• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan Qaryah Thayyibah Menerapkan Pedagogi Kritis Paulo Freire

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Penerapan Pedagogi Kritis di Qaryah Thayyibah

1. Tujuan Qaryah Thayyibah Menerapkan Pedagogi Kritis Paulo Freire

Hasil penelitian tentang tujuan Qaryah Thayyibah menerapkan Pedagogi Kritis Paulo Freire adalah untuk mengembangkan kesadaran kritis, mengasah daya kreativitas anak, serta menyiapkan anak ketika terjun di masyarakat agar berani mengambil keputusan. Proses penyadaran ini dilakukan dengan pembiasaan-pembiasaan untuk berifikir kritis terhadap diri sendiri maupun lingkungan sekitar, dengan memberikan

146

kebebasan kepada setiap warga belajar untuk dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.

Bagi Paulo Freire tujuan pendidikan adalah untuk perubahan revolusioner yang adil dan demokratis melalui proses penyadaran, humanisasi dan pembebasan setiap manusia. Freire menyatakan bahwa seseorang yang telah mencapai kesadaran kritis, ia telah mencapai pada tahap pengertian bukan lagi pada hafalan. Orang yang mengerti bukanlah orang yang menghafal, karena ia menyatakan diri berdasarkan “kesadaran“, sedangkan orang yang menghafal hanya menyatakan diri secara mekanis tanpa perlu sadar apa yang dikatakannya, dari mana ia menerima hafalan yang dinyatakannya itu.

Paulo Freire mengatakan bahwa dalam proses penyadaran memperhatikan perubahan-perubahan antar manusia. Dalam hal ini penyadaran dapat dibangun ketika orang tersebut merasa memiliki adanya suatu masalah. Proses penyadaran merupakan proses dialogis yang mengantarkan individu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah, sehingga dalam proses penyadaran ini mengemban tugas pembebasan untuk dapat memberikan kesempatan individu dalam menjalankan otoritas atas hidupnya.

Proses penyadaran diperlukan refleksi sebagai bentuk untuk perubahan/aksi yang lebih baik. Refleksi tanpa aksi hanya akan menjadi omongan belaka, sedangkan aksi tanpa refleksi adalah bentuk perubahan yang tidak jelas arahnya. Refleksi merupakan bentuk penyadaran kepada

147

manusia untuk melakukan praksis. Hal ini sesuai apa yang dikatakan Freire bahwa praksis adalah refleksi dan aksi kepada dunia untuk mengubahnya (Dharma Kesuma & Teguh Ibrahim, 2016:220).

Tujuan pendidikan yang dijalankan di Qaryah Thayyibah dengan ide Paulo Freire memiliki kesamaan untuk proses penyadaran setiap manusia sebagai usaha menghumanisasi diri dan sesama melalui tindakan sadar untuk mengubah dunia. Perbedaannya adalah bahwa proses penyadaran yang dilakukan di Qaryah Thayyibah melalui penyadaran diri sendiri, kemudian ia akan sadar untuk mengubah lingkungan sekitarnya yang kurang sesuai.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan di Qaryah Thayyibah sejalan dengan ide Paulo Freire, yakni sebagai tujuan untuk proses penyadaran dalam rangka mengubah dunia. Tetapi di Qaryah Thayyibah dalam melakukan perubahan ini dimulai dari proses penyadaran diri sendiri, kemudian baru ia akan mengubah linkungannya. 2. Alasan Qaryah Thayyibah Menerapkan Pedagogi Kritis Dalam

Proses Pembelajaran

Alasan Qaryah Thayyibah menerapkan pedagogi kritis Paulo Freire adalah karena adanya rasa keprihatinan pendiri Qaryah Thayyibah melihat pendidikan di sekolah lain yang tidak sesuai dengan yang seharusnya, di mana sekolah formal belum bisa memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bernalar kritis dalam pemecahan masalah riil kehidupan.

148

Sekolah formal menganggap bahwa anak harus diberikan semua materi pengetahuan dan teknologi. Tidak ada kesempatan untuk bernalar kritis. Jika pendidikan tidak menggunakan pedagogi kritis, maka akan menghambat hak anak sebagai manusia yang memiliki ciri khas berpikir.

Hal ini sejalan dengan konsep Paulo Freire yang mengkritisi pendidikan masyarakat yang disebutnya dengan pendidikan gaya bank. Pendidikan seperti itu, melibatkan seorang subjek yang bercerita (guru) dan objek-objek yang patuh dan mendengarkan (peserta didik). Isi pelajaran yang diceritakan dalam proses cerita cenderung menjadi kaku dan tidak hidup. Pola pembelajaran seperti ini peserta didik hanya menghafal apa yang dikatakan pendidik, serta pendidik menganggap peserta didik adalah objek pendidikan yang tidak tahu apa-apa. Dalam hal ini konsep pendidikan gaya bank berusaha untuk menyembunyikan masalah realitas. Pendidikan gaya bank menolak dengan metode dialog.

Sistem pendidikan yang masih subject matter curriculum menjauhkan peserta didik dari permasalahan kehidupan, menyebabkan anak tidak mengenal permasalahan lingkungannya dan apa yang harus dilakukan. Pelajaran-pelajaran yang diberikan di sekolah yang sesungguhnya bernilai dan berpengaruh kuat, menjadi tidak relevan karena sistem yang terbirokrasi dan hanya menghasilkan peserta didik yang tidak merdeka, mandiri dan tidak memiliki otoritas menentukan arah hidupnya.

Sejalan dengan pernyataan tersebut, H.A.R Tilaar (2011: 53) mengatakan bahwa bangsa Indonesia tidak lagi perlu khawatir dalam

149

menghadapi abad ke-21. Pedagogik kritis akan membawa bangsa ini untuk merenungkan kembali fungsi pendidikan nasional dan tidak sekedar untuk memenuhi kepentingan kelompok dalam masyarakat kita.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan Qaryah Thayyibah menerapkan pedagogi kritis Paulo Freire karena masih adanya sekolah yang belum bisa memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bernalar kritis dalam pemecahan masalah riil kehidupan. Hal ini sejalan dengan pendidikan Paulo Freire yang mengkritik pendidikan gaya bank melalui pedagogi kritis yang ia tawarkan dalam dunia pendidikan. 3. Proses Pembelajaran Dalam Perspektif Pedagogi Kritis Paulo Freire

di Qaryah Thayyibah

Pembelajaran merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik di mana keduanya sama-sama belajar menjadi orang yang lebih baik. Dari yang tidak tahu menjadi tahu, dan melakukan suatu perubahan yang positif. Hal ini merupakan suatu proses yang penting karena bagian terpenting dari pendidikan. Proses pembelajaran yang dilaksanakan di Qaryah Thayyibah tersebut dapat dilihat sebagai berikut: a. Kurikulum

Dalam proses pembelajaran, perencanaan kurikulum dibuat dan direncanakan secara bersama-sama antara pendamping dan warga belajar di Qaryah Thayyibah. Kurikulum terdiri dari dua jenis yakni kurikulum semester dan kurikulum mingguan. Kurikulum semester berisi kegiatan yang akan dilakukan oleh warga belajar dalam satu

150

semester, sedangkan kurikulum mingguan berisi target dan capaian individu dalam melaksanakan pembelajaran.

Dalam pembuatan kurikulum mingguan ini disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar. Kurikulum ini tidak kaku, artinya kurikulum ini bersifat fleksibel dapat berubah sewaktu-waktu sesuai kebutuhan warga belajar. Dengan demikian, setiap individu harus dapat kritis terhadap dirinya apa yang menjadi kebutuhannya dalam belajar.

Sejalan dengan itu, kurikulum menurut pandangan Freire berpusat pada “problematisasi“ realitas kehidupan. Artinya, setiap materi yang didiskusikan selalu mengandung permasalahan yang ingin diselesaikan. Peserta didik bersama pendidiknya memaknai berbagai persoalan hidupnya dan berusaha memecahkan masalah tersebut. Pendidik berfungsi menyakinkan akan realitas yang diketahui oleh peserta didik, kemudian secara bersama menganalisisnya dan peserta didik akan membangun pengetahuannya baru secara kritis.

Bagi Freire, kurikulum yang berorientasi dari realitas konkret berasal dari pengalaman peserta didik, bukan pola-pola yang statis dan mekanistik. Hal ini mutlak bagi proses pendidikan yang membebaskan. Membebaskan berarti sesuai apa yang diinginkan peserta didik. Apa yang dibutuhkan peserta didik dari kurikulum yang baik adalah muatan kurikulum yang mampu menumbuhkan kesadaram kritis.

Realitas kehidupan dengan aspek-aspek persoalan hidup yang kompleks, menjadikan hal tersebut sebagai sumber utama sebuah

151

kurikulum. Pijakan kurikulum berorientasi pada problematisasi pengalaman hidup karena dalam realitas kehidupan terjadi hubungan saling mengkait antara permasalahan yang satu dengan yang lain.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum yang dijalankan di Qaryah Thayyibah sejalan dengan ide Paulo Freire yang menekankan kurikulum pada problematis realitas konkret dan disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Hal ini sebagai wujud dari pendidikan yang sejatinya membebaskan peserta didik dan membangun kesadaran kritis dalam hidupnuya.

b. Kegiatan Belajar di Qaryah Thayyibah

Pembelajaran yang dilakukan di Qaryah Thayyibah terdiri dari kegiatan upacara, tawasi, forum, kelas, harkes (hari kesehatan), evaluasi, ide, TA (Tugas Akhir) dan GK (Gelar Karya), namun pembelajaran yang menggunakan metode hadap masalah adalah kegiatan pertemuan kelas, pembuatan ide dan kegiatan evaluasi.

Materi yang diberikan di pertemuan kelas lebih banyak memecahkan masalah kehidupan sehingga warga belajar dapat belajar untuk memecahkan masalah secara bersama-sama. Materi yang didiskusikan ini berasal dari pengalaman warga belajar atas kegelisahannya dalam menghadapi permasalahan hidup.

Kegiatan pembuatan ide merupakan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan daya kritis warga belajar terhadap

152

permasalahan yang ada di sekitarnya, baik dalam bidang pendidikan, sosial, politik, hukum, maupun permasalahan di Qaryah Thayyibah. Hal ini dimaksudkan agar mereka sadar terhadap kontradiksi yang terjadi di disekitarnya, dan memberikan solusi atas apa yang menjadi permasalahan.

Kegiatan evaluasi diri yang dilakukan di Qaryah Thayyibah merupakan bentuk pembiasaan untuk membangun kesadaran kritis setiap warga belajar, untuk kritis terhadap dirinya sendiri dan kritis terhadap lingkungannya sebagai proses mencapai perubahan dan menciptakan situasi baru. Sedangkan pengembangan potensi warga belajar merupakan bentuk kebebasan yang diberikan oleh Qaryah Thayyibah kepada warga beajar agar mereka dapat menemukan potensi yang ada dalam dirinya. Cara yang dilakukan adalah bahwa setiap warga belajar mendalami kegiatan yang mereka sukai, misalnya menggambar, membuat film atau menulis cerpen. Hal tersebut akan membantu warga belajar dalam menemukan potensi yang ada dalam dirinya.

Dari berbagai kegiatan yang ada di Qaryah Thayyibah, tidak semua kegiatan pembelajaran menekankan aspek kesadaran kritis dengan metode hadap masalah, hanya beberapa kegiatan yaitu kegiatan pertemuan kelas, pembuatan ide dan evaluasi. Kegiatan tersebut merupakan inti dalam proses penyadaran warga belajar untuk menjadi manusia yang revolusioner, yakni manusia yang

153

merdeka, tidak terkungkung dengan sistem dan dapat memiliki otoritas atas hidupnya. Dalam proses pembelajarannya semua rencana pelajaran dibuat dan disusun oleh warga belajar berdasarkan kesepakatan bersama. Pandangan kritis dalam pembelajaran di Qaryah Thayyibah dapat dilihat sebagai berikut: a. Setting (Latar) :

Kegiatan pembelajaran di lakukan di sekitar gedung pusat pembelajara/Resource Center (RC), baik di halaman gedung, di dalam ruangan, di depan teras, maupun di Musholla. Lingkungan sekitar yang mendukung membuat warga belajar Qaryah Thayyibah merasa nyaman untuk belajar.

b. Proses Pembelajaran

Bentuk pembelajaran yang dilakukan adalah seperti diskusi, di mana membentuk lingkaran dengan didampingi oleh salah satu pendamping. Awal mula pendamping memberikan tawaran terhadap materi yang akan didiskusikan. Materi ini merupakan hasil dari pengalaman dari warga belajar yang memiliki kesadaran akan suatu permasalahan yang ada dalam dirinya. Kemudian pendamping dan warga belajar mengidentifikasi, menganalisis dan memecahkan permasalahan yang didiskusikan. Hasil dari pemecahan masalah tersebut akan mendapatkan solusi yang dapat dilakukan untuk aksi dalam rangka sebuah perubahan. Dalam hal ini peran dialog antara pendamping dan warga belajar sangat

154

diperlukan dalam menciptakan proses komunikasi yang sejati guna mengungkap realitas.

Dalam pandangan Freire, mengatakan bahwa dalam proses penyadaran peserta didik, diperlukan kegiatan refleksi sebagai bentuk proses mengetahui dan bukan hafalan. Refleksi dapat dibangun melalui dialektika antara pendidik dan peserta didik, sehingga tidak bisa dipisahkan antara kegiatan pencarian pengetahuan dengan refleksi.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pendidikan yang dilakukan di Qaryah Thayyibah sejalan dengan gagasan Freire yang menekankan pemberian materi kepada peserta didik lebih banyak memecahkan masalah kehidupan yang wajar, sebagai hubungan yang saling terkait dan dibangun melalui proses refleksi dan penyadaran.

c. Metode Pembelajaran

Proses pembelajaran yang dilaksanakan di Qaryah Thayyibah menggunakan dialog dan hadap masalah untuk menumbuhkan kesadaran kritis. Dialog merupakan hal yang penting karena akan memberikan hubungan timbal balik kepada lawan bicaranya dan memberikan kesempatan pada warga belajar untuk menyampaikan pendapatnya. Hadap masalah merupakan metode yang digunakan untuk memberikan kesempatan kepada

155

warga belajar untuk menjadi subjek yang belajar dalam pemecahan masalah realitas melalui dialog.

Penggunaan metode hadap masalah di Qaryah Thayyibah ini disesuaikan dengan perkembangan usia warga belajar. Peran pendamping sebagai mediator dan fasilitator sangat penting dalam memahamkan kepada warga belajar mengenai masalah realitas yang dihadapinya. Hadap masalah yang ditekankan di Qaryah Thayyibah menjadikan warga belajar menjadi subjek yang mengajar bukan hanya yang diajar, sehingga peran pendampping sangat penting. Dalam memahami setiap permasalahan yang didiskusikan, pendamping di Qaryah Thayyibah melibatkan diri sebagai warga belajar agar ia juga ikut merasakan apa yang dirasakan warga belajar.

Hal di atas sesuai apa yang dikatakan Freire (2013: xxi) bahwa dialog merupakan unsur yang penting dalam menuju proses penyadaran. Pendidik dan peserta didik bersama-sama menjadi objek yang sama. Pendidik menjadi rekan peserta didik yang melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis para peserta didik. Dengan demikian, kedua belah pihak bersama-sama mengembangkan kemampuan untuk mengerti secara kritis dirinya sendiri dan dunia tempat mereka berada. Mereka akan melihat bahwa dunia bukan merupakan realitas yang statis, melainkan suatu proses "menjadi".

156

Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, bagi Freire proses mengetahui itu tidak sama dengan mengingat. Mengetahui merupakan proses berdialektika dan tidak terpisah dengan aksi refleksi manusia, sedangkan mengingat hanyalah sekedar menerima dari informan dan mungkin saja akan terlupakan makna yang terkandung. (Freire, 2002: 105).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan di Qaryah Thayyibah masih mengacu pada metode pendidikan Freire yaitu metode dialog dan hadap masalah yang berbasiskan pada permasalahan kehidupan serta bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran kritis.

d. Pembentukan Karakter

Dalam menanamkan pembentukan karakter setiap anak, merupakan tanggungjawab orang tua di rumah sebagai lembaga informal. Selain pendidikan keluarga, sekolah merupakan lembaga kedua yang dapat memberikan wadah untuk pembentukan karakter setiap anak. Hal ini ditegaskan dalam UU SISDIKNAS bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk watak, peradaban suatu bangsa, dan akhlak.

Selain membentuk karakter kritis, di Qaryah Thayyibah juga membentuk karakter seperti kedisiplinan dan kesopanan. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, pembentukan karakter yang dilakukan di Qaryah Thayyibah dalam meningkatkan

157

keakhlakannya adalah dengan pengadaan kegiatan agama seperti tafsir Al-Quran, sholat berjamaah. Diharapkan nilai-nilai religius ini dapat dimaknai dan diaplikasikan oleh warga belajar.

Tetapi, warga belajar di Qaryah Thayyibah ini jarang melakukan sholat berjamaah di masjid. Pembiasaan sholat di masjid hanya dilakukan oleh beberapa warga belajar saja. Pembentukan akhlak yang baik harus dilakukan pembiasaan agar warga belajar dapat memahami setiap apa yang dilakukan. Qaryah Thayyibah merupakan lembaga pendidikan setara tingkat SMP- SMA yang sebagian besar usia warga belajarnya adalah 13-18 tahun, merupakan usia yang belum stabil, sehingga masih membutuhkan bimbingan dan tuntunan sosok teladan yang baik.

Undang-Undang SISDIKNAS No.20 tahun 2003 pasal 3, menyatakan bahwa “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Berdasarkan UU SISDIKNAS di atas, dapat dipahami bahwa salah satu fungsi tujuan pendidikan adalah mengembangkan

158

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berwatak, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia. Dengan demikian, perlu ditekankan kembali di Qaryah Thayyibah mengenai pentingnya pembiasaan pendidikan moral dan agama, agar perilaku anak tidak menyimpang dari apa yang diharapkan. Kedua, penerapan kedisiplinan dan kesopanan di Qaryah Thayyibah tidak menekan dan memaksa. Setiap warga belajar harus dapat membangun kesadarannya untuk dapat bersikap disiplin tanpa harus dipaksa. Jika ada penekanan kedisiplinan dan kesopanan maka akan membatasi warga belajar.

Prinsipnya adalah bahwa kegiatan dan pembelajaran yang dilakukan di Qaryah Thayyibah berdasarkan kesepakatan bersama, sedangkan mengenai kesopanan, prinsipnya adalah bahwa setiap anak tidak mengganggu orang lain. Cara yang digunakan dalam menumbuhkan kesadaran anak adalah melalui diskusi yang intensif. Dari diskusi itu anak akan belajar berpendapat, belajar memutuskan dan belajar mengaplikasikan hasil keputusannya.

Berbeda dengan pandangan dari beberapa orang tua warga belajar mengatakan bahwa di Qaryah Thayyibah kurang menekankan kedisiplinan dan kesopanan. Hal ini dapat dilihat dari perilaku peserta didik warga belajar ketika di rumah yang kurang bisa berinteraksi dengan orang lain. Orang tua warga belajar mengharapkan bahwa nilai-nilai budaya masyarakat harus

159

dibangun dan dipertegas di Qaryah Thayyibah, sehingga peserta didik dapat menerapkan nilai-nilai itu ketika bersosialisasi di masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kontruksi budaya masyarakat Indonesia yang masih menekankan nilai kesopanan sebagai hal yang penting.

Seharusnya penanaman nilai kesopanan kepada peserta didik adalah tanggungjawab orang tua di rumah sebagai pendidkan informal, untuk mengenalkan pada anak bagaimana hidup dalam masyarakat, dan apa yang harus dipatuhi dalam masyarakat. Kemudian lembaga pendidikan mendukung memberikan lingkungan yang nyaman untuk pembentukan kepribadian anak. Oleh sebab itu, komunikasi dan kerjasama antara orang tua dan pihak lembaga pendidikan sangat penting demi keberlangsungan proses pendidikan.

Minimnya pertemuan antara orang tua dengan pihak Qaryah Thayyibah menyebabkan kurangnya komunikasi, sehingga terdapat ketidaksepahaman mengenai pembelajaran yang dijalankan di Qaryah Thayyibah. Komunikasi dan kerjasama antara berbagai pihak harus dilakukan agar terjadi kesamaan visi.

Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat menyesuaikan kebutuhan dan perkembangan setiap anak, karena mereka hidup dalam zaman yang berbeda dengan kita. Sebaliknya pendidikan yang tidak menyesuaikan dengan perkembangan

160

zaman, maka akan ketertinggalan zaman. Seperti yang dinyatakan oleh Khalifah Umar Ibnu Khattab r.a bahwa manusia harus mendidik anak-anaknya dengan pola pendidikan yang berbeda dengan pola pendidikan yang kita terima, karena sesungguhnya anak kita dilahirkan di zaman yang berbeda dengan zaman kita (Bahruddin, 2007: xvi).

Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan yang diberikan kepada peserta didik haruslah dinamis dan inovatif, karena perkembangan zaman akan terus mempengaruhi pola pendidikan sekarang. Oleh sebab itu, pendidikan harus bisa menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, tidak hanya mengandalkan tuntutan parameter dari tujuan yang dibuat oleh sekolah.

4. Hasil Belajar Peserta Didik Dalam Perspektif Pedagogi Kritis Qaryah