KEKUATAN PARTAI POLITIK ISLAM DI DAERAH
MAYORITAS MUSLIM DALAM PEROLEHAN SUARA PADA PEMILU TAHUN 2014
(STUDI KASUS KAB. PANDEGLANG)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Prasyarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: Bustomi 1111045200006
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ABSTRAK
Bustomi, 1111045200006, “Kekuatan Partai Politik Islam di Daerah Mayoritas Muslim Dalam Perolehan Suara Pada Pemilu Tahun 2014 (Studi Kasus Kab. Pandeglang)” Strata 1, Program Studi Jinayah Siyasah, Konsentrasi Siyasah Syar’iyah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015.
Penelitian ini bermaksud untuk menganalisa sejauh mana kekuatan partai Islam di daerah yang notabene penduduknya beragama Islam, yang pada setiap pelaksanaan pemilu jumlah tersebut kerap kali tidak linier dengan perolehan suara partai politik Islam.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan melakukan kajian pustaka dan dilengkapi pula dengan hasil wawancara beberapa tokoh partai Islam di daerah tersebut. Penulis juga menggunakan data tambahan guna memberikan nilai objektifitas pada penelitian yang didapat dari artikel-artikel, media masa, dan lainnya yang masih berkaitan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, meskipun daerah kab. Pandeglang merupakan daerah yang jumlah penduduknya mayoritas beragama Islam, namun ternyata jumlah tersebut tidak bisa diandalkan bagi tumbuh suburnya kekuatan partai politik Islam di daerah tersebut. Berdasarkan temuan dilapangan bahwa melemahnya kekuatan partai politik Islam di daerah Kab. Pandeglang disebabkan oleh lemahnya partai Islam dalam menata susunan kepartaian dan pada umumnya masyarakat lebih tertarik kepada figur ketimbang partai politik. Karena partai Islam lemah dalam penempatan tokoh/figur, alhasil partai lain yang basisnya nasionalis dilirik karena figur yang ditampilkan menarik dan bisa diandalkan oleh masyarakat.
Kata Kunci : Kekuatan Partai Politik Berideologi Islam, Daerah Mayoritas
Penduduk Islam
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur ke-hadirat Allah SWT. yang
telah memberikan nikmat dan kekuatan sehingga prosesi penyelesaian tugas akhir
kuliah ini berjalan dengan lancar. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada
baginda alam, manusia sempurna sepanjang zaman Nabi Besar Muhammad SAW.
pemilik inspirasi, motivasi dan filosofi hidup untuk dijadikan pedoman bagi
mahluk bumi agar hidup berjaya dan memberikan makna/manfaat bagi sesama.
Sebagai bentuk terimakasih, rasa hormat dan rasa bangga, penulis
sampaikan kepada beberapa pihak yang telah memberikan konstribusi, baik dalam
bentuk jasa, bimbingan, motivasi, inspirasi dan do’a kepada penulis selama
menyelesaikan tahapan penyusunan skripsi ini. Mereka yang terhormat adalah:
1. Bapak Asep Saepuddin Jahar., MA, Ph.D, selaku Dekan beserta para
Pembantu Dekan dan segenap sifitas akademika Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Ibu Dra. Hj. Maskufa., M.Ag, dan Ibu Sri Hidayati., M.Ag, selaku ketua
dan wakil ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, selaku dosen Penasehat Akademik
(Dosen PA), dan Bapak Prof. Dr. H. Yunasril Ali., M.A, selaku dosen
pembimbing skripsi. Berkat kesabaran dan kepedulian beliaulah sehingga
penyusunan tugas akhir ini berjalan dengan baik dan lancar;
4. Segenap pengelola Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum,
Kab. Pandeglang, Pengurus DPD Partai PKS dan DPC Partai PPP Kab.
Pandeglang, yang telah memberikan data, sumber informasi maupun
referensi bagi penulisan skripsi ini;
5. BIDIKMISI Kementrian Agama Republik Indonesia (KEMENAG RI),
yang telah membrikan amanah dan bantuan beastudi selama jenjang S1 di
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. “Bidikmisi Bakti untuk Negeri”;
6. Ibunda dan Ayahanda tercinta Hj. Satirah dan H. Johani (Alm), pemilik ruh, nadi dan nyawa perjuangan penulis, serta segenap keluarga
besar Satirah Usrah Kabirah, (Eteh Rodinah, Kakanda Drs. Sutisna
(Alm), Kakanda Jazuli, Eteh Rusdiyah, Kakanda Zainal Abidin, Kakanda
A. Turmudzi, Eteh Siti Fatonah, beserta pasangan dan keturunan
masing-masing), yang tiada henti memberikan doa, inspirasi, motivasi dan jalan
bagi perjalanan hidup penulis, “Untuk Mereka Pencapaian ini
Diberikan”;
7. Kawan-kawan seperjuangan di kelas Hukum Tata Negara (Siyasah)
angkatan 2011, dari alfabet A-Z terimaksaih atas kebersamaan selama
menempuh jenjang S1 di Universitas ini;
8. Keluarga Besar; Moot Court Community (MCC) UIN Jakarta,
DEMA-FSH priode 2014-2015, HMI Komfaksy Cabang Ciputat, Irmafa, FAMAN
(Forum Alumni MAN Pandeglang ). Terimakasih melalui lembaga kajian
dan organisasi tersebut, mampu mengembangkan potensi tidak hanya
aktor-aktor terhebat yang berada di dalamnya, yang selalu menginspirasi dan
memberikan motivasi “bahwa hidup tidak untuk saat ini melainkan untuk kelak nanti, dan kiprah ataupun dedikasi diperlukan untuk pembangunan
negeri”;
9. Dan kepada semua pihak yang sudah memberikan banyak kontribusi,
semoga kebaikan yang diberikan merupakan bagian dari amal shaleh yang
Allah SWT meridhainya. dan mudah-mudahan melalui skripsi ini mampu
memberikan manfaat bagi aktifitas akademis maupun aktifitas yang
bermanfaat lainnya.
Jakarta, 21 September 2015
Bustomi
DAFTAR ISI
ABSTRAK i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI v
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Pembahasan dan Perumusan Masalah 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 13
D. Review Kajian Terdahulu 15
E. Metode Penelitian 16
F. Sistematika Penulisan 18
BAB II TINJAUAN UMUM PARTAI POLITIK ISLAM 20
A. Pengertian Partai Politik Islam 20
B. Fungsi Partai Politik Islam 24
C. Munculnya Partai Politik di Indonesia 25
D. Sejarah Perjalanan Partai Politik Islam di Indonesia 27
2. Periode Pasca Kemerdekaan (1945-1965) 38
3. Periode Orde Baru (1966-1998) 47
4. Periode Reformasi Sampai Sekarang (1998-2014) 53
BAB III TINJAUAN UMUM KABUPATEN PANDEGLANG 61
A. Gambaran Umum Kab. Pandeglang 61
1. Sekilas Sejarah Kab. Pandeglang 61
2. Letak Geografis Kab. Pandeglang 64
3. Kependudukan Kab. Pandeglang 68
4. Arti Lambang Kab. Pandeglang 70
5. Pendidikan di Kab. Pandeglang 72
6. Keagamaan di Kab. Pandeglang 74
B. Politik dan Pemerintahan Kab. Pandeglang 75
1. Hasil Perolehan Suara Pada Pemilu tahun 2014 75
2. Angota Partai Politik di DPRD Kab. Pandeglang 77
BAB IV KEKUATAN SUARA PARTAI POLITIK ISLAM DI KAB. PANDEGLANG PADA PEMILU TAHUN 2014 80
A. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 81
1. Ideologi Partai PPP 81
2. Visi dan Misi Partai PPP 83
3. Kekuatan Partai PPP di Kab. Pandeglang 85
B. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 89
2. Visi dan Misi Partai PKS 91
3. Kekuatan Partai PKS di Kab. Pandeglang 92
C. Partai Bulan Bintang (PBB) 94
1. Ideologi Partai PBB 94
2. Visi dan Misi Partai PBB 95
3. Kekuatan Partai PBB di Kab. Pandeglang 96
D. Analisis Kekuatan Partai Islam di Kab. Pandeglang 98
BAB V PENUTUP 103
A. Kesimpulan 103
B. Saran 105
DAFTAR PUSTAKA 107
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Satu asas yang merupakan pasangan logis dari asas demokrasi adalah asas
negara hukum. Artinya bagi suatu negara demokrasi pastilah menjadikan “hukum”
sebagai salah satu asasnya yang lain. Alasannya, jika satu negara diselenggarakan
dari, oleh, dan untuk rakyat, maka untuk menghindari hak rakyat dari
kesewenang-wenangan dan untuk melaksanakan kehendak rakyat bagi pemegang kekuasaan
negara haruslah segala tindakannya dibatasi atau dikontrol oleh hukum, pemegang
kekuasaan yang sebenarnya tak lain hanyalah memegang kekuasaan rakyat, sehingga
tidak boleh sewenang-wenang.1 Disebutkan bahwa negara hukum menentukan
alat-alat perlengkapannya yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan
yang ditetapkan terlebih dahulu yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan itu.
