• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seleksi Rumput Tahan Cekaman Kekeringan Dan Potensi Pengembangannya Di Daerah Kering Dengan Teknik Leisa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Seleksi Rumput Tahan Cekaman Kekeringan Dan Potensi Pengembangannya Di Daerah Kering Dengan Teknik Leisa"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

SELEKSI RUMPUT TAHAN CEKAMAN KEKERINGAN DAN

POTENSI PENGEMBANGANNYA DI DAERAH KERING

DENGAN TEKNIK LEISA

MOH ALI HAMDAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Seleksi Rumput Tahan Cekaman Kekeringan dan Potensi Pengembangannya di Daerah Kering dengan

Teknik Leisa” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016

(4)

RINGKASAN

MOH ALI HAMDAN. Seleksi Rumput Tahan Cekaman Kekeringan dan Potensi Pengembangannya di Daerah Kering dengan Teknik Leisa. Dibimbing oleh PANCA DEWI MHK dan IWAN PRIHANTORO.

Peternakan ruminansia di Indonesia didominasi oleh peternakan rakyat. Sebagian besar peternak memanfaatkan rumput sebagai hijauan pakan utama untuk ternak. Akan tetapi kendala yang dihadapi oleh peternak adalah ketersediaan hijauan. Kuantitas, kualitas, dan kontinuitas hijauan adalah faktor penghambat hijauan pakan. Tujuan penelitian adalah menseleksi beberapa jenis rumput yang tahan terhadap cekaman kekeringan, mengembangkan rumput tahan kering di daerah kering, mengevaluasi potensi rumput tahan kering, dan untuk mengetahui dosis pupuk yang sesuai untuk masing-masing jenis rumput tahan kering dengan menggunakan teknik LEISA.

Penelitian tahap pertama menggunakan 10 jenis rumput yakni Brachiaria decumbens Stapf, Brachiaria humidicola Schwieck, Brachiaria hybrid cv. Mulato, Panicum maximum cv. Gatton, Panicum maximum var. Trichoglum, Paspalum atratum Swollen, Paspalum notatum Flugge, Pennisetum purpureum cv. Mott, Pennisetum purpureum cv. Taiwan, dan Setaria splendida Stapf. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan empat level perlakuan kadar air dari 100% hingga 25% kapasitas lapang. Peubah yang diamati berupa respon morfologi, fisiologi, dan kandungan nutrisi dengan tujuan untuk menseleksi rumput yang tahan kekeringan. Penelitian tahap pertama memberikan hasil bahwa terdapat 6 rumput yang terpilih untuk dilakukan penelitian kedua. Keenam rumput tersebut adalah Brachiaria decumbens Stapf, Brachiaria humidicola Schwieck, Paspalum atratum Swollen, Paspalum notatum Flugge, Pennisetum purpureum cv. Mott, dan Setaria splendida Stapf.

Penelitian tahap kedua menggunakan rancangan acak lengkap dengan perlakuan lima kombinasi pupuk yang berbeda berdasarkan teknik LEISA. Brachiaria decumbens Stapf memiliki produktivitas tertinggi pada lahan terbuka dengan pemupukan 100% anorganik. Brachiaria humidicola Schwieck di lahan terbuka dengan pemupukan organik 50% + anorganik 50% memberikan respon produktivitas terbaik. Paspalum atratum Swollen di lahan terbuka menggunakan pupuk organik 25% + pupuk anorganik 75% memiliki produktivitas terbaik. Paspalum notatum Flugge di lahan terbuka dengan pupuk organik 25% + anorganik 75% memiliki produktivitas terbaik. Pennisetum purpureum cv. Mott di lahan terbuka memiliki produktivitas terbaik dengan pemberian pupuk 50% anorganik + pupuk anorganik 50%. Setaria splendida Stapf dengan dosis pemupukan organik 50% + anorganik 50% memberikan hasil terbaik ketika ditanam di lahan terbuka.

(5)

SUMMARY

MOH ALI HAMDAN. The Selection of Drought Resistance Grass and Its Potency on Dry Area by Using LEISA Technique. Supervised by PANCA DMH KARTI and IWAN PRIHANTORO.

Indonesian ruminant livestock roled traditionally. Grass still the main feed for cattle. As a tropical country, Indonesia has many grass diversity. However, grass availability still become an obstacle. The quantity, quality, and continuity are the limiting factor. The research aimed to select several drought resistance grass, evaluating its potency and to find out the suitable dose of fertilizer by using LEISA technique.

The first stage reseach used 10 kinds of grasses, they were Brachiaria decumbens Stapf, Brachiaria humidicola Schwieck, Brachiaria hybrid cv. Mulato, Panicum maximum cv. Gatton, Panicum maximum var. Trichoglum, Paspalum atratum Swollen, Paspalum notatum Flugge, Pennisetum purpureum cv. Mott, Pennisetum purpureum cv. Taiwan, and Setaria splendida Stapf. Research used completely randomized design with four water treatments level. Evaluated variable were mofology, physiology, and nutrition compound. There were six qualified grasses. They were Brachiaria decumbens Stapf, Brachiaria humidicola Schwieck, Paspalum atratum Swollen, Paspalum notatum Flugge, Pennisetum purpureum cv. Mott, and Setaria splendida Stapf.

The second stage used completely randomized design with five fertilizer combination treatments based on LEISA technique. LEISA application increased productivity of grasses and each grass gave specified respons. Brachiaria decumbens Stapf fertilized by 100% anorganic has the best productivity on both opened and shaded area. Anorganic 100% gave the best productivity of Paspalum atratum Swollen on shaded area and combination of organic 25% + anorganic 75% gave the best productivity on opened area. Anorganic 100% gave the best productivity of Paspalum notatum Flugge on shaded area and combination of organic 25% + anorganic 75% gave the best productivity on opened area. Anorganic 100% gave the best productivity of Pennisetum purpureum cv. Mott on shaded area and combination of organic 50% + anorganic 50% gave the best productivity on opened area. Setaria splendida Stapf fertilized by organic 50% + anorganic 50% had the best productivity on both opened and shaded area.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SELEKSI RUMPUT TAHAN CEKAMAN KEKERINGAN DAN

POTENSI PENGEMBANGANNYA DI DAERAH KERING

DENGAN TEKNIK LEISA

MOH ALI HAMDAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Seleksi Rumput Tahan Cekaman Kekeringan dan Potensi Pengembangannya di Daerah Kering dengan Teknik Leisa. Penulisan karya ilmiah ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan, Institut Pertanian Bogor dan sebagian hasil penelitian ini telah dipublikasikan dalam seminar

internasional “The Third International Seminar on Animal Industry” pada bulan Agustus 2015 di Bogor.

Karya ilmiah ini disusun untuk menginformasikan hasil penelitian mengenai potensi rumput tahan cekaman kekeringan di daerah kering Kabupaten Bojonegoro dengan harapan agar peternak lokal dapat mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan pakan ternak ruminansia.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, komisi dosen pembimbing (Prof Dr Panca Dewi Manu Hara Karti MS dan Dr Iwan Prihantoro, SPt, MSi) yang telah memberikan bimbingan dan segala bentuk bantuan materi maupun moral sehingga penelitian dan tesis ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada DIPA IPB melalui program Penelitian Institusi yang telah membiayai seluruh biaya penelitian penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih Ketua dan Staf Sekretariat Pascasarjana Ilmu Nutrisi dan Pakan, Fakultas Peternakan (Prof Dr Ir Yuli Retnani MSc, Bapak Supri dan Ibu Ade), Staf Laboratorium Agrostologi, Bapak Djamil Bojonegoro dan rekan-rekan yang telah terlibat dan membantu dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Program Magister Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui program BPDDN 2013.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan masyarakat, mahasiswa dan khususnya peternak lokal demi kemajuan peternakan Indonesia.

Bogor, Oktober 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

2 METODE 3

Tahap I : Seleksi Rumput Tahan Kekeringan 3

Waktu dan Tempat Penelitian 3

Materi 3

Metode 3

Persiapan media tanam 3

Penentuan kapasitas lapang 4

Perlakuan 4

Peubah yang diamati 4

Persen penurunan peubah seleksi 4

Rancangan dan model matematika 5

Penilaian 5

Tahap II : Pengembangan Rumput Tahan Kekeringan di Lahan Kering 6

Waktu dan Tempat Penelitian 6

Materi 6

Metode 7

Persiapan Lahan 7

Penanaman 7

Pemupukan 7

Parameter morfologi tanaman 7

Parameter nutrisi hijauan 7

Rancangan dan model matematika 7

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Tahap I : Seleksi Rumput Tahan Kekeringan 9

Mikroklimat Rumah Kaca 9

Penilaian (Scoring) Rumput Tahan Kekeringan 9

Rekapitulasi Penilaian Rumput Tahan Kekeringan 16

Kandungan Nutrisi Tanaman 17

Tahap II : Pengembangan Rumput Tahan Kekeringan di Lahan Kering 18

Karakteristik Tanah 18

(12)

Produksi Berat Kering Rumput 25

4 SIMPULAN DAN SARAN 33

Simpulan 33

Saran 33

5 DAFTAR PUSTAKA 34

6 LAMPIRAN 38

(13)

