• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Risiko Hipertensi pada Pekerja Garmen Wanita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor Risiko Hipertensi pada Pekerja Garmen Wanita"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR RISIKO HIPERTENSI PADA

PEKERJA GARMEN WANITA

NOER HERLINA HANUM

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Faktor Risiko Hipertensi pada Pekerja Garmen Wanita” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014

Noer Herlina Hanum

NIM I14090096

(4)
(5)

ABSTRAK

NOER HERLINA HANUM. Faktor Risiko Hipertensi pada Pekerja Garmen Wanita. Dibimbing oleh DODIK BRIAWAN dan IKEU EKAYANTI.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko hipertensi pada pekerja garmen wanita di PT Citra Abadi Sejati, Bogor. Desain penelitian yang digunakan yaitu cross sectional study. Jumlah subjek dalam penelitian ini yaitu 59 orang. Data yang dikumpulkan diantaranya pengukuran tekanan darah, karakteristik, gaya hidup, asupan gizi, status gizi, serta riwayat hipertensi keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi yang ditemukan sebesar 22.1%. Berdasarkan hasil uji Chi-Square, terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi penambahan bumbu ketika makan, Indeks Massa Tubuh (IMT), dan Rasio Lingkar Pinggang Panggul (RLPP) dengan hipertensi (p<0.05). Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa risiko hipertensi meningkat pada subjek yang sering (≥1 kali/hari) mengonsumsi makan makanan asin dan awetan (OR = 10.035, 95% CI: 1.213−82.981).

Kata kunci: bumbu makanan, faktor-faktor risiko, hipertensi, makanan asin dan awetan, rasio lingkar pinggang panggul

ABSTRACT

NOER HERLINA HANUM. Risk Factors of Hypertension Among Women Garment Workers. Supervised by DODIK BRIAWAN and IKEU EKAYANTI.

This study aimed to analyze risk factors of hypertension among women garment workers of PT Citra Abadi Sejati, Bogor. The design of this study was cross sectional. Number of subjects in this study was 59 people. The collected data were blood pressure measurement, characteristic, life style, nutrients intake, nutritional status, and hypertension family history. The result showed that prevalence of hypertension was 22.1%. Based on the result of Chi-Square test, there was significant correlation between frequency of consumption seasonings, Body Mass Index (BMI), Waist-hip Ratio (WHR) with hypertension (p<0.05). Logistic regression test showed that hypertension risk was higher among subjects who consumed salty and preserved food frequently (≥ 1 time/day) (OR = 10.035, 95% CI: 1.213−82.981).

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

NOER HERLINA HANUM

(8)
(9)

Judul Skripsi : Faktor Risiko Hipertensi pada Pekerja Garmen Wanita Nama : Noer Herlina Hanum

NIM : I14090096

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN Pembimbing I

Dr Ir Ikeu Ekayanti, MKes Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Rimbawan Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat serta karunia-Nya sehingga skripsi berjudul Faktor Risiko Hipertensi pada Pekerja Garmen Wanita berhasil diselesaikan Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN dan Ibu Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, MKes selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Ibu Leily Amalia Furkon, STP, MSi selaku dosen penguji dan pemandu seminar yang telah banyak memberikan masukan untuk penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan.

4. Ibu Mira Solihati selaku staf HRD (Human Research and Development) PT Citra Abadi Sejati yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk dapat melakukan pengumpulan data penelitian.

5. Kedua orang tua : Achmad Garnida (Ayah), Sri Herliani (Ibu), dan Achmad Ibadurrachman Noer (kakak) atas segala doa dan dukungan morilnya.

6. Teman seperjuangan penelitian: Diego Armando Maradona Umuru dan Siti Aisyah Solechah atas semua dukungan, kerja sama, dan semangat yang telah diberikan.

7. Para enumerator penelitian: Utami Wahyuningsih, Erwin Angga, Sutyawan, Chairunnisa Utami, Dewi Pratiwi Ambari, Weny Anggraeny, Evi Astuti, Ratu Diah Koerniawati, Silvia Mawarti Perdana dan Merita atas bantuan dalam pengumpulan data penelitian.

8. Para pembahas seminar : Fitria Nurjanah, Ridhati Utria, Ramadhini Rizkiyah, dan Kharisma Tamimi untuk saran serta masukan untuk skripsi ini.

9. Teman-teman Gizi Masyarakat 46 : Tania Primarta, Nurayu Annisa, Siti Suryani, Ronald Sinery, Ika Rohmah Sekarayu, Michel Erison, Anggar Pamungkas dan seluruh keluarga besar GM 46 atas semua bantuan dan semangatnya.

Demikian yang penulis sampaikan, mohon maaf atas segala kekurangan ataupun kekhilafan yang penulis lakukan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Mei 2014

(12)

DAFTAR ISI

PRAKATA i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

KERANGKA PEMIKIRAN 3

METODE 5

Desain, Waktu, dan Tempat 5

Jumlah dan Cara Penarikan Subjek 5

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 5

Pengolahan dan Analisis Data 7

Definisi Operasional 11

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Kejadian Hipertensi 12

Karakteristik Subjek 14

Gaya Hidup 15

Asupan Energi dan Zat Gizi 25

Status Gizi 27

Riwayat Kesehatan 30

Hubungan Karakteristik Subjek dengan Kejadian Hipertensi 31 Hubungan Gaya Hidup dengan Kejadian Hipertensi

Hubungan Asupan Lemak dan Natrium dengan Kejadian Hipertensi Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Hipertensi

