• Tidak ada hasil yang ditemukan

Viabilitas Benih Cabai (Capsicum annuum L.) pada Beberapa Tingkat Kemasakan Buah dan Genotipe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Viabilitas Benih Cabai (Capsicum annuum L.) pada Beberapa Tingkat Kemasakan Buah dan Genotipe"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

VIABILITAS BENIH CABAI (

Capsicum annuum

L.) PADA

BEBERAPA TINGKAT KEMASAKAN BUAH DAN

GENOTIPE

ARIEF RIZA WIJAYA

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Viabilitas Benih Cabai

(Capsicum annuum L.) pada Beberapa Tingkat Kemasakan Buah dan Genotipe

adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Arief Riza Wijaya

(4)

ABSTRAK

ARIEF RIZA WIJAYA. Viabilitas Benih Cabai (Capsicum annuum L.) pada Beberapa Tingkat Kemasakan Buah dan Genotipe. Dibimbing oleh TATIEK KARTIKA SUHARSI dan MUHAMAD SYUKUR.

Penelitian ini menggunakan 6 genotipe cabai bersari bebas, yaitu Anies 1, Anies 2, Seloka 1, Seloka 2, Seloka 3, dan SSP yang diuji dalam 5 tingkat kemasakan buah yang berbeda, yaitu 32, 35, 38, 41, dan 44 hari setelah antesis (HSA). Penelitian ini menggunakan 3 kelompok tingkatan cabang yang berbeda, yaitu kelompok cabang 1 (cabang 2-5), kelompok cabang 2 (cabang 6-7), dan kelompok cabang 3 (cabang 8-9). Masak fisiologis benih ditentukan oleh viabilitas, vigor dan bobot kering benih. Penelitian ini memperlihatkan nilai viabilitas dan vigor tertinggi terjadi pada tingkat kemasakan 44 HSA. Viabilitas tertinggi terdapat pada nilai rata-rata daya berkecambah (DB) 84.17% dan vigor tertinggi terdapat pada nilai rata-rata indeks vigor (IV) 20.83%. Nilai daya berkecambah sudah cukup tinggi, sedangkan nilai indeks vigor masih tergolong rendah. Bobot kering benih sudah mulai meningkat pada umur buah 38 HSA untuk semua genotipe dan cenderung stabil hingga umur buah 44 HSA. Nilai bobot kering benih maksimal mengindikasikan bahwa benih sudah masak secara fisiologis. Karakter kuantitatif buah dan benih tidak berkorelasi nyata terhadap nilai IV dan DB. Nilai IV dan DB pada kelompok cabang 1 tidak berbeda dengan kelompok cabang 2, tetapi sebagian besar karakter kuantitatif buah dan benih pada kelompok cabang 1 berbeda dengan kelompok cabang 2.

Kata kunci: Bobot benih, cabang, daya berkecambah, indeks vigor, korelasi

ABSTRACT

ARIEF RIZA WIJAYA. Chilli Seeds (Capsicum annuum L.) Viability on Several Levels of Fruit Maturity and Genotypes. Supervised by TATIEK KARTIKA SUHARSI and MUHAMAD SYUKUR.

This research used six open pollinated chilli genotypes, namely Anies 1, Anies 2, Seloka 1, Seloka 2, Seloka 3, and SSP were tested in 5 different fruit maturity levels, namely 32, 35, 38, 41, and 44 days after anthesis (DAA). This research used 3 different group of branches, namely the first branches (branches 2-5), second branches (branches 6-7), and third branches (branches 8-9). Physiological maturity is determined by seed viability, vigor and dry seed weight. This study showed the highest values of viability and vigor occured at the level of maturity 44 DAA. The highest viability had germination (DB) on average 84.17% and the highest vigor had vigor index value (IV) on average 20.83%. Germination value was high, and the value of the vigor index was low. Seeds dry weight had started to increase at 38 DAA for all genotypes and remained stable until 44 DAA. The highest seed dry weight indicated that seeds were physiologically mature. Quantitative characters of fruits and seeds were not significantly correlated to the value of IV and DB. The value of IV and DB in first branches was not different with second branches, but most of the quantitative characters of fruits and seeds at first branches were different with second branches.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

VIABILITAS BENIH CABAI (

Capsicum annuum

L.) PADA

BEBERAPA TINGKAT KEMASAKAN BUAH DAN

GENOTIPE

ARIEF RIZA WIJAYA

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Viabilitas Benih Cabai (Capsicum annuum L.) pada Beberapa Tingkat Kemasakan Buah dan Genotipe

Nama : Arief Riza Wijaya NIM : A24090023

Disetujui oleh

Dr Tatiek Kartika Suharsi, MS Pembimbing I

Prof Dr Muhamad Syukur, SP, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Agus Purwito, MSc.Agr Ketua Departemen

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dari penelitian ini adalah Viabilitas Benih Cabai (Capsicum annuum L.) pada Beberapa Tingkat Kemasakan Buah dan Genotipe.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Tatiek Kartika Suharsi, MS selaku pembimbing skripsi I, Prof Dr Muhamad Syukur, SP, MSi selaku pembimbing skripsi II, dan Juang G Kartika SP, MSi selaku penguji sidang yang telah banyak memberi saran selama penelitian dan pembuatan skripsi, serta Dr Ir Faiza Chairani Suwarno, MS selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, semangat selama penulis belajar di IPB. Disamping itu, penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada para dosen-dosen Departemen Agronomi dan Hortikultura dan teknisi Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman dan Laboratorium Pengujian Mutu dan Penyimpanan Benih IPB yang telah memberikan pembelajaran selama penulis kuliah dan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan seluruh keluarga, seluruh teman atas segala doa dan kasih sayangnya serta Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA), Himpunan Mahasiswa Agronomi, UKM Karate IPB, Karya Salemba Empat (KSE) dan Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama (KMNU) IPB atas segala dukungannya.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Hipotesis 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Botani Cabai 2

Viabilitas Benih 2

Pengaruh Kemasakan Buah terhadap Mutu Benih 3

Pengaruh Kelompok Cabang Tanaman terhadap Mutu Benih 3

METODE PENELITIAN 3

Tempat dan Waktu Penelitian 3

Bahan dan Alat Penelitian 4

Rancangan Percobaan 4

Prosedur Penelitian 4

Analisis Data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Kondisi Umum 7

Rekapitulasi Sidik Ragam 8

Karakter Kuantitatif Pembungaan 9

Pengaruh Genotipe terhadap Karakter Kuantitatif Buah dan Benih 9 Pengaruh Tingkat Kemasakan Buah terhadap Karakter Kuantitatif Buah dan

Benih 11

Pengaruh Genotipe dan Tingkat Kemasakan Buah terhadap Mutu Fisiologis

Benih 15

Korelasi Karakter Kuantitatif Buah dan Benih dengan Mutu Fisiologis Benih 17 Pengaruh Kelompok Cabang Tanaman terhadap Peubah-Peubah yang Diamati 18

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 20

LAMPIRAN 24

(12)

DAFTAR TABEL

1 Rekapitulasi hasil uji F pada semua peubah yang diamati 8 2 Nilai rata-rata peubah karakter kuantitatif buah pada setiap genotipe 10 3 Nilai rata-rata peubah karakter kuantitatif benih pada setiap genotipe 10 4 Nilai rata-rata peubah karakter kuantitatif buah pada setiap tingkat

kemasakan buah 14

5 Nilai rata-rata peubah karakter kuantitatif benih pada setiap tingkat

kemasakan buah 14

6 Nilai daya berkecambah pada setiap genotipe dan tingkat kemasakan

buah 16

7 Nilai indeks vigor pada setiap genotipe dan tingkat kemasakan buah 17 8 Nilai korelasi antara karakter kuantitatif buah dan benih dengan mutu

fisiologis benih pada tingkat kemasakan buah 44 HSA 18 9 Nilai rata-rata setiap peubah pada kelompok cabang yang berbeda 19

DAFTAR GAMBAR

1 Kondisi tanaman yang diserang hama dan penyakit 7 2 Warna buah pada setiap tingkat kemasakan buah (32, 35, 38, 41 dan 44

HSA) pada kelompok cabang 1 (Cabang 2-5) 12

3 Warna buah pada setiap tingkat kemasakan buah (32, 35, 38, 41 dan 44

HSA) pada kelompok cabang 2 (cabang 6-7) 13

DAFTAR LAMPIRAN

1 Deskripsi Genotipe Seloka 24

2 Deskripsi Genotipe Anies 25

3 Deskripsi Genotipe SSP 26

4 Sidik ragam karakter genotipe-genotipe 27

(13)
(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara produsen cabai tropis terbesar di dunia. Menurut BPSRI (2012), luas panen cabai besar pada tahun 2011 adalah 239,770 ha dengan produksi total sebesar 1,483,079 ton, sehingga potensi produktivitas cabai adalah 6.19 ton ha-1.

