Pengaruh Subjective Well-Being, Konformitas dan Faktor Demografis
terhadap Intuitive Eating pada Dewasa Awal
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Oleh:
Rachmah Annurfatmah NIM : 107070002502
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
vii
ABSTRACT
A. Faculty of Psychology UIN Syarif Hidayatullah Jakarta B. October 2014
C. Rachmah Annurfatmah
D. Predicting Influence of Subjective Well-Being and Conformity to Intuitive Eating on Early Adult
E. xiv + 95 page (appendix not included)
The aims of this study is to determine whether there’s a significant influence of subjective well-being and conformity to intuitive eating in early adult. Data on intuitive eating is obtained through a questionnaire distributed to 159 early adult respondents with non-probability sampling techniques. The instrument validity on this study tested by lisrel 8.70 software and subsequently analyzed by multiple regression analysis (multiple regression) with SPSS 16.0 .
The results shows that there was a significant joint influence of subjective well-being’s cognitive domain, subjective well-being’s affective domain, conformity’s
acceptance, conformity’s compliance, gender, age and body mass index (BMI) by 23.4 % of influence, while the remaining 76.6 % was influenced by another variables outside current research.
Based upon each independent variable, there’s no significant influence from both of subjective well-being’s domain to intuitive eating. On the other hand, there’s a significant influence of conformity to intuitive eating in early adult. This significant influence exist from each conformity’s domain (acceptance and compliance). The significant influence of demographic variables (age, gender and BMI) were not found on current research. The biggest influence predictor of intuitive eating on this study was conformity’s acceptance domain. Moreover, there’s no significant intuitive
eating’s mean difference found on respondent’s occupation.
Key words : Subjective Well-Being, Conformity, Intuitive Eating, Early Adult F. 53 Resources (1980-2013): 9 Books + 40 Journal + 2 Thesis + 1 Dissertation + 1
viii
A. Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta B. Oktober 2014
C. Rachmah Annurfatmah
D. Pengaruh Subjective Well-Being dan Konformitas terhadap Intuitive Eating pada Dewasa Awal
E. xiii + 95 halaman (belum termasuk lampiran)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari subjective well-being dan konformitas terhadap intuitive eating pada dewasa awal. Data mengenai intuitive eating diperoleh melalui angket yang disebarkan kepada 159 responden dewasa awal dengan teknik non probability sampling. Uji validitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan software Lisrel 8.70 dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda (multiple regression) dengan bantuan software SPSS 16.0.
Hasil penelitian ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa ada pengaruh bersama yang signifikan dari subjective well-being kognitif, subjective well-being afektif, konformitas acceptance, konformitas compliance, jenis kelamin, usia dan Body Mass Index (BMI), dengan pengaruh sebesar 23,4%, sedangkan 76,6% sisanya dipengaruhi oleh variable lain diluar penelitian ini.
Jika dilihat dari masing-masing IV dan dimensinya, maka diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan dari subjective well-being serta dimensi-dimensinya terhadap perilaku makan intuitive eating pada dewasa awal. Sementara itu diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari konformitas terhadap intuitive eating pada dewasa awal. Pengaruh yang signifikan ini terjadi pada masing-masing dimensi konformitas, yakni compliance dan acceptance. Kemudian tidak ada pengaruh yang signifikan dari data demografis jenis kelamin, usia dan BMI terhadap intuitive eating pada dewasa awal. Prediktor dengan pengaruh paling besar terhadap intuitive eating pada penelitian ini adalah konformitas acceptance. Selain itu, pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan rata-rata intuitive eating yang signifikan pada masing-masing kategori jenis pekerjaan.
Kata kunci : Subjective Well-Being, Konformitas, Intuitive Eating, Dewasa Awal F. Bahan Bacaan 53 ( 1980-2013) : 9 Buku + 40 Jurnal + 2 Tesis + 1 Disertasi + 1
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii
PERNYATAAN ORISINALITAS ... iv
1.2. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 11
1.2.1. Pembatasan Masalah ... 1
1.2.2. Perumusan Masalah ... 13
1.3. Tujuan Penelitian ... 14
1.4. Manfaat Penelitian ... 15
1.4.1. Manfaat Teoritis ... 15
1.4.2. Manfaat Praktis ... 15
1.5. Sistematika Penulisan ... 15
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Intuitive Eating ... 17
2.1.1. Definisi Intuitive Eating ... 17
2.1.2. Karakteristik Intuitive Eating ... 18
2.1.3. Dimensi-dimensi Intuitive Eating ... 20
2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Intuitive Eating ... 24
2.1.5. Pengukuran Intuitive Eating ... 29
2.2. Subjective Well-Being ... 30
2.2.1. Definisi Subjective Well-Being... 30
2.2.2. Dimensi-dimensi Subjective Well-Being ... 32
2.2.3. Pengukuran Subjective Well-Being ... 34
xii BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Populasi dan Sampel ... 50
3.2. Variabel Penelitian ... 51
3.2.1. Variabel Dependen(DV) dan Variabel Independen (IV) .... 51
3.2.2. Definisi Operasional Variabel ... 52
3.3. Pengumpulan Data ... 53
3.3.1. Teknik Pengumpulan Data ... 53
3.3.2. Instrumen Penelitian ... 54
3.4..Uji Validitas Instrumen ... 58
3.4.1. Uji Validitas Intuitive eating ... 59
3.4.2. Uji Validitas Subjective Well-Being ... 64
3.4.3. Uji Validitas Konformitas ... 68
3.5. Metode Analisis Data ... 71
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Karakteristik Sampel ... 74
4.2. Kategorisasi Skor Variabel ... 76
4.2.1. Kategorisasi Skor Intuitive Eating ... 76
4.3. Uji Hipotesis Penelitian ... 77
4.3.1. Analisis Regresi Variabel Penelitian ... 77
4.4. Analisis Proporsi Varian ... 83
xiii DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Format Skala Likert ... 54
Tabel 3.2 Blue Print Skala Intuitive Eating ... 55
Tabel 3.3 Blue Print Skala Afek Positif-Negatif ... 56
Tabel 3.4 Blue Print Skala Konformitas ... 57
Tabel 3.5 Batas Ambang BMI menurut Depkes RI ... 58
Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Eating For Physical Rather Than Emotional Reason ... 60
Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Unconditional Permission to Eat ... 61
Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Reliance on Internal Hunger and Satiety ... 62
Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Body-Food Congruence ... 63
Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Subjective Well-Being Kognitif ... 65
Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Afek Negatif ... 66
Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Afek Positif ... 68
Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Konformitas Compliance ... 69
Tabel 3.14 Muatan Faktor Item Konformitas Acceptance. ... 71
Tabel 4.1 Karakteristik Sampel Penelitian ... 74
Tabel 4.2 Norma Skor ... 76
Tabel 4.3 Distribusi Skor Intuitive Eating ... 77
Tabel 4.4 R Square ... 78
Tabel 4.5 Anova ... 78
Tabel 4.6 Koefisien Regresi ... 79
Tabel 4.7 One Way Anova Pekerjaan dengan Intuitive Eating ... 82
1 BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini akan dibahas mengenai latar belakang penelitian,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan
penelitian.
1.1Latar Belakang Masalah
Nutrisi buruk dan obesitas telah menjadi salah satu dari beberapa isu penting yang
dihadapi masyarakat pada masa kini (Deshpande, Basil & Basil 2009). Badan
kesehatan dunia (WHO dalam Odgen, 2010) memperkirakan bahwa 1,5 juta orang
dewasa di seluruh dunia mengalami berat badan berlebih dan 400 juta mengalami
obesitas. Di Indonesia sendiri permasalahan gizi pada orang dewasa juga
cenderung lebih dominan untuk kelebihan berat badan. Berdasarkan hasil
Riskesdas 2010, secara nasional dapat dilihat masalah gizi pada penduduk dewasa
di atas 18 tahun adalah: 12,6 persen kurus, dan 21,7 persen gabungan kategori
berat badan lebih (BB lebih) dan obese, yang bisa juga disebut obesitas.
