• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Jaring Rampus

2.2.2 Konstruksi jaring rampus

Bahan dan bagian jaring rampus, menurut (Sainsbury, 1971), terdiri dari badan jaring, tali ris atas, pelampung, tali ris bawah, pemberat dan tali selambar. 1) Badan jaring

Badan jaring merupakan susunan dari mata jaring yang memiliki ukuran yang homogen. Badan jaring umumnya dibuat dari bahan sintetis seperti nylon, amilon. Bahan sintetis sengaja digunakan karena bersifat fleksibel dan kekuatan putus yang cukup tinggi, sehingga menyulitkan ikan yang sudah

terjerat untuk melepaskan diri. Warna benang disesuaikan dengan perairan untuk mengaburkan penglihatan ikan terhadap jaring rampus. Warna jaring yang biasa digunakan adalah transparan, coklat dan biru (Nomura dan Yamazaki, 1976). Pemakaian benang yang lebih lembut akan meningkatkan daya tangkap jaring rampus;

2) Tali ris atas

Tali ris atas terbagi 2, yaitu tali pelampung untuk menggantungkan pelampung dan tali jaring untuk menggantungkan jaring bagian atas. Arah pintalan kedua tali ini harus berbeda, yaitu arah S dan Z. Hal ini dimaksudkan agar tali ris atas tidak terbelit sewaktu jaring rampus dioperasikan. Bahan tali ris atas yang digunakan adalah nilon polyethylene multifilamen;

3) Pelampung

Pelampung biasanya terbuat dari berbagai bahan, seperti styrofoam, polyvinyl choloride, plastik atau karet. Jumlah pelampung yang digunakan tergantung pada panjang jaring yang dioperasikan. Pelampung berguna untuk kesempurnaan rentangan tubuh dan bentuk jaring selama operasi. Banyaknya pelampung erat hubungannya dengan daya apung (bouyancy), sedangkan daya apung sendiri dipengaruhi oleh bentuk pelampung dan jenis bahan yang digunakan. Adapun untuk menjaga kesempurnaan daya apung maka pelampung yang digunakan harus sejenis atau seragam, mempunyai specific gravity yang kecil dan mempunyai tahanan yang cukup terhadap air (Atmadja, 1980). Nukundan dan Narayanan (1975) diacu dalam Paryono, 1980) , mengemukakan bahwa pelampung yang biasa digunakan untuk alat penangkapan ikan dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :

(1) Low density material, misalnya kayu, bambu, cork, sponge plastik, dan thermocol; dan

(2) High density material, misalnya glass spheres, steel spheres, aluminium spheres dan polyethelene spheres.

4) Tali ris bawah

Tali ris bawah berjumlah 2 buah, yaitu tali pemberat untuk menggantungkan pemberat dan tali jaring untuk menggantungkan jaring bagian atas. Arah

pilinan kedua tali ini juga harus berlawanan untuk menghindari jaring terbelit sewaktu dioperasikan. Pilinannya adalah S dan Z;

5) Pemberat

Pemberat pada jaring rampus berfungsi untuk memberi gaya berat pada jaring. Jumlah pemberat akan mempengaruhi kekenduran badan jaring. Bahan pemberat umumnya timah. Bahan lain yang terkadang digunakan adalah batu atau baja; dan

6) Tali selambar

Tali selambar adalah tali yang dipasang pada kedua ujung alat tangkap jaring rampus. Pada saat jaring dioperasikan, salah satu ujung tali selambar diikatkan pelampung tanda, sedangkan ujung lainnya diikatkan ke perahu. Panjang tali selambar sekitar 25-50 m, atau tergantung pada panjang jaring dan ukuran perahu yang yang digunakan.

2.2.3 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan penangkapan

ikan dengan gillnet

Nomura dan Yamazaki (1976), menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan dengan efisiensi gillnet adalah material jaring, fleksibilitas benang, tekanan atau gaya-gaya yang bekerja pada benang, breaking strength, elongasi, warna jaring, mesh size dan hanging ratio. Hamley (1975) menyebutkan bahwa seleksi jaring insang tergantung dari sejumlah faktor selain ukuran mata jaring: yakni konstruksi jaring, visibilitas dan kerentangan jaring, bahan jaring dan bentuk serta tingkah laku ikan. Adapun Ayodhyoa (1981) mengatakan supaya ikan-ikan mudah terjerat pada mesh size atau terbelit pada tubuh jaring, maka bahan yang digunakan pada waktu pembuatan tubuh jaring hendaklah memperhatikan hal-hal seperti: kekuatan dari twine, ketegangan rentangan tubuh jaring, pengerutan jaring, tinggi jaring, mesh size dan ukuran besar ikan yang menjadi tujuan penangkapan.

