• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnalisme Sastra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Jurnalisme Sastra"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

JURNALISME SASTRA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh

Lukman Alhakim

NIM 105051102017

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 26 Juni 2009

(3)

JURNALISME SASTRA Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh: Lukman Alhakim NIM 105051102017

Di Bawah Pembimbing

Tan Tan Hermansah, M.Si NIP 150370228

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul JURNALISME SASTRA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 26 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I.) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Konsentrasi Jurnalistik.

Jakarta, 26 Juni 2009 Sidang Munaqasyah

Ketua merangkap anggota, Sekretaris merangkap anggota,

Drs. H. Mahmud Jalal, MA NIP 150202342

Rubiyanah, MA NIP 19730822 199803 2 001 Anggota,

Penguji 1

Dra. Mahmudah Fitriah ZA, M. Pd NIP 19640212 199703 2 001

Penguji 2

Drs. Suhaimi, M. Si NIP 19670906 199403 1 002 Pembimbing

(5)

ABSTRAK

Lukman Alhakim Jurnalisme Sastra

Jurnalisme Sastra merupakan salah satu dari tiga nama buat genre atau gerakan tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat di mana reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolf, wartawan-cum-novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre ini dengan nama “new journalism” (jurnalisme baru).

Bentuk penelitian yang digunakan peneliti adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analitis yaitu bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu.

Penilitian ini bertujuan mendeskripsikan penulisan Jurnalisme Sastra serta dengan berita-berita yang ditulis dengan straight news maupun feature agar terlihat letak perbedaan struktur penulisannya. Setelah data terkumpul, peneliti mendeskripsikan data yang sudah terkumpul dan dijelaskan poin-poin penting yang berkaitan dengan konstruksi berita tersebut.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, atas limpahan karunia dan ridho-Nya yang tidak pernah putus memberikan nikmat dan barakah-Nya kepada seluruh makhluk-Nya. Sehingga peneliti dapat menempuh jenjang pendidikan sampai saat ini dan dapat menyelesaikan karya ilmiah guna mencapai gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I).

Sholawat serta salam senantiasa peneliti junjungkan dan curahkan kepada baginda Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa ummatnya dari jalan kesasatan menuju jalan kebenaran.

Dalam menyusun skripsi ini, peneliti menyadari betul bahwa tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, peneliti tidak dapat menyelasaikan karya ini dengan baik, semua berkat arahan, bantuan, petunjuk serta motivasi dari semua pihak yang diberikan kepada peneliti untuk dapat menyelesaikan skripsi ini pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Program Studi Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selanjutnya, pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan banyak terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

(7)

2. Dr. Arief Subhan M.A. Selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi

3. Drs. Mahmud Jalal, M.A. Selaku Pembantu Dekan bidang Kepagawaian.

4. Drs. Studi Rizal LK. M.A. selaku Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.

5. Drs. Suhaimi, M.Si. Selaku Ketua Konsentrasi Jurnalistik, dan Rubiyanah, M.A. Selaku Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik yang telah memberikan banyak pengarahan, pendidikan, dan pengajaran kepada peneliti tentang jurusan.

6. Drs. Tan Tan Hermansah, M.Si. Selaku Pembimbing yang telah banyak mengarahkan bimbingan, petunjuk, dan pemikirannya kepada peneliti di sela-sela kesibukan dan aktivitas beliau.

7. Para Dosen, Karyawan, dan Staf Tata Usaha Fakultas Dakwah dan Komunikasi, dan juga seluruh staf pengurus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Kakakku, Ahmad Baehaqi, dan Adik-adikku, Fauziah Fatmawati, M. Luthfi, Haerul Umam, dan M. Fakhri Ridha yang juga senantiasa memberikan dukungan dan supportnya kepada peneliti.

9. Para staf Yayasan Pantau dan Andreas Harsono, Budi Setiyono, Mbak Siti, Mas Udin terima kasih atas data dan informasinya.

(8)

Anwar, Imam, dan Rosyid. Semoga persahabatan kita tetap utuh dan tidak sampai disini hingga akhir hayat hidup kita.

11.Teman-teman Konsentrasi Jurnalistik angkatan 2005 dan adik-adik kelasku Jurnalistik 2006, 2007, 2008, dan 2009 yang banyak memberikan kenangan, suka maupun duka kita bersama-sama selama kuliah di Fakultas Dakwah dan Komunikasi.

12.Kepala Laboratorium FDK Drs. H Tarmi, MM, beserta staff, dan rekan-rekan RDK 91,8 FM, Rere, Pita, Septiasari, Aditya, Icha, Rida, Dito, Andri, Rani, Wiwit, Melisa, Bella, Bilqis, Lala, Rizka, Vivit, Halimah, Sandika, Dimas, Ihsan dan Iqbal yang senantiasa bersama-sama membangun Radio Dakwah dan Komunikasi menjadi eksis sampai saat ini.

Akhirnya peneliti hanya mampu mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan memberi pelajaran hidup kepada peneliti. Semoga Allah SWT semakin menambah karunia-Nya kepada kita semua. Terimakasih atas segalanya dan mohon maaf atas segala kekhilafan. Dan akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk para pembaca, dan khsusnya bagi peneliti. Aamiin Yaa Robbal Aalamiin.

Wassalam Jakarta, 26 Juni 2009

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan dan Batasan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Metodologi Penelitian ... 6

E. Tinjauan Pustaka ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN TEORETIS A. Pengertian Jurnalisme dan Sastra... 9

1. Etimologi ... 9

2. Terminologi ... 11

B. Sejarah Kelahiran Jurnalisme ... 17

1. Kelahitan Jurnalisme di Dunia ... 17

2. Kelahiran Jurnalisme di Indonesia ... 20

C. Pengertian Jurnalisme Sastra ... 26

BAB III GAMBARAN UMUM JURNALISME SASTRA DI INDONESIA A. Konteks Kelahiran ... 31

B. Struktur Organisasi Yayasan Pantau ... 35

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Proses Kelahiran Jurnalisme Sastra dan Perkembangannya di Indonesia ... 36

B. Isi Jurnalisme Sastra serta unsur-unsur penulisan Feature dan Straight News... 39

1. Penulisan Jurnalisme Sastra... 39

(10)

3. Kategori Feature News... 43

4. Struktur Penulisan Feature... 47

5. Unsur 5W+1H dalam Lead (Straight News)... 50

C. Konstruksi Berita yang Ditulis Menggunakan Pendekatan Straight News dan Berita yang Ditulis Menggunakan Pendekatan Jurnalisme Sastra... 55

1. Contoh dan Analisis Berita yang Ditulis dengan pendekatan Straight News... 55

2. Contoh dan Analisis Berita yang Ditulis dengan pendekatan Jurnalisme Sastra ... 59

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 74

B. Saran-saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Media massa, atau dalam hal ini disebut media jurnalistik, merupakan alat bantu utama dalam proses komunikasi massa. Sebab komunikasi massa sendiri, secara sederhana, berarti kegiatan komunikasi yang menggunakan media (communication with media). Di dalam medium jurnalistik secara umum baik media cetak maupun media elektronik keduanya memiliki fungsi yang sama, yaitu: Pertama menyiarkan informasi, ini merupakan fungsi utama media massa, sebab masyarakat membeli media tersebut karena memerlukan informasi tentang berbagai hal yang terjadi didunia ini. Kedua mendidik, karena fungsi yang kedua ini, media massa menyajikan pesan-pesan atau tulisan-tulisan mengandung pengetahuan, serta sekaligus dapat dijadikan media pendidikan massa. Ketiga

(12)

bahkan proses pengambilan keputusan pada lembaga-lembaga pemegang kebijakan formal.1

Untuk memainkan fungsi-fungsinya seperti disebutkan di atas, setiap media massa memiliki strategi komunikasi masing-masing. Dalam hal ini media massa cetak memiliki pendekatan yang berbeda dengan media massa elektronik. Perbedaan itu terutama dapat dilihat pada strategi penyusunan pesan-pesan yang akan disampaikannya kepada khalayak.

Pada media massa elektonik seperti salah satunya bisa dilihat dalam televisi dan radio maupun online, pesan-pesan diterima khalayak hanya sekilas. Di Indonesia, televisi merupakan medium terfavorit bagi para pemasang iklan, dan karena itu mampu menarik investor untuk membangun industri televisi. Apalagi televisi saat ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan banyak orang. Banyak orang menghabiskan waktunya lebih lama di depan pesawat televisi dibandingkan dengan waktu yang digunakan untuk membaca, berdiskusi dengan keluarga atau pasangan mereka.2

Sedangkan pada media cetak, pesan-pesan yang diterima khalyak dapat dikaji ulang dan dipelajari serta disimpan untuk dibaca kembali pada setiap kesempatan dimana diperlukan.3

Di dalam media cetak terdapat beberapa gaya penelitian seperti gaya penelitian straight news, feature, dan narasi. Gaya bahasa yang dilakukan dalam

straight news itu menggunakan bahasa yang informatif dengan data-data yang faktual, lugas dan akurat yang berpedoman pada rumus 5W1H (what, when,

Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori Dan Praktik, (Ciputat, PT Logos Wacana Ilmu Bukit Pamulang Indah, 1999), h. 73, dan 84-85.