DAFTAR TABEL

1 Bobot peubah seleksi rumput tahan kering 5

2 Acuan tetapan skor peubah seleksi 6

3 Evaluasi peubah konsumsi air 10

4 Evaluasi peubah jumlah daun 11

5 Evaluasi peubah tinggi tanaman 12

6 Evaluasi peubah kadar gula terlarut 13

7 Evaluasi peubah kadar air relatif daun 14

8 Evaluasi peubah produksi berat kering 16

9 Seleksi Rumput Tahan Kering 17

10 Kandungan nutrisi rumput 17

11 Karakter fisika dan kimia tanah di lokasi peneliian 19

12 Pertumbuhan Brachiaria decumbens 20

13 Pertumbuhan rumput Brachiaria humidicola 21

14 Pertumbuhan rumput Paspalum atratum 22

15 Pertumbuhan rumput Paspalum notatum 23

16 Pertumbuhan Pennisetum purpureum cv. Mott 24

17 Pertumbuhan rumput Setaria splendida 24

18 Produksi berat kering rumput di lahan Bojonegoro 26

19 Produktivitas rumput musim penghujan 31

20 Kandungan nutrient rumput 31

DAFTAR GAMBAR

1 Mikroklimat rumah kaca. (a) rataan suhu, (b) rataan intensitas cahaya 9

2 Produksi BK rumput padang penggembalaan 28

3 Produksi BK rumput potongan 29

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

6 Uji duncan tinggi tanaman Brachiaria hybrid cv. Mulato 39 7 Analisis ragam kadar gula terlarut Paspalum atratum Swollen 39 8 Uji duncan kadar gula terlarut Paspalum atratum Swollen 39 9 Analisis ragam kadar air relatif daun P. purpureum cv. Mott 39 10 Uji duncan kadar air relatif daun P. purpureum cv. Mott 39 11 Analisis ragam produksi berat kering B. decumbens Stapf 40 12 Uji duncan produksi berat kering Brachiaria decumbens Stapf 40 13 Analisis ragam produksi bk Brachiaria decumbens Bojonegoro 40 14 Uji duncan produksi bk Brachiaria decumbens Bojonegoro 40

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peternakan ruminansia di Indonesia didominasi oleh peternakan rakyat. Peternak menggunakan sistem pemeliharaan eksteksif dan semi intensif. Akan tetapi, peternak umumnya tidak memiliki lahan untuk penggembalaan. Peternak mencari rumput untuk memenuhi kebutuhan hijauan pakan dan menggembalakan ternak di lahan yang ditmbuhi rumput. Rumput masih menjadi hijauan pakan utama untuk ternak.

Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki keanekaragaman rumput yang tinggi. Keanekaragaman rumput ini membuat Indonesia memiliki jenis rumput yang banyak jumlahnya. Akan tetapi, sebagai negara tropis, beberapa daerah di Indonesia memiliki panjang musim yang berbeda. Ada tiga klasifikasi panjang musim di Indonesia yaitu musim penghujan yang lebih panjang daripada musim kemarau, musim penghujan yang sama dengan musim kemarau, dan musim penghujan yang lebih pendek dari musim kemarau. Ketersediaan hijauan sangat ditentukan oleh musim, umumnya hijauan melimpah di awal musim kemarau dan kekurangan di awal musim penghujan. Bagi daerah yang memiliki musim kemarau lebih panjang dari musim penghujan, ketersediaan hijauan menjadi faktor penghambat bagi perkembangan peternakan. Widiati (2003) menyatakan bahwa tidak terjaminnya kuantitas, kualitas, dan kontinyuitas hijauan pakan sepanjang tahun dapat mengganggu produktivitas ternak.

Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, merupakan daerah kering dengan musim kemarau yang lebih panjang daripada musim penghujan. Musim kemarau berlangsung selama delapan bulan dan musim penghujan selama empat bulan dalam satu tahun. Rataan curah hujan pada tahun 2006 sebanyak 120 mm per bulan, tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi 144 mm per bulan, dan tahun 2008 turun menjadi 142 mm per bulan. Menurut Goenadi (2003) rata-rata interval curah hujan bulanan di nilai 100 mm hingga 150 mm diklasifikasikan dalam kelas curah hujan rendah Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa Kabupaten Bojonegoro memiliki curah hujan yang rendah.

Potensi ternak Kabupaten Bojonegoro pada tahun 2013 terdiri dari beberapa jenis, yaitu sapi potong sebanyak 160 037 ekor, sapi perah sebanyak sembilan belas ekor, kerbau sebanyak 1 026 ekor, kuda sebanyak 123 ekor, kambing sebanyak 105 013 ekor, dan domba sebanyak 129 990 ekor (BPS Bojonegoro 2013). Potensi ternak tersebut tentunya memerlukan ketersediaan hijauan sebagai pakan. Selama ini, pola penyediaan hijauan berasal dari rumput non budidaya yang tumbuh di daerah sekitar hutan jati. Diketahui bahwa hanya sebagian kecil peternak saja yang telah membudidayakan rumput dalam skala kecil. Tingginya populasi ternak dan rendahnya curah hujan menjadikan ketersediaan hijauan cenderung defisien sepanjang tahun terutama pada musim kemarau.

(16)

2

ketersediaannya tidak terlalu dipengaruhi oleh musim. Beberapa rumput yang tahan kekeringan menurut hasil penelitian Karti (2010) adalah Brachiaria decumbens Stapf, Brachiaria humidicola Schwieck, Brachiaria hybrid cv. Mulato, Panicum maximum cv. Gatton, Panicum maximum var. Trichoglum, Paspalum atratum Swollen, Paspalum notatum Flugge, Pennisetum purpureum cv. Mott, Pennisetum purpureum cv. Taiwan, Setaria splendida Stapf.

Beberapa kajian menunjukkan bahwa rumput yang tahan kekeringan memiliki produktivitas yang relatif stabil sepanjang tahun. Apabila produktivitasnya menurun, penurunan produktivitas tersebut tidak menurun tajam. Rumput odot (Pennisetum purpureum cv. Mott) memiliki produksi 2000 hingga 2500 kg/ha/bulan ketika musim penghujan (Olivo et al. 1992; Coser et al. 1997) dan menurun hingga 1600 kg/ha/bulan pada musim kemarau di daerah tropis (Werner et al. 1966). Brachiaria humidicola Schwieck memiliki toleransi yang moderat terhadap naungan dan kemampuan produksinya termasuk tinggi. Produksi bahan kering Brachiaria humidicola Schwieck pada naungan antara 0-25% diketahui mencapai 22,0 ton/ha/th dan mencapai 10,5 ton/ha/th pada tingkat naungan 50-75% (Wong 1990). Selain itu, rumput koronivia (Brachiaria humidicola Schwieck) cukup persisten dan agresif sebagai salah satu rumput padang penggembalaan (Abdullah 2010).

Upaya pengembangan rumput tahan kekeringan dapat menggunakan teknik LEISA. LEISA merupakan singkatan dari Low External Input for Sustainable Agriculture. Teknik ini memiliki prinsip yang masih mengizinkan penggunaan input dari luar lingkungan seperti penggunaan pupuk dan pestisida dalam jumlah yang terbatas namun dapat memberikan peningkatan hasil yang optimal. Sutanto (2002) menyatakan bahwa penggunaan pupuk kimia masih dipebolehkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Tanaman yang ditanam harus memiliki daya adaptasi yang tinggi agar penggunaan external input (pupuk) dapat diminimalisir (Giovannuci 2007). Oleh karena itu, penggunaan bibit rumput yang dikembangkan harus memiliki karakter yang tahan terhadap kekeringan.

Tujuan Penelitian

(17)

3

2

METODE

Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental yang dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama yakni seleksi rumput untuk memperoleh jenis yang tahan terhadap kekeringan. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca agar kondisi lingkungan dapat dimanipulasi sedemikian rupa agar perlakuan kekeringan dapat dilakukan. Setelah mendapatkan jenis rumput yang paling tahan terhadap kekeringan maka penelitian dilanjutkan ke tahap kedua. Penelitian tahap kedua merupakan penelitian di lapangan yang bertujuan untuk mengembangkannya di lahan kering.

Tahap I : Seleksi Rumput Tahan Kekeringan

Penelitian tahap pertama menggunakan 10 jenis rumput yang memiliki sifat tahan kering. Seleksi bertujuan untuk mengeliminasi empat jenis rumput yang kurang tahan terhadap kekeringan. Keenam jenis rumput terpilih akan dikembangkan dalam penelitian tahap kedua.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian tahap pertama dilakukan di rumah kaca unit agrostologi kandang B laboratorium lapang Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Oktober hingga Desember 2014.

Materi

Penelitian menggunakan 10 jenis rumput tahan kekeringan. Rumput tersebut adalah Brachiaria decumbens Stapf, Brachiaria humidicola Schwieck, Brachiaria hybrid cv. Mulato, Panicum maximum cv. Gatton, Panicum maximum var. Trichoglum, Paspalum atratum Swollen, Paspalum notatum Flugge, Pennisetum purpureum cv. Mott, Pennisetum purpureum cv. Taiwan, Setaria splendida Stapf, tanah latosol dramaga, pupuk kandang, polibag, gembor, ayakan, meteran, jangka sorong, gunting, kantong kertas, timbangan, oven 60 oC dan oven 105 oC.

Metode

(18)

4

Penentuan kapasitas lapang. Penentuan kapasitas lapang mengacu pada teori yang dikemukakan Dani dan Warth (2000); Jury (2001). Pada penelitian ini penyiraman air untuk mencapai kadar jenuh dilakukan selama 24 jam hingga memperoleh volume air yang kemudian digunakan sebagai perlakuan kontrol.

Perlakuan. Penelitian tahap pertama menggunakan 4 perlakukan yaitu 100% kapasitas lapang, 75% kapasitas lapang, 50% kapasitas lapang, 25% kapasitas lapang. Penyiraman dilakukan selama 3 hari sekali untuk mengatur kadar air tanah agar tidak mencapai level perlakuan yang lain.

