• Tidak ada hasil yang ditemukan

A Study of Balita Fish Agribusiness Development (A Case Study at UD. Suhada, in Cianjur Regency).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "A Study of Balita Fish Agribusiness Development (A Case Study at UD. Suhada, in Cianjur Regency)."

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

ANDI ASRIANTO ISKANDAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir yang berjudul : Kajian Pengembangan Agribisnis Ikan Balita (Studi Kasus di UD. Suhada, Kabupaten Cianjur) merupakan hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain serta belum pernah dipublikasikan. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, November 2012

(3)

ANDI ASRIANTO ISKANDAR. A Study of Balita Fish Agribusiness Development (A Case Study at UD. Suhada, in Cianjur Regency). Under direction of SAPTA RAHARJA and KOMAR SUMANTADINATA

The world market demand for fishery products is increasing even frequently not fulfilled. Therefore, it required an effort to overcome the problems in fulfilling the demand for fishery products. Efforts in the field of aquaculture freshwater fish and has the potential to provide a significant contribution to the lives of the people especially for the micro, small and medium enterprises.UD. (Enterprises Trade) Suhada are entrepreneurs in the agribusiness freshwater fisheries, particularly in the agribusiness of fish toddler. Balita fish is a type of freshwater fish; the term ‘balita’ is taken from the acronym of ‘dibawah lima-tiga’ (under five-three) centimeters or in short it means fish under 3-5 cm in size. Types of freshwater fish cultivated for balita fish at UD. Suhada is a type of tilapia and goldfish. The purpose of this study is to examine the feasibility of balita fish agribusiness investment in UD. Suhada; identify the internal and external factors that influence the development of agribusiness balita fish at UD. Suhada; formulate and recommend appropriate alternative development strategies to be applied to agribusiness balita fish at UD. Suhada in business development.Methods of data collection using purposive sampling method, is by deliberately selecting the sample to be studied as a respondent. Respondents were selected from the management and the workers UD. Suhada. Financial analysis at 14 percent of interest rate and 5 years of project lifetime resulted in feasible decision with Rp. 1, 105,005,110 of NPV; 4.85 of net B / C Ratio; 38.95 percent of IRR, 3 years and 5 month of PBP; and Rp. 1, 522,035,876 or 32.725 kg of BEP.The combination of value IFE EFE values for 2.688 and 2.651 in the IE matrix shows that the position of the business in V (five) cells, that cell growth. Based on the SWOT analysis and QSPM analysis the strategic priorities is to create a diverse variety of products while maintaining the quality of balita fish (score 5.605), extending the range of distribution and marketing (score 5.532), in collaboration with researchers in developing the quality of balta fish products to face competition (score of 5.437).

(4)

(Studi Kasus di UD. Suhada, Kabupaten Cianjur). Di bawah bimbingan SAPTA RAHARJA dan KOMAR SUMANTADINATA

Salah satu karakteristik UMKM yang merupakan pilar pembangunan serta membedakan dengan usaha besar lainnya adalah kegiatan-kegiatan produksi dari kelompok usaha yang berada di wilayah pedesaan, pada umumnya berbasis pertanian. Oleh karena itu, upaya-upaya pemerintah mendukung UMKM sekaligus juga merupakan suatu cara tidak langsung, tetapi efektif untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan produksi di sektor pertanian. Dalam hal ini, sektor pertanian secara luas yang meliputi pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan.

Agribisnis ikan balita merupakan salah satu peluang usaha di sektor agribisnis perikanan yang berkembang pesat sampai saat ini. Ikan balita merupakan jenis ikan air tawar, istilah balita diambil dari akronim di bawah lima-tiga sentimeter atau kalau dinotasikan secara singkat: ikan berukuran dibawah 3-5 cm. Namun dalam kenyataannya ikan balita banyak yang menggunakan ikan dengan ukuran lebih besar, yaitu 5-8 cm. Jenis ikan air tawar yang dibudidayakan untuk ikan balita adalah jenis ikan nila, ikan mas, ikan nilem, ikan mujair, ikan lele dan ikan gurame (Amri & Khairuman 2007).

Selain pemanfaatan ikan balita sebagai kebutuhan konsumsi konsumen yang menyukai menu ikan balita goreng, tetapi juga untuk memenuhi permintaan pasar alternatif lainnya. Peluang pasar alternatif sangat potensial tersebut adalah pemanfaatan ikan balita sebagai pakan ikan hias tertentu dan untuk memenuhi permintaan para pendeder ikan yang membesarkan ikan balita menjadi ikan remaja dan dewasa (konsumsi berukuran besar).

UD. Suhada merupakan pelaku agribisnis ikan balita mulai dari pengepulan benih ikan balita sampai pada pengolahan ikan balita dalam bentuk kemasan untuk dipasarkan yang berlokasi di Kampung Joglo, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur. Sumber benih ikan yang disimpan di UD. Suhada adalah jenis ikan nila dan ikan mas yang berasal dari berbagai wilayah di Cianjur.

(5)

Suhada dimana responden tersebut dianggap mengetahui informasi mengenai analisis usaha UD. Suhada, faktor strategis internal dan eksternal serta kondisi perusahaan secara menyeluruh.

Penelitian ini menggunakan metode pengolahan data secara kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk menganalisis secara deskriptif usaha agribisnis ikan balita dilihat dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, dan aspek sosial. Sedangkan metode kuantitatif dilakukan untuk menganalisis kelayakan investasi atau finansial pada agribisnis ikan balita tersebut. Analisis kelayakan usaha memiliki beberapa indikator, agar dapat mengetahui kelayakan usaha agribisnis ikan balita di UD. Suhada, yaitu NPV, Net B/C, IRR, PP dan BEP.

Analisis kelayakan usaha akan tergambar layak atau tidak layak usaha dijalankan. Jika menurut analisis usaha ini layak, maka dilakukan perumusan strategi pengembangan usaha yang merupakan suatu rangkaian aktivitas perusahaan, yang meliputi beberapa tahapan yaitu : (1) Tahap Masukan (The Input Stage) menggunakan analisis Matriks IFE dan EFE; (2) Tahap Pencocokan (The Matching Stage) menggunakan analisis Matriks IE dan SWOT; (3) Tahap Keputusan (The Decision Stage) menggunakan analisis Matriks QSP. Memberikan rekomendasi alternatif-alternatif dan memprioritaskan strategi-strategi yang terbaik dalam pengembangan usahanya dan untuk proses implementasi strategi diserahkan kepada pengambil keputusan manajemen perusahaan.

Berdasarkan kajian kelayakan investasi agribisnis ikan balita di UD. Suhada dilihat dari aspek finansial menguntungkan dan layak dilaksanakan. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat suku bunga 14% diperoleh nilai NPV Rp.1.105.005.110, nilai Net B/C Ratio 4,85, nilai IRR 38,95% lebih besar dari tingkat suku bunga, nilai PBP (Payback Period) 3,58 tahun atau nilai ini lebih pendek dari jangka waktu umur ekonomis proyek investasi. Berdasarkan analisis perhitungan BEP diketahui bahwa titik impas untuk usaha pengolahan ikan balita di UD. Suhada pada penjualan senilai Rp.1.522.035.876 atau dapat juga dikatakan bahwa diperlukan penjualan sebesar 32.725 kg ikan balita segar untuk mendapatkan kondisi seimbang antara biaya dengan keuntungan.

(6)

yang tepat untuk diterapkan bagi agribisnis ikan balita di UD. Suhada dalam pengembangan usahanya adalah meningkatkan produksi dan produktivitas usaha ikan balita dalam memanfaatkan permintaan ikan balita yang semakin meningkat (skor 5,734), memanfaatkan teknologi informasi dalam mempromosikan produk ikan balita (skor 5,637), menciptakan variasi produk yang beragam dengan tetap mempertahankan mutu ikan balita (skor 5,605), memperluas jangkauan distribusi dan pemasaran (skor 5,532), bekerjasama dengan pihak peneliti dalam mengembangkan mutu produk ikan balita guna menghadapi persaingan usaha (skor 5,437) dan pengembangan segmentasi usaha dalam menghadapi fluktuasi harga (skor 5,375).

(7)

                 

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Karya Tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)
(9)

ANDI ASRIANTO ISKANDAR

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

NIM : P054100065 Program Studi : Industri Kecil Menengah

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Sapta Raharja, DEA Prof.Dr.Ir. Komar Sumantadinata, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Industri Kecil Menengah

Prof.Dr.Ir.H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir yang berjudul Kajian Pengembangan Agribisnis Ikan Balita (Studi Kasus di UD. Suhada, Kabupaten Cianjur). Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Magister Profesional Industri Kecil Menengah, Sekolah Pascsarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih disampaikan atas bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak sehingga tugas akhir ini bisa terselesaikan. Untuk itu, disampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA selaku pembimbing utama yang telah memberikan arahan, bimbingan dan dorongan selama kegiatan kajian dan penulisan tugas akhir ini.

