• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Sejarah Ikan Balita

Ikan balita menjadi populer untuk menyebut ikan yang masih berukuran kecil, khusunya yang digoreng dan menjadi menu favorit rumah-rumah makan di pingir jalan sampai restoran-restoran tertentu, bahkan restoran khusus di hotel berbintang. Menu tersebut populer dengan nama ikan balita goreng.

Istilah ikan balita mulai terkenal pada akhir tahun 1990-an di daerah Bogor dan sekitarnya, yang digunakan untuk menyebut menu ikan mas goreng berukuran kecil. Fenomena yang terjadi juga terdapat di sepanjang jalur Cianjur-Sukabumi-Bandung pada saat yang tidak terlampau jauh. Akhir ini, istilah ikan balita goreng juga populer di daerah Purawakarta-Subang-Bandung, bahkan juga di beberapa daerah lain di kawasan kawasan Parahyangan (Jawa Barat) serta Jakarta. Sebuah restoran Sunda yang berlokasi di Bogor menyatakan sebagai pelopor menu ikan mas balita goreng tersebut (Amri & Khairuman, 2007). Sumber lain menyebutkan, sejarah ikan balita berawal dari adanya menu ikan beunteur (Puntius binotatus)-sejenis ikan tawes yang dalam bahasa Jawa disebut iwak wader-goreng garing, yang rasanya gurih dan renyah (Warta Pasar Ikan, 2007).

Menu ikan balita goreng memilki penggemar yang cukup banyak, baik konsumen lokal bahkan disukai orang asing. Oleh karena itu, selain disebut ikan balita goreng dalam bahasa Inggris menu ini dinamakan fried baby fish (Amri & Khairuman, 2007).

2. Kriteria Ikan Balita

Jika ditelusuri lebih lanjut, istilah ikan balita dalam pandangan awam identik dengan istilah balita yang umum, yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut anak kecil yang berusia di bawah lima tahun.

Sehingga istilah ini pun akhirnya digunakan untuk menyebut ikan-ikan yang masih berukuran kecil. Tetapi dikalangan praktisi perikanan, istilah ikan balita ternyata tidak hanya untuk sekedar menggambarkan bahwa ikan tersebut masih berukuran kecil, lebih spesifik lagi menyangkut dimensi atau ukuran panjang tubuh. Istilah balita ini diambil dari akronim di bawah lima-tiga sentimeter atau kalau dinotasikan secara singkat: ikan yang berukuran dibawah 3-5 cm. Namun, dalam kenyataannya menu ikan balita goreng juga banyak yang menggunakan ikan dengan ukuran lebih besar, yaitu 5-8 cm (Amri & Khairuman, 2007).

Munculnya istilah ikan balita dipicu oleh munculnya ikan balita goreng. Sebab, dalam kegiatan pembenihan dan pendederan (khususnya ikan mas) sudah ada istilah tersendiri (umumnya berasal dari bahasa lokal) yang populer dan digunakan secara umum. Di Jawa Barat misalnya, kelompok benih ikan yang dipelihara memilki istilah: larva, kebul, burayak, putihan, ngaramo, dan ngaramo lepas. Larva adalah benih ikan yang baru menetas; kebul merupakan larva stadium akhir yang panjang tubuhnya 0,6-1 cm; burayak adalah benih berukuran 1-3 cm; putihan panjang tubuhnya 3-5 cm; ngaramo ukuran tubuhnya 5-8 cm; dan ngaramo lepas panjang tubuhnya berkisar 8-12 cm. Adakalanya pengelompokan benih berdasarkan ukuran seperti ini juga diadopsi untuk pengelompokan ikan jenis lainnya.

Menurut SNI (Standar Nasional Indonesia) Perbenihan Ikan Mas 1999, pengelompokkan ini dipersempit menjadi 5 kelompok saja yaitu: larva, kebul, putihan, belo dan sangkal dengan spesifikasi seperti tertera pada Tabel 2.

Menurut Tabel 2, memberikan keterangan lebih jelas bahwa yang termasuk ikan balita (untuk bahan baku balita goreng) adalah benih ikan (dalam hal ini ikan mas) lepas larva yakni stadium putihan, belo dan sangkal (berukuran 3-5 cm dan 5-8 cm). Adapun benih/burayak ikan stadium kebul (1-3 cm) tidak lazim dijadikan menu balita goreng karena dianggap masih terlalu kecil.

Tabel 2. Kriteria Benih Ikan Mas untuk Pendederan

No. Kriteria Larva Kebul Putihan Belo Sangkal 1. Umur maksimal (hari) 4 20 40 70 90 2. Panjang total minimal (cm) 0,6 1 3 5 8 3. Bobot minimal (gram) 0 0,2 3 6 10

Sumber: BSN, 1999

3. Jenis Ikan Balita yang Populer

Sampai saat ini menu ikan balita goreng yang nilai komersialnya tinggi terutama di Pulau Jawa (Jabodetabek dan Bandung) hanya terbatas dua jenis ikan saja, yaitu ikan mas dan nila. Sebagian besar restoran favorit yang ada di Bogor umumnya menggunakan ikan mas. Begitu pula di UD.Suhada menggunakan dua jenis ikan, ikan mas dan ikan nila, yang lebih banyak di komersialisasikan adalah ikan mas. Ikan nila dinilai kurang menarik lantaran warnanya tidak secerah ikan mas. Namun demikian, beberapa restoran justru ada yang fanatik menggunakan ikan nila dan ternyata memilki banyak peminat. Sementara ikan beuntuer semakin sulit ditemukan dan hanya terdapat di daerah tertentu saja dalam jumlah kecil, seperti di Kuningan dan Sumedang.

