• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Hanging Ratio Jaring Rampus terhadap Hasil Tangkapan Ikan Layang (Decapterus kurroides) di Perairan Cisolok, Palabuhanratu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan Hanging Ratio Jaring Rampus terhadap Hasil Tangkapan Ikan Layang (Decapterus kurroides) di Perairan Cisolok, Palabuhanratu"

Copied!
244
0
0

Teks penuh

(1)

ADE ZAMIL AL HIZAZ, Perbedaan Hanging Ratio Jaring Rampus terhadap Hasil Tangkapan Ikan Layang (Decapterus kurroides) di Perairan Cisolok, Palabuhanratu. Dibimbing oleh MOKHAMAD DAHRI ISKANDAR dan GONDO PUSPITO.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komposisi hasil tangkapan jaring rampus yang diperoleh selama penelitian, menentukan jumlah dan ukuran serta cara tertangkap ikan layang (Decapterus kurroides) dengan menggunakan jaring rampus pada hanging ratio yang berbeda. Jaring rampus yang dioperasikan menggunakan hanging ratio 0,45, 0,57, dan 0,65 masing-masing sebanyak 2 lembar. Susunan jaring rampus sewaktu dioperasikan berselang-seling. Hal ini dimaksudkan untuk memberi peluang yang sama pada ikan untuk tertangkap pada jaring rampus dengan hanging ratio yang berbeda. Keragaman spesies diuji menggunakan uji Shannon Wiener, sedangkan jumlah hasil tangkapan, ukuran panjang cagak dan cara tertangkap ikan layang diuji dengan ANOVA dan BNT. Jumlah ikan hasil tangkapan selama penelitian sebanyak 351 ekor yang terdiri atas 9 spesies. Jumlah ikan yang menjadi tangkapan dominan adalah layang (Decapterus kurroides) sebanyak 209 ekor (59,45%). Berdasarkan perbedaan hanging ratio pada jaring rampus, ikan layang banyak tertangkap pada hanging ratio 0,45 sebanyak 95 ekor (45,46%). Ikan layang umumnya tertangkap secara entangled dengan jumlah mencapai 152 ekor (72,73%). Rinciannya adalah pada hanging ratio 0,45 sebanyak 74 ekor (48,68%), hanging ratio 0,57 sebanyak 35 ekor (22,00%), dan hanging ratio 0.65 sebanyak 43 ekor (27,32%).

(2)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan layang merupakan salah satu komoditas sumberdaya ikan unggulan yang didaratkan di Cisolok. Ikan layang termasuk ikan demersal yang hidup secara bergerombol di perairan. Alat tangkap yang dominan untuk menangkap ikan layang adalah jaring rampus.

Jaring rampus adalah lembaran jaring yang berbentuk empat persegi panjang yang dipasang di perairan untuk menangkap ikan layang dan berbagai jenis ikan dasar lainnya. Jaring rampus, menurut Brandt (1984), di klasifikasikan ke dalam jenis bottom gillnet. Jaring rampus yang digunakan untuk menangkap ikan layang mempunyai mesh size 2 inchi dan hanging ratio 0,57.

Berdasarkan pengamatan, jaring rampus banyak menangkap ikan dengan cara terpuntal. Apabila alat tangkap banyak menangkap ikan dengan cara terpuntal, maka fungsi mata jaring sebagai penjerat tidak dapat berfungsi dengan baik. Ikan-ikan yang berukuran lebih besar maupun lebih kecil dari mata jaring dapat tertangkap pada gillnet tersebut tanpa harus melakukan proses penetrasi ke dalam mata jaring.

Salah satu daerah penangkapan ikan dengan gillnet adalah Cisolok. Nelayan di daerah ini menggunakan jaring rampus dengan hanging ratio 0,57. Penentuan hanging ratio ini hanya berdasarkan pada kebiasaan. Hanging ratio yang lebih kecil akan mengakibatkan bukaan mata jaring menjadi semakin rendah dengan tingkat kekenduran yang semakin tinggi. Adapun hanging ratio yang semakin tinggi mengakibatkan bukaan mata jaring yang semakin lebar. Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hamley, 1976; Duman et al., (2006) dan Ayaz et al., (2010) menyatakan bahwa hanging ratio berpengaruh terhadap jumlah tangkapan yang diperoleh. Oleh karena itu, hanging ratio yang paling optimum untuk menangkap ikan layang perlu diketahui.

(3)

tangkapan di perairan Bondet kabupaten Cirebon. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perbedaan hang–in ratio 0,40, 0,46 dan 0,52 pada jaring kejer tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah hasil tangkapan rajungan. Radianto (1992) mengkaji mengenai pengaruh hanging ratio trammel net terhadap hasil tangkapan udang di Perairan Cirebon. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perbedaan hanging ratio memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil tangkapan udang. Beberapa peneliti asing juga banyak yang meneliti mengenai

hanging ratio. Samaranayaka (1997) dengan judul penelitian effects of hanging ratio and fishing depth on the catch rates of drifting tuna gillnet in Sri Lanka waters. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa hanging ratio yang berbeda berpengaruh nyata pada ukuran hasil tangkapan. Ayaz et, al. (2010) juga meneliti mengenai effetcts of hanging ratio on gillnet selectivity for annular sea bream (Diplodus annularis) in the Northern Aegean sea, Turkey. Hasil yang diperoleh menunjukkan hanging ratio tidak berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan, dan hanging ratio yang rendah akan mengakibatkan ikan tertangkap secara entangle. Duman et al., (2006) mengenai Selection of Efficience Hanging ratios of Gillnet on Fish Catch in Lake Kainji, Nigeria. Hasil yang diperoleh menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan pada jaring rampus dengan hanging ratio yang berbeda. Hanging ratio yang lebih baik adalah 0,5 diikuti 0,4.

(4)

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1) Menentukan komposisi hasil tangkapan jaring rampus yang diperoleh selama penelitian;

2) Menentukan jumlah hasil tangkapan ikan layang (Decapterus kurroides) dengan menggunakan jaring rampus pada hanging ratio yang berbeda; dan 3) Menentukan perbedaan cara tertangkap ikan layang (Decapterus kurroides)

pada jaring rampus dengan hanging ratio yang berbeda.

1.3 Manfaat

(5)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Ikan Layang (Decapterus kurroides) 2.1.1 Klasifikasi dan morfologi ikan layang

Menurut Bleeker (1855) diacu dalam Saanin (1984), ikan layang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata

Super Kelas : Pisces

Kelas : Actinopterygii Sub Kelas : Teleostei

Ordo : Perciformes

Famili : Carangidae

Genus : Decapterus

Spesies : Decapterus kurroides

Sumber: Bleeker (1985).

(6)

keperakan di daerah bawah, operculum memiliki bintik-bintik hitam kecil. Insang dilindungi oleh membran halus.

2.1.2 Biologi

Dalam biologi perikanan, pencatatan perubahan-perubahan atau tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui ikan-ikan yang melakukan reproduksi dan yang tidak. Pengetahuan mengenai tahap kematangan gonad ini juga akan diperoleh keterangan bila ikan itu akan memijah. Dengan mengetahui ukuran ikan untuk pertama kali matang gonad, ada hubungannya dengan pertumbuhan ikan itu sendiri dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya (Effendi, 2002).

Dasar yang dipakai untuk menentukan tingkat kematangan gonad dengan pengamatan secara morfologi melalui bentuk, ukuran panjang, berat, warna dan perkembangan isi gonad yang dapat dilihat. Beberapa tanda yang dapat dilakukan untuk membedakan kelompok dalam penentuan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) di lapangan antara lain adalah (Tabel 1) :

Tabel 1 Penentuan tingkat kematangan gonad (TKG) di lapangan.

No. Ikan betina Ikan jantan

Pengisian ovarium dalam rongga tubuh

Warna ovarium

Halus tidaknya ovarium

Bentuk testes

Besar kecilnya testes

Pengisian testes dalam rongga tubuh

Warna testes

Keluar tidaknya cairan dari testes

Sumber : Effendi, 2002

(7)

Tabel 2 Skala tingkat kematangan gonad ikan

TKG Tingkat kematangan Deskripsi 1. Belum matang, dara

(Immature)

Ovari dan testis kecil, ukuran hingga ½ dari panjang rongga badan. Ovari berwarna kemerahan jernih (translucent), testis keputihan, dan butiran telur tidak nampak.

2. Perkembangan (Maturing)

Ovari dan testis sekitar ½ dari panjang rongga badan. Ovari merah-orange, translucent, testis putih, kira-kira simetris. Butiran telur tidak Nampak dengan mata telanjang.

3. Pematangan (Ripening)

Ovari dan testis sekitar 2/3 dari panjang rongga badan. Ovari kuning-orange, nampak butiran telur, testis putih kream. Ovari dengan pembuluh darah di permukaan. Belum ada telur-telur yang transparan atau translucent, telur masih gelap. 4. Matang, mature (Ripe) Ovari dan testis kira-kira 2/3 sampai memenuhi

rongga badan. Ovari berwarna orange-pink dengan pembuluh-pembuluh darah dipermukaannya. Terlihat telur-telur besar, transparan, telur-telur matang (ripe). Testis putih-kream, lunak.