Seiring dengan meningkatnya obesitas, upaya-upaya untuk menurunkan
berat badan pun bermunculan. Pendekatan tradisional untuk mengurangi berat
badan selama ini adalah dengan membatasi asupan makanan (diet) dan
meningkatkan olah raga. Pendekatan semacam ini, ternyata seringkali tidak
berhasil untuk mengurangi masa tubuh dalam jangka waktu yang panjang. Selain
disebut juga sebagai diet yo-yo, dapat membahayakan baik pada kesehatan tubuh
maupun pada kesehatan mental (Van Dyke & Drinkwater, 2013).
Beberapa penelitian sebelumnya secara konsisten menunjukan bahwa
percobaan diet seringkali tidak berhasil dan tidak meprediksi penurunan maupun
pemeliharaan berat badan. Hasilnya justru memprediksi penambahan berat badan
dan status kelebihan berat badan. Selain itu, para pelaku diet dapat mengalami
fluktuasi berat tubuh yang besar, distress emosional, dan resiko berkembangnya
gangguan makan (Denny, Loth, Eisenberg & Neumark-Sztainer, 2013). Karena
itulah sangat dibutuhkan metode yang tidak hanya mengatasi status berat badan
dan permasalahan kesehatan terkait, namun juga dapat meningkatkan status
emosional serta dapat mengurangi resiko berkembangnya gangguan makan.
Pada penelitian-penelitian terdahulu mengenai perilaku makan, ilmuwan
psikologi seringkali lebih berfokus pada pendekatan patologis dibandingkan
dengan pendekatan yang lebih adaptif (Tylka, 2006). Kini penelitian psikologis
berada pada tahap awal dalam meneliti bagaimana perilaku makan adaptif dapat
mengurangi resiko gangguan makan di masa depan. Meskipun pengurangan
faktor-faktor resiko gangguan makan seperti internalisasi thin–ideal dan
ketidakpuasan tubuh merupakan komponen penting dalam upaya pencegahan,
pemahaman lebih baik mengenai bagaimana sikap dan perilaku adaptif dapat
mempromosikan perilaku makan sehat dan mencegah berkembangnya gangguan
makan di masa depan juga diperlukan (Young, 2010).
Salah satu bentuk dari perilaku makan adaptif yang baru-baru ini
3
Resch (1995) menggambarkan intuitive eating sebagai bentuk perilaku makan
adaptif yang ditandai oleh hubungan yang kuat dengan isyarat-isyarat internal dari
rasa lapar dan kenyang fisiologis (Tylka & Kroon Van Diest, 2013). Beberapa
psikolog dan ahli nutrisi berargumen bahwa perilaku makan ini tergolong adaptif
karena intuitive eating terkait dengan hubungan, pemahaman dan respon yang
kuat pada kebutuhan fisiologis internal yang berkaitan dengan rasa lapar dan
kenyang serta rendahnya ketergantungan terhadap makanan (Tylka, 2006)
Tylka dan Kroon Van Diest (2013) mengemukakan bahwa intuitive eating
terdiri dari empat unsur utama yaitu unconditional permission (izin tanpa syarat)
untuk makan ketika lapar dan makan apa makanan yang diinginkan, makan untuk
tubuh daripada makan karena alasan emosi, keterkaitan antara isyarat rasa lapar
dan kenyang internal untuk menentukan kapan dan berapa banyak yang
dikonsumsi, dan menghargai kesehatan diri sendiri atau mempraktekan ‘gentle
nutrition’ (nutrisi yang baik). Tidak ada pantangan pada jenis-jenis makanan yang
dapat dikonsumsi seseorang, kecuali disebabkan isu kesehatan tertentu (misal,
diabetes, alergi makanan), karena tubuh akan secara insting memilih berbagai
jenis makanan yang dapat mendukung keseimbangan nutrisi (Van Dyke &
Drinkwater, 2013).
Unconditional permission to eat meliputi penyesuaian diri pada sinyal
lapar dan preferensi makanan. Selain itu juga tidak membuat pilihan makanan
berdasarkan apakah makanan itu berada pada kategori baik atau buruk. Kedua,
penekanan pada makan berdasarkan dorongan biologis dibandingakan dengan
perilaku makan sehat. Secara lebih spesifik, Costanzo, Reichmann, Friedman, dan
Musante (2001) serta Herman, Polivy, Lank, dan Heatherton (1987) menemukan
bahwa, ketika diet restriktif menggantikan panduan sinyal lapar dan kenyang
bawaan, frekuensi makan berlebihan akan meningkat ketika berada dalam tekanan
emosi. Ketiga, keterkaitan antara isyarat lapar dan kenyang internal meliputi
kesadaran akan sinyal lapar dan kenyang tubuh dan meyakini sensasi tersebut
sebagai pedoman perilaku makan sehat (Young, 2010). Kemudian komponen
terakhir food & body congruence atau gentle nutrition mencerminkan
kecenderungan seseorang untuk membuat pilihan makanan yang mempertahankan
kesehatan dan fungsi tubuh mereka (seperti memilih makanan yang meningkatkan
tenaga, stamina dan performa tubuh) dan juga tetap terasa enak dimakan (Tylka &
Kroon Van Diest, 2013).
Singkatnya, konsep intuitive eating menunjukkan bahwa semua individu
memiliki mekanisme alami dari dalam diri mereka sendiri yang jika diizinkan
akan memastikan fungsi nutrisi yang baik pada berat badan yang sehat. Ketika
seseorang terhubung dengan “inner guide” (panduan dari dalam) atau mengakses
“inner wisdom” (kebijakan dari dalam), maka mereka akan lebih selaras dengan
kebutuhan fisik tubuhnya dan akan makan dengan cara yang mendukung
pemeliharaan berat badan yang sehat dan nutrisi yang positif. Pada saat yang sama
mereka akan menghindari makan berlebihan, konsumsi makanan secara obsesif,
diet yang berbahaya, atau mengunyah tanpa arti (Hawks, Merril & Madanat,
5
Bacon, Stern, Marta, Van Loan dan Keim (2005) membuktikan melalui
penelitian eksperimental berupa sebuah program intervensi yang menekankan
pada “Health in every size” bahwa dengan pendekatan intuitive eating, partisipan
yang merupakan penderita obesitas, dapat memelihara perubahan perilaku jangka
panjang, yang tidak didapatkan dari pendekatan diet. Dengan mendorong
penderimaan ukuran tubuh, mengurangi perilaku diet serta meningkatkan
kesadaran dan respon pada sinyal tubuh pada akhirnya akan meningkatkan
indikator kesehatan yang umumnya menjadi resiko para penderita obesitas.
Pada penelitian ini peneliti memperkirakan bahwa faktor-faktor psikologis
seperti subjective well-being dan konformitas seseorang akan berpengaruh pada
kecenderungan seseorang untuk berperilaku makan secara intuitif. Eid dan Diener
(2003) mengungkapkan bahwa Subjective well-being merupakan merupakan
evaluasi seseorang akan kehidupannya baik afektif dan kognitif. Subjective
well-being sendiri dapat di konseptualisasikan sebagai keadaan sementara (mood)
maupun sebagai trait yang relatif stabil (kepuasan hidup).
Dalam hubungannya dengan intuitive eating beberapa literatur secara
konsisten menunjukan hubungan antara afek negatif dengan resiko
berkembangnya gejala gangguan makan yang meningkat. Salah satunya
mengungkapkan bahwa afek/sikap negatif merupakan faktor umum dari
kerawanan psikopatologis dan merupakan faktor spesifik dari meningkatnya
resiko gangguan makan (Leon, Fulkerson, Perry, Keel, & Klump, 1999). Dalam
makan, emosi negatif dasar diprediksi pada permulaan gejala bulimia pada dewasa
awal (Tyrka, Waldron, Graber & Brooks-Gunn, 2002).
Pada tesis penelitian yang dilakukan Kroom Van Diest (2007) afek negatif
beserta depresi, ketidak puasan tubuh, rendahnya penghargaan pada tubuh,
perfeksionisme maladaptif, rendahnya self-esteem dan optimisme terbukti
memiliki pengaruh secara negatif terhadap intuitive eating. Seperti yang kita
ketahui sebelumnya bahwa afek merupakan salah satu dimensi dari subjective
well-being. Sementara itu untuk dimensi kognitif dari subjective well-being, yaitu
kepuasan hidup, dapat dilihat pada penelitian Tylka dan Kroon Van diest (2013)
yang menemukan bahwa intuitive eating secara positif berhubungan dengan
kepuasan hidup beserta dengan apresiasi pada tubuh dan self-esteem.
