• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEDAGOGI KRITIS PAULO FREIRE DI QARYAH THAYYIBAH KALIBENING SALATIGA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEDAGOGI KRITIS PAULO FREIRE DI QARYAH THAYYIBAH KALIBENING SALATIGA."

Copied!
285
0
0

Teks penuh

(1)

PEDAGOGI KRITIS PAULO FREIRE DI QARYAH THAYYIBAH KALIBENING SALATIGA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Sebagai Persyaratan guna Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh: Devi Fitriana NIM 12110241030

PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v MOTTO

“Depth rather than breadth“

(Frank Abraham)

“ Manusia adalah makhluk yang berada. Pendidik bukanlah subjek yang mengajar, siswa bukanlah objek yang diajar. Tugas pendidikan adalah mengantarkan manusia

dalam mencapai keutuhannya sebagai manusia“ (Penulis)

“Pendidikan yang riil adalah pendidikan yang mengaitkan antara tekstual dan kontekstual“

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirrobilalamin dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan apa yang saya butuhkan serta kenikmatan, anugerah dan ridho atas perjuangan saya dalam menyelesaikan karya ini. Karya ini saya persembahkan untuk:

(7)

vii

PEDAGOGI KRITIS PAULO FREIRE DI QARYAH THAYYIBAH KALIBENING SALATIGA

Oleh Devi Fitriana NIM 12110241030

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran pedagogi kritis Paulo Freire di Qaryah Thayyibah.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif naturalistik. Tempat penelitian ini adalah di Qaryah Thayyibah Kalibening Salatiga. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Peneliti menggunakan uji triangulasi sumber dan teknik. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan model Miles dan Hubberman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) Tujuan Qaryah Thayyibah menerapkan Pedagogi Kritis Paulo Freire adalah untuk mengembangkan kesadaran kritis. 2) Alasan Qaryah Thayyibah menerapkan pedagogi kritis Paulo Freire karena adanya rasa keprihatinan pendiri Qaryah Thayyibah melihat pendidikan di sekolah lain yang tidak sesuai dengan yang seharusnya. 3) Proses pembelajaran yang dilakukan di Qaryah Thayyibah dilihat dari kurikulum yang dijalankan dibuat dan direncanakan oleh pendamping dan warga belajar berdasarkan kesepakatan bersama. Kegiatan pembelajaran terdiri dari upacara, pertemuan kelas, ide, tawasi, harkes (hari kesehatan), forum, Tugas Akhir (TA), Gelar Karya (GK), tafsir Alqur’an dan evaluasi. Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran menggunakan metode dialog dan hadap masalah. Pembentukan karakter kedisiplinan dan kesopanan di Qaryah Thayyibah menggunakan metode yang tidak menekan dan memaksa. 4) Hasil pembelajaran di Qaryah Thayyibah berupa hasil karya nyata dan pembentukan kepribadian.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada penulis, sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi yang berjudul “Pedagogi Kritis Paulo Freire di Qaryah Thayyibah Kalibening Salatiga” ini dengan sebaik-baiknya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian dan menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.

2. Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian dan saran kritik selama pra observasi penelitian.

3. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Program Studi Kebijakan Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian dan kesempatan peneliti untuk memaparkan gagasan dalam bentuk skripsi.

4. Ibu L. Andriani P, M. Hum. dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan, dukungan dan nasehat selama proses perkuliahan.

5. Ibu Dr. Rukiyati, M. Hum. dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan waktunya untuk bimbingan sejak awal hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini dengan baik.

(9)

ix

7. Pihak Qaryah Thayyibah yang telah memberikan ijin, informasi, kesempatan dan bantuannya selama penulis melakukan penelitian. Terkhusus untuk saudari Neneng (alumni Qaryah Thayyibah) yang telah memberikan ijin untuk bertempat tinggal di rumahnya dalam rangka penyelesaian penelitian skripsi. 8. Ayah dan Ibu tercinta serta keluarga yang selalu memberikan semangat,

perhatian dan dorongan baik dari segi moril, material maupun spiritual.

9. Teman-teman Organisasi HIMA KP 2013 yang selalu memberikan dorongan dan motivasi.

10.Teman-teman BEM FIP UNY 2014 dan BEM FIP UNY 2015 yang telah memberikan motivasi, dukungan, perhatian dan doa terbaik hingga terselesaikannya penulisan skripsi.

11.Teman-teman seperjuangan Prodi Kebijakan Pendidikan angkatan 2012.

12. Adik-adik Afi, Cahyani, Fitri, Wisnu, Fauzan, Rohim, yang selalu memberikan motivasi, doa, saran dan waktu untuk menghibur dan menemani perjalanan selama penelitian.

13.Keluarga besar kos Karangmalang Blok B 18C, mbak Ririn, Una, Rohmi, Putri, Uma, Septi, Surip, dan Galih yang selalu memberikan semangat dan dukungan dari awal penyusunan skripsi hingga terselesaikannya tugas akhir ini dengan baik.

14.Komunitas pendidikan Batara Learning Center (BLC) yang telah mendukung dan menerapkan pendekatan pedagogi kritis di salah satu daerah di Gunung Kidul.

(10)
(11)

xi DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN ii

HALAMAN PERNYATAAN iii

HALAMAN PENGESAHAN iv

HALAMAN MOTTO v

HALAMAN PERSEMBAHAN vi

ABSTRAK vii

KATA PENGANTAR viii

DAFTAR ISI xi

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang 1

B.Identifikasi Masalah 7

C.Fokus Penelitian 8

D.Perumusan Masalah 8

E. Tujuan Penelitian 8

F. Manfaat Penelitian 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A.Tinjauan Pedagogi 10

1. Pengertian Pedagogi 10

2. Faktor-Faktor Pendidikan 11

B.Tinjauan Pedagogi Kritis Paulo Freire 20

1. Pengertian Pedagogi Kritis 20

2. Konteks Sosial Histori Pedagogi Kritis 22

(12)

xii

4. Kurikulum dalam Pembelajaran 27

5. Hubungan Pendidik-Peserta Didik 31

6. Proses Penyadaran (Conscientizacao) sebagai Tujuan Pendidikan 33 7. Kekuatan dan Kelemahan Konsep Conscientizacao 38

C.Pengertian Pembelajaran 41

D.Kritik Pendidikan Gaya Bank 44

E. Metode Pendidikan Paulo Freire 48

1. Metode Hadap Masalah 48

2. Metode Dialogis 51

F. Penelitian yang Relevan 53

G.Kerangka Berpikir 58

H.Pertanyaan Penelitian 61

BAB III METODE PENELITIAN

A.Jenis Penelitian 62

B.Subjek Penelitian 62

C.Setting Penelitian 64

D.Prosedur Lapangan 64

E. Teknik Pengumpulan Data 65

F. Instrumen Penelitian 69

G.Teknik Analisis Data 70

H.Keabsahan Data 72

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Hasil Penelitian 74

1. Gambaran Umum Qaryah Thayyibah 74

2. Sejarah Berdirinya Qaryah Thayyibah 77

3. Visi-Misi Qaryah Thayyibah 81

4. Struktur Organisasi 82

5. Profil Pendiri Qaryah Thayyibah 82

6. Profil Pendamping Qaryah Thayyibah 84

(13)

xiii

B.Penerapan Pedagogi Kritis di Qaryah Thayyibah 89 1. Tujuan Qaryah Thayyibah Menerapkan Pedagogi Kritis Paulo Freire 89 2. Alasan Qaryah Thayyibah Menerapkan Pedagogi Kritis Paulo Freire 92 3. Proses Pembelajaran dalam Perspektif Pedagogi Kritis Paulo Freire 94 4. Hasil Belajar Warga Belajar dalam perspektif Pedagogi Kritis Paulo Freire 132

C.Pembahasan 145

1. Tujuan Qaryah Thayyibah Menerapkan Pedagogi Kritis Paulo Freire 145 2. Alasan Qaryah Thayyibah Menerapkan Pedagogi Kritis Paulo Freire 147 3. Proses Pembelajaran dalam Perspektif Pedagogi Kritis Paulo Freire 149 4. Hasil Belajar Warga Belajar dalam perspektif Pedagogi Kritis Paulo Freire 160 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 164