5. Mijah, Salin (Spent) Ovari dan testis menyusut hingga ½ dari rongga badan. Dinding tebal, di dalam ovari mungkin masih tersisa telur-telur gelap dan matang yang mengalami desintegrasi akibat penyerapan, gelap atau translucent. Testis lembek.

Sumber : Effendi, 2002

(8)

Ikan yang mempuyai satu musim pemijahan panjang, akan ditandai dengan peningkatan prosentase TKG yang tinggi pada saat akan mendekati musim pemijahan. Bagi ikan yang mempunyai musim pemijahan sepanjang tahun, pada pengambilan contoh setiap saat akan didapatkan komposisi tingkat kematangan gonad (TKG) terdiri dari berbagai tingkat dengan prosentase yang tidak sama. Prosentase yang tinggi dari TKG yang besar merupakan puncak pemijahan walaupun pemijahan sepanjang tahun. Jadi dari komposisi TKG ini dapat diperoleh keterangan waktu mulai dan berakhirnya kejadian pemijahan dan puncaknya (Effendi, 2002).

TKG, dapat dikaitkan dengan ukuran ikan dan dapat mengarah kepada identifikasi panjang saat pertama matang gonad (length of first maturity). Informasi ini dapat dijadikan dasar pengaturan besarnya mata jaring. Besarnya mata jaring ditetapkan sedemikian rupa sehingga paling tidak ikan yang ditangkap sudah memijah, minimal satu kali memijah (Badrudin, 2004).

2.1.3 Habitat

Ikan layang di perairan Indonesia terdapat lima jenis layang yang umum yakni Decapterus kurroides, Decapterus russelli, Decapterus macrosoma, Decapterus layang, dan Decapterus maruadsi (FAO,1974). Penyebaran ikan layang ini sangat menyebar di daerah Perairan Indonesia, yaitu dari Pulau Seribu, P. bawean, P. Masalembo, Selat Makassar, Selat Karimata, Selat Malaka, Laut Flores, Arafuru, Selat Bali, dan Perairan Selatan Pulau Jawa. Decapterus kurroides termasuk jenis ikan layang yang agak langka yang terdapat di perairan Palabuhanratu, Labuhan, Muncar, Bali dan Aceh (Wiews et al., 1968 diacu dalam Genisa, 1988). Jenis ikan layang yang banyak di perairan Cisolok adalah jenis layang Decapterus Kurroides dan masyarakat sekitar perairan Cisolok menyebutnya ikan selayang.

(9)

ikan layang ini berada di kedalaman 100-300 m, dan biasanya berada di kedalaman 150-300 m, dan biasa berinteraksi di karang (Bleeker, 1855 diacu dalam Saanin, 1984).

Ikan layang merupakan jenis ikan yang hidup dalam air laut yang jernih dengan salinitas tinggi. Ikan layang bersifat stenohalin hidup di air laut yang bersalinitas tertentu yaitu antara 32-33%, sehingga dalam kehidupannya dipengaruhi oleh musim dan ikan ini selalu bermigrasi (Handenberg, 1937 diacu dalam Nontji, 2002).

2.1.4 Sebaran

Ikan layang tersebar diseluruh dunia. Mereka mendiami perairan tropis dan subtropis di Indo-Pasifik dan Lautan Atlantik. Meskipun ikan layang hidup di wilayah yang luas, setiap jenis mempunyai sebaran tertentu dan ada juga yang daerah sebarannya tumpang tindih satu sama lain. Dari berbagai jenis ikan layang di perairan Indonesia hanya Decapterus russelli yang mempunyai daerah sebaran yang luas. Ikan ini hampir tertangkap di seluruh perairan Indonesia dan di laut Jawa sangat dominan di dalam hasil tangkapan nelayan, mulai dari Pulau Seribu hingga Pulau Bawean dan Pulau Masa Lembu. Decapterus lajang senang hidup di perairan dangkal dan Decapterus macrosoma di laut Jaluk. Anggapan ini hanya berdasarkan data penangkapan. Decapterus lajang tertangkap di Laut Jawa, Selat Sunda, Selat Madura dan perairan laut dangkal, sedangkan Decapterus macrosoma tertangkap di Laut Jeluk seperti Pulau Banda, Ambon, Sangihe, dan Selat Bali. Decapterus kurroides tergolong ikan yang langka tetapi di Gilimanuk dan Bali Barat ikan ini cukup banyak tertangkap karena dijual dalam bentuk cue. Jenis ini tertangkap juga di Labuhan dan Palabuhanratu, Jawa Barat, dalam jumlah besar pada musim tertentu (Djamali, 1979).

2.1.5 Musim dan daerah penangkapan

(10)

Juli berukuran kecil. Pada pekan-pekan berikutnya ikan layang menjadi besar hingga mencapai ukuran 15 cm dan produksinya pun meningkat. Menurut (Mubarak, 1972) telah melakukan penelitian layang di perairan Tegal dan mendapatkan jenis Decapterus russelli sebanyak 88% dan Decapterus macrosoma 12%. Adapun Puncak musim penangkapan terjadi pada bulan April – Mei dan bulan Oktober-November. Produksi pada bulan Oktober-November lebih besar daripada bulan April-Mei.

Hardenberg (1937) diacu dalam Nontji (2002) mengatakan bahwa ruaya ikan layang di laut Jawa dan sekitarnya dengan arah gerakan ruayanya yang sejalan dengan gerakan arus utama yang berkembang di laut Jawa pada musim tersebut sebagai berikut :

1) Pada musim Timur : bulan Juni-September banyak ikan layang di Laut Jawa. Ikan layang ini adalah ikan layang Timur yang terdiri dari 2 populasi, yakni yang datang dari Selat Makassar dan yang datang dari laut Flores. Pada saat itu, dengan salinitas tinggi menyebar dari laut Flores masuk ke laut Jawa dan keluar melalui Selat Karimata dan Selat Sunda; dan

2) Pada musim Barat : bulan Januari-April. Pada musim ini terdapat 2 ( dua) populasi yang masuk ke Laut Jawa yaitu ikan layang barat dan ikan layang utara. Populasi layang Barat memijah di Samudera Hindia sampai ke Selatan Selat Sunda dan sekitarnya selanjutnya bermigrasi atau terbawa arus masuk ke Laut Jawa. Sementara itu populasi layang Utara memijah di Laut Cina Selatan, pada musim Barat sebagian bermigrasi ke Selatan melalui Selat Sunda masuk ke Laut Jawa dan sebagian lagi ke Timur sampai ke Pulau Bawean, Pulau Masalembo dan sebagian lagi membelok kearah Selatan Selat Bali. Pola ruaya ini sejalan dengan pola arus yang berkembang saat itu.

2.2 Jaring Rampus

2.2.1 Klasifikasi dan deskripsi

(11)

lagi berdasarkan jumlah lembar badan jaring dan berdasarkan pemasangan tali ris pada badan jaring.

1) Klasifikasi berdasarkan jumlah lembar badan jaring, jaring insang dibedakan ke dalam 3 jenis yaitu:

(1) Jaring insang satu lembar (Gillnet);

(2) Jaring insang dua lembar (semi tramel net / double gillnet); dan (3) Jaring insang tiga lembar (tramel net).

2) Klasifikasi berdasarkan pemasangan tali ris, jaring insang dapat dibagi lagi kedalam empat jenis yaitu:

(1) Pemasangan tali ris atas dan tali ris bawah disambungkan langsung dengan badan jaring;

(2) Pemasangan tali ris atas disambungkan langsung dengan badan jaring, sedangkan tali ris bawah disambungkan dengan badan jaring melalui tali penggantung (hanging twine);

(3) Pemasangan tali ris atas disambungkan dengan badan jaring melalui tali penggantung (hanging twine), sedangkan tali ris bawah disambungkan langsung dengan badan jaring; dan

(4) Pemasangan tali ris atas dan tali ris bawah disambungkan dengan badan jaring melalui penggantungan (hanging twine)

3) Klasifikasi berdasarkan metode pengoperasian

Berdasarkan metode pengoperasiannya, jaring insang diklasifikasikan kedalam lima jenis, yaitu:

(1) Jaring insang menetap (set gillnet); (2) Jaring insang hanyut (drift gillnet); (3) Jaring insang lingkar (encircling gillnet);

(4) Jaring insang giring (frightening gillnet / drive gillnet); dan (5) Jaring insang sapu (rowed gillnet).

(12)

mengoperasikannya. Pengoperasian dari jenis ini, ada yang dioperasikan dipermukaan, kolom perairan dengan cara diset atau dihanyutkan (Martasuganda, 2008).

Menurut Ayodhyoa (1981) jaring insang adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran mata yang sama pada seluruh tubuh jaring. Pada sisi atas jaring diletakkan pelampung (float) dan pemberat (sinker) pada sisi bawah. Jaring akan terentang akibat dua gaya yang berlawanan arah, yaitu

bouyancy force dari float yang mengarah ke atas dan sinking force dari sinker- ditambah dengan berat jaring yang mengarah ke bawah.

