• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh subjective well-being, konformitas dan faktor demografis terhadap intuitive eating pada dewasa awal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh subjective well-being, konformitas dan faktor demografis terhadap intuitive eating pada dewasa awal"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Subjective Well-Being, Konformitas dan Faktor Demografis

terhadap Intuitive Eating pada Dewasa Awal

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh:

Rachmah Annurfatmah NIM : 107070002502

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

vii

ABSTRACT

A. Faculty of Psychology UIN Syarif Hidayatullah Jakarta B. October 2014

C. Rachmah Annurfatmah

D. Predicting Influence of Subjective Well-Being and Conformity to Intuitive Eating on Early Adult

E. xiv + 95 page (appendix not included)

The aims of this study is to determine whether there’s a significant influence of subjective well-being and conformity to intuitive eating in early adult. Data on intuitive eating is obtained through a questionnaire distributed to 159 early adult respondents with non-probability sampling techniques. The instrument validity on this study tested by lisrel 8.70 software and subsequently analyzed by multiple regression analysis (multiple regression) with SPSS 16.0 .

The results shows that there was a significant joint influence of subjective well-being’s cognitive domain, subjective well-being’s affective domain, conformity’s

acceptance, conformity’s compliance, gender, age and body mass index (BMI) by 23.4 % of influence, while the remaining 76.6 % was influenced by another variables outside current research.

Based upon each independent variable, there’s no significant influence from both of subjective well-being’s domain to intuitive eating. On the other hand, there’s a significant influence of conformity to intuitive eating in early adult. This significant influence exist from each conformity’s domain (acceptance and compliance). The significant influence of demographic variables (age, gender and BMI) were not found on current research. The biggest influence predictor of intuitive eating on this study was conformity’s acceptance domain. Moreover, there’s no significant intuitive

eating’s mean difference found on respondent’s occupation.

Key words : Subjective Well-Being, Conformity, Intuitive Eating, Early Adult F. 53 Resources (1980-2013): 9 Books + 40 Journal + 2 Thesis + 1 Dissertation + 1

(8)

viii

A. Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta B. Oktober 2014

C. Rachmah Annurfatmah

D. Pengaruh Subjective Well-Being dan Konformitas terhadap Intuitive Eating pada Dewasa Awal

E. xiii + 95 halaman (belum termasuk lampiran)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari subjective well-being dan konformitas terhadap intuitive eating pada dewasa awal. Data mengenai intuitive eating diperoleh melalui angket yang disebarkan kepada 159 responden dewasa awal dengan teknik non probability sampling. Uji validitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan software Lisrel 8.70 dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda (multiple regression) dengan bantuan software SPSS 16.0.

Hasil penelitian ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa ada pengaruh bersama yang signifikan dari subjective well-being kognitif, subjective well-being afektif, konformitas acceptance, konformitas compliance, jenis kelamin, usia dan Body Mass Index (BMI), dengan pengaruh sebesar 23,4%, sedangkan 76,6% sisanya dipengaruhi oleh variable lain diluar penelitian ini.

Jika dilihat dari masing-masing IV dan dimensinya, maka diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan dari subjective well-being serta dimensi-dimensinya terhadap perilaku makan intuitive eating pada dewasa awal. Sementara itu diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari konformitas terhadap intuitive eating pada dewasa awal. Pengaruh yang signifikan ini terjadi pada masing-masing dimensi konformitas, yakni compliance dan acceptance. Kemudian tidak ada pengaruh yang signifikan dari data demografis jenis kelamin, usia dan BMI terhadap intuitive eating pada dewasa awal. Prediktor dengan pengaruh paling besar terhadap intuitive eating pada penelitian ini adalah konformitas acceptance. Selain itu, pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan rata-rata intuitive eating yang signifikan pada masing-masing kategori jenis pekerjaan.

Kata kunci : Subjective Well-Being, Konformitas, Intuitive Eating, Dewasa Awal F. Bahan Bacaan 53 ( 1980-2013) : 9 Buku + 40 Jurnal + 2 Tesis + 1 Disertasi + 1

(9)
(10)
(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iv

1.2. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 11

1.2.1. Pembatasan Masalah ... 1

1.2.2. Perumusan Masalah ... 13

1.3. Tujuan Penelitian ... 14

1.4. Manfaat Penelitian ... 15

1.4.1. Manfaat Teoritis ... 15

1.4.2. Manfaat Praktis ... 15

1.5. Sistematika Penulisan ... 15

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Intuitive Eating ... 17

2.1.1. Definisi Intuitive Eating ... 17

2.1.2. Karakteristik Intuitive Eating ... 18

2.1.3. Dimensi-dimensi Intuitive Eating ... 20

2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Intuitive Eating ... 24

2.1.5. Pengukuran Intuitive Eating ... 29

2.2. Subjective Well-Being ... 30

2.2.1. Definisi Subjective Well-Being... 30

2.2.2. Dimensi-dimensi Subjective Well-Being ... 32

2.2.3. Pengukuran Subjective Well-Being ... 34

(12)

xii BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1. Populasi dan Sampel ... 50

3.2. Variabel Penelitian ... 51

3.2.1. Variabel Dependen(DV) dan Variabel Independen (IV) .... 51

3.2.2. Definisi Operasional Variabel ... 52

3.3. Pengumpulan Data ... 53

3.3.1. Teknik Pengumpulan Data ... 53

3.3.2. Instrumen Penelitian ... 54

3.4..Uji Validitas Instrumen ... 58

3.4.1. Uji Validitas Intuitive eating ... 59

3.4.2. Uji Validitas Subjective Well-Being ... 64

3.4.3. Uji Validitas Konformitas ... 68

3.5. Metode Analisis Data ... 71

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Karakteristik Sampel ... 74

4.2. Kategorisasi Skor Variabel ... 76

4.2.1. Kategorisasi Skor Intuitive Eating ... 76

4.3. Uji Hipotesis Penelitian ... 77

4.3.1. Analisis Regresi Variabel Penelitian ... 77

4.4. Analisis Proporsi Varian ... 83

(13)

xiii DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Format Skala Likert ... 54

Tabel 3.2 Blue Print Skala Intuitive Eating ... 55

Tabel 3.3 Blue Print Skala Afek Positif-Negatif ... 56

Tabel 3.4 Blue Print Skala Konformitas ... 57

Tabel 3.5 Batas Ambang BMI menurut Depkes RI ... 58

Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Eating For Physical Rather Than Emotional Reason ... 60

Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Unconditional Permission to Eat ... 61

Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Reliance on Internal Hunger and Satiety ... 62

Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Body-Food Congruence ... 63

Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Subjective Well-Being Kognitif ... 65

Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Afek Negatif ... 66

Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Afek Positif ... 68

Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Konformitas Compliance ... 69

Tabel 3.14 Muatan Faktor Item Konformitas Acceptance. ... 71

Tabel 4.1 Karakteristik Sampel Penelitian ... 74

Tabel 4.2 Norma Skor ... 76

Tabel 4.3 Distribusi Skor Intuitive Eating ... 77

Tabel 4.4 R Square ... 78

Tabel 4.5 Anova ... 78

Tabel 4.6 Koefisien Regresi ... 79

Tabel 4.7 One Way Anova Pekerjaan dengan Intuitive Eating ... 82

(14)
(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini akan dibahas mengenai latar belakang penelitian,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan

penelitian.

1.1Latar Belakang Masalah

Nutrisi buruk dan obesitas telah menjadi salah satu dari beberapa isu penting yang

dihadapi masyarakat pada masa kini (Deshpande, Basil & Basil 2009). Badan

kesehatan dunia (WHO dalam Odgen, 2010) memperkirakan bahwa 1,5 juta orang

dewasa di seluruh dunia mengalami berat badan berlebih dan 400 juta mengalami

obesitas. Di Indonesia sendiri permasalahan gizi pada orang dewasa juga

cenderung lebih dominan untuk kelebihan berat badan. Berdasarkan hasil

Riskesdas 2010, secara nasional dapat dilihat masalah gizi pada penduduk dewasa

di atas 18 tahun adalah: 12,6 persen kurus, dan 21,7 persen gabungan kategori

berat badan lebih (BB lebih) dan obese, yang bisa juga disebut obesitas.

