3. Matriks Internal Factor Evaluation ... 28
4. Matriks External Factor Evaluation ... 29
5. Penilaian Bobot Faktor Strategis Internal Perusahaan ... 30
6. Penilaian Bobot Faktor Strategis Eksternal Perusahaan ... 30
7. Matriks QSP ... 37
8. Status Usaha Ikan Balita di UD. Suhada ... 48
9. Jenis dan Harga Produk Ikan Balita di UD. Suhada ... 49
10. Penjualan Ikan Balita Periode 2008 – 2012 ... 52
11. Faktor Strategis Internal Usaha Ikan Balita UD. Suhada ... 66
12. Faktor Strategis Eksternal Usaha Ikan Balita UD. Suhada ... 68
13. Matriks SWOT ... 73
xvi
No. Halaman
1. Matriks IE ... 33
2. Matriks SWOT ... 35
3. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Operasional ... 40
4. Proses Pengemasan Ikan Balita Segar ... 53
5. Proses Pembuatan dan Pengemasan Ikan Balita Goreng ... 54
6. Matriks IE Strategis Usaha Ikan Balita di UD. Suhada ... 70
xvii
No. Halaman
1. Kuesioner Penelitian Kelayakan Usaha ... 81
2. Kuesioner Penelitian Pengembangan Usaha ... 83
3. Investasi Usaha Ikan Balita UD. Suhada ... 87
4. Biaya Operasional Usaha Ikan Balita UD. Suhada ... 88
5. Kelayakan Usaha Ikan Balita di UD. Suhada ... 89
6. Matriks QSP ... 90
7. Produk Ikan Balita Goreng UD. Suhada ... 91
8. Proses Pembersihan dan Pengemasan Ikan Balita Segar ... 92
9. Tempat Penggorengan Ikan Balita Goreng ... 93
10. Tempat Pengolahan Ikan Balita UD. Suhada ... 93
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) merupakan bagian yang sangat penting dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dunia, tidak hanya di negara-negara sedang berkembang, tetapi juga di negara maju. Di negara maju, UMKM berperan tidak hanya karena kelompok usaha tersebut menyerap paling banyak tenaga kerja dibandingkan usaha besar, tetapi juga kontribusinya terhadap pembentukan atau pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) paling besar dibandingkan kontribusi dari usaha besar. Sedangkan pada negara sedang berkembang, UMKM merupakan bagian sangat vital dilihat dari perspektif kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi kelompok miskin, distribusi pendapatan dan pengurangan kemiskinan, serta pembangunan ekonomi pedesaan. Sehingga UMKM diharapkan terus dikembangkan, karena merupakan salah satu kekuatan pendorong terdepan dalam pembangunan ekonomi (Tambunan, 2009).
Salah satu karakteristik UMKM yang merupakan pilar pembangunan serta membedakan dengan usaha besar lainnya adalah kegiatan-kegiatan produksi dari kelompok usaha yang berada di wilayah pedesaan, pada umumnya berbasis pertanian. Oleh karena itu, upaya-upaya pemerintah mendukung UMKM sekaligus juga merupakan suatu cara tidak langsung, tetapi efektif untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan produksi di sektor pertanian. Dalam hal ini, sektor pertanian secara luas yang meliputi pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan.
ikan laut, maupun ikan air tawar, termasuk ikan hias. Usaha ini akan memperbanyak peluang bersaing dibandingkan dengan usaha penangkapan. Pengembangan usaha budi daya semakin memegang peranan penting dalam pembangunan perikanan Indonesia.
Salah satu usaha budi daya perikanan yang memiliki potensi dan dapat memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi kehidupan masyarakat Indonesia adalah usaha budi daya perikanan ikan air tawar. Untuk mengupayakan usaha sektor budi daya perikanan air tawar ini dapat berfungsi dengan baik yang mampu menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, maka perlu dikelola secara profesional sehingga dapat menambah nilai komersialnya. Dengan pendekatan sistem agribisnis perikanan maka hal tersebut dapat diakomodir dalam membangun subsektor perikanan, dalam hal ini perikanan budi daya. Menurut Saragih (2010) pembangunan subsektor perikanan dengan pendekatan sistem agribisnis yang dimaksud adalah membangun dan mengembangkan subsistem industri hulu perikanan (perbenihan, industri peralatan penangkapan ikan, industri pakan ikan), subsistem budi daya atau penangkapan ikan dan penanganan pasca penangkapan, subsistem pengolahan hasil perikanan dan perdagangan, subsistem jasa penunjang (terutama kegiatan penelitian dan pengembangan) secara terintegrasi dalam suatu sistem, baik sistem nilai maupun pengelolaannya.
Agribisnis perikanan ini pun sangat fleksibel serta memiliki beraneka ragam pilihan baik terhadap pemilihan tempat pembudidayaan ikan air tawar maupun jenis ikan, yang disesuaikan dengan kondisi iklim dan cuaca lingkungan tempat pembudidayaan ikan tersebut, sehingga dapat memberikan peluang bisinis bagi para pelaku usaha budi daya ikan air tawar. Terutama bagi kalangan UMKM, dengan teknik budi daya dan pengolahan yang cukup ringan serta tidak membutuhkan modal atau biaya usaha yang cukup mahal untuk menjalani agribisnis perikanan ikan air tawar tersebut.
bahwa ikan balita tidak hanya untuk sekedar menggambarkan bahwa ikan tersebut masih berukuran kecil, lebih spesifik lagi menyangkut dimensi atau ukuran panjang tubuh. Istilah balita diambil dari akronim di bawah lima sampai tiga sentimeter atau kalau dinotasikan secara singkat: ikan berukuran dibawah 3 cm sampai 5 cm. Namun dalam kenyataannya ikan balita banyak yang menggunakan ikan dengan ukuran lebih besar, yaitu 5 cm sampai 8 cm. Jenis ikan air tawar yang dibudidayakan untuk ikan balita adalah jenis ikan nila, ikan mas, ikan nilem, ikan mujair, ikan lele dan ikan gurame (Amri & Khairuman, 2007).
Terbatasnya bentuk olahan ikan merupakan salah satu penyebab rendahnya tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia. Untuk meningkatkan konsumsi ikan, perlu ditempuh penganekaragaman (diversifikasi) bentuk olahan ikan, terutama menuju pada produk-produk yang biasa dikonsumsi masyarakat, sehingga peluang produk untuk diterima lebih besar (Subaryono 2003 diacu dalam Nainggolan dkk, 2010). Produk ikan balita yang dapat dikonsumsi masyarakat adalah produk ikan balita goreng. Selain pemanfaatan ikan balita sebagai kebutuhan konsumsi konsumen yang menyukai menu ikan balita goreng, tetapi juga untuk memenuhi permintaan pasar alternatif lainnya. Peluang pasar alternatif sangat potensial tersebut adalah pemanfaatan ikan balita sebagai pakan ikan hias tertentu dan untuk memenuhi permintaan para pendeder ikan yang membesarkan ikan balita menjadi ikan remaja dan dewasa (konsumsi berukuran besar).
Selain keuntungan yang berlipat, bisnis ikan balita juga minim resiko. Ikan balita dapat dipanen lebih cepat, biaya produksi pun bisa ditekan. Biaya operasional yang terkonsentrasi untuk pakan berkisar 80 persen atau lebih bisa ditekan menjadi nol (Flona Serial, 2007).
budi daya ikan air tawar serta produk olahannya. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cianjur, di Kecamatan Karangtengah terdapat 252 Unit Pembenihan Rakyat (UPR) dengan luas areal 122,7 ha menghasilkan benih ikan mas, ikan nila dan ikan lele . Benih ikan mas merupakan jenis benih ikan yang paling banyak dihasilkan dari UPR tersebut dibandingkan dengan benih jenis ikan lainnya (Tabel 1). Benih ikan mas merupakan salah satu jenis ikan sebagai bahan baku ikan balita.