Cabai masih menempati peringkat utama produk sayuran hortikultura Indonesia hingga saat ini. Kondisi tersebut harus didukung oleh kuatnya perbanyakan benih cabai dalam skala industri. Data luas panen pada tahun 2002 menunjukkan dari total 583,800 ha tanaman sayuran yang dalam budidayanya menggunakan benih, 25% (sekitar 150,000 ha) merupakan tanaman cabai (Anwar

et al. 2005). Kebutuhan cabai yang meningkat diperlukan ketersedian benih secara

kontinyu.

Produksi benih mesti dilakukan secara efektif dan efisien guna memperoleh mutu benih yang tinggi. Penelitian ini mengkaji mengenai fase perkembangan dan kemasakan benih berdasarkan tingkat kemasakan buah yang berbeda. Berbagai penelitian telah banyak dilakukan guna memperoleh informasi yang akurat mengenai pengaruh tingkat kemasakan buah terhadap viabilitas benih, misalnya pada benih Pyracantha spp. (Surya 2008), jarak pagar (Napiah 2009), melon (Kortse and Oladiran 2013), kamandrah (Croton tiglium L.) (Ahmadi et al. 2011), dan buah terung (Blay et al. 1999).

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kemasakan buah adalah karakter dari masing-masing genotipe cabai tersebut, misalnya umur fase vegetatif tanaman, umur berbunga, dan karakter kuantitatif lainnya. Kelompok cabang tanaman pun diduga memiliki pengaruh terhadap tingkat kemasakan buah dan karakter kuantitatif tanaman tersebut, seperti yang telah diteliti oleh Ibrahim dan Oladiran (2011) pada tanaman cabai. Pengamatan terhadap tingkat kemasakan buah pada beberapa genotipe cabai dalam kelompok cabang tanaman perlu dilakukan untuk menentukan waktu masak fisiologis benih cabai.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari viabilitas benih cabai (Capsicum

annuum L.) pada beberapa tingkat kemasakan buah dan genotipe dalam kelompok

cabang yang berbeda.

Hipotesis

(15)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Cabai

Cabai adalah salah satu komoditas tanaman penting dunia. Cabai berasal dari Amerika bagian tropik dan subtropik. Tanaman cabai didomestikasi dari daerah asalnya yaitu diantara Meksiko dan Guatemala. Cabai sudah banyak ditanam dan dikonsumsi di seluruh penjuru dunia (Valenzuela 2011).

Cabai tidak hanya dipanen 1 kali dalam 1 masa tanam. Cabai dapat dipanen beberapa kali selama masa generatifnya. Masa generatif cabai ditandai dengan munculnya bunga. Pembungaan adalah satu dari sekian proses yang menginduksi penuaan atau senescence (Sharma 2008), sehingga fase pembungaan menandakan tanaman telah beralih dari fase muda ke fase dewasa. Waktu pemunculan bunga pertama diukur setelah 50 persen tanaman di lapangan berbunga, yaitu sekitar 30-35 hari setelah tanam (HST) (Zahra 2012). Bunga mulai antesis pada pukul 6.00-9.00 pagi (Rajan dan Markose 2007). Buah mulai muncul dari kaliks 14 hari setelah antesis (HSA) (Bosland dan Votava 2012). Buah muda umumnya berwarna hijau, dan buah tua berwarna merah (Sunarjono 2011). Benih cabai memiliki bentuk agak melingkar, kuning, ringan, dan berukuran 3-5 mm. Bobot seribu butir benih cabai umumnya sekitar 3.5-5 g, tergantung pada varietas dan kondisi pertumbuhan. Benih cabai merupakan benih ortodoks, sehingga benih tersebut dapat bertahan lama dalam penyimpanan (Doijode 2011). Hasil panen benih cabai rata-rata per hektarnya adalah sekitar 50-80 kg (Agrawal 1980)

Waktu pembentukan dan pemasakan buah penting diketahui untuk memprediksikan waktu panen yang tepat. Menurut Thang (2007), proses terbentuknya buah memerlukan waktu 30-44 HSA. Proses pematangan buah ditandai dengan memerahnya buah. Proses perubahan warna pada pematangan buah cabai disebabkan oleh terdegradasinya klorofil pada buah.

Waktu awal panen cabai umumnya saat tanaman berumur 90-105 HST, tergantung pada ketinggian lahan produksi (Wiryanta 2002). Menurut Syukur et al.

(2012), umur panen pertama dapat terjadi pada 75-85 HST di dataran rendah atau 85-95 HST di dataran tinggi. Lama panen dalam satu periode tanaman sekitar 2 bulan, sehingga setelah 2 bulan panen, cabai tidak produktif lagi dan harus digantikan dengan tanaman baru. Pemanenan dapat dilakukan 3-4 hari sekali, sehingga cabai dapat dipanen hingga 16-20 kali.

Viabilitas Benih

Viabilitas adalah derajat hidup suatu benih yang aktif secara metabolik, dan dapat mensintesis enzim untuk merangsang reaksi perkecambahan dan pertumbuhan benih (Copeland dan Mcdonald 1995). Viabilitas menunjukkan ukuran persentase benih yang hidup setelah penyimpanan (Bicksler 2011).

(16)

3 Widajati et al. (2013), tolok ukur kemampuan benih untuk tumbuh normal dan berproduksi normal pada kondisi sub optimum disebut indeks vigor.

Viabilitas benih dipengaruhi oleh banyak faktor, baik dari kondisi benihnya sendiri ataupun faktor dari luar. Menurut Widajati et al. (2013), faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas diantaranya adalah mutu sumber benih, ketersediaan air dalam benih, ketersediaan hara benih, kesehatan benih, suhu yang optimum dan cahaya yang cukup. Eskandari (2012) menyatakan bahwa viabilitas benih dipengaruhi oleh fase perkembangan dan kemasakan benih serta kerusakan mekanis benih. Menurut Desai (1997), perlakuan ketika panen dan pasacapanen serta kondisi penyimpanan benih berpengaruh terhadap viabilitas benih.

Pengaruh Kemasakan Buah terhadap Mutu Benih

Perubahan fisiologi pada proses pemasakan buah cabai akan berdampak pada hasil dan mutu benih. Cavero et al. (1994) menjelaskan, persentase perkecambahan benih dari cabai yang setengah masak lebih rendah dibandingkan dengan cabai yang telah masak penuh atau lewat masak. Menurut McCormack (2005), daya berkecambah tertinggi benih diperoleh dari buah yang merah penuh. Batin (2011) menyatakan dalam penelitiannya tentang benih jarak pagar (Jatropha

curcas), benih yang diambil dari buah muda (hijau) belum masak, sehingga

menghasilkan perkecambahan yang rendah dan lambat. Menurut Blay et al.

(1999), penentuan waktu panen yang tepat sangat berpengaruh terhadap mutu suatu benih. McCormack (2005) menegaskan, perkecambahan akan rendah jika buah dipanen terlalu muda, dan apabila buah terlambat dipanen, maka benih tidak akan dapat digunakan, karena viabilitasnya sudah menurun.

