• Tidak ada hasil yang ditemukan

Euthanasia Dalam Pandangan Hak Asasi Manusia Dan Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Euthanasia Dalam Pandangan Hak Asasi Manusia Dan Hukum Islam"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

EUTHANASIA DALAM PANDANGAN HAK ASASI MANUSIA

DAN HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

AHMAD ZAELANI

NIM : 104045101542

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

EUTHANASIA DALAM PANDANGAN HAK ASASI MANUSIA

DAN HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

AHMAD ZAELANI

NIM : 104045101542

Di Bawah Bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

Asmawi, M.Ag Dedy Nursmasi, SH. M.Hum

NIP : 150 282 394 NIP : 150 264 4001

KONSENTRASI PIDANA ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi

Rabbi yang senantiasa selalu memberikan petunjuk dan hidayah serta selalu

melimpahkan kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi

ini.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan atas junjungan kita sang

revolusioner yakni Baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat

dan kita sebagai pengikutnya.

Maksud penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi dan menambah

khazanah keilmuan serta melengkapi syarat yang menjadi ketetapan dalam

menyelenggarakan studi program S1 (Strata Satu) pada Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini berjudul

“EUTHANASIA DALAM PANDANGAN HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM

ISLAM”

Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini

masih banyak kekurangan dan kelemahan yang dimiliki oleh penulis. Tanpa bantuan

dan dorongan dari semua pihak, mungkin skripsi ini tidak akan selesai, pada

kesempatan ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri

(4)

2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Bapak Asmawi, M.Ag., Ketua Jurusan Jinayah Syiasah serta Ibu Sri Hidayati.

M.Ag, Sekretaris Jurusan Jinayah Syiasah, yang telah memberikan dorongan

dan Administrasi kepada penulis.

4. Bapak Asmawi, M.Ag dan Bapak Dedy Nursamsi S.H, M.Hum dosen

pembimbing, yang telah meluangkan waktu, memberikan arahan, dorongan

dan membantu penulis dalam menyelesikan skripsi ini.

5. Pimpinan perpustakaan UIN beserta seluruh staf, yang telah membantu

meminjamkan buku-buku yang diperlukan oleh penulis.

6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif Hidayatullah

Jakarta, yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

7. Yang tercinta Ayahanda Komarudin dan Ibunda Juriah yang tidak

henti-hentinya memberikan kasih sayang serta dorongannya dalam bentuk materi

dengan tulus ikhlas dan selalu mendoakan penulis. Serta kepada kakaku

tersyang Kokom Herawati, Neneng Puspitasari dan adikku Nurmalasari yang

selalu memberikan motivasi dan kasih sayangnya kepada penulis.

8. Keluarga besar Jinayah Syiasah khususnya Program Studi Pidana Islam

angkatan 2004 (Unay, Nandes, Va’i, Cepi, Komson dan yang lainnya) yang

(5)

9. Kawan-kawan HMI Komfaksy dan LKBHMI (Lembaga Kajian dan Bantuan

Hukum Mahasiswa Islam) yang telah memberikan motivasi kepada penulis.

10.Kawan-kawan di Z_2.net ( Bang Zarzis, SE, Andri, Irhasy dan yang lainnya)

merekalah yang telah menemani penulis untuk menyelesaikan penulisan

skripsi ini sampai selesai.

Semoga bantuan mereka dinilai sebagai amal shaleh dan mendapat balasan

yang setimpal dari Allah SWT. Doa yang tulus dan ikhlas penulis memohonkan

kepada Ayahanda serta Ibunda yang telah menanamkan semangat dan memberi

motivasi untuk meraih kesuksesan ini. Dengan harapan Doa semoga Allah yang

Maha Arif dan Bijak juga Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah

memberi limpahan ampunan, rahmat dan karunia-Nya kepada kita bersama.

Akhirnya skripsi ini penulis persembahkan kepada almamater dan masyarakat

akademik demi perkembangan ilmu pengetahuan. Penulis berharap semoga skripsi ini

bermanfaat bagi pembaca khususnya penulis. Amien.

Jakarta, 03 Desember 2008

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI ...iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...7

C. Tujuan dan Pemanfaatan Penelitian ...8

D. Metode Penelitian ...9

E. Sistematika Penulisan ...10

BAB II TINJAUAN UMUM HAK HIDUP DALAM HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM ISLAM A. Pengertian Hak Hidup...13

B. Hak Hidup Sebagai Hak Asasi Manusia ...16

C. Hak Hidup Dalam Konsepsi Hukum Islam...18

BAB III FENOMENA EUTHANASIA DAN PANDANGAN ILMU KEDOKTERAN A. Pengertian Euthanasia ...25

B. Klasifikasi Euthanasia...30

C. Motif-Motif Dilakukannya Euthanasia ...34

(7)

BAB IV HAK HIDUP DALAM HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM

ISLAM DAN KAITANNYA DENGAN EUTHANASIA

A. Hak Hidup dalam Hak Asasi Manusia dan kaitannya dengan

Euthanasia ...41

B. Hak Hidup Dalam Hukum Islam dan Kaitannya Dengan

Euthanasia ...48

C. Perbandingan Hukum Euthanasia Menurut Hukum Islam dan

Hak Asasi Manusia ...55

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...64

B. Saran ...66

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kejahatan akan senantiasa selalu ada selama masih ada manusia yang

hidup di muka bumi ini. Kehendak untuk melakukan tindakan kejahatan

merupakan sebab internal dalam kehidupan manusia, padahal pada sisi lain

manusia menginginkan kehidupan yang damai, tentram, dan berkeadilan, dengan

kata lain kehidupan manusia tidak ingin diganggu oleh perbuatan-perbuatan

kriminal atau kejahatan. Upaya-upaya untuk menekan tingkat kuantitas dan

kualitas kejahatan melanggar hukum telah lama dilakukan oleh manusia, baik

yang berifat preventif, represif, dan edukatif.

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, bukan

negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka, sebagaimana disebutkan dalam

penjelasan Undang-undang Dasar 1945. Maksud negara berdasarkan atas hukum

adalah bahwa negara dalam tata kehidupan masyarakat berdasarkan pada

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan

yang dibuat dan ditetapkan dengan maksud untuk melindungi dan menyelesaikan

(9)

tidak disadari, manusia sebagai anggota masyarakat selalu melakukan perbuatan

melanggar hukum dan hubungan hukum.

Sebagai negara berdasarkan hukum, Indonesia sangat menghormati dan

menjunjung tinggi eksistensi hak asasi manusia. Dalam sila kedua Pancasila,

dijelaskan bahwa negara Indonesia mengakui dan menghormati sikap

“kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dengan demikian secara nyata dan

filosofis, Indonesia memiliki cita-cita kuat untuk menegakkan hak asasi manusia

sesuai dengan ketentuan hukum baik hak asasi individu maupun kelompok.1 Islam sangat menjamin seluruh hak-hak asasi manusia dan menghormati

hak-hak tersebut, baik yang menyangkut hak-hak yang beragama, hak-hak sipil,

maupun hak-hak politik yang menyangkut hak hidup, hak menjaga harta, hak

menjaga keselamatan dan harga diri, serta hak mendapatkan perlindungan dan

kemerdekaan yang kesemuanya itu sering dikenal dengan istilah hak-hak asasi

manusia.

Hak yang paling utama dan paling perlu mendapat perhatian adalah hak

hidup, karena hak hidup ini merupakan hak yang paling suci dan Ilahiyah, serta

tidak dibenarkan secara hukum dilanggar kemulyaannya dan tidak boleh dianggap

remeh eksistensinya.2 Oleh karena itu, segala macam yang melanggar hak hidup seseorang seperti membunuh, menganiaya dan melukai orang lain sangat dilarang

1

http://blog.kenz.or.id/2006/06/01/45-butir-pengamalan-pancasila.html diakses pada tanggal 13 Maret 2008 pukul 15:30 WIB

2

(10)

oleh hukum Islam, sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur`an

Surat Al-Isyra` ayat 33:

!"# $% &!'( ) !% *+! % %

,"

%- . / 0 !#

% ) 1'2ی4

5

%

6%'27

8

9:

;

<<

=

Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa yang dibunuh secara dzalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesunguhnya ia adalah yang mendapat pertolongan”. (Q.S. Al-Isra’/ 17 : 33)

Ayat ini memberikan petunjuk tentang makna kehidupan bagi manusia

sebagai hak yang diberikan Allah, perbuatan membunuh jiwa manusia sangat

diharamkan, demikian juga dengan pembunuhan tidak boleh dilakukan dengan

semena-mena terhadap jiwa manusia yang boleh dibunuh. Ada batasan-batasan

yang tidak boleh dilanggar dalam proses pembunuhan, antara lain dalam hukuman

mati untuk pelaku tindak pidana pembunuhan.