2. Prof. Dr. Komar Sumantadinata, M.Sc selaku pembimbing anggota yang juga telah memberikan pengarahan dan bimbingannya.

3. Prof.Dr.Ir.H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA selaku penguji luar komisi pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan atas penulisan tugas akhir ini.

4. Seluruh staf administrasi dan dosen pengajar PS MPI IPB yang telah turut memberi bantuan dan dukungan kepada penulis.

5. Rima Melati Oktapiani, A.Md, istri penulis, tercinta atas dukungan serta dorongan semangat yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini, serta Alifa Rianti, anak penulis, tersayang atas pengertian dan cintanya yang selalu memberikan inspirasi bagi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan ini.

6. Ayi Solihin, pemilik usaha ikan balita UD. Suhada serta seluruh karyawan yang telah banyak membantu dan memberikan informasi yang mempermudah dalam penyelesaian tugas akhir ini.

(13)

8. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.

Semoga laporan tugas akhir ini dapat menambah khasanah pengetahuan untuk pembangunan UKM di Indonesia serta pihak-pihak yang membutuhkan. Saran dan kritik sangat diharapkan untuk kesempurnannya. Segala kesalahan dalam penulisan tugas akhir ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

Bogor, November 2012

(14)

Penulis dilahirkan pada tanggal 20 April 1985 di Makassar, Propinsi Sulawesi Selatan. Penulis adalah anak kedua dari tiga orang bersaudara, dari pasangan Bapak Ir. H. Iskandar dan Ibu Dra. Hj.Andi Sisu. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 2 Makassar, lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis meninggalkan Kota Makassar untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dari mengembangkan pola pikir.

Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). Penulis mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi (SE) di FEM-IPB pada tahun 2007. Pada tahun 2009 penulis menikah dengan Rima Melati Oktapiani dan dikarunia seorang puteri yang bernama Alifa Rianti.

(15)

Halaman

1. Subsistem Pengadaan Sarana dan Prasarana Produksi... 6

2. Subsistem Proses Produksi ... 7

3. Subsistem Pengolahan Hasil Perikanan dan Pemasaran ... 7

4. Subsistem Pendukung ... 8

D. Aspek-Aspek Analisis Kelayakan ... 20

(16)

A. Kerangka Pemikiran Operasional ... 38

B. Analisis Kualitatif ... 47

1. Aspek Pasar ... 47

2. Aspek Teknis ... 51

3. Aspek Manajemen ... 55

4. Aspek Sosial ... 56

C. Analisis Kuantitatif ... 56

1. Net Present Value ... 57

1. Identifikasi Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman ... 58

(17)

xv

 

No. Halaman

1. Produksi Benih Ikan dari UPR Kecamatan Karangtengah, Kabupaten

Cianjur Tahun 2011-2012 ... 4

2. Kriteria Benih Ikan Mas untuk Pendederan ... 14

3. Matriks Internal Factor Evaluation ... 28

4. Matriks External Factor Evaluation ... 29

5. Penilaian Bobot Faktor Strategis Internal Perusahaan ... 30

6. Penilaian Bobot Faktor Strategis Eksternal Perusahaan ... 30

7. Matriks QSP ... 37

8. Status Usaha Ikan Balita di UD. Suhada ... 48

9. Jenis dan Harga Produk Ikan Balita di UD. Suhada ... 49

10. Penjualan Ikan Balita Periode 2008 – 2012 ... 52

11. Faktor Strategis Internal Usaha Ikan Balita UD. Suhada ... 66

12. Faktor Strategis Eksternal Usaha Ikan Balita UD. Suhada ... 68

13. Matriks SWOT ... 73

(18)

xvi 

 

No. Halaman

1. Matriks IE ... 33

2. Matriks SWOT ... 35

3. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Operasional ... 40

4. Proses Pengemasan Ikan Balita Segar ... 53

5. Proses Pembuatan dan Pengemasan Ikan Balita Goreng ... 54

6. Matriks IE Strategis Usaha Ikan Balita di UD. Suhada ... 70

(19)

xvii 

 

No. Halaman

1. Kuesioner Penelitian Kelayakan Usaha ... 81

2. Kuesioner Penelitian Pengembangan Usaha ... 83

3. Investasi Usaha Ikan Balita UD. Suhada ... 87

4. Biaya Operasional Usaha Ikan Balita UD. Suhada ... 88

5. Kelayakan Usaha Ikan Balita di UD. Suhada ... 89

6. Matriks QSP ... 90

7. Produk Ikan Balita Goreng UD. Suhada ... 91

8. Proses Pembersihan dan Pengemasan Ikan Balita Segar ... 92

9. Tempat Penggorengan Ikan Balita Goreng ... 93

10. Tempat Pengolahan Ikan Balita UD. Suhada ... 93

(20)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) merupakan bagian yang sangat penting dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dunia, tidak hanya di negara-negara sedang berkembang, tetapi juga di negara maju. Di negara maju, UMKM berperan tidak hanya karena kelompok usaha tersebut menyerap paling banyak tenaga kerja dibandingkan usaha besar, tetapi juga kontribusinya terhadap pembentukan atau pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) paling besar dibandingkan kontribusi dari usaha besar. Sedangkan pada negara sedang berkembang, UMKM merupakan bagian sangat vital dilihat dari perspektif kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi kelompok miskin, distribusi pendapatan dan pengurangan kemiskinan, serta pembangunan ekonomi pedesaan. Sehingga UMKM diharapkan terus dikembangkan, karena merupakan salah satu kekuatan pendorong terdepan dalam pembangunan ekonomi (Tambunan, 2009).

Salah satu karakteristik UMKM yang merupakan pilar pembangunan serta membedakan dengan usaha besar lainnya adalah kegiatan-kegiatan produksi dari kelompok usaha yang berada di wilayah pedesaan, pada umumnya berbasis pertanian. Oleh karena itu, upaya-upaya pemerintah mendukung UMKM sekaligus juga merupakan suatu cara tidak langsung, tetapi efektif untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan produksi di sektor pertanian. Dalam hal ini, sektor pertanian secara luas yang meliputi pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan.

(21)

ikan laut, maupun ikan air tawar, termasuk ikan hias. Usaha ini akan memperbanyak peluang bersaing dibandingkan dengan usaha penangkapan. Pengembangan usaha budi daya semakin memegang peranan penting dalam pembangunan perikanan Indonesia.

Salah satu usaha budi daya perikanan yang memiliki potensi dan dapat memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi kehidupan masyarakat Indonesia adalah usaha budi daya perikanan ikan air tawar. Untuk mengupayakan usaha sektor budi daya perikanan air tawar ini dapat berfungsi dengan baik yang mampu menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, maka perlu dikelola secara profesional sehingga dapat menambah nilai komersialnya. Dengan pendekatan sistem agribisnis perikanan maka hal tersebut dapat diakomodir dalam membangun subsektor perikanan, dalam hal ini perikanan budi daya. Menurut Saragih (2010) pembangunan subsektor perikanan dengan pendekatan sistem agribisnis yang dimaksud adalah membangun dan mengembangkan subsistem industri hulu perikanan (perbenihan, industri peralatan penangkapan ikan, industri pakan ikan), subsistem budi daya atau penangkapan ikan dan penanganan pasca penangkapan, subsistem pengolahan hasil perikanan dan perdagangan, subsistem jasa penunjang (terutama kegiatan penelitian dan pengembangan) secara terintegrasi dalam suatu sistem, baik sistem nilai maupun pengelolaannya.

Agribisnis perikanan ini pun sangat fleksibel serta memiliki beraneka ragam pilihan baik terhadap pemilihan tempat pembudidayaan ikan air tawar maupun jenis ikan, yang disesuaikan dengan kondisi iklim dan cuaca lingkungan tempat pembudidayaan ikan tersebut, sehingga dapat memberikan peluang bisinis bagi para pelaku usaha budi daya ikan air tawar. Terutama bagi kalangan UMKM, dengan teknik budi daya dan pengolahan yang cukup ringan serta tidak membutuhkan modal atau biaya usaha yang cukup mahal untuk menjalani agribisnis perikanan ikan air tawar tersebut.

(22)

bahwa ikan balita tidak hanya untuk sekedar menggambarkan bahwa ikan tersebut masih berukuran kecil, lebih spesifik lagi menyangkut dimensi atau ukuran panjang tubuh. Istilah balita diambil dari akronim di bawah lima sampai tiga sentimeter atau kalau dinotasikan secara singkat: ikan berukuran dibawah 3 cm sampai 5 cm. Namun dalam kenyataannya ikan balita banyak yang menggunakan ikan dengan ukuran lebih besar, yaitu 5 cm sampai 8 cm. Jenis ikan air tawar yang dibudidayakan untuk ikan balita adalah jenis ikan nila, ikan mas, ikan nilem, ikan mujair, ikan lele dan ikan gurame (Amri & Khairuman, 2007).