Pengaruh Kelompok Cabang Tanaman terhadap Mutu Benih

Kelompok cabang tanaman diduga memiliki pengaruh terhadap mutu benih serta karakter kuantitatif buah dan benih, seperti yang telah diketahui dalam penelitian Ritonga (2013) serta Ibrahim dan Oladiran (2011) pada buah cabai. Ritonga (2013) menjelaskan, bahwa buah yang berada pada cabang yang lebih atas (cabang 13-17) memiliki ukuran dan bobot buah yang rendah. Ibrahim dan Oladiran (2011) menyatakan bahwa benih-benih yang diperoleh dari buah yang berada di posisi cabang lebih tinggi berkualitas rendah. Menurut Ritonga (2013), hal tersebut dikarenakan adanya persaingan antar buah dalam memperoleh hasil fotosintat.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

(17)

4 digunakan diantaranya adalah cawan petri, pipet, oven, timbangan digital, pinset, alat pengecambah benih tipe IPB-72, toples, penggaris, dan jangka sorong.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) split plot dengan genotipe sebagai petak utama dan tingkat kemasakan sebagai anak petak. Genotipe yang digunakan adalah 6 (G1-G6) dan tingkat kemasakan (K1-K5) sebanyak 5 taraf, yaitu diantaranya: G1: Anies 1, G2: Anies 2, G3: Seloka 1, G4: Seloka 2, G5: Seloka 3, G6: SSP, K1: kemasakan 32 HSA, K2: kemasakan 35 HSA, K3: kemasakan 38 HSA, K4: kemasakan 41 HSA, K5: kemasakan 44 HSA. Model aditif linear yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yijk= μ + αi+ δik+ βj +ϒk+(αβ)ij+ εijk

Keterangan:

Yijk = Nilai pengamatan pada faktor genotipe taraf ke-I faktor tingkat kemasakan taraf ke-j dan ulangan ke-k

μ = Komponen aditif dari rataan

αi = Pengaruh faktor genotipe ke-i; i = 1,2,3,4,5,6

βj = Pengaruh faktor tingkat kemasakan ke-j; j = 1,2,3,4,5

ϒk = Pengaruh ulangan ke-k, k=1,2,3

(αβ)ij = Komponen interaksi dari faktor genotipe dan faktor tingkat kemasakan

(18)

5 Ulangan dibuat sebanyak 3 kali. Setiap ulangan diambil dari kelompok cabang. Kelompok cabang 2-5 adalah ulangan 1, kelompok cabang 6-7 adalah ulangan 2, dan kelompok cabang 8-9 adalah ulangan 3 (lampiran 5). Setiap ulangan terdiri atas 5 taraf tingkat kemasakan buah, sehingga satuan percobaan yang diperoleh untuk 6 genotipe sebanyak 90 satuan percobaan.

Bibit dipindahkan ke lubang yang sudah disediakan setelah berumur 1.5 bulan dalam persemaian. Tanaman diberi pupuk NPK Mutiara dengan perbandingan dosis 16:16:16. Pupuk NPK Mutiara dicampur air dengan konsenterasi 10 g L-1. Pemberian pupuk dilakukan dengan cara dikocor atau

fertigasi. Setiap tanaman diberikan sebanyak 250 ml atau dosis 62.5 kg ha-1 setiap

1 minggu. Pemberian pupuk dilakukan selama 8 minggu, sehingga total dosis pupuk yang diperlukan sebanyak 500 kg Ha-1.

Pemeliharaan mulai dilakukan setelah bibit ditanam di lahan hingga tanaman tidak produktif lagi. Pemberian air disesuaikan dengan kondisi lahan dan musim. Penyiangan dilakukan apabila gulma sudah mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pestisida diberikan apabila tanaman diserang OPT.

Pelabelan dilakukan pada bunga yang tumbuh pada percabangan 2-5 (ulangan 1), percabangan 6-7 (ulangan 2), dan percabangan 8-9 (ulangan 3). Bunga-bunga dalam 1 tanamannya diberi 15 label warna berbeda sebagai penanda buah yang akan dipanen, yaitu 5 label warna pada masing-masing ulangan untuk setiap tingkat kemasakan yang berbeda. Bunga yang diberi label sudah dalam keadaan mekar (antesis). Pemanenan dilakukan secara bertahap, yaitu sesuai dengan selang waktu kemasakan buah. Cabai dipanen minimal 15 buah setiap tanamannya, sehingga jumlah cabai yang terkumpul untuk setiap genotipe minimal 300 buah.

Buah diekstraksi benihnya pada hari yang sama setelah pemanenan. Ekstraksi dilakukan secara manual, yaitu cabai dibelah dan benih dikeluarkan dengan menggunakan pinset. Benih dibersihkan terlebih dahulu dari funikulus yang menempel pada benih dengan cara diambil dengan pinset. Pembersihan tidak menggunakan air.

Benih-benih tersebut kemudian diletakkan di wadah berbentuk piringan dan dikeringanginkan di dalam ruangan ber AC selama 3 hari. Benih yang sudah kering dimasukan ke dalam plastik yang kedap udara dan disimpan di dalam toples plastik pada ruangan ber AC selama 1-2 minggu. Menurut McCormack (2005), hal tersebut dilakukan selama periode after ripening agar menghindari rendahnya perkecambahan. Benih-benih tersebut kemudian disimpan dalam

refrigerator dengan suhu konstan sekitar 4 oC. Benih-benih yang sudah disimpan

tersebut diuji untuk memperoleh nilai kadar air, daya berkecambah, dan indeks vigor

Pengamatan

Peubah-peubah yang diamati dalam penelitian ini diantaranya adalah karakter kuantitatif pembungaan, kuantitatif buah, kuantitatif benih, dan mutu fisiologis benih.

(19)

6

dan antera sudah pecah serta lama waktu dari antesis hingga ukuran buah maksimal yang ditandai dengan masuknya warna buah ke dalam fase warna

intermediet (cokelat).

Karakter kuantitatif buah yang diamati terdiri atas panjang buah, diameter buah, dan bobot per buah. Karakter kuantitatif buah diukur pada hari yang sama setelah panen. Panjang buah diukur dari pangkal buah hingga ujung buah. Diameter buah diukur pada bagian terlebar pada buah. Panjang dan diameter buah diukur dengan menggunakan jangka sorong. Bobot buah diukur dengan menggunakan timbangan digital. Bobot buah diperoleh dari bobot 1 buah.

Karakter kuantitatif benih yang diamati diantaranya jumlah benih, bobot kering benih, kadar air benih, dan rendemen benih kering. Jumlah benih, bobot kering benih, dan kadar air benih dihitung ketika benih sudah dikeringanginkan selama 3 hari di ruangan ber-AC. Jumlah benih dihitung satu per satu secara manual. Bobot kering benih diukur dengan timbangan digital. Bobot kering benih diperoleh dari benih-benih dalam 1 buah. Kadar air diukur dengan metode oven. Kadar air diuji pada benih yang sudah disimpan pada refrigerator selama 1.5-2 bulan pada suhu 4 oC. Rendemen benih kering dihitung dengan cara membandingkan antara bobot kering benih dengan bobot buah.

Pengamatan utama dalam penelitian ini adalah mutu fisiologis benih. Peubah yang diamati terdiri atas daya berkecambah (DB) untuk mengetahui tingkat viabilitas benih dan indeks vigor benih (IV) untuk menentukan vigor benihnya. Metode uji daya berkecambah (DB) yang digunakan adalah uji diatas kertas (UDK). Benih yang dibutuhkan sebanyak 50 butir. Benih-benih tersebut ditanam pada media yang sudah dilembabkan. Media dibuat dari tiga lapis kertas merang yang sudah disesuaikan dengan bentuk cawan petri. Benih ditanam secara melingkar. Benih yang sudah ditanam kemudian ditutup dengan penutup cawan dan disimpan pada alat pengecambah benih tipe IPB-72 selama 14 hari. Pengamatan dilakukan pada hari ke-7 dan hari ke-14. Kelembaban media harus terjaga hingga proses pengamatan selesai. Pengujian indeks vigor dilakukan pada satu lot benih yang sama dengan pengujian daya berkecambah. Indeks vigor diperoleh dari jumlah kecambah normal yang tumbuh pada hari ke-7. Berikut adalah beberapa rumus perhitungan yang digunakan dalam penelitian :

a) Rendemen benih

(20)

7 c) Daya berkecambah (DB)

DB = jumlah kecambah normal x 100% jumlah benih yang ditanam

d) Indeks vigor (IV)

IV= kecambah normal pada hari ke-7 x 100% jumlah benih yang ditanam

Analisis Data

Hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam (uji F) pada taraf 5% dan 1% kemudian dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncant Multiple Range Test) pada taraf 5%. Analisis data menggunakan fasilitas SAS portable.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Kondisi tanaman di lapang secara keseluruhan kurang baik, terutama pada genotipe Seloka 3. Penerapan rancangan ulangan berdasarkan kelompok cabang yang berbeda tidak optimal, dikarenakan tanaman sudah berumur tua dan kurang tahan terhadap kondisi lingkungan, terutama pada ulangan 3 atau kelompok cabang 3 (cabang 8 dan 9). Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi tanaman tersebut diantaranya adalah serangan dari hama seperti ulat jengkal, belalang, dan trips serta penyakit seperti layu batang dan antraknosa (Gambar 1). Kelembaban tanah yang tinggi akibat curah hujan yang tinggi dan fluktuatif juga sangat berpengaruh. Abdulmalik et al. (2012) di dalam penelitiannya pada tanaman cabai menunjukkan bahwa cekaman kelembaban sangat berpengaruh terhadap pembungaan, pembentukan buah, dan hasil panen buah pada tanaman cabai.