Di luar Pulau Jawa juga terdapat menu ikan goreng berukuran kecil, tetapi tidak termasuk ikan balita goreng, karena meskipun sosoknya kecil namun sesungguhnya sudah merupakan ikan dewasa (konsumsi). Sebagai contoh, ikan seluang (Rasbora argyrotaenia) yang populer di Kalimantan dan Sumatera. Ikan seluang adalah ikan sungai yang dikeringkan dan digoreng gurih. Ikan ini pada dasarnya berukuran kecil; yang sudah dewasa (konsumsi) berukuran maksimal 3-5 cm. Demikian juga halnya dengan ikan bilis/bilih (Mystacoleucus padangensis). Ikan di dunia hanya terdapat di danau Singkarak, Solok, Sumatera Barat, juga berukuran kecil (3-8 cm) dan merupakan ukuran konsumsi.

Dari perkembangan selanjutnya, penamaan menu ikan mas atau nila kecil goreng ini ternyata tidaklah sama antara restoran/rumah makan yang satu dengan yang lainnya. Sebagian besar telah menggunakan istilah ikan balita goreng, bahkan ada restoran yang mengklaim bahwa sejak 1990-an sudah menggunakan istilah tersebut sebagai merek dagangnya

(Warta Pasar Ikan, 2007), namun ada juga restoran menamakannya ikan unyil goreng. Sementara itu, ada juga restoran lain yang mempopulerkannya sebagai baby fish.

4. Pasokan Kebutuhan Ikan Balita

Beberapa praktisi mengatakan bahwa pasokan ikan balita yang baik berasal dari ikan balita yang dipelihara secara mina padi di sawah. Karena, ikan balita yang dipelihara di sawah bersama padi, terutama di sawah yang menerapkan penanaman padi ramah lingkungan (organik), akan bertambah prima rasa dan kualitasnya. Namun, ada juga yang mengandalkan ikan balita hasil pemeliharaan di kolam. Berdasarkan pengalaman, pasokan ikan balita yang dipelihara di sawah bersama padi kontinuitasnya sulit dipertahankan, terutama pada musim kemarau. Pada musim ini banyak sawah kekurangan air, sehingga pemeliharaan ikan balita tidak dapat dilaksanakan. Akhirnya, mereka lebih mengandalkan pasokan ikan balita dari pembudidaya ikan yang membesarkannya di kolam.

Besarnya pasokan sangat tergantung pada besarnya permintaan konsumen. Ada restoran yang membutuhkan pasokan bahan baku ikan balita sekitar 10 kg/hari. Sebuah restoran ikan balita di Bogor bahkan membutuhkan rata-rata 2-3 ton/bulan (Warta Pasar Ikan, 2007). Umumnya, pasokan ikan balita dalam keadaan hidup. Sementara ukuran yang banyak diminati adalah yang panjangnya 3-5 cm. Namun demikian, ada juga restoran tertentu yang membutuhkan ikan balita yang lebih besar, yaitu yang berukuran 5-8 cm. Jika dikonversikan ke berat per kilogramnya, kira-kira 100-120 ekor/kg. Bahan baku ikan balita yang disuplai ke restoran harus dalam kondisi sehat, sehingga tingkat kematiannya berkisar 10-20% saja. Artinya, dari 100 ekor ikan balita hidup yang dikirim, yang mati (kalau ada) tidak lebih dari 20 ekor.

Untuk sistem pembayarannya, ada restoran yang menerapkan sistem tunai, yakni langsung dibayar pada saat ikan datang. Namun, umumnya restoran-restoran melakukan pembayaran secara tidak langsung,

terutama restoran besar yang memilki pemasok tetap. Hal ini biasanya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati antara pemasok dan pihak restoran.

Jika ikan balita yang dipasok pembudidaya sudah memenuhi persyaratan, ikan ini langsung ditampung untuk sementara dalam bak penampungan khusus. Besarnya bak penampungan tergantung pada jumlah ikan. Ada restoran besar yang memiliki bak penampungan berkapasitas hampir 1 ton ikan. Ikan-ikan di bak penampungan ini sebagian langsung ditangkap, untuk kemudian disiangi, dimasak dan disajikan kepada para pengunjung restoran. Sebagian lagi sengaja memelihara selama 1-2 hari. Cara yang demikian ini lebih baik karena ikan menjadi lebih segar dan lebih bersih (Amri & Khairuman, 2007).

C. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)

Dokumen terkait