Perbuatan menghilangkan nyawa orang lain, karena alasan dendam atau

untuk menebarkan kerusakan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan yang

berwenang. Selama berlangsung peperangan, dimuka pengadilan perbuatan itu

hanya dapat diadili oleh pemerintah yang sah. Dalam setiap peristiwa itu, tidak

ada satu individupun yang memiliki hak untuk mengadili secara main hakim

sendiri. Dengan demikian, pembunuhan boleh saja dilaksanakan kepada manusia

asalkan dengan alasan demi menegakkan keadilan seperti penjatuhan hukuman

(11)

Dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah yang populer dengan

sebutan euthanasia dan telah menjadi topik pembicaraan yang diperdebatkan,

tidak saja bagi kalangan ahli medis, tetapi juga para pakar hukum Islam.

Euthanasia menurut pemikir Islam Yusuf Al-Qardawi adalah tindakan ahli medis

untuk mengakhiri hidup seseorang dan mempercepat kematiannya melalui injeks

kematian, kejutan listrik, senjata tajam dan cara yang lainnya.3

Istilah euthanasia memang masih asing di Indonesia, karena peristiwa

tersebut sangat jarang terjadi. Akan tetapi di negara-negara maju, seperti

Amerika, Austria, Belanda dan negara Eropa lainnya, masalah euthanasia telah

lama dikenal dan bahkan telah ada undang-undang yang melegalisasikannya.

Undang-undang ini memberikan landasan hukum bagi para dokter atau pihak lain

untuk melakukan euthanasia.

Dalam prakteknya, euthanasia dilakukan apabila seseorang pasien yang

menderita penyakit itu belum diketemukan obatnya, serta membuat si pasien

menderita karena penyakit yang di deritanya (secara fisik). Sebab lainnya, apabila

keluarga si pasien membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk perawatan

dirinya, sedangkan keadaan keluarganya sudah tidak sanggup membiayai

pengobatan si penderita (secara materi), maka si pasien meminta dengan

sungguh-sungguh kepada pihak rumah sakit untuk mengakhiri hidupnya dan keluarga si

pasien mengijinkannya (menyetujuinya). Pihak rumah sakit kemudian melakukan

3

(12)

euthanasia (mengakhiri hidup si pasien) baik dilakukan dengan euthanasia aktif

maupun euthanasia pasif.

Masalah euthanasia menjadi bahan pembahasan cendekiawan, terutama

apabila ditinjau dari segi hukum dan dihubungkan dengan hak seseorang untuk

menentukan keadaan dirinya sendiri. Asas legalitas hukum yang menerangkan

tentang praktek euthanasia dapat dilihat dalam pasal 344 Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP), Yaitu:

Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”4

Menurut S.R. Sianturi ia menjelaskan bahwa pasl 344 KUHP mewajibkan

setiap orang untuk menghormati jiwa orang lain, inti pasal 344 KUHP adalah

permintaan yang sungguh-sungguh dan meyakinkan, tidak hanya sekedar

permintaan saja perbuatan ini sering disebut dengan euthanasia.5 Kematian dalam pasal tersebut adalah kematian belas kasih yaitu dengan permintaan pasien yang

dalam keadaan sekarat bukan membiarkan seorang mati dan pembunuhan

sengaja.

Cendekiawan muslim atau ulama melakukan peninjauan atas

permasalahan euthanasia ini dalam perspektif hukum Islam, Masjfuk Zuhdi

4

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta; Rineka Cipta, 2005), h. 135

5

(13)

mengatakan bahwa Islam tetap tidak memperbolehkan si penderita menghabisi

nyawanya, baik dengan tenaganya sendiri (bunuh diri) dengan minum racun atau

menggantung dirinya dan sebagainya, maupun dengan bantuan orang lain,

sekalipun itu dokter dengan cara memberikan suntikan mematikan atau obat yang

dapat mempercepat kematian (euthanasia aktif) atau dengan cara menghentikan

segala macam pertolongan bagi si penderita, termasuk kelanjutan proses

pengobatannya (euthanasia pasif).6

Melihat dari pendapat di atas tentang boleh tidaknya euthanasia, dalam

kasus ini terjadi kontroversi pendapat. Tidak sedikit masyarakat pada beberapa

negara, seperti Amerika maupun negara-negara maju lain yang membenarkan dan

telah mempraktekan secara terang-terangan. Mereka sangat menghargai pilihan

bagi diri si pasien dan keluarganya untuk memilih dan menentukan jalan

kematiannya sendiri.

Para pendukung euthanasia beranggapan bahwa memaksa seseorang untuk

melanjutkan kehidupannya yang penuh dengan penderitaan dan siksaan penyakit,

baik fisik maupun materi adalah merupakan tindakan irasional dan tidak

menghargai hak asasi manusia, di mana seseorang memiliki hak terhadap dirinya

sendiri untuk menentukan sikap dan keputusan atas kelanjutan hidupnya. Hal ini

perlu dihormati dan dihargai.7

6

Prof. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, ( Jakarta; PT Gunung Agung, 1996), h. 157 7

Lutfi As-Syaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Tekhnologi dalam Fikih Kontemporer,

(14)

Akan tetapi bagi golongan yang kontra terhadap praktek euthanasia

mereka menggunakan argumentasi yuridis dan sikap dokter yang terlalu pasrah

dan menyerah. Secara agama, hidup dan matinya seseorang itu berada di tangan

Allah SWT dan tugas dokter hanya berusaha semaksimal mungkin serta

mengerahkan segala kemampuannya untuk dapat memberikan pertolongan

kepada si pasien.

Terlepas dari tanggapan yang setuju dan yang tidak setuju terhadap

permasalahan euthanasia ini, perlu ditelusuri bagaimana pandangan hukum Islam

terhadap euthanasia dan dihubungkan dengan hak asasi manusia, karena

euthanasia adalah masalah pembunuhan atas kerelaan si korban sedangkan nota

bene si korban adalah manusia yang memiliki hak hidup atas dirinya.

Dari uraian latar belakang di atas, permasalahan euthanasia menarik

sebagai bahan penelitian penulis dan akan dijadikan bahan penyusunan karya

ilmiah berupa skripsi. Untuk itu, penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini

berjudul:

“EUTHANASIA DALAM PANDANGAN HAK ASASI MANUSIA DAN

HUKUM PIDANA ISLAM”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas penelitian ini akan

menjelaskan apa sebetulnya euthanasia dan relevansinya dengan hak asasi

manusia dan hukum Islam serta sanksinya menurut hukum Islam dan hukum

(15)

Dari pembatasan masalah diatas rumusan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah deskripsi umum tentang euthanasia ?

2. Bagaimanakah pandangan Hukum Islam dan doktrin Hak Asasi Manusia

terhadap euthanasia?

3. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan hukum antara pandangan doktrin

Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam terhadap euthanasia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki beberapa

tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui dan menjelaskan deskripsi euthanasia,

2. Mengetahui dan menjelaskan pandangan hukum Islam dan doktrin Hak

Asasi Manusia terhadap euthanasia,

3. Mengetahui dan menjelaskan persamaan dan perbedaan pandangan

doktrin hak asasi manusia dan hukum Islam terhadap euthanasia.

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu

pengetahuan khususnya di bidang hukum yang berlandaskan Islam. Selain itu,

diharapkan pula memberikan informasi kepada peneliti yang berkeinginan untuk

melakukan kajian mendalam tentang apakah euthanasia sejalan dengan hukum

Islam dan doktrin hak asasi manusia?.

Selain itu hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi kepada

(16)

dalam melakukan tidakan euthanasia, lebih dari pada itu dapat memberikan

masukan kepada kalangan dokter dalam melakukan tindakan euthanasia dan para

kalangan hakim dalam melegalisasikan tindakan euthanasia yang nota bene

bertentangan dengan doktrin hak asasi manusia dan hukum Islam.