1) Bahan Jaring

Bahan jaring yang mempengaruhi hasil tangkapan gillnet. Pada dasarnya bahan jaring ada dua golongan besar yaitu bahan alami (naturral fibres) dan bahan buatan (syntetis fibres). Bahan atau twine yang paling banyak

digunakan adalah yang terbuat dari syntetis. Beberapa jenis bahan jaring yang umum dan sesuai untuk pembuatan gillnet adalah polyamide, polypropylene, polyester, cotton dan silk (Bambang, 1975). Dewasa ini penggunaan bahan alami terdesak oleh bahan sintenis yang mempunyai sifat lebih baik dan lebih efisien penggunaan waktu dan tenaga. Adapun untuk mendapatkan twine yang lembut, ditempuh cara yang antara lain dengan memperkecil diameter twine ataupun jumlah pilin per-satuan panjang dikurangi, ataupun bahan- bahan celup pemberi warna ditiadakan. Bahan nylon dipilih sebagai bahan dasar gillnet karena memiliki karakteristik yang sesuai sebagai bahan dasar gillnet. Gillnet menangkap ikan dengan cara menjerat/ memuntal. Oleh karenanya diperlukan bahan yang terbuat dan memiliki daya lentur dan daya tahan putus yang tinggi. Sifat-sifat dari nylon menurut Soeprijono et al. (1975) diacu dalam Prasetyo, 2009) sebagai berikut:

(1) Kekuatan dan daya mulur

Nylon memiliki kekuatan dan daya mulur berkisar dari 8,8 gram/denier dan 18% sampai 4,3 gram/diener dan 45%. Kekuatan basahnya 80-90% kekuatan kering;

(2) Tahan gosokan dan tekukan

Nylon mempunyai tahan tekukan dan gosokan yang tinggi. Tahan gosokan nylon kira-kira 4 -5 kali tahan gosok wol; dan

(3)Elastisitas

Nylon selain mempunyai kemuluran yang tinggi (22%). Pada penarikan 8% nylon elastis 100%, dan pada penarikan sampai 16% nylon masih mempunyai elastisitas 91%.

2) Ketegangan rentangan tubuh jaring

Rentangan yang dimaksud disini adalah baik rentangan ke arah lebar demikian pula rentangan ke arah panjang. Ketegangan rentangan ini, akan mengakibatkan terjadinya tension baik pada float line ataupun pada tubuh jaring. Jika jaring direntang terlalu tegang maka ikan akan sukar terjerat, dan ikan yang telah terjeratpun akan mudah lepas. Ketegangan rentangan tubuh jaring akan ditentukan terutama oleh bouyancy dari float, berat tubuh jaring, tali temali, sinking force dari sinker dan juga shortening yang digunakan.

Adapun sebaliknya bila jaring terlalu kendur maka ikan sulit untuk melakukan penetrasi ke dalam mata jaring (Ayodhyoa, 1981);

3) Shortening

Shortening mempengaruhi efisiensi penangkapan pada gillnet, karena merupakan faktor yang mempengaruhi bentuk mata jaring. Shortening yang dimaksud disini adalah selisih antara panjang jaring dalam keadaan mata jaring tertutup (stretch length) dengan panjang tali ris dibagi panjang jaring dalam keadaan mata jaring tertutup. Supaya ikan-ikan mudah terjerat (gilled) pada mata jaring dan juga supaya ikan-ikan tersebut setelah sekali terjerat pada jaring tidak akan mudah terlepas, maka pada jaring perlulah diberikan shortening yang cukup (Atmadja, 1980). Nomura dan Yamazaki (1976) mengatakan bahwa untuk gillnet yang ikannya tertangkap secara gilled maka nilai shortening bergerak sekitar 30-40% dan untuk yang tertangkapnya ikan secara entangle maka nilai shortening bergerak sekitar 35-60%;

4) Hanging ratio

Probabilitas dari seekor ikan dapat terjerat pada jaring diyakini tergantung dari apa yang dinamakan dengan hanging ratio. Hanging ratio didefinisikan perbandingan antara panjang tali ris atas dengan jumlah mata jaring dan ukuran mata jaring (Sparre dan Venema, 1999). Adapun untuk menangkap ikan diperlukan hanging ratio sebesar 30% sudah cukup, tetapi jika menginginkan ikan tertangkap secara entangled maka hanging ratio harus diantara 40-50% atau lebih, dan jika ikan tertangkap secara gilled dan entangled pada waktu bersamaan, maka hanging ratio harus dimiliki sebesar 40% (Nomura dan Yamazaki, 1976). Menurut Fridman (1988), hanging ratio dibagi menjadi dua, yaitu hanging ratio primer ( ) dan hanging ratio sekunder ( ). Hanging ratio primer ( ) adalah perbandingan panjang tergantung dari jaring pada tali rangka (L) dengan panjang jaring tersebut bila direntangkan penuh ( ) dengan rumus :

Hanging ratio sekunder adalah perbandingan tinggi (depth) tergantung (H) dari jaring dengan tinggi jaring bila diratik tegang ( ) dengan rumus:

E2 = H/H0 ; Untuk mencari dan menggunakan rumus :

L0 = 2 × ms × M = m1 × M dan H0 = 2 × ms × N = m1 × N; Dimana M adalah jumlah mata menurut panjang jaring, N jumlah menurut tingginya, ms adalah panjang kaki (bar) dan m1 panjang mata jaring. Hubungan antara dan adalah seperti rumus berikut :