Dockendorf (2011), mereplikasi penelitian Tylka (2006) dalam tesisnya
yang mengevaluasi Intuitive Eating Scale pada sampel remaja, menemukan bahwa
remaja dengan skor intuitive eating yang lebih tinggi memiliki BMI yang lebih
rendah, lebih sedikit internalisasi pemikiran lingkungan mengenai penampilan,
tekanan untuk mengurangi berat badan, diet dan memiliki tubuh kurus, lebih
sedikit afek negatif serta lebih memiliki afek positif. Selain itu mereka juga lebih
memiliki kepuasan akan tubuh, kepuasan hidup, self-esteem yang lebih tinggi
serta lebih sedikit gejala depresi. Selain itu skor intuitive eating juga secara positif
memiliki hubungan dengan beberapa index well-being (Tylka, 2006).
Konformitas sendiri merupakan perubahan perilaku atau kepercayaan
sebagai hasil dari tekanan kelompok (Myers, 2010). Dalam penelitian ini, tekanan
7
disebutkan Butcher, Mineka dan Hooley (2007) yang menyebutkan bahwa faktor
sosiokultural (pengaruh teman sebaya dan pengaruh media) merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi perilaku makan abnormal.
Mengingat Intuitive eating memiliki konsep sebagai perilaku makan yang
adaptif sementara gangguan makan memiliki konsep sebagai perilaku makan
maladaptif (Tylka & Kroon Van Diest, 2013), maka peneliti memperkirkan bahwa
faktor konformitas dapat mempengaruhi intuitive eating sebagaimana konformitas
mempengaruhi perilaku makan abnormal. Scheff (1988) menyatakan bahwa rasa
malu akan bentuk tubuh dapat memotivasi konformitas pada norma sosial.
Antisipasi atau rasa takut seseorang akan konsekuensi negatif dari rasa malu
tersebut dapat melatarbelakangi perilaku makan restriktif dan gangguan makan
(Noll & Fredrickson, 1998). Selain itu Vartanian dan Hopkinson (2010)
menemukan bahwa konformitas nampaknya menjadi faktor resiko intenalisasi
standar sosial akan konsep penampilan yang menarik serta dapat ditargetkan
dalam upaya untuk mengurangi internalisasi, body image yang negatif dan
gangguan makan.
Meskipun belum ada penelitian yang secara pasti menemukan bahwa
konformitas mempengaruhi intuitive eating, Augustus-Horvath dan Tylka (2011)
menyatakan, intuitive eating mungkin saja berkaitan secara negatif dengan
kekakuan dan aturan konformitas, atau penerimaan dari kepatuhan pada norma
sosial. Karena intuitive eating berkaitan dengan fleksibilitas (kesediaan untuk
mengikuti isyarat lapar dan kenyang yang tidak dapat di prediksi) dan tidak secara
makan. Hal ini dapat berarti seseorang dengan intuitive eating biasanya akan
makan berdasarkan isyarat yang ada dari tubuhnya dibandingkan dengan
mengikuti isyarat dari luar, seperti karena mengikuti jam makan orang lain yang
seringkali dilakukan banyak orang pada saat makan siang bersama.
Selain subjective well-being dan konformitas, penulis juga menduga
behwa faktor demografis seperti jenis kelamin, usia, indeks massa tubuh (BMI),
dan pekerjaan juga mempengaruhi intuitive eating. Pada penelitian Tylka dan
Kroon Van Diest (2013) laki-laki ditemukan memiliki skor intuitive eating dan
sub skala makan untuk kepentingan tubuh yang secara konsisten lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan. Meskipun begitu perbedaan jenis kelamin lebih
sedikit tergambarkan diantara sub skala intuitive eating lainnya, dengan derajat
perbandingan yang sangat sedikit antara laki-laki dan perempuan.
Augustus-Horvath dan Tylka (2011) pada penelitiannya mengenai intuitive
eating pada wanita dewasa, berargumentasi bahwa orang-orang yang memasuki
masa dewasa (18 sampai dengan 25 tahun) seringkali berfokus pada tubuhnya dan
mengalami citra tubuh yang negatif seiring dengan pesan pesan media yang
menggambarkan bahwa wanita pada usia mereka dianggap sukses dengan bentuk
tubuh yang kurus dan menarik. Kemungkinan tingkatan dan hubungan intuitive
eating akan berbeda pada wanita yang berada pada tahapan perkembangan lainnya
seperti pada dewasa awal (antara 26 sampai dengan 39 tahun) dan dewasa tengah
(antara 40 sampai dengan 65 tahun) seiring dengan perubahan perkembangan
seperti kualitas hubugan mereka, perubahan penampilan tubuh karena usia dan
9
& Isaacs; Santrock dalam Augustus-Horvath & Tylka 2011). Selain itu, pada
penelitian tersebut ditemukan bahwa perempuan pada dewasa awal memiliki daya
tahan yang lebih positif untuk mengadopsi perspektif apresiasi tubuh orang lain
dibandingkan dengan perempuan yang baru memasuki dewasa dan perempuan
pada dewasa tengah.
Dalam kaitannya dengan indeks massa tubuh (BMI), dasar pemikiran
utama dari Intuitive eating adalah secara akurat mengintepretasikan dan melekat
pada umpan balik insting dalam menetukan apa dan jumlah makanan yang
dikonsumsi. Maka dari itu, dengan menghiraukan apakah intuitive eating dengan
tegas menyertakan tujuan menormalkan berat badan atau tidaknya, perilaku
makan dengan intuitif seharusnya berkorelasi dengan indeks masa tubuh yang
lebih rendah (Van Dyke & Drinkwater, 2013).
Penelitian klinis mendukung beberapa bukti bahwa implementasi dari
pendekatan intuitive eating membantu pemeliharaan berat badan, meskipun bukan
berkurangnya berat badan, pada perempuan kaukasia dengan berat badan lebih
dan obese (Van Dyke & Drinkwater, 2013). Salah satu penelitiannya adalah
Hawks et. al (2004) dalam mengembangkan mengembangkan The Intuitive Eating
Scale dan menemukan bahwa intuitive eating berhubungan secara negatif dengan
indeks massa tubuh (BMI), perilaku gangguan makan dan diet restriktif pada
populasi mahasiswa.
Sementara itu belum ada penelitian sebelumnya yang secara khusus
mengaitkan antara pekerjaan dengan intuitive eating. Hanya saja beberapa
mahasiswa yang merupakan pelajar. Seperti pada penelitian Hawks et. al (2004)
yang meneliti intuitive eating pada sampel mahasiswa. Penelitian oleh Tylka
(2006) dalam mengembangkan Intuitive eating Scale (IES) mengumpulkan data
dalam empat studi dari 1.260 mahasiswi. Kemudian Tylka dan Kroon Van Diest
(2013), juga hanya meneliti intuitive eating pada mahasiwa dengan jumlah 1.405
mahasiswi dan 1,195 mahasiswa. Terdapat penelitian yang meneliti sampel pada
masa perkembangan dewasa seperti pada penelitian Augustus-Horvath dan Tylka
(2011) hanya saja tidak mengaitkan antara jenis pekerjaan seseorang secara
khusus dengan intuitive eating.