Seiring dengan meningkatnya obesitas, upaya-upaya untuk menurunkan

berat badan pun bermunculan. Pendekatan tradisional untuk mengurangi berat

badan selama ini adalah dengan membatasi asupan makanan (diet) dan

meningkatkan olah raga. Pendekatan semacam ini, ternyata seringkali tidak

berhasil untuk mengurangi masa tubuh dalam jangka waktu yang panjang. Selain

(16)

disebut juga sebagai diet yo-yo, dapat membahayakan baik pada kesehatan tubuh

maupun pada kesehatan mental (Van Dyke & Drinkwater, 2013).

Beberapa penelitian sebelumnya secara konsisten menunjukan bahwa

percobaan diet seringkali tidak berhasil dan tidak meprediksi penurunan maupun

pemeliharaan berat badan. Hasilnya justru memprediksi penambahan berat badan

dan status kelebihan berat badan. Selain itu, para pelaku diet dapat mengalami

fluktuasi berat tubuh yang besar, distress emosional, dan resiko berkembangnya

gangguan makan (Denny, Loth, Eisenberg & Neumark-Sztainer, 2013). Karena

itulah sangat dibutuhkan metode yang tidak hanya mengatasi status berat badan

dan permasalahan kesehatan terkait, namun juga dapat meningkatkan status

emosional serta dapat mengurangi resiko berkembangnya gangguan makan.

Pada penelitian-penelitian terdahulu mengenai perilaku makan, ilmuwan

psikologi seringkali lebih berfokus pada pendekatan patologis dibandingkan

dengan pendekatan yang lebih adaptif (Tylka, 2006). Kini penelitian psikologis

berada pada tahap awal dalam meneliti bagaimana perilaku makan adaptif dapat

mengurangi resiko gangguan makan di masa depan. Meskipun pengurangan

faktor-faktor resiko gangguan makan seperti internalisasi thin–ideal dan

ketidakpuasan tubuh merupakan komponen penting dalam upaya pencegahan,

pemahaman lebih baik mengenai bagaimana sikap dan perilaku adaptif dapat

mempromosikan perilaku makan sehat dan mencegah berkembangnya gangguan

makan di masa depan juga diperlukan (Young, 2010).

Salah satu bentuk dari perilaku makan adaptif yang baru-baru ini

(17)

3

Resch (1995) menggambarkan intuitive eating sebagai bentuk perilaku makan

adaptif yang ditandai oleh hubungan yang kuat dengan isyarat-isyarat internal dari

rasa lapar dan kenyang fisiologis (Tylka & Kroon Van Diest, 2013). Beberapa

psikolog dan ahli nutrisi berargumen bahwa perilaku makan ini tergolong adaptif

karena intuitive eating terkait dengan hubungan, pemahaman dan respon yang

kuat pada kebutuhan fisiologis internal yang berkaitan dengan rasa lapar dan

kenyang serta rendahnya ketergantungan terhadap makanan (Tylka, 2006)

Tylka dan Kroon Van Diest (2013) mengemukakan bahwa intuitive eating

terdiri dari empat unsur utama yaitu unconditional permission (izin tanpa syarat)

untuk makan ketika lapar dan makan apa makanan yang diinginkan, makan untuk

tubuh daripada makan karena alasan emosi, keterkaitan antara isyarat rasa lapar

dan kenyang internal untuk menentukan kapan dan berapa banyak yang

dikonsumsi, dan menghargai kesehatan diri sendiri atau mempraktekan ‘gentle

nutrition’ (nutrisi yang baik). Tidak ada pantangan pada jenis-jenis makanan yang

dapat dikonsumsi seseorang, kecuali disebabkan isu kesehatan tertentu (misal,

diabetes, alergi makanan), karena tubuh akan secara insting memilih berbagai

jenis makanan yang dapat mendukung keseimbangan nutrisi (Van Dyke &

Drinkwater, 2013).

Unconditional permission to eat meliputi penyesuaian diri pada sinyal

lapar dan preferensi makanan. Selain itu juga tidak membuat pilihan makanan

berdasarkan apakah makanan itu berada pada kategori baik atau buruk. Kedua,

penekanan pada makan berdasarkan dorongan biologis dibandingakan dengan

(18)

perilaku makan sehat. Secara lebih spesifik, Costanzo, Reichmann, Friedman, dan

Musante (2001) serta Herman, Polivy, Lank, dan Heatherton (1987) menemukan

bahwa, ketika diet restriktif menggantikan panduan sinyal lapar dan kenyang

bawaan, frekuensi makan berlebihan akan meningkat ketika berada dalam tekanan

emosi. Ketiga, keterkaitan antara isyarat lapar dan kenyang internal meliputi

kesadaran akan sinyal lapar dan kenyang tubuh dan meyakini sensasi tersebut

sebagai pedoman perilaku makan sehat (Young, 2010). Kemudian komponen

terakhir food & body congruence atau gentle nutrition mencerminkan

kecenderungan seseorang untuk membuat pilihan makanan yang mempertahankan

kesehatan dan fungsi tubuh mereka (seperti memilih makanan yang meningkatkan

tenaga, stamina dan performa tubuh) dan juga tetap terasa enak dimakan (Tylka &

Kroon Van Diest, 2013).

Singkatnya, konsep intuitive eating menunjukkan bahwa semua individu

memiliki mekanisme alami dari dalam diri mereka sendiri yang jika diizinkan

akan memastikan fungsi nutrisi yang baik pada berat badan yang sehat. Ketika

seseorang terhubung dengan “inner guide” (panduan dari dalam) atau mengakses

inner wisdom” (kebijakan dari dalam), maka mereka akan lebih selaras dengan

kebutuhan fisik tubuhnya dan akan makan dengan cara yang mendukung

pemeliharaan berat badan yang sehat dan nutrisi yang positif. Pada saat yang sama

mereka akan menghindari makan berlebihan, konsumsi makanan secara obsesif,

diet yang berbahaya, atau mengunyah tanpa arti (Hawks, Merril & Madanat,

(19)

5

Bacon, Stern, Marta, Van Loan dan Keim (2005) membuktikan melalui

penelitian eksperimental berupa sebuah program intervensi yang menekankan

pada “Health in every size” bahwa dengan pendekatan intuitive eating, partisipan

yang merupakan penderita obesitas, dapat memelihara perubahan perilaku jangka

panjang, yang tidak didapatkan dari pendekatan diet. Dengan mendorong

penderimaan ukuran tubuh, mengurangi perilaku diet serta meningkatkan

kesadaran dan respon pada sinyal tubuh pada akhirnya akan meningkatkan

indikator kesehatan yang umumnya menjadi resiko para penderita obesitas.

Pada penelitian ini peneliti memperkirakan bahwa faktor-faktor psikologis

seperti subjective well-being dan konformitas seseorang akan berpengaruh pada

kecenderungan seseorang untuk berperilaku makan secara intuitif. Eid dan Diener

(2003) mengungkapkan bahwa Subjective well-being merupakan merupakan

evaluasi seseorang akan kehidupannya baik afektif dan kognitif. Subjective

well-being sendiri dapat di konseptualisasikan sebagai keadaan sementara (mood)

maupun sebagai trait yang relatif stabil (kepuasan hidup).

Dalam hubungannya dengan intuitive eating beberapa literatur secara

konsisten menunjukan hubungan antara afek negatif dengan resiko

berkembangnya gejala gangguan makan yang meningkat. Salah satunya

mengungkapkan bahwa afek/sikap negatif merupakan faktor umum dari

kerawanan psikopatologis dan merupakan faktor spesifik dari meningkatnya

resiko gangguan makan (Leon, Fulkerson, Perry, Keel, & Klump, 1999). Dalam

(20)

makan, emosi negatif dasar diprediksi pada permulaan gejala bulimia pada dewasa

awal (Tyrka, Waldron, Graber & Brooks-Gunn, 2002).

Pada tesis penelitian yang dilakukan Kroom Van Diest (2007) afek negatif

beserta depresi, ketidak puasan tubuh, rendahnya penghargaan pada tubuh,

perfeksionisme maladaptif, rendahnya self-esteem dan optimisme terbukti

memiliki pengaruh secara negatif terhadap intuitive eating. Seperti yang kita

ketahui sebelumnya bahwa afek merupakan salah satu dimensi dari subjective

well-being. Sementara itu untuk dimensi kognitif dari subjective well-being, yaitu

kepuasan hidup, dapat dilihat pada penelitian Tylka dan Kroon Van diest (2013)

yang menemukan bahwa intuitive eating secara positif berhubungan dengan

kepuasan hidup beserta dengan apresiasi pada tubuh dan self-esteem.