B. Saran 165

DAFTAR PUSTAKA 167

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Penddikan Hadap Masalah 50

Gambar 2. Kerangka Berpikir 60

Gambar 3. Langkah Analisis Data Model Miles and Huberman 72

Gambar 4. Kurikulum Semester 98

Gambar 5. Pembuatan Ide 134

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Pedoman Observasi ... 171

Lampiran 2. Pedoman Dokumen... 172

Lampiran 3. Pedoman Wawancara ... 173

Lampiran 4. Kisi-kisi Pedoman Observasi... 179

Lampiran 5. Kisi-kisi Pedoman Wawancara ... 181

Lampiran 6. Contoh Analisis Triangulasi Sumber ... 182

Lampiran 7. Contoh Analisis Triangulasi Teknik ... 222

Lampiran 8. Analisis Contoh Pembelajaran Dialog-Hadap Masalah ... 240

Lampiran 9. Catatan Lapangan ... 246

Lampiran 10. Prestasi Lembaga Qaryah Thayyibah ... 258

Lampiran 11. Prestasi Warga Belajar... 259

Lampiran 12. Dokumentasi Foto Sarana Prasarana ... 260

Lampiran 13. Dokumentasi Foto Buku Report Warga Belajar ... 262

Lampiran 14. Proses Pembelajaran ... 263

Lampiran 15. Hasil Karya Warga Belajar ... 267

(17)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan proses mengembangkan potensi peserta didik. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah hal yang mutlak harus diberikan kepada manusia di setiap perkembangannya. Pendidikan merupakan sektor penting dalam pembangunan sumber daya manusia dan pembangunan nasional. Hal ini dapat dilihat bahwa dengan pendidikan, segala sektor pembangunan nasional di Indonesia dapat tercapai. Untuk memajukan pembangunan nasional diperlukan kesadaran masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikannya. Seluruh masyarakat harus memprioritaskan pendidikan agar apa yang menjadi cita-cita pedidikan nasional dapat tercapai. Oleh karena itu, pendidikan harus dipersiapkan secara matang dan terencana, agar pendidikan dapat mencapai tujuan dari pendidikan tersebut.

(18)

2

Semakin tinggi suatu cita-cita negara, maka semakin banyak tuntutan yang harus diperbaiki dan dievaluasi sistem pendidikan yang berlaku. Dalam penyelenggaraan pendidikan, dibutuhkan proses pembelajaran untuk memperlancar tujuan dari pendidikan tersebut. Telah disebutkan bahwa “pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” (Undang-Undang Sisdiknas No 20 Th 2003).

Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa pada hakikatnya pendidikan sangat berkaitan dengan proses pembelajaran. Pembelajaran merupakan sebuah proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik, yang didalamnya terjadi proses transformasi ilmu yang dapat mengembangkan potensi peserta didik. Dalam hal ini, pendidikan dan pembelajaran merupakan hal yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.

(19)

3

memberikan ilmu semata, namun juga memikirkan bagaimana cara agar anak dapat memahami setiap ilmu yang diberikan.

Kurang profesionalnya pendidik dalam mengajar, salah satu penyebab menurunnya kualitas pendidikan di Indonesia. Perubahan kebijakan pendidikan yang silih berganti seolah-olah hanya untuk memenuhi tuntutan birokrasi daripada pencerdasan kehidupan bangsa. Pergantian kurikulum yang tiada henti merupakan salah satu contoh akibat dari perubahan kebijakan pendidikan yang mengakibatkan guru kesulitan dalam menyesuaikan kebijakan yang diberikan. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Herry Widyastono (2012: 252) dengan judul “Kemampuan Guru dalam Menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan”

(20)

4

keterampilan, hanya mengukur aspek pengetahuan semata; 6) hanya sekitar 50% responden yang merencanakan aloasi waktu tatap muka didasarkan atas jumlah minggu efektif dan yang lainnya hanya perkiraan semata; 7) sebagian besar responden (90%) hanya mengandalkan buku teks pelajaran, dengan alasan cukup memadai, tidak memanfaatkan sumber belajar yang lebih menarik.

Selain itu, di negara kita terdapat praktik pendidikan di mana masih banyak pendidik yang menempatkan peserta didik sebagai objek pendidikan. Pernyataan tersebut kemudian diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Bajuka dkk (2014:2) dengan judul penelitian “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Turnament dan Student Team Achievement Divisions Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi

(21)

5

tersebut kemudian menyebabkan siswa merasa kesulitan dalam menerima materi (http://eprints.ung.ac.id/). Dari hasil penelitian di atas, jika dilihat dari proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah kurang menekankan metode pembelajaran yang dapat mengaktifkan peserta didik serta tidak berorientasikan pada pemecahan masalah kehidupan riil masyarakat.

Berdasarkan hasil observasi di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah, Kalibening, Salatiga diperoleh informasi bahwa komunitas ini menerapkan konsep pembelajaran yang memerdekakan manusia. Qaryah Thayyibah berdiri atas dasar kesadaran masyarakat untuk membantu anak yang termarginal (yang terkendala biaya, tidak suka dengan sekolah formal, tidak diterima di sekolah ataupun dikeluarkan dari sekolah). Qaryah Thayyibah hanya terdiri atas tingkat pendidikan dasar (SMP) dan menengah (SMA) dengan penekanan pada pencarian jati diri dan kreativitas peserta didik, yang kemudian sekarang menjadi lembaga pendidikan kesetaraan paket A dan B.

(22)

6

pendidik dan peserta didik. Kurikulum yang digunakan bersifat fleksibel dan tidak kaku.

Proses pembelajaran di Qaryah Thayyibah rencana pembelajaran dibuat secara langsung oleh warga belajar dan pendamping satu minggu sebelum pelaksanaan pembelajaran. Belajar yang dilakukan oleh peserta didik adalah belajar untuk mendiskusikan permasalahan yang ada di lingkungan masyarakat, misalnya dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan pembangunan desa. Anak diajak untuk berpikir secara terbuka untuk mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi. Hal ini sejalan dengan pemikiran pembelajaran Paulo Freire yang menawarkan pendidikan kritis dalam upaya memperbaiki konsep pendidikan “gaya bank“, di mana masih menempatkan peserta didik sebagai objek pendidikan.

Pandangan Freire mengenai pendidikan kritis dapat ditempuh dengan menggunakan metode hadap masalah. Metode hadap masalah ini dapat merangsang peserta didik untuk dapat berpikir kritis. Pendidikan hadap masalah memberikan kebebasan kepada anak untuk menerima, menganalisis dan memecahkan suatu masalah dengan jalan fikirannya sendiri. Harapannya, pendidikan ini dapat membiasakan masyarakat untuk mandiri dalam memecahkan masalah riil kehidupan.

(23)

7

ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada (Muhamad Karim, 2009: 151). Pedagogi kritis yang diterapkan di Qaryah Thayyibah adalah untuk mengembangkan kesadaran kritis, misalnya anak peka terhadap permasalahan yang ada di sekitarnya. Peran pendidik adalah memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk mengemukakan pendapatnya.

Berdasarkan uraian dan tanggapan dari beberapa pendamping di Qaryah Thayyibah, pembelajaran di sini tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Terdapat faktor yang dapat menjadi kendala dalam proses pelaksanaan pembelajaran. Salah satu faktor tersebut ialah kurangnya pemahaman warga belajar mengenai kebebasan yang ditekankan di Qaryah Thayyibah. Dengan pertimbangan tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai pembelajaran di Qaryah Thayyibah, agar dapat mendeskripsikan proses pembelajaran pedagogi kritis Paulo Freire di Qaryah Thayyibah.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan analisis masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan berikut antara lain:

1. Kurang profesionalnya guru dalam mengajar adalah salah satu penyebab menurunnya kualitas guru di Indonesia.

2. Masih banyak terdapat praktik pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai objek pendidikan.

(24)

8

4. Pembelajaran di Qaryah Thayyibah masih terdapat kendala, yakni kurangnya pemahaman warga belajar mengenai kebebasan yang ditekankan di Qaryah Thayyibah.

C. Fokus Penelitian

Agar permasalahan yang ditinjau tidak terlalu luas dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka peneliti memfokuskan permasalahan pada Pedagogi Kritis Paulo Freire di Qaryah Thayyibah, Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana pembelajaran pedagogi kritis Paulo Freire di Qaryah Thayyibah?”

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat diketahui tujuan penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan pembelajaran pedagogi kritis Paulo Freire di Qaryah Thayyibah.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan berguna bagi pendidikan baik secara teoritis maupun praktis:

(25)

9 2. Praktis:

a. Bagi Pemerintah

Dapat dipergunakan sebagai salah satu bahan informasi dan dapat dijadikan bahan pertimbangan kepada pihak pengambil keputusan terkait dengan konsep pembelajaran pedagogi kritis Paulo Freire.

b. Bagi Lembaga Pendidikan

(26)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Tinjauan Pedagogi 1. Pengertian Pedagogi

Manusia adalah makhluk yang memiliki akal, fikiran dan fitrah sejak lahir. Jika hal tersebut tidak diberikan wadah untuk mengaplikasikan daya kreatifnya, maka manusia akan menjadi makhluk yang tak memiliki tujuan hidup. Dengan pendidikanlah manusia dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Baik dan buruknya manusia dipengaruhi oleh bagaimana pendidikan yang diberikan. Jadi, dapat diketahui bahwa pendidikan sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia.

