• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Pemberian Bantuan Modal Usaha Menurut Sistem Bapak Angkat Di PT. Perkebunan Nusantara II (Persero) Tanjung Morawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Hukum Pemberian Bantuan Modal Usaha Menurut Sistem Bapak Angkat Di PT. Perkebunan Nusantara II (Persero) Tanjung Morawa"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM PEMBERIAN BANTUAN

MODAL USAHA MENURUT SISTEM BAPAK

ANGKAT DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA

II (PERSERO) TANJUNG MORAWA

SKRIPSI

Ditujukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan

Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

MUHAMMAD FIKRIE

NIM : 070200277

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TINJAUAN HUKUM PEMBERIAN BANTUAN

MODAL USAHA MENURUT SISTEM BAPAK

ANGKAT DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA

II (PERSERO) TANJUNG MORAWA

SKRIPSI

Ditujukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan

Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

MUHAMMAD FIKRIE

NIM : 070200277

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Hasim Purba SH, MHum

NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II

(3)

ABSTRAKSI

Tindakan tanggung jawab sosial perusahaan yang terwujud pada pemberdayaan masyarakat dan menaikkan derajat kehidupan bersama merupakan kristalisasi dari nilai-nilai etis yang dikembangkan dalam dunia bisnis. Mewujudkan tindakan kadang-kadang harus menentang karakter tanggung jawab ekonomis, yaitu mencari laba, dan pelaksanaannya tidak dapat dipaksakan sebab ranahnya berada di luar tanggung jawab legal. Namun melalui panggilan nurani, tanggung jawab etis yang terwujud dalam tindakan tersebut dilakukan oleh perusahaan.

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah prosedur pemberian bantuan modal usaha; Bagaimanakah bentuk perjanjian pemberian bantuan modal usaha; Bagaimanakah bentuk wanprestasi dan penyelesaiannya dalam pemberian bantuan modal usaha; dan Bagaimanakah berakhirnya perjanjian pemberian bantuan modal usaha. Adapun yang menjadi metode penelitian dalam skripsi ini adalah library research (penelitian kepustakaan) dan field research (penelitian lapangan).

Hasil dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa prosedur untuk mendapatkan bantuan modal kerja yang dilakukan oleh PTPN II (Persero) tersebut sejalan atau bersamaan waktunya dengan proses lahirnya perjanjian pinjam-meminjam, yaitu sampai dibuat dan ditandatanganinya surat perjanjian tentang bantuan modal usaha. Perjanjian pinjam-meminjam yang dibuat akan terlaksana apabila ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Di dalam suatu perjanjian, dapat timbul resiko penyelewengan dari isi perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Penyelewengan-penyelewengan ini dapat timbul karena berbagai faktor, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja Jika telah terpenuhinya kewajiban pengusaha kecil untuk melunasi pinjamannya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan, maka perjanjian tersebut berakhir pada jangka waktu yang diperjanjikan.

(4)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Pada kesempatan ini penulis menulis judul skripsi “TINJAUAN HUKUM PEMBERIAN BANTUAN MODAL USAHA MENURUT SISTEM BAPAK ANGKAT DI PTPN II (PERSERO) TANJUNG MORAWA”.

Pada kesempatan ini, dengan segala hormat penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH., MH.,DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, SH.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Pembimbing I, yang telah membimbing dan membantu penulis dalam proses penyusunan skripsi.

(5)

6. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.,M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Terkhusus kepada orang tua Saya Tercinta Papa Ir. H. Jamal Abd. Nasser, MM., MHA., dan Mama Hj. Nana Iswari, serta dukungan moril dan materil yang tiada habis-habisnya.

8. Kepada abang-abang saya tercinta, Mohamad Rizky, SH., dan Muhammad Reza, SE., yang selalu mendukung adiknya dalam menyelesaikan studi kuliah dan penyusunan skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Kepada Bapak dan Ibu Dosen, yaitu Pak Syamsul Rizal, Pak Ahmad Siregar, Pak Ramli Siregar, Ibu Puspa, Ibu Rosnidar, dan Ibu Surianingsih, serta Bapak dan Ibu Dosen yang lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang tidak habis-habisnya memberi ilmu kepada saya,.sehingga saya dapat menyelesaikan studi dan penulisan skripsi ini.

10.Kepada seluruh Staf dan Karyawan PTPN II tanjung Morawa yang telah banyak membantu saya dalam memperoleh data-data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

(6)

Bang Muel, Bang Hansen, Bang Lutfi, Bang Agem, serta teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam tulisan ini.

12.Buat keluarga semua, uwak, om, tante, dan sepupu-sepupuku yang tersayang, uwak Maman, uwak Ita, uwak Abduh, uwak Rahman, om Ipul, om Adjie, om Dedi, om Nanang, tante Mimi, tante Teted, tante Yuyun, Sepupu teteh Ria, teteh Tita, teteh Puput, Lidya, Putra, Wahyu, Bang Rudi, Bang Dimas, Bang Fabian, Silvi, Nurul, Rico, Kayla, Aqil, dan yang lainnya.

13.Buat special one Syarifah Tigris Al-Madhier yang selalu memberi dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan dan ketidaksempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, agar lebih bisa lagi di kesempatan yang akan datang.

Besar harapan penulis bahwa skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi kita semua.

Medan, Juni 2011 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 7

D. Keaslian Penelitian... 8

E. Tinjauan Pustaka... 9

F. Metode Penelitian... 10

G. Sistematika Penulisan... 11

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam... 14

B. Peminjaman dengan Bunga... 20

C. Jaminan dalam Pinjam Meminjam... 23

(8)

BAB III TANGGUNG JAWAB PT. PERKEBUNAN

NUSANTARA II (PERSERO) TANJUNG MORAWA

MENYALURKAN SEBAGIAN KEUNTUNGANNYA

KEPADA PENGUSAHA EKONOMI LEMAH

DAN KOPERASI

A. Sekilas tentang PT. Perkebunan Nusantara II

(Persero) Tanjung Morawa... 31 B. Landasan Hukum Pemberian Jaminan... 33 C. Peranan PTPN II (Persero) Meningkatkan Ekonomi

Rakyat sebagai Bapak Angkat... 37 D. Hubungan dalam Pemberian Bantuan Pinjaman... 41 E. Bentuk Pembinaan yang Dilakukan Bapak Angkat... 43 BAB IV TINJAUAN HUKUM PEMBERIAN BANTUAN MODAL

USAHA DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II

(PERSERO) TANJUNG MORAWA

A. Prosedur Pemberian Bantuan Modal Usaha... 46 B. Bentuk Perjanjian Pemberian Bantuan Modal

Usaha... 51 C. Wanprestasi dan Penyelesaiannya... 54 D. Berakhirnya Perjanjian Pemberian Bantuan Modal

(9)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(10)

ABSTRAKSI

Tindakan tanggung jawab sosial perusahaan yang terwujud pada pemberdayaan masyarakat dan menaikkan derajat kehidupan bersama merupakan kristalisasi dari nilai-nilai etis yang dikembangkan dalam dunia bisnis. Mewujudkan tindakan kadang-kadang harus menentang karakter tanggung jawab ekonomis, yaitu mencari laba, dan pelaksanaannya tidak dapat dipaksakan sebab ranahnya berada di luar tanggung jawab legal. Namun melalui panggilan nurani, tanggung jawab etis yang terwujud dalam tindakan tersebut dilakukan oleh perusahaan.

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah prosedur pemberian bantuan modal usaha; Bagaimanakah bentuk perjanjian pemberian bantuan modal usaha; Bagaimanakah bentuk wanprestasi dan penyelesaiannya dalam pemberian bantuan modal usaha; dan Bagaimanakah berakhirnya perjanjian pemberian bantuan modal usaha. Adapun yang menjadi metode penelitian dalam skripsi ini adalah library research (penelitian kepustakaan) dan field research (penelitian lapangan).