Tabel 1. Produksi Benih Ikan dari UPR Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur Tahun 2011-2012
Satuan : 1.000/ekor
No. Jenis Ikan Tahun
2011 2012
1 Mas 1,256,067.37 1,414,147.54
2 Nila 1,140,480.50 1,271,375.76
3 Lele 6,019.05 16,246.24
Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cianjur, 2012
UD. Suhada, yang berlokasi di Kampung Joglo, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur merupakan pelaku agribisnis ikan balita mulai dari pengepulan benih ikan balita sampai pada pengolahan ikan balita dalam bentuk kemasan untuk dipasarkan. Sumber benih ikan yang ditampung di UD. Suhada adalah benih jenis ikan nila dan ikan mas yang berasal dari berbagai wilayah di Cianjur, termasuk UPR di Kecamatan Karangtengah.
B. Perumusan Masalah
Secara ringkas permasalahan yang ada dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana kelayakan investasi agribisnis ikan balita di UD. Suhada dilihat dari aspek non finansial dan aspek finansial ?
2. Faktor-faktor internal dan eksternal apakah yang mempengaruhi pengembangan produk agribisnis ikan balita di UD. Suhada ?
3. Strategi pengembangan agribsinis ikan balita bagaimanakah yang tepat untuk diterapkan di UD. Suhada ?
C. Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut :
1. Mengkaji kelayakan investasi agribisnis ikan balita di UD. Suhada dilihat dari aspek non finansial dan aspek finansial.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap pengembangan agribisnis ikan balita di UD. Suhada.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Agribisnis Perikanan
Agribisnis perikanan didefinisikan sebagai kegiatan usaha atau bisnis
dengan komoditas berupa ikan dan produk olahannya serta barang dan jasa
pendukung lainnya. Sebagai suatu bisnis, kegiatan perikanan selalu
berorientasi untuk mencari keuntungan (profit). Kegiatan agribisnis perikanan
mencakup produksi komoditas perikanan, pengadaan sarana dan prasarana
produksi, pengolahan, pemasaran, serta pendukung lainnya (Effendi &
Oktariza, 2006).
Subsistem proses produksi merupakan kegiatan on farm, sedangkan
komponen lainnya merupakan kegiatan off farm. Kegiatan on farm perikanan
adalah perikanan tangkap dan budidaya (akuakultur). Kegiatan off farm
mencakup pengadaan sarana dan prasarana produksi perikanan tangkap dan
budidaya, pengolahan perikanan serta pemasaran hasil perikanan. Terdapat
kaitan yang saling mempengaruhi antarkomponen kegiatan, dari hulu hingga
hilir sehingga membentuk suatu sistem, yaitu sistem agribisnis perikanan.
Subsistem agribisnis perikanan merupakan mata rantai kegiatan usaha
perikanan, dari hulu hingga hilir yaitu sejak pengadaan sarana/prasarana
produksi, proses produksi, pengolahan hingga pemasaran. Terjadi pergerakan
barang atau jasa dari subsistem atau mata rantai hulu ke hilir dan pada setiap
pergerakan terjadi perubahan nilai atau harga dari barang atau jasa tersebut.
Output yang dihasilkan oleh susbsistem hulu menjadi input bagi susbsitem hilir di bawahnya.
Menurut Effendi dan Oktariza (2006), sistem agribisnis perikanan
terdiri dari empat rangkaian kegiatan, yaitu :
1. Subsistem Pengadaan Sarana dan Prasarana Produksi
Subsistem pengadaan sarana dan prasarana produksi (Up-Stream
Agribusiness) yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan atau memproduksi sarana dan prasarana produksi. Subsistem pengadaan sarana
produksi (saprodi) usaha budidaya perikanan sarana dan prasarana yang
minyak, es, peralatan dan tenaga kerja. Sementara prasarana produksi
mencakup pemilihan lokasi, infrastruktur jalan (transportasi), energi
(listrik), telekomunikasi, konstruksi wadah produksi dan fasilitas
pendukung lainnya.
2. Subsistem Proses Produksi
Subsistem proses produksi (On-Farm Agribusiness) yaitu kegiatan
ekonomi yang menggunakan sarana dan prasarana produksi untuk
menghasilkan produk primer yakni ikan, baik usaha perikanan tangkap
maupun budidaya perikanan.
Proses produksi usaha budidaya perikanan bertujuan untuk
menghasilkan ikan kultur meliputi kegiatan penyiapan wadah
pemeliharaan, penebaran benih, pemberian pakan, pengelolaan air,
pencegahan dan pemberantasan hama dan penyakit, pemantauan
pertumbuhan populasi serta pemanenan. Untuk mendapatkan hasil panen
yang maksimal maka setiap komponen kegiatan dalam proses produksi
akuakultur seyogyanya dikelola denga baik, termasuk ketepatan
pengadaan bahan setiap kegiatan. Oleh karena itu, manajemen produksi
akuakultur mencakup manajemen kolam, benih, pemberian pakan,
kesehatan ikan, kualitas air dan manajemen panen.
3. Subsistem Pengolahan Hasil Perikanan dan Pemasaran
Subsistem pengolahan hasil perikanan dan pemasaran
(Down-Stream Agribusiness) adalah gabungan dua sistem, yaitu subsistem pengolahan hasil perikanan yang merupakan kegiatan ekonomi untuk
mengolah produk primer menjadi produk olahan agar mempunyai nilai
tambah dan subsistem pemasaran yang merupakan kegiatan ekonomi
untuk menggerakkan barang dari produsen (nelayan, pembudidaya ikan
dan pengolah ikan) kepada konsumen.
Pengolahan perikanan bertujuan untuk lebih mendekatkan produk
perikanan kepada konsumen sehingga menjadi salah satu strategi
masyarakat, dari bersifat agraris menjadi industri, maka ke depan
diperlukan pengolahan perikanan, yang bisa mendekatkan produk
perikanan ke konsumen atau pasar, menjadi lebih besar dan menentukan.
Produk perikanan tangkap dan akuakultur akan lebih banyak diolah
terlebih dahulu sebelum sampai ke pasar atau konsumen. Bentuk makanan
yang sudah popular sperti nugget, burger, sosis, dan bakso semakin banyak
yang berbahan baku ikan. Usaha pengolahan perikanan akan menjadi
penghela kuat usaha perikanan tangkap dan akuakultur sehingga ikut
memperbesar peluang keberlanjutan usaha.
Subsistem pemasaran merupakan hasil akhir dari agribisnis
perikanan, yang menjadi penghela untuk seluruh subsistem lainnya dalam
sistem agribisnis. Pemasaran menjadi pengatur kecepatan (driver)
pergerakan barang dan jasa dalam mata rantai agribisnis perikanan. Ketika
laju pemasaran (permintaan) meningkat maka subsistem yang berada di
bawahnya akan menyesuaikan kecepatan pengadaan produk agar bisa
memenuhi laju pemasaran tersebut sehingga tidak terjadi kelangkaan
pasokan. Sebaliknya, bila laju pemasaran melemah maka subsistem
lainnya akan menyesuaikan lajunya dengan pemasaran.