Demikian juga Indonesia yang dengan tegas telah memilih bentuk demokrasi
yakni dengan ketentuan terletaknya kedaulatan di tangan rakyat, jelas tak lepas dari
konsekuensi untuk menetapkan pula “negara hukum” sebagaimana telah dituangkan
ke dalam butiran ayat UUD 1945. Dalam pasal 1 ayat (3) dengan jelas dinyatakan
bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.2
Di dalam negera hukum segala
1
Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 85.
2
hak yang berhubungan dengan kebutuhan dan pemenuhan hajat warga negara diatur
dan dilindungi oleh undang-undang. Begitupun halnya dengan hak memilih dan hak
untuk dipilih. Sebagaimana paham demokrasi yang dianut bahwa kekuasaan ditangan
rakyat. Hal ini mengindikasikan bahwa semua warga negara memiliki hak dan
kewajiban untuk ikut terlibat dalam pelaksanaan atau penyelenggaraan sebuah negara
dengan tujuan memajukan dan mensejahterakan warga negara,3 baik secara langsung
atau tidak langsung, yakni sebagai penentu dalam proses pemilu misalnya.
Hak politik secara eksplisit merupakan hak asasi mausia, sebagaimana diatur
dalam Pasal 23 (1),4 dan Pasal 24 (1) dan (2) UU No. 39/1999.5 Selain itu setiap
warga negara memiliki hak konstitusional untuk ikut serta di dalam penyelenggaraan
negara, sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 28.6 Setiap orang berhak
bebas memilih keyakinan politiknya, termasuk jika keyakinan politik itu dianggap
merupakan ekspresi dari keagamaan (agama) yang bersangkutan, atau jika keyakinan
politik itu, misalnya dalam bentuk yang ekstrem, menyatakan perlunya negara
didasarkan pada satu agama tertentu atau negara “teokrasi, atau keyakinan politik
3 Pasal 28C ayat (2) “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”.
4 Pasal 23 (1) UU No. 39/1999 “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan
politiknya.”
5 Pasal 24 (1) UU No. 39/1999 “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berpendapat, dan
berserikat untuk maksud-maksud damai,” dan Pasal (2) “Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lain untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan undang-undang.”
6 Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengelua
marxisme.” Keyakinan politik seperti itu termasuk di dalam kebebasan yang bersifat
internal (freedom to be) yang tidak bisa (boleh) dibatasi.7
Kalau demikian, bagaimana melihat dan memahami keinginan untuk
mengaktualisasikan keyakinan politik berdasar atas agama (misalnya mendirikan
“negara agama”) di tingkat nasional maupun lokal? Seturut dengan nalar kebebasan
beragama, kebebasan mengekspresikan keyakinan politik itu bersifat dapat ditunda
penikmatannya, diatur, dan dibatasi (derogable, regulable, limitable) tetapi
pembatasannya haruslah dengan undang-undang [Pasal 28J (2)], dan jika sudah
ditetapkan dengan undang-undang maka semua orang diwajibkan mematuhinya.
Oleh karena itu untuk mendirikan partai politik (sebagai instrument yang sah
untuk ikut serta dalam pemerintahan, atau bahkan untuk mengganti pemerintah) perlu
diatur dengan undang-undang kepartaian, dan untuk pemerintahan daerah diatur
dengan undang-undang otonomi daerah. Pendek kata UUD 1945 menjamin
kebebasan berkeyakinan politik bagi setiap warga negara, dan kebebasan untuk
memperjuangkan keyakinan politiknya itu lewat lembaga-lembaga pengelolaan
konflik yang ada (misalnya parlemen). Batasan lain secara eksplisit dituangkan ke
dalam Pasal 24 (1) UU No. 39/1999 bahwa “…kebebasan untuk berkumpul, berapat,
dan berserikat untuk maksud-maksud damai,” yang juga searah dengan Pasal 28J (2)8,
7
Titik-Temu Jurnal Dialog Peradaban, Diterbitkan oleh Nurcholish Madjid Society (NCMS), Volume 3, No. 2, Januari-Juni 2011, h.131.
8Pasal 28J (2) UUD 1945, “ Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, set
atau dengan kata lain ekspresi keyakinan politik (termasuk yang berdasarkan agama,
atau untuk mendirikan negara agama; atau pada ujung lain untuk mendirikan negara
komunis) dibatasi yakni sepanjang tidak melawan hukum dan tidak dilakukan dengan
cara-cara kekerasan, baik fisik maupun psikologis.9
Sebagai upaya untuk mengaktualisasikan hak politik warga negara, perlu
adanya perantara (sarana) untuk menjamin atau sebagai penghubung antara individu
dan negara, sarana tersebut yakni partai politik , sebagaimana dikatakan Miriam
Budiardjo bahwa partai politik merupaka sarana bagi warga negara untuk turut serta
atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara.10 Partai politik memiliki
kekuatan besar dan penentu terlaksananya sistem demokrasi di suatu negara,
sebagaimana dikatakan Nauman yang dikutip Miriam Budiardjo, bahwasanya partai
politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan
ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi.11
Dalam praktik politik di hampir negara-negara modern saat ini, baik yag
bercorak demokratis maupun totaliter, kehadiran partai politik tidak dapat dielakan.12
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbnagan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyrakat demokratis.
9
Titik-Temu Jurnal Dialog Peradaban, h. 131.
10
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. gramedia Pustaka Utama, 2008), cet. Ke-10, h. 397.
11
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404.
12
Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting
dalam setiap sistem demokasi. Partai memainkan peranan penghubung yang sangat
strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan, banyak
yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi.
Seperti yang dikatakan oleh Schattscheider (1942) sebagaimana dikutip oleh Jimly
Asshiddiqie, bahwa “Political parties created democracy”. 13
Di negara-negara demokratis, partai politik dipakai sebagai sarana untuk
mewujudkan hak rakyat dalam menentukan figur-figur yang akan menjadi
pemimpinnya. Sedangkan di negara-negara totaliter, partai didirikan oleh elit politik
dengan pertimbangan bahwa rakyat perlu dibina agar tercapai stabilitas yang
berkelanjutan.14 Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar yang sangat penting
untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam
setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan lebih lanjut Jimly menjelaskan bahwa
hal tersebut dikatakan oleh Schattscheider, “Modern democracy is unthinkable save
in terms of the parties”.15
Namun demikian, banyak juga pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap
partai politik. Pandangan yang paling serius di antaranya menyatakan bahwa partai
politik itu sebenarnya tidak lebih dari pada kendaraan politik bagi sekelompok elit
13
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 401.
14
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 19.
15
yang berkuasa atau berniat memuaskan “nafsu birahi” kekuasaannya sendiri. Partai
politik hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan
beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk
memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu at the expense of the
general will atau kepentingan umum.
Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan setiap lembaga
negara haruslah sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan
checks and balances. Akan tetapi, jika lembaga-lembaga negara tersebut tidak
berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif, atau lemah wibawanya dalam
menjalankan fungsinya masing-masing, yang sering terjadi adalah partai-partai politik
yang rakus atau ekstrimlah yang merajalela menguasai dan mengendalikan segala
proses-proses penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan.
Oleh karena itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya
sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip checks and balances dalam arti yang luas.
Sebaliknya, efektifitas bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prisip
checks and balances berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem
kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua itu
tentu berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas
dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir itu pada
berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang
bersangkutan.16
Dewasa ini partai politik sudah sangat akrab di lingkungan kita. Sebagai
lembaga politik, partai bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada. Kelahirannya
mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga belum cukup tua. Bisa dikatakan
partai politik merupakan organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih
muda dibandingkan dengan organisasi negara. Dan ia baru ada di negara modern.17
Bahwa mayoritas penduduk Indonesia secara riil beragama Islam adalah
merupakan suatu kenyataan historis dan fakta demografis sosiologis-teologis yang
sama sekali tidak dapat dipungkiri dan sulit untuk dibantah. Berbicara Islam,
berbicara segala aspek kehidupan secara utuh, Islam sebagaimana yang diketahui dan
diyakini adalah agama pemberi rahmat atau agama rahmatan lil’alamin, untuk itu
Islam tidak mengenal kompartementalisasi (red: pengkotak-kotakan) bidang
kehidupan. Sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara
utuh dan komprehensif, maka bidang politik juga diatur dalam Islam. Meski ada
perbedaan pendapat yang kontroversial mengenai corak hubungan Islam dan politik,
apakah hubungannya bersifat formalistik ataukah substantif, tetapi hampir semua
ulama dan pemikir Muslim bersepakat bahwa dalam Islam pemisahan keduanya
16
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, h. 402.
17
(Islam dan politik) adalah tidak mungkin.18 Untuk itu, sebagaimana Islam harus hadir
(omnipresent) dalam setiap aspek kehidupan manusia, maka demikian pula di bidang
politik. Islam pasti memberikan seperangkat doktrin atau pedoman dalam kehidupan
politik.
Sebagai agama yang sempurna (Q.S. Al-Maidah/5 : 3), bahkan paling
sempurna, Islam adalah cara hidup (way of life) yang total dan padu yang
menawarkan landasan moral dan etis bagi para pemecahan semua masalah
kehidupan; Islam adalah din (agama), dunya (dunia), dan daulah; dan sebagai agama
yang sempurna yang didesain Tuhan sampai akhir zaman, maka Islam pasti relevan
bagi setiap perkembangan jaman dan tempat (shalih li-kulli zaman wa makan),
inklusif di dalamnya politik. Itulah sebabnya, mengapa kita mengatakan bahwa Islam
adalah risalah yang universal (untuk semua manusia) dan mondial (untuk seantero
dunia), dan elternal (selamanya sampai akhir zaman), inilah rupanya rumusan kita
yang tidak bisa ditawa-tawar lagi.19
Pemeluk agama Islam di seluruh Tanah Air berjumlah 87,21 persen dari
seluruh penduduk Indonesia yang dewasa ini diperkirakan berjumlah sekitar 214 juta
jiwa.20 Tidak berlebihan jika negara Indonesia dikatakan sebagai ranah Muslim di
18
Nurcholish Madjid et.al, Kehampaan Spiritual Mayarakat Modern (Jakarta: PT. Mediacita, 2002), h. 236.
19
Nurcholish Madjid et.al, Kehampaan Spiritual Mayarakat Modern, h. 236.
20
antara sekian banyak “negara Muslim” di berbagai penjuru dunia. Jumlah penduduk
Indonesia yang sebagaian besar memeluk agama Islam setidaknya memperkokoh hal
itu. Ironisnya, di dalam percaturan ekonomi dan politik, sebagaimana dikatakan
Zainal Abidin Amir, nasib umat Islam Indonesia berlawanan dengan jumlahnya yang
menempati urutan teratas di tengah-tengah penduduk Indonesia yang melimpah.21
Dilihat dari perspektif politik praktis, sebagaimana dikatakan oleh Faisal Ismail, alur
realitas aspirasi politik umat Islam pada dataran empirik di pentas politik nasional
tidak selamanya terkonsentrasi dan menyatu padu dalam satu wadah tunggal partai
Islam atau partai yang berbasis Islam, barangkali hal ini menjadi alasan mengapa
antara jumlah penduduk dan aspirasi politik masyarakat Indonesia yang mayoritas
beragama Islam tidak linier sebagaimana pendapat yang diutarakan Zainal Abidin di
atas.22
Dengan kata lain, realitas aktualisasi aspirasi politik umat Islam Indonesia
pada tataran empirik memperlihatkan sosok fenomena keberagaman kultur dan
keberbagaian struktur kepartaian dipentas nasional. Sepanjang perjalanan sejarah
perkembangan partai-partai politik dan pengalaman pelaksanaan pemilihan umum
(Pemilu) di Tanah Air, realitas ekspresi penyaluran aspirasi politik umat Islam tidak
terkonsentrasi ke dalam suatu wadah tunggal partai Islam atau berbasis Isalam, akan
21
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 16.
22
tetapi menyebar secara berpariasi ke berbagai saluran politik yang ada di panggung
arena politik nasional.23
Pakar politik Islam dari UCLA (University California Of Los Angels), Steven
Fish, sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra menilai kebanyakan partai Islam di
Indonesia memiliki tujuan serupa. Namun, mereka belum mampu menunjukan
keistimewan masing-masing. Inilah penyebab mengapa partai Islam tidak pernah
menang dalam pemilu. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama
muslim, menurut Fish, partai Islam terganjal beberapa kendala. Pertama, antara partai
satu dan yang lainnya malah sibuk bersaing meraih posisi. Padahal menurutnya, jika
partai-partai Islam ini bersatu, bukan tidak mungkin suatu hari partai Islam akan
berjaya.24
Dalam masa satu setengah dasawarsa pasca Soeharto, politik Islam terlihat
jelas berada dalam posisi kian tidak menguntungkan. Untuk pemilu 2014, hanya
terdapat tiga parpol yang berasaskan Islam, yaitu: PKS, PBB, dan PPP, dua partai
lainnya, PKB dan PAN yang logonya sering digandengkan sejajar dengan logo ketiga
parpol berasaskan Islam tadi, nyatanya tidak berasaskan Islam, tetapi berdasarkan
Pancasila.
23
Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam, Pergumulan Kultur dan Struktur, h. 116.
24
Dengan demikian, secara definisi keduanya bukanlah parpol Islam. Paling
banter keduanya dapat disebut sebagai parpol berbasis Muslim (Muslim-based party)
karena PKB dan PAN berbasis masing-masing warga Nahdliyyin dan
Muhammadiyah. Hal ini banyak benarnya pada masa Pemilu 1999 dan 2004, tetapi
lagi demikian pada Pemilu 2009, apalagi Pemilu 2014.
Alasannya jelas, kian sedikit warga NU yang memberikan suara kepada PKB
yang sebagian juga memberikan suaranya kepada PPP dan parpol-parpol lain. Begitu
juga dengan warga Muhammadiyah yang kian merasa tidak ada lagi hubungan
emosional dengan PAN. Mereka melihat tidak lagi ada tokoh atau figur terkemuka
Muhammadiyah menjadi pemimpin PAN.
Dalam pada itu belum terlihat tanda-tanda bahwa parpol berasas Islam
mengalami peningkatan popularitas. PPP dan PBB tampak stagnan. Tidak terlihat
langkah dan manuver untuk menarik para pemilih. Juga tidak terlihat peningkatan
popularitas kepemimpinannya yang dapat menimbulkan ketertarikan para pemilih.