Dockendorf (2011), mereplikasi penelitian Tylka (2006) dalam tesisnya

yang mengevaluasi Intuitive Eating Scale pada sampel remaja, menemukan bahwa

remaja dengan skor intuitive eating yang lebih tinggi memiliki BMI yang lebih

rendah, lebih sedikit internalisasi pemikiran lingkungan mengenai penampilan,

tekanan untuk mengurangi berat badan, diet dan memiliki tubuh kurus, lebih

sedikit afek negatif serta lebih memiliki afek positif. Selain itu mereka juga lebih

memiliki kepuasan akan tubuh, kepuasan hidup, self-esteem yang lebih tinggi

serta lebih sedikit gejala depresi. Selain itu skor intuitive eating juga secara positif

memiliki hubungan dengan beberapa index well-being (Tylka, 2006).

Konformitas sendiri merupakan perubahan perilaku atau kepercayaan

sebagai hasil dari tekanan kelompok (Myers, 2010). Dalam penelitian ini, tekanan

(21)

7

disebutkan Butcher, Mineka dan Hooley (2007) yang menyebutkan bahwa faktor

sosiokultural (pengaruh teman sebaya dan pengaruh media) merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi perilaku makan abnormal.

Mengingat Intuitive eating memiliki konsep sebagai perilaku makan yang

adaptif sementara gangguan makan memiliki konsep sebagai perilaku makan

maladaptif (Tylka & Kroon Van Diest, 2013), maka peneliti memperkirkan bahwa

faktor konformitas dapat mempengaruhi intuitive eating sebagaimana konformitas

mempengaruhi perilaku makan abnormal. Scheff (1988) menyatakan bahwa rasa

malu akan bentuk tubuh dapat memotivasi konformitas pada norma sosial.

Antisipasi atau rasa takut seseorang akan konsekuensi negatif dari rasa malu

tersebut dapat melatarbelakangi perilaku makan restriktif dan gangguan makan

(Noll & Fredrickson, 1998). Selain itu Vartanian dan Hopkinson (2010)

menemukan bahwa konformitas nampaknya menjadi faktor resiko intenalisasi

standar sosial akan konsep penampilan yang menarik serta dapat ditargetkan

dalam upaya untuk mengurangi internalisasi, body image yang negatif dan

gangguan makan.

Meskipun belum ada penelitian yang secara pasti menemukan bahwa

konformitas mempengaruhi intuitive eating, Augustus-Horvath dan Tylka (2011)

menyatakan, intuitive eating mungkin saja berkaitan secara negatif dengan

kekakuan dan aturan konformitas, atau penerimaan dari kepatuhan pada norma

sosial. Karena intuitive eating berkaitan dengan fleksibilitas (kesediaan untuk

mengikuti isyarat lapar dan kenyang yang tidak dapat di prediksi) dan tidak secara

(22)

makan. Hal ini dapat berarti seseorang dengan intuitive eating biasanya akan

makan berdasarkan isyarat yang ada dari tubuhnya dibandingkan dengan

mengikuti isyarat dari luar, seperti karena mengikuti jam makan orang lain yang

seringkali dilakukan banyak orang pada saat makan siang bersama.

Selain subjective well-being dan konformitas, penulis juga menduga

behwa faktor demografis seperti jenis kelamin, usia, indeks massa tubuh (BMI),

dan pekerjaan juga mempengaruhi intuitive eating. Pada penelitian Tylka dan

Kroon Van Diest (2013) laki-laki ditemukan memiliki skor intuitive eating dan

sub skala makan untuk kepentingan tubuh yang secara konsisten lebih tinggi

dibandingkan dengan perempuan. Meskipun begitu perbedaan jenis kelamin lebih

sedikit tergambarkan diantara sub skala intuitive eating lainnya, dengan derajat

perbandingan yang sangat sedikit antara laki-laki dan perempuan.

Augustus-Horvath dan Tylka (2011) pada penelitiannya mengenai intuitive

eating pada wanita dewasa, berargumentasi bahwa orang-orang yang memasuki

masa dewasa (18 sampai dengan 25 tahun) seringkali berfokus pada tubuhnya dan

mengalami citra tubuh yang negatif seiring dengan pesan pesan media yang

menggambarkan bahwa wanita pada usia mereka dianggap sukses dengan bentuk

tubuh yang kurus dan menarik. Kemungkinan tingkatan dan hubungan intuitive

eating akan berbeda pada wanita yang berada pada tahapan perkembangan lainnya

seperti pada dewasa awal (antara 26 sampai dengan 39 tahun) dan dewasa tengah

(antara 40 sampai dengan 65 tahun) seiring dengan perubahan perkembangan

seperti kualitas hubugan mereka, perubahan penampilan tubuh karena usia dan

(23)

9

& Isaacs; Santrock dalam Augustus-Horvath & Tylka 2011). Selain itu, pada

penelitian tersebut ditemukan bahwa perempuan pada dewasa awal memiliki daya

tahan yang lebih positif untuk mengadopsi perspektif apresiasi tubuh orang lain

dibandingkan dengan perempuan yang baru memasuki dewasa dan perempuan

pada dewasa tengah.

Dalam kaitannya dengan indeks massa tubuh (BMI), dasar pemikiran

utama dari Intuitive eating adalah secara akurat mengintepretasikan dan melekat

pada umpan balik insting dalam menetukan apa dan jumlah makanan yang

dikonsumsi. Maka dari itu, dengan menghiraukan apakah intuitive eating dengan

tegas menyertakan tujuan menormalkan berat badan atau tidaknya, perilaku

makan dengan intuitif seharusnya berkorelasi dengan indeks masa tubuh yang

lebih rendah (Van Dyke & Drinkwater, 2013).

Penelitian klinis mendukung beberapa bukti bahwa implementasi dari

pendekatan intuitive eating membantu pemeliharaan berat badan, meskipun bukan

berkurangnya berat badan, pada perempuan kaukasia dengan berat badan lebih

dan obese (Van Dyke & Drinkwater, 2013). Salah satu penelitiannya adalah

Hawks et. al (2004) dalam mengembangkan mengembangkan The Intuitive Eating

Scale dan menemukan bahwa intuitive eating berhubungan secara negatif dengan

indeks massa tubuh (BMI), perilaku gangguan makan dan diet restriktif pada

populasi mahasiswa.

Sementara itu belum ada penelitian sebelumnya yang secara khusus

mengaitkan antara pekerjaan dengan intuitive eating. Hanya saja beberapa

(24)

mahasiswa yang merupakan pelajar. Seperti pada penelitian Hawks et. al (2004)

yang meneliti intuitive eating pada sampel mahasiswa. Penelitian oleh Tylka

(2006) dalam mengembangkan Intuitive eating Scale (IES) mengumpulkan data

dalam empat studi dari 1.260 mahasiswi. Kemudian Tylka dan Kroon Van Diest

(2013), juga hanya meneliti intuitive eating pada mahasiwa dengan jumlah 1.405

mahasiswi dan 1,195 mahasiswa. Terdapat penelitian yang meneliti sampel pada

masa perkembangan dewasa seperti pada penelitian Augustus-Horvath dan Tylka

(2011) hanya saja tidak mengaitkan antara jenis pekerjaan seseorang secara

khusus dengan intuitive eating.