Istilah “pedagogi” secara literature dapat dipahami sebagai sebuah seni atau pengetahuan untuk mengajar anak-anak (the art or science of teaching children). Kata “pedagogik” berasal dari bahasa Yunani Kuno “paidagogos” yang terdiri atas kata “paidos” (child) dan “agagos” (lead). Maksudnya adalah, memimpin anak dalam belajar (Rakhmat Hidayat, 2013: 1).

(27)

11

sepanjang hayat dan upaya perwujudan pembentukan diri secara utuh dalam arti pengembangan segenap potensi dalam pemenuhan semua komitmen manusia sebagai individu, sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk Tuhan.

Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Hasbullah, 2011: 4).

Berdasarkan pernyataan beberapa para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan pemberian bimbingan dan bantuan rohani dalam upaya pemanusiaan manusia untuk menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya serta dapat berdiri sendiri dalam pertanggungjawaban hidupnya sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk Tuhan.

2. Faktor-Faktor Pendidikan

(28)

12 a. Faktor Tujuan

M.J.Langeveld (Sutari Imam Barnadib, 2013: 38-40) membedakan 6 macam tujuan di dalam pendidikan sebagai berikut:

1) Tujuan Umum

Tujuan yang pada akhirnya akan dicapai oleh pendidik terhadap anak didik. Ialah membawa anak dengan sadar dan bertanggung jawab kearah kedewasaan jasmani dan rohani. Tujuan ini dapat disebut dengan tujuan akhir.

2) Tujuan Khusus

Tujuan ini merupakan penjelasan dari tujuan umum. Untuk menuju ke tujuan yang umum tersebut, tiap-tiap anak tentu mempunyai jalannya sendiri. Hal tersebut tergantung dari beberapa kejadian antara lain:

a) Tergantung dari bakat daripada anak didik.

b) Tergantung dari kemungkinan-kemungkinan yang ada di alam sekitar anak didik.

c) Tergantung daripada tujuan kemasyarakatan di lingkungan anak didik.

d) Tergantung pada kesanggupan yang ada pada pendidik. e) Tergantung pada tugas lembaga pendidikan.

3) Tujuan Insidental (tujuan seketika)

(29)

anak-13

anak untuk makan bersama, diusahakan sungguh-sungguh harus datang. Pendidik mempunyai tujuan supaya anak-anak dapat makan bersama dengan tertib dan sopan. Jadi mempunyai maksud supaya anak belajar makan yang teratur. Lain kali memanggil anak-anak untuk makan bersama, tetapi kali ini tidak mempunyai maksud apa-apa, yang penting adalah tugas lekas selesai dan semua lekas beres. Jadi kali ini tidak ada tujuan apa-apa yang mengandung pendidikan. Jadi ketika pendidik mempunyai maksud untuk mendidik disebut tujuan seketika.

4) Tujuan Sementara

Seolah-olah merupakan tempat berhenti atau tempat istirahat di dalam perjalanan menuju ke tujuan umum.

Misalnya: belajar berbicara, belajar berjalan, yang mempunyai hubungan erat dengan masa perkembangan anak.

5) Tujuan tidak Lengkap

Mempunyai hubungan dengan aspek kepribadian manusia, sebagai fungsi kerohanian pada bidang-bidang etika, keagamaan, estetika dn sikap sosial daripada orang itu.

6) Tujuan Perantara (intermediair)

(30)

14

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan terdiri dari tujuan umum, khusus, insidental, sementara, tidak lengkap dan perantara. Keenam tujuan tersebut diperlukan untuk menentukan tujuan dari setiap pedidikan yang diberikan. b. Pendidik

Sutari Imam Barnadib (2013: 50) mengatakan bahwa pendidik merupakan tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan. Fuad Hasan (2008: 7) membedakan pendidik menjadi dua kategori yaitu pertama, pendidik menurut kodrat yaitu orang tua. Kedua, pendidik menurut jabatan yaitu guru. Orang tua sebagai pendidik menurut kodrat adalah pendidik pertama dan utama di lingkungan keluarga. Hubungan orang tua dengan anaknya dalam hubungan edukatif, mengandung dua unsur dasar, yaitu:

1) Unsur kasih sayang pendidik terhadap anak (afeksi).

2) Unsur kesadaran dan tanggung jawab dari pendidik untuk menuntun perkembangan anak hingga dewasa secara jasmani dan rohani.

(31)

15 1) Kasih sayang kepada peserta didik. 2) Tanggung jawab kepada tugas pendidik.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidik merupakan tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan. Faktor ini terdiri dari dua unsur yaitu orang tua dan guru. Dalam hal ini keduanya harus bertanggung jawab terhadap perkembangan anak.

Tugas yang paling utama adalah peran orang tua dalam mendidik anak di rumah. Kehidupan anak akan dihabiskan di rumah, sehingga orang tua harus menciptakan lingkungan keluarga yang dapat mendidik anak. Orang tua dan guru harus kerjasama dalam mengawasi dan memberikan pendidikan kepada anak, agar anak dapat tumbuh sesuai dengan tahap usia perkembangannya.

c. Peserta Didik

Hasbullah (2011: 23) menyatakan bahwa anak didik merupakan setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan segala kegiatan. Sutari Imam Barnadib (2013: 67) mengatakan bahwa anak didik adalah seorang anak yang selalu mengalami perkembangan sejak terciptanya sampai meninggal dan perubahan-perubahan itu terjadi secara wajar.

(32)

16

mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

Sutari Imam Barnadib (2013: 66) mengatakan bahwa dalam perkembangan anak terdapat lima asas perkembangan sebagai berikut: a. Tubuhnya selalu berkembang.

b. Anak dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya.

c. Anak membutuhkan pertolongan dan perlindungan untuk kesejahteraan.

d. Anak mempunyai daya berekplorasi.

e. Anak mempunyai dorongan untuk mencapai emansipasi.

Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa peserta didik merupakan orang yang menerima pengaruh dari seseorang/orang dewasa yang selalu mengalami perkembangan untuk mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu sejak terciptanya sampai meninggal.

d. Faktor Alat-alat

(33)

17

berupa nasihat, tuntunan. Sebagai contoh: hukuman, ancaman, perintah dan lain sebagainya.

Crow dan Crow (Sutari Imam Barnadib, 2013: 85) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan alat-alat ialah alat pengajaran. Alat-alat tersebut berupa:

a. Rencana Pelajaran b. Tempat Duduk Anak c. Ruangan Kelas

Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa alat pendidikan merupakan suatu tindakan yang sengaja untuk membantu terlaksananya tujuan pendidikan. Alat pendidikan tersebut terdiri dari semua alat pengajaran seperti bangku sekolah, rencana pelajaran, kurikulum dan lain sebagainya.

e. Faktor Alam Sekitar (Milieu)

Tak dapat dipungkiri bahwa lingkungan merupakan faktor yang tak dapat dihindari. Lingkungan sangat berpengaruh dalam proses pertumbuhan anak, baik lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Sutari Imam Barnadib (2013: 130-132) mengatakan bahwa faktor lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di keliling anak-anak yang terdiri dari :

a. Lingkungan Keluarga

(34)

18

anak. Dasar-dasar kelakuan daripada anak didik tertanam sejak di dalam keluarga, juga sikap hidup serta kebiasaan-kebiasaannya. Suasana keluarga diliputi rasa cinta, simpati, tenteram dan suasana percaya-mempercayai.

Sifat kepemimpinan di dalam keluarga meliputi Otoriter, Liberal, dan Demokrasi. Perkembangan anak dapat berkembang dengan baik atau tidak bergantung bagaimana kepemimpinan diterapkan dalam keluarga tersebut. Jadi, pendidikan keluarga merupakan dasar pendidikan selanjutnya.

b. Lingkungan Sekolah

Sumbangan sekolah kepada pendidikan ialah sekolah membantu rumah (orang tua) mengajarkan kebiasaan-kebiasaan baik dan menanamkan budi pekerti yang baik, juga diberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam masyarakat. Sekolah melatih anak memperoleh kecakapan membaca, menulis, berhitung dan sebagainya.

d. Lingkungan Masyarakat.

(35)

19

masyarakat dapat mempunyai dan mempengaruhi pendidikan dengan cita-citanya.