Sadhori (1985) menyebutkan bahwa gillnet bila diartikan secara harfiah berarti jaring insang. Gillnet disebut jaring insang karena ikan yang tertangkap oleh gillnet umumnya tersangkut pada tutup insangnya. Cara tertangkap ikan-ikan yang berukuran besar biasanya tergulung. Sementara jenis organisme air lainnya, seperti udang, kepiting dan lobster, tertangkap secara tersangkut pada bagian capit atau sungutnya.

Penamaan gillnet di Indonesia beraneka ragam. Ada yang menyebutnya berdasarkan jenis ikan yang tertangkap. Ada pula yang menyebutnya sesuai dengan posisi pemasangannya di dalam laut (Ayodhyoa, 1981). Jaring rampus merupakan salah satu nama lokal untuk gillnet di Palabuhanratu (Firmansyah, 1988; Ditjen Perikanan, 1994; Zarochman et al., 1996). Menurut Subani dan Barus (1989), jaring rampus dikelompokkan ke dalam jaring insang hanyut dasar atau bottom gillnet. Cara pengoperasiannya dengan cara dihanyutkan di dasar perairan.

2.2.2 Konstruksi jaring rampus

Bahan dan bagian jaring rampus, menurut (Sainsbury, 1971), terdiri dari badan jaring, tali ris atas, pelampung, tali ris bawah, pemberat dan tali selambar. 1) Badan jaring

(13)

terjerat untuk melepaskan diri. Warna benang disesuaikan dengan perairan untuk mengaburkan penglihatan ikan terhadap jaring rampus. Warna jaring yang biasa digunakan adalah transparan, coklat dan biru (Nomura dan Yamazaki, 1976). Pemakaian benang yang lebih lembut akan meningkatkan daya tangkap jaring rampus;

2) Tali ris atas

Tali ris atas terbagi 2, yaitu tali pelampung untuk menggantungkan pelampung dan tali jaring untuk menggantungkan jaring bagian atas. Arah pintalan kedua tali ini harus berbeda, yaitu arah S dan Z. Hal ini dimaksudkan agar tali ris atas tidak terbelit sewaktu jaring rampus dioperasikan. Bahan tali ris atas yang digunakan adalah nilon polyethylene multifilamen;

3) Pelampung

Pelampung biasanya terbuat dari berbagai bahan, seperti styrofoam, polyvinyl choloride, plastik atau karet. Jumlah pelampung yang digunakan tergantung pada panjang jaring yang dioperasikan. Pelampung berguna untuk kesempurnaan rentangan tubuh dan bentuk jaring selama operasi. Banyaknya pelampung erat hubungannya dengan daya apung (bouyancy), sedangkan daya apung sendiri dipengaruhi oleh bentuk pelampung dan jenis bahan yang digunakan. Adapun untuk menjaga kesempurnaan daya apung maka pelampung yang digunakan harus sejenis atau seragam, mempunyai specific gravity yang kecil dan mempunyai tahanan yang cukup terhadap air (Atmadja, 1980). Nukundan dan Narayanan (1975) diacu dalam Paryono, 1980) , mengemukakan bahwa pelampung yang biasa digunakan untuk alat penangkapan ikan dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :

(1) Low density material, misalnya kayu, bambu, cork, sponge plastik, dan thermocol;dan

(2) High density material, misalnya glass spheres, steel spheres, aluminium spheres dan polyethelene spheres.

4) Tali ris bawah

(14)

pilinan kedua tali ini juga harus berlawanan untuk menghindari jaring terbelit sewaktu dioperasikan. Pilinannya adalah S dan Z;

5) Pemberat

Pemberat pada jaring rampus berfungsi untuk memberi gaya berat pada jaring. Jumlah pemberat akan mempengaruhi kekenduran badan jaring. Bahan pemberat umumnya timah. Bahan lain yang terkadang digunakan adalah batu atau baja; dan

6) Tali selambar

Tali selambar adalah tali yang dipasang pada kedua ujung alat tangkap jaring rampus. Pada saat jaring dioperasikan, salah satu ujung tali selambar diikatkan pelampung tanda, sedangkan ujung lainnya diikatkan ke perahu. Panjang tali selambar sekitar 25-50 m, atau tergantung pada panjang jaring dan ukuran perahu yang yang digunakan.

2.2.3 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan penangkapan ikan dengan gillnet

Nomura dan Yamazaki (1976), menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan dengan efisiensi gillnet adalah material jaring, fleksibilitas benang, tekanan atau gaya-gaya yang bekerja pada benang, breaking strength, elongasi, warna jaring, mesh size dan hanging ratio. Hamley (1975) menyebutkan bahwa seleksi jaring insang tergantung dari sejumlah faktor selain ukuran mata jaring: yakni konstruksi jaring, visibilitas dan kerentangan jaring, bahan jaring dan bentuk serta tingkah laku ikan. Adapun Ayodhyoa (1981) mengatakan supaya ikan-ikan mudah terjerat pada mesh size atau terbelit pada tubuh jaring, maka bahan yang digunakan pada waktu pembuatan tubuh jaring hendaklah memperhatikan hal-hal seperti: kekuatan dari twine, ketegangan rentangan tubuh jaring, pengerutan jaring, tinggi jaring, mesh size dan ukuran besar ikan yang menjadi tujuan penangkapan.

1) Bahan Jaring

(15)

digunakan adalah yang terbuat dari syntetis. Beberapa jenis bahan jaring yang umum dan sesuai untuk pembuatan gillnet adalah polyamide, polypropylene, polyester, cotton dan silk (Bambang, 1975). Dewasa ini penggunaan bahan alami terdesak oleh bahan sintenis yang mempunyai sifat lebih baik dan lebih efisien penggunaan waktu dan tenaga. Adapun untuk mendapatkan twine yang lembut, ditempuh cara yang antara lain dengan memperkecil diameter twine ataupun jumlah pilin per-satuan panjang dikurangi, ataupun bahan-bahan celup pemberi warna ditiadakan. Bahan nylon dipilih sebagai bahan dasar gillnet karena memiliki karakteristik yang sesuai sebagai bahan dasar gillnet. Gillnet menangkap ikan dengan cara menjerat/ memuntal. Oleh karenanya diperlukan bahan yang terbuat dan memiliki daya lentur dan daya tahan putus yang tinggi. Sifat-sifat dari nylon menurut Soeprijono et al. (1975) diacu dalam Prasetyo, 2009) sebagai berikut:

(1) Kekuatan dan daya mulur

Nylon memiliki kekuatan dan daya mulur berkisar dari 8,8 gram/denier dan 18% sampai 4,3 gram/diener dan 45%. Kekuatan basahnya 80-90% kekuatan kering;

(2) Tahan gosokan dan tekukan

Nylon mempunyai tahan tekukan dan gosokan yang tinggi. Tahan gosokan nylon kira-kira 4 -5 kali tahan gosok wol; dan

(3)Elastisitas

Nylon selain mempunyai kemuluran yang tinggi (22%). Pada penarikan 8% nylon elastis 100%, dan pada penarikan sampai 16% nylon masih mempunyai elastisitas 91%.

2) Ketegangan rentangan tubuh jaring

(16)

Adapun sebaliknya bila jaring terlalu kendur maka ikan sulit untuk melakukan penetrasi ke dalam mata jaring (Ayodhyoa, 1981);

3) Shortening

Shortening mempengaruhi efisiensi penangkapan pada gillnet, karena merupakan faktor yang mempengaruhi bentuk mata jaring. Shortening yang dimaksud disini adalah selisih antara panjang jaring dalam keadaan mata jaring tertutup (stretch length) dengan panjang tali ris dibagi panjang jaring dalam keadaan mata jaring tertutup. Supaya ikan-ikan mudah terjerat (gilled) pada mata jaring dan juga supaya ikan-ikan tersebut setelah sekali terjerat pada jaring tidak akan mudah terlepas, maka pada jaring perlulah diberikan shortening yang cukup (Atmadja, 1980). Nomura dan Yamazaki (1976) mengatakan bahwa untuk gillnet yang ikannya tertangkap secara gilled maka nilai shortening bergerak sekitar 30-40% dan untuk yang tertangkapnya ikan secara entangle maka nilai shortening bergerak sekitar 35-60%;

4) Hanging ratio

Probabilitas dari seekor ikan dapat terjerat pada jaring diyakini tergantung dari apa yang dinamakan dengan hanging ratio.Hanging ratio didefinisikan perbandingan antara panjang tali ris atas dengan jumlah mata jaring dan ukuran mata jaring (Sparre dan Venema, 1999). Adapun untuk menangkap ikan diperlukan hanging ratio sebesar 30% sudah cukup, tetapi jika menginginkan ikan tertangkap secara entangled maka hanging ratio harus diantara 40-50% atau lebih, dan jika ikan tertangkap secara gilled dan entangled pada waktu bersamaan, maka hanging ratio harus dimiliki sebesar 40% (Nomura dan Yamazaki, 1976). Menurut Fridman (1988), hanging ratio dibagi menjadi dua, yaitu hanging ratio primer ( ) dan hanging ratio sekunder ( ). Hanging ratio primer ( ) adalah perbandingan panjang tergantung dari jaring pada tali rangka (L) dengan panjang jaring tersebut bila direntangkan penuh ( ) dengan rumus :

(17)

Hanging ratio sekunder adalah perbandingan tinggi (depth) tergantung (H) dari jaring dengan tinggi jaring bila diratik tegang ( ) dengan rumus:

E2 = H/H0 ; Untuk mencari dan menggunakan rumus :

L0 = 2 × ms × M = m1 × M dan H0 = 2 × ms × N = m1 × N; Dimana M adalah jumlah mata menurut panjang jaring, N jumlah menurut tingginya, ms adalah panjang kaki (bar) dan m1 panjang mata jaring. Hubungan antara dan adalah seperti rumus berikut :

E12 + E22 = 1;

(18)

Sumber : Prado (1990)

Gambar 1 Beberapa ukuran mata jaring dengan nilai hanging ratio berbeda.