Dewasa awal sendiri dipilih oleh peneliti sebagai sampel karena meskipun

banyak kebiasaan makan muncul pada masa kanak-kanak, kebiasaan ini kemudian

terkristalisasi pada tahun pertama dari kemandirian ketika seseorang menjadi

bertanggung jawab akan pilihan makanan dan penyiapan makanannya sendiri

(Odgen, 2010). Contohnya pada mahasiswa yang berada pada tahap

perkembangan dewasa awal, yang seringkali diasumsikan sebagai masa transisi

seseorang dari ketergantungan pada orang tua menjadi kehidupan yang lebih

mandiri. Transisi di masa perguruan tinggi ini adalah periode yang sangat penting

bagi mahasiswa yang seringkali merupakan kesempatan pertama mereka untuk

membuat keputusan sendiri akan apa yang mereka konsumsi (Deshpande, et. al

2009). Masa dewasa awal (dewasa dini) dalam Hurlock (1980) dimulai pada umur

18 sampai dengan 40 tahun.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah diuraikan, peneliti merasa

(25)

11

well-being, konformitas dan faktor-faktor demografis terhadap intuitive eating

pada rentang usia dewasa awal. Oleh karena itu, peneliti merasa perlu untuk

melakukan sebuah penelitian skripsi pada dewasa awal dengan judul pengaruh

subjective well-being dan konformitas terhadap intuitive eating pada dewasa

awal”

1.2Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah

Pembatasan masalah dilakukan agar tidak menyulitkan pelaksanaan penelitian

secara keseluruhan, penelitian tidak mengalami pelebaran dan tetap fokus pada

masalah yang akan diungkap. Adapun pembatasan masalah yang penulis

maksudkan disini adalah:

1. Intuitive eating dalam penelitian ini adalah kecenderungan individual yang

berada pada dewasa awal untuk mengikuti isyarat fisik dari rasa lapar dan

kenyang ketika menentukan kapan, apa dan seberapa banyak dirinya makan.

intuitive eating dalam penelitian ini diukur melalui aspek-aspek yang terdiri

dari unconditional permission (izin tanpa syarat) untuk makan ketika lapar dan

makan apa makanan yang diinginkan, makan untuk tubuh daripada makan

karena alasan emosi, keterkaitan antara isyarat rasa lapar dan kenyang internal

untuk menentukan kapan dan berapa banyak yang dikonsumsi, dan

menghargai kesehatan diri sendiri atau mempraktekan ‘gentle nutrition

(26)

2. Subjective well-being afektif, dalam penelitian ini merupakan gambaran

kondisi suasana hati (mood) seseorang secara umum. Subjective well-being

afektif dalam penelitian ini diukur melalui aspek-aspek afek positif yang

merupakan keadaan penuh energi, konsentrasi dan rasa senang, serta afek

negatif yang merupakan dimensi umum dari tekanan dan rasa tidak senang

yang terdiri dari bermacam keadaan mood aversif seperti rasa takut, sedih, rasa

bersalah, atau sikap bermusuhan yang secara umum dirasakan oleh responden

yang berada pada usia dewasa awal.

3. Subjective well-being kognitif, dalam penelitian ini merupakan tingkat

kepuasan hidup responden pada usia dewasa awal secara keseluruhan, yang

merupakan sebuah proses judgemental, dimana mereka mengukur kualitas

hidup mereka berdasarkan kriteria unik masing-masing.

4. Konformitas, yang dimaksud dalam penelitian ini adalah adalah perubahan

perilaku atau kepercayaan responden yang berada pada usia dewasa awal

sebagai hasil nyata dari tekanan kelompok yang berkaitan dengan perilaku

makan. Konformitas diukur dengan menggunakan skala model Likert yang

terdiri dari konformitas compliance dan konformitas acceptance.

5. Faktor-faktor demografis, yang dimaksud dalam penelitian ini hanya meliputi

jenis kelamin, usia, pekerjaan dan Body Mass Index (BMI) yang diperoleh dari

data identitas dalam angket yang diberikan pada responden dewasa awal (self

report).

6. Dewasa awal dalam penelitian ini adalah tahap perkembangan masa dewasa

(27)

13

diambil secara acak dengan teknik accidental sampling pada populasi yang

relatif umum (tidak dikhususkan pada populasi dengan karakteristik khusus

seperti responden dengan pekerjaan, berat badan maupun penderita penyakit

tertentu).

1.2.2 Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai

berikut :

1. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara subjective well-being,

konformitas dan faktor demografis terhadap intuitive eating pada dewasa

awal?

2. Seberapa besar pengaruh intuitive eating pada dewasa awal yang dapat di

prediksi secara bersama oleh subjective well-being, konformitas dan faktor

demografis?

3. Apakah dimensi-dimensi dari subjective well-being, konformitas dan faktor

demografis berpengaruh secara signifikan terhadap intuitive eating pada

dewasa awal?

4. Prediktor manakah diantara dimensi subjective well-being, konformitas dan

faktor demografis yang memiliki pengaruh paling besar terhadap intuitive

eating pada dewasa awal?

5. Adakah perbedaan rata-rata intuitive eating pada dewasa awal yang signifikan

(28)

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk melihat seberapa besar pengaruh subjective well-being, konformitas

dan faktor demografis terhadap intuitive eating pada dewasa awal.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengukur pengaruh subjective well-being afektif terhadap

Intuitive eating pada dewasa awal.

b. Untuk mengukur pengaruh subjective well-being kognitif terhadap

Intuitive eating pada dewasa awal.

c. Untuk mengukur pengaruh konformitas compliance terhadap Intuitive

eating pada dewasa awal.

d. Untuk mengukur pengaruh konformitas acceptance terhadap Intuitive

eating pada dewasa awal.

e. Untuk mengukur pengaruh jenis kelamin terhadap Intuitive eating pada

dewasa awal.

f. Untuk mengukur pengaruh usia terhadap Intuitive eating pada dewasa

awal.

g. Untuk mengukur pengaruh Body Mass Index (BMI) terhadap Intuitive

eating pada dewasa awal.

h. Untuk mengukur perbedaan rata-rata Intuitive eating antara jenis

(29)

15

1.3.2 Manfaat penelitian 1. Manfaat teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan

teori-teori psikologi khususnya dengan masalah psikologi klinis dan psikologi

kesehatan. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

mengenai faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi Intuitive eating pada

usia dewasa awal.

2. Manfaat praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi masyarakat untuk

dapat membedakan isyarat lapar emosional dan fisik dengan intuitive eating.

Sehingga dapat mengurangi resiko gangguan makan klinis. Dan juga dapat

menjadikan intuitive eating sebagai salah satu upaya alternatif non diet untuk

mengontrol berat badan. Penelitian selanjutnya yang juga membahas tentang

intuitive eating diharapkan dapat mempertimbangkan faktor lain yang juga

memberikan pengaruh sehingga bisa diambil kesimpulan yang lebih produktif.

1.4Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini berpedoman pada sistematika penulisan American

Psychological Association (APA) style. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini,

penulis menyusunnya dalam bentuk beberapa bab sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan

Berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan

(30)

BAB II: Landasan Teori

Pada Bab II ini akan dijelaskan tentang teori-teori yang terkait dengan variabel

penelitian ini, antara lain teori Intuitive eating, subjective well-being dan

konformitas.

BAB III: Metode Penelitian

Pada Bab III, berisi tentang pendekatan dan metode penelitian, variabel penelitian,

pengambilan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

BAB IV: Analisis Hasil Penelitian

Pada Bab IV akan disajikan presentasi dan analisis data yang meliputi gambaran

umum subjek dan hasil penelitian.

BAB V: Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Pada Bab V akan disajikan tentang: kesimpulan, diskusi, dan saran, daftar

(31)

17 BAB 2

LANDASAN TEORI

Pada Bab ini akan dijelaskan tentang teori-teori yang terkait dengan

variable penelitian ini, antara lain teori intuitive eating, subjective well-being dan

konformitas. Bab ini juga berisi tentang subjek penelitian, hipotesis dari penelitian

dan kerangka berpikir penelitian.

2.1 Intuitive Eating

2.1.1 Definisi intuitive eating

Menurut Van Dyke dan Drinkwater (2013), premis mendasar dibalik intuitive

eating adalah, bila kita mau mendengarkan, secara insting tubuh ‘mengetahui’

kuantitas dan jenis makanan yang dikonsumsi untuk menjaga baik kesehatan

nutrisional maupun berat badan yang tepat.

Schwartz (dalam Hawks, Merrill & Madanat, 2004) mengungkapkan

bahwa konsep intuitive eating merujuk bahwa setiap individu memiliki

mekanisme alami dalam dirinya, yang jika dibiarkan akan memastikan fungsi

nutrisi yang baik pada berat badan yang sehat. Sementara itu Tribole dan Resch

(dalam Smith & Hawks, 2006) menyatakan intuitive eating sebagai salah satu

pendekatan anti-diet, yang berfokus pada isyarat kenyang dan lapar internal untuk

memulai dan menghentikan konsumsi makanan.

Tribole dan Resch (1995) menggambarkan Intuitive eating sebagai bentuk

(32)

isyarat-isyarat internal dari rasa lapar dan kenyang fisiologis (Tylka & Kroon Van Diest,

2013). Individu yang makan secara intuitif tidak disibukkan dengan makanan atau

diet dan tidak me-label makanan tertentu sebagai "baik" atau "buruk." Meskipun

rasa itu penting, mereka seringkali memilih makanan untuk tujuan meningkatkan

fungsi tubuh mereka. Mereka sadar dan percaya pada isyarat-isyarat akan rasa

lapar dan kenyang yang berasal dari dalam tubuh mereka, dan menggunakan

isyarat ini untuk menentukan kapan dan seberapa banyak mereka harus makan .