Terbatasnya bentuk olahan ikan merupakan salah satu penyebab rendahnya tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia. Untuk meningkatkan konsumsi ikan, perlu ditempuh penganekaragaman (diversifikasi) bentuk olahan ikan, terutama menuju pada produk-produk yang biasa dikonsumsi masyarakat, sehingga peluang produk untuk diterima lebih besar (Subaryono 2003 diacu dalam Nainggolan dkk, 2010). Produk ikan balita yang dapat dikonsumsi masyarakat adalah produk ikan balita goreng. Selain pemanfaatan ikan balita sebagai kebutuhan konsumsi konsumen yang menyukai menu ikan balita goreng, tetapi juga untuk memenuhi permintaan pasar alternatif lainnya. Peluang pasar alternatif sangat potensial tersebut adalah pemanfaatan ikan balita sebagai pakan ikan hias tertentu dan untuk memenuhi permintaan para pendeder ikan yang membesarkan ikan balita menjadi ikan remaja dan dewasa (konsumsi berukuran besar).

Selain keuntungan yang berlipat, bisnis ikan balita juga minim resiko. Ikan balita dapat dipanen lebih cepat, biaya produksi pun bisa ditekan. Biaya operasional yang terkonsentrasi untuk pakan berkisar 80 persen atau lebih bisa ditekan menjadi nol (Flona Serial, 2007).

(23)

budi daya ikan air tawar serta produk olahannya. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cianjur, di Kecamatan Karangtengah terdapat 252 Unit Pembenihan Rakyat (UPR) dengan luas areal 122,7 ha menghasilkan benih ikan mas, ikan nila dan ikan lele . Benih ikan mas merupakan jenis benih ikan yang paling banyak dihasilkan dari UPR tersebut dibandingkan dengan benih jenis ikan lainnya (Tabel 1). Benih ikan mas merupakan salah satu jenis ikan sebagai bahan baku ikan balita.

Tabel 1. Produksi Benih Ikan dari UPR Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur Tahun 2011-2012

Satuan : 1.000/ekor

No. Jenis Ikan Tahun

2011 2012

1 Mas 1,256,067.37 1,414,147.54

2 Nila 1,140,480.50 1,271,375.76

3 Lele 6,019.05 16,246.24

Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cianjur, 2012

UD. Suhada, yang berlokasi di Kampung Joglo, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur merupakan pelaku agribisnis ikan balita mulai dari pengepulan benih ikan balita sampai pada pengolahan ikan balita dalam bentuk kemasan untuk dipasarkan. Sumber benih ikan yang ditampung di UD. Suhada adalah benih jenis ikan nila dan ikan mas yang berasal dari berbagai wilayah di Cianjur, termasuk UPR di Kecamatan Karangtengah.

B. Perumusan Masalah

(24)

Secara ringkas permasalahan yang ada dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana kelayakan investasi agribisnis ikan balita di UD. Suhada dilihat dari aspek non finansial dan aspek finansial ?

2. Faktor-faktor internal dan eksternal apakah yang mempengaruhi pengembangan produk agribisnis ikan balita di UD. Suhada ?

3. Strategi pengembangan agribsinis ikan balita bagaimanakah yang tepat untuk diterapkan di UD. Suhada ?

C. Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut :

1. Mengkaji kelayakan investasi agribisnis ikan balita di UD. Suhada dilihat dari aspek non finansial dan aspek finansial.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap pengembangan agribisnis ikan balita di UD. Suhada.

(25)
(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Agribisnis Perikanan

Agribisnis perikanan didefinisikan sebagai kegiatan usaha atau bisnis

dengan komoditas berupa ikan dan produk olahannya serta barang dan jasa

pendukung lainnya. Sebagai suatu bisnis, kegiatan perikanan selalu

berorientasi untuk mencari keuntungan (profit). Kegiatan agribisnis perikanan

mencakup produksi komoditas perikanan, pengadaan sarana dan prasarana

produksi, pengolahan, pemasaran, serta pendukung lainnya (Effendi &

Oktariza, 2006).

Subsistem proses produksi merupakan kegiatan on farm, sedangkan

komponen lainnya merupakan kegiatan off farm. Kegiatan on farm perikanan

adalah perikanan tangkap dan budidaya (akuakultur). Kegiatan off farm

mencakup pengadaan sarana dan prasarana produksi perikanan tangkap dan

budidaya, pengolahan perikanan serta pemasaran hasil perikanan. Terdapat

kaitan yang saling mempengaruhi antarkomponen kegiatan, dari hulu hingga

hilir sehingga membentuk suatu sistem, yaitu sistem agribisnis perikanan.

Subsistem agribisnis perikanan merupakan mata rantai kegiatan usaha

perikanan, dari hulu hingga hilir yaitu sejak pengadaan sarana/prasarana

produksi, proses produksi, pengolahan hingga pemasaran. Terjadi pergerakan

barang atau jasa dari subsistem atau mata rantai hulu ke hilir dan pada setiap

pergerakan terjadi perubahan nilai atau harga dari barang atau jasa tersebut.

Output yang dihasilkan oleh susbsistem hulu menjadi input bagi susbsitem hilir di bawahnya.

Menurut Effendi dan Oktariza (2006), sistem agribisnis perikanan

terdiri dari empat rangkaian kegiatan, yaitu :

1. Subsistem Pengadaan Sarana dan Prasarana Produksi

Subsistem pengadaan sarana dan prasarana produksi (Up-Stream

Agribusiness) yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan atau memproduksi sarana dan prasarana produksi. Subsistem pengadaan sarana

produksi (saprodi) usaha budidaya perikanan sarana dan prasarana yang

(27)

minyak, es, peralatan dan tenaga kerja. Sementara prasarana produksi

mencakup pemilihan lokasi, infrastruktur jalan (transportasi), energi

(listrik), telekomunikasi, konstruksi wadah produksi dan fasilitas

pendukung lainnya.

2. Subsistem Proses Produksi

Subsistem proses produksi (On-Farm Agribusiness) yaitu kegiatan

ekonomi yang menggunakan sarana dan prasarana produksi untuk

menghasilkan produk primer yakni ikan, baik usaha perikanan tangkap

maupun budidaya perikanan.

Proses produksi usaha budidaya perikanan bertujuan untuk

menghasilkan ikan kultur meliputi kegiatan penyiapan wadah

pemeliharaan, penebaran benih, pemberian pakan, pengelolaan air,

pencegahan dan pemberantasan hama dan penyakit, pemantauan

pertumbuhan populasi serta pemanenan. Untuk mendapatkan hasil panen

yang maksimal maka setiap komponen kegiatan dalam proses produksi

akuakultur seyogyanya dikelola denga baik, termasuk ketepatan

pengadaan bahan setiap kegiatan. Oleh karena itu, manajemen produksi

akuakultur mencakup manajemen kolam, benih, pemberian pakan,

kesehatan ikan, kualitas air dan manajemen panen.

3. Subsistem Pengolahan Hasil Perikanan dan Pemasaran

Subsistem pengolahan hasil perikanan dan pemasaran

(Down-Stream Agribusiness) adalah gabungan dua sistem, yaitu subsistem pengolahan hasil perikanan yang merupakan kegiatan ekonomi untuk

mengolah produk primer menjadi produk olahan agar mempunyai nilai

tambah dan subsistem pemasaran yang merupakan kegiatan ekonomi

untuk menggerakkan barang dari produsen (nelayan, pembudidaya ikan

dan pengolah ikan) kepada konsumen.

Pengolahan perikanan bertujuan untuk lebih mendekatkan produk

perikanan kepada konsumen sehingga menjadi salah satu strategi

(28)

masyarakat, dari bersifat agraris menjadi industri, maka ke depan

diperlukan pengolahan perikanan, yang bisa mendekatkan produk

perikanan ke konsumen atau pasar, menjadi lebih besar dan menentukan.

Produk perikanan tangkap dan akuakultur akan lebih banyak diolah

terlebih dahulu sebelum sampai ke pasar atau konsumen. Bentuk makanan

yang sudah popular sperti nugget, burger, sosis, dan bakso semakin banyak

yang berbahan baku ikan. Usaha pengolahan perikanan akan menjadi

penghela kuat usaha perikanan tangkap dan akuakultur sehingga ikut

memperbesar peluang keberlanjutan usaha.

Subsistem pemasaran merupakan hasil akhir dari agribisnis

perikanan, yang menjadi penghela untuk seluruh subsistem lainnya dalam

sistem agribisnis. Pemasaran menjadi pengatur kecepatan (driver)

pergerakan barang dan jasa dalam mata rantai agribisnis perikanan. Ketika

laju pemasaran (permintaan) meningkat maka subsistem yang berada di

bawahnya akan menyesuaikan kecepatan pengadaan produk agar bisa

memenuhi laju pemasaran tersebut sehingga tidak terjadi kelangkaan

pasokan. Sebaliknya, bila laju pemasaran melemah maka subsistem

lainnya akan menyesuaikan lajunya dengan pemasaran.

4. Subsistem Pendukung

Subsistem pendukung (Supporting System) yaitu lembaga atau

individu yang menyediakan jasa bagi terlaksananya kegiatan ekonomi

ketiga subsistem sebelumnya, lembaga permodalan, lembaga penelitian,

lembaga penyuluhan dan lembaga pengembangan sumberdaya manusia.