4. Subsistem Pendukung
Subsistem pendukung (Supporting System) yaitu lembaga atau
individu yang menyediakan jasa bagi terlaksananya kegiatan ekonomi
ketiga subsistem sebelumnya, lembaga permodalan, lembaga penelitian,
lembaga penyuluhan dan lembaga pengembangan sumberdaya manusia.
Subsistem ini berfungsi untuk memperlancar pelaksanaan pengembangan
agribisnis perikanan sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Menurut Said dan Intan (2001), keberadaan kelembagaan dan
pendukung pengembangan agribisinis sangat penting untuk menciptakan
agribisnis yang tangguh dan kompetitif. Lembaga-lembaga pendukung
tersebut sangat menentukan dalam upaya menjamin terciptanya integrasi
agribisnis dalam mewujudkan pengembangan agribisnis. Beberapa
a. Pemerintah
Pemerintah memegang peranan yang sangat penting dalam
menciptakan lingkungan usaha agribisnis yang kondusif dan mampu
mendukung perkembangan agribisnis yang tangguh. Lembaga
pemerintah, mulai dari tingkat pusat sampai daerah, memiliki
wewenang regulasi dalam menciptakan lingkungan agribisnis yang
kompetitif dan adil. Regulasi pemerintah tersebut dapat
dikelompokkan dalam beberapa kelompok di bawah ini.
1) Regulasi untuk menjamin terciptanya lingkungan bisnis yang
kompetitif dan mencegah monopoli dan kartel.
2) Regulasi untuk mengontrol kondisi-kondisi monopoli yang
diizinkan, seperti Badan Usaha Milik Daerah yang mengelola
usaha public utility.
3) Regulasi untuk fasilitas perdagangan.
4) Regulasi dalam penyediaan pelayanan publik, terutama untuk
fasilitas layanan yang terkait, baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan agribisnis.
5) Regulasi untuk proteksi, baik proteksi terhadap konsumen maupun
produsen.
6) Regulasi yang terkait langsung dengan harga komoditas agribisnis,
input-input agribisnis, dan peralatan-peralatan agribisnis. 7) Regulasi terhadap peningkatan ekonomi dan kemajuan sosial.
8) Regulasi terhadap sistem pembiayaan agribisnis.
9) Regulasi terhadap sistem penanggungan resiko agribisnis.
b. Lembaga Pembiayaan
Lembaga pembiayaan agribisnis memegang peranan yang
sangat penting dalam mengembangkan usaha agribisnis, terutama
dalam penyediaan modal investasi dan modal kerja, mulai dari sektor
hulu sampai hilir.
c. Lembaga Pemasaran dan Distribusi
Peranan lembaga pemasaran dan distribusi menjadi ujung
sebagai fasilitator yang menghubungkan antara deficit units
(konsumen) dan surplus units (produsen). Lembaga pemasaran dan
distribusi juga memegang peranan penting dalam memperkuat
integrasi antarsubsistem dalam sistem agribisnis. Dengan demikian,
pengembangan agribisnis yang terpadu harus juga mampu memperkuat
peranan dan memberdayakan lembaga pemasaran dan distrbusi sangat
diperlukan karena serangkaian aktifitasnya menjadi penentu utama
besarnya marjin antara harga ditingkat produsen dan harga ditingkat
konsumen. Salah satu ukuran distribusi yang efisien adalah rendahnya
marjin antara harga produsen dengan harga konsumen, namun tidak
berarti lembaga pemasaran dan distribusi tersebut tidak mendapat
untung, tetapi lebih pada upaya pembagian yang adil dari semua nilai
tambah yang tercipta dalam suatu sistem komoditas kepada setiap
pelaku yang terlibat.
d. Koperasi
Koperasi sebagai badan ekonomi rakyat, yang lahir sebagai
pengejawantahan kekuatan ekonomi anggotanya, memilki peranan
yang sangat penting dalam menghimpun kekuatan ekonomi
anggotanya untuk kemaslahatan bersama dengan asas kekeluargaan.
Dalam hal peranannya dalam pengembangan agribisnis, dapat dilihat
dari fungsinya sebagai penyalur input-input perikanan dan lembaga
pemasaran hasil-hasil perikanan.
e. Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan dibidang agribisnis hendaknya
menangkap paradigma-paradigma pembelajaran dan pendidikan yang
mampu melahirkan tenaga-tenaga terdidik yang professional dan
spesialis dalam bidangnya. Lembaga pendidikan harus mampu mandiri
dan memilki kebebasan dalam menentukan masa depannya
menghadapi era persaingan global, terutama lembaga pendidikan
tinggi. Pemerintah hanyalah sebagai fasilitator, bukan sebagai pengatur
dan penentu mekanisme sistem pendidikan. Dengan demikian,
memiliki ruang gerak yang luas tanpa terbelenggu oleh aturan main
yang berbelit-belit.
f. Lembaga Penyuluh Perikanan
Peranan penyuluh perikanan untuk memperkenalkan berbagai
program peningkatan produksi yang dicanangkan pemerintah dan
membimbing dalam pelaksanaannya, diharapkan peranannya pada
masa akan datang bukan lagi menjadi penyuluh penuh, melainkan
lebih kepada fasilitator dan konsultan perikanan.
g. Lembaga Riset
Peranan lembaga riset bagi pengembangan agribisnis perlu
digerakkan dalam upaya meraih keunggulan bersaing bagi
produk-produk agribisnis dalam memasuki era pasar bebas. Semua lembaga
riset yang terkait dengan pengembangan agribisnis harus menjadi
ujung tombak bagi keberhasilan agribisnis yang memilki keunggulan
mutu produk dan pengembangan diferensisasi dengan produk sejenis
yang diproduksi negara/daerah lain.
h. Lembaga Penjamin dan Penanggung Risiko
Risiko di bidang agribisnis tergolong besar, namun hampir
semuanya dapat diatasi dengan teknologi dan manajemen yang handal.
Namun demikian, dibutuhkan lembaga penjamin risiko yang mampu
menghilangkan kekhawatiran-kekhawatiran para pelaku bisinis untuk
masuk di bidang agribisnis. Asuransi perikanan, sebagai salah satu
lembaga penjamin risiko agribisnis, sangat tepat untuk dikembangkan
sejalan dengan upaya aplikasi teknologi agribisnis yang semakin
meningkat. Selain itu, instrument hedging dalam bursa komoditas juga
perlu dikembangkan guna memberikan sarana penjaminan berbagai
risiko dalam agribisnis dan industri pengolahannya.
Konsep di atas membantu untuk memahami sistem agribisnis
perikanan, terutama keberadaan kelembagaan pendukung untuk
menciptkan agribisnis perikanan yang tangguh dan kompetitif.
upaya menjamin terciptanya integrasi agribisnis perikanan dalam
mewujudkan pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Cianjur.
B. Ikan Balita
1. Sejarah Ikan Balita
Ikan balita menjadi populer untuk menyebut ikan yang masih
berukuran kecil, khusunya yang digoreng dan menjadi menu favorit
rumah-rumah makan di pingir jalan sampai restoran-restoran tertentu,
bahkan restoran khusus di hotel berbintang. Menu tersebut populer dengan
nama ikan balita goreng.