Gambar 1 Kondisi tanaman yang diserang hama dan penyakit

(21)

8

Kondisi tanaman tersebut menyebabkan banyak sampel buah yang tidak dapat diamati, karena populasi tanaman menjadi sedikit. Ulangan yang dapat diambil secara optimal adalah ulangan 1 atau kelompok cabang 1 (cabang 2-5) dan ulangan 2 atau kelompok cabang 2 (cabang 6-7).

Rekapitulasi Sidik Ragam

Rekapitulasi sidik ragam memperlihatkan pengaruh dari faktor genotipe, tingkat kemasakan, dan kelompok cabang pada setiap peubah yang diamati (Tabel 1). Lama waktu dari muncul bunga hingga antesis dan lama waktu dari antesis hingga ukuran buah maksimal hanya diuji F dengan 1 faktor, yaitu faktor genotipe. Peubah-peubah lainnya, yaitu panjang buah, diameter buah, bobot per 1 buah, jumlah benih per buah, bobot kering benih per buah, kadar air benih per buah, rendemen benih kering per buah, indeks vigor, dan daya berkecambah diuji F dengan 2 faktor, yaitu faktor genotipe dan tingkat kemasakan buah. Hasil uji F pengaruh genotipe dan tingkat kemasakan terhadap peubah-peubah yang diamati dapat dilihat pada lampiran 4.

Tabel 1 Rekapitulasi hasil uji F pada semua peubah yang diamati

a tn

= tidak berpengaruh nyata; ** = berpengaruh nyata pada taraf 1% berdasarkan uji F; * = berpengaruh nyata pada taraf 5% berdasarkan uji F; T = data diolah dengan menggunakan transformasi akar-kuadrat

(22)

9 Hasil uji F menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh nyata terhadap sebagian besar peubah, tetapi tidak berpengaruh nyata pada lama waktu dari muncul bunga hingga antesis, lama waktu dari antesis hingga pembentukan buah maksimal, indeks vigor (IV), dan kadar air benih (KA). Tingkat kemasakan buah berpengaruh nyata pada diameter buah, bobot kering benih, rendemen benih kering, daya berkecambah (DB), IV, dan KA. Kelompok cabang memiliki pengaruh yang nyata pada sebagian besar peubah yang diamati. Interaksi antara genotipe dan tingkat kemasakan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata kecuali pada nilai DB. Interaksi antara kelompok cabang dan genotipe tidak berpengaruh nyata, kecuali pada jumlah benih.

Koefisien keragaman (KK) merupakan tingkat keakuratan pada perlakuan yang dibandingkan. Koefisien keragaman terbesar terdapat pada peubah bobot kering benih (18.36%), sedangkan peubah lama waktu antesis hingga ukuran buah maksimal memiliki koefisien keragaman terendah yaitu 2.88%. Gomez dan Gomez (1995) menyatakan, nilai KK menggambarkan keadaan percobaan, yaitu semakin rendah nilai KK akurasinya semakin tinggi. Khasanah (2013) menjelaskan, beragamnya nilai KK menunjukkan bahwa lingkungan memberikan pengaruh bervariasi terhadap peubah yang diamati.

Karakter Kuantitatif Pembungaan

Hasil pengamatan pada karakter pembungaan menunjukkan bahwa lama waktu dari muncul bunga (kuncup mahkota sepanjang 2 mm) hingga antesis tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata untuk setiap genotipe, yaitu memiliki rata-rata waktu 4-5 hari. Lama waktu dari antesis hingga ukuran buah maksimal dibutuhkan waktu sekitar 35-38 hari untuk setiap genotipe.

Proses pembentukan buah yang diawali dari munculnya bunga dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu berasal dari individu tanaman itu sendiri (internal) dan kondisi lingkungan tumbuh (eksternal). Faktor internal lebih dominan dipengaruhi oleh karakter gen masing-masing genotipe, yaitu genotipe tersebut bersifat genjah atau tidak genjah. Faktor eksternal banyak dipengaruhi oleh lingkungan seperti hama dan penyakit, dan kondisi cuaca seperti suhu dan curah hujan. Thanopoulos

et al. (2013) menyatakan bahwa pertumbuhan dan pemasakan buah sangat

dipengaruhi oleh musim tanam.

Pengaruh Genotipe terhadap Karakter Kuantitatif Buah dan Benih

Peubah-peubah dari karakter buah dan benih sebagian besar dipengaruhi oleh faktor genotipe. Pembahasan ini menjelaskan mengenai perbedaan dan perbandingan dari setiap genotipe yang diuji terhadap karakter buah dan benih.

Karakter kuantitatif buah

(23)

10

berbeda. Nilai rata-rata karakter kuantitatif buah untuk setiap genotipe terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai rata-rata peubah karakter kuantitatif buah pada setiap genotipe

Peubah (per buah) Genotipe DMRT pada taraf nyata 5%; Karakter buah yang diamati diambil dari buah yang berumur 32, 35, 38, 41, 44 HSA

Panjang buah pada Seloka 2 dan Seloka 3 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan Seloka 1, Anies 1, dan SSP. Anies 1 memiliki panjang buah yang hampir sama dengan Anies 2. SSP (95.68 mm) memiliki ukuran rata-rata buah terpanjang dari semua genotipe karena merupakan cabai tipe keriting, sedangkan diantara tipe cabai besar, Anies 1 (89.56 mm) memiliki ukuran rata-rata buah terpanjang dan Seloka 1 (73.65 mm) memiliki ukuran rata-rata-rata-rata buah terpendek (Tabel 2).

Diameter rata-rata buah pada Seloka 3 dengan Anies 1 dan Anies 2 dengan Seloka 1 tidak berbeda nyata, sedangkan genotipe yang saling berbeda nyata adalah Anies 2, Seloka 2, Seloka 3 dan SSP. Diameter rata-rata terkecil dari semua genotipe adalah SSP (9.13 mm) karena merupakan cabai tipe keriting, sedangkan diantara tipe cabai besar, diameter rata-rata terbesar dimiliki oleh Anies 2 (15.74 mm) dan terkecil dimiliki oleh Seloka 2 (13.16 mm) (Tabel 2).

Bobot buah rata-rata per buah, yaitu Anies 1 dengan Anies 2 dan Seloka 2 dengan Seloka 3 tidak berbeda nyata, sedangkan dengan genotipe-genotipe lainnya berbeda nyata satu sama lain. Bobot rata-rata buah terbesar pada tipe cabai besar dimiliki oleh Anies 1 (8.68 g) dan terkecil oleh Seloka 3 (5.78 g), sedangkan SSP (4.44 g) memiliki bobot terendah dari semua genotipe karena merupakan cabai tipe keriting (Tabel 2).

Karakter kuantitatif benih

Karakter kuantitatif benih yang diamati pada setiap genotipe terdiri atas jumlah, bobot kering, rendemen benih kering, dan nilai KA benih per buah (Tabel 3). Data karakter kuantitatif benih tersebut membandingkan antara genotipe yang satu dengan yang lainnnya.

Tabel 3 Nilai rata-rata peubah karakter kuantitatif benih pada setiap genotipe

(24)

11 Jumlah benih terbanyak terdapat pada Seloka 1 dan terendah pada SSP. Jumlah benih rata-rata pada tipe cabai besar lebih banyak dibandingkan tipe cabai keriting (SSP). Seloka 1 memiliki jumlah benih yang berbeda nyata dengan SSP dan keempat genotipe lainnya, yaitu Anies 1, Anies 2, Seloka 2, dan Seloka 3. Anies 1, anies 2, Seloka 2, dan Seloka 3 memiliki jumlah benih yang tidak berbeda (Tabel 3).

Anies 1, Anies 2, dan Seloka 1 memiliki bobot kering benih rata-rata yang tidak berbeda nyata satu sama lain, tetapi berbeda nyata dengan Seloka 2, Seloka 3, dan SSP. Perbedaan tidak nyata pun terdapat pada Seloka 2, Seloka 3, dan SSP.