Subsistem ini berfungsi untuk memperlancar pelaksanaan pengembangan

agribisnis perikanan sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Menurut Said dan Intan (2001), keberadaan kelembagaan dan

pendukung pengembangan agribisinis sangat penting untuk menciptakan

agribisnis yang tangguh dan kompetitif. Lembaga-lembaga pendukung

tersebut sangat menentukan dalam upaya menjamin terciptanya integrasi

agribisnis dalam mewujudkan pengembangan agribisnis. Beberapa

(29)

a. Pemerintah

Pemerintah memegang peranan yang sangat penting dalam

menciptakan lingkungan usaha agribisnis yang kondusif dan mampu

mendukung perkembangan agribisnis yang tangguh. Lembaga

pemerintah, mulai dari tingkat pusat sampai daerah, memiliki

wewenang regulasi dalam menciptakan lingkungan agribisnis yang

kompetitif dan adil. Regulasi pemerintah tersebut dapat

dikelompokkan dalam beberapa kelompok di bawah ini.

1) Regulasi untuk menjamin terciptanya lingkungan bisnis yang

kompetitif dan mencegah monopoli dan kartel.

2) Regulasi untuk mengontrol kondisi-kondisi monopoli yang

diizinkan, seperti Badan Usaha Milik Daerah yang mengelola

usaha public utility.

3) Regulasi untuk fasilitas perdagangan.

4) Regulasi dalam penyediaan pelayanan publik, terutama untuk

fasilitas layanan yang terkait, baik secara langsung maupun tidak

langsung dengan agribisnis.

5) Regulasi untuk proteksi, baik proteksi terhadap konsumen maupun

produsen.

6) Regulasi yang terkait langsung dengan harga komoditas agribisnis,

input-input agribisnis, dan peralatan-peralatan agribisnis. 7) Regulasi terhadap peningkatan ekonomi dan kemajuan sosial.

8) Regulasi terhadap sistem pembiayaan agribisnis.

9) Regulasi terhadap sistem penanggungan resiko agribisnis.

b. Lembaga Pembiayaan

Lembaga pembiayaan agribisnis memegang peranan yang

sangat penting dalam mengembangkan usaha agribisnis, terutama

dalam penyediaan modal investasi dan modal kerja, mulai dari sektor

hulu sampai hilir.

c. Lembaga Pemasaran dan Distribusi

Peranan lembaga pemasaran dan distribusi menjadi ujung

(30)

sebagai fasilitator yang menghubungkan antara deficit units

(konsumen) dan surplus units (produsen). Lembaga pemasaran dan

distribusi juga memegang peranan penting dalam memperkuat

integrasi antarsubsistem dalam sistem agribisnis. Dengan demikian,

pengembangan agribisnis yang terpadu harus juga mampu memperkuat

peranan dan memberdayakan lembaga pemasaran dan distrbusi sangat

diperlukan karena serangkaian aktifitasnya menjadi penentu utama

besarnya marjin antara harga ditingkat produsen dan harga ditingkat

konsumen. Salah satu ukuran distribusi yang efisien adalah rendahnya

marjin antara harga produsen dengan harga konsumen, namun tidak

berarti lembaga pemasaran dan distribusi tersebut tidak mendapat

untung, tetapi lebih pada upaya pembagian yang adil dari semua nilai

tambah yang tercipta dalam suatu sistem komoditas kepada setiap

pelaku yang terlibat.

d. Koperasi

Koperasi sebagai badan ekonomi rakyat, yang lahir sebagai

pengejawantahan kekuatan ekonomi anggotanya, memilki peranan

yang sangat penting dalam menghimpun kekuatan ekonomi

anggotanya untuk kemaslahatan bersama dengan asas kekeluargaan.

Dalam hal peranannya dalam pengembangan agribisnis, dapat dilihat

dari fungsinya sebagai penyalur input-input perikanan dan lembaga

pemasaran hasil-hasil perikanan.

e. Lembaga Pendidikan

Lembaga pendidikan dibidang agribisnis hendaknya

menangkap paradigma-paradigma pembelajaran dan pendidikan yang

mampu melahirkan tenaga-tenaga terdidik yang professional dan

spesialis dalam bidangnya. Lembaga pendidikan harus mampu mandiri

dan memilki kebebasan dalam menentukan masa depannya

menghadapi era persaingan global, terutama lembaga pendidikan

tinggi. Pemerintah hanyalah sebagai fasilitator, bukan sebagai pengatur

dan penentu mekanisme sistem pendidikan. Dengan demikian,

(31)

memiliki ruang gerak yang luas tanpa terbelenggu oleh aturan main

yang berbelit-belit.

f. Lembaga Penyuluh Perikanan

Peranan penyuluh perikanan untuk memperkenalkan berbagai

program peningkatan produksi yang dicanangkan pemerintah dan

membimbing dalam pelaksanaannya, diharapkan peranannya pada

masa akan datang bukan lagi menjadi penyuluh penuh, melainkan

lebih kepada fasilitator dan konsultan perikanan.

g. Lembaga Riset

Peranan lembaga riset bagi pengembangan agribisnis perlu

digerakkan dalam upaya meraih keunggulan bersaing bagi

produk-produk agribisnis dalam memasuki era pasar bebas. Semua lembaga

riset yang terkait dengan pengembangan agribisnis harus menjadi

ujung tombak bagi keberhasilan agribisnis yang memilki keunggulan

mutu produk dan pengembangan diferensisasi dengan produk sejenis

yang diproduksi negara/daerah lain.

h. Lembaga Penjamin dan Penanggung Risiko

Risiko di bidang agribisnis tergolong besar, namun hampir

semuanya dapat diatasi dengan teknologi dan manajemen yang handal.

Namun demikian, dibutuhkan lembaga penjamin risiko yang mampu

menghilangkan kekhawatiran-kekhawatiran para pelaku bisinis untuk

masuk di bidang agribisnis. Asuransi perikanan, sebagai salah satu

lembaga penjamin risiko agribisnis, sangat tepat untuk dikembangkan

sejalan dengan upaya aplikasi teknologi agribisnis yang semakin

meningkat. Selain itu, instrument hedging dalam bursa komoditas juga

perlu dikembangkan guna memberikan sarana penjaminan berbagai

risiko dalam agribisnis dan industri pengolahannya.

Konsep di atas membantu untuk memahami sistem agribisnis

perikanan, terutama keberadaan kelembagaan pendukung untuk

menciptkan agribisnis perikanan yang tangguh dan kompetitif.

(32)

upaya menjamin terciptanya integrasi agribisnis perikanan dalam

mewujudkan pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Cianjur.

B. Ikan Balita

1. Sejarah Ikan Balita

Ikan balita menjadi populer untuk menyebut ikan yang masih

berukuran kecil, khusunya yang digoreng dan menjadi menu favorit

rumah-rumah makan di pingir jalan sampai restoran-restoran tertentu,

bahkan restoran khusus di hotel berbintang. Menu tersebut populer dengan

nama ikan balita goreng.

Istilah ikan balita mulai terkenal pada akhir tahun 1990-an di

daerah Bogor dan sekitarnya, yang digunakan untuk menyebut menu ikan

mas goreng berukuran kecil. Fenomena yang terjadi juga terdapat di

sepanjang jalur Cianjur-Sukabumi-Bandung pada saat yang tidak

terlampau jauh. Akhir ini, istilah ikan balita goreng juga populer di daerah

Purawakarta-Subang-Bandung, bahkan juga di beberapa daerah lain di

kawasan kawasan Parahyangan (Jawa Barat) serta Jakarta. Sebuah restoran

Sunda yang berlokasi di Bogor menyatakan sebagai pelopor menu ikan

mas balita goreng tersebut (Amri & Khairuman, 2007). Sumber lain

menyebutkan, sejarah ikan balita berawal dari adanya menu ikan beunteur

(Puntius binotatus)-sejenis ikan tawes yang dalam bahasa Jawa disebut

iwak wader-goreng garing, yang rasanya gurih dan renyah (Warta Pasar Ikan, 2007).

Menu ikan balita goreng memilki penggemar yang cukup banyak,

baik konsumen lokal bahkan disukai orang asing. Oleh karena itu, selain

disebut ikan balita goreng dalam bahasa Inggris menu ini dinamakan fried

baby fish (Amri & Khairuman, 2007).

2. Kriteria Ikan Balita

Jika ditelusuri lebih lanjut, istilah ikan balita dalam pandangan

awam identik dengan istilah balita yang umum, yaitu istilah yang

(33)

Sehingga istilah ini pun akhirnya digunakan untuk menyebut ikan-ikan

yang masih berukuran kecil. Tetapi dikalangan praktisi perikanan, istilah

ikan balita ternyata tidak hanya untuk sekedar menggambarkan bahwa

ikan tersebut masih berukuran kecil, lebih spesifik lagi menyangkut

dimensi atau ukuran panjang tubuh. Istilah balita ini diambil dari akronim

di bawah lima-tiga sentimeter atau kalau dinotasikan secara singkat: ikan

yang berukuran dibawah 3-5 cm. Namun, dalam kenyataannya menu ikan

balita goreng juga banyak yang menggunakan ikan dengan ukuran lebih

besar, yaitu 5-8 cm (Amri & Khairuman, 2007).