Singkatnya, berdasarkan konsep Tribole dan Resch (1995) intuitive eating

merupakan bentuk perilaku adaptif yang didefinisikan sebagai hubungan dan

pemahaman yang kuat serta makan sebagai respondari rasa lapar dan kenyang

internal fisik dan disertai dengan rendahnya preokupasi pada makanan (Tylka &

Wilcox, 2006)

2.1.2 Karakteristik intuitive eating

Beberapa ahli psikologi dan ahli nutrisi mengungkapkan bahwa gaya makan ini

merupakan gaya makan yang adaptif karena intuitive eating berhubungan dengan

dengan kuatnya keterikatan, pemahaman, dan respon dengan kebutuhan fisik

internal yang bersinggungan dengan rasa lapar dan kenyang seiring dengan

rendahnya ketergantungan terhadap makanan (Tylka, 2006).

Konsep intuitive eating menunjukkan bahwa semua individu memiliki

mekanisme alami dari dalam diri mereka sendiri yang jika diizinkan akan

memastikan fungsi nutrisi yang baik pada berat badan yang sehat. Ketika

(33)

19

inner wisdom” (kebijakan dari dalam), maka mereka akan lebih selaras dengan

kebutuhan fisik tubuhnya dan akan makan dengan cara yang mendukung

pemeliharaan berat badan yang sehat dan nutrisi yang positif. Pada saat yang sama

mereka akan menghindari makan berlebihan, konsumsi makanan secara obsesif,

diet yang berbahaya, atau mengunyah tanpa arti (Hawks, Madanat, Hawks &

Harris, 2005).

Intuitive eaters merupakan individu yang mengkonsumsi asupan makanan

berdasarkan isyarat lapar fisik dibandingkan dengan berdasarkan aturan diet,

isyarat lingkungan, keadaan emosi atau faktor eksternal lainnya (Hawks, Merrill

& Madanat, 2004). Tidak ada pantangan pada jenis-jenis makanan yang dapat

dikonsumsi seseorang, kecuali disebabkan isu kesehatan tertentu (misal, diabetes,

alergi makanan), karena tubuh akan secara insting memilih berbagai jenis

makanan yang dapat mendukung keseimbangan nutrisi (Van Dyke & Drinkwater,

2013).

Konsep dari intuitive eating terdiri dari beberapa atribut kunci. Pertama,

kemampuan untuk secara jelas menyadari tanda-tanda fisik dari rasa lapar,

kepuasan, dan kenyang. Kedua, seorang intuitive eater mampu merasakan

kebutuhan nutrisi dari tubuh. Ketiga, untuk seorang intuitive eater, efek fisik dari

konsumsi makanan secara hati-hati diawasi sebagai bentuk kepuasan. Makanan

tidak dikonsumsi secara tidak sadar ketika mengemudi atau menonton televisi,

tetapi lebih sebagai penghargaan sebagaimana makanan memuaskan kebutuhan

nutrisi dan rasa lapar dari dalam tubuh. Keempat, seperti yang dipromosikan

(34)

filosofis yang menghargai kesehatan dan energi tubuh lebih tinggi daripada

sebagai rewards dari penampilan yang menarik. Terakhir, filosofi dari intuitive

eating secara terus-menerus menolak diet restriktif sebagai cara mengontrol berat

tubuh, melainkan menyertakan individu untuk menguasai unsur-unsur intuitive

eating dalam hubungan dengan makanan yang terbuka dan tidak dibatasi yang

mempromosikan manajemen berat badan yang sehat dan self-esteem yang positif

(Hawks et. al, 2005).

2.1.3 Dimensi-dimensi intuitive eating

Hawks et. al (2004), yang mengembangkan Intuitive Eating Scale alternatif

(Hawks IES), menyimpulkan bahwa model Intuitive eating terdiri dari intrinsic

eating (kemampuan untuk menganali tanda fisik dari rasa lapar, kepuasan, dan

kekenyangan), extrinsic eating (pertimbangan akan kemungkinan makanan

dengan cakupan yang luas dan makan apa yang diinginkan), anti diet atau

menghargai makanan dan memperhatikan efek fisik dari makan, dan terakhir self

care atau penghargaan lebih kepada kesehatan dan energi daripada penampilan

semata.

Tribole dan Resch (1995), mengidentifikasi tiga komponen utama dalam

intuitive eating. Pertama, unconditional permission to eat when hungry and what

food is desired atau izin tanpa syarat dimana seseorang memperbolehkan dirinya

sendiri untuk makan apa yang ia inginkan pada saat lapar. Kedua, eating for

physical rather than emotional reasons atau makan untuk kepentingan tubuh

(35)

21

cues to determine when and how much to eat atau menentukan waktu dan porsi

makan berdasarkan isyarat internal dari rasa lapar dan kenyang.

Komponen-komponen ini saling berhubungan satu sama lain dan setiap Komponen-komponen dibutuhkan

untuk merefleksikan intuitive eating (Tylka, 2006).

Tylka dan Kroon Van Diest (2013) dalam mengembangkan revisi dari

Intuitive Eating Scale (IES-2), kemudian menambahkan sebuah komponen dari

intuitive eating yang diungkapkan oleh Tribole dan Resch (2003), mengenai

menghargai kesehatan atau mempraktekan “gentle nutrition”. Gentle nutrition

mencerminkan kecenderungan seseorang untuk membuat pilihan makanan yang

mempertahankan kesehatan dan fungsi tubuh mereka (seperti memilih makanan

yang meningkatkan tenaga, stamina dan performa tubuh) dan juga tetap terasa

enak dimakan.

Secara lebih rinci komponen - komponen intuitive eating terdiri dari empat

unsur utama yaitu:

1. Eating for physical rather than emotional reason

Seseorang dengan intuitive eating menggunakan makanan sebagai pemuas

dorongan rasa lapar fisik mereka dan bukan untuk mengatasi fluktuasi ataupun

tekanan emosi. Herman dan Polivy (dalam Tylka & Wilcox, 2006),

menjelaskan hubungan antara perilaku makan dan emosi melalui sebuah

model pembatas (boundary model). Seseorang yang tidak melakukan diet

memiliki dua pembatas dalam merespon rasa lapar dan kenyang. Ketika lapar,

mereka makan sebagai jalan keluar dari rasa lapar dan akan berhenti makan

(36)

Ketika seseorang melakukan diet perilaku makan seringkali menjadi

tidak terkontrol dan berlawanan dengan batasan rasa lapar dan kenyang.

Gejolak emosi seringkali mengacaukan batasan diet. Hal ini dikarenakan

seseorang yang membatasi makanan mereka akan meningkatkan asupan

makanan mereka ketika mengalami afek negatif (Tylka, 2006).

2. Unconditional permission to eat

Unconditional permission to eat mencerminkan kesiapan untuk makan dalam

merespon sinyal lasa lapar fisiologis internal dan untuk makan mkanan yang

diinginkan pada saat itu Seseorang yang menggunakan strategi makan ini

tidak mencoba untuk membiarkan sinyal lapar yang mereka rasakan. Mereka

juga tidak mengklasifikasikan makanan kedalam kategori boleh dimakan dan

tidak boleh dan berusaha untuk menghindari makanan dalam kategori tidak

boleh.

Seseorang yang membatasi kapan mereka makan dengan membatasi

waktu, banyaknya makanan dan jenis makanan yang bisa mereka makan

berdasarkan standar eksternal akan meningkatakan kecenderungan mereka

untuk merasa kekurangan dan terokupasi oleh makanan. Sebuah eksperimen

menunjukan bahwa orang-orang yang membatasi makananya menjadi terlalu

memanjakan dirinya dengan makanan, sebagai hasil dari persepsi aturan diet

yang telah dilanggar atau bahwa mereka telah makan makanan yang terlarang

(Herman & Polivy, Woody et. al dalam Tylka, 2006).

Selain itu, seseorang yang melakukan diet dengan membatasi makanan

(37)

23

untuk mengendalikan asupan makanan dibandingkan dengan orang-orang

yang tidak membatasi makan mereka (Fedoroff et al., dalam Tylka, 2006).