Dewasa awal sendiri dipilih oleh peneliti sebagai sampel karena meskipun
banyak kebiasaan makan muncul pada masa kanak-kanak, kebiasaan ini kemudian
terkristalisasi pada tahun pertama dari kemandirian ketika seseorang menjadi
bertanggung jawab akan pilihan makanan dan penyiapan makanannya sendiri
(Odgen, 2010). Contohnya pada mahasiswa yang berada pada tahap
perkembangan dewasa awal, yang seringkali diasumsikan sebagai masa transisi
seseorang dari ketergantungan pada orang tua menjadi kehidupan yang lebih
mandiri. Transisi di masa perguruan tinggi ini adalah periode yang sangat penting
bagi mahasiswa yang seringkali merupakan kesempatan pertama mereka untuk
membuat keputusan sendiri akan apa yang mereka konsumsi (Deshpande, et. al
2009). Masa dewasa awal (dewasa dini) dalam Hurlock (1980) dimulai pada umur
18 sampai dengan 40 tahun.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah diuraikan, peneliti merasa
11
well-being, konformitas dan faktor-faktor demografis terhadap intuitive eating
pada rentang usia dewasa awal. Oleh karena itu, peneliti merasa perlu untuk
melakukan sebuah penelitian skripsi pada dewasa awal dengan judul “pengaruh
subjective well-being dan konformitas terhadap intuitive eating pada dewasa
awal”
1.2Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah
Pembatasan masalah dilakukan agar tidak menyulitkan pelaksanaan penelitian
secara keseluruhan, penelitian tidak mengalami pelebaran dan tetap fokus pada
masalah yang akan diungkap. Adapun pembatasan masalah yang penulis
maksudkan disini adalah:
1. Intuitive eating dalam penelitian ini adalah kecenderungan individual yang
berada pada dewasa awal untuk mengikuti isyarat fisik dari rasa lapar dan
kenyang ketika menentukan kapan, apa dan seberapa banyak dirinya makan.
intuitive eating dalam penelitian ini diukur melalui aspek-aspek yang terdiri
dari unconditional permission (izin tanpa syarat) untuk makan ketika lapar dan
makan apa makanan yang diinginkan, makan untuk tubuh daripada makan
karena alasan emosi, keterkaitan antara isyarat rasa lapar dan kenyang internal
untuk menentukan kapan dan berapa banyak yang dikonsumsi, dan
menghargai kesehatan diri sendiri atau mempraktekan ‘gentle nutrition’
2. Subjective well-being afektif, dalam penelitian ini merupakan gambaran
kondisi suasana hati (mood) seseorang secara umum. Subjective well-being
afektif dalam penelitian ini diukur melalui aspek-aspek afek positif yang
merupakan keadaan penuh energi, konsentrasi dan rasa senang, serta afek
negatif yang merupakan dimensi umum dari tekanan dan rasa tidak senang
yang terdiri dari bermacam keadaan mood aversif seperti rasa takut, sedih, rasa
bersalah, atau sikap bermusuhan yang secara umum dirasakan oleh responden
yang berada pada usia dewasa awal.
3. Subjective well-being kognitif, dalam penelitian ini merupakan tingkat
kepuasan hidup responden pada usia dewasa awal secara keseluruhan, yang
merupakan sebuah proses judgemental, dimana mereka mengukur kualitas
hidup mereka berdasarkan kriteria unik masing-masing.
4. Konformitas, yang dimaksud dalam penelitian ini adalah adalah perubahan
perilaku atau kepercayaan responden yang berada pada usia dewasa awal
sebagai hasil nyata dari tekanan kelompok yang berkaitan dengan perilaku
makan. Konformitas diukur dengan menggunakan skala model Likert yang
terdiri dari konformitas compliance dan konformitas acceptance.
5. Faktor-faktor demografis, yang dimaksud dalam penelitian ini hanya meliputi
jenis kelamin, usia, pekerjaan dan Body Mass Index (BMI) yang diperoleh dari
data identitas dalam angket yang diberikan pada responden dewasa awal (self
report).
6. Dewasa awal dalam penelitian ini adalah tahap perkembangan masa dewasa
13
diambil secara acak dengan teknik accidental sampling pada populasi yang
relatif umum (tidak dikhususkan pada populasi dengan karakteristik khusus
seperti responden dengan pekerjaan, berat badan maupun penderita penyakit
tertentu).
1.2.2 Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara subjective well-being,
konformitas dan faktor demografis terhadap intuitive eating pada dewasa
awal?
2. Seberapa besar pengaruh intuitive eating pada dewasa awal yang dapat di
prediksi secara bersama oleh subjective well-being, konformitas dan faktor
demografis?
3. Apakah dimensi-dimensi dari subjective well-being, konformitas dan faktor
demografis berpengaruh secara signifikan terhadap intuitive eating pada
dewasa awal?
4. Prediktor manakah diantara dimensi subjective well-being, konformitas dan
faktor demografis yang memiliki pengaruh paling besar terhadap intuitive
eating pada dewasa awal?
5. Adakah perbedaan rata-rata intuitive eating pada dewasa awal yang signifikan
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk melihat seberapa besar pengaruh subjective well-being, konformitas
dan faktor demografis terhadap intuitive eating pada dewasa awal.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengukur pengaruh subjective well-being afektif terhadap
Intuitive eating pada dewasa awal.
b. Untuk mengukur pengaruh subjective well-being kognitif terhadap
Intuitive eating pada dewasa awal.
c. Untuk mengukur pengaruh konformitas compliance terhadap Intuitive
eating pada dewasa awal.
d. Untuk mengukur pengaruh konformitas acceptance terhadap Intuitive
eating pada dewasa awal.
e. Untuk mengukur pengaruh jenis kelamin terhadap Intuitive eating pada
dewasa awal.
f. Untuk mengukur pengaruh usia terhadap Intuitive eating pada dewasa
awal.
g. Untuk mengukur pengaruh Body Mass Index (BMI) terhadap Intuitive
eating pada dewasa awal.
h. Untuk mengukur perbedaan rata-rata Intuitive eating antara jenis
15
1.3.2 Manfaat penelitian 1. Manfaat teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan
teori-teori psikologi khususnya dengan masalah psikologi klinis dan psikologi
kesehatan. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi Intuitive eating pada
usia dewasa awal.
2. Manfaat praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi masyarakat untuk
dapat membedakan isyarat lapar emosional dan fisik dengan intuitive eating.
Sehingga dapat mengurangi resiko gangguan makan klinis. Dan juga dapat
menjadikan intuitive eating sebagai salah satu upaya alternatif non diet untuk
mengontrol berat badan. Penelitian selanjutnya yang juga membahas tentang
intuitive eating diharapkan dapat mempertimbangkan faktor lain yang juga
memberikan pengaruh sehingga bisa diambil kesimpulan yang lebih produktif.
1.4Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini berpedoman pada sistematika penulisan American
Psychological Association (APA) style. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini,
penulis menyusunnya dalam bentuk beberapa bab sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan
Berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan
BAB II: Landasan Teori
Pada Bab II ini akan dijelaskan tentang teori-teori yang terkait dengan variabel
penelitian ini, antara lain teori Intuitive eating, subjective well-being dan
konformitas.
BAB III: Metode Penelitian
Pada Bab III, berisi tentang pendekatan dan metode penelitian, variabel penelitian,
pengambilan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
BAB IV: Analisis Hasil Penelitian
Pada Bab IV akan disajikan presentasi dan analisis data yang meliputi gambaran
umum subjek dan hasil penelitian.
BAB V: Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Pada Bab V akan disajikan tentang: kesimpulan, diskusi, dan saran, daftar
17 BAB 2
LANDASAN TEORI
Pada Bab ini akan dijelaskan tentang teori-teori yang terkait dengan
variable penelitian ini, antara lain teori intuitive eating, subjective well-being dan
konformitas. Bab ini juga berisi tentang subjek penelitian, hipotesis dari penelitian
dan kerangka berpikir penelitian.
2.1 Intuitive Eating
2.1.1 Definisi intuitive eating
Menurut Van Dyke dan Drinkwater (2013), premis mendasar dibalik intuitive
eating adalah, bila kita mau mendengarkan, secara insting tubuh ‘mengetahui’
kuantitas dan jenis makanan yang dikonsumsi untuk menjaga baik kesehatan
nutrisional maupun berat badan yang tepat.
Schwartz (dalam Hawks, Merrill & Madanat, 2004) mengungkapkan
bahwa konsep intuitive eating merujuk bahwa setiap individu memiliki
mekanisme alami dalam dirinya, yang jika dibiarkan akan memastikan fungsi
nutrisi yang baik pada berat badan yang sehat. Sementara itu Tribole dan Resch
(dalam Smith & Hawks, 2006) menyatakan intuitive eating sebagai salah satu
pendekatan anti-diet, yang berfokus pada isyarat kenyang dan lapar internal untuk
memulai dan menghentikan konsumsi makanan.