Hasil dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa prosedur untuk mendapatkan bantuan modal kerja yang dilakukan oleh PTPN II (Persero) tersebut sejalan atau bersamaan waktunya dengan proses lahirnya perjanjian pinjam-meminjam, yaitu sampai dibuat dan ditandatanganinya surat perjanjian tentang bantuan modal usaha. Perjanjian pinjam-meminjam yang dibuat akan terlaksana apabila ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Di dalam suatu perjanjian, dapat timbul resiko penyelewengan dari isi perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Penyelewengan-penyelewengan ini dapat timbul karena berbagai faktor, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja Jika telah terpenuhinya kewajiban pengusaha kecil untuk melunasi pinjamannya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan, maka perjanjian tersebut berakhir pada jangka waktu yang diperjanjikan.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegiatan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat pada hakekatnya merupakan rangkaian perbuatan hukum yang banyak jenis, ragam, kualitas dan variasinya yang dilakukan antar pribadi, antar perusahaan, antar negara dan antar kelompok dalam berbagai volume dan frekuensi yang tinggi setiap saat di berbagai tempat. Kajian terhadap kegiatan ekonomi, khususnya menyangkut para pelaku ekonomi sangat diperlukan terutama menghadapi era perdagangan bebas. Sebagai konsekuensi diratifikasinya GATT (General Agreement on Tariff and Trade atau Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan), oleh Pemerintah Republik Indonesia, maka perangkat hukum nasional di bidang perekonomian harus mengacu dan disesuaikan dengan konvensi internasional tersebut.

Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan ekonomi secara simultan dari waktu ke waktu yang didukung oleh kebijakan politik ekonomi yang semakin kondusif.1

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan

Sebagai landasan yuridis pembangunan perekonomian nasional diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi:

1 Sri Redjeki Hartono, Beberapa Aspek tentang Permodalan Perseroan Terbatas, Kapita

(12)

2. Cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara

3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Berdasarkan ketentuan di atas dapat diambil pengertian/makna bahwa pembangunan, termasuk pembangunan ekonomi harus dapat membentuk manusia sebagai manusia, berarti pembangunan yang dilaksanakan adalah pembangunan yang berperikemanusiaan. Rakyat dan pemerintah wajib melaksanakan pembangunan ekonomi dengan baik.2

Dalam butir 12 disebutkan menata BUMN secara efisien, transparan dan profesional terutama usahanya berkaitan dengan kepentingan umum yang

Selanjutnya sebagai landasan operasional pembangunan ekonomi nasional adalah Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam GBHN 1999-2004 diatur mengenai pemberdayaan pengusaha kecil, menengah dan koperasi serta pembangunan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Bab IV GBHN 1999-2004 memuat arah kebijakan pembangunan ekonomi khusus usaha kecil, menengah dan koperasi yang disebut dalam butir 11 yaitu memberdayakan pengusaha kecil, menengah dan koperasi agar lebih efisien, produktif dan berdaya saing dengan menciptakan iklim berusaha yang kondusif dan peluang seluas-luasnya. Bantuan fasilitas dari negara diberikan secara selektif terutama dalam bentuk pelrindungan dari persaingan yang itdak sehat, pendidikan dan pelatihan, informasi bisnis dan teknologi, permodalan dan lokasi berusaha.

(13)

bergerak dalam penyediaan fasilitas publik, industri pertahanan dan keamanan, pengelolaan aset strategis dan kegiatan usaha lainnya yang tidak dilakukan oleh swasta dan koperasi. Keberadaan dan pengelolaan BUMN ditetapkan dengan undang-undang.

Selanjutnya disebutkan dalam butir 13 disebutkan bahwa mengembangkan hubungan kemitraan dalam bentuk keterkaitan usaha yang saling menunjang dan menguntungkan antar koperasi, swasta dan BUMN, serta antara usaha besar, menengah dan kecil dalam rangka memperkuat struktur ekonomi nasional.

Secara yuridis pada praktik perkonomian nasional ada 3 (tiga) kelompok pelaku ekonomi yaitu perusahaan swasta, BUMN dan koperasi. Dari ketiga kelompok pelaku ekonomi tersebut masing-masing mempunyai kondisi dan potensi yang berbeda-beda. Pada kelompok perusahaan swasta misalnya masih dapat diklasifikasikan dari segi besar usahanya yaitu perusahaan besar, perushaan menengah dan usaha kecil.

(14)

Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam undang-undang usaha kecil.3

1. Kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

Landasan hukum mengenai usaha kecil diatur dalam Undang-undang UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, di mana dalam Pasal 6 disebutkan kriteria usaha kecil yaitu sebagai berikut

2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah)

Dari ketentuan tersebut jelas koperasi telah dikategorikan sebagai usaha kecil. Apabila dirujuk kepada Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 (selanjutnya disebut UU No. 25 Tahun 1992) tentang Perkoperasian, pada Pasal 1 butir 1 disebutkan koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum. Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.

Dalam Pasal 3 UU No. 25 Tahun 1992 diatur tentang tujuan koperasi yang berbunyi koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian

(15)

nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Mengenai fungsi dan peran koperasi diatur dalam Pasal 4 UU No. 25 Tahun 1992 yang berbunyi

1. Membangun dan mengembangkan potensi serta kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya.

2. Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat.

3. Memperkokoh perekonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya.

4. Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.

Dari begitu besarnya peranan usaha kecil dan koperasi dalam membangun perekonomian rakyat, namun di sisi lain kelompok usaha kecil dan koperasi mempunyai berbagai keterbatasan seperti keterbatasan permodalan, sumber daya manusia, teknologi dan pemasaran. Guna membantu pengembangan usaha kecil dan koperasi, maka pemerintah berupaya mengadakan pembinaan melalui pola kemitraan mapun pemberian bantuan kredit modal kerja, berupa peminjaman modal kerja dengan bunga yang relatif kecil.

(16)

sulit untuk mendapatkan bantuan pinjaman dari bank yang menyukai pemberian kredit kepada pengusaha besar.

Hal tersebut menyebabkan masyarakat tidak mampu menggunakan jasa perbankan untuk mengembangkan usahanya, sehingga bagi pengusaha kecil tersebut usahanya tidak dapat berkembang atau bahkan terhenti sama sekali.

Atas dasar kenyataan tersebut pemerintah menghimbau kepada seluruh BUMN untuk melaksanakan suatu program pembinaan usaha kecil dan koperasi melalui Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 316/KMK.016/1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN melalui program mitra binaan.

Tindakan tanggung jawab sosial perusahaan yang terwujud pada pemberdayaan masyarakat dan menaikkan derajat kehidupan bersama merupakan kristalisasi dari nilai-nilai etis yang dikembangkan dalam dunia bisnis. Mewujudkan tindakan kadang-kadang harus menentang karakter tanggung jawab ekonomis, yaitu mencari laba, dan pelaksanaannya tidak dapat dipaksakan sebab ranahnya berada di luar tanggung jawab legal. Namun melalui panggilan nurani, tanggung jawab etis yang terwujud dalam tindakan tersebut dilakukan oleh perusahaan.4

4 Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, Griya Media, Salatiga, 2011, hal. 29.

(17)

Kenyataan inilah yang mendorong penulis untuk memilih judul TINJAUAN HUKUM PEMBERIAN BANTUAN MODAL USAHA

MENURUT SISTEM BAPAK ANGKAT DI PTPN II (PERSERO)

TANJUNG MORAWA, agar lebih dapat mendalami sistem pembinaan bagi

pengusaha kecil dan koperasi serta sejauh mana peran BUMN di dalam program pelaksanaan program pembinaan dengan sistem Bapak Angkat.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah prosedur pemberian bantuan modal usaha?

2. Bagaimanakah bentuk perjanjian pemberian bantuan modal usaha?

3. Bagaimanakah bentuk wanprestasi dan penyelesaiannya dalam pemberian bantuan modal usaha?

4. Bagaimanakah berakhirnya perjanjian pemberian bantuan modal usaha?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah 1. Untuk mengetahui prosedur pemberian bantuan modal usaha

2. Untuk mengetahui bentuk perjanjian pemberian bantuan modal usaha

3. Untuk mengetahui bentuk wanprestasi dan penyelesaiannya dalam pemberian bantuan modal usaha

(18)

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep keilmuan yang pada gilirannya dapat memberikan andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum perdata dan dagang, khususnya dalam hal pemberian bantuan modal usaha.

2. Secara praktis diharapkan agar tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi para pembuat kebijakan maupun pihak legislatif guna melengkapi peraturan perundang-undangan yang masih diperlukan.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul TINJAUAN HUKUM PEMBERIAN BANTUAN MODAL USAHA MENURUT SISTEM BAPAK ANGKAT DI PTPN II (PERSERO)

TANJUNG MORAWA, belum pernah ada yang melakukan penelitian ini

(19)

E. Tinjauan Pustaka

Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata yang berbunyi pinjam-meminjam adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.