2

Morisan, Jurnalistik Televisi Mutakhir, (Ramdina Prakasa, 2005), h. 1 dan 3. 3

(13)

where, who, why, dan how) dengan kaidah piramida terbalik.

Sedangkan feature itu sendiri adalah berita atau karangan khas yang berpijak pada fakta dan data yang diperoleh melalui proses jurnalistik, dan tidak tunduk kepada kaidah pola piramida terbalik dengan rumus 5W1H. Karena

feature itu sendiri menggunakan bahasa yang menarik perhatian banyak pembaca dengan di bubuhi unsur human touch, yaitu sentuhan penasaran manusia.

Sedangkan Jurnalisme Sastra menurut Andreas Harsono adalah :

“Berita atau karangan khas yang menarik dan relevan yang berpijak pada fakta dan data yang diperoleh melalui proses jurnalistik dan diambil dari dua sudut pandang yang berbeda (multiple angles) namun tetap fokus pada struktur penelitian berita atau karangan yang di buat.”4

Salah satu metode penelitian narasi ini pernah diliris Yayasan Pantau dan sempat menerbitkan beberapa majalahnya dengan nama majalah Pantau yang ditulis dengan menggunakan gaya penelitian narasi atau disebut dengan narative reporting atau Jurnalisme Sastra dan menjadi proyek uji coba Majalah Pantau

semenjak akhir Desember 2000.

Yayasan Pantau adalah sebuah lembaga yang bertujuan meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia. Sejak 2003, Pantau menjalankan program pelatihan wartawan, konsultasi media, riset, penerbitan, serta diskusi terbatas demi mendorong perbaikan mutu jurnalisme berbahasa Melayu.

Sejak 2001, Pantau menjalankan kursus menulis tiap semester: Kursus Jurnalisme Sastra dengan pengampu Janet Steele dari Universitas George Washington dan Andreas Harsono dari Pantau. Sejak 2006, Pantau juga membuka Kursus Narasi yang cocok untuk orang yang berminat menulis esai atau buku.

4

(14)

Kursus ini diampu Andreas Harsono dan Budi Setiyono. Ini majalah pemantau media massa yang melulu bicara tentang media dan jurnalisme. Ia mendapatkan sokongan dari Ford Foundation 200.000 dollar Amerika.5

Di sini peneliti menggarisbawahi perkembangan mata kuliah jurnalistik di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Terutama dalam hal gaya penelitian

narasi atau Jurnalisme Sastra yang masih minim didapatkan di berbagai perguruan tinggi terutama di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Dengan latar belakang inilah yang mengilhami peneliti untuk mengangkat penelitian dengan judul “JURNALISME SASTRA”.

B. Perumusan dan Batasan Masalah

Dari judul yang peneliti angkat, peneliti membatasi riset ini terhadap proses kelahiran dan isi Jurnalisme Sastra dalam media cetak dengan menggunakan contoh kasus pada majalah Pantau edisi Februari 2004 serta contoh dari buku Jurnalisme Sastra Antologi Liputan Mendalam dan Memikat.

Berdasarkan pembatasan masalah yang dikemukakan di atas, maka pokok masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana proses kelahiran Jurnalisme Sastra dan perkembangannya di Indonesia?

2. Bagaimana isi Jurnalisme Sastra? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini peneliti mempunyai tujuan yang ingin dicapai, yaitu :

(15)

1. Mengetahui proses kelahiran Jurnalisme Sastra dan perkembangannya di Indonesia.

2. Mengetahui bagaimana isi Jurnalisme Sastra. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini berguna mengembangkan pengetahuan ilmiah bagi mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di bidang komunikasi massa khususnya yang berhubungan dengan Jurnalisme Sastra.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah pengetahuan bagi mahasiswa jurnalistik dan kepada pembaca umumnya dan juga dapat bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.

D. Metodologi Penelitian 1. Bentuk penelitian

Bentuk penelitian yang digunakan peneliti adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analitis yaitu bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu.6

2. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

6

(16)

3. Tempat dan Waktu

Tempat pelaksanaan penelitian adalah kantor majalah Pantau Jalan Raya Kebayoran Lama 18 CD Jakarta Indonesia 12220. Untuk mencari data yang diperlukan peneliti mencari data-data di majalah yang terkalit. Waktu dalam melaksanakan penelitian ini adalah selama tiga bulan yaitu dari bulan April sampai Juni 2009.

4. Subjek

Bahan penelitian adalah subjek penelitian. Menurut Suharsini Arikunto menyebutkan bahwa subjek penelitian adalah subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti.7 Dalam penlitian ini bahan yang dijadikan penelitian adalah majalah Pantau edisi Februari 2004.

5. Objek

Objek penelitian dalam penelitian ini adalah majalah Pantau edisi Februari 2004

6. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, peneliti akan mendeskripsikan data yang sudah terkumpul dan dijelaskan poin-poin penting yang berkaitan dengan konstruksi berita yang ditulis menggunakan Jurnalisme Sastra.

E. Tinjauan Pustaka

Pada penelitian ini, peneliti memperoleh data-data dari beberapa sumber tertulis yaitu berupa buku yang peneliti gunakan. Kepustakaan ini dilakukan

7

(17)

dengan mengkaji, mempelajari dan mencoba mengimplementasikan sumber yang terkait dengan Jurnalisme Sastra yang sedang berkembang.

Dalam buku yang berjudul “Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam dan Memikat (Jakarta Yayasan Pantau Kebayoran Lama 2005)”. Oleh Andreas Harsono dan Budi Setiyono menggambarakan mengenai sejarah terbentuknya jurnalime sastra serta beberapa contoh penulisan Jurnalisme Sastra. Sedangkan judul skripsi peneliti “Jurnalisme Sastra”. Mengangkat tentang gambaran mengenai sejarah lahirnya Jurnalisme Sastra di Dunia dan di Indonesia dan bagaimana Isi dan struktur penulisan Jurnalisme Sastra.

F. Sistematika penulisan

Dalam skripsi ini peneliti membahas lima bab dan masing-masing bab terdiri dari sub bab, yakni :

Bab I Merupakan pendahuluan, dijelaskan mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penelitian

Bab II Tinjauan teoretis, dijelaskan mengenai pengertian jurnalisme, sejarah kelahiran jurnalisme di dunia dan di Indonesia, serta pengertian Jurnalisme Sastra.

Bab III Merupakan gambaran umum, di jelaskan mengenai Jurnalisme Sastra di Indonesia, konteks kelahiran, dan struktur organisasinya. Bab IV Hasil dan Analisa data, hasil proses analisa data yang berupa

(18)

contoh-contoh dan analisis berita yang ditulis menggunakan pendekatan straight news dan Jurnalisme Sastra.

(19)

BAB II

TINJAUAN TEORETIS

A. Pengertian Jurnalisme dan Sastra 1. Etimologi:

Secara etimologi, jurnalistik berasal dari kata journ. Dalam bahasa Perancis, journ berarti catatan atau laporan harian. Secara sederhana jurnalistik diartikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau pelaporan setiap hari. Dengan demikian, jurnalistik bukanlah pers, bukanlah media massa. Jurnalistik adalah kegiatan yang memungkinkan pers atau media massa bekerja dan diakui eksistensinya dengan baik.8

Sastra menurut kamus lengkap bahasa Indonesia Moderen adalah: bahasa, kata-kata, gaya bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab, bukan bahasa sehari-hari kesusastraan, karya kesenian yang diwujudkan dengan bahasa seperti gubahan-gubahan prosa dan puisi yang indah-indah.9

Istilah jurnalistik berasal dari kata journalistik dalam bahasa Belanda atau

journalism dalam bahasa Inggris. Keduanya bersumber dari bahasa latin diurnal

yang berarti harian atau setiap hari. Sedangkan jurnalistik sendiri berarti kegiatan mengumpulkan bahasa berita, mengelolanya sampai menyebarluaskannya kepada khalayak. Bahan berita itu bisa berupa kejadian atau peristiwa dan pernyataan

8

AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature, (Bandung, Simbiosa Rekatama Media, 2006), h. 2.