Peubah yang diamati. Peubah yang diamati pada penelitian ini ada 3 jenis yaitu morfologi tanaman (tinggi tanaman dan jumlah daun), fisiologi tanaman (konsumsi air, kadar air relatif daun dan total gula terlarut), serta produksi (bahan kering). Metode yang digunakan untuk mengamati peubah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Konsumsi air. Konsumsi air bagi tanaman dihitung setiap tiga hari sekali. Tanaman disiram dengan sejumlah air untuk mengembalikan ke kondisi awal perlakuan cekaman kekeringan yang diberikan. Penambahan air ke tanaman dihitung sebagai konsumsi air.

2. Tinggi tanaman. Tinggi tanaman diukur setiap 7 hari sekali untuk mengetahui pola pertumbuhan tanaman. Tinggi tanaman diukur dari atas tanah hingga ujung daun tertinggi dari tanaman tersebut dengan menggukan meteran.

3. Jumlah daun. Jumlah daun dihitung setiap 7 hari sekali untuk mengetahui pola pertumbuhan tanaman. Daun yang telah mati tidak dihitung.

4. Kadar air relatif daun. Sampel daun segar ditimbang sehingga didapatkan berat segar (BS), kemudian dimasukkan ke dalam gelas plastik. Gelas plastik berisi sampel daun segar diberi aquadest sehingga seluruh permukaan daun terendam, ditutup dengan kertas saring, dan disimpan selama 24 jam. Air yang masih tersisa dibuang dan sampel ditiriskan dengan tisu, ditimbang sehingga didapatkan berat turgid (BT). Kemudian sampel di oven pada suhu 60°C selama 2x24 jam,

ditimbang dan didapatkan berat kering (BK). Nilai kadar air relatif daun didapatkan dengan menggunakan perhitungan:kadar air relatif daun=BSBT--BKBK×100%.

5. Kadar gula terlarut. Pengukuran kadar gula terlarut menggunakan alat refractometer brix tipe 032. Pada bagian batang rumputdipecah dan diambil air yang terkandung di dalamnya. Air pada bagian batang tanaman diteteskan pada bidang pengamatan kemudian ditutup menggunakan tutup yang ada. Setelah itu dilakukan pembacaan skala kadar gula.

6. Berat kering. Pengukuran berat kering dilakukan saat panen dengan cara menimbang berat segar saat panen. Setelah itu dilakukan pengeringan secara diangin-anginkan selama satu hari. Selanjutnya dilakukan pengeringan menggunakan oven 60°C selama dua hari.

(19)

5

Rancangan dan Model Matematika

Rancangan percobaan pada penelitian tahap pertama menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan empat ulangan. Keempat perlakuan tersebut adalah:

P1 : kadar air 25 % kapasitas lapang P2 : kadar air 50 % kapasitas lapang P3 : kadar air 75 % kapasitas lapang P4 : kadar air 100 % kapasitas lapang

dengan menggunakan model matematika RAL sebagai berikut: Yij = µ + αi + εij

Keterangan:

Yij : nilai hasil pengamatan pemberian pupuk ke i dan ulangan ke j µ : rataan umum

αi : pengaruh perlakuan pemberian air ke-i

εij : galat perlakuan pemberian air ke i dan ulangan ke-j

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA), apabila beda nyata antar perlakuan maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel dan Torrie 1995). Pengolahan data menggunakan software statistik SPSS 16.0.

Penilaian. Penilaian (scoring) mengacu pada Rangkuti (1997). Penilaian dibagi menjadi dua bagian yakni skor dan bobot. Total bobot adalah 100. Bobot diberikan kepada setiap peubah yang diamati dalam penelitian. Bobot peubah cekaman kekeringan bervariasi dari yang tertinggi adalah peubah cekaman kekeringan yang memegang peranan penting dari seleksi kekeringan. Skor diberikan kepada setiap jenis tanaman dimulai dari hasil respon peubah terhadap perlakuan kekeringan yang diberikan. Skor tanaman diberikan berdasarkan daya adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan. Total nilai tertinggi menunjukkan jenis rumput yang menunjukkan performa paling baik terhadap cekaman kekeringan. Dari 10 jenis akan dipilih enam jenis dengan total nilai paling tinggi. Peubah yang digunakan untuk acuan seleksi sebanyak enam kategori yakni konsumsi air, jumlah daun, tinggi tanaman, kadar gula, kadar air relatif daun, dan bahan kering. Penetapan penilaian bobot berdasarkan prioritas peubah seleksi. Detil tetapan nilai peubah seleksi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Bobot peubah seleksi rumput tahan kering

Peubah Bobot Total Bobot

Morfologi 25

(20)

6

Penetapan scoring dilakukan untuk mendapatkan ketahan rumput terhadap cekaman kekeringan. Masing-masing rumput yang ditanam di rumah kaca dievaluasi menurut enam peubah seleksi. Penilaian diberikan kepada semua rumput secara komprehensif menurut respon terhadap perlakuan. Rumput yang memberikan respon paling baik akan memiliki skor tertinggi dan rumput yang memberikan respon paling buruk mendapatkan skor terendah. Berikut Tabel 2 adalah acuan tetapan skor untuk tanaman berdasarkan evaluasi daya adaptasi terhadap cekaman kekeringan.

Tabel 2 Acuan tetapan skor peubah seleksi

Analisa Statistik Persen Penurunan Peubah Bobot Peubah

10 15 40

Tidak beda nyata *) 0 10.00 15.00 40.00

Beda nyata *) 1 s/d 10 9.00 13.50 36.00

11 s/d 20 8.00 12.00 32.00

21 s/d 30 7.00 10.50 28.00

31 s/d 40 6.00 9.00 24.00

41 s/d 50 5.00 7.50 20.00

51 s/d 60 4.00 6.00 16.00

61 s/d 70 3.00 4.50 12.00

71 s/d 80 2.00 3.00 8.00

81 s/d 90 1.00 1.50 4.00

91 s/d 100 0.00 0.00 0.00

Keterangan: *) Analisa statistik menggunakan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT)

Tahap II : Pengembangan Rumput Tahan Kekeringan di Lahan Kering

Penelitian tahap kedua menggunakan enam jenis rumput yang memiliki total nilai hasil seleksi tertinggi. Total nilai tertinggi menunjukkan respon paling baik terhadap cekaman kekeringan. Keenam jenis rumput terpilih ditanam di Kabupaten Bojonegoro sebagai salah satu daerah kering di Jawa Timur yang sedang aktif mengembangkan peternakan rakyat ruminansia.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian tahap kedua dilakukan di hutan jati Desa Sambeng, Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro. Penelitian tahap kedua ini dilaksanakan pada bulan Desember 2014 hingga Januari 2015.

Materi

(21)

7

sabit, meteran, ember, gembor, cangkul, kantong kertas, alat tulis, timbangan, plastik sampel, karung.

Metode

Persiapan Lahan. Tahap pertama dari persiapan lahan adalah land clearing. Metode land clearing meliputi pembakaran lahan, penyemprotan herbisida, dan pemotongan gulma.

Penanaman. Rumput ditanam pada lahan yang telah disiapkan dengan jarak tanam sebesar 75 cm. Pemangkasan dilakukan pada hari ke-30 setelah penanaman. Pemangkasan dilakukan untuk penyamarataan tinggi dan ukuran tanaman sehingga tanaman memiliki ukuran yang seragam. Tanaman dipangkas dengan tinggi 10 cm di atas tanah yang selanjutnya disebut tinggi awal (H0).

Pemupukan. Pemupukan dilakukan setelah pemangkasan. Pemupukan menggunakan metode LEISA (Low External Input for Sustainable Agriculture). LEISA merupakan suatu pola usaha tani yang memanfaatkan sumberdaya alam seperti pupuk organik serta sumber daya hayati (mikroba berguna) dalam bentuk pupuk hayati, namun penggunaan input luar (pupuk anorganik dan pestisida kimia) masih diperbolehkan dalam jumlah yang lebih rendah selama produk yang dihasilkan aman dan sehat (Sutanto 2002); (Giovannucci 2007). Pupuk yang digunakan adalah pupuk organik (Petroorganik) dan pupuk anorganik (Urea, SP36, dan KCl). Dosis pupuk organik yang digunakan adalah 5 ton/ha, dosis pupuk urea sebanyak 200 kg/ha, dosis pupuk SP36 sebanyak 150 kg/ha, dan dosis pupuk KCl sebanyak 100 kg/ha. Berdasarkan dosis tersebut diperoleh dosis untuk pemupukan tanaman berdasarkan satuan luas tanam.

Parameter morfologi tanaman. Parameter diukur pada saat pemeliharaan dan pemanenan. Peubah yang diamati adalah tinggi tanaman dan produksi berat kering.

Parameter nutrisi hijauan. Parameter nutrisi yang digunakan adalah analisa proksimat (AOAC 2005) dan analisa Van Soest (1991).