D. Metode Penelitian

Agar penelitian ini memperoleh informasi dan data yang akurat, maka

penyusun karya ilmiah ini akan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yakni memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku,

persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain., secara holistik, dan dengan cara

deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang

alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.8

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yakni dengan

menggambarkan masalah, mengumpulkan, menyusun dan menyeleksi data

lalu data-data yang terkumpul dianalisis dan diinterpretasikan. Penelitian ini

juga menuturkan dan menafsirkan data yang berkenaan dengan satu variabel,

dengan menyajikannya apa adanya.

8

(17)

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yakni penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder

belaka.9

2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, penelitian ini

menggunakan tekhnik studi dokumenter, yakni mengkaji materi-materi

hukum yang terkandung dalam bahan-bahan hukum tertulis, seperti ;

Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia (DUHAM), At-Tasyri’ Al-Jinai’ Al-Islami, Euthanasia

dan Ilmu Kedokteran dan dokumen hasil penelitian sebelumnya yang

memiliki relevansi dalam masalah euthanasia.

3. Tekhnik Analisis Data

Dalam menganalisis data, diterapkan teknik analisis isi secara kualitatif.

Jadi, dengan teknik ini penulis berusaha untuk mengkualifikasikan data-data

yang telah diperoleh dan disusun, kemudian melakukan interpretasi dan

formulasi, dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas dan

menganalisis isinya kemudian menginterpretasikannya menggunakan bahasa

penulis sendiri, dengan demikian akan nampak jelas rincian jawaban atas

pokok permasalahan yang diteliti.

E. Sistematika Penulisan

9

(18)

Untuk mencapai sasaran seperti yang diharapkan, maka sistematika

pembahasan ini dibagi menjadi lima bab. Teknik Penulisan yang digunakan

dalam skripsi ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 200710. Adapun sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan atau berisikan pengantar,

yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan

penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Dimaksudkan dengan

pendahuluan, agar para pembaca sudah dapat mengetahui garis besar penelitian.

Bab pertama ini adalah sebagai pengantar.

Bab kedua, bab ini membahas tentang tinjauan umum hak hidup dalam

hak asasi manusia dan hukum Islam yang terdiri dari tiga sub bab, yaitu ; Pertama

: Pengertian hak hidup, Kedua, : Hak hidup bagian dari hak asasi manusia, Ketiga

: Hak hidup menurut konsep hukum Islam.

Bab ketiga, membahas tentang fenomena euthanasia dan pandangan ilmu

kedokteran yang terdiri dari empat sub bab, yaitu : Pertama : Pengertian

Euthanasia, Kedua : Klaifikasi Euthanasia, Ketiga : motif-motif terjadinya

Euthanasia, dan Keempat : Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran.

Bab keempat, merupakan bagian isi. Disini akan membahas tentang hak

hidup dalam hak asasi manusia dan hukum Islam dan kaitannya dengan

10

Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan Skripsi,

(19)

euthanasia yang terdiri dari tiga sub bab, yaitu ; Pertama ; Hak hidup dalam hak

asasi manusia dan kaitannya dengan euthanasia, Kedua : Hak hidup dalam

Hukum Islam dan kaitannya dengan euthanasia, Ketiga : perbandingan hukum

euthanasia menurut hukum Islam dan hak asasi manusia.

Bab kelima, adalah Penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran-saran. Bab

ini, sebagai kesimpulan adalah konsekuensi dari metodologi. Pengambilan

kesimpulan ini harus dilakukan untuk menemukan jawaban yang diajukan pada

(20)

BAB II

TINJAUN UMUM HAK HIDUP DALAM HAK ASASI MANUSIA DAN

HUKUM ISLAM

A. Pengertian Hak Hidup

Hak hidup adalah hak untuk menjalani kehidupan tanpa gangguan yang

mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Hak ini merupakan hak asasi yang

paling esensial dari keseluruhan hak yang dimiliki oleh manusia. Termasuk dalam

kategori ini adalah hak untuk menjalankan kehidupan yang layak di manapun dan

kapanpun.11 Hak ini berhubungan dengan kemerdekaan manusia untuk menjalani kehidupan tanpa gangguan dari pihak manapun, termasuk di dalamnya

perlindungan dari tindakan diskriminasi, rasialisme dan dehumanaisme.

Perlindungan atas hak hidup menjadi tanggung jawab semua orang, karena

tindakan yang menggangu hak hidup akan mengancam hak asasi manusia secara

keseluruhan. Bila ini terjadi, maka kehidupan sosial dan peradaban manusia bisa

terganggu. Kematian satu orang bisa berpengaruh terhadap tatanan kehidupan

manusia, sekecil apapun peran yang ia mainkan, karena sebagai makhluk sosial

manusia memiliki karakter saling bergantung.

Mengingat pentingnya penghormatan terhadap hak hidup manusia,

Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, memuat ketetapan bahwa setiap manusia

11

(21)

memiliki hak untuk hidup dan meneruskan kehidupannya dengan keturunannya

serta mempertahankan kehidupannya secara wajar dan bebas.12 ketetapan mengandung makna bahwa penghargaan dan penghormatan terhadap setiap

individu manusia untuk melakukan berbagai usaha, baik secara individual

maupun kolektif, mempertahankan hidup, melakukan sosialisasi dan

meningkatkan kualitas kehidupannya, sehingga bisa menjadi manusia yang

beradab dan bermartabat.

Namun demikian, hak hidup seseorang tidak berarti mengabaikan hak

orang lain, sehingga ada aturan –aturan yang membatasi penggunaan hak hidup.

Kewenanagan dan kekuasaan hukum dan undang-undang yang direalisasikan

dalam institusi pengadilan, merupakaan pembatas dalam penggunaan hak hidup.

Jika penggunaan hak hidup sudah menggangu hak orang lain atau melanggar

ketentuan hukum, maka berlaku ketetapan hukum sesuai dengan jenis dan tingkat

kesalahan yang dibuat, serta berlaku sanksi hukum berdasarkan keputusan

pengadilan.

Konstitusi dan hukum Indonesia memberikan jaminan penuh terhadap hak

hidup manusia yang tertuang dalam undang Dasar 1945 dan

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam kedua sumber

hukum ini, hak hidup dinyatakan sebagai sebuah hak yang melekat pada setiap

warga negara Indonesia. Sanksi hukum akan berlaku jika hak tersebut dilanggar,

12

Drs. Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an, ( Jakarta; PT. Al-Husna Zikra, 1995 ), h. 35

(22)

sesuai dengan kreteria tindakan melanggar hukum yang ditetapkan dalam sumber

hukum materil tersebut.

Pada penjelasan pasal 4 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia, dinyatakan bahwa setiap orang memiliki hak hidup, hak untuk

tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak

untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di

hadapan hukum, dan hak untuk tidak dianaut atas dasar hukum yang berlaku surut

adalah hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dan

oleh siapapun. Hak atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang belum

lahir, dengan adanya larangan abortus.

Bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan hukum tentang hak asasi

manusia, maka seseorang atau pihak-pihak yang merasa terganggu hak hidupnya

dapat mengajukan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)

atau Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kedua lembaga ini merupakan sebuah

kemauan politik dan hukum pemerintah Indonesia dalam menegakkan hak asasi

manusia dalam tatanan konstitusi, sosisal dan politik di Indonesia. Dengan

landasan konstitusi dan hukum hak asasi manusia, pengadilan memiliki

wewenang untuk menindak pelaku pelanggaran hak asasi manusia, sehingga bila

terbukti bersalah, maka pihak pengadilan wajib mengadili sesuai dengan

ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku. Proses peradilan HAM

dilakukan dengan melakukan proses penyidikan dan penyelidikan berdasarkan

(23)

B. Hak Hidup Sebagai Hak Asasi Manusia

Piagam PBB mengenai Hak Asasi Manusia menempatkan hak hidup

sebagai bagian utama hak asasi manusia sebelum hak-hak lainya. Sebagai hak

utama, maka perlindungan dan jaminan atas hak ini menjadi bagian dari konstitusi

pada banyak negara yang meratifikasi Piagam HAM PBB. Materi Piagam Hak

Asai Manusia PBB dan konstitusi negara-negara di dunia menempatkan hak

hidup sebagai bagian integral dari hak asasi manusia. Sebagai bagian utama, hak

hidup menjadi titik awal penghormatan terhadap hak manusia yang lainnya. Jika

hak ini dilanggar, maka hak-hak lain juga ikut dilanggar secara otomatis, karena

pelanggaran hak hidup akan menutup jalan pelaksanaan hak-hak lainnya.