Tugas masyarakat ialah membiayai sekolah/pendidikan. Masyarakat mempunyai tujuan agar anak didik yang muda-muda itu kelak dapat membantu kepada masyarakat dan mengabdi kepada negara. Dari macam pengaruh lingkungan di atas, dapat diketahui bahwa ketiga lingkungan tersebut satu dengan yang lainnya tidak boleh dipisah-pisahkan, harus merupakan mata rantai yang tidak boleh diputuskan. Hal ini terjadi karena lingkungan sangat berpengaruh terhadap tingkatan perkembangan usia anak didik.

Hal tersebut ditekankan oleh Fuad Hasan (2008: 10), bahwa dalam pendidikan, situasi lingkungan mempengaruhi proses dan hasil pendidikan. Situasi lingkungan ini meliputi lingkungan fisik, lingkungan teknis dan lingkungan sosio-kultural.

(36)

20 B.Tinjauan Pedagogi Kritis Paulo Freire

1. Pengertian Pedagogi Kritis

Dalam era modern, pendidikan membutuhkan bahan ajar yang memasukkan penyelesaian permasalahan sosial masyarakat secara kritis dan riil. Pendidikan yang masih konvensional belum dapat membongkar tatanan sistem pendidikan yang membelenggu peserta didik. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode pendidikan kritis untuk membelajarkan peserta didik menyelesaikan persoalan lapangan secara riil dalam kehidupan.

Rakhmat Hidayat (2013:6) menyebutkan bahwa pedagogi kritis dapat didefinisikan sebagai teori pendidikan dan praktik pembelajaran yang didesain, untuk membangun kesadaran kritis mengenai kondisi sosial yang menindas. Siti Murtiningsih, (2006:9) mengatakan bahwa pendidikan kritis tidak diperkenankan mengobjekkan peserta didik, karena hal tersebut bertentangan dengan panggilan ontologis manusia.

Hal tersebut ditekankan kembali oleh Mansour Fakih yang menyatakan bahwa pendidikan kritis harus mampu membuka wawasan dan cakrawala berpikir, baik pendidik maupun peserta didik, menciptakan ruang bagi peserta didik untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis diri struktur dunianya dalam rangka transformasi sosial (Muhammad Karim, 2009:151).

(37)

21

a) Pedagogi kritis sebagai paradigma berpikir. Dalam hal ini pedagogi kritis dibangun atas dasar critical thinking untuk selalu mempertanyakan dan mengkritisi pendidikan itu sendiri dalam hal-hal fundamental baik dalam tataran filosofis, teori, sistem, kebijakan maupun implementasi.

b) Pedagogi kritis sebagai gerakan sosial. Tujuan akhir pedagogi kritis adalah melahirkan praksis pendidikan yang egaliter, humanis, demokratis serta keadilan berbasiskan critical thinking di kalangan peserta didik. Gerakan sosial yang diusung pedagogi kritis adalah membongkar praktik pendidikan yang menindas dan dilakukan kalangan status quo. Dalam tataran filosofis, pedagogi kritis merupakan tantangan dan kritik atas kemapanan modernisme serta kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan yang bersifat oppressive. Pedagogi kritis diharapkan mampu menyadarkan masyarakat akan tekanan yang amat kuat pada pendidikan, sebagai praktik pembebasan manusia dan tatanan sosial ekonomi yang termanifestasikan dalam proses pendidikan.

(38)

22

Rakhmat Hidayat (2013:8), dijelaskan bahwa :

Dalam pandangan Freire, membangun kesadaran kritis dilakukan dengan cara mengembangkan kapasitas untuk membaca dalam mengembangkan kesadaran individu. Jika kesadaran individu dapat dibangun maka akan berpengaruh pada kesadaran dan kepercayaan kolektif. Pendekatan itu merupakan pengembangan rasa percaya diri dan keberhasilan, terutama dalam pemikiran kolektif dan tindakan. Dalam pendekatan itu tersebut ada keinginan untuk berubah, bukan hanya diri sendiri, tetapi situasi juga perubahan sosial di tingkat kelompok. Metode pedagogis yang dikembangkan Freire berupaya mempromosikan praksis dialog.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan kritis merupakan praktik pembelajaran, yang didesain untuk membangun kesadaran kritis yang mampu menciptakan ruang bagi peserta didik, untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis mengenai kondisi sosial yang menindas.

Pedagogi kritis harus dilakukan untuk membangun kesadaran kritis manusia, dengan pengetahuannya melalui membaca buku dan dilakukan secara kontuinitas hingga tindakan praksis secara konkrit. Hal ini dapat dilakukan oleh individu jika individu telah memiliki kepercayaan diri dan kesadaran kritis dalam membedah suatu pengetahuan.

2. Konteks Sosial Historis Pedagogi Kritis

(39)

23

pendidikan membawanya terus tekun mendalami permasalahan kehidupan masyarakat pada waktu itu.

Paulo Freire lahir pada tanggal 19 September 1921 di Recife, merupakan wilayah timur laut dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Freire berasal dari keluarga kelas menengah. Ayahnya, Joaquim Temistocles Freire adalah seorang polisi militer di Pernambuco. Ibunya, Edeltrus Neves Freire berasal dari Pernambuco beragama Katolik, baik, adil dan lembut. Kedua orang tua Freire lah yang mengajarkan Freire untuk menghargai dialog dan menghormati pendapat orang lain (Freire, 2013: x).

Pada tanggal 24 Oktober 1929 jatuhnya bursa saham di New York menyebabkan terjadinya krisis ekonomi di Amerika. Hal ini menyebabkan hancurnya tatanan ekonomi, baik negara industri maupun negara berkembang. Volume perdagangan internasional berkurang drastis, begitupula dengan pendapatan perseorangan, pendapatan pajak, harga dan keuntungan. Hal tersebut menyebabkan banyaknya pengangguran dan PHK akibat dari peristiwa itu (Rakhmat Hidayat, 2013: 2-3).

(40)

24

Freire (2013: xii) mengatakan, setelah lulus Freire bekerja menjadi Direktur dalam bidang Pendidikan dan Kebudayaan di negara bagian Pernambuco. Pengalamannya selama bekerja, membawa Freire pada kontak langsung dengan masyarakat miskin. Ia mendalami kehidupan sosial yang dirasakan masyarakat. Penelitian-penelitian yang ia lakukan juga mengembangkan metode dialogik dalam pendidikan. Keterlibatan di bidang pendidikan orang dewasa juga dimasukkan dalam seminar-seminar yang ia pimpin.

Di tahun 1960-an Brazil mengalami keresahan sosial. Banyak organisasi masyarakat yang muncul untuk tujuan politik. Freire terlibat aktif dalam gerakan pemberantasan buta huruf yang masih meliputi jutaan rakyat di negerinya. Lantaran ia juga memberikan pendidikan agar rakyat miskin Brasil jadi “melek politik” (Rukiyati&L.Andriani, 2015: 65).

Freire menyebutkan bahwa metode yang dipakai dalam memberikan pendidikan adalah Metode Paulo Freire, meskipun ia sendiri tidak mau menamakan demikian. Freire dan timnya berhasil menarik kaum tuna aksara untuk belajar membaca dan menulis. Apa yang dibangkitkan dalam proses kenal aksara, tidak hanya sebatas pada kemampuan mereka dalam bidang itu, tetapi sekaligus membawa pada kesadaran politik, masyarakat ikut berpartisipasi aktif dalam menentukan arah perkembangan bersama (Freire, 2013: xiii).

(41)

25

Adanya kehancuran sistem ekonomi di negaranya membuat ia bangkit dari keterpurukan. Lingkungan yang tidak mendukung sebagai tempat memperoleh pendidikan, membuat ia tidak bisa memperoleh pendidikan secara bebas.

Baginya, pendidikan adalah salah satu alat untuk memperjuangkan hak-hak hidup untuk dapat memperoleh kehidupan yang layak. Freire terlibat aktif dalam gerakan pemberantasan buta huruf untuk memberikan pendidikan pada masyarakat terbelakang. Melalui pengalaman-pengalamannya lah ia akhirnya memiliki pandangan mengenai pendidikan kritis sebagai proses transformasi sosial di masyarakat. Harapannya, paradigma ini dapat membangkitkan masyarakat dari keterpurukan sosial yang menindas.

3. Orientasi Pedagogi kritis

(42)

26

mengembangkan sebuah masyarakat yang egaliter (Rakhmat Hidayat, 2013: 12-13).