Rancangan dan model matematika. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial 2x5 dengan 2 faktor yakni dosis pupuk dan lokasi tanam. Lokasi tanam yakni di bawah naungan dan lahan terbuka. Lima perlakuan dan masing-masing perlakuan memiliki empat ulangan. Perlakuan dosis pupuk tersebut adalah:

P1 : 100 % pupuk organik

P2 : 75 % pupuk organik + 25 % pupuk anorganik P3 : 50 % pupuk organik + 50 % pupuk anorganik P4 : 25 % pupuk organik + 75 % pupuk anorganik P5 : 100 % pupuk anorganik

(22)

8

Keterangan:

Yijk : nilai hasil pengamatan pemberian pupuk ke i dan ulangan ke j µ : rataan umum

αi : pengaruh taraf ke-i dari faktor A

βj : pengaruh taraf ke-j dari faktor B

(αβ)ij : pengaruh taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B

εijk : galat dari satuan percobaan ke-k

(23)

9

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap I : Seleksi Rumput Tahan Kekeringan

Mikroklimat Rumah Kaca

Penelitian tahap pertama dilaksanakan di rumah kaca laboratorium lapang agrostologi, Institut Pertanian Bogor, pada bulan Oktober hingga Desember 2014. Pada bulan tersebut merupakan musim penghujan. Hujan sering terjadi saat sore hari.

(a) (b)

Gambar 1 Mikroklimat rumah kaca. (a) rataan suhu, (b) rataan intensitas cahaya

Suhu dan kelembaban rata-rata harian di rumah kaca adalah 30,4°C dan 70,3%. Pada Gambar 1, suhu terendah terjadi pada sore hari dan suhu maksimum terjadi pada siang hari. Pada minggu kelima terdapat perbedaan dengan minggu-minggu sebelumnya. Suhu sore hari lebih tinggi daripada pagi hari. Hal tersebut terjadi karena sore hari pada minggu kelima cuaca cukup cerah dan tidak terjadi hujan. Cuaca cerah pada sore hari di minggu kelima mengakibatkan intensitas cahaya lebih tinggi daripada minggu-minggu sebelumnya. Mikroklimat ini memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan rumput. Treshow (1970) menyatakan tanaman akan melakukan adaptasi terhadap lingkungan.

Penilaian (Scoring) Rumput Tahan Kekeringan

Peubah diamati untuk mengetahui upaya rumput beradaptasi terhadap cekaman kekeringan. Salisbury dan Ross (1991) mengelompokkan menjadi 2 mekanisme adaptasi. Mekanisme tersebut adalah drought tolerance dan drought avoidance. Mekanisme drought tolerance (toleran kekeringan) meliputi peningkatan rasio akar tajuk (Li et al. 2010). Mekanisme drought avoidance (menghindari kekeringan) meliputi mengurani perkembangan daun dan penurunan kadar air relatif daun (Calvet et al. 2004).

(24)

10

Tabel 3 Evaluasi peubah konsumsi air

Jenis Rumput Konsumsi Air (gram)

Rataan Skor Tanaman

P1 P2 P3 P4

B. decumbens 36.61±5.06bc 53.75±7.53c 33.04±5.83a 48.10±11.80ab

7.67

Skor 7 10 6

B. humidicola 39.11±4.18b 41.61±4.36b 37.14±5.24b 61.73±2.63a

6.00

Skor 6 6 6

B. hybrid cv.

Mulato 47.08±4.19b 65.60±4.08a 40.48±4.61b 72.08±7.58a 4.33

Skor 3 8 2

P. maximum cv.

Gatton 44.88±2.04b 51.55±2.70b 42.80±3.76b 73.10±9.98a 6.67

Skor 8 7 5

P. maximum var.

Trichoglum 41.31±4.68b 49.76±5.78ab 40.71±7.09b 56.19±7.00a 7.33

Skor 7 8 7

P. atratum 40.30±1.83b 58.39±3.74a 36.61±4.78b 65.77±1.07a

6.33

Skor 6 8 5

P. notatum 37.68±0.68b 54.76±5.75a 38.39±5.12b 47.80±1.43ab

8.33

Skor 7 10 8

P. purpureum

cv. Mott 40.83±5.86 53.75±2.30 41.07±9.62 54.76±1.36 10.00

Skor 10 10 10

P. purpureum

cv. Taiwan 42.02±3.19c 63.04±6.31ab 47.56±9.37bc 73.10±2.33a 6.33

Skor 5 8 6

S. splendida 38.57±3.07c 51.37±8.12b 38.87±5.90c 76.90±1.61a

5.67

Skor 5 6 6

Keterangan: P1:kadar air 25% dari kapasitas lapang, P2: kadar air 50% dari kapasitas lapang, P3: kadar air 75% dari kapasitas lapang, P4: kadar air 100% dari kapasitas lapang. Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05). P4 merupakan kontrol dari persen penurunan.

Air memiliki peran penting untuk tanaman. Kebutuhan air pada tanaman dipengaruhi beberapa hal yakni jenis tanaman, umur tanaman, dan kondisi cuaca (Sowmen 2013). Apabila ketersediaan air di dalam tanah dan tanaman kehilangan air melalui evapotranspirasi maka lama kelamaan tanaman akan mengalami cekaman kekeringan. Jaleel et al. (2009) menyatakan bahwa kondisi lingkungan memiliki peranan besar terhadap laju kehilangan air pada tanaman.

(25)

11

al. (2005) menyatakan bahwa Pennisetum purpureum cv. Mott mampu berkembang di berbagai musim dan pada musim kemarau tidak terjadi perubahan fisik di daunnya. Penggunaan air secara efisien merupakan bentuk adaptasi rumput Pennisetum purpureum cv. Mott terhadap cekaman kekeringan.

Tabel 4 Evaluasi peubah jumlah daun

Jenis Rumput Jumlah Daun (helai)

Rataan

B. humidicola 8.25±2.22 10.00±5.42 9.50±1.91 13.00±6.06

10.00

Skor 10 10 10

B. hybrid cv. Mulato 9.50±4.43 12.50±3.70 11.00±2.94 8.67±4.23

10.00

Skor 10 10 10

P. maximum cv. Gatton 4.25±1.50 6.00±2.58 5.75±2.22 3.25±0.50

10.00

P. notatum 6.50±0.50a 7.50±0.96a 3.00±1.00b 4.50±0.50b

8.67

Skor 10 10 6

P. purpureum cv. Mott 7.50±1.71a 7.00±2.38a 9.00±1.73a 2.50±0.50b

10.00

Skor 10 10 10

P. purpureum cv.

Taiwan 3.50±0.50 3.00±0.58 3.00±0.58 2.50±0.50 10.00

Skor 10 10 10

S. splendida 4.25±0.50 3.25±0.50 3.00±0.82 4.75±2.22

10.00

skor 10 10 10

Keterangan: P1:kadar air 25% dari kapasitas lapang, P2: kadar air 50% dari kapasitas lapang, P3: kadar air 75% dari kapasitas lapang, P4: kadar air 100% dari kapasitas lapang. Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05). P4 merupakan kontrol dari persen penurunan.

(26)

12

Paspalum notatum Flugge akan mengalami masa istirahat (dorman) (Trenholm et al. 2000). Saat dorman, tidak terjadi pertumbuhan tanaman (Trenholm et al. 2001a) . Paspalum notatum Flugge akan segera kembali ke fase pertumbuhan apabila mendapatkan asupan air yang cukup (Trenholm et al. 2001b).

Proses fotosintesis yang terhambat akan menurunkan produksi biomassa. Penurunan jumlah daun ketika terjadi cekaman kekeringan merupakan salah satu bentuk adaptasi morfologi yang dilakukan tanaman guna menurunkan laju kehilangan air. Sirait (2008) menyatakan bahwa ketersedian air akan mempengaruhi laju fotosintesis tanaman sebab air merupakan salah satu bahan baku proses fotosintesis. Herawati (2000) menyatakan bahwa bentuk adaptasi morfologi daun tanaman yang mengalami cekaman kekeringan adalah mengurangi jumlah daun, menurunan luas permukaan daun, perubahan sudut daun sejajar dengan sinar matahari.

Tabel 5 Evaluasi peubah tinggi tanaman

Jenis Rumput Tinggi tanaman (cm) Skor

Tanaman

P1 P2 P3 P4

B. decumbens 67.50±7.71 88.50±6.45 64.93±6.51 84.83±9.27

10.00

Skor 10 10 10

B. humidicola 64.97±3.01 74.55±5.70 71.73±8.35 68.58±8.26

10.00

Skor 10 10 10

B. hybrid cv.

Mulato 87.83±3.42a 83.65±5.39a 84.35±6.98a 73.63±6.03b 10.00

Skor 10 10 10

P. maximum cv.

Gatton 123.10±4.73b 143.90±27.76ab 139.28±1.87b 165.88±5.68a 7.67

Skor 7 8 8

P. maximum var.

Trichoglum 99.00±11.40 95.58±3.85 101.63±4.71 98.40±9.19 10.00

Skor 10 10 10

P. atratum 99.87±10.23 103.03±14.75 107.63±4.95 112.00±7.11

10.00

Skor 10 10 10

P. notatum 61.48±4.45 61.25±4.92 57.65±7.92 59.68±3.93

10.00

Skor 10 10 10

P. purpureum

cv. Mott 104.00±5.72a 65.28±8.99b 98.75±7.52ab 14.10±12.91c 10.00

Skor 10 10 10

P. purpureum

cv. Taiwan 141.78±12.19 145.25±17.13 164.75±15.97 148.75±17.75 10.00

Skor 10 10 10

S. splendida 83.30±3.50 83.50±5.07 85.50±3.70 83.83±1.67

10.00

Skor 10 10 10

(27)

13

Tinggi tanaman merupakan parameter morfologi yang dapat terlihat jelas apabila tanaman mengalami cekaman kekeringan. Tinggi tanaman merupakan indikator produksi biomassa rumput. Apabila tinggi tanaman meningkat maka produktivitas biomassa rumput akan meningkat. Oleh karena itu, rumput yang tahan cekaman kekeringan, tinggi tanaman tidak terlalu menurun dari kondisi normal.