Munculnya istilah ikan balita dipicu oleh munculnya ikan balita

goreng. Sebab, dalam kegiatan pembenihan dan pendederan (khususnya

ikan mas) sudah ada istilah tersendiri (umumnya berasal dari bahasa lokal)

yang populer dan digunakan secara umum. Di Jawa Barat misalnya,

kelompok benih ikan yang dipelihara memilki istilah: larva, kebul, burayak, putihan, ngaramo, dan ngaramo lepas. Larva adalah benih ikan yang baru menetas; kebul merupakan larva stadium akhir yang panjang

tubuhnya 0,6-1 cm; burayak adalah benih berukuran 1-3 cm; putihan

panjang tubuhnya 3-5 cm; ngaramo ukuran tubuhnya 5-8 cm; dan

ngaramo lepas panjang tubuhnya berkisar 8-12 cm. Adakalanya pengelompokan benih berdasarkan ukuran seperti ini juga diadopsi untuk

pengelompokan ikan jenis lainnya.

Menurut SNI (Standar Nasional Indonesia) Perbenihan Ikan Mas

1999, pengelompokkan ini dipersempit menjadi 5 kelompok saja yaitu:

larva, kebul, putihan, belo dan sangkal dengan spesifikasi seperti tertera pada Tabel 2.

Menurut Tabel 2, memberikan keterangan lebih jelas bahwa yang

termasuk ikan balita (untuk bahan baku balita goreng) adalah benih ikan

(34)

Tabel 2. Kriteria Benih Ikan Mas untuk Pendederan

No. Kriteria Larva Kebul Putihan Belo Sangkal 1. Umur maksimal (hari) 4 20 40 70 90 2. Panjang total minimal (cm) 0,6 1 3 5 8 3. Bobot minimal (gram) 0 0,2 3 6 10

Sumber: BSN, 1999

3. Jenis Ikan Balita yang Populer

Sampai saat ini menu ikan balita goreng yang nilai komersialnya

tinggi terutama di Pulau Jawa (Jabodetabek dan Bandung) hanya terbatas

dua jenis ikan saja, yaitu ikan mas dan nila. Sebagian besar restoran favorit

yang ada di Bogor umumnya menggunakan ikan mas. Begitu pula di

UD.Suhada menggunakan dua jenis ikan, ikan mas dan ikan nila, yang

lebih banyak di komersialisasikan adalah ikan mas. Ikan nila dinilai

kurang menarik lantaran warnanya tidak secerah ikan mas. Namun

demikian, beberapa restoran justru ada yang fanatik menggunakan ikan

nila dan ternyata memilki banyak peminat. Sementara ikan beuntuer

semakin sulit ditemukan dan hanya terdapat di daerah tertentu saja dalam

jumlah kecil, seperti di Kuningan dan Sumedang.

Di luar Pulau Jawa juga terdapat menu ikan goreng berukuran

kecil, tetapi tidak termasuk ikan balita goreng, karena meskipun sosoknya

kecil namun sesungguhnya sudah merupakan ikan dewasa (konsumsi).

Sebagai contoh, ikan seluang (Rasbora argyrotaenia) yang populer di

Kalimantan dan Sumatera. Ikan seluang adalah ikan sungai yang

dikeringkan dan digoreng gurih. Ikan ini pada dasarnya berukuran kecil;

yang sudah dewasa (konsumsi) berukuran maksimal 3-5 cm. Demikian

juga halnya dengan ikan bilis/bilih (Mystacoleucus padangensis). Ikan di

dunia hanya terdapat di danau Singkarak, Solok, Sumatera Barat, juga

berukuran kecil (3-8 cm) dan merupakan ukuran konsumsi.

Dari perkembangan selanjutnya, penamaan menu ikan mas atau

nila kecil goreng ini ternyata tidaklah sama antara restoran/rumah makan

yang satu dengan yang lainnya. Sebagian besar telah menggunakan istilah

ikan balita goreng, bahkan ada restoran yang mengklaim bahwa sejak

(35)

(Warta Pasar Ikan, 2007), namun ada juga restoran menamakannya ikan

unyil goreng. Sementara itu, ada juga restoran lain yang mempopulerkannya sebagai baby fish.

4. Pasokan Kebutuhan Ikan Balita

Beberapa praktisi mengatakan bahwa pasokan ikan balita yang

baik berasal dari ikan balita yang dipelihara secara mina padi di sawah.

Karena, ikan balita yang dipelihara di sawah bersama padi, terutama di

sawah yang menerapkan penanaman padi ramah lingkungan (organik),

akan bertambah prima rasa dan kualitasnya. Namun, ada juga yang

mengandalkan ikan balita hasil pemeliharaan di kolam. Berdasarkan

pengalaman, pasokan ikan balita yang dipelihara di sawah bersama padi

kontinuitasnya sulit dipertahankan, terutama pada musim kemarau. Pada

musim ini banyak sawah kekurangan air, sehingga pemeliharaan ikan

balita tidak dapat dilaksanakan. Akhirnya, mereka lebih mengandalkan

pasokan ikan balita dari pembudidaya ikan yang membesarkannya di

kolam.

Besarnya pasokan sangat tergantung pada besarnya permintaan

konsumen. Ada restoran yang membutuhkan pasokan bahan baku ikan

balita sekitar 10 kg/hari. Sebuah restoran ikan balita di Bogor bahkan

membutuhkan rata-rata 2-3 ton/bulan (Warta Pasar Ikan, 2007).

Umumnya, pasokan ikan balita dalam keadaan hidup. Sementara ukuran

yang banyak diminati adalah yang panjangnya 3-5 cm. Namun demikian,

ada juga restoran tertentu yang membutuhkan ikan balita yang lebih besar,

yaitu yang berukuran 5-8 cm. Jika dikonversikan ke berat per

kilogramnya, kira-kira 100-120 ekor/kg. Bahan baku ikan balita yang

disuplai ke restoran harus dalam kondisi sehat, sehingga tingkat

kematiannya berkisar 10-20% saja. Artinya, dari 100 ekor ikan balita

hidup yang dikirim, yang mati (kalau ada) tidak lebih dari 20 ekor.

Untuk sistem pembayarannya, ada restoran yang menerapkan

sistem tunai, yakni langsung dibayar pada saat ikan datang. Namun,

(36)

terutama restoran besar yang memilki pemasok tetap. Hal ini biasanya

sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati antara pemasok dan pihak

restoran.

Jika ikan balita yang dipasok pembudidaya sudah memenuhi

persyaratan, ikan ini langsung ditampung untuk sementara dalam bak

penampungan khusus. Besarnya bak penampungan tergantung pada

jumlah ikan. Ada restoran besar yang memiliki bak penampungan

berkapasitas hampir 1 ton ikan. Ikan-ikan di bak penampungan ini

sebagian langsung ditangkap, untuk kemudian disiangi, dimasak dan

disajikan kepada para pengunjung restoran. Sebagian lagi sengaja

memelihara selama 1-2 hari. Cara yang demikian ini lebih baik karena

ikan menjadi lebih segar dan lebih bersih (Amri & Khairuman, 2007).

C. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) 1. Konsep dan Definisi UMKM

Defenisi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) diatur

dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008

tentang UMKM, Pasal 1 dinyatakan bahwa usaha mikro (UMI) adalah

usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan

yang memenuhi kriteria UMI sebagaimana diatur dalam UU tersebut.

Usaha kecil (UK) adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,

yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan

merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki,

dikuasai, atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak langsung, dari

usaha menengah (UM) atau usaha besar (UB) yang memenuhi kriteria UK

sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut. Sedangkan UM adalah usaha

ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang

perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau

bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian,

baik langsung maupun tidak langsung, dari UMI, UK atau UB yang

memenuhi kriteria UM sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut

(37)

Kriteria yang digunakan pada UU tersebut yaitu untuk

mendefinisikan UMKM seperti yang tercantum dalam Pasal 6 adalah nilai

kekayaan bersih atau nilai aset tidak termasuk tanah dan bangunan tempat

usaha, atau hasil penjualan tahunan. Dengan kriteria tersebut dalam UU

tentang UMKM, UMI adalah unit usaha yang memilki nilai aset paling

banyak Rp.50 juta atau dengan hasil penjualan tahunan paling besar

Rp.300 juta; UK dengan nilai aset lebih dari Rp.50 juta sampai dengan

paling banyak Rp.500 juta atau memilki hasil penjualan tahunan lebih dari

Rp.300 juta hingga maksimum Rp.2,5 miliar; dan UM adalah perusahaan

dengan nilai kekayaan bersih lebih dari Rp.500 juta hingga paling banyak

Rp.10 miliar atau memilki hasil penjualan tahunan diatas Rp.2,5 miliar

sampai paling tinggi Rp.50 miliar (Tambunan, 2009).