Istilah ikan balita mulai terkenal pada akhir tahun 1990-an di
daerah Bogor dan sekitarnya, yang digunakan untuk menyebut menu ikan
mas goreng berukuran kecil. Fenomena yang terjadi juga terdapat di
sepanjang jalur Cianjur-Sukabumi-Bandung pada saat yang tidak
terlampau jauh. Akhir ini, istilah ikan balita goreng juga populer di daerah
Purawakarta-Subang-Bandung, bahkan juga di beberapa daerah lain di
kawasan kawasan Parahyangan (Jawa Barat) serta Jakarta. Sebuah restoran
Sunda yang berlokasi di Bogor menyatakan sebagai pelopor menu ikan
mas balita goreng tersebut (Amri & Khairuman, 2007). Sumber lain
menyebutkan, sejarah ikan balita berawal dari adanya menu ikan beunteur
(Puntius binotatus)-sejenis ikan tawes yang dalam bahasa Jawa disebut
iwak wader-goreng garing, yang rasanya gurih dan renyah (Warta Pasar Ikan, 2007).
Menu ikan balita goreng memilki penggemar yang cukup banyak,
baik konsumen lokal bahkan disukai orang asing. Oleh karena itu, selain
disebut ikan balita goreng dalam bahasa Inggris menu ini dinamakan fried
baby fish (Amri & Khairuman, 2007).
2. Kriteria Ikan Balita
Jika ditelusuri lebih lanjut, istilah ikan balita dalam pandangan
awam identik dengan istilah balita yang umum, yaitu istilah yang
Sehingga istilah ini pun akhirnya digunakan untuk menyebut ikan-ikan
yang masih berukuran kecil. Tetapi dikalangan praktisi perikanan, istilah
ikan balita ternyata tidak hanya untuk sekedar menggambarkan bahwa
ikan tersebut masih berukuran kecil, lebih spesifik lagi menyangkut
dimensi atau ukuran panjang tubuh. Istilah balita ini diambil dari akronim
di bawah lima-tiga sentimeter atau kalau dinotasikan secara singkat: ikan
yang berukuran dibawah 3-5 cm. Namun, dalam kenyataannya menu ikan
balita goreng juga banyak yang menggunakan ikan dengan ukuran lebih
besar, yaitu 5-8 cm (Amri & Khairuman, 2007).
Munculnya istilah ikan balita dipicu oleh munculnya ikan balita
goreng. Sebab, dalam kegiatan pembenihan dan pendederan (khususnya
ikan mas) sudah ada istilah tersendiri (umumnya berasal dari bahasa lokal)
yang populer dan digunakan secara umum. Di Jawa Barat misalnya,
kelompok benih ikan yang dipelihara memilki istilah: larva, kebul, burayak, putihan, ngaramo, dan ngaramo lepas. Larva adalah benih ikan yang baru menetas; kebul merupakan larva stadium akhir yang panjang
tubuhnya 0,6-1 cm; burayak adalah benih berukuran 1-3 cm; putihan
panjang tubuhnya 3-5 cm; ngaramo ukuran tubuhnya 5-8 cm; dan
ngaramo lepas panjang tubuhnya berkisar 8-12 cm. Adakalanya pengelompokan benih berdasarkan ukuran seperti ini juga diadopsi untuk
pengelompokan ikan jenis lainnya.
Menurut SNI (Standar Nasional Indonesia) Perbenihan Ikan Mas
1999, pengelompokkan ini dipersempit menjadi 5 kelompok saja yaitu:
larva, kebul, putihan, belo dan sangkal dengan spesifikasi seperti tertera pada Tabel 2.
Menurut Tabel 2, memberikan keterangan lebih jelas bahwa yang
termasuk ikan balita (untuk bahan baku balita goreng) adalah benih ikan
Tabel 2. Kriteria Benih Ikan Mas untuk Pendederan
No. Kriteria Larva Kebul Putihan Belo Sangkal 1. Umur maksimal (hari) 4 20 40 70 90 2. Panjang total minimal (cm) 0,6 1 3 5 8 3. Bobot minimal (gram) 0 0,2 3 6 10
Sumber: BSN, 1999
3. Jenis Ikan Balita yang Populer
Sampai saat ini menu ikan balita goreng yang nilai komersialnya
tinggi terutama di Pulau Jawa (Jabodetabek dan Bandung) hanya terbatas
dua jenis ikan saja, yaitu ikan mas dan nila. Sebagian besar restoran favorit
yang ada di Bogor umumnya menggunakan ikan mas. Begitu pula di
UD.Suhada menggunakan dua jenis ikan, ikan mas dan ikan nila, yang
lebih banyak di komersialisasikan adalah ikan mas. Ikan nila dinilai
kurang menarik lantaran warnanya tidak secerah ikan mas. Namun
demikian, beberapa restoran justru ada yang fanatik menggunakan ikan
nila dan ternyata memilki banyak peminat. Sementara ikan beuntuer
semakin sulit ditemukan dan hanya terdapat di daerah tertentu saja dalam
jumlah kecil, seperti di Kuningan dan Sumedang.
Di luar Pulau Jawa juga terdapat menu ikan goreng berukuran
kecil, tetapi tidak termasuk ikan balita goreng, karena meskipun sosoknya
kecil namun sesungguhnya sudah merupakan ikan dewasa (konsumsi).
Sebagai contoh, ikan seluang (Rasbora argyrotaenia) yang populer di
Kalimantan dan Sumatera. Ikan seluang adalah ikan sungai yang
dikeringkan dan digoreng gurih. Ikan ini pada dasarnya berukuran kecil;
yang sudah dewasa (konsumsi) berukuran maksimal 3-5 cm. Demikian
juga halnya dengan ikan bilis/bilih (Mystacoleucus padangensis). Ikan di
dunia hanya terdapat di danau Singkarak, Solok, Sumatera Barat, juga
berukuran kecil (3-8 cm) dan merupakan ukuran konsumsi.
Dari perkembangan selanjutnya, penamaan menu ikan mas atau
nila kecil goreng ini ternyata tidaklah sama antara restoran/rumah makan
yang satu dengan yang lainnya. Sebagian besar telah menggunakan istilah
ikan balita goreng, bahkan ada restoran yang mengklaim bahwa sejak
(Warta Pasar Ikan, 2007), namun ada juga restoran menamakannya ikan
unyil goreng. Sementara itu, ada juga restoran lain yang mempopulerkannya sebagai baby fish.
4. Pasokan Kebutuhan Ikan Balita
Beberapa praktisi mengatakan bahwa pasokan ikan balita yang
baik berasal dari ikan balita yang dipelihara secara mina padi di sawah.
Karena, ikan balita yang dipelihara di sawah bersama padi, terutama di
sawah yang menerapkan penanaman padi ramah lingkungan (organik),
akan bertambah prima rasa dan kualitasnya. Namun, ada juga yang
mengandalkan ikan balita hasil pemeliharaan di kolam. Berdasarkan
pengalaman, pasokan ikan balita yang dipelihara di sawah bersama padi
kontinuitasnya sulit dipertahankan, terutama pada musim kemarau. Pada
musim ini banyak sawah kekurangan air, sehingga pemeliharaan ikan
balita tidak dapat dilaksanakan. Akhirnya, mereka lebih mengandalkan
pasokan ikan balita dari pembudidaya ikan yang membesarkannya di
kolam.
Besarnya pasokan sangat tergantung pada besarnya permintaan
konsumen. Ada restoran yang membutuhkan pasokan bahan baku ikan
balita sekitar 10 kg/hari. Sebuah restoran ikan balita di Bogor bahkan
membutuhkan rata-rata 2-3 ton/bulan (Warta Pasar Ikan, 2007).