Sebagai salah satu negara anggota PBB, Indonesia ikut meratifikasi

Piagam Hak Asasi Manusia sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945,

selanjutnya Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan sebuah keputusan

tentang hak asasi manusia yang diputuskan dalam TAP MPR N0.

XVII/MPR/1998 tentang Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap HAM

dan Piagam HAM Nasional, dan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 Tentang

Hak Asasi Manusia, dengan dua sumber ini maka kedudukan HAM dalam

konstitusi Indonesia semakin kuat, sehingga kehendak untuk menegakkan HAM

di Indonesia mendapat legalitas formal. Setelah pemberlakuan HAM ini, hak

hidup memiliki jaminan penuh dan dilindungi oleh konstitusi.13

13

(24)

Dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di

Indonesia, hak hidup termasuk dalam kebebasan dasar manusia. Pasal 9 ayat (1),

menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan

meningkatkan taraf kehidupannya.14 Dalam undang-undang ini, hak hidup tidak hanya mencakup persoalan kebebasan untuk bernafas dan menjalani kehidupan,

tetapi di dalamnya juga mencakup hak untuk meningkatkan kualitas kehidupan

yang layak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku.

Sedangkan dalam Deklarasi Internasional tentang Hak Asasi Manusia

pasal 3, dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan dan

keselamatan pribadinya.15 Jaminan akan hak hidup manusia akan berimbas kepada realisasi hak lain yang dimiliki manusia, antara lain kebebasan berserikat

dan mengeluarkan pendapat. Hak-hak asasi manusia lainnya akan berjalan apabila

hak hidup telah bisa direalisasikan.

Jaminan konstitusi dan perundang-undangan ini menunjukan komitmen

bangsa Indonesia untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, Indonesia menempatkan hak asasi

manusia sebagai bagian dari tatanan bermasyarakat berbangsa dan bernegara,

sehingga pelaksanaan hak asasi manusia mendapat jaminan penuh. Sementara

dalam tata kehidupan keseharian, kehidupan masyarakat Indonesia telah

14

http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/hrlaw/19 diakses pada tanggal 4 Agustus 2008 pukul 19:42 WIB

15

(25)

merealisasikan hak asasi manusia dalam kehidupan keseharian, jauh sebelum

ditetapkan Undang-undang HAM pada tahun 1999, sikap toleransi, gotong

royong dan saling menghormati antar anggota kelompok masyarakat merupakan

indikasi yang secara nyata ditunjukkan bangsa Indonesia. Walaupun ada berbagai

kejadian yang disangkutkan dengan isu pelanggaran HAM, namun

peristiwa-peristiwa itu seringkali dilakukan sebagai rekayasa politik dengan memanfaatkan

isu suku, ras, dan agama, yang melibatkan pemerintah sebagai target kelompok

yang memiliki kepentingan politik dan kekuasaan atas Negara.

C. Hak Hidup Dalam Konsepsi Hukum Islam

Fiqh merupakan produk pemikiran manusia sebagai hasil dari pemahaman

dan interpretasi terhadp Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dua sumber hukum

utama,16 sedangkan fiqh jinayah merupakan hukum yang berisi larangan atas perbuatan manusia dalam mengambil kehendak Allah dan hak-hak hidup

manusia.17 Adapun yang dimaksud dengan perbuatan mengambil hak Allah ialah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan

mengingkari segala kewajiban atau perintah Allah, termasuk yang berkaitan

dengan kehidupan seseorang.

Fiqh jinayah memiliki tujuan untuk memberikan jaminan pelindungan

terhadap keselamatan jiwa manusia yang tertuang dalam tujuan dasar hukum

16

Dr. M. Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2003 ), h. 16 17

(26)

Islam (maqashid as-syari’ah). Ide keadilan yang tercantum dalam hukum jinayah

bersumber pada ajaran Islam yang mengandung ajaran Ilahiyah dan insaniyah.

Penerapan hukum Islam secara tepat dan benar akan menjamin rasa keadilan yang

dibutuhkan dalam proses hukum. Keadilan ini tidak hanya berlaku untuk umat

Islam, tetapi juga untuk seluruh umat manusia, karena Islam ditujukan untuk

keselamtan umat manuasia (rahmatan lil alamin). Ini berbeda dengan pandangan

dangkal yang beredar tentang seputar hukum Islam sebagai sebuah hukum yang

keji dan tidak berkeprimanusiaan.

Fiqh jinayah, yang berkaitan dengan pembunuhan merupakan sebuah

perlindungan Allah terhadap hak hidup manusia. Bentuk hukuman mati yang

diberikan kepada pelanggaran hak hidup pada hakekatnya melindungi nyawa

manusia lain, karena dengan pemberlakuan hukuman hudud, maka akan banyak

nyawa atau kehidupan manusia yang akan terlindungi dan terselamatkan. Hukum

qishash yang dipandang sebagai salah satu hukuman yang keji, bila dilaksanakan

dengan benar sesuai dengan sumber hukum peradilan Islam, akan membantu

manusia untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan atas hak hidup yang

diberikan Allah kepada manusia dan seluruh mahluk di muka bumi.18

Perlindungan hukum Islam tidak hanya berlaku bagi pembunuhan yang

dilakukan oleh orang lain secara sengaja dengan maksud menghilangkan nyawa

manusia. Imam Abu Hanifah berpendapat jika seseorang meminta untuk

18

(27)

dihilangkan nyawanya, kemudian ia dibunuh maka hukuman diyat bukan qishash

berlaku bagi pelaku pembunuhan tersebut.19

Ahmad Hanafi mengungkapkan bahwa hukuman untuk pembunuhan pada

umumnya berlaku hukum qishash, diyat dan ta’zir.20 Ketiga jenis hukuman pidana ini berlaku berdasarkan kategori pembunuhan yang dilakukan sebagai balasan

kepada pelaku. Qishash berlaku untuk pembunuhan disengaja dengan

menggunakan benda tajam yang bisa menembus daging. Qishash dalam hukum

Islam menjadi alat untuk melindungi nyawa manusia, karena dengan

pemberlakuan qishash bisa mencegah gangguan terhadap hak hidup seseorang,

walaupun qishash mengancam jiwa manusia. Namun demikian, qishash tidak

dapat berlaku bila ada pemaapan dari pihak keluarga atau pihak lain yang

menghendaki perbuatan pelaku untuk dimaapkan. Sebagai pengganti, hukum

Islam menetapkan hukuman pengganti berupa diyat atau ta’zir sebagai pengganti.

Pelaksanaan hukuman qishash diberikan kepada negara atau pemerintah, karena

arti hidup sangat penting. Pemberian hak kepada pemerintah bertujuan untuk

menjamin pelaksanaan hukum (law enforcement), sehingga tidak disalah gunakan

oleh pihak-pihak yang berkepentingan atas pembebasaan atau penjatuhan

hukuman kepada pelaku. Selain itu, pemerintah diharapkan mampu menjamin

19

Abd Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamy, Jilid II, ( Beiru; Al-Muassasah, tanpa tahun), h.441

20

(28)

keadilan bagi dalam proses peradilan, sehingga mampu memberikan keadilan dan

benar-benar menghukum pelaku yang memang terbukti bersalah secara hukum.

Dalam pandangan Islam, hidup manusia itu suci dan tidak boleh disakiti,

sehingga segala usaha harus dilakukan untuk melindunginya. Tidak seorangpun

diperbolehkan untuk menyakiti seseorang kecuali berdasarkan hukum, seperti

qishash dalam tindak pidana pembunuhan.21 Secara sepintas hukum qishash tampak mengancam nyawa manusia, tetapi jika dikaji lebih mendalam,

sesungguhnya melalui qishash inilah akan banyak nyawa manusia terselamatkan.

Sifat dualisme ini juga tanpak dalam hukum pidana mati non-Islam, karena dalam

hukum mati terdapat ancaman terhadap nyawa manusia.

Fiqh jinayah memandang hak hidup manusia sebagai hak yang diberikan

Alllah kepada manusia tanpa gangguan dari pihak lain, baik secara sengaja

maupun tidak sengaja. Berbagai ketentuan dalam fiqh jinayah ditetapkan dalam

rangka melindungi hak hidup terutama dalam aturan mengenai jarimah

pembunuhan, dengan sanksi hukum untuk masing-masing pelanggaran hukum.

Fiqh jinayah sebagai jaminan perlindungan hak hidup memberikan

ketentuan-ketentuan tegas terhadap tindak kejahatan yang mengancam nyawa manusia.

Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 178, Allah berfirman;

!"

#

21

(29)

$%

&%' (

)*

+" -.' (

/01 2

3401 2

*5

6 789: (

7;9: (

*5

<=.>?@A

<=.>?@A

*5

<

BC9D.E

)FG

H I.

BC

JKFL I

M =OP

;Q

8 RS

.E

F

0:9D (

*5

Q

9K I

J !.(*'

(C

TBJ*U*5

9; (V.W

X

! Y

C Z

7

*"5[+

X 9DBJ +

\C9D.E

]9

B

9 : 5

9; (V.W

H I.

.E

^_

O!

`aK ( I

5

>' ? %

/

@

;

9:A

=

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. ( Q.S. Al-Baqarah / 2 : 178)

Dalam surat al-Baqarah ayat 179, Allah berfirman;

7

.(

)*

%

&%' (

XR<

K9J

)d

e

%

8 (-A

7 f8

9:.(

g f'h .S

5

>' ? %

/

@

/

9:B

=

“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. (Q.S. Al- Baqarah / 2 : 179)

Kedua ayat di atas menunjukkkan bahwa hukum pidana Islam menjamin

(30)

merupakan perlindungan hukum yang diberikan kepada manusia, karena dengan

pemberlakuan qishash akan mencegah gangguan terhadap hak hidup seseorang,

walupun qishash mengancam jiwa manusia. Akan tetapi, qishash tidak dapat

berlaku bila ada pemaapan dari pihak keluarga atau pihak lain yang menghendaki

perbuatan pelaku untuk dimaapkan.

Pembunuhan yang dilakukan dengan cara menghilangkan nyawa orang

lain sebagai bentuk pelanggaran atas hak Allah, karena kematian hanya milik

Allah. Dengan kata lain, hanya Allah yang memiliki hak untuk menentukan

kematian manusia dan segala makhluknya di muka bumi. Tindakan manusia yang

mengambil hak Allah akan diberikan sanksi dan hukuman, setinggi-tingginya

hukuman mati.22 Perbuatan menghilangkan nyawa orang lain karena alasan dendam dapat diputus oleh pengadilan yang berwenang. Selama berlangsunya

peperangan, perbuatan itu hanya dapat diadili oleh pemerintah yang sah. Dan

dalam segala hal, tidak ada satu individu yang memiliki hak untuk mengadili

orang lain dengan cara main hakim sendiri. Proses penjatuhan hukuman yang

membatasi hak hidup manusia harus dilakukan melalui sebuah proses yang

menjamin tidak terjadinya sebuah tindakan pembunuhan.

Hukum Islam yang ditakuti oleh orang-orang non-muslim tidaklah

menghendaki tindakan sewenang-wenang dari para pelaku hukum, terutama dari

pemerintah dan pengadilan. Penerapan hukuman dari hukum Islam dilakukan

22

(31)

secara hati-hati, sehingga hukuman tersebut hanya berlaku bagi orang yang

melanggar hukum.

Pemberlakuan hukum qishash hanya berlaku bagi orang-orang yang

terbukti membunuh. Pihak keluarga sebagai ahli waris tidak boleh memberikan

hukuman yang semena-mena, tanpa memperhatikan nilai kemanusiaan. Dengan

alasan kemanusiaan ini, maka hukuman ini bisa terhapus jika pihak keluarga

memaapkan pelaku, walaupun pelaku tetap mendapat hukuman pengganti dari

hukaman pokok23. Dengan demikian tidak ada perbuatan melanggar hukum yang tidak mendapat hukuman. Tidak ada pembunuhan kecuali sebagai sebuah

hukuman atas pembunuhan juga bisa dihapus bila dilakukan dalam keadaan

membela dirinya sendiri dari ancaman pembunuhan dari orang lain. Dengan

demikian tidak semua pembunuh dalam hukum Islam dihukum dengan hukuman

qishash.

23

(32)

BAB III

FENOMENA EUTHANASIA DAN PANDANGAN ILMU KEDOKTERAN

A. Pengertian Euthanasia

Euthanasia secara etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu ; “ue” yang

berarti normal atau baik, dan “thanatos” yang artinya mati.24 Berdasarkan penggalan katanya euthanasia berarti kematian secara baik atau mudah tanpa

penderitaan. Secara bahasa kata euthanasia kemudian dikenal dalam dunia

kedeokteran dan hukum, karena pada perkembangannya, istilah ini banyak

digunakan dalam istilah-istilah hukum, terutama pada hukum pidana yang

menyangkut delik pembunuhan.

Dalam kamus kedokteran dinyatakan bahwa euthanasia mengakhiri

dengan sengaja kehidupan seseorang dengan cara kematian atau menghilangkan

nyawa secara tenang dan mudah untuk menamatkan penderitaan.25 Pengertian ini memandang bahwa euthanasia merupakan tindakan pencegahan atas penderitaan

yang lebih parah dari seseorang mengalami musibah atau terjangkit suatu

penyakit. Jalan ini diambil, mengingat tidak ada cara lain yang bisa menolong

seseorang untuk terlepas dari penderitaan yang luar biasa.

24

Waluyadi, S.H, M.H, Ilmu Kedokteran Kehakiman, (Jakarta; Djambatan, 2005) cet ke-2 h. 135

25

(33)

Pengertian euthanasia secara bahasa menunjukan bahwa inti dari

euthanasia adalah tindakan yang menimbulkan kematian secara mudah dan baik

dalam pandangan medis. Motif utama euthanasia adalah menolong penderita

untuk mengakhiri penderitaan atau memotong jalan penyebaran penyakit. Dengan

kata lain euthanasia merupakan penentuan kematian seseorang, yakni penentuan

untuk kelangsungan hidup seseorang setelah mengalami gangguan penderitaan

yang berat dan diperkirakan tidak bisa diatasi.

Euthanasia biasanya berhubungan kematian sukarela yang dilakukan

untuk mengakhiri penderitaan seseorang akibat penyakit yang tidak bisa

disembunyikan.26 Tindakan ini dilakukan dalam bentuk menyerupai bunuh diri, walaupun dilakukan dengan bantuan orang lain. Keputusan ini diambil untuk

mengurangi beban penderitaan seseorang akibat penyakit yang sulit disembuhkan.

Pelaksanaan euthanasia harus dilakukan atas seijin pengadilan, karena pada

hakikatnya dalam praktek ini telah terjadi pelanggaran hukum, yakni

menghilangkan nyawa manusia. Menurut hukum Islam bahw pengadilan

sekalipun tidak berhak untuk menentukan hak hidup seseorang kecuali untuk

hukuman yang telah ditentukan oleh nash, karena hak hidup seseorang hanya

milik Allah swt semata dan hanya dia yang berhak untuk mengambinya kembali

tanpa terkecuali bahkan pengadialn sekalipun.

26

(34)

Euthanasia merupakan pilihan untuk mati secara sukarela dengan

bantuan pihak lain atas dasar kasihan atau niat menolong penderita suatu

penyakit, antar lain dari pihak rumah sakit , dokter atau pengadilan.27 Pilihan menghilangkan nyawa orang lain ini diambil mengingat beban penderitaan pasien

maupun keluarga baik secara moril maupun material. Melalui euthanasia,

diharapkan bisa menghilangkan penderitaan pasien dan beban biaya perawatan

dan penyembuhan dapat dihilangkan.

Perkembangan euthanasia mulai muncul sejak abad ke- 19 dibeberapa

negara Eropa dan Amerika. Di Amerika Serikat euthanasia baru dikenal tahun

1960, hingga mendapat legalisasi hukum. Namun di Swiss, euthanasia dilarang

berdasarkan undang-undang federal tahun 1960, dengan asumsi bahwa euthanasia

melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan menodai hak manusia untuk terus

memiliki harapan hidup dan melanjutkan kehidupannya. Di Inggris sempat

muncul gerakan yang menamakan dirinya masyarakt euthanasia (euthanasia

society). Gerakan ini berjuang untuk mendapatkan legalitas euthanasia secara

hukum, sehingga tindakan ini bisa dilakukan tanpa pengajuan ke pengadilan,

namun usaha gerakan ini digagalkan, terutama oleh kalangan agamawan

Kristen.28

27

Lutfi As-Syaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Tekhnologi dalam Fiqh Kontemporer,

(Bandung; Pustaka Hidayah, 1998) h. 178

28

Crisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman,

(35)

Dalam literatur kedokteran dan hukum terdapat pemahaman yang

berbeda tentang hakekat euthanasia, apakah ia merupakan bunuh diri (suicide)

atau pembunuhan (murder).29 Kesulitan ini terjadi, karena euthanasia dilakukan

secara sukarela atas permintaaan orang yang bersangkutan, atau atas permintaan

pihak-pihak yang memiliki alasan kuat untuk melakukan euthanasia.