Muhammad Karim (2009: 164-165) menyatakan bahwa dalam pendidikan yang membebaskan, tidak ada subjek yang membebaskan atau objek yang dibebaskan karena tidak ada dikotomi subjek dan objek. Kedua belah pihak merupakan pribadi yang bukan mengetahui segalanya, namun mencari suatu kebenaran dan solusi bersama. Pendidikan yang membebaskan bersifat dialogis dan merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan menjadi proses transformasi yang diuji dalam kehidupan nyata. Kebebasan dalam berdialog dapat dirasakan oleh semua orang. Tidak ada lagi peserta didik seperti bejana kosong.

Dalam pandangan Freire, pendidikan yang membebaskan merupakan proses ketika pendidik mengkondisikan peserta didik untuk mengenal dan mengungkap kehidupan yang senyatanya secara kritis. Pendidik dapat menghubungkan pengalaman-pengalaman yang diungkapkan oleh peserta didik dengan pembelajaran dalam kehidupan. Pendidikan dalam konsepsi Freire tersebut, memiliki implikasi dalam perilaku belajar sebagai proses integral dalam pendidikan. Dalam praksis pembelajaran, Freire melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni:

(43)

27

Unsur yang pertama dan kedua adalah subjek yang sadar, sementara unsur yang ketiga adalah objek yang tersadari. Ketiga unsur tersebut harus ada dalam pedagogi kritis (Paulo Freire, 2002: x).

Freire mengatakan bahwa ketika kaum tertindas medapatkan humanisasi, mereka tidak hanya berjuang untuk mendapakan kebebasan dari kelaparan. Namun, mereka harus menciptakan, membangun, mempertanyakan dan mencoba-coba, sehingga menuntut merek untuk aktif dan bertanggung jawab. Hal ini sesuai apa yang dikatakan Freire berikut:

….kebebasan untuk menciptakan dan membangun, untuk mempertanyakan dan mencoba-coba. Kebebasan semacam ini menghendaki manusia yang aktif dan bertanggung jawab, bukan budak atau sekrup mati dalam mesin….. Tidak cukup sekedar bahwa manusia bukanlah budak; jika kondisi sosial mengarah kepada kehidpan otomaton, hasilnya bukan berupa cinta kehidupan, tetapi cinta kematian (Freire, 2013: 48).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa orientasi pedagogi kritis adalah untuk memberikan peran penting terjadinya perubahan sosial di masyarakat. Pedagogi kritis merupakan sebuah cara berpikir tentang praksis relasi dalam pembelajaran di kelas, produksi pengetahuan dan berbagai struktur sosial yang berkorelasi dengan kehidupan material di masyarakat. Dalam praksis pembelajaran, Freire melibatkan tiga unsur sekaligus yaitu pendidik, peserta didik dan realitas.

4. Kurikulum dalam Pembelajaran

(44)

28

pendidikan sangat diperlukan, karena tanpanya segala kegiatan pendidikan akan menjadi tidak terarah. Ragan mengatakan bahwa secara tradisional, kurikulum dapat diartikan sebagai objek telaah atau materi pelajaran yang harus diajarkan dalam praktik belajar-mengajar (Siti Murtiningsih, 2006: 107). Kurikulum dalam pemahaman ini merupakan pelajaran di bangku sekolah yang hanya berisi sejumlah materi pelajaran yang terpisah-pisah. Hubungannya dengan realitas konkret yang dialami peserta didik pun sangat jauh.

Pernyataan tersebut juga dikemukakan oleh Nasution (2006: 5) bahwa kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staff pengajarnya. Jadi, dapat dipahami bahwa kurikulum ini merupakan produk sekolah yang dibuat untuk memperlancar pembelajaran di sekolah.

(45)

29

berdasarkan dengan apa yang ada di dekat peserta didik, pendidikan tidak menjauhkannya dari realitas dan peserta didik menjadi peka terhadap permasalahan sosial.

Kurikulum menurut pandangan Freire berpusat pada “problematisasi“ realitas konkret. Peserta didik bersama pendidiknya memaknai berbagai persoalan hidupnya dan berusaha memecahkannya. Sebagai mediator dan fasilitator, pendidik berfungsi menyakinkan akan realitas yang diketahui oleh peserta didik, kemudian secara bersama menganalisisnya dan peserta didik akan membangun pengetahuannya sendiri secara kritis. Peserta didik mencari arti pengetahuan yang telah dibangunnya melalui diskusi dengan pendidik maupun dengan kawan-kawannya. Pendidik bukanlah orang yang mengetahui segalanya, sehingga, pendidik juga harus aktif dalam mencari kejelasan, menanyakan kebenaran, dan mengevaluasi alternatif yang ada (Siti Murtiningsih, 2006: 109).

(46)

30

mengembangkan cara berfikir kritis dari pengalaman yang pernah siswa rasakan serta mengembangkan kemampuan refleksi.

Realitas kehidupan yang wajar dengan aspek-aspek persoalan hidup yang kompleks, menjadikan hal tersebut sebagai sumber utama sebuah kurikulum yang baik. Pijakan kurikulum berorientasi pada problematisasi pengalaman hidup dan dibuat sebagai perwujudan kehidupan yang wajar. Alasannya adalah bahwa dalam realitas kehidupan, problematisasi hidup yang dihadapi manusia selalu hadir saling kait mengkait. Pendidikan yang baik tidak saja menyiapkan pribadi bagi tujuan yang akan datang. Tetapi sekaligus membimbing siswa (perasaan, pikiran, dan maupun tindakan), agar mampu merombak hegemoni dalam lingkungannya dan menjadikannya orang yang dapat dewasa dan bijaksana dalam segala hal (Siti Murtiningsih, 2006: 110).

(47)

31

Dengan demikian, peserta didik akan belajar mendeskripsikan, menganalisis serta memecahkan masalah pengalaman nya secara nyata. 5. Hubungan Pendidik-Peserta Didik

Hubungan pendidik dengan peserta didik menurut Freire adalah hubungan sejajar antara subjek yang saling belajar dan diajar. Mereka belajar mengenai dunia yang bergerak secara dinamis. Pendidik bukanlah orang yang mengetahui kebenaran secara penuh, namun saling belajar. Pendidik bagi peserta didik adalah partner yang dalam memahami realitas tersebut. Pendidik mengemukakan persoalan agar dipertimbangkan oleh peserta didiknya. Sementara pertimbangan pendidik diuji kembali. Pengujian tersebut dapat berupa pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh peserta didik. Peran pendidik adalah ibarat timbangan yang harus menjadi jembatan dan penyeimbang antara pandangan yang satu dengan yang lainnya (Siti Murtiningsih, 2006: 84).

(48)

32

tersebut, maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter-subjek untuk memahami suatu objek secara bersama (Paulo Freire, 2002: xv).

Dengan adanya ciri tersebut maka dapat terwujud: pertama, pendidik bersedia berinteraksi dengan peserta didiknya agar lebih memahami apa saja yang sudah diketahui oleh peserta didik mengenai materi yang akan dibahas. Pencapaian target yang dibuat pendidik dalam pembelajaran, sebaiknya dibicarakan bersama peserta didik agar mereka merasa terlibat. Kedua, dengan penuh kesadaran pendidik berpartisipasi sebagai peserta didik supaya memahami pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya. Ketiga, bahwa pendapat pendidik bersifat fleksibel agar dapat mengerti dan menghargai pendapat peserta didiknya (Siti Murtiningsih, 2006: 86).

(49)

33

membimbing agar peserta didik tidak menyimpang dari nilai-nilai kebaikan hidup.

6. Proses Penyadaran (Conscientizacao) sebagai Tujuan Pendidikan

Pencapaian kesadaran individu adalah hal terpenting dalam memaknai hidup sosial. Perlu adanya kesadaran kritis agar manusia tidak terjebak dalam sistem penindasan yang dapat membelenggu hidupnya. Kesadaran tersebut tidak hanya kesadaran mengenai bagaimana mendapatkan materi, namun juga kesadaran akan sistem kebijakan yang menindas. Dalam hal ini, Freire berusaha mengarahkan pendidikan sebagai usaha untuk humanisasi diri, yaitu melalui tindakan sadar untuk mengubah dunia. Dunia/realitas itu bukan hanya data-data objektif, tetapi fakta konkret yang terjadi di mana-mana terutama dalam dunia ketiga (Firdaus M. Yunus, 2004: 49).