Asser Kleyn mengatakan definisi ini tidak tepat. Kalimat “barang yang menghabis karena pemakaian (verbruitbare zaken)” seharusnya disebut “barang yang dapat diganti (vervangbare zaken)”. Dengan demikian ketentuan itu berbunyi “perjanjian pinjam-meminjam mengganti adalah persetujuan dengan mana pihak kesatu “memberikan” kepada pihak lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang dapat diganti dan seterusnya”.5

Subekti mengatakan “dapat juga terjadi bahwa barang yang menghabis karena pemakaian, diberikan dalam pinjam pakai, yaitu jika dikandung maksud bahwa ia hanya akan dipakai sebagai pajangan atau pameran”.6

Mariam Darus Badrulzaman menyimpulkan bahwa perjanjian pinjaman uang menurut Bab XIII KUH Perdata adalah bersifat riil, jika dilihat dari isi Pasal 1754 KUH Perdata yaitu dari kata “memberikan”. Apabila dua pihak telah mufakat mengenai semua unsur-unsur dalam perjanjian pinjam mengganti, maka tidak berarti bahwa perjanjian tentang pinjam mengganti itu telah terjadi. Yang terjadi baru hanya perjanjian untuk mengadakan perjanjian pinjam-meminjam. Apabila uang diserahkan kepada pihak peminjam lahirlah perjanjian pinjam mengganti dalam pengertian undang-undang menurut Bab XIII KUH Perdata.7

5

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 25.

(20)

Demikian juga menurut apa yang dikatakan oeh Wirjono Prodjodikoro bahwa perjanjian pinjam uang bersifat riil, tersimpul dari kalimat “pihak kesatu menyerahkan uang itu kepada pihak lain” dan bukan “mengakibatkan diri untuk menyerahkan uang”.8

Sistem Bapak Angkat Mitra Usaha adalah hubungan keterkaitan antara perusahaan besar/menengah (sektor produksi atau jasa) dengan industri kecil atas asas saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan, yang merupakan sistem pengejawantahan asas kekeluargaan dari Pasal 33 UUD 1945.

Sistem keterkaitan Bapak Angkat dengan Anak Angkat adalah salah satu wujud nyata kepedulian pengusaha besar untuk membantu para pengusaha kecil/industri kecil agar mereka dapat mandiri dan tumbuh menjadi besar. Dalam hal ini, para pengusaha besar sebagai Bapak Angkat membantu pengusaha kecil dalam bidang permodalan, manajemen, promosi dan pemasaran hasil produksinya.

9

8

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1974, hal. 138.

9 Trisura Suhardi, Dialog Kemitraan dan Keterkaitan Usaha Besar dan Kecil dalam

Sektor Industri Pengolahan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hal. 95.

F. Metode Penelitian

(21)

Adapun metode yang dilakukan adalah: 1. Library Research (penelitian kepustakaan)

Dalam hal metode pengumpulan data melalui library reserach ini maka penulis melakukannya dari berbagai sumber bacaan yang berhubungan dengan judul pembahasan, baik itu dari literatur ilmiah, majalah maupun media massa dan perundang-undangan.

2. Field Research (penelitian lapangan)

Metode pengumpulan data dengan cara penelitian lapangan ini dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap pihak PT. Perkebunan Nusantara II (Persero).

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi atas 5 (lima) bab, di mana masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab. Urutan bab tersebut tersusun secara sistematis dan saling berkaitan satu sama lain. Uraian singkat atas bab-bab dan sub bab tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

(22)

BAB II : GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM

Bab ini berisi tentang gambaran umum tentang pengertian perjanjian pinjam-meminjam, peminjaman dengan bunga, jaminan dalam pinjam-meminjam, serta hak dan kewajiban para pihak.

BAB III : TANGGUNG JAWAB PT. NUSANTARA II (Persero) TANJUNG MORAWA MENYALURKAN SEBAGIAN KEUNTUNGANNYA KEPADA PENGUSAHA EKONOMI LEMAH

Bab ini menguraikan tentang PT. Perkebunan Nusantara II (Persero) Tanjung Morawa, landasan hukum pemberian pinjaman, peranan PT. Perkebunan Nusantara II (Persero) Tanjung Morawa meningkatkan ekonomi rakyat sebagai bapak angkat, hubungan dalam pemberian bantuan modal usaha, dan bentuk pembinaan yang dilakukan Bapak Angkat. BAB IV : TINJAUAN HUKUM PEMBERIAN BANTUAN MODAL

USAHA DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II (Persero) TANJUNG MORAWA

(23)

penyelesaiannya, dan berakhirnya perjanjian pemberian bantuan modal usaha.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

(24)

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM

A. Pengertian Pinjam Meminjam

Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata yang berbunyi pinjam-meminjam adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.

Asser Kleyn mengatakan definisi ini tidak tepat. Kalimat “barang yang menghabis karena pemakaian (verbruitbare zaken)” seharusnya disebut “barang yang dapat diganti (vervangbare zaken)”. Dengan demikian ketentuan itu berbunyi “perjanjian pinjam-meminjam mengganti adalah persetujuan dengan mana pihak kesatu “memberikan” kepada pihak lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang dapat diganti dan seterusnya”.10

10 Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hal. 25.

Bahwa perjanjian peminjaman bersifat riil, tersimpul dari kalimat “pihak kesatu menyerahkan uang itu kepada pihak lain” dan bukan “mengikatkan diri” untuk menyerahkan pinjaman.

(25)

Apabila dua pihak telah sepakat mengenai semua unsur-unsur dalam perjanjian pinjam mengganti, maka tidak serta merta bahwa perjanjian tentang pinjam mengganti itu telah terjadi, yang terjadi baru hanya perjanjian untuk mengadakan perjanjian pinjam mengganti.

Untuk tidak menimbulkan kekeliruan terhadap perjanjian pinjam-meminjam ini, maka harus dibedakan dari perjanjian pinjam pakai. Beberapa kriteria yang membedakan antara lain:

1. Pada persetujuan pinjam-meminjam, obyek persetujuan boleh berupa barang yang menghabis dalam pemakaian yang dapat diganti dengan barang yang sejenis. Sedang pada perjanjian pinjam pakai obyek persetujuan tidak boleh berupa barang yang habis terpakai. Maka konsekuensinya pada persetujuan pinjam-meminjam, pengembalian barang boleh dilakukan dengan barang yang sejenis, keadaan dan jumlahnya, sedang pada pinjam pakai pengembalian barang kepada pihak yang meminjamkan harus dalam keadaan innatura.

2. Pada perjanjian pinjam-meminjam, resiko kerugian dan musnahnya barang yang dipinjam, sepenuhnya menjadi beban pihak peminjam. Sedang pada pinjam pakai, resiko musnahnya barang sepenuhnya berada pada pihak yang meminjamkan.

(26)

4. Pada pinjam-meminjam, barang yang dipinjam langsung menjadi milik si peminjam, terhitung sejak saat penyerahan. Sedang pada pinjam pakai, barang yang dipinjam hanya untuk dipakai saja, sedang hak milik tetap dipegang oleh pihak yang meminjam.

Walaupun di dalam definisi yang diberikan Pasal 1754 KUH Perdata tidak disebutkan tentang uang, tetapi melihat kriteria perbedaan di atas, maka uang sebagai obyek perjanjian adalah termasuk dalam perjanjian pinjam-meminjam atau perjanjian hutang-pihutang dan bukan perjanjian pinjam pakai.

Subekti mengatakan “dapat juga terjadi bahwa barang yang menghabis karena pemakaian, diberikan dalam pinjam pakai, yaitu jika dikandung maksud bahwa ia hanya akan dipakai sebagai pajangan atau pameran”.11

Pada waktu pengembalian, haruslah dengan barang lain dalam jumlah, jenis dan keadaan yang sama. Apabila pengembalian ditukar dengan barang lain Pada prinsipnya obyek persetujuan ini adalah segala barang pada umumnya. Tetapi bila ditinjau dari pengertian yang disebutkan Pasal 1754 KUH Perdata di atas, maka obyek utama dari persetujuan ini adalah barang yang dapat habis dalam pemakaian ataupun barang yang dapat diganti dengan keadaan dan jenis yang sama maupun berupa uang.

Barang-barang yang dipinjamkan, haruslah dalam jumlah tertentu. Dalam hal peminjaman uang, maka hutang yang terjadi karena peminjaman hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam persetujuan (Pasal 1756 KUH Perdata).

(27)

yang bukan sejenis, maka persetujuan demikian bukan lagi persetujuan pinjam barang yang habis dalam pemakaian/pinjaman uang. Tetapi persetujuan seperti itu sudah termasuk ruang lingkup bentuk persetujuan “tukar-menukar”.