Informasi mengenai tinggi tanaman rumput tersaji pada Tabel 5. Nilai terendah (7.67) dimiliki oleh rumput Panicum maximum cv Gatton. Perlakuan cekaman kekeringan dari P1 hingga P3 menghasilkan tinggi tanaman lebih kecil daripada perlakuan kontrol. Seiring menurunnya kadar air tanah maka pertumbuhan Panicum maximum cv Gatton mengalami penurunan. Terhambatnya pertumbuhan tinggi tanaman ketika mengalami cekaman kekeringan sangat wajar. Terhambatnya pertumbuhan tanaman diakibatkan tanaman lebih cenderung meningkatkan pertumbuhan akar guna menyerap air. Tanaman akan tumbuh normal kembali apabila kandungan kadar air tanah kembali normal. Tanaman cenderung meningkatkan pertumbuhan akar untuk meningkatkan efektivitas penyerapan air daripada pertumbuhan batang atau daun (Furlan et al. 2012).

Tabel 6 Evaluasi peubah kadar gula terlarut

Jenis Rumput Kadar Gula Terlarut (%) Skor

Tanaman

B. hybrid cv. Mulato 2.35±0.53 2.50±0.42 1.75±0.62 2.05±1.86

15

Skor 15 15 15 15

P. maximum cv. Gatton 2.30±1.15 2.35±0.77 1.70±0.53 1.05±0.68

15

Skor 15 15 15 15

P. maximum var. Trichoglum 2.45±1.25 1.90±0.37 1.90±1.04 1.60±1.39

15

Skor 15 15 15 15

P. atratum 2.35±0.66a 2.20±0.28a 2.25±0.53a 1.55±0.27b

15

P. purpureum cv. Taiwan 0.90±0.10 0.45±0.30 0.35±0.60 0.35±0.12

15

Skor 15 15 15 15

S. splendida 1.30±0.47 1.20±0.26 1.10±0.54 1.15±0.48

15

Skor 15 15 15 15

(28)

14

Kadar gula terlarut (WSC) merupakan salah satu peubah fisiologis tanaman yang ditunjukkan oleh Tabel 6. Semua jenis rumput yang ditanam memiliki skor maksimum (15) untuk peubah kadar gula terlarut. Seluruh rumput penelitian yang mengalami cekaman kekeringan akan mengalami peningkatan kadar gula sebagai respon fisiologis tanaman guna menyesuaikan tekanan osmosis sel tanaman. Kadar gula terlarut ini merupakan salah satu larutan yang berada di dalam tanaman yang berfungsi untuk mengatur pontensial osmotik sel. Peningkatan kadar gula merupakan indikator tanaman beradaptasi terhadap stress kekeringan agar jaringan pengangkutan berfungsi (Tatar dan Gevrek 2008). Apabila dilihat dari segi jumlahnya, cekaman kekeringan pada taraf 25% kadar air maka terjadi peningkatan kadar gula terlarut dari tanaman kontrol. Menurut Volaire dan Thomas (1995) perlakuan cekaman kekeringan meningkatkan 10-30% kadar gula terlarut dari kontrol pada hari ke-43.

Tabel 7 Evaluasi peubah kadar air relatif daun

Jenis Rumput Kadar Air Relatif Daun (%) Skor

Tanaman

P1 P2 P3 P4

B. decumbens 85.25±1.79 85.75±4.19 87.62±3.66 85.13±5.71

15.00

Skor 15 15 15

B. humidicola 84.19±5.82 96.16±8.49 87.41±2.99 92.16±6.04

15.00

Gatton 65.15±3.18b 69.71±5.03b 77.57±5.64a 70.61±4.82ab 14.00

Skor 13.5 13.5 15

P. maximum var.

Trichoglum 77.48±1.91b 80.56±7.19ab 79.10±6.38ab 82.12±2.46a 13.50

Skor 13.5 13.5 13.5

P. atratum 74.97±4.99a 76.89±0.64a 74.58±2.12a 68.69±2.49b

15.00

Skor 15 15 15

P. notatum 71.86±1.76 72.49±5.01 73.77±4.75 76.62±6.89

15.00

Skor 15 15 15

P. purpureum cv.

Mott 91.73±6.76a 84.88±6.46a 71.52±9.25a 13.30±6.61b 15.00

Skor 15 15 15

P. purpureum cv.

Taiwan 77.53±5.84b 79.22±5.84ab 86.48±2.33a 84.61±3.16ab 14.00

Skor 13.5 13.5 15

S. splendida 68.24±6.85 86.23±5.27 84.75±4.21 88.35±1.51

15.00

Skor 15 15 15

(29)

15

Kadar gula dan kadar air relatif daun memiliki kaitan karena berfungsi sebagai pengatur osmotik sel. Kinerja kedua peubah fisiologis ini berlawanan arah. Nofyangtri (2011) menyatakan bahwa sebagai bentuk adaptasi terhadap cekaman kekeringan, tanaman akan mengalami penurunan kadar air relatif daun dan meningkatkan kadar gula tanaman. Kadar air relatif daun merupakan salah satu peubah fisiologi tanaman untuk beradaptasi terhadap cekaman kekeringan. Kadar air relatif daun memiliki korelasi terhadap kemampuan penyerapan air dan kemampuan mengatur kehilangan air melalui somata (Bayoumi et al. 2008). Apabila tanaman mengalami cekaman kekeringan, tanaman akan melakukan pengaturan stomata guna mencegah kehilangan air berlebih.

Kadar air relatif daun memiliki peranan penting dalam proses fotosintesis karena berkaitan dengan pengaturan stomata. Proses fotosintesis pada tanaman akan terganggu apabila nilai kadar air relatif daun kurang dari 70% (Quilamboo 2004). Beberapa tanaman seperti Brachiaria hybrid cv. Mulato dan Panicum maximum cv. Gatton memiliki nilai kadar air relatif daun dibawah 70%. Hal tersebut menjadi indikasi awal tanaman mengalami cekaman kekeringan. Skor terkecil dimiliki oleh Panicum maximum var. Trichoglum yakni sebesar (13.5) Panicum maximum var. Trichoglum mengalami penurunan kadar air relatif daun dari P1 hingga P3 bila dibandingkan dengan kontrol (P4). Penurunan nilai kadar air relatif daun di semua perlakuan juga menjadi indikasi awal tanaman mengalami cekaman kekeringan. Kondisi tanah yang kekurangan air mengakibatkan cekaman kekeringan bagi tanaman. Kondisi ini mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman terhambat. Salah satu implikasinya adalah peubah produktivitas tanaman. bahan kering menjadi salah satu peubah produksi karena berkaitan dengan biomassa rumput untuk menjadi pakan ternak.

(30)

16

Tabel 8 Evaluasi peubah produksi berat kering

Jenis Rumput Produksi BK (gram/tanaman) Skor

Tanaman

P1 P2 P3 P4

B. decumbens 19.75±14.11b 36.20±7.84a 16.85±6.94b 18.15±1.51b

38.67

Skor 40 40 36

B. humidicola 48.15±9.14 41.80±14.76 34.50±5.04 32.30±6.92

40.00

Skor 40 40 40

B. hybrid cv.

Mulato 87.00±45.22 78.00±23.83 92.65±26.67 48.10±42.83 40.00

Skor 40 40 40

P. maximum cv.

Gatton 58.70±18.51 91.45±10.49 95.50±38.06 81.80±27.19 40.00

Skor 40 40 40

P. maximum

var. Trichoglum 62.60±31.71 76.90±23.89 78.15±22.67 52.90±28.86 40.00

Skor 40 40 40

P. atratum 54.50±14.99 57.50±27.71 80.35±13.88 52.50±9.88

40.00

Skor 40 40 40

P. notatum 15.75±4.65ab 19.25±5.01a 12.00±3.76b 13.20±3.12ab

38.67

cv. Taiwan 127.70±15.42 175.00±56.30 202.70±64.04 137.30±50.12 40.00

Skor 40 40 40

S. splendida 116.95±27.55 83.45±9.77 93.60±23.25 90.95±32.79

40.00

Skor 40 40 40

Keterangan: P1:kadar air 25% dari kapasitas lapang, P2: kadar air 50% dari kapasitas lapang, P3: kadar air 75% dari kapasitas lapang, P4: kadar air 100% dari kapasitas lapang. Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05). P4 merupakan kontrol dari persen penurunan.

Rekapitulasi Penilaian Rumput Tahan Kekeringan

Cekaman kekeringan mempengaruhi performa morfologi, fisiologi, serta produksi tanaman. Setiap tanaman memiliki kemampuan yang berbeda-beda sebagai upaya adaptasi terhadap cekaman kekeringan. Adaptasi yang dilakukan berupa morfologi maupun fisiologi tanaman (Nofyangtri 2011). Total nilai tertinggi menunjukkan bahwa rumput tersebut merupakan rumput terbaik dalam hal adaptasi terhadap cekaman kekeringan.

(31)

17

Tabel 9 Seleksi Rumput Tahan Kering

Jenis Rumput Konsumsi Air Jumlah Daun Tanaman Tinggi Kadar Gula KAR Daun Produksi BK Total Nilai

Keterangan : tanda *) merupakan rumput unggul hasil seleksi dengan nilai tertinggi.

Kandungan Nutrisi Tanaman

Analisa proksimat yang dilakukan untuk rumput penelitian berupa kadar protein kasar (PK) dan serat kasar (SK). Informasi nutrisi ini tidak ikut menjadi penilaian seleksi. Informasi nutrisi PK dan SK digunakan sebagai informasi pelengkap dari hasil penelitian. Berikut ini adalah tabel kandungan nutrisi rumput penelitian.