Umumnya, pasokan ikan balita dalam keadaan hidup. Sementara ukuran
yang banyak diminati adalah yang panjangnya 3-5 cm. Namun demikian,
ada juga restoran tertentu yang membutuhkan ikan balita yang lebih besar,
yaitu yang berukuran 5-8 cm. Jika dikonversikan ke berat per
kilogramnya, kira-kira 100-120 ekor/kg. Bahan baku ikan balita yang
disuplai ke restoran harus dalam kondisi sehat, sehingga tingkat
kematiannya berkisar 10-20% saja. Artinya, dari 100 ekor ikan balita
hidup yang dikirim, yang mati (kalau ada) tidak lebih dari 20 ekor.
Untuk sistem pembayarannya, ada restoran yang menerapkan
sistem tunai, yakni langsung dibayar pada saat ikan datang. Namun,
terutama restoran besar yang memilki pemasok tetap. Hal ini biasanya
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati antara pemasok dan pihak
restoran.
Jika ikan balita yang dipasok pembudidaya sudah memenuhi
persyaratan, ikan ini langsung ditampung untuk sementara dalam bak
penampungan khusus. Besarnya bak penampungan tergantung pada
jumlah ikan. Ada restoran besar yang memiliki bak penampungan
berkapasitas hampir 1 ton ikan. Ikan-ikan di bak penampungan ini
sebagian langsung ditangkap, untuk kemudian disiangi, dimasak dan
disajikan kepada para pengunjung restoran. Sebagian lagi sengaja
memelihara selama 1-2 hari. Cara yang demikian ini lebih baik karena
ikan menjadi lebih segar dan lebih bersih (Amri & Khairuman, 2007).
C. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) 1. Konsep dan Definisi UMKM
Defenisi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) diatur
dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
tentang UMKM, Pasal 1 dinyatakan bahwa usaha mikro (UMI) adalah
usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan
yang memenuhi kriteria UMI sebagaimana diatur dalam UU tersebut.
Usaha kecil (UK) adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki,
dikuasai, atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak langsung, dari
usaha menengah (UM) atau usaha besar (UB) yang memenuhi kriteria UK
sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut. Sedangkan UM adalah usaha
ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau
bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian,
baik langsung maupun tidak langsung, dari UMI, UK atau UB yang
memenuhi kriteria UM sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut
Kriteria yang digunakan pada UU tersebut yaitu untuk
mendefinisikan UMKM seperti yang tercantum dalam Pasal 6 adalah nilai
kekayaan bersih atau nilai aset tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha, atau hasil penjualan tahunan. Dengan kriteria tersebut dalam UU
tentang UMKM, UMI adalah unit usaha yang memilki nilai aset paling
banyak Rp.50 juta atau dengan hasil penjualan tahunan paling besar
Rp.300 juta; UK dengan nilai aset lebih dari Rp.50 juta sampai dengan
paling banyak Rp.500 juta atau memilki hasil penjualan tahunan lebih dari
Rp.300 juta hingga maksimum Rp.2,5 miliar; dan UM adalah perusahaan
dengan nilai kekayaan bersih lebih dari Rp.500 juta hingga paling banyak
Rp.10 miliar atau memilki hasil penjualan tahunan diatas Rp.2,5 miliar
sampai paling tinggi Rp.50 miliar (Tambunan, 2009).
2. Karakteristik UMKM
Menurut Tambunan (2009), karakteristik-karakteristik utama
UMKM yang membedakan dengan UB adalah sebagai berikut :
1. Jumlah perusahaan sangat banyak (jumlah melebihi jumlah UB),
terutama dari kategori UMI dan UK. Berbeda dengan UB dan UM,
UMI dan UK tersebar di seluruh pelosok perdesaan, termasuk di
wilayah-wilayah yang relatif terisolasi.
2. Mempunyai suatu potensi pertumbuhan kesempatan kerja yang sangat
besar, pertumbuhan UMKM dapat dimasukkan sebagai suatu elemen
penting dari kebijakan-kebijakan nasional untuk meningkatkan
kesempatan kerja dan menciptakan pendapatan, terutama bagi
masyarakat miskin.
3. Tidak hanya mayoritas dari UMKM, terutama UMI, di negara sedang
berkembang berlokasi di perdesaan, kegiatan-kegiatan produksi dari
kelompok usaha ini juga pada umumnya berbasis pertanian.
4. UMKM memakai teknologi-teknologi yang lebih cocok (jika
dibandingkan dengan teknologi-teknologi canggih yang umum dipakai
oleh perusahaan-perusahaan modern/UB) terhadap proporsi-proporsi
5. UMKM dianggap sebagai perusahaan-perusahaan yang memilki fungsi
sebagai basis bagi perkembangan usaha lebih besar, karena UMKM
dapat bertahan pada saat ekonomi Indonesia dilanda suatu krisis besar
pada tahun 1997/1998.
6. UMKM dapat menjadi suatu titik permulaan bagi mobilisasi
tabungan/investasi di perdesaan; sementara pada waktu yang sama,
kelompok usaha ini dapat sebagai tempat pengujian dan peningkatan
kemampuan berwirausaha dari orang-orang desa.
7. Pada umunya pengusaha-pengusaha UMKM membiayai sebagian
besar dari operasi-operasi bisnis mereka dengan tabungan pribadi,
ditambah dengan bantuan atau pinjaman dari saudara atau kerabat, atau
dari pemberi-pemberi kredit informal, pedagang atau pengumpul,
pemasok-pemasok bahan baku, dan pembayaran di muka dari
konsumen-konsumen.
8. Pasar utama bagi UMKM adalah untuk barang-barang konsumsi
sederhana dengan harga relatif murah sehingga dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari dari masyarakat miskin atau berpendapatan
rendah.
9. Dinamika UMKM (khususnya UK dan UM) yang mampu
meningkatkan produktifitasnya lewat investasi dan perubahan
teknologi.
10.Dalam beberapa literatur dikatakan bahwa satu keunggulaan UMKM
adalah tingkat fleksibilitasnya yang tinggi, relatif terhadap pesaingnya
(UB).
3. Pengembangan UMKM dan Koperasi
Syaukat (2002) mengatakan bahwa pengembangan UMKM dan
koperasi tergantung beberapa faktor, antara lain :
1. Kemampuan UMKM dan koperasi dijadikan kekuatan utama
pengembangan ekonomi berbasis lokal yang mengandalkan
2. Kemampuan UMKM dan koperasi dalam peningkatan produktivitas,
efisiensi dan daya saing.
3. Menghasilkan produk yang bermutu dan berorientasi pasar (domestik
maupun ekspor).
4. Berbasis bahan baku domestik.
5. Substitusi impor.
Syaukat (2002) mengatakan bahwa langkah-langkah operasional
pengembangan UMKM dan koperasi adalah :
1. Tahap pertama :
a. Penumbuhan iklim usaha kondusif.
b. Kebijakan persaingan sehat dan pengurangan distorsi pasar.
c. Kebijakan ekonomi yang memberikan peluang bagi UMKM dan
koperasi untuk mengurangi beban biaya yang tidak berhubungan
dengan proses produksi.
d. Kebijakan penumbuhan kemitraan dengan prinsip saling
memerlukan, memperkuat dan saling menguntungkan.