Sedangkan partai PKS, sedikit banyak terimbas kasus korupsi dan pencucian
uang yang melibatkan presiden yang diamanatkan, Luthfi Hasan Ishaq. Dengan
demikian sulit kiranya perjuangan mereka untuk dapat mengangkat nama baiknya
PKS dalam pemilu 2014 tak bakal mampu mencapai perolehan suara pada Pemilu
2009 sekitar hampir delapan persen.25
Melihat fenomena demikian, maka dari itu hati penulis terketuk untuk
meneliti lebih jauh kenapa hal demikian bisa terjadi, terlebih kajian yang akan
diangkat oleh penulis berkenaan dengan suatu daerah yang konon daerah tersebut
sampai sekarang masih kental dengan sebutan kota santri, namun seperti halnya
penjelasan diatas di daerah inipun eksistensi partai politik yang berideologi Islam
tidak begitu diminati sebagai sasaran uatama kala menentukan keterwakilannya
melalui pemilu. Dengan maksud demikian maka judul yang akan menajadi fokus
penulis dalam menyusun dan menjawab permasalahan yang ada di dalamnya, penulis
sajikan dengan judul “Kekuatan Partai Politik Islam di Daerah Mayoritas Muslim Dalam Perolehan Suara Pada Pemilu Tahun 2014 (Studi Kasus Kab. Pandeglang)”
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas perlu dibatasi masalah
yang akan diteliti. Sehingga bahasan yang dikaji tidak keluar dan terfokuskan
kedalam satu arah busur yang tepat.
25
Dalam menulis sekripsi ini objek terfokuskan pada Pemilu yang
diselenggarakan pada tahun 2014.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latarbelakang yang telah dipaparkan, maka
permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana kekuatan suara partai politik Islam di Kab. Pandeglang Pada Pemilu
2014?
b. Faktor apa yang mempengaruhi kekuatan/melemahnya parpol Islam pada masa
tersebut ?
c. Apakah ada hubungan yang linier antara penduduk mayoritas beragama Islam
dengan perolehan partai politik Islam di Kab. Pandeglang ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam Penelitian ini terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis
diantaranya:
a. Untuk mengetahui sebebarapa besar kekuatan dan eksistensi partai politik Islam
di Kab. Pandeglang.
b. Untuk mengetahui beberapa faktor yang memberikan pengaruh terhadap
c. Untuk mengetahui adakah hubungan liner antara penduduk mayoritas beragama
Islam dengan perolehan sura parpol Islam.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah, sebagai berikuta:
a. Penulis
Bertambahnya wawasan dan pengetahuan dalam bidang Politik Islam
(Siyasah Syar’iah), khususnya mengenai kajian ini, terlebih penulis adalah kelahiran
Pandeglang, jadi bisa mengetahui Pandeglang tidak sebatas wilayah dan daerah yang
agung melintang nan kaya keindahan serta kedamaian saja, (Sosial dan Budaya)
melainkan dari segi lain pula yakni segi politik.
b. Jurusan, Fakultas, dan Universitas
Memberikan sumbangan pemikiran dan menambah literatur perpustakaan,
dengan kajian dan penyajian baru, karena dirasa baru kali ini ada penelitian dengann
objek kajian kedaerahan yakni mngengkat daerah Kab. Pandeglang sebagai fokus
utama.
c. Masyarakat Umum (akademisi, praktisi, pelajar dan lainnya)
Sebagai bahan kajian keilmuan, dan penambah wawasan berkaitan dengan isu
tema Islam politik dan bagaimana eksistensinya ketika dilebur ke dalam partai politik.
mayoritas Islam, tapi nyatanya partai politik yang berideologi Islam kurang
diseganai.
D. Review Kajian Terdahulu
Dari beberapa penelitian skripsi yang dilakukan mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, mengenai tema partai politik Islam perlu kiranya dikedepankan
sebagai bahan perbandingan dengan hasil penelitian penulis, diantaranya:
1. Yeby Ma’asan Masyrudin, “Transisi Demokrasi Dan Perilaku Partai Islam (Studi
Tentang Kemerosotan Perolehan Suara Partai PPP Pasca Orde Baru),” Skripsi S1
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Skripsi ini berisi tentang problematika partai PPP yang mengalami kemerosotan
suara pada setiap Pemilu dilaksanakan khusunya setelah runtuhnya rezim Orde
Baru yakni dalam kurun waktu 1999, 2004 dan 2009. Penulis skripsi dalam kajian
ini mencoba mencari akar permasalahan yang menyebabkan melemahnya suara
partai PPP pasca runtuhnya rezim Orde Baru.
2. Indah Permatasari, “Kemunculan Dan Menurunnya Partai Islam Ideologis, Studi
Kasus: Partai Bulan Bintang (PBB) 1999-2009,” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi yang ditulis oleh Indah Permatasari ini membahas tentang permasalahan
yang terjadi pada partai Idelogis yakni PBB dalam perolehan suara pada pemilu
Dari kedua skripsi yang ditulis di atas baik yang ditulis oleh Yeby Ma’asan
Masyrudin dengan tema utama partai PPP, maupun yang ditulis oleh Indah Permata
Sari dengan tema utamanya partai PBB, dapat di simpulkan bahwa meskipun kedua
skripsi diatas membahas tentang permasalahan suara partai politik Islam, tetapi topik
yang diangkat merupakan partai politik Islam secara nasioanal. Beda halnya dengan
skripsi yang penulis bahas, meskipun tema utamanya adalah partai politik Islam,
tetapi cakupan yang coba penulis analisisa adalah daerah bukan nasional. Dengan
demikian jelas terdapat perbedaan antara topik yang penulis bahas dengan kedua
penulis diatas.
E. Metode Penelitian
Untuk mengkaji permasalahan-permasalahan dalam peneitian ini, penulis
menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah metode
penelitian kualitatif atau jenis penelitian normatif, yang dilakukan dengan cara
Library Researh (kepustakaan). Teknik pengumpulan data ini menggunakan studi
dokumenter.
2. Sumber Data
Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis sumber
a. Data Primer
Sumber data primer meliputi hasil rekapitulasi perolehan suara pada pemilu
tahun 2014, yang mana dari hasil rekapitulasi perolehan suara ini akan terlihat
seberapa signifikan perolehan suara partai politik islam.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan data-data yang memberikan penjelasan
mengenai bahan-bahan primer yang diambil dari sumber-sumber tambahan yang
memuat segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian, antara lain
informasi yang relevan, seperti buku-buku tentang partai politik, buku-buku tentang
ketatanegaraan Indonesia, wawancara pengurus partai politik Islam di Kab.
Pandeglang, Pemerintahan setempat baik dalam lingkup kekuasaan legislatif ataupun
eksekutif, serta KPUD sebagai penyelenggara pemilu tingkat daerah yang lebih
berhadapan langsung dengan soal yang dibahas. Sumber lain pula tidak lepas dari
literatur yang berhubungan dengan tema yang dibahas.
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset pustaka
(Library Research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis
penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan
masalah penelitian. Pengumpulan data informasi diperoleh berdasarkan bahan-bahan
4. Teknik Analisis Data
Analisa data merupakan langkah paling penting dalam sebuah penelitian,
terutama dalam tahap ini, seorang peneliti telah memasuki tahap penetapan hasil
temuannya. Oleh sebab itu, dalam menganalisa data penulis menggunakan metode
deskriptif, yaitu dengan cara memaparkan dan menguraikan pokok-pokok
permasalahan secara menyeluruh dan komparatif, yakni sebuah metode perbandingan
dengan cara menganalisa data-data yang ada, kemudian penulis kombinasikan untuk
menghasilkan sebuah pemikiran yang padu.