Pengamatan pada rendemen benih memperlihatkan SSP memiliki rendemen benih kering terbesar diikuti oleh Seloka 1, Anies 1, Anies 2, Seloka 3, dan Seloka 2. Rendemen benih pada Anies 1, Anies 2, dan Seloka 3 tidak berbeda nyata, akan tetapi berbeda nyata dengan SSP. Cabai tipe keriting (SSP) cenderung memiliki rendemen lebih besar daripada tipe cabai besar.

Pengamatan kadar air benih yang sudah dikeringanginkan menunjukkan bahwa hampir seluruh genotipe memiliki nilai KA diantara 7%-9%. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi (2009) menyatakan bahwa kadar air benih cabai maksimal untuk penyimpanan adalah sekitar 8%. Menurut Widajati et al. (2013), kadar air benih menentukan tingkat kerusakan mekanis saat pengolahan dan kemampuan benih dalam mempertahankan viabilitasnya selama di penyimpanan.

Pengaruh Tingkat Kemasakan Buah terhadap Karakter Kuantitatif Buah dan Benih

Tingkat kemasakan buah berdasarkan indikator warna buah sering digunakan sebagai penentu waktu panen. Kemasakan buah umumnya bersinergis dengan kemasakan fisiologis benih. Mutu benih maksimal sebenarnya didasarkan pada masak fisiologis suatu benih, meskipun warna buah belum merah sepenuhnya, sehingga perlu diketahui waktu pemanenan buah yang tepat untuk memperoleh benih yang sudah masak secara fisiologis.

Tingkat kemasakan buah

Tingkat kemasakan buah pada penelitian ini ditentukan berdasarkan waktu panen, yaitu 32, 35, 38, 41, 44 HSA. Hasil pengamatan menunjukkan perbedaan waktu pemasakan buah antara kelompok cabang 1 dan 2. Buah pada kelompok cabang 1 (cabang 2-5) cenderung lebih cepat mengalami pemasakan dibandingkan kelompok cabang 2 (cabang 6-7).

Pemasakan buah pada kelompok cabang 1 dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar tersebut menunjukkan bahwa buah berumur 32 dan 35 HSA masih berwarna hijau. Buah-buah yang sudah berumur 38 HSA mulai memasuki warna

intermediet, yaitu terdapat sedikit warna cokelat pada bagian buah. Buah mulai

memasuki fase merah saat umur 41 HSA, akan tetapi warna buah belum merah penuh pada seluruh bagian buah. Buah pada umur 44 HSA sudah mencapai merah penuh pada semua genotipe kecuali Seloka 3.

(25)

12

Gambar 2 Warna buah pada setiap tingkat kemasakan buah (32, 35, 38, 41 dan 44 HSA) pada kelompok cabang 1 (Cabang 2-5)

(26)

13

Gambar 3 Warna buah pada setiap tingkat kemasakan buah (32, 35, 38, 41 dan 44 HSA) pada kelompok cabang 2 (cabang 6-7)

(27)

14

Kondisi cuaca seperti intensitas cahaya dan suhu juga berpengaruh terhadap lamanya pemasakan buah. Fox et al. (2005) menjelaskan, perombakan senyawa klorofil akan berdampak pada perubahan warna buah. Perombakan senyawa tersebut akan lebih cepat apabila periode panjang hari lebih lama, serta intensitas cahaya dan temperatur lebih tinggi.

Karakter Kuantitatif Buah

Karakter kuantitatif buah, yaitu panjang dan bobot buah tidak berbeda nyata berdasarkan tingkat kemasakan, sedangkan diameter buah berbeda nyata pada tingkat kemasakan (Tabel 4). Namun secara keseluruhan, buah berumur 32 HSA masih memperlihatkan perkembangan dan pertumbuhannya, meskipun tidak signifikan.

Tabel 4 Nilai rata-rata peubah karakter kuantitatif buah pada setiap tingkat kemasakan buah

Peubah (per buah) Tingkat kemasakan buah

x

32 35 38 41 44

Panjang buah (mm) 81.94 85.73 84.08 86.07 86.66

Diameter buah (mm) 13.05b 13.45ab 13.81a 13.93a 13.74a

Bobot buah (g) 6.26 6.58 6.67 7.01 7.16

x

Angka pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf nyata 5%

Perbedaan tidak nyata pada peubah panjang buah dimungkinkan fase pemanjangan buah sudah mulai berhenti pada umur 32 HSA. Bobot buah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada setiap tingkat kemasakan, meskipun terjadi peningkatan bobot buah pada tingkat kemasakan yang lebih tinggi. Rata-rata diameter buah pada umur 32 HSA cenderung meningkat hingga umur 38 HSA, sedangkan dari umur 38 HSA hingga 44 HSA diameter buah sudah tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Karakter Kuantitatif Benih

Tingkat kemasakan buah lebih berpengaruh dalam pembentukan dan perkembangan benih dibandingkan dengan pengaruh dari faktor genotipe yang digunakan (Tabel 5). Tingkat kemasakan buah yang tepat dapat menghasilkan benih yang sudah masak fisiologis.

Tabel 5 Nilai rata-rata peubah karakter kuantitatif benih pada setiap tingkat kemasakan buah

Peubah (per buah) Tingkat kemasakan buah

x

32 35 38 41 44

Jumlah benih (biji) 88.40 90.49 93.20 94.05 88.18

(28)

15 Jumlah benih pada umur buah 32 hingga 44 HSA tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, artinya kemasakan buah tidak berpengaruh terhadap jumlah biji. Menurut Marcelis dan Eijer (1997), jumlah benih per buah meningkat bersamaan dengan meningkatnya jumlah ovul yang terbuahi oleh polen, sehingga mengindikasikan bahwa jumlah benih cabai dibatasi oleh seberapa banyak jumlah ovul yang dapat terserbuki oleh polen. Data tersebut juga memperlihatkan bahwa buah berumur 38, 41, dan 44 HSA memiliki bobot kering benih rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan buah yang berumur 32 dan 35 HSA (Tabel 5). Bobot kering benih tersebut sangat berkaitan dengan masak fisiologis suatu benih. Bobot kering benih semakin besar, berarti benih tersebut semakin masak secara fisiologis. Data yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa masak fisiologis benih sudah dimulai pada umur 38 HSA. Blay et al. (1999) menyatakan bahwa bobot kering benih akan meningkat seiring dengan kemasakan buah. Pengamatan pada rendemen benih kering memperlihatkan bahwa pada umur buah 32 dan 35 HSA berbeda nyata dengan rendemen benih kering pada umur 38, 41, dan 44 HSA.

Penambahan bobot kering benih dan rendemen benih pada setiap tingkat kemasakan tidak lepas pengaruhnya dari faktor pengisian benih. Amali et al.

(2013) menjelaskan bahwa jumlah benih dengan cadangan makanan yang sudah terisi pada buah meningkat bersamaan dengan jumlah hari setelah antesis (HSA).

Perbedaan nilai kadar air (KA) benih terjadi pada tingkat kemasakan yang berbeda, yaitu umur buah 32, 35, 38 HSA lebih rendah dibandingkan dengan umur buah 41 dan 44 HSA. Hasil kadar air benih tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ahmed (2007). Ahmed (2007) menyatakan bahwa kadar air benih setelah dikeringkan memiliki perbedaan yang nyata pada setiap fase pemanenan. Kadar air benih maksimum terjadi pada fase buah berwarna hijau gelap dan minimum pada fase masak merah. Ketidaksamaan hasil pengamatan tersebut dimungkinkan benih yang diuji dalam penelitian ini tidak sama, yaitu benih dari buah yang hijau tidak memiliki kondisi yang sama dengan benih dari buah yang merah.

Pengaruh Genotipe dan Tingkat Kemasakan Buah terhadap Mutu Fisiologis Benih

Terbentuknya mutu fisiologis benih maksimum selama fase perkembangannya pada karakter buah dan benih merupakan faktor yang penting untuk mengetahui waktu panen yang tepat (Vidigal et al. 2011). Indikator kualitas benih maksimum atau sudah mencapai masak fisiologis adalah nilai viabilitas dan vigor benih. Viabilitas benih diindikasikan dengan nilai daya berkecambah dan vigor benih diindikasikan dengan nilai indeks vigor. Pengujian ini dilakukan pada benih yang telah disimpan di dalam refrigerator selama 1.5-2 bulan dalam suhu konstan 4 oC.