2. Tahap kedua :
a. Dukungan penguatan.
b. Peningkatan mutu SDM UMKM dan koperasi.
c. Peningkatan penguasaan teknologi.
d. Peningkatan penguasaan informasi.
e. Peningkatan penguasaan modal.
f. Peningkatan penguasaan pasar.
g. Perbaikan organisasi dan manajemen.
h. Pencadangan tempat usaha.
i. Pencadangan bidang-bidang usaha.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab tingginya kemampuan untuk
bertahan bagi UMKM dalam menghadapi krisis (Haryadi 1998 diacu
dalam Nasir dkk, 2012) adalah :
1. Jenis produksi yang dihasilkan memang benar-benar kebutuhan
2. Bahan baku yang mendukung aktivitas industri didatangkan dari luar
atau daerah sekitar industri berkoperasi.
3. UMKM merupakan usaha yang padat karya dan bukan padat modal.
4. Tidak menggunakan material impor, baik sebagai bahan baku maupun
sebagai bahan pendukung bagi UMKM tersebut.
Menurut Haryadi (1998) diacu dalam Nasir et al (2012), ada lima
aspek yang berkaitan erat dengan pengembangan UMKM yaitu aspek
pemasaran, produksi, ketenagakerjaan, kewirausahaan dan akses kepada
pelayanan. Dalam hal ini pemasaran, tujuan dan orientasi pasar penting
bagi perkembangan suatu usaha. Tujuan dan orientasi pasar akan
menentukan pilihan-pilihan strategi adaptasi yang akan diambil dalam
mengatasi kendala-kendala yang akan dihadapi khususnya yang berkaitan
dengan struktur pasar bahan baku produk.
Pengembangan UMKM (Hubeis 2009 diacu dalam Nasir et al,
2012) meliputi :
1. Menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya
UMKM.
2. Mewujudkan UMKM menjadi usaha yang efisien, sehat dan memiliki
tingkat pertumbuhan yang tinggi, sehingga mampu menjadi kekuatan
ekonomi rakyat dan dapat memberikan sumbangan yang besar bagi
pembangunan ekonomi nasional.
3. Mendorong UMKM agar dapat berperan maksimal dalam penyerapan
tenaga kerja dan sumber pendapatan.
4. Menciptakan bentuk-bentuk kerjasama yang dapat memperkuat
kedudukan UMKM dalam kompetisi di tingkat nasional maupun
internasional.
D. Aspek - Aspek Analisis Kelayakan
Untuk melakukan studi kelayakan, perlu memperhatikan aspek-aspek
yang secara bersama-sama menentukan bagaimana keuntungan yang diperoleh
dari suatu penanaman investasi tertentu. Menurut Gittinger (1986) diacu
aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial, aspek pasar, aspek finansial dan
aspek ekonomi.
Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), aspek-aspek studi kelayakan
proyek terdiri dari aspek pasar, teknis, keuangan, hukum dan ekonomi negara.
Namun tergantung pada besar kecilnya dana yang tertanam dalam investasi
tersebut, maka terkadang juga ditambah studi tentang dampak sosial.
1. Aspek Pasar
Menurut Nurmalina dan Sarianti (2009), aspek pasar dan
pemasaran mencoba mempelajari tentang :
1. Permintaan, baik secara total ataupun diperinci menurut daerah, jenis
konsumen, perusahaan besar pemakai dan perlu diperkirakan tentang
proyeksi permintaan tersebut.
2. Penawaran, baik yang berasal dari dalam negeri, maupun juga berasal
dari impor. Bagaimana perkembangannya dimasa lalu dan bagaimana
perkembangan dimasa yang akan datang.
3. Harga, dilakukan perbandingan dengan barang-barang impor, produksi
dalam negeri lainnya.
4. Program pemasaran, mencakup strategi pemasaran yang akan
dipergunakan bauran pemasaran (marketing mix). Identifikasi siklus
kehidupan produk (product life cycle), pada tahap apa produk yang
akan dibuat.
5. Perkiraan penjualan yang bisa dicapai perusahaan, market share yang
bisa dikuasai perusahaan.
2. Aspek Teknis
Analisis secara teknis berhubungan dengan penyediaan input
proyek dan output (produksi) berupa barang dan jasa (Gittinger 1986 diacu
dalam Latifah et al, 2009). Input dari usaha ikan balita adalah bahan baku,
seperti ikan mas, ikan nila dan bahan pendukung lainnya. Bagaimana
strategi dalam mendapatkan bahan baku diatas dalam hal kualitas
balita segar dalam kemasan dan ikan balita goreng dalam kemasan,
bagaimana pemilik dalam memproses bahan baku menjadi bahan jadi,
proses produksi yang higienis dan kualitas produk yang terjaga dengan
baik.
Analisis secara teknis akan menguji hubungan-hubungan teknis
yang mungkin dalam suatu proyek, fasilitas-fasilitas pemasaran dan
penyimpanan (storage) yang dibutuhkan untuk menunjang pelaksaann
proyek, dan pengujian sistem-sistem pengolahan yang dibutuhkan.
Analisis secara teknis juga dapat mengidentifikasi perbedaan-perbedaan
yang terdapat dalam informasi yang harus dipenuhi baik sebelum
perencanaan proyek atau pada tahap awal pelaksanaan.
3. Aspek Manajemen
Menurut Nurmalina dan Sarianti (2009), aspek manajemen
mempelajari tentang manajemen dalam masa pembangunan bisnis dan
manajemen dalam masa operasi. Manajemen dalam masa pembangunan
bisnis, terkait dengan siapa pelaksana bisnis, bagaimana jadwal
penyelesaian bisnis, dan siapa yang melakukan studi masing-masing aspek
kelayakan bisnis. Manajemen dalam masa operasi, terkait bagaiman
bentuk organisasi atau badan usaha yang dipilih, bagaiman struktur
organisasi, bagaimana deskripsi masing-masing jabatan, berapa banyak
jumlah tenaga kerja yang digunakan dan menentukan siapa-siapa anggota
direksi dan tenaga-tenaga inti.
Kadariah, Karlina dan Gray (1999), menyatakan bahwa keahlian
manajemen hanya dapat dievaluasi secara subjektif, meskipun demikian
jika hal ini tidak mendapat perhatian yang khusus, ada banyak
kemungkinan terjadi pengambilan keputusan yang kurang realistis dalam
proyek yang direncanakan.
4. Aspek Sosial
Aspek sosial menyangkut dampak sosial, budaya dan lingkungan
dengan pola sosial budaya dan lingkungan masyarakat setempat. Menurut
Gittinger (1986) diacu dalam Latifah et al (2009), menyatakan bahwa
pertimbangan-pertimbangan sosial harus dipikirkan secara cermat agar
dapat menentukan apakah suatu proyek yang diusulkan tanggap
(responsive) terhadap keadaan sosial tersebut. Sebab tidak ada proyek
yang akan bertahan lama bila tidak tanggap terhadapsosial. Aspek sosial
juga dapat berkenaan dengan konstribusi bisnis terhadap manfaat ekonomi
seperti penyerapan tenaga kerja, pemerataan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
5. Aspek Finansial
Aspek finansial berkenaan dengan pengaruh-pengaruh finansial
bisnis terhadap petani sebagai pelaku dalam bisnis tersebut. Menurut
Husnan dan Suwarsono (2000) menyebutkan bahwa analisis terhadap
aspek finansial dilakukan untuk melihat apakah proyek tersebut mampu
memenuhi kewajiban finansial kedalam dan keluar perusahaan serta dapat
mendatangkan keuntungan yang layak bagi perusahaan atau pemiliknya.
Aspek finansial ditentukan berapa jumlah dana modal tetap dan modal
awal kerja yang dibutuhkan, struktur permodalan, sumber pinjaman yang
diharapkan dan persyaratan, serta kemampuan proyek memenuhi
kewajiban finansial.
Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), pada umumnya ada lima
metode yang biasa dipertimbangkan untuk dipakai dalam penilaian
investasi. Metode tersebut diantaranya metode Average Rate Return,
Payback Periode, Present Value, Internal Rate Return, serta Profitability Indeks. Selain itu, Gittinger (1986) dalam Latifah et al (2009) menyebutkan bahwa dana yang diinvestasikan itu layak atau tidak akan
diukur melalui kriteria investasi Net Present Value, Gross Benefit Cost
a. Net Present Value
Net Present Value (NPV) merupakan nilai selisih antara nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas
bersih di masa yang akan datang (Husnan dan Suwarsono 2000).
Menurut Gittinger (1986) diacu dalam Latifah et al (2009), NPV
adalah nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh
penanaman investasi. Untuk menghitung NPV, perlu ditentukan
tingkat bunga yang relevan. Rumus NPV adalah sebagai berikut:
Keterangan :
Bt = Penerimaan yang diperoleh pada tahun ke-t Ct = Biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t i = Tingkat suku bunga (discount rate)
t = Tahun
n = Jumlah Tahun
Terdapat tiga penilaian investasi dalam metode NPV, yaitu jika
NPV lebih besar dari nol berarti layak untuk dilakukan. Sebaliknya,
jika nilai NPV kurang dari nol, maka usaha tersebut tidak layak untuk
dilaksanakan, hal ini dikarenakan manfaat yang diperoleh tidak cukup
untuk menutup biaya yang dikeluarkan. Jika NPV sama dengan nol,
berarti proyek sulit dilaksanakan karena manfaat yang diperoleh hanya
cukup untuk menutupi biaya yang dikeluarkan.
b. Net Benefit and Cost Ratio
Rasio manfaat dan biaya diperoleh bila nilai sekarang arus
manfaat dibagi dengan nilai sekarang arus biaya (Gittinger 1986 diacu
dalam Latifah et al, 2009). Net Benefit and Cost Ratio (Net B/C ratio) didefinisikan sebagai angka perbandingan antara jumlah NPV positif
sebagai pembilang dan jumlah NPV negatif sebagai penyebut. Nilai
Untuk Bt – Ct > 0
Untuk Bt – Ct < 0
setiap tambahan biaya sebesar satu rupiah (Husnan dan Suwarsono,
1999). Untuk menggunakan metode Net B/C ratio perlu menentukan
tingkat bunga yang dipergunakan. Metode Net B/C menggunakan
rumus sebagai berikut :
Keterangan :
Bt = Penerimaan yang diperoleh pada tahun ke-t
Ct = Biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t
i = Tingkat suku bunga (discount rate)
t = Tahun
n = Jumlah Tahun
Nilai Net B/C ratio mengandung dua arti penting, yaitu :
1. Net B/C ≥ 1, maka proyek layak atau menguntungkan.
2. Net B/C ≤ 1, maka proyek tidak layak atau tidak menguntungkan.
c. Internal Rate of Return
Perhitungan Internal Rate Return (tingkat pengembalian internal), atau IRR adalah tingkat bunga maksimal yang dapat dibayar
oleh proyek untuk sumber daya yang digunakan karena proyek
membutuhkan dana lagi untuk biaya-biaya operasi dan investasi dan
proyek baru sampai pada tingkat pulang modal (Gittinger 1986 diacu
dalam Latifah et al, 2009).
Perhitungan IRR digunakan untuk mengetahui persentase
keuntungan dari suatu proyek tiap tahunnya dan menunjukan
kemampuan proyek dalam mengembalikan pinjaman. Jika dengan
tingkat diskonto tertentu, nilai NPV menjadi sebesar nol, maka proyek
yang bersangkutan berada dalam posisi pulang modal yang berarti
proyek dapat mengembalikan modal dan biaya operasional yang
dikeluarkan serta dapat melunasi bunga penggunaan uang. Suatu
suku bunga yang berlaku, apabila IRR lebih kecil dari tingkat suku
bunga berarti investasi tidak layak untuk dilaksanakan karena tidak
menguntungkan. Rumus yang digunakan dalam menghitung IRR
adalah sebagai berikut :
Keterangan:
i1 = discount rate yang menghasilkan NPV positif
i2 = discount rate yang menghasilkan NPV negatif
NPV1 = NPV positif
NPV2 = NPV negatif
d. Payback Period
Menurut Gittinger (1986) diacu dalam (Latifah et al, 2009),
payback period (PBP) adalah jangka waktu kembalinya keseluruhan jumlah investasi modal yang ditanamkan, dan dihitung mulai dari
permulaan proyek sampai dengan arus nilai netto produksi tambahan,
sehingga mencapai jumlah keseluruhan investasi modal yang
ditanamkan. Rumus yang digunakan dalam menghitung PBP adalah
sebagai berikut :
Keterangan:
PP = Payback Period
I = Jumlah Modal Investasi
Ab = manfaat bersih yang dapat diperoleh setiap tahunnya
e. Break Event Point
Proyek dikatakan impas jika jumlah hasil penjualan produknya pada
suatu periode tertentu sama dengan jumlah biaya yang ditanggung
sehingga proyek tersebut tidak menderita kerugian tetapi tidak
memperoleh laba. Jika hasil penjualan produk tidak dapat melampaui
titik ini maka proyek yang bersangkutan tidak dapat memberikan laba
(Sutojo, 1993) diacu dalam Nasir et al, (2012). Perhitungan volume
penjualan pada saat BEP dapat dihitung dengan persamaan :
E. Matriks Internal Factor Evaluation dan External Factor Evaluation
Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) merupakan alat analisis untuk meringkas dan mengevalusi kekuatan dan kelemahan utama dalam
berbagai bidang fungsional dari suatu perusahaan. Alat ini dipakai setelah
dilakukan analisis terhadap faktor-faktor internal perusahaan yang meliputi
pemasaran, keuangan, manajemen, sistem informasi komputer dan produksi
secara mendalam. Hasil analisis tersebut digunakan untuk menentukan
faktor-faktor kunci kekuatan dan kelemahan perusahaan.
Penyusunan matriks External Factor Evaluation (EFE) hampir sama
dengan matriks IFE, perbedaannya adalah matriks EFE digunakan untuk
mengevaluasi peluang dan ancaman perusahaan. Faktor-faktor kunci yang
diperoleh setelah dilakukan analisis terhadap faktor-faktor yang meliputi (1)
kekuatan ekonomi; (2) kekuatan sosial, budaya, demografi dan lingkungan; (3)
kekuatan politik, pemerintah dan hukum; (4) kekuatan teknologi; (5) kekuatan
pesaing.
Dalam mengidentifikasikan faktor-faktor internal dan eksternal
perusahaan serta perumusan strategi perusahaan adalah wewenang para
penyusun strategi atau disebut ahli strategi yang dikelompokkan sebagai
berikut: para manajer puncak sebagai ahli strategi utama, dewan komisaris,
(Glueck & Lawrence, 1996). Hal tersebut didukung dengan pernyataan yang
menyebutkan bahwa dalam proses melaksanakan analisis internal dan
eksternal harus melibatkan sebanyak mungkin perwakilan manajer dan
karyawan (David, 2002).
Pada tahap awal proses formulasi strategi ini, alat analisis matriks IFE
dan EFE ditujukan untuk menyiapkan strategi untuk mengkuantifikasikan
subjektivitas. Evaluasi terhadap faktor internal menggunakan matriks IFE
yang kemudian mengklasifikasikannya menjadi kekuatan dan kelemahan bagi
perusahaan (Tabel 3). Kekuatan dan kelemahan diberikan bobot dan rating.