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan memperoleh gambaran yang jelas mengenai materi
yang menjadi pokok penulisan skripsi ini, maka penulis menjelaskan dalam
sistematika penulisan secara garis besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab yang dibagi
dalam sub bab dan setiap bab mempunyai batasan masing-masing yang akan saling
berkaitan satu dengan yang lainnya, yaitu sebagai berikut:
Bab I, Dalam permulaan bab ini penulis mengetengahkan gambaran pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II, Dalam bab ini penulis menguraikan teori tentang partai politik berupa: pengertian partai politik, ideologi partai politik yang dianut di Indonesia dan partai
Bab III, Dalam bab ini penulis menguraikan gambaran umum seputar Kab. Pandeglang baik dari segi demografis, keagamaan, pendidikan, sosial, ekonomi dan
kondisi politik di daerah tersebut.
Bab IV, Pada bab ini pembahasan mengenai duduk perkara permasalahan yang dikaji yakni kekuatan partai politik Islam di Kab. Pandeglang berikut analisisnya.
Bab V, Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi, meliputi kesimpulan dari pembahasan, serta beberapa saran bekaitan dengan penulisan skripsi dari awal
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PARTAI POLITIK ISLAM A. Pengertian Partai Politik Islam
Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau
berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Dewasa ini partai politik sudah
sangat akrab di lingkungan kita. Sebagai lembaga politik, partai bukan sesuatu yang
dengan sendirinya ada. Kelahirannya mempuyai sejarah cukup panjang, meskipun
juga belum cukup tua. Bisa dikatakan partai politik merupakan organisasi yang baru
dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi negara.
Dan ia baru ada di negara modern. Secara akumulatif studi mengenai partai politik
baru ada pada awal abad ke-201
Dalam literatur politik ditemukan beberapa definisi partai politik, secara
umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok terorganisasi yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan
kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan
politik, dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya.
Carl J. Friedrich, mengemukakan bahwa partai politik:
Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap
1
pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil dan
materiil.2
Sigmund Neuman dalam bukunya Modern Political Parties sebagaimana dikutip oleh
Miriam Budiardjo mengemukakan definisi partai politik sebagai berikut:
Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatau golongan atau golongan-golongan lain yang
mempunyai pandangan yang berbeda (A political party is the articulate
organization of society’s active political agents; those who are concerned with the control of governmental polity power, and who compete for popular support with other group or groups holding divergent views).3
Menurut Sartori Partai politik adalah:
Suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan malalui pemilihan itu mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki
jabatan-jabatan publik (A party is any political group that present at election,
and is capable of placing through elections candidates for public office).4
Pengertian partai politik telah dijelaskan secara gamblang diatas. Sekarang
jika dikaitkan dengan Islam, apa yang dimaksud dengan partai politik Islam? Islam
dalam konteks ini dipahami sebagai doktrin agama yang harus diimplementasikan
dalam masyarakat serta mengatur seluruh aktivitas dan prilaku manusia di dalamnya.
Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an bahwa Islam merupakan agama
komprehensif yang sudah mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi ini.
Dengan demikian, partai politik Islam dapat dipahami sebagai sebuah organisasi
2
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404
3
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404
4
publik yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam konteks yang berbeda-beda
melalui penguasaan struktur kelembagaan pemerintah, baik pada level legislatif
maupun eksekutif. Proses mendapatkan kekuasaan itu diperoleh melalui keikutsertaan
dalam pemilu serta melakukan kampanye dengan menjual isu dan program-program
yang tidak lepas dari nilai-nilai ideologi Islam.5
Dalam kajian ilmu politik, penggunaan “partai Islam” setidaknya memiliki
dua konotasi. Pertama, ideologi organisasi, yaitu merujuk kepada partai politik yang
menjadikan Islam sebagai dasar ideologinya. Ideologi organisasi dianggap penting
karena ia merupakan tujuan dan orientasi. Ideologi menjadi alat pembeda antara satu
partai dengan partai yang lain.6
Dalam pembahasan selanjutnya mengenai partai politik Islam, Menurut
Sudirman Tebba, untuk menyebut suatu partai politik itu partai Islam dia harus
memiliki ciri Islam pada salah satu dari tiga unsur, yakni; nama, asas, dan lambang.
Suatu partai disebut partai Islam apabila namanya mengandung unsur Islam atau
asasnya Islam atau lambangnya mengandung ciri Islam.7Selain itu, dikategorikannya
partai tersebut sebagai partai Islam ditandai oleh adanya personalia kepemimpinan
partai yang didominasi oleh orang-orang yang berlatar belakang Islam yang kuat
5
Ridho Al-Hamdi, Partai Politik Isla, Teori dan Praktek di Indonesia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h.9
6
Ridho Al-Hamdi, Partai Politik Isla, Teori dan Praktek di Indonesia, h. 9
7
(santri) serta pengambilan keputusan yang cenderung berpihak kepada kepentingan
unsur Islam.
Jika dilihat dalam konteks sekarang partai politik di Indonesia yang masih
konsisten menerapkan Islam sebagai asas atau ideologi politiknya hanyalah tiga partai
politik, yaitu ; Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB)8,
dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Adapun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
Partai Amanat Nasional (PAN), jika dilihat dari perspektif konstitusi partai, adalah
bukan partai politik Islam yang sebenarnya, paling tidak dapat dikatakan sebagai
partai berbasis massa Islam.9 Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa secara umum
partai politik Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah partai politik yang
berazazkan Islam, Parpol yang berplatform Islam, Parpol yang menggunakan
simbol-simbol penganut Islam maupun substansi Islam yang terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan untuk
memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara
konstitusional, serta menumbuhkan partisipasi masyarakat.10
8
Pasal 3 Anggaran Dasar Partai Bulan Bintang, dinyatakan; Partai ini berasaskan Islam. Lihat juga Hasil Muktamar II Partai Bulan Bintang (Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang Periode 2005-2010), h. 25
9
Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002), h.124
10
B. Fungsi Dan Tujuan Partai Politik Islam
Pada umumnya, para ilmuan politik biasanya menggambarkan adanya 4
empat fungsi partai politik. Sebagaimana dikatakan Miriam Budiardjo fungsi tersebut
meliputi sarana: (i) komunikasi politik; (ii) sosialisasi politik (political socialization);
(iii) rekrutmen politik (political recruitment); dan (iv) pengatur konflik (conflic
management).11 Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp sebagaimana dikutup
oleh Jimly Ashiddiqie, fungsi partai politik itu mecakup fungsi (i) mobilisasi dan
integrasi; (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting
ptterns); (iii) sarana rekrutmen politik; dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan
kebijakan.12
Sementara itu tujuan dari partai politik Islam tidak terlepas dari sebuah
institusi negara sebagai media bagi partai politik Islam untuk mewujudkan cita-cita
besar Islam. Adapun tujuan partai Islam dapat dirumuskan dalam salah satu ayat
Al-Qur’an yang berbunyi: Baldatun thayyibun warabbun ghafur yang artinya
terwujudnya sebuah negara yang terdiri atas masyarakat yang adil, makmur dan
sejahtera yang diridhai oleh Allah SWT. Dari tujuan itu dapat dirumuskan tiga tujuan
utama partai Islam.
11
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,h. 405-409
12
1. Masyarakat yang adil. Keadaan dimana seluruh masyarakat di suatu negara tidak
ada yang merasa terintimidasi maupun terpinggirkan dari kehidupan masyarakat
yang luas serta mendapatkan hak-haknya sebagai salah seorang warga yang
mendiami suatu daerah tertentu. Keadilan meliputi segala hal yang melekat pada
mereka seperti, hak hidup, hak mendapatkan keamanan, hak berbicara, dan lain
sebagainya.
2. Masyarakat yang makmur dan sejahter. Setiap manusia menginginkan hidup
bahagia, dan salah satu indikator hidup bahagia adalah memperoleh kemakmuran
dan kesejahteraan hidup.