Viabilitas benih

(29)

16

Table 6 Nilai daya berkecambah pada setiap genotipe dan tingkat kemasakan buah

Angka yang diikuti huruf kapital yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada hasil uji DMRT taraf 5%; Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada hasil uji DMRT taraf 5%.

Sebagian benih mulai berkecambah pada benih dari buah berumur 38 HSA, meskipun ada yang sudah mulai tumbuh pada umur buah 35 HSA (SSP). Nilai DB pada genotipe SSP terlihat lebih unggul dibandingkan dengan genotipe lainnya. Daya berkecambah pada SSP sudah menunjukkan nilai cukup tinggi meskipun pada umur buah 38 HSA (Tabel 6).

Benih dari buah berumur 32-35 HSA masih memiliki daya berkecambah yang rendah berdasarkan tingkat kemasakan buah. Menurut Pudjogunarto (2002), hal tersebut disebabkan oleh cadangan makanan yang belum penuh dan dimungkinkan adanya penghambat dalam proses perkecambahan.

Nilai DB tertinggi terjadi pada umur buah 44 HSA. Nilai DB tertinggi dimiliki oleh Seloka 1 (91%) kemudian Anies 1 (88%), Seloka 2 (85%), SSP (84%), Anies 2 (83%), dan Seloka 3 (74%). Nilai rata-rata DB dari semua genotipe pada buah berumur 44 HSA adalah 84.17%. Nilai DB tersebut menunjukkan bahwa benih pada umur 44 HSA sudah memiliki mutu yang baik. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi (2009) menyatakan bahwa daya berkecambah minimum untuk benih cabai adalah sekitar 80%. Menurut Agrawal (1980), proses perkecambahan tersebut penting untuk mengindikasikan kemampuan benih berkembang menjadi tanaman normal di bawah kondisi yang sesuai di dalam tanah, sehingga daya berkecambah tersebut merupakan indikator bagus atau tidaknya benih yang akan ditanam di lahan. Yisa et al. (2013) menyatakan bahwa benih yang diperoleh dari buah cabai berwarna merah penuh memiliki perkecambahan tertinggi.

Vigor benih

Vigor benih menjadi acuan utama untuk menentukan mutu suatu benih. Benih yang memiliki vigor tinggi dapat menghasilkan tanaman yang tegar meski kondisi lapang atau lingkungan tumbuhnya tidak optimum (Sadjad et al. 1999).

(30)

17 Table 7 Nilai indeks vigor pada setiap genotipe dan tingkat kemasakan buah

Genotipe Tingkat kemasakan buah nyata pada hasil uji DMRT taraf 5%.

Hasil pengamatan indeks vigor (Tabel 7) menunjukkan perbedaan yang signifikan pada tingkat kemasakan. Seloka 3 dan SSP sudah mulai berkecambah pada umur buah 38 HSA, sedangkan genotipe yang lainnya mulai berkecambah pada umur 41 HSA. Data tersebut memperlihatkan nilai indeks vigor tertinggi terdapat pada umur buah 44 HSA, yaitu Seloka 2 (52%), SSP (19%), Anies 1 (16%), Anies 2 (15%), Seloka 1 (14%), dan Seloka 3 (9%). Nilai IV pada tingkat kemasakan tersebut masih tergolong rendah. Rendahnya vigor benih tersebut dimungkinkan kondisi benih tidak sehat atau kondisi saat di lapangan kurang mendukung terhadap perkembangan benih. Menurut Setyowati (2013) dalam penelitiannya pada benih cabai, nilai indeks vigor benih cabai dapat mencapai 91%. Menurut Copeland dan McDonald (1995), faktor yang mempengaruhi menurunnya vigor benih adalah faktor genetik, lingkungan tumbuh selama fase perkembangan benih, dan lingkungan ketika penyimpanan.

Korelasi Karakter Kuantitatif Buah dan Benih dengan Mutu Fisiologis Benih

Analisis korelasi diperlukan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh suatu peubah dengan peubah lainnya (Tabel 8). Peubah-peubah yang dianalisis pada penelitian ini adalah beberapa peubah dari karakter kuantitatif buah dan benih dengan peubah dari mutu fisiologis benih.

Karakter kuantitatif buah dan benih, yaitu panjang buah, diameter buah, bobot buah, jumlah benih dan bobot kering benih tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap nilai IV dan DB (Tabel 8). Venudevan et al. (2013) menunjukkan dalam penelitiannnya pada tanaman obat buah maja (Aegle marmelos), ukuran buah memiliki pengaruh terhadap viabilitas benih. Ukuran buah yang lebih besar (10-12 cm) memiliki nilai DB, IV, panjang akar dan tunas, dan bobot kecambah kering lebih besar daripada buah yang berukuran sedang (8-10 cm) dan kecil (6-8 cm).

(31)

18

Table 8 Nilai korelasi antara karakter kuantitatif buah dan benih dengan mutu fisiologis benih pada tingkat kemasakan buah 44 HSA

= tidak berpengaruh nyata; ** = berpengaruh nyata pada taraf 1% berdasarkan uji F; * = berpengaruh nyata pada taraf 5% berdasarkan uji F; Tanda negatif (-) pada angka menandakan pengaruh tidak berbanding lurus dan tanda positif (+) pada angka menandakan pengaruh yang berbanding lurus

Beberapa peubah pada karakter kuantitatif buah dan benih memiliki korelasi satu sama lain, meskipun tidak terdapat korelasi dengan mutu fisiologis benih. Bobot buah, bobot kering benih dan panjang buah berkorelasi positif dengan nilai KA. Diameter buah berkorelasi positif terhadap jumlah benih, bobot buah dan bobot kering benih. Bobot kering benih berkorelasi positif dengan jumlah benih dan bobot buah. Korelasi tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Marcelis dan Eijer (1997) yang menyatakan bahwa ukuran buah cabai menunjukkan korelasi yang positif dengan jumlah biji. Selain penelitian pada cabai, bobot buah pada tanaman dari famili Genisteae (Lopez et al. 2000) dan pada buah semangka merah (Citrullus lanatus) (Kortse et al. 2012) memiliki korelasi positif terhadap jumlah benih dan bobot kering benih.

Pengaruh Kelompok Cabang Tanaman terhadap Peubah-Peubah yang Diamati

Jumlah cabang yang terbentuk pada tanaman sangat berhubungan dengan umur suatu tanaman. Cabang pada tanaman cabai terus bertambah seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Percabangan cabai merupakan kelipatan dua dari cabang di bawahnya. Pertambahan cabang ini diduga memiliki pengaruh terhadap karakter kuantitatif pembungaan, kuantitatif buah, kuantitatif benih, dan mutu fisiologis benih (Tabel 9).

(32)

19 Table 9 Nilai rata-rata setiap peubah pada kelompok cabang yang berbeda

Peubah (satuan) Kelompok

x

1 2

Waktu dari anthesis hingga buah maksimal (hari) 35.15b 38.82a

Waktu dari muncul bungaa hingga anthesis (hari) 4.05 4.09

Panjang buah (mm) 88.39a 81.37b DMRT pada taraf nyata 5%; Kelompok 1= Cabang 2-5, kelompok 2 = cabang 6-7; * Data indeks vigor dan daya berkecambah diperoleh dari tingkat kemasakan buah 44 HSA (lampiran 4).

Kelompok cabang tidak berpengaruh pada nilai IV dan DB (Tabel 9). Nilai IV dan DB relatif konstan. Hasil tersebut dimungkinkan bahwa cabai pada tingkatan cabang 1-7 masih memiliki umur masak fisiologis yang sama, meskipun karakter kuantitatif buah dan benihnya sudah mulai mengalami penurunan pada cabang 6-7.

Pengamatan pada karakter kuantitatif pembungaan menunjukkan bahwa kelompok cabang 2 memiliki lama waktu dari antesis hingga pembentukan buah maksimal lebih lama dibandingkan kelompok cabang 1, akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata pada lama waktu dari muncul bunga hingga antesis. Perbedaan yang tidak signifikan pada peubah lama waktu dari muncul bunga hingga antesis disebabkan interval waktu yang terlalu pendek, sehingga tingkat keragamannya semakin rendah.