Tabel 10 Kandungan nutrisi rumput

Jenis Rumput Protein Kasar (%) Serat Kasar (%)

Brachiaria decumbens Stapf 12.55±1.01 29.66±1.36

Brachiaria humidicola R. Schwieck 11.69±0.84 29.76±0.74

Brachiaria hybrid cv. Mulato 13.84±0.74 24.12±0.26

Panicum maximum cv. Gatton 10.44±0.77 31.94±1.35

Panicum maximum var. Trichoglum 12.84±0.45 30.07±0.97

Paspalum atratum Swollen 10.20±0.89 30.54±0.87

Paspalum notatum Flugge 11.09±0.90 26.64±0.52

Pennisetum purpureum cv. Mott 15.73±0.47 24.13±1.51

Pennisetum purpureum cv. Taiwan 15.60±1.79 25.17±0.63

Setaria splendida Stapf 15.96±2.48 23.91±0.76

(32)

18

Tahap II : Pengembangan Rumput Tahan Kekeringan di Lahan Kering

Lokasi penelitian dibagi menjadi dua zona. Zona yang pertama adalah lahan terbuka dan zona kedua adalah lahan jati. Penerapan LEISA dimulai sejak pembersihan lahan dari tanaman yang tidak diinginkan. Penerapan LEISA dilakukan menggunakan tenaga manusia untuk memotong gulma, pembakaran gulma yang telah mengering, serta penggunaan herbisida dalam jumlah yang terbatas. Biomassa sisa pembersihan lahan tersebut dikembalikan ke lahan guna pengembalian unsur hara tanah. Leomo et al. (2012) pada penelitiannya menyatakan bahwa LEISA mengacu pada bentuk pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal yang ada dengan mengkombinasikan berbagai macam komponen sistem usahatani dan pemanfaatan input luar hanya bila diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam ekosistem dan meningkatkan sumber daya biologi, fisik dan manusia.

Rumput yang diintroduksi di Bojonegoro ini adalah rumput hasil seleksi tahap pertama (Brachiaria decumbens Stapf, Brachiaria humidicola Schwieck, Paspalum atratum Swollen, Paspalum notatum Flugge, Pennisetum purpureum cv. Mott, dan Setaria splendida Stapf) yang telah teruji dalam skala laboratorium. LEISA memiliki tujuan untuk memaksimalkan produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang. Pengembangan sistem LEISA membutuhkan tanaman yang memerlukan input yang rendah dan memiliki daya adaptasi yang luas serta dapat tumbuh pada lahan marginal (Leomo et al. 2012).

Penggunaan pupuk organik, kombinasi pupuk organik dan anorganik, serta pupuk anorganik dalam ambang batas wajar diperlukan untuk memaksimalkan produksi. Oleh karena itu, penggunakan berbagai dosis kombinasi pada penelitian ini untuk mengetahui kombinasi dosis pupuk yang tepat. Penggunaan input luar (pupuk anorganik dan pestisida kimia) masih diperbolehkan dalam jumlah yang lebih rendah selama produk yang dihasilkan aman dan sehat (Sutanto 2002).

Karakteristik Tanah

Lokasi penelitian terletak di Desa Sambeng Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro. Di lokasi tersebut dibagi menjadi dua lokasi yakni di bawah naungan jati dan di lahan terbuka. Berikut Tabel 11 berisi informasi tentang karakter fisika dan kimia tanah di lokasi penelitian.

Tekstur tanah terdiri dari tiga jenis yakni pasir, debu, dan liat. Berdasarkan hasil analisa, tekstur tanah di lokasi penelitian baik di lahan terbuka maupun di bawah naungan tergolong dalam liat berpasir (sandy clay). Menurut Winston (2008) tekstur tanah yang didominasi oleh pasir memiliki sifat berpori makro yang memudahkan akar untuk penetrasi, mempermudah sirkulasi air dan udara. Kekurangan dari tanah berpasir ini adalah daya simpan air yang rendah, sehingga laju kehilangan air tinggi.

(33)

19

Tabel 11 Karakter fisika dan kimia tanah di lokasi peneliian

Karakter Tanah Lokasi Standar Sedang

Terbuka Naungan

Keterangan : Hasil analisa Balai Penelitian Tanah (2014)

Kandungan C-organik di kedua lokasi tanam memiliki kandungan yang sangat rendah (0.2 dan 0.35) bila dibandingkan dengan standar. Kandungan nitrogen dalam tanah juga rendah. Kandungan karbon dan nitrogen erat kaitannya dengan perkembangan mikroorganisme. C-organik yang terkandung digunakan sebagai sumber energi mikroorganisme untuk berkembang dan nitrogen sebagai sumber protein (Hardjowigeno 1995). Mikroorganisme yang berkembang di dalam tanah berperan dalam proses dekomposisi unsur hara agar lebih mudah diserap tanaman.

Nilai kapasitas tukar kation di kedua lokasi memiliki nilai yang tinggi. Nilai KTK yang tinggi erat kaitannya dengan kandungan kimia tanah berupa Ca, Mg, K, dan Na. Komponen basa yang dapat ditukar beserta kandungan KTK yang tinggi, maka tanah di lokasi penelitian memiliki sifat dapat menyerap dan menyediakan unsur hara, serta unsur hara tersebut susah tercuci oleh air meski kandungan air tanah yang berpasir mudah hilang.

Pertumbuhan Tinggi Rumput

(34)

20

tanaman di bawah naungan akan berbeda dengan tanaman di lahan terbuka. Pada Tabel 12 pertumbuhan rumput Brachiaria decumbens Stapf hingga hari ke-20 pertumbuhan paling baik ditunjukkan oleh perlakuan pupuk organik 50% + 50% anorganik di lahan terbuka (P3T). Selanjutnya pada saat pemanenan hari ke-40, perlakuan pupuk anorganik 100% (P5T). Penggunaan pupuk anorganik lengkap dengan kandungan N,P, dan K pada pupuk, maka unsur makro cukup tersedia bagi tanaman. Masing-masing unsur N,P, dan K memiliki fungsi berbeda-beda yang bermanfaat meningkatkan pertumbuhan tanaman pada kadar dosis tertentu. Pengaruh penerapan teknik LEISA ditunjukkan oleh perlakuan P3T pada hari ke-20. Dengan adanya kandungan pupuk organik maka mikroorganisme tanah mampu berkembang dan meningkatkan unsur hara bagi tanaman. Oleh karena itu, hingga hari ke-20 pertumbuhan tanaman perlakuan P3T memiliki hasil terbaik. Teknik LEISA meningkatkan kandungan bahan organik tanah (Tryono 2007) dan kesuburan tanah (Younessi et al. 2007). Produktivitas panen teknik LEISA akan terlihat dalam jangka panjang (Darwin 2015). Perlakuan P5T (pupuk anorganik 100%) mengalami peningkatan yang cukup signifikan hingga hari ke-40 pada saat pemanenan, pertumbuhan Brachiaria decumbens Stapf pada perlakuan P5 menunjukkan hasil paling tinggi.

Berdasarkan Tabel 13 pertumbuhan rumput Brachiaria humidicola Schwieck, pertumbuhan rumput Brachiaria humidicola Schwieck menunjukkan hasil yang optimal terdapat pada perlakuan P5T (pupuk anorganik 100%) di lahan terbuka. Pemberian pupuk anorganik (kimia) memberikan respon yang lebih instan dalam hal pertumbuhan rumput Brachiaria humidicola Schwieck daripada pupuk organik. Pemberian pupuk anorganik cenderung memberi pengaruh langsung terhadap tanaman. Pengaruh tersebut berupa pertambahan tinggi tanaman.

Tabel 12 Pertumbuhan Brachiaria decumbens

Lokasi Pupuk Hari Setelah Pemupukan

10 20 30 40

---cm---

Naungan

P1 29.75±2.33 41.00±0.82 45.25±1.32 51.25±5.06

P2 20.25±2.35 33.50±2.89 48.75±1.04 53.00±5.89

P3 19.00±2.12 30.75±0.96 45.50±1.58 61.13±7.03

P4 18.75±2.33 29.50±2.08 45.25±1.55 61.50±9.65

P5 20.00±2.20 26.50±1.29 49.75±1.44 63.25±2.25

Terbuka

P1 41.38±1.80 50.75±7.37 54.00±1.78 56.75±6.02

P2 27.75±1.19 39.75±5.25 45.13±2.53 56.25±14.97

P3 51.88±5.14 66.00±5.89 68.63±3.35 74.75±6.60

P4 34.00±2.27 46.50±7.77 61.38±0.95 76.50±3.70

P5 37.75±2.78 58.75±3.50 74.88±2.66 90.50±3.51

(35)

21

Pertambahan tinggi ini disebabkan kandungan N dari urea. Novizan (2002) menyatakan bahwa urea sangat besar kegunaannya bagi tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan yakni membuat tanaman lebih hijau karena mengandung klorofil serta mempercepat pertumbuhan tanaman (tinggi, jumlah anakan, cabang dan lain-lain). Berbeda dengan pupuk anorganik, pupuk organik lebih berfungsi sebagai memperbaiki unsur hara tanah sehingga pemberian pupuk organik memberikan pengaruh yang sangat kecil terhadap pertumbuhan tanaman.