Freire (Smith, 2001: 54) mendeskripsikan conscientizacao sebagai sebuah proses untuk menjadi manusia yang selengkapnya; proses perkembangan ini dapat dibagi menjadi tiga fase: kesadaran magis, naïf dan kritis. Setiap fase dibagi lagi menjadi tiga aspek berdasarkan tanggapan-tanggapan responden atas pertanyaan eksistensial berikut:

a) Apa masalah-masalah yang paling dehumanitatif dalam kehidupan kalian? (PENAMAAN)

(50)

34

c) Apa yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut? (AKSI)

Freire membagi kesadaran manusia menjadi tiga tingkatan yakni:

a) Kesadaran magis atau semi-intransitif

Freire mengatakan bahwa orang-orang yang masih dalam tingkat kesadaran pertama terperangkap dalam “mitos inferioritas alamiah.” “Mereka mengetahui bahwa mereka melakukan sesuatu, apa yang tidak diketahui adalah tindakan untuk mengubah” (Smith, 2001: 60).

Bukannya melawan atau mengubah realitas di mana mereka hidup, mereka justru menyesuaikan diri dengan realitas yang ada. Kesadaran magis dicirikan dengan fatalism, yang menyebabkan manusia membisu, menceburkan diri ke lembah kemustahilan untuk melawan kekuasaan (Smith, 2001: 61).

b) Kesadaran Naif atau Transitif

(51)

35

hidup dan pada puncaknya mengarah pada argumentasi yang larut dengan realitas (Smith, 2001: 69).

c) Kesadaran kritis atau transitif

Pada tahap ini, isu yang muncul adalah perubahan sistem yang tidak adil, bukannya pembaharuan atau pengahancuran individu-individu tertentu. Proses perubahan ini memiliki dua aspek: 1) penegasan diri dan penolakan untuk menjadi “inang bagi benalu”, dan 2) berusaha secara sadar dan empiris untuk mengganti sistem yang menindas dengan sistem yang adil dan bisa mereka kuasai. Pada kesadaran ini, invidu menunjukkan pemahaman yang benar atas dirinya sendiri dan sistem yang memaksa tertindas dan penindas berkolusi. Freire (Smith, 2001: 80) mengatakan bahwa :

kesadaran kritis ditandai dengan penafsiran yang mendalam atas berbagai masalah; digantikannya penjelasan magis dengan penjelasan kausalitas; dengan mencoba penemuan-penemuan yang dihasilkan seseorang; dan dengan keterbukaan untuk melakukan revisi; dengan usaha untuk menghindari distorsi ketika memahami masalah dan menghindari konsep-konsep yang telah diterima sebelumnya ketika menganalisis masalah; dengan menolak untuk mengubah tanggung jawab; dengan menolak sikap pasif; dengan mengemukakan pendapat; dengan mengedepankan dialog daripada polemic; dengan menerima pandangan baru tetapi bukan sekedar karena sifat kebaruannya dan dengan keinginan untuk tidak menolak pandangan kuno hanya karena sifat kekunoannya, yakni dengan menerima apa yang benar menurut pandangan kuno dan baru.

(52)

36

ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis begaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana menstransformasikannya kedalam suatu aksi nyata. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan, agar peserta didik terlibat dalam proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan demokratis (Firdaus M. Yunus, 2004: 51).

Freire (2002: xviii) mengatakan jika seseorang sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, maka mulai masuk ke dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata-mata. Orang yang mengerti bukanlah orang yang menghafal, karena ia menyatakan diri atau sesuatu berdasarkan “kesadaran“, sedangkan orang yang menghafal

hanya menyatakan diri atau sesuatu secara mekanis tanpa (perlu) sadar apa yang dikatakannya, dari mana ia telah menerima hafalan yang dinyatakannya itu, dan untuk apa ia menyatakannya kembali pada saat itu.

(53)

37

norma, aturan, prosedur dan kebijakan baru. Sehingga proses penyadaran ini dilakukan melalui diskusi, yang akan melahirkan suatu pengetahuan baru (Firdaus M. Yunus, 2004:52).

Makna Conscientizacao adalah sebuah pencarian jawaban-jawaban secara kooperatif dan mendalam, atas masalah-masalah yang tak terpecahkan yang dihadapi oleh sekelompok orang. Dengan dimikian, tidak ada “ahli” yang mengetahui jawaban-jawaban tersebut. Setiap individu memiliki kebenaran yang sama, tetapi berbeda dalam hal cara melihat persoalan yang harus didefinisikan dan cara mecari jawabannya yang harus diformulasikan. Partisipasi bukanlah sebuah alat pendidikan yang tepat, tetapi merupakan inti dari proses pendidikan. Sehingga tujuan pendidikan adalah menjadikan Conscientizacao sebagai puncak kesadaran kaum tertindas (William A. Smith, 2001: 4).

(54)

38

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa conscientizacao sebagai sebuah proses untuk menjadi manusia yang

selengkapnya dapat dibagi menjadi tiga fase yakni: kesadaran magis, naïf dan kritis. Penyadaran dapat dibangun ketika orang tersebut merasa memiliki adanya suatu masalah bersama, dengan menggunakan proses dialogis yang mengantarkan individu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah-masalah mereka. Konsep refleksi dan aksi merupkan bagian yang tak terpisahkan untuk pencapaian penyadaran kritis.

7. Kekuatan dan Kelemahan Konsep Conscientizacao

(55)

39

Pendidikan tidak hanya memenuhi kebutuhan saat ini namun juga untuk masa depan. Manusia sebagai makhluk pembaharu dan pembangunan nasional diharapkan mampu menjadi manusia yang dapat berdiri sendiri dan dapat menghadapi tantangan dunia. Maka dari itu peran pendidikan penting sebagai upaya untuk melakukan transformasi sosial melalui dialektika di sekolah. Konsep Freire yang kritis tentang pendidikan membuka wawasan baru bagi sejumlah pendidik di negara-negara di dunia ketiga. Namun, pendidikan kritis Freire tidak selamanya memiliki kekuatan dalam setiap kondisi suatau negara. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Siti Murtiningsih (2006: 111-114) sebagai berikut:

1. Kekuatan Konsep Konsientisasi

Pertama, secara konseptual Freire telah membangun suatu teori pendidikan yang dialektis, dimana teori dan praktik menyatu dan tidak terpisah. Sehingga konsep tersebut sangat seimbang untuk diterapkan dalam kehidupan, Kedua, Freire melontarkan kritik yang cukup tajam terhadap penindasan yang terjadi dalam dunia ketiga, terutama pada negara-negara jajahan. Penindasan ini disebabkan oleh sistem dan struktur yang tidak berkeadilan, membelenggu kaum miskin dan tak berdaya. Hal tersebut karena adanya sistem kapitalisme, modernisme dan liberalisme.

Ketiga, konsep Freire tentang konsientisasi bertolak dari kritiknya

(56)

40

pendidikan Freire, terutama konsientisasi dalam pendidikan, berada pada pendekatan yang radikal dan kritis terhadap praktik pendidikan tradisional. Sikap ini diharapkan menuntun mereka dalam mewujudkan transformasi dunia.

2. Kelemahan Konsep Konsientisasi

Kelemahan utama Freire ada pada metode konsientisasinya yang bersifat khusus dan historis. Artinya, pendekatan konsientisasinya pada dasarnya bersifat netral. Ia mengorientasikan pada pertumbuhan kesadaran kritis peserta didik, namun pertumbuhan kesadaran kritis ini menemukan relevansinya pada masyarakat yang mengalami penindasan secara massif, di mana kehidupan sosial dan budayanya hampir sama sekali stagnan tidak ada perubahan kemajuan yang lebih baik.

Jadi, perspektif pendidikan Freire memang tidak dimaksudkan bersifat universal, namun lebih partikular dan relevan bagi dunia ketiga yang mengalami sejarah penindasan. Selain itu, pemikiran dan konsep konsientisasi dalam pendidikan Freire itu hanyalah salah satu perspektif dari sekian filsafat pendidikan lainnya. Sehingga terdapat pertentangan dengan aliran lain yang bertolak filsafat berbeda.

(57)

41

Hanya negara yang mengalami penindasan/dehumanisasi lah yang dapat menggunakan konsep tersebut, dalam rangka untuk membangkitkan humanisasi melalui sistem pendidikan.

C. Pengertian Pembelajaran

Pendidikan merupakan proses pengembangan potensi manusia. Dalam prosesnya, tidak terlepas dari pembelajaran yang dilakukan. Zainal Arifin Ahmad (2012: 2) mengatakan bahwa hakikat pembelajaran adalah segala upaya yang dilakukan seseorang untuk membuat orang lain (peserta didik) mengalami perubahan tingkah laku, yakni dari tingkah laku negatif ke positif. Sujarwo (2011: 3) menyatakan bahwa pembelajaran didefinisikan sebagai upaya membelajarkan peserta didik memahami diri dan lingkungannya agar lebih bermakna. Pembelajaran dimaknai sebagai kegiatan memilih, menetapkan dan mengembangkan pengelolaan, pengorganisasian dan penyampaian pesan pembelajaran untuk mencapai hasil yang ditetapkan.