Peubah-peubah di dalam karakter kuantitatif buah dan benih pada setiap tingkatan cabang memiliki perbedaan yang nyata. Nilai rata-rata jumlah dan bobot kering benih pada kelompok cabang 1 lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok cabang 2, namun nilai kadar air pada kelompok cabang 1 lebih rendah dibandingkan dengan kelompok cabang 2. Pengamatan pada karakter kuantitatif buah memperlihatkan bahwa semakin atas cabang, karakter buah seperti panjang, diameter, ataupun bobot buah akan semakin kecil.

(33)

20

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Masak fisiologis benih pada semua genotipe yang digunakan dicapai pada tingkat kemasakan buah 44 HSA berdasarkan vigor, viabilitas dan bobot kering benih.

Karakter-karakter kuantitatif buah dan benih tidak berkorelasi dengan nilai indeks vigor (IV) dan nilai daya berkecambah (DB). Beberapa peubah pada karakter kuantitatif buah dan benih memiliki korelasi satu sama lain. Bobot buah, bobot kering benih dan panjang buah berkorelasi positif dengan nilai KA. Diameter buah berkorelasi positif terhadap jumlah benih, bobot buah dan bobot kering benih. Bobot kering benih berkorelasi positif dengan jumlah benih dan bobot buah.

Pengamatan terhadap semua karakter pada kelompok cabang yang berbeda menunjukkan bahwa nilai IV dan DB pada kelompok cabang 1 tidak berbeda dengan kelompok cabang 2, tetapi beberapa karakter buah dan benih pada kelompok cabang 1 berbeda dengan kelompok cabang 2. Sebagian besar karakter buah dan benih pada kelompok cabang 1 (cabang 2-5) memperlihatkan nilai kuantitatif lebih tinggi dibandingkan pada kelompok cabang 2 (cabang 6-7).

Saran

Buah cabai genotipe Anies 1, Anies 2, Seloka 1, Seloka 2, Seloka 3, dan SSP untuk produksi benih mulai dapat dipanen pada umur buah 44 HSA. Pemanenan buah untuk produksi benih dengan jumlah benih yang banyak direkomendasikan berasal dari buah yang terletak pada cabang 1-5. Biji dari buah yang berasal dari cabang 6 dan 7 masih dapat digunakan karena mutu fisiologis bagus, walaupun jumlah benih menurun.

DAFTAR PUSTAKA

[BPSRI] Badan Pusat Statistika Republik Indonesia. 2012. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabai 2009-2011. Jakarta (ID): BPSRI Pr.

Abdulmalik MM, Olarewaju JD, Usman IS, and Ibrahim A. 2012. Effects of

Ahmadi NR, Mangunwidjaja D, Suparno O, Iswantini D. 2011. Pengaruh tingkat kematangan buah terhadap aktivitas larvasida dan sifat fisiko-kimia minyak kamandrah (Croton tiglium L.). Jurnal Littri 17(4): 163–168.

Amali EP, Kortse PA, Vange T. 2013. The quality of ‘egusi’ melon [(Citrullus

(34)

21 different growth stages and at different positions on the mother plant.

I.J.S.R.I. 3(4): 1-7.

Anwar A, Sudarsono, Ilyas S. 2005. Perbenihan sayuran di Indonesia: kondisi terkini dan prospek bisnis benih sayuran. Bul. Agron. 33(1): 38 – 47.

Batin CB. 2011. Seed Germination and Seedling Performance of Jatropha curcas: Fruit Based on Color at Two Different Seasons in Northern Philippines. International Conference on Environment and BioScience IPCBEE 21. Bicksler AJ. 2011. Testing seed viability using simple germination tests. ECHO

Asia Notes a Regional Supplement to ECHO Development Notes Issue 11. Blay ET, Danquah EY, Ababu A. 1999. Effect of time of harvest, stage of fruit

ripening, and post-harvest ripening on seed yield and germinability of local garden egg (Solanum gilo Radii). Ghana Journal agric. Sci. 32:159-167. Bosland PW, Votava EJ. 2012. Peppers: Vegetable and Spice Capsicums. New

York (USA): CABI publishing

Cavero J, Ortega RG, Zaragoza C. 1995. Influence of fruit ripeness at the time of seed extraction on pepper (Capsicum annuum) seed germination.

Scientia Horticulturae 60:345-352.

Copeland LO, Mcdonald MB. 1995. Principles of Seed Science and Technology. Ed ke-3. United States of America (US): Chapman & hall.

Desai BB, Kotecha PM, Salunkhe DK. 1997. Biology, Production, Seeds

Handbook: Processing and storage. New York (US): Marcel Dekker.

Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi. 2009. Standard Prosedur Operasional Produksi Benih Cabai (Capsicum annuum L.) Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi, Direktorat Jenderal Hortikultura.

Doijode SD. 2001. Seed Storage of Horticulture Crops. New York (US): Food Products Press.

Eskandari H. 2012. Seed quality variation of crop plants during seed development and maturation. International Journal of Agronomy and Plant Production.

3(11): 557-560.

Fox AJ, Del Pozo-insfran D, Lee JH, Sargent SA, and Tallcott ST. 2005. Ripening-induced chemical and antioxidant changes in bell peppers as affected by harvest maturity and postharvest ethylene exposure. HortScience

40(3):732-736.

Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur statistik untuk penelitian pertanian. Syamsudin E, Baharsyah JS, penerjemah. Jakarta (ID):UI Pr. Terjemahan dari: Statistical procedures for agricultural research.

Ibrahim H, Oladiran JA. 2011. Effect of fruit age and position on mother-plant on fruit growth and seed quality in okra (Abelmoschus esculentus L. Moench).

I.J.S.N. 2(3): 587- 592.

Khasanah U. 2013. Evaluasi karakter dan daya hasil beberapa genotipe tomat

(Lycopersicon esculentum Mill.) di Kebun Percobaan IPB Tajur,

Bogor.[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kortse PA, Oladiran JA. 2013. Effects of season, time of fruit harvesting and after ripening durations on the quality of ‘egusi’ melon [Citrullus lanatus

(Thunb.) Matsum and Nakai] seed. International Journal of Scientific and

(35)

22

Lopez J, Devesa JA, Olivencia AO, Ruiz T. 2000. Production and morphology of fruit and seeds in Genisteae (Fabaceae) of south-west spain. Botanical

Journal of the Linnean Society 132: 97-120.

Marcelis LFM, Eijer RBH. 1997. Effects of seed number on competition and dominance among fruits in Capsicum annuum L. Annals of Botany 79: 687-693.

McCormack JH. 2005. Pepper seed production: an organic seed production manual for seed growers in the Mid-Atlantic and South; [diunduh 2013 Des 6]. Tersedia pada: www.savingourseeds.org.

Napiah L. 2009. Pengaruh Jenis Kemasan dan Tingkat Kemasakan Buah Terhadap Daya Simpan Benih Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Pudjogunarto WS. 2002. Studi tingkat kemasakan dan letak cabang buah di tanaman terhadap viabilitas benih cabai merah (Capsicum annuum L.). Di dalam: Murniati E, Sadjad S, Suwarno FC, Kartika T, Hasanah M, Budiarti T, Widajati E, Palupi ER, Ilyas S, Setiawan A, Surahman M, Qodir A,

Ritonga AW. 2013. Penyerbukan Silang Alami Beberapa Genotipe Cabai

(Capsicum annuum L.) dan Penentuan Metode Pemuliaannya [tesis]. Bogor

(IDN): Institut Pertanian Bogor.

Sadjad S, Muniarti E, Ilyas S. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih dari

Komperatif ke Simulatif. Jakarta (ID): PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sadjad S. 1993. Dari Benih kepada Benih. Jakarta (ID): PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Setyowati E. 2013. Aplikasi bakteri probiotik untuk meningkatkan vigor bibit cabai (Capsicum annuum L.). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sharma A, Kumar V, Giridhar P, Ravishankar AG. 2008. Induction of in vitro

flowering in Capsicum frutescens under the influence of silver nitrate and cobalt chloride and pollen transformation. Electronic Journal of

Biotechnology 11(2); [diunduh pada 12 Maret 2014]. Tersedia pada:

http://www.ejbiotechnology.info/content/vol11/issue2/full/8/

Sunarjono H. 2011. Bertanam 30 Jenis Sayur. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Surya MI. 2008. Pengaruh tingkat kematangan buah terhadap perkecambahan biji

pada Pyracantha spp. Buletin Kebun Raya Indonesia 11 (2): 36-40.