Dengan mengkalikan bobot dan rating akan diperoleh skor terbobot
yang dijumlahkan ke bawah sehingga diperoleh total skor terbobot yang
menggambarkan bagaimana perusahaan tertentu bereaksi terhadap
faktor-faktor strategis internal. Sedangkan evaluasi terhadap faktor-faktor eksternal
menggunakan matriks EFE yang kemudian mengklasifikasikannya menjadi
peluang dan ancaman bagi perusahaan (Tabel 4). Peluang dan ancaman
diberikan bobot dan rating, kemudian akan diperoleh total skor yang terbobot
dengan cara yang sama seperti pada matriks IFE.
Tabel 3. Matriks Internal Factor Evaluation
Tabel 4. Matriks External Factor Evaluation
Faktor Eksternal Bobot (a)
Rating (b)
Skor Terbobot (axb) Peluang:
1.
2.
dst.
Ancaman: 1.
2.
dst.
Jumlah 1,0
Sumber: David, 2002
Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan dalam menyususn
matriks IFE dan EFE, yaitu:
1. Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman perusahaan (kolom 1).
2. Memberikan bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0
(sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Faktor-faktor tersebut
kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor strategis.
Penentuan bobot setiap peubah dilakukan dengan cara mengajukan
identifikasi faktor strategis internal dan eksternal kepada pihak manajemen
perusahaan dengan menggunakan metode Paired Comparison (Kinner &
Taylor 1991 diacu dalam Angkasa et al, 2012). Penilaian dilakukan
dengan memberikan bobot numerik dan membandingkan antara satu unsur
dengan unsur lainnya. Metode tersebut digunakan untuk memberikan
penilaian terhadap bobot setiap faktor penentu internal dan eksternal.
Tabel 5. Penilaian Bobot Faktor Strategik Internal Perusahaan
Faktor Strategis Internal A B C D … Total
A Xi
B
C
D
…
Total
Menurut Kinnear dan Taylor (1991) diacu dalam (Angkasa et al,
2012), bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel
terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus:
dimana :
αi = Bobot variabel ke-i
Xi = Nilai variabel ke-i
i = 1, 2, 3,…,n
n = Jumlah variabel
Tabel 6. Penilaian Bobot Faktor Strategik Eksternal Perusahaan
Faktor Strategis Eksternal A B C D … Total
A Xi
B
C
D
…
3. Tentukan rating tiap faktor yang menunjukkan keefektifan strategi suatu
organisasi saat ini dalam merespon faktor-faktor tersebut pada kolom 3.
Untuk matriks IFE, 1 = kelemahan utama, 2 = kelemahan minor, 3 =
kekuatan minor dan 4 = kekuatan utama sedangkan untuk matriks EFE, 4
= respon tinggi, 3 = respon diatas rata-rata, 2 = respon rata-rata dan 1 =
respon kurang.
4. Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3 untuk
memperoleh faktor pembobotan pada kolom 4. hasilnya berupa skor
pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai
dari 4.0 (outstanding) sampai dengan 1.0 (poor).
5. Jumlah skor pembobotan (kolom 4) untuk memperoleh total skor
pembobotan bagi perusahaan yang bersangkutan. Nilai total ini
menunjukkan bagaimanaperusahaan tertentu bereaksi terhadap
faktor-faktor strategis internal dan eksternal. Skor ini dapat digunakan untuk
membandingkan perusahaan ini dengan perusahaan lainnya dalam
kelompok industri yang sama. Total skor terbobot berkisar antara 1 sampai
dengan 4. Nilai 1 pada matriks IFE menunjukkan situasi internal
perusahaan yang sangat buruk. Nilai 4 mengindikasikan bahwa situasi
internal perusahaan sangat baik. Sedangkan nilai 2.5 pada matriks IFE
menunjukkan bahwa situasi internal perusahaan berada pada tingkat
rata-rata. Pada matriks EFE, nilai 1 menunjukkan perusahaan tidak dapat
memanfaatkan peluang dan menghindari ancaman yang ada. Nilai 4
menunjukkan perusahaan merespon peluang dan ancaman yang ada
dengan baik. Sedangkan nilai 2.5 menunjukkan bahwa situasi eksternal
perusahaan pada tingkat rata-rata.
F. Matriks Internal-Eksternal
Untuk melihat strategi mana yang tepat untuk diterapkan oleh
perusahaan yang memiliki unit-unit bisnis digunakan matriks
Internal-Eksternal (matriks IE). Matriks IE melibatkan divisi-divisi dalam organisasi
menjadi tiga bagian utama yang memiliki implikasi strategi yang berbeda,
yaitu (David, 2002):
1. Divisi yang berada pada sel I, II, atau IV dapat melaksanakan strategi
pengembangan dan pembangunan (Growth and Build). Strategi intensif
(penetrasi pasar, pengembangan pasar dan pengembangan produk) atau
integratif (integrasi ke belakang, integrasi ke depan, integrasi horisontal)
mungkin paling tepat untuk semua divisi ini.
2. Divisi yang berada pada sel III, V, atau VII dapat melaksanakan strategi
mempertahankan dan memelihara (Hold an maintain). Penetrasi pasar dan
pengembangan produk merupakan dua strategi yang terbanyak dilakukan
untuk tipe-tipe divisi ini.
3. Divisi yang berada pada sel VI, VIII, atau IX yakni strategi mengambil
hasil atau melepaskan (Harvest or divest).
Dalam matriks IE (Gambar 1), total skor terbobot IFE ditempatkan
pada sumbu X dan total skor terbobot EFE pada sumbu Y. Pada sumbu X dari
matriks IE, total skor terbobot IFE sebesar 1,0 hingga 1,99 menggambarkan
posisi internal yang lemah, skor 2,0 hingga 2,99 merupakan pertimbangan
rata-rata dan skor 3,0 hingga 4,0 adalah kuat. Begitu pula dengan sumbu Y
yang merupakan total skor terbobot dari matriks EFE, dari 1,0 hingga 1,99
adalah pertimbangan rendah, skor 2,0 hingga 2,99 merupakan pertimbangan
medium dan skor 3,0 hingga 4,0 adalah tinggi.
G. Analisis SWOT
Analisis Strengths-Weakness- Opportunities-Threaths (SWOT) adalah
identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi
perusahaan (Rangkuti, 2001). Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) namun
secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman
(threats). Analisis SWOT merupakan cara sistematis untuk
mengidentifikasikan keempat faktor-faktor tersebut dan strategi yang
menggambarkan kecocokan paling baik di antara mereka (Pearce & Robinson,
faktor-faktor strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman)
dalam kondisi yang ada pada saat ini. Faktor-faktor strategis perusahaan
disusun dalam matriks SWOT, yang menggambarkan secara jelas bagaimana
peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan
dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat
menghasilkan empat sel kemungkinan alternatif strategi (Rangkuti, 2001).
Sumber: David, 2002
Gambar 1. Matriks IE
1. Kekuatan
Merupakan sumberdaya, ketrampilan atau keunggulan-keunggulan
lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar yang dilayani atau ingin
dilayani oleh perusahaan. Kekuatan adalah kompetensi khusus (distinctive
competence) yang memberikan keunggulan komparatif bagi perusahaan di pasar. Kekuatan dapat terkandung dalam sumberdaya keuangan, citra,
kepemimpinan pasar, hubungan pembeli dengan pemasok dan