2. Karakteristik UMKM

Menurut Tambunan (2009), karakteristik-karakteristik utama

UMKM yang membedakan dengan UB adalah sebagai berikut :

1. Jumlah perusahaan sangat banyak (jumlah melebihi jumlah UB),

terutama dari kategori UMI dan UK. Berbeda dengan UB dan UM,

UMI dan UK tersebar di seluruh pelosok perdesaan, termasuk di

wilayah-wilayah yang relatif terisolasi.

2. Mempunyai suatu potensi pertumbuhan kesempatan kerja yang sangat

besar, pertumbuhan UMKM dapat dimasukkan sebagai suatu elemen

penting dari kebijakan-kebijakan nasional untuk meningkatkan

kesempatan kerja dan menciptakan pendapatan, terutama bagi

masyarakat miskin.

3. Tidak hanya mayoritas dari UMKM, terutama UMI, di negara sedang

berkembang berlokasi di perdesaan, kegiatan-kegiatan produksi dari

kelompok usaha ini juga pada umumnya berbasis pertanian.

4. UMKM memakai teknologi-teknologi yang lebih cocok (jika

dibandingkan dengan teknologi-teknologi canggih yang umum dipakai

oleh perusahaan-perusahaan modern/UB) terhadap proporsi-proporsi

(38)

5. UMKM dianggap sebagai perusahaan-perusahaan yang memilki fungsi

sebagai basis bagi perkembangan usaha lebih besar, karena UMKM

dapat bertahan pada saat ekonomi Indonesia dilanda suatu krisis besar

pada tahun 1997/1998.

6. UMKM dapat menjadi suatu titik permulaan bagi mobilisasi

tabungan/investasi di perdesaan; sementara pada waktu yang sama,

kelompok usaha ini dapat sebagai tempat pengujian dan peningkatan

kemampuan berwirausaha dari orang-orang desa.

7. Pada umunya pengusaha-pengusaha UMKM membiayai sebagian

besar dari operasi-operasi bisnis mereka dengan tabungan pribadi,

ditambah dengan bantuan atau pinjaman dari saudara atau kerabat, atau

dari pemberi-pemberi kredit informal, pedagang atau pengumpul,

pemasok-pemasok bahan baku, dan pembayaran di muka dari

konsumen-konsumen.

8. Pasar utama bagi UMKM adalah untuk barang-barang konsumsi

sederhana dengan harga relatif murah sehingga dapat memenuhi

kebutuhan sehari-hari dari masyarakat miskin atau berpendapatan

rendah.

9. Dinamika UMKM (khususnya UK dan UM) yang mampu

meningkatkan produktifitasnya lewat investasi dan perubahan

teknologi.

10.Dalam beberapa literatur dikatakan bahwa satu keunggulaan UMKM

adalah tingkat fleksibilitasnya yang tinggi, relatif terhadap pesaingnya

(UB).

3. Pengembangan UMKM dan Koperasi

Syaukat (2002) mengatakan bahwa pengembangan UMKM dan

koperasi tergantung beberapa faktor, antara lain :

1. Kemampuan UMKM dan koperasi dijadikan kekuatan utama

pengembangan ekonomi berbasis lokal yang mengandalkan

(39)

2. Kemampuan UMKM dan koperasi dalam peningkatan produktivitas,

efisiensi dan daya saing.

3. Menghasilkan produk yang bermutu dan berorientasi pasar (domestik

maupun ekspor).

4. Berbasis bahan baku domestik.

5. Substitusi impor.

Syaukat (2002) mengatakan bahwa langkah-langkah operasional

pengembangan UMKM dan koperasi adalah :

1. Tahap pertama :

a. Penumbuhan iklim usaha kondusif.

b. Kebijakan persaingan sehat dan pengurangan distorsi pasar.

c. Kebijakan ekonomi yang memberikan peluang bagi UMKM dan

koperasi untuk mengurangi beban biaya yang tidak berhubungan

dengan proses produksi.

d. Kebijakan penumbuhan kemitraan dengan prinsip saling

memerlukan, memperkuat dan saling menguntungkan.

2. Tahap kedua :

a. Dukungan penguatan.

b. Peningkatan mutu SDM UMKM dan koperasi.

c. Peningkatan penguasaan teknologi.

d. Peningkatan penguasaan informasi.

e. Peningkatan penguasaan modal.

f. Peningkatan penguasaan pasar.

g. Perbaikan organisasi dan manajemen.

h. Pencadangan tempat usaha.

i. Pencadangan bidang-bidang usaha.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab tingginya kemampuan untuk

bertahan bagi UMKM dalam menghadapi krisis (Haryadi 1998 diacu

dalam Nasir dkk, 2012) adalah :

1. Jenis produksi yang dihasilkan memang benar-benar kebutuhan

(40)

2. Bahan baku yang mendukung aktivitas industri didatangkan dari luar

atau daerah sekitar industri berkoperasi.

3. UMKM merupakan usaha yang padat karya dan bukan padat modal.

4. Tidak menggunakan material impor, baik sebagai bahan baku maupun

sebagai bahan pendukung bagi UMKM tersebut.

Menurut Haryadi (1998) diacu dalam Nasir et al (2012), ada lima

aspek yang berkaitan erat dengan pengembangan UMKM yaitu aspek

pemasaran, produksi, ketenagakerjaan, kewirausahaan dan akses kepada

pelayanan. Dalam hal ini pemasaran, tujuan dan orientasi pasar penting

bagi perkembangan suatu usaha. Tujuan dan orientasi pasar akan

menentukan pilihan-pilihan strategi adaptasi yang akan diambil dalam

mengatasi kendala-kendala yang akan dihadapi khususnya yang berkaitan

dengan struktur pasar bahan baku produk.

Pengembangan UMKM (Hubeis 2009 diacu dalam Nasir et al,

2012) meliputi :

1. Menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya

UMKM.

2. Mewujudkan UMKM menjadi usaha yang efisien, sehat dan memiliki

tingkat pertumbuhan yang tinggi, sehingga mampu menjadi kekuatan

ekonomi rakyat dan dapat memberikan sumbangan yang besar bagi

pembangunan ekonomi nasional.

3. Mendorong UMKM agar dapat berperan maksimal dalam penyerapan

tenaga kerja dan sumber pendapatan.

4. Menciptakan bentuk-bentuk kerjasama yang dapat memperkuat

kedudukan UMKM dalam kompetisi di tingkat nasional maupun

internasional.

D. Aspek - Aspek Analisis Kelayakan

Untuk melakukan studi kelayakan, perlu memperhatikan aspek-aspek

yang secara bersama-sama menentukan bagaimana keuntungan yang diperoleh

dari suatu penanaman investasi tertentu. Menurut Gittinger (1986) diacu

(41)

aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial, aspek pasar, aspek finansial dan

aspek ekonomi.

Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), aspek-aspek studi kelayakan

proyek terdiri dari aspek pasar, teknis, keuangan, hukum dan ekonomi negara.

Namun tergantung pada besar kecilnya dana yang tertanam dalam investasi

tersebut, maka terkadang juga ditambah studi tentang dampak sosial.

1. Aspek Pasar

Menurut Nurmalina dan Sarianti (2009), aspek pasar dan

pemasaran mencoba mempelajari tentang :

1. Permintaan, baik secara total ataupun diperinci menurut daerah, jenis

konsumen, perusahaan besar pemakai dan perlu diperkirakan tentang

proyeksi permintaan tersebut.

2. Penawaran, baik yang berasal dari dalam negeri, maupun juga berasal

dari impor. Bagaimana perkembangannya dimasa lalu dan bagaimana

perkembangan dimasa yang akan datang.

3. Harga, dilakukan perbandingan dengan barang-barang impor, produksi

dalam negeri lainnya.

4. Program pemasaran, mencakup strategi pemasaran yang akan

dipergunakan bauran pemasaran (marketing mix). Identifikasi siklus

kehidupan produk (product life cycle), pada tahap apa produk yang

akan dibuat.

5. Perkiraan penjualan yang bisa dicapai perusahaan, market share yang

bisa dikuasai perusahaan.

2. Aspek Teknis

Analisis secara teknis berhubungan dengan penyediaan input

proyek dan output (produksi) berupa barang dan jasa (Gittinger 1986 diacu

dalam Latifah et al, 2009). Input dari usaha ikan balita adalah bahan baku,

seperti ikan mas, ikan nila dan bahan pendukung lainnya. Bagaimana

strategi dalam mendapatkan bahan baku diatas dalam hal kualitas

(42)

balita segar dalam kemasan dan ikan balita goreng dalam kemasan,

bagaimana pemilik dalam memproses bahan baku menjadi bahan jadi,

proses produksi yang higienis dan kualitas produk yang terjaga dengan

baik.

Analisis secara teknis akan menguji hubungan-hubungan teknis

yang mungkin dalam suatu proyek, fasilitas-fasilitas pemasaran dan

penyimpanan (storage) yang dibutuhkan untuk menunjang pelaksaann

proyek, dan pengujian sistem-sistem pengolahan yang dibutuhkan.