Tribole dan Resch (1995) menggambarkan Intuitive eating sebagai bentuk
isyarat-isyarat internal dari rasa lapar dan kenyang fisiologis (Tylka & Kroon Van Diest,
2013). Individu yang makan secara intuitif tidak disibukkan dengan makanan atau
diet dan tidak me-label makanan tertentu sebagai "baik" atau "buruk." Meskipun
rasa itu penting, mereka seringkali memilih makanan untuk tujuan meningkatkan
fungsi tubuh mereka. Mereka sadar dan percaya pada isyarat-isyarat akan rasa
lapar dan kenyang yang berasal dari dalam tubuh mereka, dan menggunakan
isyarat ini untuk menentukan kapan dan seberapa banyak mereka harus makan .
Singkatnya, berdasarkan konsep Tribole dan Resch (1995) intuitive eating
merupakan bentuk perilaku adaptif yang didefinisikan sebagai hubungan dan
pemahaman yang kuat serta makan sebagai respondari rasa lapar dan kenyang
internal fisik dan disertai dengan rendahnya preokupasi pada makanan (Tylka &
Wilcox, 2006)
2.1.2 Karakteristik intuitive eating
Beberapa ahli psikologi dan ahli nutrisi mengungkapkan bahwa gaya makan ini
merupakan gaya makan yang adaptif karena intuitive eating berhubungan dengan
dengan kuatnya keterikatan, pemahaman, dan respon dengan kebutuhan fisik
internal yang bersinggungan dengan rasa lapar dan kenyang seiring dengan
rendahnya ketergantungan terhadap makanan (Tylka, 2006).
Konsep intuitive eating menunjukkan bahwa semua individu memiliki
mekanisme alami dari dalam diri mereka sendiri yang jika diizinkan akan
memastikan fungsi nutrisi yang baik pada berat badan yang sehat. Ketika
19
“inner wisdom” (kebijakan dari dalam), maka mereka akan lebih selaras dengan
kebutuhan fisik tubuhnya dan akan makan dengan cara yang mendukung
pemeliharaan berat badan yang sehat dan nutrisi yang positif. Pada saat yang sama
mereka akan menghindari makan berlebihan, konsumsi makanan secara obsesif,
diet yang berbahaya, atau mengunyah tanpa arti (Hawks, Madanat, Hawks &
Harris, 2005).
Intuitive eaters merupakan individu yang mengkonsumsi asupan makanan
berdasarkan isyarat lapar fisik dibandingkan dengan berdasarkan aturan diet,
isyarat lingkungan, keadaan emosi atau faktor eksternal lainnya (Hawks, Merrill
& Madanat, 2004). Tidak ada pantangan pada jenis-jenis makanan yang dapat
dikonsumsi seseorang, kecuali disebabkan isu kesehatan tertentu (misal, diabetes,
alergi makanan), karena tubuh akan secara insting memilih berbagai jenis
makanan yang dapat mendukung keseimbangan nutrisi (Van Dyke & Drinkwater,
2013).
Konsep dari intuitive eating terdiri dari beberapa atribut kunci. Pertama,
kemampuan untuk secara jelas menyadari tanda-tanda fisik dari rasa lapar,
kepuasan, dan kenyang. Kedua, seorang intuitive eater mampu merasakan
kebutuhan nutrisi dari tubuh. Ketiga, untuk seorang intuitive eater, efek fisik dari
konsumsi makanan secara hati-hati diawasi sebagai bentuk kepuasan. Makanan
tidak dikonsumsi secara tidak sadar ketika mengemudi atau menonton televisi,
tetapi lebih sebagai penghargaan sebagaimana makanan memuaskan kebutuhan
nutrisi dan rasa lapar dari dalam tubuh. Keempat, seperti yang dipromosikan
filosofis yang menghargai kesehatan dan energi tubuh lebih tinggi daripada
sebagai rewards dari penampilan yang menarik. Terakhir, filosofi dari intuitive
eating secara terus-menerus menolak diet restriktif sebagai cara mengontrol berat
tubuh, melainkan menyertakan individu untuk menguasai unsur-unsur intuitive
eating dalam hubungan dengan makanan yang terbuka dan tidak dibatasi yang
mempromosikan manajemen berat badan yang sehat dan self-esteem yang positif
(Hawks et. al, 2005).
2.1.3 Dimensi-dimensi intuitive eating
Hawks et. al (2004), yang mengembangkan Intuitive Eating Scale alternatif
(Hawks IES), menyimpulkan bahwa model Intuitive eating terdiri dari intrinsic
eating (kemampuan untuk menganali tanda fisik dari rasa lapar, kepuasan, dan
kekenyangan), extrinsic eating (pertimbangan akan kemungkinan makanan
dengan cakupan yang luas dan makan apa yang diinginkan), anti diet atau
menghargai makanan dan memperhatikan efek fisik dari makan, dan terakhir self
care atau penghargaan lebih kepada kesehatan dan energi daripada penampilan
semata.
Tribole dan Resch (1995), mengidentifikasi tiga komponen utama dalam
intuitive eating. Pertama, unconditional permission to eat when hungry and what
food is desired atau izin tanpa syarat dimana seseorang memperbolehkan dirinya
sendiri untuk makan apa yang ia inginkan pada saat lapar. Kedua, eating for
physical rather than emotional reasons atau makan untuk kepentingan tubuh
21
cues to determine when and how much to eat atau menentukan waktu dan porsi
makan berdasarkan isyarat internal dari rasa lapar dan kenyang.
Komponen-komponen ini saling berhubungan satu sama lain dan setiap Komponen-komponen dibutuhkan
untuk merefleksikan intuitive eating (Tylka, 2006).
Tylka dan Kroon Van Diest (2013) dalam mengembangkan revisi dari
Intuitive Eating Scale (IES-2), kemudian menambahkan sebuah komponen dari
intuitive eating yang diungkapkan oleh Tribole dan Resch (2003), mengenai
menghargai kesehatan atau mempraktekan “gentle nutrition”. Gentle nutrition
mencerminkan kecenderungan seseorang untuk membuat pilihan makanan yang
mempertahankan kesehatan dan fungsi tubuh mereka (seperti memilih makanan
yang meningkatkan tenaga, stamina dan performa tubuh) dan juga tetap terasa
enak dimakan.
Secara lebih rinci komponen - komponen intuitive eating terdiri dari empat
unsur utama yaitu:
1. Eating for physical rather than emotional reason
Seseorang dengan intuitive eating menggunakan makanan sebagai pemuas
dorongan rasa lapar fisik mereka dan bukan untuk mengatasi fluktuasi ataupun
tekanan emosi. Herman dan Polivy (dalam Tylka & Wilcox, 2006),
menjelaskan hubungan antara perilaku makan dan emosi melalui sebuah
model pembatas (boundary model). Seseorang yang tidak melakukan diet
memiliki dua pembatas dalam merespon rasa lapar dan kenyang. Ketika lapar,
mereka makan sebagai jalan keluar dari rasa lapar dan akan berhenti makan
Ketika seseorang melakukan diet perilaku makan seringkali menjadi
tidak terkontrol dan berlawanan dengan batasan rasa lapar dan kenyang.
Gejolak emosi seringkali mengacaukan batasan diet. Hal ini dikarenakan
seseorang yang membatasi makanan mereka akan meningkatkan asupan
makanan mereka ketika mengalami afek negatif (Tylka, 2006).
2. Unconditional permission to eat
Unconditional permission to eat mencerminkan kesiapan untuk makan dalam
merespon sinyal lasa lapar fisiologis internal dan untuk makan mkanan yang
diinginkan pada saat itu Seseorang yang menggunakan strategi makan ini
tidak mencoba untuk membiarkan sinyal lapar yang mereka rasakan. Mereka
juga tidak mengklasifikasikan makanan kedalam kategori boleh dimakan dan
tidak boleh dan berusaha untuk menghindari makanan dalam kategori tidak
boleh.