9

(20)

yang diucapkan oleh seseorang yang memiliki daya tarik bagi khalayak dapat dijadikan berita untuk disebarluaskan ke tengah masyarakat.10

Jurnalistik atau “jurnalisme (journalism)” berasal dari istilah “jurnal” yang berarti buku catatan tentang kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh seseorang. Misalnya dalam usaha dagang (jual beli barang dan jasa). Atau tentang acara rapat, pertemuan-pertemuan suatu organisasi atau kelompok orang yang mempunyai profesi tertentu. Asal mula jurnalistik ialah berasal dari bahasa Latin,

Acta Diurna. Ketika Julio Caesar menjadi Konsul (penasehat Kerajaan) dalam tahun 60 sebelum Masehi ia membuat peraturan yang mengharuskan pengumuman tentang kegiatan Senat di dalam papan pengumuman setiap hari. Itulah yang di sebut Acta Diurna atau Catatan Harian. Kata diurnal itu sendiri berarti hari atau sehari-hari.11

Dengan demikian istilah jurnalistik pada mulanya adalah segala sesuatu yang ditulis untuk diumumkan. Tidak disebut jurnalistik jika tidak tertulis atau tercetak. Karena itu istilah “jurnalistik udara” (air journalism) atau jurnalistik media elektronik sejauh ada hubungannya dengan penyiaran berita secara lisan, misalnya wawancara yang disiarkan secara langsung (live), sudah menyimpang dari usul pengertian jurnalistik.12

2. Terminologi:

10

Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, (Ciputat, Kalam Indonesia Kampung Utan, 2005), h. 9.

11

H. A. Muis, Jurnalistik Hukum dan Komunikasi Massa Menjangkau Era Cybercommunication Millenium Ketiga, (PT Dharu Anuttama, 1999), h. 23.

12

(21)

Secara terminologi jurnalistik didefinisikan sebagai keterampilan atau kegiatan mengelola bahan berita mulai dari liputan sampai kepada penyusunan yang layak disebar luskan kepada masyarakat. Apa saja yang terjadi di dunia, apakah itu fakta peristiwa atau pendapat yang diucapkan seseorang, jika dieprkirakan akan menarik perhatian khalayak, akan merupakan bahan dasar bagi jurnalistik, akan merupakan bahan berita untuk dapat sebarluaskan pada masyarakat.13

Jurnalistik adalah tindakan diseminasi informasi, opini dan hiburan untuk orang ramai (publik) yang sistematik dan dapat dipercaya kebenarnnya melalui media komunikasi massa modern.

Roland E. Wolesely dan Laurence R. Cambell, 1949, buku mereka berjudul EXPLORING JORNALISM : laporan tentang kejadian-kejadian yang muncul pada saat laporan ditulis, bukan suatu kejadian yang bersifat tetap menganai suatu situasi (Edwin Emery et al, 1965: 10, buku mereka berjudul

INTRODUCTION TO MASS COMMUNICATION). Menurut Edwin Emery:

“Dalam jurnalistik selalu harus ada unsur kesegaran waktu (timeliness atau aktualitas). Seorang jurnalis memiliki dua fungsi utama. Pertama, melaporkan berita. Kedua, membuat interpretasi dan memberikan pendapat yang didasarkan pada beritanya.” 14

F. Faros Bond dalam An Introduction to journalism (1961:1) menulis: Jurnalistik adalah segala bentuk yang membuat berita dan ulasan mengenai berita sampai pada kelompok pemerhati. Roland E. Wolsely dalam understending

13

AS Haris Sumadiria, h. 2.

14

(22)

megazine menyebutkan jurnalistik adalah pengumpulan, penulisan, penafsiran, pemrosesan, dan penyebaran informasi umum, secara sistematik dan dapat dipercaya untuk diterbitakan kepada suratkabar majalah dan disiarkan distasiun siaran. Adi Negoro menjelaskan jurnalistik adalah semacam kepandaian mengarang yang pokoknya memberi kekabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya (Amar, 1984:30). Astrid S. Susanto menyebutkan, jurnalistik adalah kegiatan pencatatan dan pelaporan serta penyebaran tentang kejadian sehari-hari (Susanto, 1986:73). Onong Uchana Efendy, mengemukakan, secara sederhanan jurnalistik dapat didefinisikan sebagai tekhnik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarluaskannya kepada masyarakat (Effendy, 2003:95).15

Menurut MacDogall menyebutkan bahwa:

Journalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Jurnalisme sangat penting di mana pun dan kapan pun. Jurnalisme sangat di perlukan dalam suatu negara demokratis. Tak peduli apapun perubahan-perubahan yang terjadi di masa depan baik sosial, ekonomi, politik maupun lain-lainnya.”16

Menurut Jack Fuller, penulis, novelis, pengacara, dan presiden Tribune Publishing Company yang menerbitkan Chicago Tribunes mengatakan:

“Tujuan utama Jurnalisme adalah menyampaikan kebenaran sehingga orang-orang akan mempunyai informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat.”17

15

AS Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, ( Bandung Simbiosa Rekatama Media), h. 4.

16

Muhammad Budyatna, M.A, Jurnalistik Teori dan Praktik, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya Offset , 2006), h. 15.

17

(23)

Jurnalistik selalu berhubungan dengan “berita” (news) yang tertulis. Atau proses penyampaian pesan tertulis kepada khalayak (banyak komunikan atau penerima pesan). Tetapi dengan munculnya media massa elektronik baik yang bersifat audial (dengar) maupun yang bersifat audio-visual (pandang-dengar) maka berita dapat pula berbentuk lisan.18

Didalam buku Luwi Ishawara (2005). Dijelasakan ada beberapa ciri-ciri Jurnalisme, diantaranya:

a. Skeptis

Menurut Tom Frideman dari New York Times mengatakan:

“Skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah ditipu.” Seorang yang skeptis akan berkata: “Saya kira itu tidak benar. Saya akan menceknya.” Lain halnya dengan sikap sinis. Orang sinis selalu merasa bahwa dia sudah mempunyai jawaban mengenai seseorang atau peristiwa yang dihadapinya. Ia akan berkata: “Saya yakin itu tidak benar. Itu tidak mungkin. Saya akan menolaknya.” Jadi inti dari sikap skeptis adalah keraguan, sedangkan inti dari sikap sinis adalah ketidak percayaan.”

Sikap skeptis hendaknya juga menjadi sikap media. Hanya dengan bersikap skeptis, sebuah media dapat ‘hidup’. Namun pada kenyataannya banyak media tidak mampu untuk selalu berusaha bersikap skeptis. Banyak media tidak mampu untuk selalu berusaha bersikap skeptis. Banyak dari mereka lebih menyukai memilih dan menghidupi apa yang dinamakan

cheerleader complex19, yaitu sifat untuk berhura-hura mengikuti arus yang sudah ada, puas dengan apa yang ada, puas dengan permukaan sebuah perstiwa, serta enggan mengingatkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam masyarakat.

H. A. Muis, Jurnalistik Hukum dan Komunikasi Massa Menjangkau Era Cybercommunication Millenium Ketiga, (PT Dharu Anuttama 1999), h. 24.

19

(24)

Joseph Pulitzer mengatakan:

“Surat kabar tidak pernah akan bisa menjadi besar dengan hanya sekedar mencetak selebaran-selebaran yang disiarkan oleh pengusaha maupun tokoh-tokoh politik dan meringkas tentang apa yang terjadi setiap hari. Wartawan harus terjun kelapangan, berjuang, dan menggali hal-hal yang eksklusif. Ketidaktahuan membuka kesempatan korup, sedangkan pengungkapan mendorong perubahan. Masyarakat yang mendapat informasi yang lengkap, akan menuntut perbaikan dan reformasi.20

b. Bertindak

Bertindak atau action adalah corak kerja seorang wartawan. Karena seorang wartawan tidak menunggu sampai peristiwa itu muncul, tetapi ia akan mencari dan mengamati dengan ketajaman naluri seorang wartawan. Peristiwa tidak terjadi di ruang redaksi. Ia terjadi luar. Karena itu, yang terbaik bagi wartawan sebuah terjun langsung ke tempat kejadian sebagai pengamat pertama.

Filosof Inggris Bertrand Russell menasihati mahasiswanya:

”Lakukanlah pengamatan sendiri. Aristoteles akan bisa menghindari kekeliruan tentang perkiraannya bahwa wanita mempunyai gigi lebih sedikit dari pria asalkan saja ia mau meminta istrinya untuk membuka mulutnya dan menghitungnya sendiri. Menganggap bahwa kita tahu, padahal tidak, adalah kesalahan fatal yang cenderung kita lakukan.21

c. Berubah

Jurnalisme mendorong terjadinya perubahan. Perubahan memang merupakan hukum utama jurnalisme. Debra Gresh Hernadez, dalam makalahnya berjudul “Advice For The Future,” yang disampaikan pada seminar API (American Press Institute), mengatakan:

20

Mitchell V.Charnley, Reporting, (New York: Holt, Rinehart an Winston Inc., 1965), h. 275-276.