Karena diet membatasi makanan mendorong meningkatnya ketergantungan

terhadap makanan, seseorang yang membatasi asupan makanan mereka

sebenarnya bisa saja makan lebih banyak dibandingkan orang-orang yang

memberikan diri mereka sendiri izin tanpa syarat untuk makan. (Tylka, 2006)

3. Reliance on hunger and satiety cues

Seseorang dengan intuitive eating menyadari sinyal-sinyal rasa lapar dan

kenyang internal mereka serta mempercayai sinyal-sinyal ini untuk

mengendalikan perilaku makan mereka (Carper et al.; Tribole & Resch, dalam

Tylka, 2006). Kesadaran atas pengalaman internal merupakan aspek utama

pada well-being. Kesadaran ini merupakan bawaan sejak lahir, hanya saja

pada perkembangannya beberapa orang mengganti pengalaman internal ini

dengan aturan-aturan dari luar (larangan waktu, apa dan seberapa banyak porsi

makan) seiring dengan terinternalisasinya pesan-pesan lingkungan yang

mengatakan bahwa diet akan memberikan hasil yang sesuai harapan (Tylka,

2006).

4. Body-food choice congruence

Tylka dan Kroon Van Diest (2013) dalam mengembangkan revisi dari

Intuitive Eating Scale (IES-2), kemudian menambahkan sebuah komponen

dari intuitive eating yang diungkapkan oleh Tribole dan Resch (2003),

mengenai menghargai kesehatan atau mempraktekan “gentle nutrition”.

(38)

pilihan makanan yang mempertahankan kesehatan dan fungsi tubuh mereka

(seperti memilih makanan yang meningkatkan tenaga, stamina dan performa

tubuh) dan juga tetap terasa enak dimakan.

Individu yang melaksanakan gentle nutrition dapat menanyakan pada

dirinya sendiri “bagaimana tubuh ini akan terasa karena makanan ini? Apakah

saya menyukai perasaan tersebut” dan “apakah makanan ini memberikanku

tenaga yang akan bertahan lama? Apa yang kurasakan setelah memakannya?”

dan menggunakan informasi dari pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk

menjadi petunjuk untuk memilih makanan di masa yang akan datang, namun

tidak dengan aturan yang kaku.

Tribole dan Resch (dalam Tylka & Kroon Van Diest, 2013)

menempatkan gentle nutrition di akhir buku mereka dengan pertimbangan

agar seseorang tidak terlalu berfokus pada nutrisi sebelum mempelajari

prinsip-prinsip intuitive eating lainnya. Meskipun begitu mereka menekankan

pentingnya gentle nutrition dalam pengalaman intuitive eating. Bila intuitive

eating dinyatakan sebagai adaptif, maka intuitive eating juga harus

merepresentasikan individu seringkali memilih makanan yang bernutrisi untuk

membantu fungsi tubuh mereka.

2.1.4 Faktor- faktor yang mempengaruhi intuitive eating

Shepherd (dalam Odgen, 2010) memaparkan bahwa faktor yang mempengaruhi

(39)

25

budaya) atau faktor internal dari individu (kepribadian, faktor sensorik dan

kognisi).

Belum banyak teori yang mengungkapkan apa saja faktor-faktor yang

mempengaruhi intuitive eating. Namun dari beberapa literatur dan penelitian

terdahulu terdapat keterkaitan antara faktor-faktor berikut terhadap intuitive

eating, yaitu :

1. Well-Being

Kemampuan untuk makan secara intuitif berhubungan dengan tingginya

well-being dan rendahnya gejala-gejala gangguan makan (Tylka & Wilcox, 2006).

Intuitive eating juga berhubungan dengan meningkatnya psychological

well-being seperti self-esteem, kepuasan hidup, proactive coping, optimisme dan

afek positif. Selain itu Tylka (2006) dengan Intuitive Eating Scale (IES)

menunjukan bahwa skor IES secara positif memiliki hubungan dengan

beberapa index well-being. Pada pengembangan IES-2, Tylka dan Kroon Van

Diest (2013) juga menemukan bahwa intuitive eating secara positif

berhubungan dengan apresiasi pada tubuh, self-esteem, dan kepuasan hidup.

2. Pengaruh caregiver

Terdapat bukti yang mendukung bahwa anak-anak mengadopsi sikap dan

perilaku makan berdasarkan sikap dan perilaku makan orangtuanya, seiring

dengan pesan-pesan yang mereka berikan pada anak mereka mengenai

perilaku makan (Birch, 1999; Birch & Fisher, 2000; Cutting, Fisher,

Grimm-Thomas, & Birch, 1999; Fisher & Birch, 1999). Penelitian juga menunjukan

(40)

mengenai perilaku makan, berat atau bentuk badan dan penampilan fisik

mereka, resiko anak untuk memiliki citra tubuh yang negatif serta gejala

gangguan makan akan meningkat (Striegel-Moore & Kearney-Cooke, 1994;

Smolak, Levine, & Schermer, 1999)

Beberapa contoh dari pesan-pesan dan perilaku makan yang

ditekankan para orang tua adalah jadwal makan yang kaku, pembatasan porsi

makanan serta pendapat mengenai perilaku makan anak mereka. Leann Birch

melakukan banyak studi mengenai perilaku makan masa kanak-kanak dan

menemukan bahwa pembatasan makan ketika masih kecil dapat mengarah

pada ketidakpuasan bentuk tubuh, indeks masa tubuh yang lebih banyak, dan

tingkat gangguan makan yang lebih tinggi (Birch, 1999; Birch & Fisher, 2000;

Cutting et al., 1999; Fisher & Birch, 1999).

Orang tua seringkali mencoba mengontrol perilaku makan

anak-anakanya dengan menggunakan strategi pemberian makan dengan paksaan.

Birch (1999) menemukan bahwa ketika orang tua tidak mengijinkan makanan

tertentu pada seorang anak, maka makanan itu menjadi lebih diinginkan oleh

sang anak.

Selain itu label yang diberikan pada makanan sebagai baik atau tidak

baik melatarbelakangi kecenderungan anak untuk lebih menginginkan

makanan yang berlabel buruk dibandingkan dengan makanan yang baik.

Perilaku ini terkadang terbawa sampai masa dewasa, yang pada akhirnya

menjadikan tingginya angka gangguan makan dan obesitas (Cutting et.

(41)

27

Pesan-pesan mengenai perilaku makan tertentu oleh caregiver, juga

berhubungan dengan body attitudes dan perilaku makan pada perempuan dan

laki-laki yang berada pada tahap perkembangan dewasa muda. Pesan-pesan

restriktif ataupun kritis memprediksi persepsi penerimaan tubuh oleh keluarga

dan intuitive eating yang lebih rendah serta persepsi tekanan keluarga untuk

kurus dan gangguan makan yang lebih tinggi (Kroon Van Diest & Tylka,

2010).

3. Karakteristik kepribadian

Trait kepribadian telah dikaitkan dengan onset, ekspresi gejala dan

pemeliharaan dari ganguan makan. Baik anorexia dan bulimia secara

konsisten memiliki karakteristik perfeksionisme, obsesif-compulsif,

neuroticism, emosi negatif, harm avoidance, self-directedness yang rendah,

sifat kooperatif yang rendah dan trait-trait yang berhubungan dengan

gangguan kepribadian avoidant. Perbedaan konsisten yang muncul diantara

kelompok gangguan makan adalah tingginya constraint dan persistence serta

rendahnya novelty seeking pada anorexia dan tingginya impulsifitas, sensation

seeking, novelty seeking, serta trait-trait yang berghubungan dengan gangguan

kepribadian borderline pada bulimia (Cassin & Von Ranson, 2005). Bahkan

sebanyak 55 makalah yang di publikasikan antara 1990 dan 2005

diidentifikasikan telah mengukur karakteristik kepribadian perfeksionisme

diantara individu yang didiagnosa dengan gangguan makan (Bardone-Cone,

(42)

Sementara itu terdapat beberapa penelitian yang menemukan bahwa

karakteristik kepribadian tertentu berhubungan dengan intuitive eating,

diantaranya Tylka (2006) yang meneliti hubungan antara intuitive eating

dengan beberapa karakteristik kepribadian pada mahasiswi dan menemukan

bahwa intuitive eating berhubungan secara negatif dengan ketidakpuasan

tubuh, dan kesadaran introseptif yang rendah.