Peminjaman uang termasuk pada persetujuan peminjaman pada umumnya. Oleh karena itu, segala ketentuan yang berkaitan dengan persetujuan pinjam-meminjam barang yang habis terpakai, berlaku juga terhadap persetujuan peminjaman uang.12

Mariam Darus Badrulzaman menyimpulkan bahwa perjanjian pinjaman uang menurut Bab XIII KUH Perdata adalah bersifat riil, jika dilihat dari isi Pasal 1754 KUH Perdata yaitu dari kata “memberikan”. Apabila dua pihak telah mufakat mengenai semua unsur-unsur dalam perjanjian pinjam mengganti, maka tidak berarti bahwa perjanjian tentang pinjam mengganti itu telah terjadi. Yang terjadi baru hanya perjanjian untuk mengadakan perjanjian pinjam-meminjam. Apabila uang diserahkan kepada pihak peminjam lahirlah perjanjian pinjam mengganti dalam pengertian undang-undang menurut Bab XIII KUH Perdata.

Perjanjian pinjam uang menurut Bab XIII Buku III KUH Perdata mempunyai sifat riil. Artinya perjanjian ini baru terjadi setelah ada penyerahan. Selama benda (uang) yang diperjanjikan belum diserahkan, maka belumlah dikatakan perjanjian pinjaman uang menurut Bab XIII KUH Perdata.

13

Demikian juga menurut apa yang dikatakan oeh Wirjono Prodjodikoro bahwa perjanjian pinjam uang bersifat riil, tersimpul dari kalimat “pihak kesatu menyerahkan uang itu kepada pihak lain” dan bukan “mengakibatkan diri untuk menyerahkan uang”.14

12 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 302. 13 Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hal. 26.

(28)

Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam uang (hutang-pihutang), maka pihak penerima pinjaman (debitur) menjadi pemilik dari barang/uang yang dipinjamnya dan apabila barang itu musnah bagaimanapun juga, maka hal itu merupakan tanggung jawabnya (Pasal 1755 KUH Perdata).

Dalam peminjaman uang, hutang yang terjadi karenanya hanyalah terdiri atas sejumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian. Jika sebelum saat pelunasan terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga (nilai) atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang, maka pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada waktu pelunasan, dihitung menurut harga (nilainya) yang berlaku pada saat itu (Pasal 1756 KUH Perdata). Dengan demikian maka untuk menetapkan jumlah uang yang terhutang, haruslah berdasarkan pada jumlah yang disebutkan dalam perjanjian, sedangkan yang harus dikembalikan si peminjam ialah jumlah nominal dari pinjaman. Jadi seluruh jumlah nominal pinjamanlah yang harus dikembalikan oleh si peminjam.

Bertitik tolak dari pengertian dia atas, maka dapatlah dikatakan bahwa dalam hal hutang-pihutang atau pinjam-meminjam uang, previlige (tagihan-tagihan yang bersifat diistimewakan) dan juga mengenai ganti rugi adalah wajib dibayarkan oleh debitur sebagaimana perjanjian kredit yang dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak.

(29)

1. Berlakunya sebagai undang-undang

Perjanjian pinjam-meminjam berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, artinya mereka harus mematuhi perjanjian itu sama dengan mematuhi undang-undang. Oleh karena itu barang siapa melanggar perjanjian maka ia akan mendapat hukuman seperti yang ditetapkan dalam undang-undang.

Menurut undang-undang, pihak yang melanggar perjanjian harus membayar ganti kerugian (Pasal 1234 KUH Perdata), perjanjiannya dapat diputuskan/ontbinding (Pasal 1266 KUH Perdata), membayar biaya perkara itu jika sampai diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 HIR).

Sebagai konsekuensi dari perjanjian pinjam-meminjam yang berlaku sebagai undang-undang tadi, maka para pihak harus memikul kewajibannya masing-masing.

2. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak

Oleh karena perjanjian pinjam-meminjam yang dibuat secara sah adalah mengikat atau berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, maka akibatnya lahirlah ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Jika ingin menarik kembali, atau membatalkan perjanjian itu harus memperoleh persetujuan dari pihak lainnya.

(30)

Dengan kepercayaan ini, kedua belah pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

Sesuai perjanjian seperti halnya perjanjian pinjam-meminjam dapat ditarik kembali atau dibatalkan, asalkan sepakat kedua belah pihak dalam hal itu.

3. Pelaksanaan dengan itikad bak

Itikad baik di sini adalah bahwa perjanjian itu harus dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

Menurut Pasal 1339 KUH Perdata, perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

B. Peminjaman dengan Bunga

Pasal 1765 KUH Perdata menagatakan adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang atau barang lain yang menghabis karena pemakainya. Bunga yang diperjanjikan dalam persetujuan itu boleh melampaui bunga menurut undang-undang, dalam segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang (Pasal 1767 ayat (2) KUH Perdata).

(31)

Dalam pinjam-meminjam yang menjanjikan bunga tidak terlepas dari faktor itikad baik. Faktor ini memberikan penilaian terhadap kejujuran sikap para pihak dalam melaksanakan perjanjian. Hal ini berhubungan dengan apa yang dikatakan oleh H. Ruhulessin yaitu

“Karena asas kebebasan berkontrak ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada debitur, maka sudah sewajarnya bila kreditur (pihak yang meminjamkan) memberikan bunga pinjam yang seringan-ringannya. Dengan demikian sebagai alat atau dasar dalam menetapkan bunga yang tinggi. Itulah sebabnya asas kebebasan berkontrak ini perlu diiringi dengan itikad baik, supaya pihak yang meminjamkan tidak seenaknya saja melakukan kehendak atau perbuatan yang merugikan peminjam.”15

Namun demikian kebebasan tersebut tidak berarti bebas sebebas-bebasnya, tetapi haruslah tidak merugikan kepentingan umum dan tidak menyalahi aturan yang ada. Apabila kedua pihak tidak menentukan lain di dalam perjanjiannya, Sedapat mungkin pengenaan bunga yang terlalu tinggi sangat dihindarkan karena hal tersebut sangat bertentangan dengan Pancasila sebagai falsafah negara dan sifat gotong royong masyarakat Indonesia.

Suatu perjanjian yang tunduk kepada KUH Perdata menganut asas kebebasan berkontrak, seperti yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Artinya asas ini memberikan kebebasan bagi para pihak yang mengadakan perjanjian untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-undang bila mereka menghendakinya yaitu dengan membuat ketentuan-ketentua khusus di dalam perjanjian yang mereka sepakati.

15 H. Ruhulessin, Segenggam mengenai Pinjam Meminjam dengan Bunga yang

(32)

maka berlakulah ketentuan-ketentuan ynag terdapat dalam KUH Perdata bagi perjanjian mereka.

Salah satu masalah yang mempunyai hubungan dengan asas kebebasan berkonrak ini adalah tentang bunga yang diperjanjikan dalam hal pinjam-meminjam uang. Kedua pihak yang bersepakat bebas menentukan besarnya bunga sesuai dengan keinginan dan kesepakatan mereka (Pasal 1765 KUH Perdata).

Karena itu dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pinjaman uang adalah persetujuan yang berbentuk bebas, sehingga tidak jarang yang kuat ekonominya mengambil kesempatan untuk menekan yang lemah dengan menentukan bunga yang tinggi mengingat posisinya yang diperlukan si lemah.

Dan oleh karena itulah undang-undang yang ada sangat melindungi kepentingan umum, terutama kepentingan kreditur dan debitur sendiri. Jangan sampai ada salah satu yang dirugikan karena adanya kesepakatan mereka.

KUH Perdata di dalam Pasal 1767 ayat (2) KUH Perdata menyatakan bahwa besarnya bunga yang diperjanjikan mesti dinyatakan secara tertulis.

Dari kesimpulan di atas, M. Yahya Harahap menyimpulkan:

“Maka setiap bunga yang tidak tertulis harus dianggap tidak sah, sehingga apabila besarnya bunga yang diperjanjikan tidak dituangkan dalam bentuk tertulis, terhadap bunga tersebut hanya dapat diterapkan ketentuan Pasal 1768 KUH Perdata, secara analogi:

1. Kalau besarnya bunga tidak ditegaskan dalam bentuk tertulis, maka bunga yang dapat diminta hanyalah bunga undang-undang atau moratorium interesse yakni sebesar 6% pertahun.