Analisis secara teknis juga dapat mengidentifikasi perbedaan-perbedaan

yang terdapat dalam informasi yang harus dipenuhi baik sebelum

perencanaan proyek atau pada tahap awal pelaksanaan.

3. Aspek Manajemen

Menurut Nurmalina dan Sarianti (2009), aspek manajemen

mempelajari tentang manajemen dalam masa pembangunan bisnis dan

manajemen dalam masa operasi. Manajemen dalam masa pembangunan

bisnis, terkait dengan siapa pelaksana bisnis, bagaimana jadwal

penyelesaian bisnis, dan siapa yang melakukan studi masing-masing aspek

kelayakan bisnis. Manajemen dalam masa operasi, terkait bagaiman

bentuk organisasi atau badan usaha yang dipilih, bagaiman struktur

organisasi, bagaimana deskripsi masing-masing jabatan, berapa banyak

jumlah tenaga kerja yang digunakan dan menentukan siapa-siapa anggota

direksi dan tenaga-tenaga inti.

Kadariah, Karlina dan Gray (1999), menyatakan bahwa keahlian

manajemen hanya dapat dievaluasi secara subjektif, meskipun demikian

jika hal ini tidak mendapat perhatian yang khusus, ada banyak

kemungkinan terjadi pengambilan keputusan yang kurang realistis dalam

proyek yang direncanakan.

4. Aspek Sosial

Aspek sosial menyangkut dampak sosial, budaya dan lingkungan

(43)

dengan pola sosial budaya dan lingkungan masyarakat setempat. Menurut

Gittinger (1986) diacu dalam Latifah et al (2009), menyatakan bahwa

pertimbangan-pertimbangan sosial harus dipikirkan secara cermat agar

dapat menentukan apakah suatu proyek yang diusulkan tanggap

(responsive) terhadap keadaan sosial tersebut. Sebab tidak ada proyek

yang akan bertahan lama bila tidak tanggap terhadapsosial. Aspek sosial

juga dapat berkenaan dengan konstribusi bisnis terhadap manfaat ekonomi

seperti penyerapan tenaga kerja, pemerataan dan peningkatan

kesejahteraan masyarakat.

5. Aspek Finansial

Aspek finansial berkenaan dengan pengaruh-pengaruh finansial

bisnis terhadap petani sebagai pelaku dalam bisnis tersebut. Menurut

Husnan dan Suwarsono (2000) menyebutkan bahwa analisis terhadap

aspek finansial dilakukan untuk melihat apakah proyek tersebut mampu

memenuhi kewajiban finansial kedalam dan keluar perusahaan serta dapat

mendatangkan keuntungan yang layak bagi perusahaan atau pemiliknya.

Aspek finansial ditentukan berapa jumlah dana modal tetap dan modal

awal kerja yang dibutuhkan, struktur permodalan, sumber pinjaman yang

diharapkan dan persyaratan, serta kemampuan proyek memenuhi

kewajiban finansial.

Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), pada umumnya ada lima

metode yang biasa dipertimbangkan untuk dipakai dalam penilaian

investasi. Metode tersebut diantaranya metode Average Rate Return,

Payback Periode, Present Value, Internal Rate Return, serta Profitability Indeks. Selain itu, Gittinger (1986) dalam Latifah et al (2009) menyebutkan bahwa dana yang diinvestasikan itu layak atau tidak akan

diukur melalui kriteria investasi Net Present Value, Gross Benefit Cost

(44)

a. Net Present Value

Net Present Value (NPV) merupakan nilai selisih antara nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas

bersih di masa yang akan datang (Husnan dan Suwarsono 2000).

Menurut Gittinger (1986) diacu dalam Latifah et al (2009), NPV

adalah nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh

penanaman investasi. Untuk menghitung NPV, perlu ditentukan

tingkat bunga yang relevan. Rumus NPV adalah sebagai berikut:

Keterangan :

Bt = Penerimaan yang diperoleh pada tahun ke-t Ct = Biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t i = Tingkat suku bunga (discount rate)

t = Tahun

n = Jumlah Tahun

Terdapat tiga penilaian investasi dalam metode NPV, yaitu jika

NPV lebih besar dari nol berarti layak untuk dilakukan. Sebaliknya,

jika nilai NPV kurang dari nol, maka usaha tersebut tidak layak untuk

dilaksanakan, hal ini dikarenakan manfaat yang diperoleh tidak cukup

untuk menutup biaya yang dikeluarkan. Jika NPV sama dengan nol,

berarti proyek sulit dilaksanakan karena manfaat yang diperoleh hanya

cukup untuk menutupi biaya yang dikeluarkan.

b. Net Benefit and Cost Ratio

Rasio manfaat dan biaya diperoleh bila nilai sekarang arus

manfaat dibagi dengan nilai sekarang arus biaya (Gittinger 1986 diacu

dalam Latifah et al, 2009). Net Benefit and Cost Ratio (Net B/C ratio) didefinisikan sebagai angka perbandingan antara jumlah NPV positif

sebagai pembilang dan jumlah NPV negatif sebagai penyebut. Nilai

(45)

Untuk Bt – Ct > 0

Untuk Bt – Ct < 0

setiap tambahan biaya sebesar satu rupiah (Husnan dan Suwarsono,

1999). Untuk menggunakan metode Net B/C ratio perlu menentukan

tingkat bunga yang dipergunakan. Metode Net B/C menggunakan

rumus sebagai berikut :

Keterangan :

Bt = Penerimaan yang diperoleh pada tahun ke-t

Ct = Biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t

i = Tingkat suku bunga (discount rate)

t = Tahun

n = Jumlah Tahun

Nilai Net B/C ratio mengandung dua arti penting, yaitu :

1. Net B/C ≥ 1, maka proyek layak atau menguntungkan.

2. Net B/C ≤ 1, maka proyek tidak layak atau tidak menguntungkan.

c. Internal Rate of Return

Perhitungan Internal Rate Return (tingkat pengembalian internal), atau IRR adalah tingkat bunga maksimal yang dapat dibayar

oleh proyek untuk sumber daya yang digunakan karena proyek

membutuhkan dana lagi untuk biaya-biaya operasi dan investasi dan

proyek baru sampai pada tingkat pulang modal (Gittinger 1986 diacu

dalam Latifah et al, 2009).

Perhitungan IRR digunakan untuk mengetahui persentase

keuntungan dari suatu proyek tiap tahunnya dan menunjukan

kemampuan proyek dalam mengembalikan pinjaman. Jika dengan

tingkat diskonto tertentu, nilai NPV menjadi sebesar nol, maka proyek

yang bersangkutan berada dalam posisi pulang modal yang berarti

proyek dapat mengembalikan modal dan biaya operasional yang

dikeluarkan serta dapat melunasi bunga penggunaan uang. Suatu

(46)

suku bunga yang berlaku, apabila IRR lebih kecil dari tingkat suku

bunga berarti investasi tidak layak untuk dilaksanakan karena tidak

menguntungkan. Rumus yang digunakan dalam menghitung IRR

adalah sebagai berikut :

Keterangan:

i1 = discount rate yang menghasilkan NPV positif

i2 = discount rate yang menghasilkan NPV negatif

NPV1 = NPV positif

NPV2 = NPV negatif

d. Payback Period

Menurut Gittinger (1986) diacu dalam (Latifah et al, 2009),

payback period (PBP) adalah jangka waktu kembalinya keseluruhan jumlah investasi modal yang ditanamkan, dan dihitung mulai dari

permulaan proyek sampai dengan arus nilai netto produksi tambahan,

sehingga mencapai jumlah keseluruhan investasi modal yang

ditanamkan. Rumus yang digunakan dalam menghitung PBP adalah

sebagai berikut :

Keterangan:

PP = Payback Period

I = Jumlah Modal Investasi

Ab = manfaat bersih yang dapat diperoleh setiap tahunnya

e. Break Event Point

(47)

Proyek dikatakan impas jika jumlah hasil penjualan produknya pada

suatu periode tertentu sama dengan jumlah biaya yang ditanggung

sehingga proyek tersebut tidak menderita kerugian tetapi tidak

memperoleh laba. Jika hasil penjualan produk tidak dapat melampaui

titik ini maka proyek yang bersangkutan tidak dapat memberikan laba

(Sutojo, 1993) diacu dalam Nasir et al, (2012). Perhitungan volume

penjualan pada saat BEP dapat dihitung dengan persamaan :

E. Matriks Internal Factor Evaluation dan External Factor Evaluation

Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) merupakan alat analisis untuk meringkas dan mengevalusi kekuatan dan kelemahan utama dalam

berbagai bidang fungsional dari suatu perusahaan. Alat ini dipakai setelah

dilakukan analisis terhadap faktor-faktor internal perusahaan yang meliputi

pemasaran, keuangan, manajemen, sistem informasi komputer dan produksi

secara mendalam. Hasil analisis tersebut digunakan untuk menentukan

faktor-faktor kunci kekuatan dan kelemahan perusahaan.