E12 + E22 = 1;

Rumus ini berlaku untuk jaring berbentuk rhombic. Adapun untuk jaring berbentuk persegi, rumus ini tidak berlaku. Tinggi jaring secara geometris tergantung pada hanging ratio primer yang dipilih. Sebaliknya bila hanging ratio sekunder yang dipilih terlebih dahulu, maka hanging ratio primer akan menyesuaikan. Nilai shringkage akan mempengaruhi bentuk mata jaring. Untuk bottom gillnet atau jaring rampus memerlukan shringkage yang tinggi, khususnya untuk menangkap ikan dengan memuntal sekitar 30-50 %. Pengukuran hanging ratio dilakukan dengan mengukur shringkage (Nomura dan Yamazaki, 1976). Hanging ratio drift gillnet berkisar 0,4-0,6 dan hanging ratio bottom gillnet adalah 0,3-0,5. Nilai hanging ratio terendah 0,3 akan menambah daya puntal. Jika E > 0,5, maka gillnet cenderung selektif (Prado, 1990). Secara detail beberapa ukuran hanging ratio yang berbeda pada jaring gillnet disajikan pada Gambar 1.

Sumber : Prado (1990)

Gambar 1 Beberapa ukuran mata jaring dengan nilai hanging ratio berbeda.

5) Tinggi Jaring

Tinggi jaring merupakan jarak antara float line ke sinker line pada saat jaring tersebut terpasang di perairan. Hal ini tergantung pada swimming layer dari jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan, selain itu kondisi dari fishing ground perlu menjadi pertimbangan (Ayodhyoa, 1981). Ayodhyoa (1981) mengungkapkan bahwa penentuan tinggi jaring didasarkan antara lain atas lapisan renang ikan yang menjadi tujuan penangkapan dan kepadatan gerombolan ikan. Sementara panjang jaring tergantung pada situasi penangkapan, dan ukuran perahu. Jumlah lembar jaring yang dipergunakan akan menentukan besar kecilnya skala usaha, juga jumlah hasil tangkapan yang mungkin diperoleh;

6) Mesh size

Pemilihan mesh size merupakan faktor yang penting karena besar mesh size pada gillnet akan menentukan ukuran ikan yang tertangkap secara terjerat (Mori, 1968). Selanjutnya dikatakan pula terdapat kecenderungan bahwa mesh size tertentu hanya menjerat ikan-ikan yang mempunyai fork length dalam selang tertentu. Dengan perkataan lain, gillnet akan bersikap selektif terhadap besar ukuran dari hasil tangkapan yang diperoleh. Oleh karena itu diperlukan penentuan mesh size yang sesuai dengan keadaan daerah penangkapan, yaitu penyesuaian terhadap ukuran dan jenis ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan. Ukuran ikan yang tertangkap berhubungan erat

E = 0,4 E = 0,5 E = 0,71 E = 0,8

47° 60° 90°

dengan ukuran mata jaring. Semakin besar ukuran mata jaring, maka akan semakin bersar pula ikan yang tertangkap (Manalu 2003). Penetapan ukuran mata jaring dapat berdasarkan pada ukuran jenis ikan yang dominan tertangkap. Gillnet yang dioperasikan di Indonesia umumnya memiliki ukuran mata jaring yang berkisar antara 1,5”- 4”;

7) Warna jaring

Warna jaring di dalam air dipengaruhi oleh faktor-faktor kedalaman perairan, kecerahan, sinar matahari dan sinar bulan. Warna akan mempunyai perbedaan derajat terlihat oleh ikan-ikan yang berbeda. Pada waktu siang hari kemungkinan terlihatnya jaring oleh ikan akan lebih besar dibandingkan dengan pada waktu malam hari. Mori (1968) mangatakan bahwa warna jaring tidak boleh merangsang optik mata ikan. Maka dari itu warna jaring harus serupa dengan warna air, untuk mengurangi kemungkinan terlihatnya jaring;

8) Extra bouyancy

Extra bouyancy pada gillnet berbeda-berda tergantung jenisnya, seperti extra bouyancy gillnet permukaan berkisar antara 30-40 %, gillnet extra bouyancy pertengahan adalah 0 dan extra bouyancy gillnet dasar adalah negatif. Rumus dari gillnet extra bouyancy adalah :

EB (%) = ((TB – S )/TB )× 100%; Keterangan :

EB : Extra bouyancy (%); TB : Total bouyancy; dan S : Berat benda di air

Rumus untuk menghitung luas jaring adalah

; Keterangan :

L : Luas jaring (m2); E : Hanging ratio (%);

N : Jumlah mata jaring horizontal (mata); H : Jumlah mata jaring vertikal (mata); dan

Menghitung tinggi jaring menggunakan rumus :

; Keterangan :

H : Tinggi jaring; dan

t(m) : Tinggi jaring dalam keadaan tegang Perhitungan jumlah mata

1) Vertikal ; 2) Horizontal . Keterangan : M : Mesh size;

Hm : Tinggi jaring terpasang; L : Panjang foatline; dan E : Shortening.