3. Masyarakat yang aman dan nyaman. Salah satu fungsi negara adalah membuat
warganya merasa aman dari berbagai bentuk kejahatan maupun tindakan kriminal
lainnya. Sedangkan nyaman adalah rasa bahagia dari segi psikologis seseorang
yang hidup dalam lingkungan tertentu. Tujuan ini merupakan tujuan dari partai
politik Islam untuk menjadikan masyarakat tidak merasa terganggu dari segala
bentuk kejahatan maupun gangguan masyarakat sekitar.13
C. Munculnya Partai Politik di Indonesia
Motivasi kedatangan Belanda pertama kali ke Indonesia tahun 1577 adalah
berdagang. Untuk memperlancar arus perdagangan dan meluaskan pengaruh, pada
tahun 1602 Belanda mendirikan Varenigde Oot-Indische Compagnie (VOC) sebagai
instrumen utama yang melibatkan para Bupati dalam administrasi mereka dengan
13
fungsi utamanya memobilisasi masyarakat untuk melaksanakan program pemerintah,
dalam hal ini VOC.14
Peperangan yang terjadi antara Belanda dan Belgia pada tahun 1820 memaksa
Belanda menerapkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) guna menyokong biaya
perang. Keberhasilan sistem ini diikuti oleh pemberlakuan Constitutional Ordinance
tahun 1854 yang memberikan hak politik absolut kepada Gubernur Jenderal Hindia
Belanda untuk mengawasi kegiatan politik rakyat demi tercapainya keamanan.
Akibatnya muncul dua tendensi yang berbeda. Kehidupan politik cenderung ke
otoritarianisme, sementara liberalisme mewarnai bidang ekonomi.
Desakan kaum liberal di Belanda menyebabkan Cultuurstelsel segera
digantikan oleh Politik Etika yang mengajukan ide tentang “the Honor of Debt” atau
Politik Utang Belanda. Politik ini mendorong pemerintah Hindia menerapkan
modernisasi sektor ekonomi dan pendidikan bagi golongan pribumi. Gelombang balik
dari modernisasi ini adalah munculnya keinginan untuk mendirikan partai politik.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Desentralisasi tahun 1903,
pemerintah Belanda memberikan hak kepada pemerintahan lokal di Hindia Belanda
untuk membentuk suatu Dewan Perwakilan. Wakil-wakil rakyat yang duduk di
dewan ditunjuk oleh Gubernur Jenderal sebagai wakil-wakil dari “the Color Caste
System”, satu model yang sama dengan Constitutional Democracy. Protes terhadap
ide ini mengawali perubahan pada tahun 1916 ketika Gubernur Jenderal menyatakan
14
bahwa sebagian anggota Volksraad tetap ditunjuk, dan sebagaia lain dipilih. Untuk
mengisi kursi yang dipilih, maka pada tahun 1917 pemerintah Hindia Belanda
mengumumkan dibolehkannya pembentukan partai politik pada tingkat nasional.15
Mosi Tjokroaminoto dan mosi Djajadiningrat pada bulan November 1918
yang menuntut agar seluruh anggota Volksraad dipilih oleh rakyat membuahkan
reformasi politik. Rakyat dibolehkan secara bebas berserikat dan berkumpul,
meskipun pada kenyataannya polisi rahasia tetap mengawasi kegiatan politik mereka.
Dampak paling penting dari kedua mosi itu adalah diubahnya penunjukan
representatif di Volksraad dari Color Caste System ke basis assosiational group.
Setelah dipicu oleh politik etika dan Volksraad, di Indonesia tumbuh berbagai
partai yang secara garis besar dapat dipilah menurut kategori: (i) partainya keturunan
Belanda; (ii) partainya keturunan Cina; (iii) partainya orang Indonesia.16
D. Sejarah Perjalanan Partai Politik Islam di Indonesia 1. Periode Pra Kemerdekaan (1900-1945)
Jika bentuk ideal umat Islam itu beserta tugas kewajibannya untuk
kemanusiaan harus diungkapkan dalam kalimat singkat, maka yang paling baik ialah
mengutip al-Qur’an tentang gambaran yang diberikan untuk umat Rasulullah saw.:
“Kamu adalah sebaik-baik umat yang diketengahkan untuk manusia, karena kamu
menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan, lagipula kamu percaya kepada
15
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.26
16
Tuhan.” Perjuangan Islam sepanjang sejarahnya dapat dilihat sebagai usaha kaum
Muslim memenuhi gambaran al-Qur’an itu, khususnya berkenaan dengan tugas
kewajibannya bagi kemanusiaan. Tugas itu juga sering diungkapkan dalam kalimat
aslinya dalam bahasa Arab, yaitu “Amr ma’ruf nahi munkar”. Karena tugas amr
ma’ruf nahi munkar itu umat Islam selalau terlibat dalam perjuangan melawan setiap
bentuk kezaliman. Maka wajar sekali bahwa umat Islam Indonesia sepanjang
sejarahnya juga dikenal sebagai penentang-penentang gigih imperialism. Juga
bukanlah suatu kebetulan bahwa gerakan kebangsaan Indonesia yang mula-mula
tumbuh secara sebenarnya berbentuk organisasi massa dalam arti modern muncul dari
kalangan Muslim melalui Sarekat Islam.17
Pada tahun 1911 di Surakarta berdiri sebuah perkumpulan yang diberi nama
Kong Sing. Anggota perkumpulan tersebut terdiri atas dua golongan, yaitu golongan
orang-orang jawa dan orang-orang Cina. Perkumplan ini merupakan organisasi,
koperasi, dengan tujuan untuk menjalin kerjasama diantara anggotanya dalam bidang
usaha, terutama untuk melakukan pembelian dan penjualan batik, serta kerjasama
dalam urusan kematian.18
Pada mulanya perkumpulan ini dapat berjalan dengan baik, tetapi kemudian
terjadi perpecahan, sebab anggota golongan Cina yang semula hanya 50 persen
17
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999), h.43-44
18
berkembang menjadi 60 persen. Akibatnya lebih jauh, mereka tampak berambisi
hendak menguasai perkumpulan tersebut dan mereka ingin menyingkirkan para
anggota dari bumi putra. Selain itu, sikap orang-orang Cina menjadi lebih sombong
dengan berhasilnya revolusi Cina yang dipelopori oleh Dr. Sun Yat Sen.
Melihat sikap Cina yang makain menjadi sombong itu, para anggota orang
Jawa beranggapan, bahwa keluar dari Kong Sing adalah langkah yang tepat.
Berangkat dari masalah itu maka mereka keluar dari organisasi tersebut, yang
kemudian mereka membentuk perkumpulan baru dengan nama Sarekat Dagang
Islam.19
Serikat Dagang Islam didirikan pada 1911 di Solo,20 oleh seorang pengusaha
batik di Laweyan yang bernama H. Samanhudi. Dasar organisasi ini adalah agama,
yaitu Islam dan dasar ekonomi. SDI mula-mula diarahkan melawan kegiatan kegiatan
Cina itu yang menguasai dunia perdagangan dengan mengorbankan pribumi, sisi lain
dari perlawanan itu, sekalipun tidak langsung, ditunjukan kepada Belanda yang
19
Triana Wulandari dan Muhtaruddin Irahim, Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di Palembang,h.35
20
Mengenai tahun kelahiran atau berdirinya SDI/SI ada sebagian tokoh yang menyatakan bahwasanya tahun berdirinya SDI/SI adalah pada tahun 1905 atau lebih awal dari berdirinya Budi Utomo 1908, seperti K.H. Firdaus A.N. dalam karyanya Syarikat Islam Bukan Budi Utomo,
memberikan prioritas dan perlindungan kepada usahawan Cina yang agresif dalam
perdagangan dan industri.21
Pada tahun 1912, Umar Said Tjokroaminoto, mengusulkan kepada H.
Samanhudi agar perkumpulan tersebut jangan membatasi diri pada golongan
pedagang saja, tetapi diperluas, khususnya kepada umat Islam. Dengan alasan
tersebut maka kata-kata dagang dalam anggaran dasar perkumpulan tersebut dihapus.