Seseorang yang membatasi kapan mereka makan dengan membatasi
waktu, banyaknya makanan dan jenis makanan yang bisa mereka makan
berdasarkan standar eksternal akan meningkatakan kecenderungan mereka
untuk merasa kekurangan dan terokupasi oleh makanan. Sebuah eksperimen
menunjukan bahwa orang-orang yang membatasi makananya menjadi terlalu
memanjakan dirinya dengan makanan, sebagai hasil dari persepsi aturan diet
yang telah dilanggar atau bahwa mereka telah makan makanan yang terlarang
(Herman & Polivy, Woody et. al dalam Tylka, 2006).
Selain itu, seseorang yang melakukan diet dengan membatasi makanan
23
untuk mengendalikan asupan makanan dibandingkan dengan orang-orang
yang tidak membatasi makan mereka (Fedoroff et al., dalam Tylka, 2006).
Karena diet membatasi makanan mendorong meningkatnya ketergantungan
terhadap makanan, seseorang yang membatasi asupan makanan mereka
sebenarnya bisa saja makan lebih banyak dibandingkan orang-orang yang
memberikan diri mereka sendiri izin tanpa syarat untuk makan. (Tylka, 2006)
3. Reliance on hunger and satiety cues
Seseorang dengan intuitive eating menyadari sinyal-sinyal rasa lapar dan
kenyang internal mereka serta mempercayai sinyal-sinyal ini untuk
mengendalikan perilaku makan mereka (Carper et al.; Tribole & Resch, dalam
Tylka, 2006). Kesadaran atas pengalaman internal merupakan aspek utama
pada well-being. Kesadaran ini merupakan bawaan sejak lahir, hanya saja
pada perkembangannya beberapa orang mengganti pengalaman internal ini
dengan aturan-aturan dari luar (larangan waktu, apa dan seberapa banyak porsi
makan) seiring dengan terinternalisasinya pesan-pesan lingkungan yang
mengatakan bahwa diet akan memberikan hasil yang sesuai harapan (Tylka,
2006).
4. Body-food choice congruence
Tylka dan Kroon Van Diest (2013) dalam mengembangkan revisi dari
Intuitive Eating Scale (IES-2), kemudian menambahkan sebuah komponen
dari intuitive eating yang diungkapkan oleh Tribole dan Resch (2003),
mengenai menghargai kesehatan atau mempraktekan “gentle nutrition”.
pilihan makanan yang mempertahankan kesehatan dan fungsi tubuh mereka
(seperti memilih makanan yang meningkatkan tenaga, stamina dan performa
tubuh) dan juga tetap terasa enak dimakan.
Individu yang melaksanakan gentle nutrition dapat menanyakan pada
dirinya sendiri “bagaimana tubuh ini akan terasa karena makanan ini? Apakah
saya menyukai perasaan tersebut” dan “apakah makanan ini memberikanku
tenaga yang akan bertahan lama? Apa yang kurasakan setelah memakannya?”
dan menggunakan informasi dari pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk
menjadi petunjuk untuk memilih makanan di masa yang akan datang, namun
tidak dengan aturan yang kaku.
Tribole dan Resch (dalam Tylka & Kroon Van Diest, 2013)
menempatkan gentle nutrition di akhir buku mereka dengan pertimbangan
agar seseorang tidak terlalu berfokus pada nutrisi sebelum mempelajari
prinsip-prinsip intuitive eating lainnya. Meskipun begitu mereka menekankan
pentingnya gentle nutrition dalam pengalaman intuitive eating. Bila intuitive
eating dinyatakan sebagai adaptif, maka intuitive eating juga harus
merepresentasikan individu seringkali memilih makanan yang bernutrisi untuk
membantu fungsi tubuh mereka.
2.1.4 Faktor- faktor yang mempengaruhi intuitive eating
Shepherd (dalam Odgen, 2010) memaparkan bahwa faktor yang mempengaruhi
25
budaya) atau faktor internal dari individu (kepribadian, faktor sensorik dan
kognisi).
Belum banyak teori yang mengungkapkan apa saja faktor-faktor yang
mempengaruhi intuitive eating. Namun dari beberapa literatur dan penelitian
terdahulu terdapat keterkaitan antara faktor-faktor berikut terhadap intuitive
eating, yaitu :
1. Well-Being
Kemampuan untuk makan secara intuitif berhubungan dengan tingginya
well-being dan rendahnya gejala-gejala gangguan makan (Tylka & Wilcox, 2006).
Intuitive eating juga berhubungan dengan meningkatnya psychological
well-being seperti self-esteem, kepuasan hidup, proactive coping, optimisme dan
afek positif. Selain itu Tylka (2006) dengan Intuitive Eating Scale (IES)
menunjukan bahwa skor IES secara positif memiliki hubungan dengan
beberapa index well-being. Pada pengembangan IES-2, Tylka dan Kroon Van
Diest (2013) juga menemukan bahwa intuitive eating secara positif
berhubungan dengan apresiasi pada tubuh, self-esteem, dan kepuasan hidup.
2. Pengaruh caregiver
Terdapat bukti yang mendukung bahwa anak-anak mengadopsi sikap dan
perilaku makan berdasarkan sikap dan perilaku makan orangtuanya, seiring
dengan pesan-pesan yang mereka berikan pada anak mereka mengenai
perilaku makan (Birch, 1999; Birch & Fisher, 2000; Cutting, Fisher,
Grimm-Thomas, & Birch, 1999; Fisher & Birch, 1999). Penelitian juga menunjukan
mengenai perilaku makan, berat atau bentuk badan dan penampilan fisik
mereka, resiko anak untuk memiliki citra tubuh yang negatif serta gejala
gangguan makan akan meningkat (Striegel-Moore & Kearney-Cooke, 1994;
Smolak, Levine, & Schermer, 1999)
Beberapa contoh dari pesan-pesan dan perilaku makan yang
ditekankan para orang tua adalah jadwal makan yang kaku, pembatasan porsi
makanan serta pendapat mengenai perilaku makan anak mereka. Leann Birch
melakukan banyak studi mengenai perilaku makan masa kanak-kanak dan
menemukan bahwa pembatasan makan ketika masih kecil dapat mengarah
pada ketidakpuasan bentuk tubuh, indeks masa tubuh yang lebih banyak, dan
tingkat gangguan makan yang lebih tinggi (Birch, 1999; Birch & Fisher, 2000;
Cutting et al., 1999; Fisher & Birch, 1999).
Orang tua seringkali mencoba mengontrol perilaku makan
anak-anakanya dengan menggunakan strategi pemberian makan dengan paksaan.
Birch (1999) menemukan bahwa ketika orang tua tidak mengijinkan makanan
tertentu pada seorang anak, maka makanan itu menjadi lebih diinginkan oleh
sang anak.
Selain itu label yang diberikan pada makanan sebagai baik atau tidak
baik melatarbelakangi kecenderungan anak untuk lebih menginginkan
makanan yang berlabel buruk dibandingkan dengan makanan yang baik.
Perilaku ini terkadang terbawa sampai masa dewasa, yang pada akhirnya
menjadikan tingginya angka gangguan makan dan obesitas (Cutting et.
27
Pesan-pesan mengenai perilaku makan tertentu oleh caregiver, juga
berhubungan dengan body attitudes dan perilaku makan pada perempuan dan
laki-laki yang berada pada tahap perkembangan dewasa muda. Pesan-pesan
restriktif ataupun kritis memprediksi persepsi penerimaan tubuh oleh keluarga
dan intuitive eating yang lebih rendah serta persepsi tekanan keluarga untuk
kurus dan gangguan makan yang lebih tinggi (Kroon Van Diest & Tylka,
2010).