2. Atau bunga yang hanya diperjanjika dengan lisan atau sama sekali bunga tidak ada diperjanjikan, dalam hal inipun bunga yang dapat diminta hanyalah moratorium interesse.16

(33)

Hal yang perlu diketahui dalam perjanjian pinjam-meminjam uang dengan bunga adalah bahwa yang telah menerima pinjaman membayar bunga yang tidak diperjanjikan sebelumnya, maka ia tidak boleh menuntut kembali pembayaran itu atau mengurangi jumlah pokok, kecuali apabila bunga yang dibayar itu melebihi bunga menurut undang-undang, maka uang yang kelebihan itu dapat dituntut kembali atau dikurangkan dari jumlah pokok (Pasal 1766 ayat (1) KUH Perdata).

Kesilapan pembayaran bunga yang tidak diperjanjikan tidak wajib diteruskan pembayarannya, tetapi setiap bunga yang diperjanjikan dibayar oleh si peminjam (Pasal 1766 ayat (2) KUH Perdata).

C. Jaminan dalam Pinjam Meminjam

Dalam hal pinjam-meminjam, pihak yang meminjamkan (kreditur) tentunya sangat mengharapkan ia akan memperoleh pelunasan dari debitur pada waktu yang telah ditentukan.

Untuk menjamin kepastian dari pengharapannya itu, maka pada Pasal 1131 KUH Perdata telah ditegaskan, segala kebendaan si berhutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.

(34)

lain, jaminan itu juga berlaku untuk beberapa orang kreditur. Maka tidak jarang dalam setiap perjanjian pinjam-meminjam uang si kreditur menginginkan agar si debitur menyatakan dengan tegas dan sungguh-sungguh akan kesanggupannya mengembalikan pinjaman tersebut. Malah sering terjadi atas pinjam-meminjam itu terlibat pihak ketiga yang berfungsi sebagai penjamin yang menjamin bahwa debitur akan melunasi pinjamannya.

Tentang hal ini Pasal 1824 KUH Perdata menentukan bahwa penanggungan seperti ini harus dinyatakan secara tegas dan tidak boleh dipersangkakan, namun walaupun demikian pernyataan secara tegas tersebut tidak harus tertulis tetapi boleh secara lisan.

(35)

Tegasnya, apabila seorang penjamin (penanggung) dituntut untuk membayar hutang-hutang debitur yang ditanggung olehnya, ia berhak untuk menuntut supaya dilakukan sita terhadap barang-barang si debitur terlebih dahulu.

Si penjamin (penanggung) yang telah membayar hutang-hutang debitur dapat menuntut kembali pembayaran itu dari debitur (yang ditanggungnya). Penuntutan kembali ini dilakukan terhadap hutang pokok ataupun bunga serta biaya-biayanya. Juga ia berhak untuk menuntut atas penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu (Pasal 1839 KUH Perdata).

Selain menyertakan pihak ketiga sebagai penjamin untuk kelancaran pembayaran hutangnya debitur juga dapat menunjuk sejumlah barang bergerak tertentu sebagai jaminan pembayaran itu. Dalam KUH Perdata hal ini disebut dengan gadai. Menurut Pasal 1150 KUH Perdata, gadai ialah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpihutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berhutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan memberikan kekuasaan kepada si berpihutang untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari orang-orang yang berpihutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang-barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

(36)

tidak sah. Selanjutnya kreditur berhak didahulukan pelunasan pihutangnya dari hasil penjualan barang gadai itu daripada kreditur lainnya. Dengan demikian hal ini merupakan prioritas bagi kreditur, kecuali biaya yang telah dikeluarkan untuk melelang ataupun menyelamatkan barang gadai itu.

Undang-undang tidak membenarkan bahwa setelah debitur tidak melunasi hutangnya maka barang gadai berada pada kreditur, tetapi barang gadai itu harus dijual di tempat penjualan umum (lelang). Segala janji yang bertentangan dengan pasal itu adalah batal menurut hukum (Pasal 1154 KUH Perdata).

Selain barang-barang bergerak yang dapat dijadikan sebagai jaminan hutang, debitur juga dapat menyerahkan barang-barang yang tidak bergerak. Jaminan seperti inilah yang disebut dengan hipotik. Menurut Pasal 1162 KUH Perdata, hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya pelunasan suatu perikatan.

Suatu perjanjian untuk mengadakan hipotik, seperti juga dengan perjanjian-perjanjian jaminan pada umumnya, merupakan suatu perjanjian

acessoir dan harus diadakan dengan akta otentik (notaris), sedangkan yang dapat

dibebani dengan hipotik adalah benda-benda tidak bergerak.

Suatu hal yang penting dan yang membuat hipotik itu kuat adalah sifatnya yang melekat yang ditegaskan dalam Pasal 1198 KUH Perdata.

(37)

Pasal 1178 KUH Perdata melarang kreditur (pemegang hipotik) untuk memiliki benda yang dihipotikkan dan segala janji-janji yang seperti itu adalah batal demi hukum. Akan tetapi apakah kreditur berhak membeli barang hipotik itu?

Dalam hubungan ini Subekti berpendapat

“Menurut pendapat kami, ini diperbolehkan, karena membeli sesuatu berdasarkan suatu persetujuan yang pada umumnya menolong debitur, yaitu dalam halnya persil atau tanah yang dihipotikkan itu sukar dijual pada suatu pelelangan umum. Yang dilarang oleh undang-undang adalah suatu tindakan dari kreditur yang secara otomatis memiliki barang-barang jaminan secara langsung.”17

17 Subekti (Subekti II), Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum

Indonesia, Alumni, Bandung, 1986, hal. 56.

D. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Lazimnya suatu perjanjian adalah bertimbal balik. Artinya, suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu, juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak-hak yang diperolehnya dan sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh hak-hak yang dianggap sebagai kebalikan dari kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya itu. Demikian juga dalam perjanjian pinjam-meminjam ini.

1. Kewajiban Orang yang Meminjam

(38)

Orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya sebelum lewat waktu apa yang ditentukan dalam perjanjian (Pasal 1759 KUH Perdata).

Jika tidak telah ditetapkan sesuatu waktu hakim berkuasa apabila orang yang meminjamkan menuntut pengembalian pinjamannya, menurut keadaan, memberikan sekedar kelonggaran kepada si peminjam (Pasal 1760 KUH Perdata).

Kelonggaran tersebut, apabila diberikan oleh hakim, akan dicantumkan dalam putusan yang menghukum si peminjam untuk membayar pinjamannya, dengan menetapkan suatu tanggal dilakukannya pembayarn itu. Penghukuman membayar bunga moratoir juga ditetapkan mulai tanggal tersebut dan tidak mulai dimasukkannya surat gugatan.

Kalau orang yang meminjamkan, sebelum menggugat di muka hakim, sudah memberikan waktu secukupnya kepada si peminjam, maka tidak pada tempatnya lagi kalau hakim masih juga memberikan pengunduran. Jika perjanjian pinjam uang itu dibuat dengan akta otentik (notaris), maka jika diminta oleh penggugat, hakim harus menyatakan putusannya dapat dijatuhkan lebih dahulu meskipun ada permohonan banding atau kasasi.18

18 Subekti I, op.cit, hal. 127.

(39)

2. Kewajiban Peminjam

Tentang kewajiban peminjam hanya diatur dalam 2 (dua) pasal, yaitu Pasal 1763 dan Pasal 1764 KUH Perdata). Kewajiban utama dari pihak peminjam adalah mengembalikan pinjaman kepada pihak yang meminjamkan pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Kewajiban ini diatur dalam Pasal 1763 KUH Perdata yang menyatakan bahwa siapa yang menerima pinjaman sesuai diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama, dan pada waktu yang ditentukan.

Pada dasarnya kewajiban peminjam yang tercantum dalam Pasal 1763 KUH Perdata seperti yang tersebut di atas merupakan penggolongan atau penegasan kembali dari Pasal 1754 KUH Perdata.

Tentang jumlah dan keadaan yang sama, M. Yahya Harahap menulis “Menurut hemat kita yang dimaksud dengan pengertian serupa jenis dan keadaannya ialah barang serupa jenis dan kualitasnya karena itu barang/uang yang serupa jenis dan kualitasnya itulah yang dimaksud dengan serupa jenis dan keadaannya, sama artinya misalnya pengembalian beras yang serupa jenis dan kualitasnya.”19

Dalam hal ini diperhatikan pada waktu dan tempat di mana barangnya harus dikembalikan, sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Seandainya waktu dan

Pasal 1764 KUH Perdata menentukan bahwa bila pihak peminjam tidak mungkin lagi untuk mengembalikan barag dari macam dan keadaan yang sama dengan barang yang dipinjam semula maka ia diperbolehkan untuk membayar harga nilai barang tersebut dengan uang.