Sementara untuk memandang kematianpun menjadi kabur akibat

perkembangan teknologi kedokteran. Sebelumnya, definisi kematian

diindifikasikan oleh jantung dan hati yang sudah tidak berfungsi lagi. Dalam

perkembangan selanjutnya, kematian harus didiagnosa secara intensif melalui

peralatan kedokteran, karena indikasi kematian semakin bertambah, yakni dengan

menyertakan asumsi kematian pada jantung, hati, serta tidak berfungsinya otak

dan tidak adanya zat yang menimbulkan aliran listrik. Penambahan indikator

kematian ini pada akhirnya semakin mempersulit tindakan euthanasia, terutama

berkaitan dengan keputusan tentang harapan hidup pasien.30

Berdasarkan pandangan di atas, pemahaman terhadap legalitas

euthanasia seharusnya dilakukan secara hati-hati, walaupun sifatnya sukarela.

Euthanasia tetap berindikasi sebagai sebuah pembunuhan terencana yang

dilakukan atas dasar keinginan dari seseorang atau dari pihak-pihak tertentu yang

menginginkannya. Euthanasia kemudian harus dipandang dalam konteks

29

Ibid, h. 181 30

(36)

kemanusiaan, tidak hanya pada sisi medis, hal ini layak dilakukan untuk

menghindari jatuhnya korban akibat keputusan medis yang tergesa-gesa.

Sementara itu, para pendukung euthanasia memandang bahwa

tindakan ini merupakan penghargaan atas pilihan seseorang untuk mengakhiri

penderitaan hidupnya yang tiada akhir. Selain itu, memaksa orang lain untuk

melanjutkan hidupnya yang penuh penderitaan fisik dan kerugian material

merupakan tindakan tidak masuk akal dan tidak menghargai hak untuk

menentukan hidup manusia.

Secara sosial euthanasia memerlukan pemikiran kritis dengan

mempertimbangkan perasaan masyarakat sebagaimana tindakan aborsi, karena

euthanasia akan berhadapan dengan nilai kemanusiaan dan peradaban. Kalangan

agamawan memandang bahwa sikap dokter yang merekomendasikan atau

melakukan tindakan euthanasia merupakan sikap menentang takdir Tuhan.

Berdasarkan sudut pandang medis, euthanasia yang dilakukan sembarangan

melanggar kode etik kedokteran untuk menyembuhkan pasien yang telah menjadi

tanggung jawab mereka. Hak pasien untuk mendapatkan perawatan semaksimal

mungkin, bahwa jika ada suatu kesalahan dalam perawatan medis, pasien bisa

menuntut dokter maupun pihak rumah sakit ke pengadilan atas kelalain mereka.31 Berdasarkan pemaparan tersebut, maka inti dari euthanasia adalah

menghilangkan hak hidup seseorang dengan alasan untuk menghindari kerugian

31

(37)

pada pihak lain, termasuk pasien lain yang masih memiliki harapan hidup.

Kematian secara sukarela (mercy death) ini dilakukan sebagai sebuah usaha untuk

mencegah timbulnya kerugian yang lebih besar dengan mengorbankan satu orang.

B. Klasifikasi Euthanasia

Pada umumnya euthanasia diklasifikasikan dalam dua jenis, yakni

euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Namun demikian, beberapa pakar dan

penulis memberikan penjelasn yang berbeda mengenai dua jenis euthanasia

tersebut. Masing-masing perbedaan terletak dalam mendefinisikan terminology

euthanasia pasif. Sebagaian memberikan pengertian bahwa euthanasia pasif

merupakan euthanasia yang dilakukan dengan cara membiarkan pasien tanpa

perawatan, sementara yang lainnya mengemukakan bahwa pasien mengalami

penghentian proses perawatan dengan alasan kekurangan tenaga teknik dan alat

medis yang sesuai dengan penyakit pasien.

Prof. Suparovic mengungkapkan kalsifikasi euthanasia sebagai berikut

:32

1. Euthanasia pasif, yakni mempercepat kematian dengan cara menolak

memberikan pertolongan medis, atau menghentikan proses perawatan medis

yang sedang berlangsung, misalnya dengan memberikan antibiotik pada

penderita radang paru-paru berat (pneumonia) pemberian obat-obatan (drugs)

32

(38)

dengan dosis tinggi dilakukan untuk mempercepat proses penghentian fungsi

anatomi tubuh yang mendukung kehidupan manusia.

2. Euthanasia aktif yakni mempercepat kematian dengan mengambil tindakan

yang baik secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kematian,

misalnya dengan memberikan tablet sianida atau menyuntikan zat-zat yang

mematiakan kepada tubuh pasien. Tindakan ini langsung ditujukan untuk

membunuh pasien, seperti halnya pada hukuman suntik mati, tindakan ini

terkesan memperlakukan pasien sebagai pelaku tindak kriminal.

3. Euthanasia sukarela yakni mempercepat kematian atas persetujuan atau

permintaan pasien. Adakalanya permintaan tersebut tidak perlu dibuktikan

dengan bukti secara tertulis, selama ada saksi sebagai bukti lain.

4. Euthanasia tidak sukarela (involuntary) yakni mempercepat kematian tanpa

persetujuan atau permintaan pasien. Bahkan bisa jadi bertentangan dengan

kehendak pasien.

5. Euthanasia nonvoluntary yakni mempercepat kematian atas sesuai dengan

keinginan pasien yang disampaikan melalui pihak ketiga, misalnya keluarga,

atau atas keputusan pemerintah. Biasanya terjadi pada kasus penderita

penyakit menular. Demi untuk memusnahkan endemik penyakit atau

membatasi virus, maka seseorang berpenyakit menular harus dibunuh,

sehingga orang-orang di sekitarnya tidak tertular penyakit yang diderita

(39)

kemanusiaan, karena pandangan bahwa endemik penyakit bisa muncul pada

setiap tubuh makhluk hidup.

Frans Magnis Suseno menggolongkan euthanasia ke dalam tiga

kelompok, yaitu :33

1. Euthanasia pasif yaitu mempercepat kematian dengan alasan tidak semua

tekhnik kedokteran bisa memperpanjang kehidupan manusia.

2. Euthanasia tidak langsung, yakni usaha memperingan kematian dengan efek

samping bahwa pasien barangkali bisa meninggal lebih cepat, termasuk

dengan memberikan narkotika dan obat-obatan terlarang, hipnotika dan

analgetika, walaupun dilakukan dengan tidak sengaja.

3. Euthanasia aktif, yakni proses kematian dengan memperpendek kehidupan

secara terarah dan langsung tindakan menghilangkan nyawa.

Sementara itu, Lumerton J.P mengklasifikasikan euthanasia dalam

beberapa bagian yang pada intinya adalah pembunuhan dan pernyataan kematian,

yaitu ;34

1. Membiarkan seorang mati, yakni membiarkan terjadinya kematian karena

pasien tidak lagi memerlukan perawatan lebih lanjut, karena tidak berharap

bisa sembuh.

33

Waluyadi, Ilmu Kedokteran…….., h. 136-139 34

(40)

2. Kematian belas kasihan (mercy death), yakni pembunuhan yang dilakukan

karena pasien meminta untuk menghentikan kehidupannya.

3. Pembunuhan belas kasihan (mercy killing), yakni tindakan pembunuhan

melalui keputusan medis untuk mengakhiri kehidupan pasien, dengan atau

tanpa persetujuan dari pihak pasien maupun pihak lain secara sukarela.

4. Kematian otak (brain death), yakni pernyatan kematian secara medis akibat

otak tidak berfungsi lagi untuk mengatur denyut kehidupan manusia. Hasil

diagnosa terhadap fungsi otak ini merupakan keputusan final dengan asumsi

bahwa tidak ada indikasi lain yang lebih meyakinkan, selain otak yang tidak

berfungsi.

Berdasarkan klasifikasi di atas, klasifikasi euthanasia pada intinya

mengacu pada dua jenis tindakan dengan masing-masing ciri dan asumsi berbeda

yaitu ;

Pertama ; Euthanasia pasif, yakni euthanasia yang dilakukan dengan cara

membiarkan seseorang yang dalam kondisi terkena penyakit, tidak

mendapatkan perawatan sebagaimana pasien seharusnya dirawat.