Syukur M, Yunianti R, Dermawan R. 2012. Sukses Panen Cabai Tiap Hari. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Thang PTN. 2007. Ripening Behavior of Capsicum (Capsicum annuum L.) fruit [Thesis]. South Australia (AUS): The University Of Adelaide.

Thanopoulos Ch, Akoumianakis KA, Passam HC. 2013. The effect of season on the growth and maturation of bell peppers. International Journal of Plant

Production 7(2): 279-294.

Valenzuela H. 2011. Farm and Forestry Production and Marketing Profile for

Chili Pepper (Capsicum annuum). Hawaii (US): Permanent agriculture

(36)

23 Venudevan B, Srimathi P, Natarajan N, Vijayakumar RM. 2013. Influence of fruit

polymorphism on seed and seedling quality characters of bael (Aegle

marmelos) the endangered medicinal tree. Asian Journal of Crop Science

8(30): 1413-1419. DOI 10.5897/SRE2013.5597.

VidigalDS, Dias DCFS, Dias LAS, Finger FL. 2011. Changes in seed quality during fruit maturation of sweet pepper. Sci.Agric. 68 (5): 535-539.

Widajati E, Murniati E, Palupi ER, Kartika K, Suhartanto MR, Qodir A. 2013.

Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. Bogor (ID): PT Penerbit IPB Press.

Wiryanta BTW. 2002. Bertanam Cabai pada Musim Hujan. Jakarta (ID): Agromedia pustaka.

Yisa PZ, Oladiran JA, Kolo DH, Ahmed M, Tswanya MN, and Nda SL. 2013. Behaviour of pepper cultivar (Capsicum annuum) to seed development, maturation, dormancy and vigour. International Research Journal of Plant

Science 4(4): 103-108.

(37)

24

Lampiran 1 Deskripsi Genotipe Seloka

Golongan varietas : Bersari bebas Tinggi tanaman : 45.09 – 76.87 cm Bentuk penampang batang : Bulat

Diameter batang : 0.99 – 1.72 cm

Warna batang : Hijau

Bentuk daun : Oval

Ukuran daun : Panjang 7.66 – 11.91 cm, Lebar 2.78 – 3.79 cm

Warna daun : Hijau

Bentuk bunga : Intermediate

Warna kelopak bunga : Hijau Warna mahkota bunga : Putih Warna kepala putik : Putih Warna benang sari : Biru

Umur mulai berbunga : 25 – 29 HST Umur mulai panen : 71 – 78 HST

Bentuk buah : Memanjang

Ukuran buah : Panjang 12.07 – 15.77 cm

Diameter 1.49 – 1.88 cm

Warna buah muda : Hijau

Warna buah intermediet : Ungu kecoklatan

Warna buah tua : Merah

Tebal kulit buah : 0.11 – 0.19 cm

Rasa buah : Sangat pedas (kadar capsaicin 917.25 - 979.15 ppm)

Bentuk biji : Pipih

Warna biji : Kuning jerami

Bobot 1 000 biji : 5.0 – 5.2 g Bobot per buah : 10.33 – 12.57 g Jumlah buah per tanaman : 51 – 80 buah

Bobot buah per tanaman : 482.16 g (320.97 - 695.66 g) Keunggulan varietas : Umur panen genjah (74 HST)

(38)

25 Lampiran 2 Deskripsi Genotipe Anies

Golongan varietas : Bersari bebas

Bentuk tajuk : Postrate

Lebar tajuk : 60.07-96.96 cm

Tinggi tanaman : 63.45-68.27 cm

Tinggi dikotomus : 23.16-63.45 mm

Bentuk penampang batang : Bulat

Diameter batang : 9.85-12.44 mm

Warna batang : Hijau

Warna mahkota bunga : Putih

Warna kepala putik : Putih

Warna benang sari : Biru keunguan Umur mulai berbunga : 26.33-32.33 HST Umur mulai panen : 76.67-84.67 HST

Bentuk buah : Lurus memanjang

Posisi buah : Drooping

Bentuk penampang buah : Circular

Tekstur permukaan buah : halus mengkilap Bentuk ujung buah : Cukup meruncing Jumlah rongga buah : Dominan buah

Ukuran buah : Panjang 12.02-19.35 cm, Lebar 16.03-19.06 cm

Warna buah muda : Hijau medium

Warna buah intermediet : Ungu kecoklatan

Warna buah tua : Merah medium

Rasa buah : Pedas

Bentuk biji : Pipih

Warna biji : Kuning jerami

Bobot per buah : 10.31-14.00 g

(39)

26

Lampiran 3 Deskripsi Genotipe SSP

Golongan varietas : Bersari bebas

Bentuk tajuk : Postrate

Lebar tajuk : 94.60 ± 9.73 cm

Tinggi tanaman : 66.80 ± 6.25 cm

Tinggi dikotomus : 22.58 ± 0.59 cm

Diameter batang : 10.50 ± 0.71 mm

Warna batang : Hijau

Bentuk daun : Ovate

Ukuran daun : Panjang 10.12 ± 0.92 cm, Lebar 3.04 ± 0.01cm

Warna daun : Hijau

Bentuk bunga : Intermediate

Posisi bunga : Drooping

Warna kelopak bunga : Hijau Warna mahkota bunga : Putih

Warna kepala putik : Putih kekuningan Umur mulai berbunga : 27.33 ± 3.06 HST Umur mulai panen : 75.00 ± 3.00 HST

Bentuk buah : Memanjang (semi keriting)

Posisi buah : Drooping

Bentuk penampang buah : Circular

Bentuk ujung buah : Cukup meruncing

Wrna tangkai buah : Hijjau

Ukuran buah : Panjang 13.92 ± 1.63 cm, Diameter 12.72 ± 0.44 mm

Warna buah muda : Hijau

Warna buah intermediet : Keunguan

Warna buah tua : Merah

Rasa buah : Pedas

Bentuk biji : Pipih

Warna biji : Kuning jerami

Bobot per buah : 10.24 ± 2.14 g

(40)

27 Lampiran 4 Sidik ragam karakter genotipe-genotipe

Lama waktu dari muncul bunga hingga antesis

Sumber Keragaman Derajat

Lama waktu dari antesis hingga ukuran buah maksimal

(41)
(42)

29 Indeks vigor pada tingkat kemasakan 32-44 HSA

Sumber Keragaman Derajat

ª Data ini diolah dengan menggunakan transformasi Daya berkecambah pada tingkat kemasakan 32-44 HSA

Sumber Keragaman Derajat

ª Data ini diolah dengan menggunakan transformasi Indeks vigor pada tingkat kemasakan 44 HSA

Sumber Keragaman Derajat

Daya berkecambah pada tingkat kemasakan 44 HSA

(43)

30

(44)

31

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1 Kondisi tanaman yang diserang hama dan penyakit
Tabel 2  Nilai rata-rata peubah karakter kuantitatif buah pada setiap genotipe x
Gambar 2 Warna buah pada setiap tingkat kemasakan buah (32, 35, 38, 41 dan 44 HSA) pada
Gambar 3 Warna buah pada setiap tingkat kemasakan buah (32, 35, 38, 41 dan 44 HSA) pada kelompok cabang 2 (cabang 6-7)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 angka 16 secara yuridis telah mengatur hubungan bank dengan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa bank,

Syariah di Indonesia yang tercatat pada Otoritas Jasa Keuangan yang menyediakan pembiayaan musyarakah dan mudharabah serta laba bersih periode 2010-2013 dengan analisis

Nilai signifikansi di bawah 0,05 dan nilai F lebih besar dari 4 menunjukkan bahwa model pengaruh variabel kompensasi eksekutif, latar belakang keahlian

Penelitian yang dilakukan Zhixu, Xinyuan, Xiaoxia, dan Yichen (2017) terhadap materialisme dan perilaku prososial remaja mengemukakan bahwa remaja cenderung

Hasil dari strategi pengembangan industri pengolahan apel berbasis ekonomi lokal yang dilakukan oleh Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan Kota Batu antara

Gigitan atau sengatan 0ari mereka 0apat men$e#a#kan reaksi $ang 6ukup serius pa0a orang $angalergi terha0ap mereka. Kematian $ang 0iaki#atkan oleh serangga >2

Dalam perancangan promosi penjualan toko Honda Radja Motor ini warna yang dipakai dominan Merah gelap (R=149, G=15, B=16), karna diambil dari warna produk khusus

Rencana stratejik yang disusun mengandung visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, program dan kegiatan yang realitas dengan mengantisipasi dan mengarahkan anggota