5) Tinggi Jaring

Tinggi jaring merupakan jarak antara float line ke sinker line pada saat jaring tersebut terpasang di perairan. Hal ini tergantung pada swimming layer dari jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan, selain itu kondisi dari fishing ground perlu menjadi pertimbangan (Ayodhyoa, 1981). Ayodhyoa (1981) mengungkapkan bahwa penentuan tinggi jaring didasarkan antara lain atas lapisan renang ikan yang menjadi tujuan penangkapan dan kepadatan gerombolan ikan. Sementara panjang jaring tergantung pada situasi penangkapan, dan ukuran perahu. Jumlah lembar jaring yang dipergunakan akan menentukan besar kecilnya skala usaha, juga jumlah hasil tangkapan yang mungkin diperoleh;

6) Mesh size

Pemilihan mesh size merupakan faktor yang penting karena besar mesh size pada gillnet akan menentukan ukuran ikan yang tertangkap secara terjerat (Mori, 1968). Selanjutnya dikatakan pula terdapat kecenderungan bahwa mesh size tertentu hanya menjerat ikan-ikan yang mempunyai fork length dalam selang tertentu. Dengan perkataan lain, gillnet akan bersikap selektif terhadap besar ukuran dari hasil tangkapan yang diperoleh. Oleh karena itu diperlukan penentuan mesh size yang sesuai dengan keadaan daerah penangkapan, yaitu penyesuaian terhadap ukuran dan jenis ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan. Ukuran ikan yang tertangkap berhubungan erat

E = 0,4 E = 0,5 E = 0,71 E = 0,8

47° 60° 90°

(19)

dengan ukuran mata jaring. Semakin besar ukuran mata jaring, maka akan semakin bersar pula ikan yang tertangkap (Manalu 2003). Penetapan ukuran mata jaring dapat berdasarkan pada ukuran jenis ikan yang dominan tertangkap. Gillnet yang dioperasikan di Indonesia umumnya memiliki ukuran mata jaring yang berkisar antara 1,5”- 4”;

7) Warna jaring

Warna jaring di dalam air dipengaruhi oleh faktor-faktor kedalaman perairan, kecerahan, sinar matahari dan sinar bulan. Warna akan mempunyai perbedaan derajat terlihat oleh ikan-ikan yang berbeda. Pada waktu siang hari kemungkinan terlihatnya jaring oleh ikan akan lebih besar dibandingkan dengan pada waktu malam hari. Mori (1968) mangatakan bahwa warna jaring tidak boleh merangsang optik mata ikan. Maka dari itu warna jaring harus serupa dengan warna air, untuk mengurangi kemungkinan terlihatnya jaring;

8) Extra bouyancy

Extra bouyancy pada gillnet berbeda-berda tergantung jenisnya, seperti extra bouyancy gillnet permukaan berkisar antara 30-40 %, gillnet extra bouyancy pertengahan adalah 0 dan extra bouyancy gillnet dasar adalah negatif. Rumus dari gillnet extra bouyancy adalah :

EB (%) = ((TB – S )/TB )× 100%; Keterangan :

EB : Extra bouyancy (%); TB : Total bouyancy;dan S : Berat benda di air

Rumus untuk menghitung luas jaring adalah

; Keterangan :

L : Luas jaring (m2); E : Hanging ratio (%);

N : Jumlah mata jaring horizontal (mata); H : Jumlah mata jaring vertikal (mata); dan

(20)

Menghitung tinggi jaring menggunakan rumus :

; Keterangan :

H : Tinggi jaring; dan

t(m) : Tinggi jaring dalam keadaan tegang

Perhitungan jumlah mata 1) Vertikal

;

2) Horizontal

. Keterangan :

M : Mesh size;

Hm : Tinggi jaring terpasang; L : Panjang foatline; dan E : Shortening.

2.2.4 Metode pengoperasian

Nomura dan Yamazaki (1976) mengemukakan bahwa umumnya gillnet dioperasikan dalam rangkaian yang panjang hingga mencapai ribuan meter. Kadang kala dioperasikan secara terhanyut bersama-sama kapal atau ditetapkan kedudukan jaring dengan bantuan jangkar membentang sepanjang dasar perairan maupun pada kedalaman tertentu. Ikan yang menjadi tujuan penangkapannya ialah jenis-jenis yang bermigrasi horizontal dan vertikal (Ayodhyoa 1981). Menurut Miranti (2007) secara umum metode pengoperasian alat tangkap gillnet terdiri atas beberapa tahap, yaitu :

1) Persiapan yang dilakukan nelayan meliputi pemerikasaan alat tangkap, kondisi mesin, bahan bakar kapal, perbekalan, es dan tempat untuk menyimpan hasil tangkapan;

(21)

kondisi perairan seperti banyaknya gelembung-gelembung udara dipermukaan perairan, warna perairan, serta adanya burung-burung di atas perairan yang mengindikasikan adanya schooling ikan;

3) Pengoperasian alat tangkap yang terdiri atas pemasangan jaring (setting), perendaman jaring (soaking) dan pengangkatan jaring (hauling); dan

4) Tahap penanganan hasil tangkapan adalah pelepasan ikan hasil tangkapan dari jaring untuk kemudian disimpan pada suatu wadah atau tempat.

Pengoperasian jaring rampus pada umumnya sama dengan jaring insang lainnya yaitu terbagi atas setting dan hauling. Pada waktu setting dilakukan penurunan jangkar, tali pemberat, jaring, tali ris atas dan tali pelampung. Adapun ketika hauling dilakukan pengangkatan jangkar, tali ris atas, tali pemberat dan hasil tangkapan. Direktorat Jendral Perikanan (1994) mengungkapkan hal yang sama dengan urutan sebagai berikut:

1) Jaring diturunkan lembar demi lembar dengan memperhatikan arah arus dan angin;

2) Ujung tali pelampung lembar jaring pertama yang diturunkan kedalam air diberi tali berpelampung tanda dan ujung tali pemberatnya diberi pemberat batu;

3) Ujung tali pelampung lembar jaring terakhir diberi tali selambar berpelampung tanda dan ujung tali pemberatnya diberi pemberat batu;

4) Kapal labuh jangkar didekat lokasi penawuran atau mencari tempat lain yang aman;

5) Pengangkatan jaring dilakukan lembar demi lembar yang dimulai dengan lembar jaring yang paling dekat ke kapal sampai dengan lembar pertama yang diturunkan;

6) Pengambilan ikan yang terjerat pada mata jaring dilakukan bersamaan dengan pengangkatan jaring; dan

(22)

2.2.5 Musim dan daerah penangkapan jaring rampus

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengoperasian jaring rampus adalah waktu penangkapan, daerah penangkapan, dan jaring. Adapun fishing ground yang umum adalah daerah-daerah Teluk, pantai dan muara sungai (Ayodhyoa, 1981). Menurut Direktorat Jendral Perikanan (1994), jaring rampus dioperasikan pada perairan yang mempunyai substrat lumpur, pasir, atau pasir bercampur lumpur dengan kedalaman sekitar 50 m.

2.2.6 Hasil tangkapan

Menurut Direktorat Jendral Perikanan (1994), hasil tangkapan utama jaring rampus adalah jenis-jenis ikan demersal, dan selebihnya ikan-ikan pelagis kecil. Ikan demersal yang dominan antara lain adalah tiga jawa (Johnius spp.), gulamah (Pseudociana spp.), kuwe (Caranx spp.), layang (decapterus spp), dan kuro (Polynemus spp). Adapun ikan pelagis yang biasa tertangkap adalah selar bentong (Selaroides crumenopthalmus), japuh (Sardinella spp.), lemuru (Sardinella sirm), dan tenggiri (Scomberomerous spp.)

2.3 Kapal

(23)

besar biasanya menggunakan tenaga penggerak jenis mesin dalam (inboard engine) dan alat bantu roller untuk proses penarikan jaring.

Kapal motor tempel (outboard) adalah kapal dengan mesin yang dapat dipasang atau dilepaskan secara cepat yang digunakan untuk menangkap ikan dengan alat tangkap gillnet. Bentuk badan kapal gillnet pada bagian haluan “V”, bagian tengah berbentuk “U” dan bagian buritan cenderung mendatar (Agustina, 1996).