Pertumbuhan rumput Brachiaria humidicola Schwieck di lahan terbuka jauh lebih tinggi daripada bawah naungan dengan hutan jati. Sinar matahari yang terhalang oleh naungan jati memperkecil jumlah area penyinaran kepada rumput Brachiaria humidicola Schwieck. Naungan tersebut menghambat proses fotosintesis. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan rumput Brachiaria humidicola Schwieck di lahan naungan jati lebih lambat daripada lahan terbuka. Salisbury dan Ross (1991) menyatakan bahwa tanaman yang berada di bawah naungan memiliki laju fotosintesis yang lebih renah daripada di lahan terbuka, dimana setiap jenis tanaman memiliki laju fotosintesis yang berbeda-beda. Selain itu, adanya kompetisi penyerapan unsur hara antara pohon jati dan rumput Brachiaria humidicola Schwieck juga memperlambat pertumbuhan. Diketahui bahwa kompetisi penyerapan unsur hara di suatu lahan biasanya dimenangkan oleh tanaman yang lebih besar karena memiliki perakaran yang lebih luas dan kuat untuk menyerap unsur hara tersebut.

Tabel 13 Pertumbuhan rumput Brachiaria humidicola

Lokasi Pupuk Hari Setelah Pemupukan

10 20 30 40

---cm---

Naungan

P1 32.13±8.17 54.00±0.82 57.63±1.25 62.63±8.06

P2 25.75±4.03 37.00±2.16 40.75±1.32 42.00±4.08

P3 39.75±3.12 56.50±5.11 58.38±2.43 62.13±16.19

P4 29.75±1.85 41.00±0.82 47.13±2.46 49.75±1.66

P5 40.13±3.57 57.75±1.71 60.88±1.11 67.00±3.16

Terbuka

P1 60.50±1.29 83.00±13.24 95.00±1.83 106.00±16.31

P2 65.25±8.18 97.00±27.80 102.88±1.65 106.50±28.31

P3 77.75±6.40 97.50±17.08 103.25±2.02 108.00±14.67

P4 81.00±2.16 101.25±30.10 105.38±1.11 112.00±25.46

P5 94.00±4.58 117.50±13.23 121.38±1.25 126.00±13.93

Keterangan: P1: pupuk organik 100%, P2: pupuk organik 75% + pupuk anorganik 25%, P3: pupuk organik 50% + pupuk anorganik 50%, P4: pupuk organik 25% + pupuk anorganik 75%, P5: pupuk anorganik 100%.

(36)

22

Tabel 14 Pertumbuhan rumput Paspalum atratum

Lokasi Pupuk Hari Setelah Pemupukan

10 20 30 40

---cm---

Naungan

P1 29.75±4.03 46.50±1.00 50.63±1.49 56.00±5.34

P2 25.63±1.03 43.75±0.50 51.50±1.68 65.13±3.57

P3 20.50±2.35 32.25±2.22 60.63±1.38 74.33±4.53

P4 26.50±2.48 41.25±0.96 65.38±1.25 77.50±1.29

P5 31.50±2.86 46.25±1.50 70.63±1.25 80.38±7.72

Terbuka

P1 18.75±1.04 27.50±2.08 31.38±1.89 35.88±1.65

P2 16.50±1.68 23.50±2.38 33.38±2.36 35.25±2.87

P3 16.75±1.32 28.00±6.73 33.38±2.69 35.00±6.88

P4 15.00±3.16 17.50±1.29 36.50±1.87 39.13±6.38

P5 24.50±1.85 30.25±1.71 44.88±2.32 58.13±1.65

Keterangan: P1: pupuk organik 100%, P2: pupuk organik 75% + pupuk anorganik 25%, P3: pupuk organik 50% + pupuk anorganik 50%, P4: pupuk organik 25% + pupuk anorganik 75%, P5: pupuk anorganik 100%.

Apabila dibandingkan antara pertumbuhan tanaman di lahan terbuka dengan di bawah naungan, maka Paspalum atratum Swollen di bawah naungan mampu memberikan hasil tinggi tanaman yang tinggi bila dibandingkan dengan lahan terbuka. Di bawah naungan jati, perakaran pohon jati jauh lebih dalam dan memiliki sebaran yang luas daripada rumput Paspalum atratum Swollen. Eastham (1998) menyatakan bahwa tanaman yang memiliki perakaran hingga lapisan tanah bagian dalam memiliki daya serap nutrisi dan air tanah yang lebih banyak. Akan tetapi, pemberian pupuk dengan dosis yang tepat yakni 100% anorganik memberikan dampak pertumbuhan tinggi yang terbaik.

Tabel 15 menunjukkan pertumbuhan rumput Paspalum notatum Flugge di lahan terbuka dengan pemberian pupuk 100% anorganik (P5T) hingga hari ke-30 setelah tanam menunjukkan hasil tertinggi. Pitman (2011) menyatakan bahwa Paspalum notatum Flugge mampu merespon pemberian pupuk nitrogen (N) dengan baik. Akan tetapi, menjelang panen pada hari ke-40 perlakuan P5N memberikan respon pertumbuhan terbaik dengan mengalahkan tinggi tanaman P5T yang mendominasi hingga hari ke-30.

(37)

23

Tabel 15 Pertumbuhan rumput Paspalum notatum

Lokasi Pupuk Hari Setelah Pemupukan

10 20 30 40

---cm---

Naungan

P1 31.83±2.25 48.75±0.96 53.13±0.85 55.75±2.63

P2 38.00±2.61 41.25±0.96 47.38±1.11 55.63±2.87

P3 28.75±2.25 32.25±2.22 45.13±2.02 55.75±3.52

P4 39.75±2.96 60.25±4.11 65.50±4.43 76.50±5.80

P5 41.00±2.68 61.50±0.58 71.63±1.49 88.38±0.48

Terbuka

P1 39.75±1.19 54.00±4.24 59.38±2.50 63.50±4.71

P2 39.87±1.55 54.50±2.52 60.63±1.49 62.75±3.80

P3 46.13±3.01 64.25±2.99 71.75±1.04 75.75±8.57

P4 45.00±4.02 63.75±2.50 61.75±12.45 77.88±7.96

P5 60.13±3.33 75.50±4.20 80.13±7.98 84.13±8.78

Keterangan: P1: pupuk organik 100%, P2: pupuk organik 75% + pupuk anorganik 25%, P3: pupuk organik 50% + pupuk anorganik 50%, P4: pupuk organik 25% + pupuk anorganik 75%, P5: pupuk anorganik 100%.

Pertumbuhan rumput Pennisetum purpureum Schummach cv. Mott (Tabel 16) menunjukkan hasil yang terbaik pada perlakuan P5T (pupuk 100% anorganik di lahan terbuka). Sejak hari ke-10 hingga hari ke-40 diberikan perlakuan pemupukan, pertumbuhan tinggi tanaman Pennisetum purpureum Schummach cv. Mott menunjukkan hasil terbaik dengan pemberian perlakuan kombinasi pupuk P5 (pupuk anorganik 100%) dan di lahan terbuka. Pupuk anorganik secara nyata meningkatkan pertumbuhan rumput odot baik di lahan terbuka. Di lahan terbuka, intensitas cahaya matahari dapat diterima langsung oleh tanaman tanpa adanya hambatan kanopi tanaman sekitar. Hal yang berbeda terjadi di bawah naungan jati. Proses pemanenan cahaya matahari terhalang oleh tanaman jati.

Secara morfologi, pohon jati memiliki tinggi yang jauh berbeda dengan rumput Pennisetum purpureum cv. Mott. Hal ini mengakibatkan Pennisetum purpureum cv. Mott mengalami hambatan dalam proses fotosintesis. Terhambatnya fotosintesis ini mengakibatkan pertumbuhan tanaman akan terhambat. Oleh karena itu jika dibandingkan maka tinggi tanaman di bawah pohon jati akan jauh lebih rendah daripada di lahan terbuka. Beberapa tanaman yang tahan terhadap naungan akan beradaptasi secara morfofisiologis untuk mengantisipasi terhambatnya cahaya matahari oleh naungan. Tanaman yang tahan terhadap naungan relatif lebih rendah selisih pertumbuhannya dengan penyinaran penuh.

(38)

24

Tabel 16 Pertumbuhan Pennisetum purpureum cv. Mott

Lokasi Pupuk Hari Setelah Pemupukan

10 20 30 40

---cm---

Naungan

P1 35.00±2.74 65.00±1.63 72.75±3.07 79.25±6.36

P2 31.25±2.10 49.50±1.29 51.25±1.55 58.88±7.00

P3 35.00±1.08 57.50±6.45 63.25±1.04 70.00±6.34

P4 49.25±2.02 68.00±2.16 74.25±2.10 81.75±2.50

P5 43.25±1.32 66.25±2.99 70.75±1.32 89.63±3.90

Terbuka

P1 38.25±4.87 63.25±3.30 66.75±1.32 70.88±2.17

P2 48.25±1.94 64.25±2.50 72.63±1.38 79.00±5.23

P3 50.25±2.25 65.50±2.08 73.13±2.25 78.88±3.71

P4 48.75±1.94 63.25±1.26 75.38±2.06 81.75±4.99

P5 47.88±1.55 74.25±4.35 85.88±0.85 96.75±8.77

Keterangan: P1: pupuk organik 100%, P2: pupuk organik 75% + pupuk anorganik 25%, P3: pupuk organik 50% + pupuk anorganik 50%, P4: pupuk organik 25% + pupuk anorganik 75%, P5: pupuk anorganik 100%.