4. Tekanan lingkungan

Banyak penelitian yang menemukan bahwa citra tubuh negatif merupakan

emosi negatif yang disebabkan oleh internalisasi dari media yang berfokus

pada tubuh yang kurus dan berat badan. Salah satu dari penelitian tersebut

menemukan bahwa internalisasi dari thin-ideal yang ditawarkan oleh media

dapat mengarah pada gejala gangguan makan, depresi dan lebih tingginya

level ketidakpuasan tubuh pada pria dan wanita (Agliata & Tantleff-Dunn,

2004; Fredrickson & Roberts, 1997; Stice, Nemeroff, & Shaw 1996). Karena

internalisasi ini tidak dapat dicapai oleh kebanyakan individu, citra tubuh yang

negatif dan rasa malu pada tubuh seringkali muncul (Noll & Fredrickson,

1998). Citra tubuh dan rasa malu pada tubuh ini dapat mengarah pada

kesehatan mental dan well-being yang negatif, yang kemudian meramalkan

gangguan makan (Frederickson & Roberts, 1997).

Teori humanistis mengasumsikan bahwa persepsi penerimaan tanpa

syarat dari significant others dapat membantu individu untuk menyesuaikan

diri dengan kecenderungan aktualisasi mereka, proses bawaan menuju

(43)

29

2006). Mengikuti kecenderungan aktualisasi memungkinkan individu untuk

menjadi otentik, mereka akan kurang berfokus pada bagaimana mereka

terlihat oleh orang lain dan lebih mengarah pada apa yang diri dan tubuh

mereka butuhkan untuk berkembang (Augustus-Hovarth & Tylka, 2011).

Berperilaku intuitive eating mencerminkan penghargaan terhadap

inner experience dan menghormati kebutuhan tubuh, bisa menjadi salah satu

indikator keselarasan dengan kecenderungan aktualisasi (Avalos & Tylka,

2006). Kecenderungan aktualisasi dan oleh karenanya intuitive eating bisa

terganggu oleh lingkungan yang menekankan dan lebih melihat penampilan

daripada menawarkan dukungan sosial dan penerimaan tubuh

(Augustus-Hovarth & Tylka, 2011).

2.1.5 Pengukuran intuitive eating

Alat ukur pertama yang diterbitkan dalam literatur akademis dikembangkan dan

diuji oleh Hawks, Merrill dan Madanat pada tahun 2004 (Van Dyke &

Drinkwater, 2013). Skala yang memiliki 27 item ini terdiri dari sub-skala intrinsic

eating (kemampuan untuk menganali tanda fisik dari rasa lapar, kepuasan, dan

kekenyangan), extrinsic eating (pertimbangan akan kemungkinan makanan

dengan cakupan yang luas dan makan apa yang diinginkan), anti diet atau

menghargai makanan dan memperhatikan efek fisik dari makan, dan terakhir self

care atau penghargaan lebih kepada kesehatan dan energi daripada penampilan

(44)

Selain Intuitive Eating Scale (IES) oleh Hawks et. al (2004), Intuitive

Eating Scale oleh Tylka (2006) berdasarkan pada 10 prinsip intuitive eating yang

dikemukakan oleh Tribole dan Resch (1995). Kemudian, Tylka

mengelompokannya menjadi tiga dimensi yaitu : Unconditional Permission to Eat

(UPE), Eating for Physical Rather Than Emotional Reasons (EPR); dan Reliance

on Hunger and Satiety Cues (RHSC).

Pada penelitian ini menggunakan alat ukur berupa The Intuitive eating

Scale-2 (Tylka & Kroon Van Diest, 2013), yang merupakan skala yang terdiri dari

23 item dan dikembangkan untuk meningkatkan Intuitive Eating Scale yang

sebelumnya. Perubahan dari IES sebelumnya berupa penambahan 17 item dengan

kalimat positif yang disebut sebagai dimensi Body–Food Choice Congruence,

serta pengujian skala baru yang dilakukan baik pada perempuan maupun laki-laki.

2.2 Subjective Well-Being

2.2.1 Definisi subjective well-being

Diener (2000) mengungkapkan bahwa “good life” atau kehidupan yang baik, atau

disebut juga subjective well-being (SWB) dan dalam kalimat sehari-hari terkadang

disebut sebagi kebahagiaan, merupakan evaluasi seseorang akan kehidupannya

baik afektif dan kognitif. Lebih lanjutnya, Diener, Oishi dan Lucas (2003)

mendefinisikan subjective well-being sebagai “people’s emotional and cognitive

evaluations of their lives, includes what lay people call happiness, peace,

(45)

31

seseorang mengenai kehidupannya, termasuk apa yang secara awam disebut

kebahagiaan, pencapaian, dan kepuasan hidup.

Diener, Suh, Lucas dan Smith (1999) mengungkapkan subjective

well-being sebagai “a broad category of phenomena that includes people’s emotional

responses, domain satisfactions, and global judgements of life satisfaction”. Yaitu

sebuah kategori yang luas dari fenomena yang mencakup respon emosional,

domain kepuasan, dan penilaian umum akan kepuasan hidup.

Sementara itu Eid dan Diener (2003) mengungkapakan bahwa “Subjective

well-being (SWB) is an important indicator of quality of life. SWB can be

conceptualized as a momentary state (e.g., mood) as well as a relatively stable

trait (e.g., life satisfaction)”. Yaitu subjective well-being merupakan indikator

penting dari kualitas hidup. Subjective well-being dapat di konseptualisasikan

sebagai keadaan sementara (mood) maupun sebagai trait yang relatif stabil

(kepuasan hidup).

Dasar dari subjective well-being (SWB), terdiri dari analisis ilmiah tentang

bagaimana orang menilai kehidupan mereka. Baik pada saat ini dan untuk jangka

waktu yang lebih lama seperti beberapa tahun kebelakang. Evaluasi ini meliputi

reaksi emosional akan suatu kejadian, mood, dan penilaian yang dibentuk

mengenai kepuasan hidup, capaian dan kepuasan pada domain tertentu seperti

(46)

2.2.2 Dimensi subjective well-being

Komponen subjective well-being dapat dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi kognitif

(penilaian atau judgement) dan afektif dalam kehidupan setiap individu yang

sedang berlangsung dan merasa sehat secara psikologis (Dienner, et. al 1999)

1. Komponen kognitif

Komponen kognitif dari subjective well-being adalah evaluasi terhadap

kepuasan hidup, yang didefinisikan sebagai penilaian diri hidup seseorang.

Kepuassan hidup merupakan sebuah proses judgemental, dimana individu

mengukur kualitas hidup mereka berdasarkan kriteria unik masing-masing.

(Pavot & Diener, 1993)

Kepuasan hidup merujuk pada proses penilaian kognitif, Shin dan

Johnson (dalam Diener, Emmons, Larsen & Griffin, 1985) mendefinisikan

kepuasan hidup sebagai penilaian global atas kualitas kepuasan dalam hidup

seseorang berdasarkan kriteria yang ia pilih. Penilaian akan kepuasan

bergantung pada perbandingan keadaan seseorang dengan apa yang dinilai

sebagai standar yang tepat. Sangatlah penting untuk menyampaikan bahwa

penilaian dari seberapa puas seseorang dengan keadaan mereka sekarang ini

berdasarkan perbandingan dengan standar yang telah dibuat setiap individu

untuk dirinya sendiri, bukan ditentukan dari luar. pertanda dari wilayah

subjective well-being berpusat pada penilaian individu itu sendiri, bukan

berdasarkan kriteria yang dinilai penting bagi peneliti (Diener et. al, 1985).

Contohnya, meskipun kesehatan, energi, dan lain-lain bisa diukur,

(47)

33

Dengan alasan ini Diener et. al (1985) merasa perlu untuk menanyakan kepada

individu mengenai evaluasi keseluruhan akan kehidupan mereka, daripada

menyimpulkan kepuasan seseorang dengan dimensi spesifik untuk mengukur

kepuasan hidup keseluruhan. Seperti yang diungkapkan Tatarkiewicz (dalam

Diener et. al, 1985), kebahagian memerlukan kepuasan total, yaitu kepuasan

atas hidup secara keseluruhan.

Komponen kognitif dari subjective well-being dapat diukur melalui survey

kepuasan hidup dan juga dapat diukur dari kepuasan dan pencapaian dari

berbagai domain kehidupan seperti pernikahan, pekerjaan, dan waktu luang.

sehingga evaluasi terhadap kepuasan hidup dapat dibagi menjadi evaluasi

kepuasan hidup secara global dan evaluasi terhadap kepuasan domain tertentu.