Sehingga nama perkumpulan dalam akte notarisnya 10 September 1912 itu menjadi
Sarikat Islam (SI),22 perubahan SDI menjadi SI bukan hanya dalam perubahan nama,
tapi terutama dalam perubahan orientasi, yaitu dari komersial ke politik.23
Hal ini bukan tanpa rintangan, karena pada mulanya kolonial Belanda
keberatan dan menolak kehadiran SI, tetapi kemudian diakui juga sebagai “Badan
Hukum” (Recht Persoon) pada tanggal 10 september 1912.24
Pengakuan sebagai Badan Hukum, belum berarti izin bagi gerakan politik SI,
karena SI masih dianggap Belanda sebagai organisasi berbahaya. Tetapi karena kaum
SI mendesak terus dengan keras, maka pemerintah Belanda tidak bisa
menghalanginya lagi. Akhirnya pengakuan dan izin sebagai gerakan politik yang
21
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara (Jakarta: LP3S, 2006), h.80
22
Triana Wulandari dan Muhtaruddin Irahim, Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di Palembang, h. 36
23
Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, h.81
24
bernama Central Sarekat Islam (CSI) datang juga pada tanggal 18 Maret 1916, yaitu
tiga hari sebelum Gubernur Jenderal Belanda Indenburg, mengakhiri masa
jabatannya.25Pada waktu itu SI telah mempunyai lebih dari 50 cabang yang tersebar
di seluruh kepulauan Indonesia.26
Sarikat Islam (SI) yang merupakan bentuk transformasi dari Sarikat Dagang
Islam (SDI), merupakan akar kesadaran politik Islam era modern, yang oleh Engleson
disebut sebagai partai politik Islam yang selama beberapa tahun menjadi partai
modern satu-satunya pada masa kolonial. Van Niel, sebagaimana dikutip oleh
Dhurorudin Mashad, menyebutkan bahwa SI sebagai salah satu organisasi politik
Indonesia abad 20 yang paling menonjol.27 Penyebutan itu tidak berlebihan,
mengingat SI bukan saja merupakan parpol pertama di Indonesia, tapi juga parpol
yang terbukti mampu menyadarkan lapisan luas masyarakat dari keterbelakangan dan
dari kenyataan fatalisme. SI berupaya mengubah mentalitas orang terjajah, dari sikap
pasrah menjadi aktif dengan berakar pada semangat persamaan.28
Dalam tahap awal perjalanan SI (1911-1916), sebagian besar perhatian
dicurahkan pada masalah-masalah organisasi seperti mencari pemimpin, menyusun
25
Firdaus A.N, Syariakat Isklam Bukan Budi Utomo, Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa, h.3, lihat juga Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, h.119
26
Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, h. 84
27
Dhurorudin Masad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h.53
28
anggaran dasar dan hubungan antara organisasi pusat dengan organisasi daerah.29
Pada peiode ini, program organisasi masih bersifat umum dan luas, sehingga para
pemimpinnya belum bisa memberikan arah yang lebih tegas ke mana organisasi akan
dibawa.30
Dibawah kepemimpinan Tjokroaminoto, Abdul Moeis dan Agus Salim, SI
mulai memasuki periode puncak pada tahun 1916 sampai 1921. SI bukan lagi sebagai
organisasi pedagang pribumi yang berdomisili di Solo, namun ia telah berhasil
menyebar di seluruh Nusantara pada tahun 1919 dengan jumlah anggota hampir
mencapai dua setengah juta orang dari berbagai lapisan masyarakat: pedagang,
petani, buruh, dan bangsawan pribumi.31SI terbuka untuk setiap orang Indonesia
tanpa memandang latar belakang sosioetnis mereka, untuk itu wajar jika
kehadirannya mendapat sambutan positif dari masyarakat Indonesia. Beda halnya
dengan Budi Utomo yang membatasi keanggotaannya bagi priyayi Jawa dan
Madura.32
Tuntasnya persoalan di bidang organisasional pada periode sebelumnya,
menyebabkan SI mampu memperhatikan secara serius beberapa persoalan, ekonomi
dan politik. Dengan Tjokroaminoto sebagai tokoh sentaral, SI membagi program
29
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.27
30
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942 (Jakarta, LP3S, 1998), h. 115-116
31
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.27
32
kerjanya menjadi delapan yaitu politik, pendidikan, agama, hukum, agrarian,
pertanian, keuangan dan perpajakan.33
Mengawali periode ketiga (1921-1927), SI memecat anggota-anggotanya
yang juga berafiliasi denga Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini dilakukan untuk
mempertegas bahwa kebijakan dan kegiatannya hanya berdasarkan Islam seperti
tercantum dalam keterangan asas organisasi. SI berganti nama menjadi Partai Sarikat
Islam (PSI) melalui kongresnya di Madiun pada tanggal 17-20 Februari 1923.34
Dalam hal itu, yang cukup menarik adalah berubahnya arah politik partai
berkenaan dengan penahanan Tjokroaminoto dalam tahun 1921-1922. Penahanannya
menimbulkan protes keras dan menyingkirkan kepercayaan partai kepada pemerintah
untuk bekerja sama. Hal ini diikuti oleh suara yang menghendaki kemungkinan
dimunculkannya politik hijrah (nonkooperasi) yang kemudian semakin dipertegas
oleh hasil keputusan Kongres di Surabaya pada tanggal 8-10 Agustus 1924 yang
menyatakan bahwa partai tidak akan mempunyai seseorang wakil walaupun Dewan
Rakyat (Volksraad).35
Menginjak periode keempat (1927-1942), SI berusaha keras mempertahankan
keberadaannya dalam pentas politik waktu itu. Namun SI gagal mempertahankan
33
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942, h. 127-129
34
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 29
35
posisinya sebagai pemain kunci dalam gerakan nasional, karena berbagai faktor yang
menimpanya, diantaranya:36
Pertama, konflik internal dikalangan elit partai. Kekecewaan seorang elit
terhadap langkah politik yang ditempuh oleh elit lain atau karena perbedaan
pandangan tentang bagaimana seharusnya partai bersikap, kerapkali harus berakhir
dengan pengusiran seorang elit dari tubuh partai.
Berbagai perbedaan pendapat mengenai kebijakan masalah-masalah pribadi
mengakibatkan mundurnya atau dikeluarkannya beberapa pemimpin dan aktivis
partai yang paling penting. Abdul Muis mengundurkan diri dari kepemimpinan
organisasi itu menyusul ketidaksetujuannya dengan Tjokroaminoto dalam maslah
yang berhubungan dengan Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB), di
mana ia adalah ketua pelaksananya. Perbedaan sejenis mengenai masalah moral
menyebabkan Sukiman dan Surjopranoto juga mengundurkan diri dari SI.37
Kedua, memudarnya kepercayaan kelompok Islam lain terhadap SI. Seiring
dengan perjalanan SI berbagai organisasi Islam yang lain juga muncul seperti
Al-Irsyad, Muhammadiyah dari sayap modernis, dan gejala semakin terorganisasinya
golongan tradisionalis. Reputasi besar SI dan tokoh-tokohnya yang piawai dalam
berorganisasi meyakinkan semua kelompok Islam untuk memberikan kursi
36
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 29-30
37
kepemimpinan umat dalam bidang agama kepada SI sebagaimana tergambar dalam
beberapa kali Kongres Al-Islam. Tetapi karena merasa diperlakukan tidak wajar oleh
pimpinan SI, kaum tradisional menceraikannya. Sedangkan pertikaian karena
persoalan pribadi dengan Muhammadiyah pada tahun 1926 berbuntut pada keluarnya
anggota-anggota Muhammadiyah dari SI pada tahun berikutnya. Dan ketegangan
mengenai masalah agama yang tidak tergolong fundamental (furu’iyah) denga pihak
Persatuan Islam (Persis) membuat partai ini semakin menjauh dari
organisasi-organisasi Islam yang besar. Dalam kondisi demikian, SI denga percaya diri masih
berani mengklaim sebagai satu-satunya perwakilan umat Islam Indonesia.