Penyusunan matriks External Factor Evaluation (EFE) hampir sama

dengan matriks IFE, perbedaannya adalah matriks EFE digunakan untuk

mengevaluasi peluang dan ancaman perusahaan. Faktor-faktor kunci yang

diperoleh setelah dilakukan analisis terhadap faktor-faktor yang meliputi (1)

kekuatan ekonomi; (2) kekuatan sosial, budaya, demografi dan lingkungan; (3)

kekuatan politik, pemerintah dan hukum; (4) kekuatan teknologi; (5) kekuatan

pesaing.

Dalam mengidentifikasikan faktor-faktor internal dan eksternal

perusahaan serta perumusan strategi perusahaan adalah wewenang para

penyusun strategi atau disebut ahli strategi yang dikelompokkan sebagai

berikut: para manajer puncak sebagai ahli strategi utama, dewan komisaris,

(48)

(Glueck & Lawrence, 1996). Hal tersebut didukung dengan pernyataan yang

menyebutkan bahwa dalam proses melaksanakan analisis internal dan

eksternal harus melibatkan sebanyak mungkin perwakilan manajer dan

karyawan (David, 2002).

Pada tahap awal proses formulasi strategi ini, alat analisis matriks IFE

dan EFE ditujukan untuk menyiapkan strategi untuk mengkuantifikasikan

subjektivitas. Evaluasi terhadap faktor internal menggunakan matriks IFE

yang kemudian mengklasifikasikannya menjadi kekuatan dan kelemahan bagi

perusahaan (Tabel 3). Kekuatan dan kelemahan diberikan bobot dan rating.

Dengan mengkalikan bobot dan rating akan diperoleh skor terbobot

yang dijumlahkan ke bawah sehingga diperoleh total skor terbobot yang

menggambarkan bagaimana perusahaan tertentu bereaksi terhadap

faktor-faktor strategis internal. Sedangkan evaluasi terhadap faktor-faktor eksternal

menggunakan matriks EFE yang kemudian mengklasifikasikannya menjadi

peluang dan ancaman bagi perusahaan (Tabel 4). Peluang dan ancaman

diberikan bobot dan rating, kemudian akan diperoleh total skor yang terbobot

dengan cara yang sama seperti pada matriks IFE.

Tabel 3. Matriks Internal Factor Evaluation

(49)

Tabel 4. Matriks External Factor Evaluation

Faktor Eksternal Bobot (a)

Rating (b)

Skor Terbobot (axb) Peluang:

1.

2.

dst.

Ancaman: 1.

2.

dst.

Jumlah 1,0

Sumber: David, 2002

Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan dalam menyususn

matriks IFE dan EFE, yaitu:

1. Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan

ancaman perusahaan (kolom 1).

2. Memberikan bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0

(sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Faktor-faktor tersebut

kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor strategis.

Penentuan bobot setiap peubah dilakukan dengan cara mengajukan

identifikasi faktor strategis internal dan eksternal kepada pihak manajemen

perusahaan dengan menggunakan metode Paired Comparison (Kinner &

Taylor 1991 diacu dalam Angkasa et al, 2012). Penilaian dilakukan

dengan memberikan bobot numerik dan membandingkan antara satu unsur

dengan unsur lainnya. Metode tersebut digunakan untuk memberikan

penilaian terhadap bobot setiap faktor penentu internal dan eksternal.

(50)

Tabel 5. Penilaian Bobot Faktor Strategik Internal Perusahaan

Faktor Strategis Internal A B C D … Total

A Xi

B

C

D

Total

Menurut Kinnear dan Taylor (1991) diacu dalam (Angkasa et al,

2012), bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel

terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus:

dimana :

αi = Bobot variabel ke-i

Xi = Nilai variabel ke-i

i = 1, 2, 3,…,n

n = Jumlah variabel

Tabel 6. Penilaian Bobot Faktor Strategik Eksternal Perusahaan

Faktor Strategis Eksternal A B C D … Total

A Xi

B

C

D

(51)

3. Tentukan rating tiap faktor yang menunjukkan keefektifan strategi suatu

organisasi saat ini dalam merespon faktor-faktor tersebut pada kolom 3.

Untuk matriks IFE, 1 = kelemahan utama, 2 = kelemahan minor, 3 =

kekuatan minor dan 4 = kekuatan utama sedangkan untuk matriks EFE, 4

= respon tinggi, 3 = respon diatas rata-rata, 2 = respon rata-rata dan 1 =

respon kurang.

4. Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3 untuk

memperoleh faktor pembobotan pada kolom 4. hasilnya berupa skor

pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai

dari 4.0 (outstanding) sampai dengan 1.0 (poor).

5. Jumlah skor pembobotan (kolom 4) untuk memperoleh total skor

pembobotan bagi perusahaan yang bersangkutan. Nilai total ini

menunjukkan bagaimanaperusahaan tertentu bereaksi terhadap

faktor-faktor strategis internal dan eksternal. Skor ini dapat digunakan untuk

membandingkan perusahaan ini dengan perusahaan lainnya dalam

kelompok industri yang sama. Total skor terbobot berkisar antara 1 sampai

dengan 4. Nilai 1 pada matriks IFE menunjukkan situasi internal

perusahaan yang sangat buruk. Nilai 4 mengindikasikan bahwa situasi

internal perusahaan sangat baik. Sedangkan nilai 2.5 pada matriks IFE

menunjukkan bahwa situasi internal perusahaan berada pada tingkat

rata-rata. Pada matriks EFE, nilai 1 menunjukkan perusahaan tidak dapat

memanfaatkan peluang dan menghindari ancaman yang ada. Nilai 4

menunjukkan perusahaan merespon peluang dan ancaman yang ada

dengan baik. Sedangkan nilai 2.5 menunjukkan bahwa situasi eksternal

perusahaan pada tingkat rata-rata.

F. Matriks Internal-Eksternal

Untuk melihat strategi mana yang tepat untuk diterapkan oleh

perusahaan yang memiliki unit-unit bisnis digunakan matriks

Internal-Eksternal (matriks IE). Matriks IE melibatkan divisi-divisi dalam organisasi

(52)

menjadi tiga bagian utama yang memiliki implikasi strategi yang berbeda,

yaitu (David, 2002):

1. Divisi yang berada pada sel I, II, atau IV dapat melaksanakan strategi

pengembangan dan pembangunan (Growth and Build). Strategi intensif

(penetrasi pasar, pengembangan pasar dan pengembangan produk) atau

integratif (integrasi ke belakang, integrasi ke depan, integrasi horisontal)

mungkin paling tepat untuk semua divisi ini.

2. Divisi yang berada pada sel III, V, atau VII dapat melaksanakan strategi

mempertahankan dan memelihara (Hold an maintain). Penetrasi pasar dan

pengembangan produk merupakan dua strategi yang terbanyak dilakukan

untuk tipe-tipe divisi ini.

3. Divisi yang berada pada sel VI, VIII, atau IX yakni strategi mengambil

hasil atau melepaskan (Harvest or divest).

Dalam matriks IE (Gambar 1), total skor terbobot IFE ditempatkan

pada sumbu X dan total skor terbobot EFE pada sumbu Y. Pada sumbu X dari

matriks IE, total skor terbobot IFE sebesar 1,0 hingga 1,99 menggambarkan

posisi internal yang lemah, skor 2,0 hingga 2,99 merupakan pertimbangan

rata-rata dan skor 3,0 hingga 4,0 adalah kuat. Begitu pula dengan sumbu Y

yang merupakan total skor terbobot dari matriks EFE, dari 1,0 hingga 1,99

adalah pertimbangan rendah, skor 2,0 hingga 2,99 merupakan pertimbangan

medium dan skor 3,0 hingga 4,0 adalah tinggi.

G. Analisis SWOT

Analisis Strengths-Weakness- Opportunities-Threaths (SWOT) adalah

identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi

perusahaan (Rangkuti, 2001). Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat

memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) namun

secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman

(threats). Analisis SWOT merupakan cara sistematis untuk

mengidentifikasikan keempat faktor-faktor tersebut dan strategi yang

menggambarkan kecocokan paling baik di antara mereka (Pearce & Robinson,

(53)

faktor-faktor strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman)

dalam kondisi yang ada pada saat ini. Faktor-faktor strategis perusahaan

disusun dalam matriks SWOT, yang menggambarkan secara jelas bagaimana

peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan

dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat

menghasilkan empat sel kemungkinan alternatif strategi (Rangkuti, 2001).

Sumber: David, 2002

Gambar 1. Matriks IE

1. Kekuatan

Merupakan sumberdaya, ketrampilan atau keunggulan-keunggulan

lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar yang dilayani atau ingin

dilayani oleh perusahaan. Kekuatan adalah kompetensi khusus (distinctive

competence) yang memberikan keunggulan komparatif bagi perusahaan di pasar. Kekuatan dapat terkandung dalam sumberdaya keuangan, citra,

kepemimpinan pasar, hubungan pembeli dengan pemasok dan

Gambar

Tabel 3. Matriks Internal Factor Evaluation
Tabel 4. Matriks External Factor Evaluation
Tabel 5. Penilaian Bobot Faktor Strategik Internal Perusahaan
Gambar 1. Matriks IE
+7

Referensi

Dokumen terkait