3. Karakteristik kepribadian
Trait kepribadian telah dikaitkan dengan onset, ekspresi gejala dan
pemeliharaan dari ganguan makan. Baik anorexia dan bulimia secara
konsisten memiliki karakteristik perfeksionisme, obsesif-compulsif,
neuroticism, emosi negatif, harm avoidance, self-directedness yang rendah,
sifat kooperatif yang rendah dan trait-trait yang berhubungan dengan
gangguan kepribadian avoidant. Perbedaan konsisten yang muncul diantara
kelompok gangguan makan adalah tingginya constraint dan persistence serta
rendahnya novelty seeking pada anorexia dan tingginya impulsifitas, sensation
seeking, novelty seeking, serta trait-trait yang berghubungan dengan gangguan
kepribadian borderline pada bulimia (Cassin & Von Ranson, 2005). Bahkan
sebanyak 55 makalah yang di publikasikan antara 1990 dan 2005
diidentifikasikan telah mengukur karakteristik kepribadian perfeksionisme
diantara individu yang didiagnosa dengan gangguan makan (Bardone-Cone,
Sementara itu terdapat beberapa penelitian yang menemukan bahwa
karakteristik kepribadian tertentu berhubungan dengan intuitive eating,
diantaranya Tylka (2006) yang meneliti hubungan antara intuitive eating
dengan beberapa karakteristik kepribadian pada mahasiswi dan menemukan
bahwa intuitive eating berhubungan secara negatif dengan ketidakpuasan
tubuh, dan kesadaran introseptif yang rendah.
4. Tekanan lingkungan
Banyak penelitian yang menemukan bahwa citra tubuh negatif merupakan
emosi negatif yang disebabkan oleh internalisasi dari media yang berfokus
pada tubuh yang kurus dan berat badan. Salah satu dari penelitian tersebut
menemukan bahwa internalisasi dari thin-ideal yang ditawarkan oleh media
dapat mengarah pada gejala gangguan makan, depresi dan lebih tingginya
level ketidakpuasan tubuh pada pria dan wanita (Agliata & Tantleff-Dunn,
2004; Fredrickson & Roberts, 1997; Stice, Nemeroff, & Shaw 1996). Karena
internalisasi ini tidak dapat dicapai oleh kebanyakan individu, citra tubuh yang
negatif dan rasa malu pada tubuh seringkali muncul (Noll & Fredrickson,
1998). Citra tubuh dan rasa malu pada tubuh ini dapat mengarah pada
kesehatan mental dan well-being yang negatif, yang kemudian meramalkan
gangguan makan (Frederickson & Roberts, 1997).
Teori humanistis mengasumsikan bahwa persepsi penerimaan tanpa
syarat dari significant others dapat membantu individu untuk menyesuaikan
diri dengan kecenderungan aktualisasi mereka, proses bawaan menuju
29
2006). Mengikuti kecenderungan aktualisasi memungkinkan individu untuk
menjadi otentik, mereka akan kurang berfokus pada bagaimana mereka
terlihat oleh orang lain dan lebih mengarah pada apa yang diri dan tubuh
mereka butuhkan untuk berkembang (Augustus-Hovarth & Tylka, 2011).
Berperilaku intuitive eating mencerminkan penghargaan terhadap
inner experience dan menghormati kebutuhan tubuh, bisa menjadi salah satu
indikator keselarasan dengan kecenderungan aktualisasi (Avalos & Tylka,
2006). Kecenderungan aktualisasi dan oleh karenanya intuitive eating bisa
terganggu oleh lingkungan yang menekankan dan lebih melihat penampilan
daripada menawarkan dukungan sosial dan penerimaan tubuh
(Augustus-Hovarth & Tylka, 2011).
2.1.5 Pengukuran intuitive eating
Alat ukur pertama yang diterbitkan dalam literatur akademis dikembangkan dan
diuji oleh Hawks, Merrill dan Madanat pada tahun 2004 (Van Dyke &
Drinkwater, 2013). Skala yang memiliki 27 item ini terdiri dari sub-skala intrinsic
eating (kemampuan untuk menganali tanda fisik dari rasa lapar, kepuasan, dan
kekenyangan), extrinsic eating (pertimbangan akan kemungkinan makanan
dengan cakupan yang luas dan makan apa yang diinginkan), anti diet atau
menghargai makanan dan memperhatikan efek fisik dari makan, dan terakhir self
care atau penghargaan lebih kepada kesehatan dan energi daripada penampilan
Selain Intuitive Eating Scale (IES) oleh Hawks et. al (2004), Intuitive
Eating Scale oleh Tylka (2006) berdasarkan pada 10 prinsip intuitive eating yang
dikemukakan oleh Tribole dan Resch (1995). Kemudian, Tylka
mengelompokannya menjadi tiga dimensi yaitu : Unconditional Permission to Eat
(UPE), Eating for Physical Rather Than Emotional Reasons (EPR); dan Reliance
on Hunger and Satiety Cues (RHSC).
Pada penelitian ini menggunakan alat ukur berupa The Intuitive eating
Scale-2 (Tylka & Kroon Van Diest, 2013), yang merupakan skala yang terdiri dari
23 item dan dikembangkan untuk meningkatkan Intuitive Eating Scale yang
sebelumnya. Perubahan dari IES sebelumnya berupa penambahan 17 item dengan
kalimat positif yang disebut sebagai dimensi Body–Food Choice Congruence,
serta pengujian skala baru yang dilakukan baik pada perempuan maupun laki-laki.
2.2 Subjective Well-Being
2.2.1 Definisi subjective well-being
Diener (2000) mengungkapkan bahwa “good life” atau kehidupan yang baik, atau
disebut juga subjective well-being (SWB) dan dalam kalimat sehari-hari terkadang
disebut sebagi kebahagiaan, merupakan evaluasi seseorang akan kehidupannya
baik afektif dan kognitif. Lebih lanjutnya, Diener, Oishi dan Lucas (2003)
mendefinisikan subjective well-being sebagai “people’s emotional and cognitive
evaluations of their lives, includes what lay people call happiness, peace,
31
seseorang mengenai kehidupannya, termasuk apa yang secara awam disebut
kebahagiaan, pencapaian, dan kepuasan hidup.
Diener, Suh, Lucas dan Smith (1999) mengungkapkan subjective
well-being sebagai “a broad category of phenomena that includes people’s emotional
responses, domain satisfactions, and global judgements of life satisfaction”. Yaitu
sebuah kategori yang luas dari fenomena yang mencakup respon emosional,
domain kepuasan, dan penilaian umum akan kepuasan hidup.
Sementara itu Eid dan Diener (2003) mengungkapakan bahwa “Subjective
well-being (SWB) is an important indicator of quality of life. SWB can be
conceptualized as a momentary state (e.g., mood) as well as a relatively stable
trait (e.g., life satisfaction)”. Yaitu subjective well-being merupakan indikator
penting dari kualitas hidup. Subjective well-being dapat di konseptualisasikan
sebagai keadaan sementara (mood) maupun sebagai trait yang relatif stabil
(kepuasan hidup).
Dasar dari subjective well-being (SWB), terdiri dari analisis ilmiah tentang
bagaimana orang menilai kehidupan mereka. Baik pada saat ini dan untuk jangka
waktu yang lebih lama seperti beberapa tahun kebelakang. Evaluasi ini meliputi
reaksi emosional akan suatu kejadian, mood, dan penilaian yang dibentuk
mengenai kepuasan hidup, capaian dan kepuasan pada domain tertentu seperti
2.2.2 Dimensi subjective well-being
Komponen subjective well-being dapat dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi kognitif
(penilaian atau judgement) dan afektif dalam kehidupan setiap individu yang
sedang berlangsung dan merasa sehat secara psikologis (Dienner, et. al 1999)
1. Komponen kognitif
Komponen kognitif dari subjective well-being adalah evaluasi terhadap
kepuasan hidup, yang didefinisikan sebagai penilaian diri hidup seseorang.
Kepuassan hidup merupakan sebuah proses judgemental, dimana individu
mengukur kualitas hidup mereka berdasarkan kriteria unik masing-masing.
(Pavot & Diener, 1993)
Kepuasan hidup merujuk pada proses penilaian kognitif, Shin dan
Johnson (dalam Diener, Emmons, Larsen & Griffin, 1985) mendefinisikan
kepuasan hidup sebagai penilaian global atas kualitas kepuasan dalam hidup
seseorang berdasarkan kriteria yang ia pilih. Penilaian akan kepuasan
bergantung pada perbandingan keadaan seseorang dengan apa yang dinilai
sebagai standar yang tepat. Sangatlah penting untuk menyampaikan bahwa
penilaian dari seberapa puas seseorang dengan keadaan mereka sekarang ini
berdasarkan perbandingan dengan standar yang telah dibuat setiap individu
untuk dirinya sendiri, bukan ditentukan dari luar. pertanda dari wilayah
subjective well-being berpusat pada penilaian individu itu sendiri, bukan
berdasarkan kriteria yang dinilai penting bagi peneliti (Diener et. al, 1985).