Ketiga, tantangan yang semakin besar terhadap kepemimpinan SI muncul dari
kaum pergerakan kebangsaan yang berideologi nasionalis dan komunis. Ideologi
komunisme sempat merembes ke tubuh SI melalui semaun dan Darsono. Mereka
adalah tokoh SI dari cabang semarang yang kemudian terlibat konfrontasi dengan
pemimpin-pemimpin SI dari aliran Islam berkaitan dengan tuntutan agar kepolitikan
SI dibersihkan dari Islam baik sebagai dasar, unsur maupun tujuan. Sebagai gantinya
seluruh orientasi dari kegiatan partai didasarkan pada paham Marxis yang
menekankan karakter sosialistik dan revolusioner.38 Diperkenalkannya Marxisme ke
38
dalam SI memunculkan berbagai konflik dan perpecahan dikalangan para pemimpin
organisasi ini.39
Ketertarikan kepada gagasan-gagasan Marxis pada mulanya berkembang di
luar gerakan-gerakan nasionalis pribumi. Di kepulauan Nusantara, gagasan-gagasan
tersebut pada mulanya diasosiasikan dengan sekelompok kecil anggota Nationale
Indische Partij (NIP, Partai Nasional Belanda ) sebuah organisasi politik Eropa
Indonesia yang dibentuk pada 1912 dan menyuarakan paham kesetaraan ras, keadilan
sosial-ekonomi dan kemerdekaan, yang didasarkan kepada kerjasama
Eropa-Indonesai. Karena ditindas oleh pemerintah kolonial, maka kelompok minoritas di
dalam partai tersebut bergabung dengan partai kiri Indische Sosiaal Democratische
Vereeniging (ISDV, Asosiasi Demokrasi Sosial Hindia Belanda), yang didirikan oleh
Hnedrik Sneevlit pada 1914. Dan ketika pada 1920 ISDV ditransformasikan menjadi
Partij der Komunisten in Indie (Partai Komunis Indonesia [PKI]), sebuah partai
komunis yang sepenuhnya beraliran komunis.40 Kedua tokoh SI yakni Semaun dan
Darso yang kelak dikeluarkan dari SI dan bergabung dengan PKI.Yang lebih
memperparah konflik diatas adalah perbedaan sudut pandang mengenai landasan
teologis-ideologis masing-masing faksi. Tiga serangkai Tjokroaminoto, Agus Salim,
dan Abdul Muis tegas menyatakan bahwa Islam adalah ideologi partai itu, dan
mereka menggerakkan partai itu sejalan dengan gerakan Pan Islamisme di Timur
39
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 69
40
Tengah. Sebaliknya Semaun dan Darsono lebih menghendaki disingkirkannya agama
dari politik praktis, seraya mengorientasikan diri mereka serta seluruh tindakan
mereka kepada prinsip-prinsip Marxsis.41
Upaya untuk mengompromikan dua bidang ideologi itu sempat dilakukan.
Namun upaya tersebut menemui jalan buntu dan tarik tambang ideologi itu
dimenangkan oleh kubu Islam. Meski demikia SI harus membayar kemenangannya
itu dengan hengkangnya sejumlah besar anggotanya.42
Kegagalan dalam menjembatani berbagai perbedaan ini, terutama dalam
watak sosialistik dan revolusioner SI, mengakibatkan perpecahan dalam organisasi
tersebut. Karena kalah dalam percaturan ini, maka pada kongres keenam SI yang
diselenggarakan di Surabaya pada 1921, faksi Marxis dikeluarkan dari organisasi
denga alasan bahwa mereka melanggar disiplin partai dengan mempertahankan
keanggotaan mereka dalam sebuah partai kominis, yakni PKI.43
Tantangan terhadap kepemimpinan SI dalam gerakan nasional ini dilanjutkan
oleh kalangan lain yang netral agama, yang biasanya disebut nasionalis. Mereka
umumnya bergabung dalam Perserikatan kemudian Partai Nasional Indonesia
dibawah pimpinan Soekarno (1901-1979). Pada tahun 1930-an tantangan itu
41
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 70
42
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.30
43
dilanjutkan oleh Patai indonesia (Partindo), Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), dan
Partai Indonesia Raya (Perindra). Jadi berkembanglah perpecahan dalam kalangan
umat Islam itu, mulanya dengan pihak komunis (yang masih beragama Islam), dan
kemudian dengan pihak nasionalis yang netral agama (yang juga sebagian besar
beragama Islam). Bila pihak komunis yang umumnya anti agama, jadi anti Islam,
golongan nasionalis yang netral agama ingin membatasi agama pada bidang
perseorangan.44
2. Periode Pasca Kemerdekaan (1945-1965)
Dikeluarkannya Maklumat Presiden pada tanggal 3 November 1945
merupakan langkah awal masyarakat Indonesia waktu itu untuk membentuk partai
politik dan yang kemudian akan ikut menyemarakan kontestasi pemilu legislatif pada
tahun 1946. Dengan adanya Maklumat tersebut, secara praktis sistem pemerintahan
Indonesia bergeser dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer, tanpa
mengubah apalagi mengganti UUD 1945. Hal ini disambut oleh masyarakat untuk
mendirikan partai politik sebagai sarana untuk merebut kursi di legislatif dengan
beragam aliran yang dimilikinya, yakni kemudian lahirlah partai politik yang
berideologi Komunis, Sosialisme Demokratik, Islam, Nasionalisme Radikal, dan
Tradisionalisme Jawa. Partai politik yang muncul setelah dikeluarkannya maklumat
44
November 1945 oleh Alfian dibagi kepada lima bagian, yakni Nasionalis, Islam,
Sosialis, dan Kristen/Nasrani.45
Maklumat yang dikeluarkan November 1945 disambut dengan baik oleh
kalangan umat Islam, hal itu terbukti dengan langsung digelarnya Kongres Umat
Islam Indonesia selama dua hari di Yogyakarta. Hasil dari kongres tersebut adalah
disepakatinya pembentukan partai Islam yang secara resmi dinamakan Partai Politik
Islam Indonesia Masyumi.
Partai Masyumi (Majelis Syura Muslim Indonesia) di dirikan pada 07
November 1945, merupakan satu-satunya partai politik bagi umat Islam Indonesia.
Dalam anggaran dasar Masyumi dinyatakan bahwa partai baru itu bertujuan
menegakkan kedaulatan rakyat Indonesia dan agama Islam, dan melaksanakan
cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.46
Gagasan pembentukannya berasal dari sejumlah politisi dan pergerakan sosial
keagamaan Islam Indonesia yang telah aktif sejak zaman penjajahan Belanda,
diantaranya Agus Salim, Abdul Kahar Mudzakir, Abdul Wahid Hasyim, Mohammd
45
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h.35
46
Natsir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Sukiman Wirjosandjojo, Ki
Bagus Hadikusumo, Muhammad Mawardi, dan Abu Hanifah.47
Partai Masyumi dicanangkan sebagai satu-satunya partai Islam yang akan
menyalurkan dan mengartikulasikan kepentingan umat Islam.48 Menurut beberapa
tokoh yang mengambil inisiatif pembentukan Masyumi, ada beberapa pertimbangan
yang mendorong mereka untuk membentuk partai itu menjadi “partai tunggal” Islam
Indonesia. Dari segi doktrin, sebagaimana dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra
tokoh-tokoh itu merujuk kepada al-Qur’an yang memerintahkan agar umat Islam
bersatu dan jangan berpecah belah (Qs, Ali-Imran/03:103).49
Tekad menjadikan Masyumi sebagai partai tunggal Islam diwujudkan dengan
cara membentuk dua jenis keanggotaan yang diharapkan dapat menampung semua
elemen umat Islam di masyarakat. Dua jenis keanggotaan Masyumi adalah
perseorangan (biasa) dan organisasi (istimewa). Anggota perseorangan disyaratkan
minimal usia 18 tahun atau sudah kawin dan tidak menjadi anggota partai politik lain.
47
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme, dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:
Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan) (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 62-63
48
Zainal Abisin,Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 37
49