2.4 Nelayan

(24)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di bulan Maret hingga bulan April tahun 2011. Penelitian ini meliputi: pembuatan alat dan pengambilan data di Cisolok. Jaring rampus dibuat dengan hanging ratio 0,45, 0,57, dan 0,65 masing-masing sebanyak 2 lembar. Adapun pengambilan data di lapang berupa uji coba penangkapan ikan dilakukan selama 15 hari dimulai dari tanggal 7 April sampai dengan 21 April tahun 2011. Lokasi pengambilan data adalah di perairan Cisolok, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat (Lampiran 1). Lokasi penelitian tersebut diambil sebagai tempat penelitian karena merupakan salah satu dari kelima perairan di Indonesia yang menjadi wilayah sebaran ikan layang (Decapterus kurroides).

3.2 Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

1) Perahu dengan panjang (L), lebar (B) dan dalam (D) berturut-turut 11,8 m, 1 m dan 1 m;

2) Penggaris dengan panjang 60 cm dengan tingkat ketelitian 1mm;

3) Measuring board yang terbuat dari bahan steroform untuk mengukur panjang cagak ikan (ForkLength);

4) GPS (Global Positioning Sistem) untuk menentukan posisi penangkapan; 5) Alat tulis untuk mencatat hasil tangkapan;

6) Kamera dengan merk canon untuk mendokumentasikan seluruh hasil dan kegiatan penelitian;

7) Coban.

(25)

3.3 Metode Pengembalian Data 3.3.1 Jaring rampus yang digunakan

Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan jaring rampus yang memilikiki tiga ukuran hanging ratio yang berbeda. Ketiga ukuran hanging ratio tersebut adalah 0,45, 0,57 dan 0,65. Masing-masing jaring rampus dengan hanging ratio berbeda tersebut sebanyak 2 piece. Jaring rampus tersebut dioperasikan secara langsung di perairan Cisolok dengan menggunakan perahu nelayan untuk memperoleh data yang diinginkan. Jaring rampus yang digunakan untuk pengambilan data memiliki panjang tali pelampung (float line) 65 meter dan panjang tali pemberat (sinker line) 65 meter dengan ukuran mata jaring 2 inchi. Jaring rampus ini menggunakan pelampung yang terbuat dari Steroform dengan panjang 5 cm berbentuk balok dengan panjang 5 cm. Pemberat pada jaring ini adalah timah dengan berat 12 gram, panjang 2 cm dan diameter 5 mm. Secara umum spesifikasi jaring rampus yang digunakan pada penelitian bisa dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Spesifikasi jaring rampus yang digunakan dalam penelitian

(26)

Jaring rampus pada penelitian ini menggunakan simpul bendera baik untuk mengikat pelampung ataupun pemberat. Pelampung dipasang pada tali pelampung dan digabungkan dengan tali ris atas dengan menggunakan satu pola pemasangan. Dalam satu pola pemasangan pelampung terdapat 25 mata dan 2 buah pelampung dengan jarak tali ris atas 48 cm. Pelampung dipasang pada sisi awal dan akhir, disetiap pelampung ada 3 buah mata jaring dan 19 buah mata jaring di antara pelampung yang satu dengan yang lainnya. Adapun untuk satu pola pemasangan pemberat terdapat 6 buah pemberat dan 49 buah mata dengan jarak tali ris bawah 120 cm. Pada sisi pertama dipasang 2 buah pemberat tanpa jarak dengan masing-masing 2 buah mata jaring pada setiap pemberat, kemudian berurutan satu pemberat dengan jarak 28 cm dengan 9 buah mata jaring, satu pemberat dengan jarak 29 cm dan 10 buah mata jaring, satu pemberat dengan jarak 29 cm dengan 9 buah mata jaring dan terakhir satu pemberat dengan jarak 28 cm dan 9 buah mata jaring. Secara rinci pola pemasangan pelampung dan pemberat disajikan pada Gambar 2.

(27)

Secara rinci desain dan konstruksi jaring rampus dengan hanging ratio 0,45 disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Desain dan konstruksi jaring rampus dengan hanging ratio 0,45.

Pada saat uji coba penangkapan jaring rampus dengan hanging ratio berbeda dipasang secara berselang-seling. Hal ini dimaksudkan untuk memberi peluang yang sama pada ikan untuk tertangkap pada jaring rampus dengan hanging ratio yang berbeda. Metode pemasangan jaring rampus ketika di operasikan di perairan disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Pemasangan jaring rampus ketika di operasikan di perairan.

(28)

3.3.2 Pengukuran hasil tangkapan

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini dikelompokkan atas data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan meliputi jumlah, jenis, cara tertangkap dan ukuran hasil tangkapan. Untuk hasil tangkapan berupa udang dilakukan perhitungan jumlah, cara tertangkap dan pengukuran panjang kerapas (CL). Carapace length (panjang kerapas/CL) adalah jarak dari tulang kerapas kepala sampai dengan tulang ujung mata. Metode pengukuran panjang kerapas disajikan pada Gambar 5.

Sumber : Farmed (2009)

Gambar 5 Panjang kerapas pada udang.

Adapun untuk hasil tangkapan berupa ikan dilakukan perhitungan jumlah, jenis spesies, cara tertangkap dan pengukuran panjang total (TL), panjang cagak (FL) dan keliling operkulum (G). Panjang total adalah jarak antara ujung kepala yang terdepan (biasanya ujung rahang terdepan) dengan ujung sirip ekor yang paling belakang. Panjang cagak adalah jarak antara ujung kepala yang terdepan dengan lekuk cabang sirip ekor. Keliling operkulum adalah jarak antara kedua operkulum pada kedua sisi kepala. Metode pengukuran panjang total (TL) dan panjang cagak (FL) disajikan pada Gambar 6.

(29)

TL FL

Sumber : Brojo dan setiawan (2004)

Gambar 6 Panjang total dan panjang cagak pada ikan.

Cara tertangkapnya hasil tangkapan dibedakan menjadi 4 yakni snagged, gilled, wedged dan entangled. Snagged yaitu di mana mata jaring mengelilingi ikan tepat dibelakang mata, gilled yaitu di mana mata jaring mengelilingi ikan tepat di belakang tutup insang, wedged yaitu di mana mata jaring mengelilingi badan sejauh sirip punggung dan entangled adalah bila ikan terjerat di jaring melalui gigi, tulang rahang, sirip atau bagian tubuh yang menonjol lainnya, tanpa masuk kedalam mata jaring (Per Spare and Venema 1985). Adapun gambaran mempunyai cara tertangkapnya ikan layang pada gillnet disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Cara tertangkap ikan pada jaring.

Data sekunder yang dikumpulkan meliputi produksi, jumlah unit penangkapan dan kondisi geografis lokasi penelitian. Data tersebut di peroleh dari Dinas Perikanan Kebupaten Sukabumi.

Entanggle

Wedged Gilled

(30)

3.4 Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Secara sistematis model RAL menurut Gasperz (1991) adalah sebagai berikut :

Yij = µ + τi+ E ij Keterangan :

Yij : Data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke- j; µ : Nilai rataan;

τ1 : Pengaruh perlakuan ke-i; dan

ɛ

: Sisaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke- j.

Asumsi yang digunakan untuk RAL adalah:

1)

ɛ

i menyebar normal dengan nilai tengah dan ragam kuadrat mendekati nol; 2)

ɛ

j bersifat bebas satu sama lain; dan

3) t bersifat tetap.

Hipotesis yang akan diuji melaui model analisis ini adalah

H0 : t1 : t2 ...t10 = 0; berarti tidak ada pengaruh perlakuan hanging ratio terhadap jumlah hasil tangkapan ikan layang; dan

H1 : minimal ada satu t1 ≠ 0 (I = 1, 2, 3, ..., 10), artinya minimal ada satu perlakuan hanging ratio yang mempengaruhi jumlah hasil tangkapan ikan layang.

Kesimpulannya adalah bila Fhit > Ftab maka tolak H0 tetapi jika Fhit < Ftab maka gagal tolak H0. Beberapa keuntungan dari penggunaan Rancangan Acak Lengkap yaitu :

1) Daerah rancangan percobaan menjadi lebih mudah; 2) Analisis statistik terhadap subjek percobaan lebih mudah;

3) Fleksibel dalam penggunaan jumlah perlakuan dan jumlah ulangan; dan 4) Kehilangan informasi relatif sedikit dalam hal data hilang dibandingkan

rancangan lain.

3.5 Analisis Data

(31)

Apabila data menyebar normal maka data mengenai hasil tangkapan, jumlah maupun ukuran ikan layang yang tertangkap pada jaring rampus dengan hanging ratio yang berbeda diuji dengan uji ANOVA.

Apabila hasil uji ANOVA terhadap hasil tangkapan jaring rampus dengan perlakuan yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda maka dilakukan uji lanjut BNT. Uji BNT merupakan prosedur pengujian perbedaan diantara rata-rata perlakuan yang paling sederhana dan paling umum digunakan. Metode ini diperkenalkan oleh Fisher (1935), sehingga dikenal pula dengan Metoda Fisher’s LSD (Least Significant Difference).