Contohnya, meskipun kesehatan, energi, dan lain-lain bisa diukur,
33
Dengan alasan ini Diener et. al (1985) merasa perlu untuk menanyakan kepada
individu mengenai evaluasi keseluruhan akan kehidupan mereka, daripada
menyimpulkan kepuasan seseorang dengan dimensi spesifik untuk mengukur
kepuasan hidup keseluruhan. Seperti yang diungkapkan Tatarkiewicz (dalam
Diener et. al, 1985), kebahagian memerlukan kepuasan total, yaitu kepuasan
atas hidup secara keseluruhan.
Komponen kognitif dari subjective well-being dapat diukur melalui survey
kepuasan hidup dan juga dapat diukur dari kepuasan dan pencapaian dari
berbagai domain kehidupan seperti pernikahan, pekerjaan, dan waktu luang.
sehingga evaluasi terhadap kepuasan hidup dapat dibagi menjadi evaluasi
kepuasan hidup secara global dan evaluasi terhadap kepuasan domain tertentu.
2. Komponen afektif
Secara umum, komponen afektif subjective well-being merefleksikan
pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi didalam hidup seseorang.
Komponen afektif subjective well-being dapat dibagi menjadi evaluasi
terhadap keberadaan afek positif dan negatif. Positive Affect (PA) dan
Negative Affect (NA) muncul sebagai dua dimensi dominan dari pengalaman
emosional (Watson, Clark & Tellegen, 1988).
a. Evaluasi terhadap keberadaan afek positif
Afek positif menggambarkan sejauh mana sesorang mengalami
keterikatan yang menyenangkan dengan lingkungan (Watson, Clark &
Carey, 1992). Positive Affect (PA) mencerminkan sejauh mana seseorang
penuh energi, konsentrasi dan keterikatan dengan kesenangan, sementara
PA yang rendah dikarakterisasikan dengan kesedihan dan kelesuan
(Watson et. al, 1988).
b. Evaluasi terhadap keberadaan afek negatif
Negative Affect (NA) merupakan dimensi umum dari tekanan subjektif dan
keterikatan dengan rasa tidak senang yang tergolong berbagai macam
keadaan susana hati yang aversif seperti kemarahan, jijik, muak, rasa
bersalah dan kegelisahan. Nilai NA yang rendah menggambarkan keadaan
tenang dan tentram (Watson et. al, 1988).
2. 2.3 Pengukuran subjective well-being
Sebagian besar alat ukur yang digunakan untuk mengukur subjective well-being
mengasumsikan bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup dapat disusun dalam
sebuah kontinum mulai dari “sangat bahagia” sampai dengan “sangat tidak
bahagia”. Salah satu skala yang memiliki nilai reabilitas yang tinggi dan paling
sering digunakan adalah Satisfaction With Life Scale oleh Diener et. al (1985)
untuk mengukur nilai individu mengenai kepuasan hidupnya dan positive Affect
Negative Affect Schedule oleh Watson, Clark dan Tellegen (1988) untuk
mengukur tingkat afek positif dan negatif individu pada satu waktu.
Pada penelitian ini menggunakan alat ukur yang diadaptasi dari skala baku
The Satisfaction With Live Scale (Pavot & Diener, 1993), yang menggambarkan
tingkat kepuasan hidup seseorang secara keseluruhan. Pada skala baku berisi lima
35
penelitian ini peneliti melakukan sedikit modifikasi dengan mengganti pilihan
jawaban menjadi empat pilihan jawaban, yaitu “sangat setuju (SS)“, “setuju
(S)“,“tidak setuju (TS)“ dan “sangat tidak setuju (STS)“. Sementara itu, subjective
well-being afektif diukur dengan menggunakan modifikasi dari skala baku dari
Watson dan Clark (1994) yaitu The PANAS-X, yang berupa kata-kata yang
menggambarkan kondisi suasana hati seseorang secara umum.
2.3. Konformitas
2.3.1 Definisi konformitas
Konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan sebagai hasil nyata atau
imaginasi dari tekanan kelompok (Myers, 2010). Wills (dalam Sarwono, 2006),
berpendapat bahwa konformitas adalah bentuk respons individu ketika ia
berhadapan dengan tekanan sosial dimana individu itu harus menyesuaikan diri.
Santrock (2003), konformitas adalah individu meniru sikap atau tingkah laku
orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh
mereka. Wade dan Tavris (2007), berpendapat bahwa konformitas yaitu
melakukan tindakan atau mengadopsi sikap sebagai hasil dari adanya tekanan
kelompok yang nyata maupun yang dipersepsikan.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan definisi konformitas dari Myers
(2010) dan dikhususkan pada konformitas terhadap tekanan teman. Jadi,
konformitas terhadap tekanan teman adalah perubahan perilaku atau kepercayaan
2.3.2 Dimensi-dimensi konformitas
Menurut Myers (2010), ada dua jenis konformitas yaitu compliance dan
acceptance.
1. Compliance
Konformitas compliance adalah suatu bentuk konformitas dimana individu
bertingkah laku sesuai dengan tekanan yang diberikan oleh kelompok
sementara secara pribadi ia tidak menyetujui perilaku tersebut. Biasanya
seseorang melakukan compliance untuk mengindari penolakan dan
mengharapkan reward atau penerimaan.
Sarwono (2005) mengungkapkan bahwa compliance merupakan
konformitas yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum,
walaupun hatinya tidak setuju. Apabila perilaku menurut ini adalah terhadap
suatu perintah, maka disebut sebagai ketaatan (obedience)
Myers (2010) menyimpulkan bahwa compliance adalah apabila
seseorang tampak dari luar ikut serta dengan kelompok sementara didalam
dirinya ia tidak sependapat. Obedience, atau ketaatan merupakan bagian dari
compliance dengan perintah langsung.
Konformitas ini berdasarkan keinginan seseorang untuk memenuhi
ekspektansi orang lain, seringkali untuk mendapatkan penerimaan yang
dengan kata lain agar disukai orang lain atau disebabkan oleh normative
influence (Myers, 2010). Normative influence adalah mengikuti orang lain
untuk menghindari penolakan, untuk tetap diperlakukan baik atau untuk
37
2. Acceptance
Konformitas acceptance adalah suatu bentuk konformitas dimana seseorang
secara ikhlas mempercayai apa yang dibujuk kelompok untuk dilakukan
(Myers, 2010). Konformitas ini melibatkan perbuatan dan keyakinan yang
sesuai dengan tekanan sosial. Pada bentuk Acceptance, konformitas terjadi
karena kelompok menyediakan informasi penting yang tidak dimiliki oleh
individu (informational influence). Jadi acceptance adalah konformitas yang
didasari oleh penerimaan seseorang terhadap bukti realitas yang diberikan
oleh orang lain. Apabila individu tidak tahu atau bingung harus berbuat apa
maka ia akan menjadikan perilaku kelompok sebagai pedoman perilaku dan
meyakini hal tersebut benar (Myers, 2010)
2.3.3 Pengukuran konformitas
The Conformity Scale oleh Mehrabian (2005) mengukur derajat sejauh mana
individu memiliki “karakteristik kemauan untuk mengidentifikasi orang lain dan
meniru mereka, menyerah pada orang lain untuk menghindari interaksi negatif
dan secara umum lebih memilih untuk menjadi pengikut daripada pemimpin
dalam hal ide , nilai-nilai , dan perilaku”. Skala ini terdiri dari tujuh item dengan
kata-kata positif (e.g., “ saya cenderung mengandalkan orang lain ketika harus
memutuskan secara cepat hal yang penting”) dan empat kata-kata negatif (e.g.,
”saya tidak mudah menyerah pada orang lain”). Partisipan menandai tujuh poin
skala likert mengenai sejauh apa mereka setuju-atau tidak setuju akan setiap