Lebih lanjut Sujarwo (2011: 3) menyatakan bahwa pembelajaran dipandang sebagai suatu sistem, artinya suatu keseluruhan yang terdiri dari komponen-komponen yang saling berkaitan, berinteraksi, dan beinterdependensi antara satu dengan yang lainnya untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Secara garis besar pembelajaran terdiri dari :

(58)

42

2) Instrumental input (sarana prasarana, kurikulum, media, sumber belajar, pendidik, alat evaluasi). Unsur ini merupakan pendukung dalam memperlancar kegiatan pembelajaran agar terarah dan terfasilitasi.

3) Environmental input (lingkungan fisik, sosial dan psikologis). Unsur ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam pembelajaran, sehingga dibutuhkan lingkungan yang baik untuk menciptakan suasana yang nyaman.

4) Objectives (output dan outcomes) unsur yang terakhir ini adalah hasil dari pembelajaran. Apakah output dan outcomesnya baik/buruk tergantung proses pembelajarannya.

Berkaitan strategi pembelajaran, Daniel Muijs & David Reynolds dalam buku Zainal Arifin Ahmad (2012: 48) mengelompokkan model strategi pembelajaran sebagai berikut:

a. Pengajaran langsung. Pengajaran langsung adalah pola pembelajaran di mana pendidik terlibat aktif dalam mengusung isi pelajaran kepada peserta didik dengan mengajarkannya secara langsung di kelas.

b. Pengajaran interaktif. Pola pembelajaran ini menekankan pentingnya interaksi pendidik-peserta didik melalui tanya jawab dan diskusi. Dalam hal ini menekankan pada dialog.

(59)

43

d. Pengajaran konstruktivis, menekankan pentingnya membantu dan memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk dapat mengonstruksikan pengetahuan yang dipelajari.

e. Pengajaran untuk maksud-maksud tertentu, seperti pengajaran keterampilan berpikir, keterampilan sosial, peningkatan self esteem, pengajaran untuk peserta didik yang mengalami kesulitan belajar dan lain lain.

f. Pengajaran untuk subjek tertentu, seperti pengajaran membaca, matematika, keterampilan ICT dan lain lain.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yaitu proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik dalam melakukan proses transfer ilmu pengetahuan, untuk mengembangkan peserta didik sehingga mengalami perubahan tingkah laku dari negatif ke positif agar ia lebih bermakna di lingkungannya. Pembelajaran dapat dilakukan di dalam ataupun luar ruangan. Biasanya pembelajaran dilakukan dengan berpedoman pada kurikulum sekolah yang telah ditentukan. Dengan demikian, proses pembelajaran menjadi terarah dan jelas tujuan yang ingin dicapai.

(60)

44

pembelajaran yang disampaikan dapat dipahami dan dimaknai oleh peserta didik.

D. Kritik Pendidikan Gaya Bank

Dalam sistem “gaya bank”, dapat diketahui bahwa pendidikan diisi dengan metode ceramah dan cerita. Anak didik hanya mendengarkan semua cerita guru dan guru menjadi objek yang seolah-olah mengetahui semua ilmu pengetahuan. Paulo Freire (2013: 51) mengatakan bahwa pola pembelajaran seperti itu, melibatkan seorang subjek yang bercerita (guru) dan objek-objek yang patuh dan mendengarkan (peserta didik). Isi pelajaran yang diceritakan, baik yang menyangkut nilai-nilai maupun segi-segi empiris dari realitas, dalam proses cerita cenderung menjadi kaku dan tidak hidup. Dengan demikian, pendidikan seperti ini pendidikan yang monoton dan tidak dinamis.

(61)

45

Ibarat pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung, dimana para peserta didik adalah celengan dan pendidik adalah penabungnya. Dalam hal ini yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi pendidik menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan”, peserta didik menghafal dan mengulangi apa yang dikatakan guru. Inilah konsep “gaya bank”, dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan peserta didik hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan. Memang benar mereka mempunyai kesempatan untuk menjadi pengumpul dan pencatat barang-barang simpanan. Namun, pada akhirnya manusia sendirilah yang disimpan karena miskinnya daya cipta, daya ubah, dan pengetahuan. Sehingga tidak mencetak manusia yang aktif dan kreatif (Paulo Freire, 2013: 52).

(62)

46

Dalam mempertajam pendidikan “gaya bank”, Paulo Freire (2013: 54) menekankan bahwa terdapat ciri-ciri yang mencerminkan kebiasaan pada pendidikan “gaya bank”, yaitu sebagai berikut:

1. Guru mengajar, siswa diajar.

2. Guru mengetahui segala sesuatu, siswa tidak tahu apa-apa. 3. Guru berpikir, siswa dipikirkan.

4. Guru bercerita, siswa patuh mendengarkan. 5. Guru menentukan peraturan, siswa diatur.

6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, siswa menyetujui. 7. Guru berbuat, siswa membayangkan dirinya berbuat melalui

perbuatan gurunya.

8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, siswa (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.

9. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan siswa.

10. Guru adalah subjek dalam proses belajar, siswa adalah objek belaka.

Dalam pandangan Freire, tentu pendidikan “gaya bank” terdapat kepentingan tertentu yang dilakukan oleh penguasa untuk menindas kebodohan manusia. Kemampuan pendidikan “gaya bank” dimaksudkan untuk mengurangi atau menghapuskan daya kreasi para peserta didik, serta menumbuhkan sikap mudah percaya. Kaum penindas memanfaatkan “humanitarianisme” mereka untuk melindungi situasi menguntungkan bagi

diri mereka sendiri. Artinya, manusia yang tertindas ini hanya dijadikan manusia robot yang dapat mendukung tercapainya apa yang diinginkan para penguasa (Paulo Freire, 2013: 54).

(63)

47

berlangsung secara spontan, dengan “mengisi” informasi yang ia anggap

sebagai pengetahuan yang sebenarnya. Manusia “menerima” dunia secara

pasif, maka pendidikan akan membuat mereka lebih pasif lagi. Kehidupan manusia menjadi stagnan, tidak ada kemajuan dalam menghadapi dunia yang selalu dinamis (Paulo Freire, 2013: 58-59). Dalam hal ini pengetahuan hanya dihasilkan dari satu subjek (guru) dan bukan dari hasil refleksi antara pendidik dan peserta didik.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan “gaya bank” adalah berusaha untuk menyembunyikan masalah realitas. Pendidikan “gaya bank” menolak dengan metode dialog. Pendidikan “gaya bank” memperlakukan peserta didik sebagai objek yang tidak tahu apa-apa, guru menjadi subjek ilmu pengetahuan, serta pendidikan “gaya bank” menghambat kreativitas peserta didik.

(64)

48 E. Metode Pendidikan Paulo Freire

Berbicara mengenai kehidupan manusia, berarti menanyakan keberadaanya, bagaimana dan mengapa ia dapat menjalani kehidupan. Manusia hidup selalu berhadapan dengan persoalan hidup dan kehidupan di dunia ini, tentu saja akan behadapan dengan beragam masalah, baik itu permasalahan dalam dunia pendidikan, ekonomi, politik atau permasalahan kebudayaan sehari-hari. Untuk itu, pengintegrasian realitas sosial dalam pendidikan merupakan salah satu upaya dalam membebaskan diri dari masalah-masalah (Firdaus M.Yunus, 2004: 42). Freire menekankan dua metode dalam penyadaran manusia di pendidikan yaitu sebagai berikut:

1. Metode Hadap Masalah

Pendidikan hadap masalah adalah metode pendidikan yang menjawab panggilan manusia untuk menjadi subjek, di mana muatan pendidikan harus dapat disesuaikan dengan permasalahan-permasalahan yang muncul (Firdaus M.Yunus, 2004: 43). Artinya, metode hadap masalah ini menekankan dialog pendidik kepada peserta didik dengan berbasis permasalahan kehidupan. Permasalahan ini dapat muncul dari pengalaman-pengalaman pendidik maupun peserta didik. Keduanya dapat saling belajar untuk memecahkan masalah kehidupan.

(65)

49

sehari-hari, sehingga mudah dipahami. Dalam hal ini tanggung jawab pendidik yang menempatkan diri sebagai teman dialog peserta didik lebih besar, daripada guru yang hanya memindahkan informasi yang harus diingat oleh peserta didik (Freire, 2002 : 103).