Perlakuan ini dilakuklan secara sengaja untuk mempercepat terjadinya

kematian, misalnya untuk penderita kanker akut yang sudah dianggap

sudah tidak bisa disembuhkan. Tindakan inipun dilakukan melalui

prosedur pemeriksaan dan diagnosa kedokteran. Jika secara medis

(41)

euthanasia dilakukan dengan terlebih dahulu meminta persetujuan dari

pengadilan.

Kedua ; Euthanasia aktif, yaitu tindakan pembunuhan yang dilakukan dengan

cara menghilangkan nyawa seseorang secara langsung tertuju pada

kematian, melalui suntikan atau pemberian obat-obatan yang

mematikan. Tindakan ini jelas-jelas bertujuan untuk membunuh pasien

secara langsung, tanpa proses yang lama. Tujuan lain dari tindakan ini

adalah mempercepat proses penghentian penderitaaan, dengan asumsi

bahwa kematian merupakan jalan terakhir untuk mengakhiri

penderitaan dan penyebaran penyakit.

C. Motif-motif Terjadinya Euthanasia

Tindakan euthanasia dilakukan, karena penderitaan akibat penyakit yang

sulit disembuhkan. Pilihan untuk melakukan euthanasia diambil, setelah hasil

perawatan pasien tidak menunjukan jalan lain untuk menghilangkan

penderitaanya, tindakan itu sendiri tidak dilakukan serta merta atau secara

sembarangan, melainkan sebagai akibat dari beberapa sebab sebagai berikut :

1. Kondisi pasien

Kondisi ini dapat diklasifikasikan pada beberapa kondisi yakni :35

35

(42)

a. Ketidakmampuan pasien untuk bertahan terhadap penderitaan, yakni

ketidakmampuan untuk mengatasi rasa sakit akibat penyakit berat, rasa

sakit yang luar biasa dan ketakutan terhadap cacat.

b. Kekhawatiran pasien terhadap beban ekonomi yang tinggi dari biaya

pengobatan karena untuk penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan biaya

pengobatannya sangat tinggi, bahkan tidak terjangkau oleh kalangan

masyarakat bawah. Bila perawatan terus dibiarkan, maka biaya semakin

berat ditanggung oleh pihak keluarga, sementara harapan untuk sembuh

atau hidup pasien sangat tipis, bahkan tidak ada.

c. Ketakutan pasien terhadap derita menjelang kematian, karena beban derita

fisik dan psikologis sangat berat, sehingga ada kesan bahwa proses

menuju mati akan sangat sulit dan menyakitkan. Bila ini dibiarkan, maka

diasumsikan bisa terjadi gangguan jiwa pasien.

2. Situasi tenaga medis

Terjadinya tindakan euthanasia bisa juga didasari oleh situasi tenaga

medis yaitu36 ;

a. Tenaga medis memandang proses pengobatan sudah tidak efektif, yakni

sudah melalui proses pengobatan dalam jangka waktu lama, tetapi kondisi

pasien belum menunjukan perubahan. Hal ini dilakukan dengan hati-hati

untuk menghindari mal praktek yang bisa dituduhkan kepada tenaga

medis.

36

(43)

b. Perasaan kasihan terhadap penderitaan pasien, biasanya muncul dari pihak

keluarga, mengingat kondisi pasien yang sulit diobati, kondisinya akan

sangat menyedihkan dan mengingat pula penderitaan luar biasa yang akan

dialami oleh pasien dalam jangka waktu yang panjang.

c. Tenaga medis mengabulkan permintaan pasien atau keluarga untuk

menghentikan pengobatan, penghentian ini dilakukan karena tenaga medis

memiliki pandangan bahwa pihak keluarga sudah tidak bisa lagi bersabar

atas waktu pengobatan yang lama.

Berdasarkan sebab-sebab yang diuraikan diatas, kematian yang bersifat

sukarela ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi harus benar-benar

sebagai sebuah alternative final dan mendapat legalitas hukum yang ditempuh

melalui jalur peradilan. Bila pengadilan yang mengijinkan tindakan euthanasia,

maka tindakan pembunuhan ini menjadi legal dan mendapat legalitas secara

hukum. Namun perlu juga diteliti tentang latar belakang pengajuan permohonan,

bisa jadi ada motif kejahatan di balik permohonan euthanasia, misalnya sengketa

warisan, dengan maksud melancarkan maksud pemohon.

D. Euthanasia Dalam Ilmu Kedokteran

Euthanasia dalam dunia kedokteran merupakan usaha sebuah medis

yang dilakukan untuk mengantisipasi penyebaran penyakit, setelah usaha-usaha

penyembuhan secara medis gagal menyelamatkan pasien. Tindakan euthanasia

dilakukan kepada pasien yang tidak memiliki harapan untuk sembuh secara

(44)

sama sekali. Selain itu, euthanasia juga dilakukan untuk menghilangkan

penderitaan yang panjang akibat penyakit yang tidak bisa diobati.

Dalam prakteknya tindakan euthanasia dilakukan kepada pasien-pasien

penderita penyakit akut dan menular. Usaha ini dilakukan dengan memberikan

suntikan mematikan, seperti halnya yang dilakukan dalam hukuman mati.

Pemberian suntik mati dilakukan setelah diagnosa dokter dan pemeriksaan medis

intensif menunjukan keharusan untuk menghilangkan nyawa pasien.

Keputusan melakukan euthanasia dilakukan untuk menghilangkan

penyakit dan penderitaan pasien, disamping untuk menghindari penyebaran

penyakit yang akan menular kepada banyak orang. Selain itu, euthanasia

dilakukan dengan alasan bahwa harapan untuk sembuh secara medis dan tidak ada

lagi, sehingga biaya untuk pengobatan terbuang dengan percuma. Beberapa

penyakit berat seperti kanker maupun leukemia merupakan beberapa penyakit

yang sulit diobati, sehingga sangat berpotensi menjadi alasan tindakan euthanasia.

Alasan juga berhubungan dengan pemberian perhatian kepada pasien yang masih

memiliki harapan disembuhkan, sehingga banyak pasien lain yang bisa

diselamatkan dan tidak terganggu oleh pasien yang menderita penyakit berat.

Pelaksanaan euthanasia itu sendiri mengacu pada hasil diagnosa kedokteran dan

izin dari pengadilan, dengan menunjukan bukti-bukti yang bisa melegalisasi

tindakan euthanasia.37

37

(45)

Dalam kode etik kedokteran di Indonesia, setiap dokter memiliki

kewajiban untuk terus berusaha melindungi dan mempertahankan hidup makhluk

insani (pasien). Dalam kondisi apapun nyawa dan kehidupan manusia tetap harus

dipertahankan dengan menerapkan berbagai perawatan dan perlakuan medis

kepada pasien hingga pada titik akhir menjelang kematian. Dengan demikian hak

pasien untuk mendapat perawatan medis hingga tuntas, sampai pada akhirnya

meninggal secara alamiah.38

Berdasarkan kode etik kedokteran di atas, maka seorang dokter tidak

bisa melakukan tindakan euthanasia dalam kondisi apapun. Ia berkewajiban untuk

terus melakukan tindakan medis hingga akhirnya pasien mati secara wajar, bukan

dengan tindakan kesengajaan menghilangkan nyawa manusia. Pembunuhan untuk

alasan menghilangkan penderitaan pasien dan penyebaran penyakit merupakan

tindakan yang melanggar kode etik kedokteran. Euthanasia dalam pandangn kode

etik kedokteran tersebut hanyalah sebuah tindakan lepas tangan atas tanggung

jawab medis dan kemanusiaan untuk menyelamatkan kehidupan manusia. Selain

itu euthanasia yang dilakukan melalui diagnosa medis semata bisa membuka jalan

bunuh diri. Bisa jadi, dengan mengacu pada suatu kasus euthanasia, pihak-pihak

yang berkepentingan akan kematian seseorang akan dengan mudah melaksanakan

niatnya.

38

(46)

Sesuai dengan kode etik kedokteran, maka seorang dokter harus

mempertahankan nyawa manusia dari tindakan bunuh diri, karena penghormatan

terhadap hak hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam kondisi ini,

dokter mimiliki kesempatan dan kewenangan untuk memberikan harapan hidup

kepada pasien dengan melakukan perawatan yang intensif, sungguh-sungguh dan

ikhlas, sehingga pasien kembali menemukan semangat untuk bertahan hidup.