Pertumbuhan rumput Setaria splendida Stapf (Tabel 17) pada fase 0-30 hari didominasi oleh P1N. Selanjutnya pada fase hari ke-30 hingga hari ke-40, perlakuan P3N memberikan hasil tinggi tanaman terbaik. Kombinasi pupuk organik dengan anorganik dilakukan karena tidak semua unsur hara yang dibutuhkan tanaman dapat disediakan oleh bahan organik dalam waktu yang singkat (Reijntjes et al. 1999). Oleh karena itu, perlakuan pupuk memberikan hasil yang berbeda setiap fase. Roy et al. (2001) menyatakan bahwa penambahan input pupuk organik dengan jumlah tepat yang diberikan ke tanaman mampu menghasilkan produksi selevel dengan pupuk anorganik.

Tabel 17 Pertumbuhan rumput Setaria splendida

Lokasi Pupuk Hari Setelah Pemupukan

10 20 30 40

---cm---

Naungan

P1 63.50±2.80 85.50±4.20 90.63±1.25 95.50±8.69

P2 52.63±2.50 83.25±2.36 85.75±1.19 98.88±4.77

P3 58.13±1.75 83.25±2.91 86.38±1.70 99.38±16.13

P4 37.75±5.52 74.25±4.35 85.88±1.55 92.00±4.60

P5 42.50±2.12 63.75±4.79 76.63±1.11 86.88±3.12

Terbuka

P1 53.75±4.37 56.00±8.37 58.25±3.10 62.00±2.16

P2 40.88±1.75 49.00±7.39 56.88±1.65 61.13±8.33

P3 43.63±2.14 51.25±6.40 56.88±0.85 62.13±7.74

P4 40.38±2.14 58.75±6.24 65.88±1.03 76.00±6.79

P5 44.50±4.02 56.75±9.43 67.25±5.44 73.38±3.04

(39)

25

Tinggi tanaman rumput Setaria splendida Stapf di bawah naungan pada saat panen paling tinggi diperoleh dari perlakuan P3. Sedangkan di lahan terbuka, tinggi tanaman terbaik diperoleh dari perlakuan P4. Perbedaan perlakuan ini terjadi karena perbedaan lokasi tanam dan kompetisi penyerapan unsur hara di bawah naungan sehingga perlakuan pupuk yang sama memberikan hasil yang berbeda. Rumput tropis yang tidak tahan naungan, meskipun kebutuhan nutriennya terpenuhi, memiliki produksi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan penyinaran penuh (Wilson et al. 1990). Di bawah naungan jati, intensitas cahaya yang diterima oleh Setaria splendida Stapf lebih rendah daripada lahan terbuka. Sanchez et al. (1990) menyatakan bahwa penurunan intensitas cahaya matahari akan menurunkan produksi hingga 30%.

Produksi Berat Kering Rumput

Produksi berat kering rumput diukur saat hari ke-40 (pemanenan). Keenam jenis rumput yang ditanam di Bojonegoro dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yakni rumput potongan dan rumput padang penggembalaan. Rumput penggembalaan terdiri dari Brachiaria decumbens Stapf, Brachiaria humidicola Schwieck, dan Paspalum notatum Flugge. Rumput potongan terdiri dari Paspalum atratum Swollen, Pennisetum purpureum Schummach cv. Mott, dan Setaria splendida Stapf. Keenam jenis rumput (Tabel 18) yang ditanam di lahan kering Bojonegoro, memiliki interaksi yang nyata (P<0.05) antara faktor pupuk dengan faktor lokasi tanam terhadap produksi berat kering.

Apabila pemupukan dilakukan dengan dosis dan waktu yang tepat maka perbedaan hasil produksi biomassa ini tidak akan terlalu banyak. Hal ini disebabkan pupuk majemuk NPK memiliki manfaat masing-masing. Pupuk N memberi manfaat berupa mendorong pertumbuhan vegetatif (Khairani 2005), meningkatkan pembentukan klorofil untuk fotosintesis (Lingga 1998) sehingga masalah kekurangan sinar matahari akibat naungan pohon jati dapat dikurangi dampaknya. Pupuk P (Sutedjo 1994) dapat mempercepat serta memperkuat pertumbuhan tanaman dan merangsang pertumbuhan tanaman. Pemberian pupuk P ini diharapkan akar rumput dapat berkembang untuk meminimalisir kekurangan penyerapan hara akibat kompetisi dengan pohon jati. Pupuk K memiliki peranan sebagai katalisator berbagai enzim tanaman (Prawiranata et al. 1992). Kombinasi ketiga pupuk ini akan menghasilkan pupuk majemuk. Apabila dosis dan waktu pemberiannya tepat maka akan memberikan hasil yang optimal.

(40)

26

Tabel 18 Produksi berat kering rumput di lahan Bojonegoro

Rumput Pupuk Lokasi Tanam

Naungan Terbuka pupuk organik 75% + pupuk anorganik 25%, P3: pupuk organik 50% + pupuk anorganik 50%, P4: pupuk organik 25% + pupuk anorganik 75%, P5: pupuk anorganik 100%. Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris rumput yang sama menunjukkan ada pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05).

(41)

27

produksi tertinggi (P<0.05). Setiap tanaman memiliki respon berbeda-beda terhadap pemberian pupuk. Brachiaria humidicola Schwieck mampu merepon adanya penambahan pupuk organik sebanyak 25% hingga 50%. Pupuk anorganik yang diberikan ke tanaman Brachiaria humidicola Schwieck mampu meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah yang bersimbiosis dengan akar tanaman untuk meningkatkan kesuburan. Lingga (1998) menyatakan kombinasi pemupukan dengan menggunakan pupuk organik dan anorganik dengan dosis yang tepat akan memberikan hasil optimal karena memberikan pasokan unsur makro serta mikro. Achmad (1993) menyatakan pemupukan dipengaruhi oleh tanaman, jenis tanah, jenis pupuk yang digunakan, dosis yang digunakan, waktu dan cara pemupukan.

Respon produktivitas Paspalum notatum Flugge terbaik (P<0.05) dihasilkan oleh perlakuan pupuk P4 dan P5 di lahan terbuka. Akan tetapi, rataan produksi terbaik, di bawah naungan maupun di lahan terbuka, dihasilkan oleh pemberian pupuk P4 (organik 25% + anorganik 75%). Dengan adanya penambahan pupuk organik produktivitas tanah dapat meningkat dengan merangsang aktivitas biologi tanah (Sheoran et al. 2010). Pitman (2011) menyatakan bahwa kombinasi pupuk lengkap dengan nitrogen mampu meningkatkan efisiensi produksi dengan pengurangan jumlah pupuk anorganik yang diberikan. Perbedaan produktivitas Paspalum notatum Flugge antara yang ditanam di lahan terbuka maupun naungan disebabkan oleh intensitas cahaya. Paspalum notatum Flugge memerlukan intensitas cahaya yang cukup untuk berfotosintesis. Apabila intensitas cahaya mengalami hambatan, maka terjadi perbedaan hasil produksi. Paspalum notatum Flugge akan terhambat pertumbuhannya apabila ditanam di bawah naungan.

Rumput Paspalum atratum Swollen (Tabel 18) dengan perlakuan P4 di lahan terbuka memberikan produksi BK tertinggi (P<0.05). Meskipun P5 memberikan tinggi terbaik untuk Paspalum atratum Swollen, namun pupuk P4 yang terdiri dari pupuk organik 25% + pupuk anorganik 25% memberikan respon produksi BK terbaik. Hal ini disebabkan tumbuhnya anakan rumput yang meningkatkan produksi biomasa. Tumbuhnya anakan rumput diakibatkan kandungan nitrogen pada pupuk anorganik. Selain pupuk anorganik, pupuk organik juga berperan terhadap produktivitas rumput Paspalum atratum Swoll. Penambahan pupuk organik 25% (P4) mampu meningkatkan produksi Paspalum atratum Swollen. Dengan adanya penambahan pupuk organik produktivitas tanah dapat meningkat dengan merangsang aktivitas biologi tanah (Sheoran et al. 2010). Rumput Paspalum atratum Swollen mampu merespon penambahan pupuk organik tersebut dengan pertambahan jumlah anakan.

Gambar

Tabel 1  Bobot peubah seleksi rumput tahan kering
Tabel 2  Acuan tetapan skor peubah seleksi
Gambar 1  Mikroklimat rumah kaca. (a) rataan suhu, (b) rataan intensitas cahaya
Tabel 3  Evaluasi peubah konsumsi air
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian limbah bayam dalam ransum terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan konversi pakan ayam kampung

Hasil analisis angka penyabuan RBO ditunjukkan pada Grafik 4. Hasil analisis bilangan penyabunan pada berbagai perbandingan pelarut dengan bekatul dan waktu ekstraksi. dapat

Pada bagian ini akan dibahas mengenai hasil observasi penelitian yang bersangkutan mengenai yang membentuk konsep diri anak usia 5-6 tahun, pengaruh pembelajaran

Tidak ada perbedaan yang signifikan antara hasil post test kedua kelompok, tetapi didapatkan hasil bahwa pelatihan lari kijang jarak 1 meter 8 repetisi 5 set

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap rumah tangga buruh pengolah kerupuk kulit ikan skala industri rumah tangga di Desa Kenanga Kabupaten

Untuk dapat terpenuhi beban kerja minimal 24 jam tatap muka per minggu hendaknya ada peraturan yang memayungi berkaitan dengan: (i) beban kerja tatap muka bisa 12 jam per

Adapun saran yang dapat penulis berikan agar penerimaan pajak khususnya untuk UMKM agar dapat lebih optimal yaitu untuk Direktorat Jendral Pajak secara khusus kepada

Segala Puji bagi Allah SWT atas segala kemuliaan dan kehendak-Nya dapat diselesaikannya penyusunan skripsi yang berjudul “PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING