• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Penyadaran ( Conscientizacao ) sebagai Tujuan Pendidikan

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pedagogi 1 Pengertian Pedagog

6. Proses Penyadaran ( Conscientizacao ) sebagai Tujuan Pendidikan

Pencapaian kesadaran individu adalah hal terpenting dalam memaknai hidup sosial. Perlu adanya kesadaran kritis agar manusia tidak terjebak dalam sistem penindasan yang dapat membelenggu hidupnya. Kesadaran tersebut tidak hanya kesadaran mengenai bagaimana mendapatkan materi, namun juga kesadaran akan sistem kebijakan yang menindas. Dalam hal ini, Freire berusaha mengarahkan pendidikan sebagai usaha untuk humanisasi diri, yaitu melalui tindakan sadar untuk mengubah dunia. Dunia/realitas itu bukan hanya data-data objektif, tetapi fakta konkret yang terjadi di mana-mana terutama dalam dunia ketiga (Firdaus M. Yunus, 2004: 49).

Freire (Smith, 2001: 54) mendeskripsikan conscientizacao sebagai sebuah proses untuk menjadi manusia yang selengkapnya; proses perkembangan ini dapat dibagi menjadi tiga fase: kesadaran magis, naïf dan kritis. Setiap fase dibagi lagi menjadi tiga aspek berdasarkan tanggapan-tanggapan responden atas pertanyaan eksistensial berikut:

a) Apa masalah-masalah yang paling dehumanitatif dalam kehidupan kalian? (PENAMAAN)

b) Apa penyebab dan konsekuensi dari masalah-masalah tersebut? (BERPIKIR)

34

c) Apa yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut? (AKSI)

Freire membagi kesadaran manusia menjadi tiga tingkatan yakni:

a) Kesadaran magis atau semi-intransitif

Freire mengatakan bahwa orang-orang yang masih dalam tingkat kesadaran pertama terperangkap dalam “mitos inferioritas alamiah.” “Mereka mengetahui bahwa mereka melakukan sesuatu, apa yang tidak diketahui adalah tindakan untuk mengubah” (Smith, 2001: 60). Bukannya melawan atau mengubah realitas di mana mereka hidup, mereka justru menyesuaikan diri dengan realitas yang ada. Kesadaran magis dicirikan dengan fatalism, yang menyebabkan manusia membisu, menceburkan diri ke lembah kemustahilan untuk melawan kekuasaan (Smith, 2001: 61).

b) Kesadaran Naif atau Transitif

Perubahan dari kesadaran magis ke kesadaran naïf adalah perubahan dari menyesuaikan diri dengan fakta-fakta kehidupan yang tak terelakkan ke memperbaharui penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan individu-individu dalam sebuah sistem yang pada dasarnya keras. Kesadaran naïf ditandai dengan penyederhanaan masalah dengan cara menimpakan penyebabnya pada individu-individu bukan pada sistem itu sendiri. Argumentasi-argumentasi mereka rapuh ketika menjelaskan bahwa individu terpisah dari sistem di mana mereka

35

hidup dan pada puncaknya mengarah pada argumentasi yang larut dengan realitas (Smith, 2001: 69).

c) Kesadaran kritis atau transitif

Pada tahap ini, isu yang muncul adalah perubahan sistem yang tidak adil, bukannya pembaharuan atau pengahancuran individu- individu tertentu. Proses perubahan ini memiliki dua aspek: 1) penegasan diri dan penolakan untuk menjadi “inang bagi benalu”, dan 2) berusaha secara sadar dan empiris untuk mengganti sistem yang menindas dengan sistem yang adil dan bisa mereka kuasai. Pada kesadaran ini, invidu menunjukkan pemahaman yang benar atas dirinya sendiri dan sistem yang memaksa tertindas dan penindas berkolusi. Freire (Smith, 2001: 80) mengatakan bahwa :

kesadaran kritis ditandai dengan penafsiran yang mendalam atas berbagai masalah; digantikannya penjelasan magis dengan penjelasan kausalitas; dengan mencoba penemuan-penemuan yang dihasilkan seseorang; dan dengan keterbukaan untuk melakukan revisi; dengan usaha untuk menghindari distorsi ketika memahami masalah dan menghindari konsep-konsep yang telah diterima sebelumnya ketika menganalisis masalah; dengan menolak untuk mengubah tanggung jawab; dengan menolak sikap pasif; dengan mengemukakan pendapat; dengan mengedepankan dialog daripada polemic; dengan menerima pandangan baru tetapi bukan sekedar karena sifat kebaruannya dan dengan keinginan untuk tidak menolak pandangan kuno hanya karena sifat kekunoannya, yakni dengan menerima apa yang benar menurut pandangan kuno dan baru.