(40)

tempat ini tidak ditetapkan dalam perjanjian maka harus diperhatikan atau diambil harga barang pada waktu dan tempat di mana diterima pinjaman telah terjadi.

(41)

BAB III

TANGGUNG JAWAB PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II (PERSERO)

TANJUNG MORAWA MENYALURKAN SEBAGIAN

KEUNTUNGANNYA KEPADA PENGUSAHA EKONOMI LEMAH DAN

KOPERASI

A. Sekilas tentang PTPN II (Persero) Tanjung Morawa

PTPN II (Persero) merupakan salah satu perusahaan BUMN yang bergerak di sektor pertanian sub sektor perkebunan. PTPN II (Persero) berasal dari penggabungan antara PT. Perkebunan II (Persero) dengan PT. Perkebunan IX (Persero) sesuai Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1996 yang kemudian didirikan berdasarkan akta notaris No. 35 yang dibuat oleh Harun Kamil, S.H, yang telah mengalami beberapa kali perubahan terakhir dengan akta notaris No. 33 tanggal 13 Agustus 2008 yang dibuat oleh N. M. Dipo Nusantara PUA UPA, S.H., Notaris di Jakarta.

Berdasarkan Peraturan Menteri BUMN No. PER-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Bina Lingkungan menyatakan bahwa perusahaan BUMN wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).

(42)

Maksud dan tujuan dari adanya PKBL adalah untuk turut aktif untuk memberikan bimbingan dan bantuan kepada usaha ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat khususnya yang berada di sekitar lingkungan perusahaan.

PKBL lahir dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatann (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero), Menteri Keuangan menerbitkan Surat Keputusan No. 1232/KMK.013/1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi (Program Pegelkop) melalui BUMN yang dananya berasal dari penyisihan laba setelah pajak sebesar 1%-5%. Kemudian pada tahun 1994 Menteri Keuangan melalui Surat Keputusan No. 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi memutuskan mengubah nama program menjadi Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK).

Memperhatikan perkembangan ekonomi dan kebutuhan masyarakat, pedoman pembinaan usaha kecil tersebut telah beberapa kali mengalami perubahan sebagai berikut:

1. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN/Kepala Badan Pembinaan BUMN No. Kep-216/M-PBUMN/1999 tanggal 28 September 1999 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan

(43)

3. Peraturan Menteri Negara BUMN No. Per-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan

Program kemitraan sendiri dapat diartikan sebagai program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN dalam bentuk pinjaman modal kerja/investasi, pinjaman khusus dan beban pembinaan.

B. Landasan Hukum Pemberian Jaminan

Dalam pengembangan usaha, aspek permodalan memang merupakan salah satu kendala dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh para pengusaha kecil. Walaupun demikian kendala lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah teknis produksi dan kemampuan pemasaran serta manajemen, juga masih perlu diperhatikan. Bagi perbankan sendiri, masalah manajemen seringkali membuat mereka menjadi ragu untuk memberikan fasilitas kredit kepada pengusaha kecil.

Untuk itu diperlukan terobosan-terobosan untuk memperbaiki keadaan tersebut. Karena pembangunan ekonomi akan berjalan baik, bila ketenangan sosial dan politik terjamin. Ketenangan sosial dan politik hanya akan tercapai atau dapat dipertahankan, apabila berkembangnya perusahaan-perusahaan besar diikuti berkembangnya pengusaha menengah kecil.

(44)

manusianya (SDM-nya). Peningkatan kualitas SDM ini dapat melalui pemantapan jiwa dan semangat kewiraswastaan, serta peningkatan profesionalisme dan keterampilan teknis usahanya.

Masalah lain yang juga perlu ditumbuhkan dalam rangka mengangkat citra pengusaha menengah kecil adalah masalah “Kemitraan Usaha” antara yang besar, menengah dan yang kecil. Diharapkan melalui kemitraan ini akan dapat mendorong lebih cepat pengusaha menengah kecil masuk dalam jajaran pebisnis atas, sehingga akan lebih berperan dalam perekonomian nasional yang selama ini belum pernah diperhitungkan.

Berkaitan dengan kebijaksanaan dan peraturan pemerintah yang dapat memperluas peluang usaha, telah dikeluarkan beberapa peraturan. Sebagai landasan kebijaksanaan untuk memperluas lapangan usaha dapat terlihat dari GBHN 1998 yang mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengembangkan kerja sama yang sehat di antara pengusaha besar, menengah dan kecil. Di samping itu tersirat dengan jelas ketetapan MPR No. I/MPR/1993 tentang GBHN mengenai arah pembangunan jangka panjang tahap kedua. Di dalam ketetapan itu, antara lain menetapkan pertumbuhan ekonomi harus diarahkan. Hal ini untuk mendapatkan peningkatan pendapatan masyarakat secara merata, serta mengatasi ketimpangan ekonomi serta kesenjangan sosial.

(45)

1984 tentang Perindustrian. Di dalam Pasal 10 disebutkan bahwa pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan bagi:

1. Keterkaitan antara bidang-bidang usaha industri untuk meningkatkan nilai tambah serta sumbangan yang lebih besar bagi pertumbuhan produksi nasional.

2. Keterkaitan antara usah industri dengan sektor-sektor bidang ekonomi lainnya, meningkatkan nilai tamabah serta sumbangan yang lebih besar bagi pertumbuhan produksi nasional.

3. Pertumbuhan industri melalui prakarsa, peran serta dan swadaya masyarakat.

Pola keterkaitan sistem Bapak Angkat ini nampaknya akan terus dikembangkan. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Presiden Soeharto ketika menyerahkan penghargaan Upakarti tanggal 16 Desember 1989 yang lalu, bahwa sistem Bapak Angkat yang semula dikembangkan dalam lingkungan BUMN akan terus dikembangkan dan ditingkatkan, sehingga mencakup pula usaha-usaha swasta.

Pembinaan Pengusaha Golongan Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui BUMN dilaksanakan berdasarkan himbauan pemerintah tentang Bapak Angkat, yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1232/KMK.013/1989 tanggal 11 November 1989.

(46)

Kemudian diubah lagi dengan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 60/KMK.016/1996 tanggal 9 Februari 1996 tentang perubahan isi Pasal 3 dari Keputusan Menteri Keuangan sebelumnya. Pada Pasal 3 yang ini disebutkan dana yang dipergunakan untuk pembinaan usaha kecil dan koperasi ini berasal dari:

1. Bagian pemerintah atas laba BUMN sebesar antara 1%-3 % dari seluruh laba perusahaan setelah pajak.

2. Pengembalian pinjaman dan bunga dari mitra binaan.

3. Hasil bunga yang berasal dari penempatan dana pembinaan yang belum tersalurkan.

Untuk mendukung semua kegiatan ini, pemerintah mengeluarkan UU No. 20 Tahun 2008. Di dalam Pasal 5 disebutkan bahwa Pemberdayaan Usaha Kecil bertujuan:

1. Mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan;

2. Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan

3. Meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.

(47)

Direktur Jenderal Pembinaan Pengusaha Kecil Departemen Koperasi dan PPK Nomor KEP.1515/BU/1994 tanggal 14 Oktober 1994 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui Pemanfaatan Dana dari BUMN.

Pada Pasal 1 disebutkan Tujuan Keputusan Bersama ini adalah:

1. Untuk lebih mengefektifkan pengeluaran dana pelaksanaan pembinaan oleh BUMN kepada Usaha Kecil dan Koperasi.

2. Untuk meningkatkan koordinasi dalam pelaksanaan pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. 3. Mewujudkan Usaha Kecil dan Koperasi yang mandiri dan tangguh.

4. Mewujudkan hubungan kemitraan antara BUMN dengan Usaha Kecil dan Koperasi.

Inilah yang menjadi landasan hukum pemberian bantuan modal kepada pengusaha golongan ekonomi lemah dan koperasi. Dalam pelaksanaannya telah banyak kelompok usaha kecil dan koperasi serta pengusaha ekonomi lemah yang menjadi mitra binaan dari PTPN II (Persero) Tanjung Morawa.

C. Peranan PTPN II (Persero) Meningkatkan Ekonomi Rakyat sebagai

Bapak Angkat

(48)

dalam bidang permodalan, manajemen, promosi dan pemasaran hasil produksinya.