Kesetabilan mental pasien menjadi salah satu bagian dari terapi psikologis dalam

dunia kedokteran untuk normalisasi fungsi saraf.39

Sedangkan keputusan dokter untuk mengabulkan permintaan pasien

merupakan tindakan yang membuka peluang pembunuhan, karena dengan ijin

tersebut, maka pembunuhan akan terjadi melalui euthanasia. Euthanasia tanpa

seijin pengadilan bisa dikategorikan dalam sebuah pembunuhan, mengingat

tindakan ini akan menghilanghakan nyawa pasien yang kemungkinan masih bisa

bertahan hidup dengan perawatan dalam jangka waktu yang masih lama. Harapan

hidup yang masih tersisa ini menjadi terbuang sia-sia, akibat keputusan yang

tergesa-gesa sehubungan dengan status medis pasien.

Berkaitan dengan kode etik kedokteran, secara moral dokter dan tenaga

medis lainnya memiliki tugas dan kewajiban untuk bersikap professional dalam

melakukan perawatan terhadap pasien, bersikap tulus ikhlas dalam melayani

39

(47)

pasien serta berkonsultasi dengan dokterlain dalam penanganan pasien.40 Selain itu, dokter juga perlu memberikan kesempatan kepada pasien untuk berhubungan

dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadah. Konsultasi dengan dokter

lain dilakukan untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan lain berhubungan

dengan harapan kesembuhan dan harapan hidup yang mungkin tidak bisa

ditemukan oleh dokter yang bersangkutan. Bila hasil konsultasi antar dokter tetap

sama, maka tindakan apapun bisa dilakukan, dengan memperhatikan nilai-nilai

kemanusiaan. Sementara konsultasi dengan keluarga dan penasehat merupakan

dukungan moral bagi pasien untuk bertahan dalam kondisi terancam oleh

penyakit.

Euthanasia melalui diagnosa dokter bisa berdampak negatif, yakni

membuka peluang bagi pelanggaran hukum. Bukti medis bisa dijadikan alat bukti

bagi pengadilan untuk mengabulkan permohonan euthanasia, karena dokter

merupakan saksi ahli dalam proses pengadilan. Dengan bukti dan kesaksian ahli,

pihak yang menghendaki kematian pasien dengan sangat mudah memperoleh ijin

pengadilan, sehingga nyawa manusia tidak lagi berharga. Kemudahan dalam

pengmbilan tindakan euthanasia akan menghilangkan kepercayaan masyarakat

terhadap institusi medis, rumah sakit maupun dunia kedokteran secara umum.

Lembaga kesehatan yang diharapkan bisa menjadi benteng untuk

40

(48)

mempertahankan kehidupan manusia tidak lagi dipercaya, karena justru di

(49)

BAB IV

HAK HIDUP DALAM HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM ISLAM SERTA

KAITANNYA DENGAN EUTHANASIA

A. Hak Hidup Menurut Hak Asasi Manusia dan Kaitannya Dengan Euthanasia.

Menurut hak asasi manusia hak hidup merupakan hak yang paling

mendasar dimiliki manusia untuk melakukan proses kehidupan. Perlindungan atas

hak ini diberikan dalam segala aspek yang berkaitan dengan usaha manusia untuk

membangun kehidupan, mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupan

di lingkungan sekitarnya. Sebagai karunia Allah, hak hidup diberikan kepada

semua umat manusia, bahkan seluruh makhluk Allah.41

Seluruh konstitusi dan hukum negara-negara di dunia memberikan

jaminan perlindungan atas hak hidup, walaupun dalam penerapannya seringkali

terkesan membatasi bahkan menghilangkan hak hidup manusia itu sendiri. Akan

tetapi tindakan-tindakan itu tidak terjadi setiap saat dan bisa dijeneralisir sebagai

sebuah kondisi untuk menjustifikasi ketidakadaan perlindungan atas hak hidup.

Deklarasi PBB untuk hak asasi manusia, setelah melaui proses panjang,

pada akhirnya berhasil menyusun seperangkat aturan yang menjamin sepenuhnya

hak bagi setiap orang untuk menjalankan dan mempertahankan kehidupan. Hidup

sebagai kodrat asasi manusia menjadi inti dari keseluruhan hak asasi manusia

41

(50)

yang diakui oleh seluruh bangsa di dunia. Seluruh Negara yang meratifikasi

Piagam Hak Asasi Manusia menjamin sepenuhnya hak hidup bagi setiap

warganya dengan menetapkan berbagai aturan hukum yang melindungi mereka

dari tindakan yang menggangu hak tersebut.42

Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Pengadilan Hak Asasi

Manusia merupakan alat hukum untuk mengatasi kemungkinan pelanggaran hak

asasi manusia, terutama hak hidup. Selain itu pemberlakuan Undang-undang No.

39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia merupakan sebuah acuan bagi

Komnas HAM dan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menindak para pelaku

pelanggar hak asasi manusia. Kedua perangkat hukum ini bisa digunakan untuk

menjamin hak hidup warga negara Indonesia.43

Jaminan terhadap hak hidup sejak bayi yang belum lahir menjadi bagian

dari kewenangan Pengadilan Hak Asasi Manusia. Aborsi atau pidana mati dalam

hal atau kondisi tertentu demi hukum masih dapat diijinkan, sehingga tidak

berlaku sanksi hukum atas para pelakunya, karena hanya pada hal tersebut itulah

hak hidup dibatasi. Pembatasan secara hukum ini dilakukan melalui proses formal

penyidikan dan penyelidikan, hingga akhirnya diputuskan dalam sidang

pengadilan pidana.

42

Drs. Dalizar Putra, Hak asasi Manusia Menurut Al-Qur’an, ( Jakarta; PT. Al-Husna Zikra, 1995), h. 33

43

(51)

Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

menegaskan bahwa hak hidup berlaku sejak manusia dalam kandungan hingga

akhir hayat.44 Tindakan –tindakan diskriminasi dan menghilangkan hak hidup hanya bisa terjadi, jika seseorang menggangu hak hidup orang lain yang

diputuskan berdasarkan keputusan hukum. Tindakan-tindakan yang

mengakibatkan tertanggunya hak hidup, bahkan hingga kehilangan nyawa akan

mendapatkan bebagai sanksi dan hukuman, sesuai dengan jenis dan tingkatan

tindakan yang dilakukan oleh pelaku. Jenis dan kreteria hukuman bergantung

pada aturan hukum dan ketetapan hakim dalam memutuskan perkara tersebut.

Hak hidup adalah hak untuk menjalani kehidupan tanpa gangguan yang

mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Hak ini merupakan hak asasi paling

esensial dari keseluruhan hak yang dimiliki oleh manusia. Termasuk dalam

kategori ini adalah hak untuk menjalani kehidupan yang layak di manapun dan

kapanpun. Hak ini berhubungan dengan kemerdekaan manusia untuk menjalani

kehidupan tanpa gangguan dari pihak manapun, termasuk didalamnya tindakan

diskriminasi, rasialisme dan dehumanisme. Perlindungan atas hak hidup menjadi

tanggun

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : Pengaruh Efisiensi Modal Kerja, Fluktuasi Kurs Rupiah, dan

[r]

Tingkat kecelakaan dapat meningkat dengan meningkatnya stres, fatique dan ketidakpuasan akibat shift kerja ini, Aspek kinerja, kinerja pekerja termasuk tingkat kesalahan,

Sehingga dapat disimpulkan bahwa T hitung lingkungan kerja &gt; T hitung shift kerja yang berarti variabel lingkungan kerja memiliki pengaruh yang lebih besar untuk

Dari penelitian yang telah dilakukan pada perawat IGD di RSUD Haji Makassar diperoleh 8 orang (26,7%) dengan umur muda dan tidak mengalami kelelahan kerja dan terdapat 6

(4) Hasil belajar siswa dengan pembelajaran yang menggunakan metode demonstrasi pada materi yang berorientasi praktik yaitu mengalami peningkatan dengan sembilan

Untuk mengetahui Kemampuan Psikomotorik Siswa pada Mata Pelajaran Fiqih di MTs NU Ma’rifatul Ulum Kaliwungu Kudus tahun pelajaran 2016/2017, maka peneliti akan

Saya merasa jenuh dengan pola hidup yang harus saya jalani setelah