Formula untuk menghitung nilai LSD adalah sebagai berikut:

LSD = = ;

Apabila jumlah ulangan tidak sama :

LSD = .

Keterangan r : Jumlah banyaknya ulangan

KTG : Kuadrat Tengah Galat yang diperoleh dari analisis ragam; α : Taraf nyata;

dfe : Derajat bebas galat; dan

t : Nilai yang diperoleh dari tabel t-student.

Dalam uji LSD, untuk menilai apakah dua nilai rata-rata perlakuan berbeda secara statistik, maka bandingkan nilai LSD yang telah dihitung dengan selisih mutlak kedua rata-rata tersebut. Apabila selisih lebih besar dibandingkan dengan nilai LSD, maka dikatakan kedua rata-rata tersebut berbeda nyata pada

taraf α. Secara sistematis, pernyataan tersebut dapat diringkas;

(32)

untuk melihat selektivitas jaring rampus dengan perbedaan hanging ratio terhadap spesies hasil tangkapan. Jaring rampus akan memiliki selektivitas terhadap spesies yang relatif baik apabila memiliki nilai indeks Shannon Wiener yang lebih kecil dibandingkan dengan jaring rampus lainnya. Rumus untuk mencari keragaman spesies menggunakan indeks Shannon Wiener adalah sebagai berikut (Krebs, 1989) :

;

Keterangan :

H’ : Index diversitas Shannon Wiener;

Pi : Proporsi jumlah individu jenis ke-i dengan jumlah individu total contoh; dan

S : Jumlah spesies.

Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan keanekaragaman Shannon Wiener, yaitu :

H’ < 2,30 : Keanekaragaman kecil;

(33)

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Batas-batas Administrasi Kecamatan Cisolok

Pangkalan Pendaratan Ikan Cisolok berada di Desa Cikahuripan Kecamatan Cisolok. Kecamatan Cisolok merupakan kecamatan pesisir yang berada di ujung Barat Kabupaten Sukabumi. Luas Kecamatan Cisolok mencapai 16.987 ha yang terdiri dari 10 desa. Adapun batas wilayah administratif kecamatan Cisolok adalah

1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kabandungan; 2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia; 3) Sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Banten; dan 4) Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Cikakak.

4.2 Letak dan Keadaan Geografis

Teluk Palabuhanratu terletak di desa Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak pada 6°97’-7°3’ LS dan 106°59’-106°62’ BT dengan luas wilayah kecamatan Palabuhanratu adalah 10.288 Ha dan ketinggian 0-50 meter dari permukaan air laut.

Palabuhanratu memiliki dua musim yang sangat mempengaruhi operasi panangkapan ikan, yaitu adanya musim Barat pada bulan Desember hingga Februari dan musim Timur pada bulan Juni hingga Agustus (Nuraini et.al., 1992). Pada musim Barat sering kali terjadi hujan dengan angin yang sangat kencang disertai ombak yang besar. Menurut Hendrotomo (1989), pada saat itu umumnya kapal nelayan di Palabuhanratu yang berukuran kecil jarang pergi melaut, namun terdapat beberapa jenis kapal terutama kapal diesel, misalnya rawai cucut, pada musim ini tetap pergi ke laut. Pada musim Timur jarang turun hujan dan keadaan laut biasanya tenang. Hal ini memungkinkan nelayan turun ke laut dan biasanya pada musim ini merupakan puncak banyak ikan.

(34)

terhalang oleh tanjung sehingga mengakibatkan terjadinya gelombang yang besar dan hujan lebat (Dharmayati, 1989)

Wyrtki (1961) menyatakan bahwa keadaan angin di Palabuhanratu bersesuaian dengan sifat laut. Kecetapatan angin tercatat sebesar 1-7,5 meter/detik selama bulan September sampai Desember dan bergerak kearah Barat. Menurut Uktolseja (1973), pada bulan September kecepatan angin di perairan Lepas Pantai Palabuhanratu berkisar antara 5-7 meter/detik dengan arah yang sama.

Jumlah curah hujan di Palabuahanratu berkisar antara 1.500-3.000 mm dalam satu tahun. Curah hujan rata-rata selama sepuluh tahun terakhir 2.266 mm, dengan hari hujan rata-rata 196 hari dan kelembaban relatif udara sekitar 88% (Nuraini et.al., 1992)

4.3 Unit Penangkapan Ikan

Unit penangkapan ikan adalah satu kesatuan teknis dalam melakukan operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal/perahu, alat tangkap dan nelayan.

4.3.1 Perahu

Perahu digunakan oleh nelayan untuk mempermudah penangkapan dan merupaakan transportasi nelayan ke daerah penangkapan ikan. Jenis perahu yang terdapat di Cisolok adalah perahu motor tempel.

Perahu motor tempel adalah kapal atau perahu yang pengoperasiannya menggunakan mesin motor (inboard engine) yang biasanya digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap dengan perikanan skala kecil.

(35)

unit pada tahun 2010. Sebaliknya untuk kapal motor terus mengalami peningkatan secara bertahap pada tahun 2005 jumlah perahu motor 229 unit. Jumlah ini meningkat 114,4% menjadi 491 unit pada tahun 2010. Secara detail Perkembangan jumlah perahu motor tempel dan kapal motor disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Perkembangan jumlah perahu motor tempel dan kapal motor tahun 2005- 2010 / unit

Tahun Perahu motor tempel Kapal motor Jumlah

2005 428 229 657

2006 511 270 781

2007 531 321 852

2008 416 230 646

2009 364 394 758

2010 346 491 837

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, 2011

4.3.2 Alat tangkap

Jumlah alat tangkap di PPN Palabuhanratu dibedakan atas perahu motor tempel dan kapal motor. Pada tahun 2005 jumlah alat tangkap mengalami kenaikan secara bertahap pada tahun 2005 jumlah alat tangkap sebanyak 637 unit. Jumlah ini meningkat 693,9% menjadi 6.478 unit. Secara detail jumlah alat tangkap di Kabupaten Sukabumi disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah alat tangkap di Kabupaten Sukabumi (unit)

Tahun Jumlah alat tangkap

2005 825

2006 923

2007 2.949

2008 2.872

2009 6.575

2010 6.478

(36)

Alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan PPI Cisolok, hanya 3 jenis alat tangkap yang dioperasikan setiap tahunnya yaitu payang, pancing layur dan jaring rampus. Kebiasaan dari nelayan di PPI Cisolok yaitu nelayannya tidak hanya mempunyai 1 jenis alat tangkap melainkan memiliki beberapa karena disesuaikan dengan musim ikan.

1) Payang (1) Deskripsi

Payang adalah alat penangkap ikan yang sudah lama dikenal dan digunakan oleh nelayan Indonesia. Alat tangkap ini termasuk ke dalam kelompok pukat kantong (sene net) atau lebih dikenal dengan nama danish seine. Adapun alat tangkap ini terdiri dari tiga bagian utama yaitu sayap, badan dan kantong (Subani dan Barus, 1989).

Payang dioperasikan di permukaan dengan tujuan untuk menangkap ikan-ikan pelagis. Pada penggoperasiannya, alat tangkap ini dioperasikan-ikan dengan melingkari kawanan ikan kemudian jaring ditarik ke atas geladak kapal (Subani dan Barus, 1989). Pengoperasian payang dilakukan baik pada siang hari maupun pada malam hari. Adapun alat tangkap payang di kawasan PPI Cisolok hanya dioperasikan di dalam Teluk Palabuhanratu pada pagi hari sampai dengan sore hari. Alat tangkap payang yang dioperasikan di perairan Cisolok disajikan pada Gambar 8.

(37)

(2) Konstruksi

Payang termasuk ke dalam alat tangkap pukat kantong yang mempunyai tiga bagian besar yaitu sayap, badan dan kantong. Adapun bagian-bagian alat tangkap payang secara lebih rinci terdiri atas dua sayap, badan jaring, kantong, pelampung, pemberat, dua tali ris, dan tali selambar. Konstruksi payang dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Konstruksi payang.

(a) Sayap

(38)

Gambar 10 Sayap payang yang dioperasikan di Cisolok.

(b) Badan

Ikan-ikan yang telah dikelilingi oleh jaring kemudian diarahkan oleh nelayan agar masuk ke badan jaring. Material jaring yang digunakan pada bagian badan sama dengan material jaring pada bagian sayap PA (Polyamide) dengan ukuran mesh size 20-25 cm. Panjang badan bagian atas lebih pendek dibandingkan dengan badan jaring bagian bawah. Hal ini bertujuan agar ikan-ikan pelagis tidak dapat meloloskan diri melalui bagian bawah payang. Panjang bagian jaring bagian atas sebesar 10 m sedangkan panjang bagian bawah sebesar 30 m. Fungsi dari bagian badan jaring yaitu untuk mengarahkan gerak geromboan ikan ke arah kantong;

(c) Kantong

Kantong merupakan bagian paling akhir atau ujung pada alat tangkap payang. Kantong ini berfungsi sebagai tempat berkumpulnya hasil tangkapan. Material jaring yang digunakan pada bagian kantong terbuat dari bahan PA (Polyamide). Kantong pada payang memiliki panjang 20 m dengan ukuran mesh size yang berurutan mengecil mulai dari 2-10 cm. Ukuran mata jaring yang semakin mengecil ini bertujuan agar ikan-ikan tertangkap dan tidak dapat meloloskan diri dari kantong;

(d) Pelampung

(39)

ukuran 30 liter. Pelampung ini diletakan di tengah bibir jaring bagian atas. Pada ujung tali selambar yang pertama kali diturunkan, terdapat pelampung tanda yang terbuat dari plastik berbentuk bola berdiameter sekitar 30-50 cm. Pelampung payang yang dioperasikan di Cisolok disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11 Pelampung payang yang dioperasikan di Cisolok.