Sistem Bapak Angkat Mitra Usaha adalah hubungan keterkaitan antara perusahaan besar/menengah (sektor produksi atau jasa) dengan industri kecil atas asas saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan, yang merupakan sistem pengejawantahan asas kekeluargaan dari Pasal 33 UUD 1945.20

20 Trisura Suhardi, op.cit, hal. 95.

Menurut Pasal 1 ayat (13) UU No. 9 Tahun 1995 disebutkan bahwa kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar.

(49)

Keterkaitan usaha antara perilaku ekonomi, yaitu koperasi, BUMN dan swasta sudah merupakan tekad nasional dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia, terutama dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap II yang diharapkan mengantarkan kepada tercapainya Demokrasi Ekonomi Pancasila. Oleh karena itu peranan pemerintah dikatakan perlu untuk menetapkan instrumen kebijaksanaan dan mekanisme tepat yang dapat menjamin kelangsungan kemitraan antara pengusaha yang besar, menengah dan kecil.

Proses kemitraan usaha ini harus sebagai proses jangka panjang, di mana masing-masing pihak yaitu BUMN, koperasi dan swasta memiliki kemampuan yang seimbang dan komplementer, sehingga kerja sama yang terjadi dapat dilakukan atas dasar kebutuhan nyata dari pihak yang bersangkutan dan saling menghormati serta menghargai. Dengan demikian melalui sistem keterkaitan dan kemitraan dari segi ekonomi maupun sosial dalam memperkuat struktur industri dan ekonomi sosial.

Menurut Pasal 26 UU No. 20 Tahun 2008 disebutkan bahwa kemitraan dilaksanakan dengan pola:

1. Inti Plasma

(50)

2. Subkontrak

Pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya.

3. Waralaba

Pola waralaba adalah hubungan kemitraan, yang di dalamnya pemberi waralaba memberikan hak lisensi, merek dagang dan saluran distribusi perusahaan kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen.

4. Perdagangan Umum

Pola dagang umum adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya.

5. Distribusi dan Keagenan

Pola keagenan adalah hubungan kemitraan, yang di dalamnya Usaha Kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya.

(51)

berkembang, tetapi belum dibakukan, atau pola baru yang akan timbul di masa yang akan datang.

Sistem keterkaitan yang dilakukan saat ini antara PTPN II (Persero) dengan DEWI PERABOT adalah pola keterkaitan pembinaan. PTPN II (Persero) sebagai Bapak Angkat adalah perusahaan negara yang bergerak dalam bidang agribisnis yang berbasis perkebunan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan usaha DEWI PERABOT yang bergerak dalam bidang pembuatan perabot rumah tangga (furniture). Akan tetapi oleh karena adanya himbauan pemerintah tentang Program Bapak Angkat yang dapat dibina untuk dikembangkan. Setelah diadakan studi kelayakan maka usaha DEWI PERABOT yang terletak di desa Buntu Bedimbar Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu usaha yang dipilih oleh PTPN II (Persero) Tanjung Morawa untuk menjadi mitra binaan.

D. Hubungan dalam Pemberian Bantuan Pinjaman

(52)

memerlukan mitra usahanya hanya apabila diperlukan saja dan sewaktu-waktu dapat diganti.

Sistem pembinaan mitra usaha adalah hubungan keterkaitan antara perusahaan besar/menegah (sektor produksi atau jasa) dengan industri kecil atas asas saling menguntungkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan, yang merupakan suatu pengejawantahan asas kekeluargaan dari Pasal 33 UUD 1945.

Keterkaitan usaha di antara pelaku usaha ekonomi yaitu koperasi, BUMN dan swasta merupakan tekad nasional dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia, terutama dalam pembangunan jangka panjang tahap kedua yang diharapkan dapat mengantarkan kepada tercapainya Demokrasi Ekonomi Pancasila. Oleh karena itu peranan pemerintah dikatakan perlu untuk menetapkan instrumen kebijaksanaan dan mekanisme tepat yang dapat menjamin kelangsungan kemitraan.

Pelaksanaan hubungan kemitraan sebagaimana dimaksud diupayakan ke arah terwujudnya keterkaitan usaha antara usaha kecil dengan usaha besar dalam melaksanakan hubungan kemitraan maupun yang tidak memiliki keterkaitan usaha.

Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan dan pengembangan dalam salah satu atau lebih bidang produksi, serta pengolahan, pemasaran, permodalan. SDM dan teknologi.

(53)

yang seimbang dan selaras sehingga kerja sama yang terjadi dapat dilakukan atas dasar kebutuhan nyata dari pihak yang bersangkutan dan saling menghormati.

Hubungan kemitraan ini dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya mengatur bentuk dan ruang lingkup kegiatan usaha kemitraan, hak dan kewajiban masing-masing pihak, serta bentuk pembinaan dan pengembangan.

E. Bentuk Pembinaan yang Dilakukan Bapak Angkat

PTPN II (Persero) sebagai Bapak Angkat di dalam melakukan pembinaan terhadap pengusaha ekonomi lemah dan koperasi adalah berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1232/KMK.013/1989 tanggal 11 November 1989.

Selanjutnya untuk mendukung Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas dalam rangka melaksanakan pembinaan terhadap pengusaha ekonomi lemah dan koperasi di PTPN II (Persero) yang dalam hal ini sebagai Bapak Angkat maka dikeluarkan Peraturan Menteri BUMN No. PER-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Bina Lingkungan.

(54)

Atas dasar inilah PTPN II (Persero) sebagai Bapak Angkat memberikan pembinaan-pembinaan yang bertujuan untuk meningkatkan usaha dari pengusaha ekonomi lemah (industri kecil) menjadi pengusaha yang mandiri.

Adapun bentuk-bentuk pembinaan yang telah dilakukan oleh PTPN II (Persero) adalah sebagai berikut:

1. Di bidang permodalan PTPN II (Persero) memberikan pinjaman lunak berupa bantuan modal kerja sebesar Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) yang dipergunakan untuk pengembangan usaha. Pinjaman ini diberikan kepada pengusaha dengan bunga yang cukup ringan yaitu sebesar 6 % (enam persen) per tahun serta tenggang waktu selama 2 (dua) tahun. Keringanan-keringanan ini diberikan kepada pengusaha tidak lain adalah bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pengusaha untuk mengembangkan usahanya dengan baik tanpa dibebani dengan pembayaran yang cukup berat sehingga terdapat ketenangan dalam berusaha.

2. Untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan teknik pemasaran maka diadakan kursus manajerial dan koperasi. Kursus ini diadakan dalam rangka menanamkan dan mengembangkan jiwa, semangat, serta perilaku kewirausahaan, yaitu:

(55)

b. Kemauan dan kemampuan memecahkan masalah dan mengambil keputusan secara sistematis termasuk keberanian mengambil resiko usaha.

c. Kemauan dan kemampuan berpikir dan bertindak secara kreatif dan inovatif.

d. Kemauan dan kemampuan untuk bekerja secara teliti, tekun dan produktif.

e. Kemauan dan kemampuan untuk bekerja dalam kebersamaan dengan berlandaskan etika bisnis yang sehat.

Dengan demikian para pengusaha ekonomi lemah khususnya DEWI PERABOT mampu mengelola usahanya dengan baik.

(56)

BAB IV

TINJAUAN HUKUM PEMBERIAN BANTUAN MODAL USAHA DI PT.

PERKEBUNAN NUSANTARA II (PERSERO) TANJUNG MORAWA

A. Prosedur Pemberian Bantuan Modal Usaha

Prosedur untuk mendapatkan bantuan modal kerja yang dilakukan oleh PTPN II (Persero) tersebut sejalan atau bersamaan waktunya dengan proses lahirnya perjanjian pinjam-meminjam, yaitu sampai dibuat dan ditandatanganinya surat perjanjian tentang bantuan modal usaha.

Adapun prosedur pemberian bantuan modal usaha kepada DEWI PERABOT adalah sebagai berikut:

Usaha kecil yang dapat ikut dalam Program Kemitraan Bapak Angkat adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil. Adapun kriteria usaha yang termasuk ke dalam usaha kecil yang dapat ikut serta dalam Program Kemitraan adalah

1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). 2. Milik Warga Negara Indonesia.

(57)

4. Berbentuk usaha dagang perseroan, badan usaha yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.

5. Mempunyai potensi dan prospek usaha untuk dikembangkan. 6. Telah melakukan kegiatan usaha minimal 1 (satu) tahun. 7. Belum memenuhi persyaratan perbankan (non-bankable).