2. Komponen afektif

Secara umum, komponen afektif subjective well-being merefleksikan

pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi didalam hidup seseorang.

Komponen afektif subjective well-being dapat dibagi menjadi evaluasi

terhadap keberadaan afek positif dan negatif. Positive Affect (PA) dan

Negative Affect (NA) muncul sebagai dua dimensi dominan dari pengalaman

emosional (Watson, Clark & Tellegen, 1988).

a. Evaluasi terhadap keberadaan afek positif

Afek positif menggambarkan sejauh mana sesorang mengalami

keterikatan yang menyenangkan dengan lingkungan (Watson, Clark &

Carey, 1992). Positive Affect (PA) mencerminkan sejauh mana seseorang

(48)

penuh energi, konsentrasi dan keterikatan dengan kesenangan, sementara

PA yang rendah dikarakterisasikan dengan kesedihan dan kelesuan

(Watson et. al, 1988).

b. Evaluasi terhadap keberadaan afek negatif

Negative Affect (NA) merupakan dimensi umum dari tekanan subjektif dan

keterikatan dengan rasa tidak senang yang tergolong berbagai macam

keadaan susana hati yang aversif seperti kemarahan, jijik, muak, rasa

bersalah dan kegelisahan. Nilai NA yang rendah menggambarkan keadaan

tenang dan tentram (Watson et. al, 1988).

2. 2.3 Pengukuran subjective well-being

Sebagian besar alat ukur yang digunakan untuk mengukur subjective well-being

mengasumsikan bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup dapat disusun dalam

sebuah kontinum mulai dari “sangat bahagia” sampai dengan “sangat tidak

bahagia”. Salah satu skala yang memiliki nilai reabilitas yang tinggi dan paling

sering digunakan adalah Satisfaction With Life Scale oleh Diener et. al (1985)

untuk mengukur nilai individu mengenai kepuasan hidupnya dan positive Affect

Negative Affect Schedule oleh Watson, Clark dan Tellegen (1988) untuk

mengukur tingkat afek positif dan negatif individu pada satu waktu.

Pada penelitian ini menggunakan alat ukur yang diadaptasi dari skala baku

The Satisfaction With Live Scale (Pavot & Diener, 1993), yang menggambarkan

tingkat kepuasan hidup seseorang secara keseluruhan. Pada skala baku berisi lima

(49)

35

penelitian ini peneliti melakukan sedikit modifikasi dengan mengganti pilihan

jawaban menjadi empat pilihan jawaban, yaitu “sangat setuju (SS)“, “setuju

(S)“,“tidak setuju (TS)“ dan “sangat tidak setuju (STS)“. Sementara itu, subjective

well-being afektif diukur dengan menggunakan modifikasi dari skala baku dari

Watson dan Clark (1994) yaitu The PANAS-X, yang berupa kata-kata yang

menggambarkan kondisi suasana hati seseorang secara umum.

2.3. Konformitas

2.3.1 Definisi konformitas

Konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan sebagai hasil nyata atau

imaginasi dari tekanan kelompok (Myers, 2010). Wills (dalam Sarwono, 2006),

berpendapat bahwa konformitas adalah bentuk respons individu ketika ia

berhadapan dengan tekanan sosial dimana individu itu harus menyesuaikan diri.

Santrock (2003), konformitas adalah individu meniru sikap atau tingkah laku

orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh

mereka. Wade dan Tavris (2007), berpendapat bahwa konformitas yaitu

melakukan tindakan atau mengadopsi sikap sebagai hasil dari adanya tekanan

kelompok yang nyata maupun yang dipersepsikan.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan definisi konformitas dari Myers

(2010) dan dikhususkan pada konformitas terhadap tekanan teman. Jadi,

konformitas terhadap tekanan teman adalah perubahan perilaku atau kepercayaan

(50)

2.3.2 Dimensi-dimensi konformitas

Menurut Myers (2010), ada dua jenis konformitas yaitu compliance dan

acceptance.

1. Compliance

Konformitas compliance adalah suatu bentuk konformitas dimana individu

bertingkah laku sesuai dengan tekanan yang diberikan oleh kelompok

sementara secara pribadi ia tidak menyetujui perilaku tersebut. Biasanya

seseorang melakukan compliance untuk mengindari penolakan dan

mengharapkan reward atau penerimaan.

Sarwono (2005) mengungkapkan bahwa compliance merupakan

konformitas yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum,

walaupun hatinya tidak setuju. Apabila perilaku menurut ini adalah terhadap

suatu perintah, maka disebut sebagai ketaatan (obedience)

Myers (2010) menyimpulkan bahwa compliance adalah apabila

seseorang tampak dari luar ikut serta dengan kelompok sementara didalam

dirinya ia tidak sependapat. Obedience, atau ketaatan merupakan bagian dari

compliance dengan perintah langsung.

Konformitas ini berdasarkan keinginan seseorang untuk memenuhi

ekspektansi orang lain, seringkali untuk mendapatkan penerimaan yang

dengan kata lain agar disukai orang lain atau disebabkan oleh normative

influence (Myers, 2010). Normative influence adalah mengikuti orang lain

untuk menghindari penolakan, untuk tetap diperlakukan baik atau untuk

(51)

37

2. Acceptance

Konformitas acceptance adalah suatu bentuk konformitas dimana seseorang

secara ikhlas mempercayai apa yang dibujuk kelompok untuk dilakukan

(Myers, 2010). Konformitas ini melibatkan perbuatan dan keyakinan yang

sesuai dengan tekanan sosial. Pada bentuk Acceptance, konformitas terjadi

karena kelompok menyediakan informasi penting yang tidak dimiliki oleh

individu (informational influence). Jadi acceptance adalah konformitas yang

didasari oleh penerimaan seseorang terhadap bukti realitas yang diberikan

oleh orang lain. Apabila individu tidak tahu atau bingung harus berbuat apa

maka ia akan menjadikan perilaku kelompok sebagai pedoman perilaku dan

meyakini hal tersebut benar (Myers, 2010)

2.3.3 Pengukuran konformitas

The Conformity Scale oleh Mehrabian (2005) mengukur derajat sejauh mana

individu memiliki “karakteristik kemauan untuk mengidentifikasi orang lain dan

meniru mereka, menyerah pada orang lain untuk menghindari interaksi negatif

dan secara umum lebih memilih untuk menjadi pengikut daripada pemimpin

dalam hal ide , nilai-nilai , dan perilaku”. Skala ini terdiri dari tujuh item dengan

kata-kata positif (e.g., “ saya cenderung mengandalkan orang lain ketika harus

memutuskan secara cepat hal yang penting”) dan empat kata-kata negatif (e.g.,

”saya tidak mudah menyerah pada orang lain”). Partisipan menandai tujuh poin

skala likert mengenai sejauh apa mereka setuju-atau tidak setuju akan setiap

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir  ..................................................................
Gambar 2.1 Kerangka berpikir
Tabel 3.1
Tabel 3. 2
+7

Referensi

Dokumen terkait

PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STRUCTURE NUMBERED HEADS PADA MATA PELAJARAN GEOGRAFI Universitas Pendidikan Indonesia |

Teman-teman seperjuangan stambuk 2001 Teknik Manajemen Pabrik yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan dan yang telah memberikan dukungan dan semangat juga

Proses rendering merupakan proses yang paling memakan waktu, dan karenanya penulis mencoba membandingkan setting texture, lighting dan render untuk mengetahui pengaruhnya

Manfaat dari kerja sama yang saling ketergantungan antarsiswa di dalam pembelajaran kooperatif berasal dari empat faktor diungkapkan oleh Slavin (dalam Eggen dan Kauchak, 2012:

Kebaruan dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan siswa menjawab masalah dengan berbagai jawaban yang berbeda namun benar atau dapat pula dilihat dari

Justeru, dapat disimpulkan bahawa hasil kajian ini menunjukkan bahawa usahawan wanita di Kelantan mampu menjana pendapatan keluarga dan berupaya keluar daripada

[r]

Siswa yang berada pada tingkat 5 adalah siswa yang dapat menuliskan apa yang diketahui dan ditanyakan soal, mempunyai ide/gagasan untuk menyelesaikan soal tersebut, menyelesaikan