21

(25)

“Satu-satunya yang pasti dan tidak berubah yang dihadapi industri surat kabar masa depan adalah justru ketidak pastian dan perubahan-the only things certain and unchanging facing the newspaper industry in the future are

uncertainty and change.”22 Dalam perjalanan sejarahnya, surat kabar itu akan selalu mendapat dampak dari perubahan yang terjadi di masyarakat dan dalam teknologi.

d. Seni dan Profesi

Jurnalisme adalah seni dan profesi dengan tanggung jawab profesional yang mensyaratkan wartawannya melihat dengan mata yang segar pada setiap peristiwa untuk menangkap aspek-aspek yang unik. Tetapi mata itu harus mempunyai fokus, suatu arah untuk mengawali pandangan. Hal ini penting bagi penulis berita untuk menunjukkan arah yang wajar. Dave Barry, seorang kolumnis berkata bahwa dirinya adalah seorang penulis yang baik dan mengira itu sudah cukup untuk menjadi wartawan. Ia sadar bahwa ternyata itu keliru. Jurnalisme bukanlah tentang menulis saja. Anda belajar tentang apa sesungguhnya mencari itu dan apa sebenarnya bertanya mengenai hal-hal pelik dengan kegigihan.

e. Peran Pers

Pers memainkan berbagai peranan dalam masyarakat. Bernard C. Cohen dalam advanced newagathering karangan Bryce T. Mcintyre menyebutkan bahwa beberapa peran yang umum dijalankan pers diantaranya sebagai pelapor. Di sini pers bertindak sebagai mata dan telinga publik, melaporkan

22

(26)

peristiwa-peristiwa yang di luar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka.23

Tugas sebagai pelapor ini juga diwujudkan ketika pers kadangkala berperan sebagai alat pemerintah, misalnya ketika ada siaran langsung pidato atau komentar seorang presiden di televisi. Tentu saja dalam peran tersebut pers harus tetap netral. Memang, dalam perkembangan sejarah media kerap dijadikan saluran untuk penyebaran pernyataan-pernyataan pemerintah yang sering dieksploitasi oleh tokoh-tokoh politik yang berkuasa.

Selain sebagai pelapor, pers juga memiliki peran sebagai interpreter yang memberikan penafsiran atau arti pada suatu peristiwa. Di sini selain melaporkan peristiwa, pers menambah bahan dalam usaha menjelaskan aetinya, misalnya analisis berita atau komentar berita.

Cohen melaporkan juga bahwa ada yang melihat pers sebagai wakil dari publik. Hal ini benar bagi politikus, yang menganggap laporan atau berita mengenai reaksi masyarakat adalah barometer terbaik bagi berhasilnya suatu kebijaksanaan.24

Pers juga berperan sebagai pengkritik terhadap pemerintah. Konsep yang sudah disebutkan di atas adalah peran jaga (watchdog).

Terakhir, Cohen menyebutkan bahwa pers sering berperan sebagai pemuat kebijaksanaan dan advokasi. Peran ini terutama tampak pada penulisan editorial dan artikel, selain juga tercermin dari jenis berita yang dipilih untuk ditulis oleh para wartawannya dan cara menyajikannya.

23

Bryce T. Mclntyre, Advanced Newsgathering, (New York: Praeger Publishers, 1991), h. 8.

24

(27)

B. Sejarah Kelahiran Jurnalisme 1. Kelahiran Jurnalisme di Dunia

Pada mulanya jurnalistik hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informatif saja. Ini tebukti pada Acta Diurna sebagai produk jurnalistik pertama pada zaman romawi kuno ketika kaisar Julius Ceisar berkuasa.

Dalam perkembangan selanjutnya, suratkabar yang bisa mencapai rakyat secara masal itu dipergunakan oleh kaum idealis untuk melakukan sosial control sehingga suratkabar tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga persuasif. Bukan saja menyiarkan informasi, tetapi juga membujuk dan mengajak khalayak untuk mengambil sikap tertentu, agar berbuat sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Bentuk jurnalistik yang bersifat persuasif, antara lain ialah, (tajuk rencana atau editorial) dan pelaporan selidik (investigative reporting).25

Sejarah jurnalistik dimulai ketika tiga ribu tahun yang lalu, Firaun di Mesir, Amenhotep III, mengirimkan ratusan pesan kepada para perwiranya di provinsi-provinsi untuk memberitahukan apa yang terjadi di ibukota. Di Roma 2.000 tahun yang lalu Acta Diurna (“tindakan harian”) – tindakan-tindakan senat, peraturan-peraturan pemerintah, berita kelahiran dan kematian ditempelkan di tempat-tempat umum. Selama Abad Pertengahan di Eropa, siaran berita yang ditulis tangan merupakan media informasi yang penting bagi para usahawan.

Keperluan untuk mengetahui apa yang terjadi merupakan kunci lahirnya jurnalisme selama berabad-anad. Tetapi, jurnalisme itu sendiri baru benar-benar dimuali ketika hurup-hurup lepas untuk percetaklan mulai digunakan di Eropa

25

(28)

pada sekitar tahun 1440. dengan mesin cetak, lembaran-lembaran berita dan pamflet-pamflet dapat di cetak dengan kecepatan yang lebih tinggi, dalam jumlah yang lebih banyak, dan dengan ongkos yang lebih rendah.

Suratkabar pertama yang terbit di Eropa secara teratur di mulai di Jerman pada tahun 1609: Aviso di Wolfenbuttel dan Relation di Strasbourg. Tak lama kemudian, suratkabar-suratkabar lainnya Strasbourgh. Tak lama kemudian, suratkabar-suratkabar lainnya muncul di Belanda (1618), Prancis (1620), inggris (1620), dan Italia (1636). Suratkabar-suratkabar abad ke-17 ini bertiras sekitar 100 sampai 200 eksemplar sekali terbit.

Pada tahun 1650, suratkabar pertama terbit sebagai harian adalah

Einkommende Zeitung di Leipzig, Jerman. Pada tahun 1702 menyusul Daily Courrant di London yang menjadi harian pertama Inggris yang berhasil diterbitkan. Pada tahun 1833, di New York City, Benjamin H. Day, menerbitkan untuk pertama kalinya apa yang disebut Penny newspaper (suratkabar murah yang harganya satu penny). Jurnalisme kini telah tumbuh jauh melampaui suratkabar pada awal kelahirannya. 26

Jurnalisme modern mulai muncul pada awal abad ke-17 dan betul-betul lahir dari perbincangan, terutama di tempat publik seperti kafe Inggris, kemudian di pub, atau “kedai minum,” di Amerika. Di sini, pemilik bar, menjadi tuan rumah dari perbincangan yang seru dari para pengelana di kedainya. Para pengelana ini juga sering mencatat apa yang mereka lihat dan dengar dalam sebuah buku yang disimpan di ujung bar. Di Inggris, kafe mengkhususkan diri pada jenis informasi spesifik. Suratkabar pertama muncul dari kafe-kafe ini sekitar 1609, ketika

26

(29)

percetakan mulai mengumpulkan berita perkapalan, gosip, dan argumen politik dari kafe dan mencetaknya di atas kertas.27

Dengan evolusi suratkabar-suratkabar pertama, para politikus Inggris mulai membicarakan sebuah fenomena baru, yang mereka sebut opini publik. Pada awal abad ke-18, wartawan atau penerbit mulai memformulasikan teori kebebasan berbicara dan pers bebas. Pada 1720, dua orang dari sebuah suratkabar London, yang menulis dengan nama samaran “Cato,” memperkenalkan ide bahwa kebenaran harus bisa menjadi pertahanan melawan pencemaran nama baik. Pada waktu itu, hukum adat Inggris berbunyi sebaliknya, bukan hanya tiap kritik pada pemerintah adalah sebuah tindak kejahatan, tetapi juga makin besar kebenaran, makin besar pula pencemaran nama baik yang ditimbulkannya, mengingat kebenaran mempunyai daya rusak yang lebih hebat.28

Sehingga sampai pada pertengahan dekade tahun 1990-an, The Annenberg Washington Program in Communication Policy Studies of Northwestern University memproyeksi “perubahan media berita.” Proyeksi ini mengembangkan perkembangan jurnalisme yang telah menggunakan multimedia. Koran tidak lagi menjadi pemeran utama. Media cetak bergabung dengan media televisi, radio dan internet. Sebuah pola penerimaan informasipun dirancang sampai ketingkat tekonologi begitu rupa.29

2. Kelahiran Jurnalisme Di Indonesia

Di Indonesia, sejarah jurnalistik atau persuratkabaran muncul sejak zaman penjajahan sejak. Percobaan pertama penerbitan pers pada zaman Hindia-Belanda

27

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, h. 17.

Jhon Trenchard dan William Gordon, Free Press, Hohenberg, h. 38. 29

(30)

yaitu pada pertengahan abad ke-17. berita-berita dari Eropa yang sampai ke Batavia disusun oleh kantor Gubernur Jendral Jan Pieterzoon Coen untuk selanjutnya dikirim dalam bentuk tulisan tangan antara lain ke Ambon. Berita ini bertajuk miring Memorie de Nouvelles (sekitar 1615) dan merupakan prototipe suratkabar Belanda di negeri jajahannya ini. Namun demikian, berita yang masih ditulis tangan ini belum bisa disebut koran pertama yang terbit di Indonesia.30

Namun pada abad ke 18, tahun 1744 muncullah sebuah suratkabar bernama Bataviasche Nouvelles terbit dengan pengusahaan orang-orang Belanda. Kemudian di Jakarta terbit Vendi Niews tahun 1776 yang mengutamakan diri pada berita pelelangan.31

Pada abad ke-19, baik pada massa penjajahan Inggris maupun Belanda, Koran terus terbit silih berganti. Ketika Inggris berhasil mencaplok kawasan Hindia Timur pada 1811, terbit koran berbahasa Inggris java Government Gazertte pada awal 1812. kemudian, sekembalinya Belanda menguasai kawasan tersebut pada tahun 1814, mereka menghentikan koran Inggris itu dan menerbitkan lagi koran resminya sendiri, Bataviasche Coureant. Di samping memuat berita-berita harian, koran ini juga memuat artikel-artikel ilmu pengetahuan. Lalu, pada 1829 bataviasche Courant diganti lagi dengan Javasche Courant yang terbit tiga kali seminggu, dan memuat pengumuman-pengumuman resmi, peraturan-peraturan serta keputusan-keputusan pemerintah.32 Selain itu juga terbit berbagai suratkabar lainnya yang semuanya diusahakan oleh orang-orang Belanda untuk para pembaca Belanda dan segelintir penduduk pribumi

30

Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori Dan Praktik, (Ciputat, PT Logos Wacana Ilmu Bukit Pamulang Indah, 1999), h. 21.

Sudirman Tebba, h. 17. 32

(31)

yang bisa bahasa Belanda. Semua suratkabar ini hanya menyuarakan kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1854 media massa mulai dikelola oleh kaum pribumi dengan terbitnya Majalah Bianglala dan Bromartani, keduanya di Weltevreden. Selain itu pada tahun 1865 terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya.

Sejak itu bermuncullah berbagai suratkabar dengan pemberitaanya yang bersifat informatif sesuai dengan pemberitaannya yang bersifat informatif sesuai dengan situasi dan kondisi pada zaman penjajahan. Umumnya media peribumi menggunakan nama-nama seperti “cahaya”, “sinar”, “terang”, “bintang”, dan nama-nama lain yag diharapkan membawa harapan bagi kemajuan dan pembebasan dari penjajahan. Muncul misalnya media yang bernama “Tjahaja Siang”, “Tjahaja India”, “Tjahaja Moelia”, “Sinar Terang”, “Bintang Timoer”, “Bintang Barat”, “Bintang Djohar”, “Bintang Betawi”, “Matahari”, dan lain sebagainya. Umumnya media itu terbit di Jawa. Ini karena percetakan sebagai sarana yang sangat vital untuk menerbitkan media, fasilitas-fasilitas lainnya serta khalayak yang melek huruf kebanyakan berada di Jawa.33

Pada awal abad ke-20 kaum pribumi mulai banyak yang menerbitkan media sendiri. Misalnya terbit Medan Prijaji yang terbit di Bandung. Media ini di kelola oleh Tirto Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono. Mulanya media ini tahun 1907. Tirto Hardisurjo kemudian dikenal sebagai pelopor yang meletakkan dasar jurnalistik modren di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan, pembuatan karangan, iklan dan lain sebagainya.

33

(32)

Pers yang dikelola oleh pribumi makin berkembang setelah lahir organisasi-organisasi massa dan gerakan-gerakan kebangsaan dan keagamaan yang turut menerbitkan media, karena media itu menjadi alat perjuangan mereka. Akibatnya media massa ini menyatu dengan perjuangan organisasi dan gerakan kebangsaan seperti Bung Karno, Bung Hatta, Moh. Yamin, Haji Agoes Salim, Rangkajo Rasuna Said, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Hadji Misbach, Soetomo, Iwa Koesoema Soemantri, Ki Hadjar Dewantara, Duwes Dekker alias Setyabudhi, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan tokoh-tokoh lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Yang mengakibatkan jatuh bangunnya perjuangan organisasi dan gerakan itu.34

Perkembangan jurnalistik atau persuratkabaran ini terus tumbuh berbarengan dengan arus kehidupan pergerakan nasional. Diantara beberapa koran Indonesia yang bersifat nasional dan dinilai radikal yang terbit di Jawa saat itu, antara lain, adalah Oetoesan Hindia, terbit di Surabaya di bawah Sarekat Islam (1914), Neratja di Batavia (1917), Boedi Oetomo di Yogya (1920), Sri Djojobojo

di Kediri (1920), dan lain sebagainya. Di luar Jawa juga muncul semarak koran-koran yang sebagiannya membawakan citra nasionalis Islam, seperti Tjaja Soematra di Padang (1914), Benih Merdeka di Medan (1919), Hindia Sepakat di Sibolga (1920), Oetoesan Islam di Gorontalo dan Oetoesan Boerneo di Pontianak (1927).35

Setelah negara Indonesia merdeka, kehidupan pers ikut menikmati kemerdekaan dengan bebas dari berbagai tekanan. Media massa pun bermunculan seperti cendawan di musim hujan. Misalnya di Jakarta terbit Merdeka pada 1

34

Ibid. h. 18. 35

(33)

Oktober 1945. Di Yogyakarta terbit kedaulatan Rakyat (bekas Sinar Matahari) tahun 1945, di Surabaya terbit Jawa Pos tahun 1949 dan Surabaya Post tahun 1953, di Semarang terbit Suara Merdeka tahun 1950, di Bandung terbit Pikiran Rakyat tahun 1956, dan lain sebagainya.

Namun kehidupan pers bebas itu hanya berlangsung selama masa demokrasi Liberal (1945-1959) atau disebut juga sebagai sistem pers liberal yang berlanjut sampai pada tahun (1959-1965) yaitu pada masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa inilah banyak pembatasan terhadap kehidupan pers, karenanya, kehidupan pers Indonesia pada masa itu disebut sebagai pers otoriter. Kehidupan pers yang tidak bebas itu berubah menjadi sedikit lebih bebas pada masa lahirnya Orde Baru pada tahun 1966 sampai pada tahun 1974 atau bertepatan pada peristiwa Malari (malapetaka lima belas januari). Selain itu pers di masa Orde Baru ini disebut sebagai pers Pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggung jawab.36

Selain itu di Indonesia juga terdapat beberapa penyajian sastra dalam penulisan jurnalisme dipelopori oleh majalah Tempo. Pada tahun 1970-an, majalah ini tampil menyegarkan dunia jurnalistik di Indonesia.

1. Fenomena Puisi

Di berbagai majalah dan Koran, eksperimen puitik sengaja dibuat untuk kepentingan sajian rubik-rubik tertentu. Salah satunya catatan pinggir di majalah

Tempo.

2. Sastra

36

(34)

Menurut Seno Gumira Ajidarma ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme berbicara dengan fakta, sastra berbicara dengan kebenaran.

3. Bahasa Kekuasaan

Bahasa menjadi sarana untuk membuat sajian informasi beritanya menarik dan sekaligus berhasil menembus birokrasi bahasa Negara yang menyembunyikan kebenaran.

4. Puisi

Bahasa puisi merupakan bahasa yang bebas dari dari manipulasi dan pemalsuan arti. Bahasanya jujur, tulus, dan tertuju pada kehendak untuk memurnikan arti kata-kata, menjadi sebuah pilihan bagi jurnalis. Dengan bahasa ini jurnalis dapat menghindari bahasa yang klise, ruwet, takut-takut, penuh indoktrinasi, dan terbirokrasi.37

Sejalan dengan berkembangnya kehidupan pers di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya muncul pula teori-teori jurnalistik yang mendasari perkembangan pers, di antaranya yang terpenting ialaha munculnya suatu teori jurnalistik yang disebut jurnalistik baru yang secara garis besar didefinisikan sebagai kegiatan jurnalistik yang menggali fakta-fakta yang tersembunyi tidak terbatas peristiwa yang kelihatan di permukaan saja. Fakta yang tersembunyi hanya bisa diketahui dengan menggali pada berbagai sumber, seperti wawancara

37

(35)

dengan orang atau nara sumber yang bersangkutan, berita surat kabar yang pernah ada, ulasan di majalah dan buku, dan lain sebagainya.

Jika dilihat dari sisi lain jurnalistik juga sudah mulai memasuki dunia perguruan tinggi setelah Indonesia merdeka. Jurnalistik dikaji dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu yang terkait. Sehingga secara formal, dari sisi kelembagaan, ilmu itu di tempatkan pada fakultas yang berbeda-beda.38

C. Pengertian Jurnalisme Sastra

Gay Talase (1970) mengatakan: Meski seperti fiksi, jurnalisme ini bukanlah fiksi. Pengaruh fiksi memang sangat kental dalam laporan jurnalis yang dijalankan di sela-sela teks fakta.

Menurut Atmakusumah yang mengutip Tom wolf, mengatakan: sebuah bacaan yang amat langsung, dengan realitas yang terasa kongkret, serta melibatkan emosi dan mutu penulisnya.”

Menurut Mark Kramer:

“Istilah jurnalisme sastra yang kemudian menyebar dari new journalism

yang diperkenalkan oleh Tom Wolfe, berkembang pada pertengahan tahun 1960-an y1960-ang penuh pemberontak1960-an. Jurnalisme sastra lalu memasuki berbagai wilayah penulisan, misalnya penulisan traveling, memoar, esai-esai historis dan etnografis, dan sejumlah fiksi, bahkan semifiksi ambigu yang berasal dari peristiwa-peristiwa nyata.” (Kurnia, 2002:9-18).

Tom Wolfe membuat empat karakteristik jurnalisme baru yang membedakannya dengan jurnalisme konvensional, diantaranya: Pemakaian konstruksi adegan per adegan, pencatatan dialog secara utuh, dan pemakaian sudut pandang orang ketiga.

38

(36)

Catatan yang rinci tentang gerak tubuh, kebiasaan, dan pelbagai simbol kehidupan orang-orang yang muncul dalam peristiwa.

Jurnalistik sastra itu sendiri mengikuti terminologi Kolumnis Mahbub Djunaidi. Kisahnya di mulai Amerika Serikat, yaitu pada dekade 1960 lahir dan kemudian tumbuh apa yang disebut jurnalisme baru (new journalisme). Pada dasarnya, penganut aliran jurnalisme baru menolak berbagai paham dan kinerja yang sudah lama dikembangkan jurnalisme lama yang konvensional. Fadler seorang komunikolog membagi jurnalisme baru dalam empat pengertian, di antaranya:

a. Advocacy Journalism

Advocacy Journalismi atau jurnalisme advokasi adalah kegiatan jurnalistik yang berupaya menyuntikkan opini kedalam berita. Tiap reportase, tanpa menginkari fakta, diarahkan untuk membentuk opini publik. Rangkian opini yang terbentuk dan hendak diapungkan didapat dari kerja para jurnalis ketika memroses liputan fakta demi fakta secara intens dan sungguh-sunggh. Jadi, kesimpulan opini mereka memiliki korelasi erat dengan ralitas fakta peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.

b. Alternative Journalism

(37)

spesifikasi bidang pemberitaan, dan target umum pembaca digarap sebaik-baiknya oleh jurnalisme alternatif.

c. Precision Journalism

Precision Journalism atau jurnalisme presisi adalah kegiatan jurnalistik yang menekankan ketepatan (presisi) informasi dengan memakai pendekatan ilmu sosial dalam proses kerjanya. Perkembangan jurnalisme presisi difokuskan pada kerja pencarian data. Kerja jurnalistik dibatasi dengan ukuran ketepatan informasi yang empirik. Hasil kerja liputan para jurnalisnya harus memiliki kredibilitas akademis ketika diinterpretasi oleh masyarakat dengan menggunakan kegiatan penelitian yang terencana dan sistematis.

d. Literacy Journalism

Literacy Journalism atau jurnalisme sastra, membahas pamakaian gaya penulisan fiksi untuk kepentingan dramatisasi pelaporan dan membuat artikel menjadi memikat. Teknik pelaporan dipenuhi dengan gaya penyajian fiksi yang memberikan detail-detail potret subjek, yang secara sengaja diserahkan kepada pembaca untuk dipikirkan, digambarkan, dan ditarik kesimpulannya. Pembaca disuruhi mengimajikan tampakan fakta-fakta yang telah dirancang jurnalis dalam urutan adegan, percakapan, dan amatan suasana.39

Jurnalisme Sastra merupakan sebuah metode penulisan dalam jurnalistik di samping metode penulisan yang sudah ada. Jurnalisme Sastra satu berada di ranah fakta. Satu lagi di ranah fiksi dan menjadi sebuah konsep yang kontrakdiktif: fiksi atau fakta. Ia seratus persen jurnalisme. Hanya saja ditulis dengan gaya sastra. Ia

39

(38)

juga seratus persen fakta, bukan fiksi. Pada teknik penulisan dalam jurnalistik lama, umpamanya, dikenal beberapa jenis artikel seperti berita lurus dan karangan khas. Berita lurus, sebagai contoh, terdiri atas beberapa elemen 5W+1H. Elemen yang dianggap terpenting menjadi teras.

Elemen-elemen selanjutnya memberikan penjelasan tambahan atas teras. Informasi tambahan semakin lama semakin tidak penting atau semakin bisa dibuang. Struktur penulisan semacam ini memungkinkan editor menyesuaikan teks berita dengan keterbatasan ruang secara gampang. Jika ruang tak mampu menampung teks berita secara penuh, bagian terbawah dipotong, atau dihapus lantaran kurang penting dibanding bagian di atasnya.

Menurut Andreas Harsono ketua Yayasan Pantau memaparkan pengertian Jurnalisme Sastra, yaitu:

“Jurnalisme adalah segala upaya menyampaikan informasi untuk menyampaikan kebenaran atau faktual kepadaya khalayak luas. Namun ada beberapa bagian penting dalam struktur penulisan jurnalistik di media cetak, seperti piramida terbalik atau disebut juga Straight news, yang kedua yaitu feature

yang penulisannya dibuat dengan satu sudut pandang yang berbeda (one angles) dan tetap fokus pada struktur penulisannya dan yang ketiga yaitu narasi yang di buat dari dua sudut pandang yang berbeda-beda (multiple angles) dan tetap fokus pada struktur penulisannya. Salah satu penggunaan gaya penulisan yang digunakan dalam jurnalistik sastrawi yaitu menggunakan gaya narasi atau di sebut juga narative reporting.”40

Jurnalisme Sastra merupakan salah satu dari tiga nama buat genre atau gerakan tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat di mana reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolf, wartawan-cum-novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre ini dengan nama “new journalism” (jurnalisme baru). Genre ini kemudian dikenal dengan nama literary journalism atau

40

(39)

narrative reporting. Suratkabar-suratkabar Amerika banyak memakai elemennya ketika kecepatan televisi dan dotcom memaksa mereka tampil dengan laporan-laporan yang analitis dan mendalam. Suratkabar tak mungkin bersaing cepat dengan televisi

Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter Institute, Florida, mengembangkan pedoman standar menjadi pendekatan baru yang naratif 5W 1H adalah singkatan dari who (siapa), what (apa), where (dimana), whene (kapan),

why (mengapa), dan how (bagaimana). Pada narasi, menurut Clark dalam sebuah esei Nieman Report, who berubah menjadi karakter, what menjadi plot atau alur,

where menjadi setting, when menjadi kronologi, why menjadi motif, how menjadi narasi. 41

Ada juga yang bilang genre ini adalah jawaban media cetak terhadap serbuan televisi, radio, dan internet. Suratkabar bisa berkembang bila menyajikan berita yang dalam dan analitis.

Dari beberapa pengertian tentang Jurnalisme Sastra yang telah dijelaskan sebelumnya, penulis menyimpulkan bahawa narasi atau Jurnalisme Sastra merupakan karya jurnalistik sastra yang dibuat dalam gaya penulisan fiksi, naratif, dan imajinatif yang memiliki nilai sastra yang tinggi dan berupaya keras untuk membuat hal yang penting menarik dan relevan sehingga pembaca tertarik untuk masuk mendalami sebuah karya sastra jurnalistik tersebut.

41

(40)

BAB III

GAMBARAN UMUM

JURNALISME SASTRA DI INDONESIA

A. Konteks Kelahiran

Kehidupan pers bebas di Indonesia baru mulai pada 1998 saat Soeharto ambruk. Buntutnya, republik ini tidak punya sejarah jurnalisme yang panjang. Indonesia belum pernah punya majalah atau harian yang secara sadar menggunakan narasi sebagai tulang punggung cerita-ceritannya.

Yayasan Pantau adalah sebuah lembaga yang bertujuan meningkatkan mutu jurnalisme. Mulanya ia didirikan sebagai sebuah majalah pada 1999. Namun majalah Pantau ditutup pada 2003. Awaknya, mendirikan Yayasan Pantau untuk meneruskan cita-cita majalah.

Pantau juga bertujuan memperbarui jurnalisme di Indonesia. Sejak 2003, Pantau aktif dan berinsiatif menjalankan program pelatihan wartawan, konsultan media, riset, penerbitan, serta diskusi terbatas demi mendorong perbaikan mutu jurnalisme di Indonesia, utamanya kawasan timur Indonesia.

(41)

Sejak 2001, Yayasan Pantau menjalankan kursus menulis tiap semester: Kursus Jurnalisme Sastra dengan pengampu Janet Steele dari Universitas George Washington, dan Andreas Harsono serta Linda Christanty dari Pantau.

Menurut Wakil Direktur Yayasan Pantau Budi Setiyono:

“Sejak 2001 Yayasan Pantau mengulas media dengan Jurnalisme Sastra (lebih mengadopsi unsusr-unsur sastra) dengan cangkupan lebih luas dan liputan lebih mendalam lagi, serta terdapat standarisasi dari media-media lainnya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa narasi akan tetapi lebih ke feature. Sistem yang bergerak di dalamnya terdapat kontributor-kontributor di berbagai daerah, selain itu juga Pantau mengadakan kursus narasi, guna melatih para peserta bisa membuat narasi dengan baik.”42

Sejak 2003, Yayasan Pantau aktif menjalankan program pelatihan wartawan serta diskusi demi mendorong perbaikan mutu jurnalisme di Indonesia dan sekitarnya. Pada Februari 2003, manajemen ISAI memutuskan menutup majalah Pantau karena kesulitan cash flow. Ini mengecewakan cukup banyak kontributor Pantau. Mereka merasa misi meningkatkan mutu jurnalisme Indonesia dan melayani publik lewat informasi-informasi yang independen dan bermutu jadi terputus. Mereka ingin majalah ini diterbitkan lagi karena di Indonesia tak ada media yang menyajikan informasi dengan bercerita atau "story telling" macam The New Yorker atau The Atlantic Monthly. Riset dalam, banyak referensi, dan enak dibaca.

Pada Agustus 2003, mereka berinsiatif mendirikan Yayasan Pantau. Majalahnya terbit lagi. Isunya diperluas: politik-cum-kebudayaan. Tapi karena investor yang tadinya mau masuk mengurungkan niatnya dan Pantau sendiri tak punya tenaga bisnis yang mumpuni, majalah ini kembali berhenti terbit. Majalah

42

(42)

ini hanya sempat hadir tiga edisi.

Berbagai kerjasama telah dilakukan. Pada Desember 2003 misalnya, Pantau bekerjasama dengan Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta menghadirkan Bill Kovach, wartawan terkemuka dunia, ketua Committee of Concerned Journalist dan kurator Nieman Foundation, Harvard University. Kovach berdiskusi di sejumlah kota di Indonesia, sambil meluncurkan bukunya "The Elements of Journalism," yang diterbitkan Yayasan Pantau dalam bahasa Melayu.

Pada Desember 2004, Yayasan Pantau menggandeng Michael Cowan, pengajar pada Columbia Graduate School of Journalism, New York, yang juga produser acara "Today" NBC.

Kerjasama internasional lain adalah dengan penulis buku "Covering Globalization," Anya Schiffrin dari Initiative of Policy Dialogue, sebuah lembaga nirlaba yang dikembangkan penerima Nobel Joseph E. Stiglitz. Beberapa nama lain adalah Mila Rosenthal dari Columbia University.

Sejak April 2005, Pantau bekerjasama dengan Bisnis Indonesia untuk melakukan workshop terhadap 60 wartawannya yang berlangsung selama empat bulan. Pada Mei 2005, Pantau bekerjasama dengan PT Freeport Indonesia melatih wartawan-wartawan di Papua. Pantau juga mengorganisir jadwal dan kunjungan US Jefferson Fellows di Indonesia dan pada Juli hingga Desember 2005. Pantau terlibat dengan sejumlah riset dan training di Kupang, Ende, Aceh, Lampung, Pontianak, Jember dan sebagainya.

(43)

“TRAINING”).

Yayasan Pantau juga memiliki sebuah kantor di Aceh, yang menjalankan program pemantauan atas rekonstruksi dan media di Aceh pascatsunami dan pascakonflik. Seiring dengan kebutuhan pengembangan tema liputan dan permintaan pembaca, kini kantor ini juga menyediakan feature atau narasi dari luar Aceh. Liputan-liputannya dijual melalui Sindikasi Pantau.

Yayasan Pantau juga mengelola sebuah mailing list pantau-komunitas@yahoogroups.com dengan anggota lebih dari 600 wartawan, produser, dan mahasiswa. Ada juga mailing list pantau-kontributor@yahoogroups.com yang jadi medium komunikasi anggota Pantau. Sejumlah anggota Pantau telah memenangi beberapa penghargaan dalam bidang jurnalisme, fotografi, kartun, desain, dan karya fiksi.43

Yayasan Pantau juga memiliki banyak cara untuk menunjukkan sikap perduli terhadap jurnalisme di Indonesia, tak hanya sebatas menerbitkan majalah tapi juga melatih wartawan-wartawan di Indonesia dan menjalin kerjasama sinergi, baik dalam skala lokal, nasional, dan internasional. Banyak alumni dari program-program ini ikut menulis. Kini ada sekitar 90 orang yang ikut menulis, memotret atau menggambar untuk majalah maupun sindikasi Pantau.

43

(44)

B. Struktur Organisasi Yayasan Pantau

Ketua Yayasan: Andreas Harsono Sekretaris Yayasan: BudiSetiyono Bendahara Yayasan: Artine Utomo44

44

Yayasan Pantau, (Jakarta, Kebayoran Lama, 2009). ! " # " ! " # " ! " # " ! " # " $%

& !" ! & !" ! & !" ! & !" !

'

& # " & #& # "" & # " ! $ (

&&&&

! ! !

(45)

BAB IV

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Proses Kelahiran Jurnalisme Sastra dan Perkembangannya di Indonesia Sejarah lahirnya Jurnalisme Sastra di awalai oleh Tom Wolfe, wartawan cum novelis wartawan asal Amerika, pada 1960-an memperkenalkan genre atau gerakan ini dengan nama new journalism (jurnalisme baru). Ia memberikan batasan Jurnalisme Sastra pada tahun 1973 dalam antologi berjudul The New Journalism. Isinya kumpulan artikel-artikel terkemuka pada saat itu. Ia menyebut artikel-artikel itu sebagai jurnalisme baru, sedangkan para penulisnya jurnalis baru.

Pada 1973, Wolfe dan E. Johnson menerbitkan ontologi dengan judul The New Journalism. Mereka memasukkan narasi-narasi terkemuka pada zaman itu, antara lain tulisan dari Hunter S. Thompson, Joan Didion, Truman Capote, Jimmy Breslin, dan Wolfe sendiri. Mereka bilang genre ini berbeda dari reportase sehari-hari karena dalam bertutur menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), dan penuh dengan detail. Wawancara bisa dilakukan dengan puluhan bahkan ratusan narasumber. Risetnya tidak main-main. Waktu bekerjanya bisa berbualn-bulan.

(46)

sangat dalam. Lebih dalam daripada apa yang disebut sebagai in-depth reporting. Laporannya panjang dan utuh tidak dipecah-pecah ke dalam beberapa laporan.45

Sejarah lahirnya jurnalisme baru menurut JB Wahyudi, jurnalistik baru dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Paul Williams, seorang perintis laporan investigatif atau unvestigative reporting. Ia juga seorang pendiri Perkumpulan Wartawan dan Editor yang melakukan upaya pemasyarakatan laporan investigative di Indianapolis Amerika Serikat pada tahun 1976.

Jurnalistik baru beritanya bersifat mulitilinier, tidak seperti jurnalistik lama yang bersifat linier (satu referensi saja). Artinya jurnalistik baru mengunakan refernsi pokok, yaitu kejadiannya, juga dilengkapi dengan referensi-referensi lain, seperti wawancara dengan orang yang mengetahui kejadian itu, kliping surat kabar, majalah, buku dan sebagainya. Sehingga beritanya jauh lebih lengkap daripada berita yang ditulis dengan gaya jurnalistik lama. Contohnya jika terjadi banji, maka beritanya tidak terbatas banjir itu saja, tetapi dilengkapai dengan data lain tentang peristiwa banjir ditempat itu di waktu yang lalu, seperti minggu lalu atau bulan lalu atau sekian tahun lalu di tempat tersebut pernah terjadi banjir yang sama besarnya atau malah lebih besar dari pada yang terjadi sekarang.

Jadi, jurnalistik baru menggali fakta-fakta yang tersembunyi yang kelihatan di permukaan saja. Fakta yang tersembunyi hanya bisa diketahui dengan menggali pada berbagai sumber, seperti wawancara dengan orang yang mengetahui kasus itu, berita surat kabar yang pernah ada, ulasan majalah dan buku, dan sebagainya.46

45

Andreas Harsono dan Budi Setiyono, Jurnalisme Sastra Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, (Jakarta, Yayasan Pantau Kebayoran Lama), 2005, h. viii.

(47)

Di Indoneisa Jurnalisme Sastra memberi tempat bagi wartawan untuk mengakutalisasikan keberadaan dirinya. Sebab, ia menuntut seorang wartawan untuk mampu membuat narasi, ataupun deksripsi yang rinci, hidup, kontekstual, dan relevan. Tidak mungkin seorang wartawan hasil seminggu pelatihan hanya dengan bekal 5W+1H bisa memenuhi standar karya Jurnalisme Sastra

Namun gerakan ini tidak berkembang karena tak ada media yang mau menyediakan tempat, uang, dan waktu untuk naskah yang panjang. Mekipun hanya ada satu media yaitu Yayasan Pantau dan sempat menerbitkan majalah

pantau sejak tahun 1999 sampai pada tahun 2004. Namun di karenakan masalah finacial yang kurang memadai dan biaya produksi semakin membengkak karena ruang halaman harus tersedia lebih banyak. maka majalah ini tidak terbit lagi dan tutup pada tahun 2004.

Untuk menutupi kegagalan itu Yayasan Pantau mengadakan kursus menulis tiap semester: Kursus Jurnalisme Sastra dengan pengampu Janet Steele dari Universitas George Washington, dan Andreas Harsono serta Linda Christanty dari Yayasan Pantau. Yang bertujuan mengembangkan bakat para penulis berita atau wartawan yang ingin mendalami penulisan berita Jurnalisme Sastra.47

B. Isi Jurnalisme Sastra serta Unsur-unsur Penulisan Feature dan StraightNews.

1. Penulisan Jurnalisme Sastra.

Ada tiga hal yang penting di dalam Jurnalisme Sastra, yaitu :

a. Tulisannya bersifat jurnalistik, yang disuguhkan kepada pembaca. Sifat jurnalistiknya tercermin dari penggalian subyek berita yang

47

(48)

sungguh menerapkan asas-asas jurnalistik: berdasar peristiwa aktual, wawancara atau datang langsung ke sumber berita, jujur, mencakup sumber dua arah, dan lainnya.

b. Tak sekadar suatu laporan yang singkat dan dangkal. Yaitu berdasar pada suatu investigasi yang mendalam, yang meliputi pengamatan dan wawancara yang luas. Pada tingkat tertentu, boleh dikata, investigasi ini sudah setara untuk tidak mengatakannya kadang bahkan melebihi suatu penelitian sosial. Tak jarang ia diperlengkapi pula dengan studi pustaka. Membacanya kita bukan semata beroleh keping-keping informasi, tapi juga suatu pengetahuan. Kita tak sekadar mendapat kesan, tapi sungguh seperti menemu ilmu.

(49)

jurnalistik, penelitian sosial, dan penulisan bergaya sastra sekaligus tampaknya harus dimiliki oleh seorang pelaku Jurnalisme Sastra.48

2. Aturan-Aturan Jurnalisme Sastra

a. Riset mendalam dan melibatkan diri dengan subjek

Jurnalisme sastra membutuhkan waktu yang lama dalam melakukan reportase. Oleh sebab itu data yang ada lebih akurat dan mendalam. Selain itu para jurnalis sastra harus lebih mendekatkan diri kepada sumber agar data yang ada semakin akurat. Jurnalis juga harus mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap perilaku sumber.

b. Jujur kepada pembaca dan sumber berita

Pembaca merupakan hakim yang tidak boleh dibohongi penulis.oleh karena itu, jurnalis harus menjaga hubungan baik dengan pembaca dan sumber berita.

• Hubungan penulis dengan pembaca

Penulis tidak boleh dengan sengaja mengkombinasi atau memperbaiki adegan demi adegan, mengagregasi karakter, memoles kutipan, atau mengubah keaslian materi liputan mereka. Ini yang membedakan mereka dengan penulis fiksi.

• Hubungan penulis dengan sumber berita

Ini menyangkut cara mencari dan menjaga kepercayaan narasumber terhadap penulis. Penulis harus tetap bisa memperoleh informasi yang otentik berdasarkan kesepakatan dengan para narasumber seperti mitra bisnis, atau teman dekat.

48

(50)

c. Fokus pada peristiwa rutin

Untuk memudahkan penulis memperoleh bahan maka biasanya mereka mencarinya di tempat yang dapat dikunjungi.

d. Menyajikan tulisan yang akrab-informal-manusiawi

Penulis harus menulis secara akrab, tulus ironis, keliru, penuh penilaian dan manusiawi. Namun tetap tanpa opini pribadi. Karena apa yang disajikan kepada pembaca adalah fakta.

e. Gaya penulisan yang sederhana dan memikat

Penulisan sederhana dan memikat diperlukan untuk membuat pembaca tidak hanya melihat tetapi juga merasakan peristiwa.

f. Sudut pandang yang langsung menyapa pembaca Penulis tidak memposisikan diri secara statis.

g. Menggabungkan narasi primer dan narasi simpangan

Penulis menggabungkan antara kisah utama dengan kisah pendukung yang akan melengkapi laporan.49

Menurut Robert Vare seoarang wartawan majalah The New Yorker dan

The Rolling Stones, mengatakan:

“ Ada tujuh pertimbangan bila anda hendak menulis narasi, diantaranya : a. Fakta, jurnalisme menyucikan fakta. Walau pake dasar “sastra” tetapi ia tetap

jurnalisme. Setiap detail harus berupa fakta. Nama-nama oarang adalah nama

49

(51)

sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar kejadian. Merah disebut merah. Hitam hitam. Biru biru. Jurnalisme sastra bukan reportase yang ditulis dengan kata-kata puitis, Narasi boleh puitis tapi tak semua prosa yang puitis adalah narasi.

b. Konflik, sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik atau sengketa. Sengketa bisa berupa pertikaian satu orang dengan orang lain, ia juga bisa berupa pertikaian antar kelompok, pertentangan seseorang dengan hati nuraninya, bisa berupa pertentengan seseoarang dengan nilai-nilai dimasyarakatnya, dan lain sebagainya. Pendek kata, konflik atau sengketa termasuk unur penting dalam narasi.

c. Karakter, narasi minta ada karakter-karakter. Karakter membantu mengikat cerita. Ada karakter utama dan karakter pembantu. Karakter utama seyogyanya orang yang terlibat dalam pertikaian. Ia harus punya kepribadian menarik. Tak datar dan tak menyerah denga mudah.

d. Akses, bisa berupa wawancara, dokumen, korespondensi, foto, buku harian, gambar, kawan, musuh, dan lain sebagainya.

e. Emosi, ia bisa rasa cinta, pengkhianatan, kebencian, kesetiaan, kekaguman, sikap menjilat dan lain sebagainya.

f. Perjalanan waktu, diibaratkan laporan suratkabar “biasa” dengan sebuah potret. Snap shot. Klik. Klik. Klik. Laporan panjang adalah sebuah film yang berputar. Ia juga membedakan narasi dari feature. Narasi semacam vedeo “series of time” peristiwa berjalan bersama waktu. Sedangkan feature

semacam potret sekali jepret. Panjang perjalanan waktu tergantung kebutuhan. g. Unsur kebaruan, tidak ada gunanya mengulang-ulang lagu lama. Mungkin

lebih mudah mengungkapkan kebaruan itu dari kacamata orang biasa yang jadi saksi mata peristiwa besar.”50

Jika digambarkan, srtuktur penulisan jurnalisme sastra seperti gambar di bawah ini:

50

(52)

3. Kategori Feature News

Friedlander dan Lee memilih beberapa ketegori feature. Ada 14 tipe

newspaper feature. Tiap kategori memiliki kekuatan Appeal tertentu dan tiap-tiap kategori membangun tipoik-topik tertentu,

a. The Bussiness Story

Kisah-kisah human interest diseputar soal bisnis. Pengisahnya biasanya melaporkan bagaimana dunia bisnis penjualan, para pelaku bisnis. Seperti seorang direktur penjualan yang sukses dibeli oleh perusahaan lain dengan harga mahal. Kisah feature melaporkan cara kerja, konsep dan filosofi kerja, sampai kehidupan masa kecil dan keluarganya.

Gambar

gambaran mengenai sejarah lahirnya Jurnalisme Sastra di Dunia dan di Indonesia
Tabel.1 TUBUH KAKI UNSUR
Tabel. 2 UNSUR BERITA
Tabel. 3 UNSUR BERITA

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai sebuah perusahaan yang mengandalkan penjualan online, eBay juga telah berhasil meraih kesuksesan bisnis melalui metode tersebut.. Saat ini eBay menjalankan

Hasil analisis cuplikan cairan hasil lindi peleburan pasir zirkon dengan alat analisis spektrograf emisi menunjukkan bahwa konsentrasi masing-masing unsur Si, Cu, dan

Pada gerakan lateral flexi, posisi pasien masih sama dengan pengukuran flexi dan ekstensi yaitu pada posisi berdiri. Pengukuran dilakukan dengan cara meletakkan pita ukur pada jari

Fakultas MIPA Universitas Islam Indonesia akan mengadakan Ujian Ulang PDQ di Semester Pendek 2019/2020 (Bulan Agustus 2021) untuk mengakomodasi mahasiswa angkatan

Sejarah  mencatat  asal  mula  dikenalnya  kegiatan  perbankan  adalah  pada  zaman kerajaan tempo dulu  di  daratan Eropa. Kemudian  usaha perbankan  ini 

Penelitian ini menjadi penting sebagai upaya sumbangsih pengetahuan kepada pihak sekolah maupun orang tua yang memiliki anak sindroma Down mengenai subjektifitas anak-anak

tuk spora. Mikroorganisme yang ada di udara akan cepat mati karena kelaparan dan radiasi UV. Bakteri yang mampu hidup di lingkungan udara bersifat gram positif

Kelas kata yang akan dibahas dalam pembahasan ini adalah terkait pada reduplikasi verba denomina bahasa Banjar Hulu pada aspek bentuk afiksasi pembentuk reduplikasi