• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

D. Kritik Pendidikan Gaya Bank

1. Metode Hadap Masalah

Pendidikan hadap masalah adalah metode pendidikan yang menjawab panggilan manusia untuk menjadi subjek, di mana muatan pendidikan harus dapat disesuaikan dengan permasalahan-permasalahan yang muncul (Firdaus M.Yunus, 2004: 43). Artinya, metode hadap masalah ini menekankan dialog pendidik kepada peserta didik dengan berbasis permasalahan kehidupan. Permasalahan ini dapat muncul dari pengalaman-pengalaman pendidik maupun peserta didik. Keduanya dapat saling belajar untuk memecahkan masalah kehidupan.

Peran pendidik adalah memaparkan masalah tentang situasi eksistensial yang telah dikodifikasi untuk membantu peserta didik agar memiliki pandangan yang lebih kritis terhadap realitas. Objek realitas tersebut dapat diperoleh dari pengalaman peserta didik mengeni konteks

49

sehari-hari, sehingga mudah dipahami. Dalam hal ini tanggung jawab pendidik yang menempatkan diri sebagai teman dialog peserta didik lebih besar, daripada guru yang hanya memindahkan informasi yang harus diingat oleh peserta didik (Freire, 2002 : 103).

Bagi Freire (2013: xxi), ” problem posing education " atau yang disebut dengan pendidikan hadap masalah memungkinan proses konsientisasi (conscientizacao). Dialog merupakan unsur yang sangat penting dalam pendidikan. Dalan konsientisasi, guru dan murid bersama- sama menjadi subjek dan disatukan oleh objek yang sama. Guru dan murid secara serempak menjadi murid dan guru. Guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis para murid. Dengan demikian, kedua belah pihak bersama-sama mengembangkan kemampuan untuk mengerti secara kritis dirinya sendiri dan dunia tempat mereka berada. Mereka akan melihat bahwa dunia bukan merupakan realitas yang statis, melainkan suatu proses "menjadi". Sistem pendidikan tersebut dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:

50

dunia, pengetahuan, situasi, problem

objek

subjek bersama-sama

guru murid

subjek objek refleksi, dialog, observasi

tantangan perubahan

(Sumber:Paulo Freire, 2013: xxi)

Gambar 1.

Pendidikan Hadap Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode hadap masalah merupakan metode pendidikan yang menjawab panggilan manusia untuk menjadi subjek, dalam pemecahan masalah kehidupan. dalam pendidikan hadap masalah, dialog merupakan unsur yang sangat penting. Guru dan murid bersama-sama menjadi subjek dan disatukan oleh objek yang sama. Guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis para murid. Dengan metode pendidikan hadap masalah, dapat menumbuhkan interaksi manusia dengan dunianya, karena tugas pendidikan hadap masalah adalah menyadarkan manusia bahwa ia menjadi bagian dari realitas tersebut untuk melakukan perubahan.

51 2. Metode Dialogis

Dengan adanya pendidikan tradisional yang masih menggunakan sistem “Gaya Bank“ yang memutlakkan pendidikan sebagai bentuk penindasan pendidik terhadap peserta didik, Freire memecahkan kontradiksi yang terjadi tersebut dengan metode dialog. Di mana pendidik dan peserta didik harus berdialog dalam memecahkan segala persoalan, bukan membuat jarak antara pendidik dengan peserta didik yang berupaya untuk penindasan secara lebar. Oleh karena itu, satu-satunya alat paling efektif dalam sebuah pendidikan pemanusiaan adalah adanya hubungan timbal balik permanen berbentuk dialog. Dengan demikian, segala persoalan terpecahkan menjadi lebih jelas dan terbuka (Firdaus M. Yunus, 2004: 45-46).

Dialog merupakan metode yang tepat untuk mendapatkan pengetahuan, subjek harus memakai pendekatan ilmiah dalam berdialektika dengan dunia sehingga dapat menjelaskan realitas secara benar. Sesungguhnya mengetahui itu tidak sama dengan mengingat. Mengetahui merupakan proses berdialektika dan tidak terpisah dengan aksi refleksi manusia, sedangkan mengingat hanyalah sekedar menerima dari informan dan mungkin saja akan terlupakan makna yang terkandung (Freire, 2002: 105).

Freire menegaskan bahwa dialog merupakan hal yang esensial pada proses penyadaran. Manusia hidup tanpa dialog, kesadaran

52

seseorang untuk memaknai dunia, dan mendorong transformasi sosial serta pembebasan. Freire tanpa malu-malu memegang teguh nilai-nilai seperti cinta sebagai esensi dari dialog yaitu:

Jika aku tidak mencintai dunia, jika aku tidak mencintai hidup, jika aku tidak mencintai manusia, aku tidak dapat terlibat dalam dialog. Menurut Freire, dialog mengandung arti bersikap kritis tentang rasio d’etre (sebab mengapa ada) objek-objek dan subjek-subjek dialog. Dengan demikian dialog harus berjalan bebas, efektif, dan harapan (Firdaus M. Yunus, 2004: 47).

Inilah sebabnya mengapa dialog sebagai bagian fundamental dari struktur pengetahuan harus selalu terbuka. Kelas bukanlah kelas dalam arti tradisional, melainkan tempat pertemuan dimana pengetahuan dicari bersama. Pendidik harus dapat menempatkan perannya sebagai teman, fasilitator dan penengah dalam meluruskan pengetahuan, serta tidak mengesampingkan nilai-nilai demokratis untuk membangun daya kreativitas anak. Pendidik tidak boleh melembagakan keterangan- keterangan hafalan, mekanistis, karena bila seseorang terdidik mengajukan pertanyaan, para pendidik haruslah menyusun kembali seluruh usaha kognitif sebelumnya (Paulo Freire, 1969: 118).

Tugas pendidik adalah mengetengahkan isi pelajaran, bukannya mengulasnya sendiri, memberikannya kepada terdidik, seakan-akan isi pelajaran itu sesuatu yang siap, jadi, lengkap dan selesai. Dalam mengetengahkan masalah kepada para terdidik, pendidik juga ikut merasakan masalah yang dihadapi. Pendidik berlaku sebagai pengamat dan membiarkan para terdidik menangkap sendiri, menganalisa dan kemudian memahami problem tersebut. Pendidik harus dapat menghargai setiap

53

argumen terdidik agar terdidik tidak kehilangan hak nya dalam menyampaikan pendapatnya (Paulo Freire, 1969: 120).

Dalam proses dialog, terdapat beberapa tahap yang ditawarkan oleh Freire yaitu, kodifikasi merupakan cara di mana peserta didik mengabstraksikan realitas yang ia alami secara konkret. Analisis ini melibatkan pengujian atas abstraksi dengan cara merepresentasikan realitas konkret, terutama dalam mencari pengetahuan tentang realitas. Setelah kodifikasi yaitu dekodifikasi, merupakan cara menganalisis secara kritis terhadap apa yang telah dihasilkan pada tahap kodifikasi (abstraksi realitas). Tujuan dekodifikasi adalah tercapainya tingkat pengetahuan kritis (Firdaus M. Yunus, 2004: 47).

Berdasarkan hal tersebut, Freire menyatakan bahwa dialog merupakan metode yang tepat untuk mendapatkan pengetahuan. Dialog merupakan hal yang esensial pada proses penyadaran. Manusia hidup tanpa dialog, kesadaran individu sulit dibangun. Hal ini dikarenakan dialog dapat membawa seseorang untuk memaknai dunia, dan mendorong transformasi sosial serta pembebasan.