Tugas dan pelaksanaan pendidikan dalam perspektif pedagogi kritis memang dibutuhkan ketekunan dan kontinunitas, agar nilai-nilai yang dibangun tidak mudah menghilang. Paradigma kritis dalam pendidikan, yaitu melatih peserta didik untuk mampu mengidentifikasi

36

ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis begaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana menstransformasikannya kedalam suatu aksi nyata. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan, agar peserta didik terlibat dalam proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan demokratis (Firdaus M. Yunus, 2004: 51).

Freire (2002: xviii) mengatakan jika seseorang sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, maka mulai masuk ke dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata-mata. Orang yang mengerti bukanlah orang yang menghafal, karena ia menyatakan diri atau sesuatu berdasarkan “kesadaran“, sedangkan orang yang menghafal hanya menyatakan diri atau sesuatu secara mekanis tanpa (perlu) sadar apa yang dikatakannya, dari mana ia telah menerima hafalan yang dinyatakannya itu, dan untuk apa ia menyatakannya kembali pada saat itu. Freire mengatakan penyadaran pada umumnya dan conscientizacao pada khususnya, memperhatikan perubahan-perubahan hubungan antar manusia yang akan memperbaiki kesalahan manusia. Dalam hal ini penyadaran dapat dibangun ketika orang tersebut merasa memiliki adanya suatu masalah bersama. Conscientizacao bukanlah teknik atau transfer informasi, tetapi merupakan proses dialogis yang mengantarkan individu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah-masalah mereka. Conscientizacao mengemban tugas pembebasan dan itu berarti penciptaan

37

norma, aturan, prosedur dan kebijakan baru. Sehingga proses penyadaran ini dilakukan melalui diskusi, yang akan melahirkan suatu pengetahuan baru (Firdaus M. Yunus, 2004:52).

Makna Conscientizacao adalah sebuah pencarian jawaban-jawaban secara kooperatif dan mendalam, atas masalah-masalah yang tak terpecahkan yang dihadapi oleh sekelompok orang. Dengan dimikian, tidak ada “ahli” yang mengetahui jawaban-jawaban tersebut. Setiap individu memiliki kebenaran yang sama, tetapi berbeda dalam hal cara melihat persoalan yang harus didefinisikan dan cara mecari jawabannya yang harus diformulasikan. Partisipasi bukanlah sebuah alat pendidikan yang tepat, tetapi merupakan inti dari proses pendidikan. Sehingga tujuan pendidikan adalah menjadikan Conscientizacao sebagai puncak kesadaran kaum tertindas (William A. Smith, 2001: 4).

Freire mengklaim bahwa tugas kemanusiaan kaum tertindas adalah membebaskan dirinya sendiri. Membebaskan dari belenggu struktur ketidakadilan. Tujuan pendidikan kaum tertindas adalah mengembalikan kemanusiaan yang hilang, akibat dari dehumanisasi yang dilakukan penguasa. Konsep penyadaran atau kesadaran kritis sangat mendasar dalam pendidikan radikal Freire. Freire mengaitkan refleksi dan aksi sebagai bagian proses tak terpisahkan, dalam pengenalan dan perubahan kontradiksi-kontradiksi politik, ekonomi, dan sosial. Sehingga terdapat refleksi dan pembedahan materi, serta pemecahan masalah yang dilakukan sebelum melakukan aksi (Firdaus M. Yunus, 2004: 54-55).

38

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa conscientizacao sebagai sebuah proses untuk menjadi manusia yang selengkapnya dapat dibagi menjadi tiga fase yakni: kesadaran magis, naïf dan kritis. Penyadaran dapat dibangun ketika orang tersebut merasa memiliki adanya suatu masalah bersama, dengan menggunakan proses dialogis yang mengantarkan individu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah-masalah mereka. Konsep refleksi dan aksi merupkan bagian yang tak terpisahkan untuk pencapaian penyadaran kritis.