(66)

50

dunia, pengetahuan, situasi, problem

objek

subjek bersama-sama

guru murid

subjek objek refleksi, dialog, observasi

tantangan perubahan

(Sumber:Paulo Freire, 2013: xxi)

Gambar 1.

Pendidikan Hadap Masalah

(67)

51 2. Metode Dialogis

Dengan adanya pendidikan tradisional yang masih menggunakan sistem “Gaya Bank“ yang memutlakkan pendidikan sebagai bentuk

penindasan pendidik terhadap peserta didik, Freire memecahkan kontradiksi yang terjadi tersebut dengan metode dialog. Di mana pendidik dan peserta didik harus berdialog dalam memecahkan segala persoalan, bukan membuat jarak antara pendidik dengan peserta didik yang berupaya untuk penindasan secara lebar. Oleh karena itu, satu-satunya alat paling efektif dalam sebuah pendidikan pemanusiaan adalah adanya hubungan timbal balik permanen berbentuk dialog. Dengan demikian, segala persoalan terpecahkan menjadi lebih jelas dan terbuka (Firdaus M. Yunus, 2004: 45-46).

Dialog merupakan metode yang tepat untuk mendapatkan pengetahuan, subjek harus memakai pendekatan ilmiah dalam berdialektika dengan dunia sehingga dapat menjelaskan realitas secara benar. Sesungguhnya mengetahui itu tidak sama dengan mengingat. Mengetahui merupakan proses berdialektika dan tidak terpisah dengan aksi refleksi manusia, sedangkan mengingat hanyalah sekedar menerima dari informan dan mungkin saja akan terlupakan makna yang terkandung (Freire, 2002: 105).

Freire menegaskan bahwa dialog merupakan hal yang esensial pada proses penyadaran. Manusia hidup tanpa dialog, kesadaran

(68)

52

seseorang untuk memaknai dunia, dan mendorong transformasi sosial serta pembebasan. Freire tanpa malu-malu memegang teguh nilai-nilai seperti cinta sebagai esensi dari dialog yaitu:

Jika aku tidak mencintai dunia, jika aku tidak mencintai hidup, jika aku tidak mencintai manusia, aku tidak dapat terlibat dalam dialog. Menurut Freire, dialog mengandung arti bersikap kritis tentang rasio d’etre (sebab mengapa ada) objek-objek dan subjek-subjek dialog. Dengan demikian dialog harus berjalan bebas, efektif, dan harapan (Firdaus M. Yunus, 2004: 47).

Inilah sebabnya mengapa dialog sebagai bagian fundamental dari struktur pengetahuan harus selalu terbuka. Kelas bukanlah kelas dalam arti tradisional, melainkan tempat pertemuan dimana pengetahuan dicari bersama. Pendidik harus dapat menempatkan perannya sebagai teman, fasilitator dan penengah dalam meluruskan pengetahuan, serta tidak mengesampingkan nilai-nilai demokratis untuk membangun daya kreativitas anak. Pendidik tidak boleh melembagakan keterangan-keterangan hafalan, mekanistis, karena bila seseorang terdidik mengajukan pertanyaan, para pendidik haruslah menyusun kembali seluruh usaha kognitif sebelumnya (Paulo Freire, 1969: 118).

(69)

53

argumen terdidik agar terdidik tidak kehilangan hak nya dalam menyampaikan pendapatnya (Paulo Freire, 1969: 120).

Dalam proses dialog, terdapat beberapa tahap yang ditawarkan oleh Freire yaitu, kodifikasi merupakan cara di mana peserta didik mengabstraksikan realitas yang ia alami secara konkret. Analisis ini melibatkan pengujian atas abstraksi dengan cara merepresentasikan realitas konkret, terutama dalam mencari pengetahuan tentang realitas. Setelah kodifikasi yaitu dekodifikasi, merupakan cara menganalisis secara kritis terhadap apa yang telah dihasilkan pada tahap kodifikasi (abstraksi realitas). Tujuan dekodifikasi adalah tercapainya tingkat pengetahuan kritis (Firdaus M. Yunus, 2004: 47).

Berdasarkan hal tersebut, Freire menyatakan bahwa dialog merupakan metode yang tepat untuk mendapatkan pengetahuan. Dialog merupakan hal yang esensial pada proses penyadaran. Manusia hidup tanpa dialog, kesadaran individu sulit dibangun. Hal ini dikarenakan dialog dapat membawa seseorang untuk memaknai dunia, dan mendorong transformasi sosial serta pembebasan.

F. Penelitian yang Relevan

(70)

54

Tengah, menjelaskan bahwa implementasi ajaran Paulo Freire dalam mata pelajaran kimia topik kimia lingkungan untuk meningkatkan sikap kritis dan karakter yang baik bagi siswa di SMA Negeri Jatilawang Banyumas Jawa Tengah dapat meningkatkan sikap kritis dan karakter siswa kelas X.7 SMA Jatilawang. Peningkatan karakter siswa dapat dilihat dari masing-masing aspek mengajukan pertanyaan naik 53,4%, menjawab pertanyaan naik 60,0%, menanggapi pertanyaan 60%, kerjasama kelompok 46,6%, ketepatan mengelola waktu naik 30,3%, dan memperhatikan presentasi naik 30,3%. Peningkatan sikap kritis terlihat dari respons siswa terhadap 5 pernyataan yang diajukan pendidik, di mana terjadi peningkatan dari segi intensitas, keluasan, dan spontanitas jawaban siswa. Sementara dari lembar angket yang diberikan kepada seluruh siswa terlihat jelas bahwa siswa sudah memahami tentang sikap kritis dimana rata-rata jawaban adalah 83,81% (baik sekali) dan karakter kemandirian dan kerjasama rata-rata jawaban angket adalah 77,12% (baik), toleransi atau saling menghargai adalah 86,56% (baik sekali), rasa ingin tahu dan kreativitas 76,60 (baik) dan karakter tanggungjawab atau menjaga amanah adalah 76,73% (baik). Dari hasil wawancara yang dilakukan terlihat seluruh siswa yang diwawancarai mengakui bahwa ajaran Paulo Freire dapat meningkatkan sikap kritis yang baik pada diri mereka.

(71)

55

konsep taksonomi tujuan pendidikan memiliki hubungan saling keterkaitan dan relevan serta memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap pengembangan pembelajaran bahasa Arab. Aplikasi konsep pendidikan humanistik dalam proses pembelajaran bahasa Arab merujuk pada motivasi dan kesadaran diri untuk maju dan menjadi manusia yang lebih baik, sedangkan taksonomi tujuan pendidikan adalah penekanan pada ranah kognitif dan ditambah dengan perilaku ranah afektif dan psikomotorik. Tujuan utama pengajaran bahasa Arab berorientasi untuk membentuk kompetensi komunikasi secara luas, dengan kemahiran bahasa sebagai fondasi penguasaan bahasa. Pengajaran bahasa Arab diarahkan untuk menjadikan individu yang kreatif dalam mengembangkan potensi dirinya bagi penguasaan bahasa.

Gambar

Gambar 1.
Gambar 2. Kerangka Berpikir
Gambar 3. Langkah Analisis Data Model Miles and Huberman
Tabel 1. Jumlah Pendamping PKBM Qaryah Thayyibah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dalam penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan karakteristik pengelolaan materi pembelajaran berbasis siswa di SMP Qaryah Thayyibah Kalibening Salatiga, (2)

Dalam penelitian ini penulis mendiskusikan/ mengkaji keunikan pemikiran Al- zarnuji dan Paulo Freire tentang konsep pendidik, dilihat dari model pembelajarannya, kedudukan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik pemikiran Ahmad Syafii Maarif dan Paulo Friere dalam menggagas konsep pendidikan berbasis pembebasan

menyatakan bahwa skripsi saya dengan judul ANALISIS PENDIDIKAN KRITIS PAULO FREIRE PADA EKSTRAKURIKULER TEATER DI SEKOLAH (STUDI KASUS DI SMA NEGERI 3 SURAKARTA), ini

Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui guru progresif menurut Paulo Freire antara lain; (1) mengetahui bagaimana pandangan Paulo Freire tentang guru progresif, (2)

Peneliti mencoba mendeskripsikan faktor yang mempengaruhi hasil dari penelitian ini yang terbukti tidak memiliki perbedaan yang signifikan pada tingkat kreativitas Qaryah Thayyibah

PAI Di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah Kalibening Salatiga. Mutu dan citra pendidikan Indonesia kian terpuruk. Hal ini disebabkan beberapa hal, diantaranya di karenakan

Alternatif Qaryah Thayyibah adalah pendidikan yang membebaskan siswa untuk belajar.. sesuai dengan keinginan dan tanpa