(e) Pemberat

Pemberat digunakan bersama pelampung menentukan keragaan bukaan mulut jaring saat dioperasikan. Pemberat yang digunakan terbuat dari bahan timah. Jumlah pemberat yang digunakan pada satu unit payang yaitu sekitar 20-35 buah dengan bobot 1 kg tiap pemberat;

(f) Tali ris

Tali ris pada payang terletak pada bagian sayap. Tali ris ini terbagi menjadi dua jenis yaitu tali ris atas dan tali ris bawah. Tali ris atas berfungsi sebagai tempat memasang pelampung sedangkan tali ris bawah berfungsi sebagai tempat pemberat. Baik tali ris atas maupun tali ris bawah terbuat dari bahan PE multifilament dengan diameter tali ris atas 3-4 mm dan tali ris bawah 5-6 mm. Panjang tali ris atas yaitu 300-400 m sedangkan panjang tali ris bawah yaitu 250-350 m. Perbedaan panjang tali ini mengakibatkan jaring bagian atas lebih menjorok ke belakang. Hal tersebut karena tingkah laku ikan pelagis yang merupakan target penangkapan yaitu akan berenang ke arah bawah jika terhalang atau terkurung; dan

(g) Tali selambar

(40)

tali selambar di sayap kanan dan kiri payang berbeda. Panjang tali selambar yang digunakan mencapai 200 m. Tali ini berfungsi sebagai tali penarik payang ke atas kapal. Tali selambar payang yang dioperasikan di Cisolok disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Tali selambar payang yang dioperasikan di Cisolok.

(3) Perahu

Perahu yang digunakan untuk mengoperasian payang terbuat dari bahan kayu dengan dimensi L x B x D yaitu 9-12 x 2,5-3,5 x 1,8-2,5 meter. Perahu yang digunakan pada pengoperasian payang biasanya berupa perahu motor tempel yang menggunakan mesin dengan merk Yamaha. Mesin ini memiliki umur teknis ± 5 tahun dengan kekuatan mesin sebesar 40 PK. Pengoperasin perahu dilakukan secara one day fishing yaitu pergi pada pagi hari yaitu pada pukul 06.00 dan kembali pada siang atau sore hari yaitu pada pukul 17.00 tergantung ikan hasil tangkapan. Jika ikan hasil tangkapan banyak dan palkah sudah penuh, maka akan kembali lebih awal. Jika ikan hasil tangkapan tidak ada maka akan kembali pada pukul 17.00. Perahu payang yang dioperasikan di Cisolok disajikan pada Gambar 13.

(41)

(4) Nelayan

Mayoritas nelayan yang ada di kawasan PPI Cisolok adalah penduduk asli setempat dan sebagian kecil merupakan nelayan pendatang yang berasal dari sekitar kabupaten Sukabumi. Nelayan payang pada umumnya merupakan penduduk asli yang menjadikan usaha penangkapan ikan sebagai pekerjaan utama atau termasuk ke dalam klasifikasi nelayan penuh. Adapun nelayan yang mengoperasikan payang di kawasan PPI Cisolok berjumlah 15-20 orang nelayan.

Anak buah kapal (ABK) payang memiliki peran dan tugas masing-masing, yaitu :

(a) Juru mudi, bertugas memegang kemudi perahu menuju maupun kembali dari fishing ground;

(b) Pengawas (fishing master), bertugas mencari gerombolan ikan dan menentukan arah operasi penangkapan ikan;

(c) Petawur, bertugas untuk menurunkan jaring;

(d) Juru batu, bertugas untuk menurunkan pemberat; dan

(e) Anak payang, bertugas untuk berenang menakut-nakuti dan menggiring ikan ke arah mulut jaring.

Walaupun memiliki peran dan tugas masing-masing, semua nelayan yang ada di atas perahu selain juru mudi membantu dalam proses penarikan jaring.

(5) Metode pengoperasian

(42)

tanda-tanda keberadan gerombolan ikan seperti adanya riak-riak di permukaan. Keahlian ini diperoleh dari kebiasaan fisihing master dalam melakuakan mencarian fishing ground. Pada proses ini kecakapan seorang fishing master sangatlah menentukan keberhasilan penangkapan.

Pada saat geromolan ikan ditemukan, fishing master akan menginstruksikan kepada juru mudi agar mendekati gerombolan ikan tersebut agar proses pemasangan jaring (setting) dilakukan. Pemasangan jaring dilakukan dengan melingkari gerombolan ikan dimulai dengan menurunkan pelampung tanda, pelampung yang berupa bambu, tali selambar, badan jaring, dan pemberat. Ujung tali selambar yang satunya tetap berada di perahu. Proses melingkari gorombolan ikan ini memerlukan waktu 20 menit.

Proses berikutnya adalah penarikan jaring. Proses ini dilakukan dengan secepat mungkin. Hal ini dilakukan untuk memperkecil kemungkinan lolosnya ikan yang akan ditangkap. Adapun tahap penarikan jaring umumnya menghabiskan waktu selama 30 menit. Proses penarikan dilakukan oleh ABK. Pembagian tugas adalah sebagai berikut, ada yang bertugas untuk merapihkan pelampung, pemberat dan badan jaring payang. Bagian kantong adalah proses penarikan yang terakhir. Penarikan jaring payang yang dioperasikan di Cisolok disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14 Penarikan jaring payang yang dioperasikan di Cisolok.

(43)

proses pelepasan selesai, kantong jaring diikat kembali dan dipersiapkan kembali untuk setting selanjutnya. Jika hasil tangkapan yang didapatkan kurang memuaskan, maka proses setting umumnya dilakukan sebanyak 8-10 kali dalam satu kali operasi penangkapan jaring payang.

(6) Hasil tangkapan

Jaring payang merupakan alat tangkap yang dioperasikan di permukaan perairan. Adapun target tangkapan jaring payang berupa ikan-ikan pelagis. Hasil Tangkapan dari payang adalah pepetek (Leioghnatus spp.), kembung (Rastrelliger sp.), tongkol komo (Euthynnus affinis). Pada waktu-waktu tertentu hasil tangkapan payang berupa ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan madidihang (Thunnus albacares) juga tertangkap.

(h) Pancing layur (1) Deskripsi

Pancing layur merupakan suatu pancing yang terdiri dari tali utama (main line) dan tali cabang (branch line). Tali cabang terletak di sepanjang tali utama secara berderet dengan jarak tertentu. Pada bagian ujung tali cabang terpasang mata pancing. Panjang tali utama berbanding lurus dengan banyaknya mata pancing yang digunakan. Panjang tali utama bila direntangkan secara lurus dapat mencapai ratusan meter hinnga puluhan kilometer (Subani dan Barus, 1989). Pancing layur menurut Brandt (1984) dikalisifikasikan ke dalam jenis alat tangkap pancing. Pancing layur yang dioperasikan di Cisolok disajikan pada Gambar 15.

(44)

(2) Konstruksi

Konstruksi dari pancing layur vertikal yang biasa digunakan untuk menangkap ikan layur di Cisolok yaitu terdiri dari beberapa bagian. Pancing rawai layur terdiri dari tali utama (main line), tali cabang (branch line), mata pancing (hook), pemberat, kili-kili (swivel), tali untang dan penggulung. Secara detail konstruksi dari pancing layur disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16 Konstruksi pancing layur.

(a) Tali utama (main line)

Tali utama pada pancing layur yang digunakan terbuat dari bahan monofilament nylon bernomor 1000 dengan diameter 100-200 m. Tali utama

2 m

2 m

Kawat barlen 15 cm

Branch line (PA monofilamen no 500) Panjang 1,3 m

2 cm

Penggulung (reel)

Main line (PA monofilamen No.800)

2 m

2 m

(45)

berfungsi sebagai tempat terkaitnya tali cabang dimana mata pancing dipasang. Panjang tali secara keseluruhan sekitar 250 m;

(b) Tali cabang (branch line)

Tali cabang (branch line) merupakan tali tambahan yang disapang pada tali utama. Tali cabang terbuat dari bahan PA monofilament dengan warna transparan. Panjang tali cabang 1,5 m. Tali cabang dipasang secara berderet dengan jarak 2,5 m. Pemasangan tali cabang pada tali utama menggunakan simpul. Pada tali cabang dipasang mata pancing;

(c) Mata pancing

Mata pancing berfungsi sebagai tempat memasang umpan sekaligus tempat terkaitnya ikan. Mata pancing pada pancing layur terbuat dari bahan stainless steel. Jenis mata pancing dengan bahan stainless steel ini digunakan nelayan karena harganya yang relatif murah dan cukup tahan lama. Adapun ukuran mata pancing yang biasa nelayan Cisolok gunakan adalah nomor 7 sampai 10. Jumlah mata pancing pada tiap tali cabang hanya satu sedangkkan satu tali utama terdapat 100 buah mata pancing;

(d) Pemberat (sinker)

Pemberat pada pancing layur ini biasanya terbuat dari timah ataupun dari batu. Pemberat ini diikatkan pada tali untang yang terletak diantara swivel pertama dan swivel kedua. Pemberat ini berfungsi agar tali utama tetap kebawah walaupun arus kencang;

(e) Kili-kili (swivel)

Kili-kili digunakan agar tali pancing tidak terbelit dan menjadi kaku akibat arus ataupun gerakan ikan pada saat meloloskan diri. Dua buah swivel dipasang dalam satu unit pancing layur yaitu pada ujung tali utama dan pada pangkal tali cabang.;

(f) Tali untang atau kawat barlen

(46)

(g) Penggulung (reel)

Penggulung berfungsi untuk memudahkan pengoperasian pancing. Terbuat dari kayu atau plastik, berbentuk seperti roda dengan ukuran tertentu tergantung panjang tali pancing (Nurhayati, 2006). Penggulung pancing layur dioperasikan di Cisolok disajikan pada Gambar 17.

Gambar 17 Penggulung pancing layur yang dioperasikan di Cisolok.

(3) Perahu

Perahu yang digunakan pada penggoperasian pancing layur di Cisolok yaitu perahu congkreng yang sudah dilengkapi dengan motor tempel bermesin diesel dengan kekuatan 5-25 PK. Dimensi dari perahu tersebut yaitu : panjang (P) berkisar 6-13 meter, lebar (L) 1-3 meter dan tinggi (D) 0,8-3 meter. Perahu ini juga dilengkapi dengan alat penyeimbang pada kedua sisinya yang disebut kincang. Kincang tersebut terbuat dari bambu dengan panjang sekisar 7 meter (Nurhayati, 2006). Perahu pancing layur yang dioperasikan di Cisolok disajikan pada Gambar 18.

(47)

Perahu pancing layur dilengkapi juga dengan alat bantu untuk menunjang operasi penangkapan yaitu :

(a) Lampu tekan / petromaks

Petromaks digunakan sebagai penerangan pada saat pengoperaian pancing layur dilakukan pada malam hari; dan

(b) Cool box

Cool box digunakan untuk menyimpan ikan layur hasil tangkapan agar tersusun rapi dan tidak rusak. Ikan layur yang telah tersusun dalam Cool box kemudian diberi es curah untuk menjaga kesegarannya.

(4) Nelayan

Nelayan yang mengoperasikan pancing layur dengan menggunakan perahu congkreng sebanyak 1-3 orang per unit penangkapan. Satu orang bertugas mengemudikan perahu sekaligus memancing dan yang lainnya sebagai pemancing dan mempersiapkan keperluan sebelum setting, seperti memasang umpan. Satu orang nelayan dalam sekali setting dapat mengoperasikan beberapa pancing sekaligus tergantung dari kemahiran masing-masing nelayan.

(5) Metode pengoperasian (a) Persiapan

Pada tahap ini dilakukan pemasangan motor tempel pada perahu, pemasangan alat pancing, bahan bakar, lampu petromaks, penyediaan umpan dan bekal makanan selama operasi berlangsung. Setelah semua persiapan selesai maka siap berangkat menuju fishing ground. Biasanya nelayan berangkat ke fishing ground sekitar pukul 15.00-17.00 WIB tergantung jarak fishing ground dan keadaan cuaca;

(b) Pemilihan fishing ground

(48)

nelayan pancing layur yang berukuran kecil dan tidak memungkinkan untuk melakukan penangkapan di luar Taluk Palabuhanratu; dan

(c) Operasi panangkapan

Operasi panangkapan biasanya dilakukan saat hari mulai gelap. Setelah mendapatkan lokasi yang tepat, nelayan mulai memotong umpan dan setelah itu umpan dipasang pada mata pancing kemudian rawai pancing layur mulai diturunkan. Setelah dibiarkan selama beberapa menit, kemudian pancing diangkat dan nelayan mulai melepaskan hasil tangkapan satu-persatu. Ikan layur hasil tangkapan tersebut kemudian disimpan dalam cool box dan sebagian digunakan untuk umpan setting berikutnya. Setelah operasi penangkapan selesai, nelayan kembali pulang ke tempat awal berangkat.

(6) Hasil tangkapan

Ikan hasil tangkapan pancing layur ini adalah ikan layur (Trichiurus sp), barrakuda (Sphyraena jello) dan ikan layang (Decapterus kurroides). Ikan hasil tangkapan yang didapat tidak semuanya di jual akan tetapi ada juga yang dijadikan umpan dan dikonsumsi sendiri oleh nelayannya.

3) Jaring rampus (1) Deskripsi

(49)

(2) Konstruksi

Bagian-bagian dari jaring rampus terdiri atas badan jaring, tali ris atas, tali ris bawah, tali pelampung, pelampung, tali pemberat dan pemberat. Desain dan konstruksi dari jaring rampus ditunjukkan pada Gambar 19 dan 20.

Gambar 19 Desain jaring rampus.

Gambar 20 Konstruksi jaring rampus.

(a) Badan jaring

Badan jaring merupakan bagian yang berfungsi untuk menghadang ikan secara vertikal. Bahan yang digunakan adalah PA (Plyamide) monofilament berwarna putih transparan dengan ukuran jaring dengan keadaan terpasang per piece sebesar 56 x 4,8 meter. Ukuran mata jaringnya adalah 2 inch. Jaring rampus pada tiap piecenya memiliki jumlah mata 1934 mata pada arah

2442 ◊

75 ◊ PA Monofilamen : 2 inchi 75 ◊

2442 ◊

56 PE Ø 5

56 PE Ø 5

56 PE Ø 5

56 PE Ø 3

Tali pelampung Pelampung

Badan Tali ris atas

Tali ris bawah

(50)

horizontal dan 75 mata pada arah vertikal. Panjang badan jaring dalam keadaan terentang adalah 98,25 m sedangkan dalam keadaan terpasang adalah 56 m. Hanging ratio dari jaring rampus ini adalah 0,57. Badan jaring yang digunakan pada jaring rampus di Cisolok disajikan pada Gambar 21.

Gambar 21 Badan jaring rampus yang digunakan di Cisolok.

(b) Pelampung

Pelampung pada jaring rampus terbuat dari bahan styrofoam dengan berbentuk balok dengan panjang 4 cm dan lebar 2,5 m. Jumlah pelampung dalam satu piece sebanyak 107 buah dengan jarak antar pelampung 48 cm. Pelampung yang digunakan pada jaring rampus di Cisolok disajikan pada Gambar 22.

Gambar 22 Pelampung jaring rampus yang digunakan di Cisolok.

(c) Pemberat

(51)

menjaga kedudukan jaring agar tetap di posisinya. Hal itu menjadi penting karena pengaruh arus yang dapat menggeser kedudukan jaring dari tempat semula, dan biasa mengubah kedudukan jaring dalam menghadang ikan; Jangkar biasanya digunakan pada awal setting piece pertama dan satu jangkar lagi pada piece terakhir. Jangkar terbuat dari kayu dengan panjang 1 m dengan diameter 5 cm dan pada bagian atasnya disambungkan kayu yang berbentuk seperti mata kail pancing serta pada bagian bawahnya diikatkan beton yang terbuat dari campuran semen dan batu dengan berat 5 kg. Pemberat yang digunakan pada jaring rampus di Cisolok disajikan pada Gambar 23.

Gambar 23 Pemberat jaring rampus yang digunakan di Cisolok.

(d) Tali ris

(52)

Gambar 24 Tali ris jaring rampus yang digunakan di Cisolok.

(3) Perahu

Perahu yang digunakan dalam pengoperasian jaring rampus yaitu jenis jukung yang terbuat dari bahan fiber dan dilengkapi dengan katir. Perahu ini memiliki dimensi ukuran L x B x D : 11 x 1 x 0,8 meter. Perahu ini menggunakan mesin tempel dengan kekuatan 5 PK dengan merk yamaha. Perahu ini dilengkapi dengan katir di sebelah kanan dan kiri Perahu. Katir berfungsi sebagai penyeimbang atau mengurangi efek gerakan oleng perahu, sehingga memudahkan nelayan dalam mengoperasikan perahu dalam operasi penangkapan ikan. Perahu yang digunakan pada jaring rampus di Cisolok disajikan pada Gambar 25.

Gambar 25 Perahu jaring rampus yang digunakan di Cisolok.

(4) Nelayan

Gambar

Gambar 8  Alat tangkap payang yang dioperasikan di Cisolok.
Gambar 9  Konstruksi payang.
Gambar 17  Penggulung pancing layur yang dioperasikan di Cisolok.
Gambar 19  Desain jaring rampus.
+7

Referensi

Dokumen terkait