Usaha kecil yang berminat untuk ikut dalam Program Kemitraan terlebih dahulu harus mengajukan proposal permohonan pinjaman dana yang akan dipergunakan untuk pengembangan usahanya. Proposal permohonan pinjaman memuat sekurang-kurangnya data sebagai berikut:

1. Nama dan alamat unit usaha

2. Nama dan alamat pemilik/pengurus unit usaha 3. Bukti identitas diri pemilik/pengurus

4. Bidang usaha

5. Izin usaha atau surat keterangan dari pihak yang berwenang

6. perkembangan kinerja usaha (arus kas, perhitungan pendapatan dan beban, neraca atau data yang menunjukkan keadaan keuangan serta hasil usaha) 7. Rencana usaha dan kebutuhan dana

Proposal permohonan dilampiri dokumen/persyaratan sebagai berikut: 1. Pasfoto KTP pemohon

2. Pasfoto pemohon 3. Fotokopi izin usaha

(58)

6. Fotokopi laporan keuangan tahun terakhir 7. Fotokopi rekening bank.

Setelah DEWI PERABOT terpilih menjadi calon mitra binaan PTPN II (Persero) maka DEWI PERABOT menyusun rencana penggunaan dana bantuan pengembangan usahanya untuk diajukan kepada PTPN II (Persero). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penggunaan dana bantuan tersebut adalah untuk pengembangan usaha. Oleh karena itu DEWI PERABOT menitikberatkan penggunaan dana yang ada untuk membuat perlengkapan rumah tangga seperti buffet, lemari, tempat tidur dan perlengkapan rumah tangga lainnya.

PTPN II (Persero) setelah menerima usulan rencana penggunaan dana dan besarnya dana yang dibutuhkan, lalu melakukan seleksi dan evaluasi atas permohonan yang diajukan. Dalam hal ini besarnya pinjaman untuk masing-masing mitra binaan, termasuk DEWI PERABOT.

Kemudian DEWI PERABOT menyelesaikan proses administrasi dengan PTPN II (Persero), lalu ditandatangani oleh kedua belah pihak Surat Perjanjian pinjam-meminjam yang diikuti dengan penyerahan uang bantuan pinjaman modal kerja.

(59)

1. Pihak Kedua diwajibkan melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan yang dibuat dalam perjanjian ini.

2. Pihak Kedua diwajibkan menyelenggarakan pencatatan/pembukuan dengan tertib.

3. Pihak Kedua diwajibkan membayar kembali pinjaman secara tepat waktu. 4. Pihak Kedua diwajibkan menyampaikan laporan perkembangan usaha

setiap triwulan, semester dan tahunan kepadan Pihak Pertama.

5. Pihak Kedua diwajibkan memiliki izin-izin syarat-syarat yang diperlukan baik yang sekarang ada maupun yang timbul di kemudian hari, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

6. Pihak Pertama atau kuasanya berhak sewaktu-waktu memeriksa pembukuan, memanggil dan menegur Pihak Kedua.

Secara umum kewajiban para pihak diatur di dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 116/KMK.016/1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba BUMN.

Kewajiban mitra binaan diatur dalam Pasal 9 yaitu:

1. Melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan rencana yang telah disetujui. 2. Mengelola dana dengan baik sesuai dnegan rencana yang telah diajukan

sebelumnya.

3. Menyelenggarakan pencatatan/pembukuan dengan tertib.

(60)

5. Menyampaikan laporan perkembangan hasil usaha setiap triwulan kepada BUMN pembina.

Kewajiban BUMN pembina diatur di dalam Pasal 10 yaitu:

1. Membentuk unit khusus yang menangani pembinaan usaha kecil dan koperasi di bawah pengawasan seoang direktur.

2. Menyusun rencana anggaran dana pembinaan usaha kecil dan koperasi. 3. Melakukan seleksi dan menetapkan calon mitra binaan dari daftar yang

disediakan oleh Kementerian Transmigrasi dan Koperasi. 4. Menyiapkan dan menyalurkan dana kepada mitra binaan.

5. Melakukan pembinaan secara teknis sepanjang terdapat keterkaitan usaha antara BUMN dengan mitra binaan.

6. Mengadministrasikan kegiatan pembinaan.

7. Melakukan pembukuan atas penggunaan dana pembinaan secara kompatibel dan diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan serta dipertanggungjawabkan oleh Direksi BUMN dalam RUPS untuk Persero dan RPB untuk Perum.

8. Melakukan pemantauan dan evaluasi serta menyampaikan laporan pembinaan setiap triwulan kepada Menteri Keuangan c.q. Dirjen Pembinaan BUMN.

9. Melaporkan hasil audit BPKP atas pengelolaan dan pembinaan usaha kecil dan koperasi oleh BUMN kepada Menteri Keuangan.

(61)

di atas. Apabila dihubungkan dengan pendapat Mariam Darus Badrulzaman yang menyatakan bahwa Pasal 1754 KUH Perdata bersifat riil yang berarti bahwa apabila yang telah diserahkan kepada pihak peminjam barulah lahir perjanjian pinjam-meminjam menurut pengertian Pasal 1754 KUH Perdata.

Di sisi lain ada hal khusus yang membuat perjanjian pinjam-meminjam antara PTPN II (Persero) dengan DEWI PERABOT sedikit berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam uang yang diatur dalam Buku III Bab XIII KUH Perdata. Hal khusus tersebut antara lain yaitu bahwa dalam perjanjian pinjam-meminjam pemberian bantuan modal usaha oleh PTPN II (Persero) kepada DEWI PERABOT lebih menitikberatkan pada aspek bantuan. Hal ini terlihat dengan adanya kelonggaran pinjaman tanpa disertai jaminan dan pembebanan bunga pinjaman yang cukup ringan. Di samping itu dana yang diterima juga tidak dapat digunakan menurut kemauan penerima pinjaman tetapi telah ditentukan untuk pengembangan usahanya.

B. Bentuk Perjanjian Pemberian Bantuan Modal Usaha

Sebelum terjadinya perjanjian pinjam-meminjam antara PTPN II (Persero) dnegan DEWI PERABOT, maka belum ada keterikatan atau hubungan hukum antara kedua belah pihak.

(62)

melaksanakan himbauan pemerintah tersebut. Untuk itu diadakanlah usaha-usaha mencari calon mitra binaan, yang dilakukan dengan cara mendapatkan informasi dari Kementerian Perindustrian tentang industri kecil yang perlu mendapatkan pembinaan, dan salah satu industri kecil yang terdaftar di Kementerian Perindustrian adalah DEWI PERABOT.

Selanjutnya PTPN II (Persero) mengadakan survei langsung ke lokasi pembuatan perlengkapan rumah tangga (furniture) DEWI PERABOT di desa Buntu Bedimbar Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah benar DEWI PERABOT tersebut memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditentukan dan layak untuk dibina PTPN II (Persero) menjadi Anak Angkat. Pada waktu mengadakan survei lapangan itulah dijelaskan bagaimana DEWI PERABOT itu dijelaskan, apa-apa saja kendala yang dihadapi, dan dijelaskan pula prospek pengembangan usaha perlengkapan rumah tangga (furniture) ini sangat baik.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1) Tingkat kemampuan berpikir kreatif dan berpikir kritis siswa dengan menggunakan model kombinasi NHT-STAD, (2) Perbedaan kemampuan

Teknologi menjadikan semua hal menjadi lebih mudah dan praktis, munculnya teknologi Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR) yang sekarang berkembang pesat,

kesimpulan yang dapat diambil dari hasil analisis, perancangan dan implementasi pada bab-bab sebelumnya adalah telah dibuat Sistem Informasi Geografis Pemetaan

Mangunwijaya, yaitu: (1) Konflik antarkelas sosial yang meliputi: (a) konflik antara utusan ternate dengan kepala kampung dowing-jo, (b) konflik antara petinggi

Kutokana na ukuaji mkubwa wa mawasiliano katika ulimwengu wa sasa, kumekuwa na athari pia za matumizi ya lugha. Kwa mfano katika lugha ya Kiswahili, matumizi ya Kiswahili

Masalah tersebut tentu mencakup pada hal yang luas berupa keterlibatan BPD serta masyarakat sebagai objeknya, adminitrasi Desa secara umum tertuang dalam buku

Menyiapkan alat evaluasi berupa tes tertulis (pilihan ganda) dan lembar kerja siswa. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran kepada siswa. Guru menjelaskan cara kerja untuk

Kontrasepsi ini dapat digunakan untuk menghindari atau mencapai kehamilan, tidak ada resiko kesehatan yang berhubungan dengan kontrasepsi, tidak ada efek samping, dan murah atau