Hubungan Riwayat Hipertensi Keluarga dengan Kejadian Hipertensi

34 37 38 39

Faktor Risiko Hipertensi 39

SIMPULAN DAN SARAN 40

Simpulan 40

Saran

DAFTAR PUSTAKA Lampiran

RIWAYAT HIDUP

(13)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data 6

2 Penggolongan hipertensi 7

3 Pengelompokkan karakteristik subjek 7

4 5

Pengelompokkan gaya hidup subjek

Pengelompokkan asupan dan tingkat kecukupan zat gizi

8 9 6 Klasifikasi IMT menurut WHO (2000) untuk Asia 10 7

8

Sebaran subjek berdasarkan klasifikasi hipertensi Sebaran subjek berdasarkan karakteristik subjek

13 15

9 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan merokok 16

10 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan minum minuman beralkohol 16 11 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan minum kopi 17 12 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan olahraga 19 13 Frekuensi dan jumlah konsumsi makanan asin dan awetan subjek 21 14 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan penggunaan bumbu bumbu 22 15 Kontribusi natrium subjek dari bumbu ketika memasak 23 16 Kontribusi natrium subjek dari bumbu ketika makan 24 17 Frekuensi dan jumlah konsumsi makanan berlemak subjek 25

18 Asupan natrium subjek 27

19 Sebaran subjek berdasarkan rasio lingkar pinggang panggul (RLPP) 29 20 Sebaran subjek berdasarkan riwayat penyakit terdahulu 30 21 Hubungan antara karakteristik subjek dengan kejadian hipertensi. 32 22 Hubungan antara gaya hidup dengan kejadian hipertensi. 35 23 Hubungan antara asupan lemak dan natrium dengan kejadian

hipertensi. 37

24 Hubungan antara status gizi dengan kejadian hipertensi. 38 25 Hubungan antara riwayat hipertensi keluarga dengan kejadian

hipertensi. 39

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran faktor-faktor risiko hipertensi pada pekerja wanita di pabrik garmen Kota Bogor

4 2 Sebaran subjek berdasarkan klasifikasi hipertensi 13 3 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein,

serta asupan lemak dan natrium 26

4 Sebaran subjek berdasarkan IMT 28

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kesehatan merupakan investasi dalam pembangunan SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas. Berdasarkan Permenkes Nomor 30 Tahun 2013, masyarakat perlu dilindungi dari risiko penyakit tidak menular terutama hipertensi, stroke, diabetes, dan serangan jantung yang salah satunya disebabkan oleh asupan gula, garam, dan lemak yang berlebih. Salah satu upaya untuk mengurangi risiko itu melalui pencantuman informasi kandungan gula, garam, dan lemak, serta pesan kesehatan untuk pangan olahan dan pangan siap saji.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa proporsi kematian akibat penyakit tidak menular mengalami peningkatan yang cukup tinggi dari 42% menjadi 60%. Hal ini tidak terlepas dari perubahan perilaku sedentarian, yaitu suatu gaya hidup yang tidak sehat, tingginya konsumsi junk-food dan fast-food, konsumsi pangan tinggi energi, tinggi konsumsi makanan berlemak, rokok dan alkohol; serta rendahnya konsumsi serat, buah dan sayur, dan kurangnya aktivitas fisik.

Salah satu kelompok SDM utama saat ini adalah pekerja wanita dimana jumlahnya sebesar 38.1 juta jiwa menurut sensus penduduk pada tahun 2010. Jumlah ini merupakan separuh dari jumlah tenaga kerja laki-laki (66.1 juta jiwa). Namun, persentase tenaga kerja wanita ini terus meningkat dari tahun ke tahun dimana pada tahun 2009 sebesar 46.68% menjadi 48.44% pada tahun 2011 (BPS 2011). Tenaga kerja wanita ini sebagian besar bekerja di sektor nonpertanian (22 juta jiwa) dan hanya 16 juta jiwa yang bekerja di sektor pertanian. Sektor nonpertanian diantaranya meliputi sektor perdagangan, industri pengolahan, jasa pendidikan maupun jasa kemasyarakatan.

Sebagian besar pekerja wanita di pabrik umumnya memiliki jam kerja yang panjang, upah yang rendah dan lingkungan kerja yang tidak sehat (Patil 2009, WRI 2011, Erliyani 2012). Kondisi ini menyebabkan pekerja tersebut rentan terhadap penyakit seperti tuberkulosis, osteoporosis (Patil 2009), obesitas (Nuraieni 2007, Erliyani 2012), hipertensi dan gangguan metabolik (Patil 2009, Erliyani 2012).

(16)

Kesadaran masyarakat khususnya golongan pekerja untuk melakukan kontrol tekanan darah masih jauh dari yang diharapkan. Sebagian besar tidak menyadari ataupun tidak mengetahui apakah dirinya tergolong hipertensi maupun prehipertensi (berisiko tinggi akan hipertensi). Hal ini kemungkinan disebabkan karena meningkatnya tekanan darah tidak menunjukkan gejala-gejala, di samping kurangnya pengetahuan tentang faktor risiko meningkatnya tekanan darah tersebut.

Depkes (2006) memaparkan bahwa faktor risiko hipertensi digolongkan menjadi faktor risiko yang tidak dapat diubah dan dapat diubah. Faktor risiko yang tidak dapat diubah diantaranya umur, jenis kelamin, dan genetik. Sedangkan faktor risiko yang dapat diubah yaitu kegemukan (obesitas), psikososial dan stres, merokok, kurang olahraga, konsumsi alkohol berlebih, konsumsi garam berlebihan, dan hiperlipidemia/hiperkolesterolemia.

Penelitian lain dilakukan pada orang–orang yang berusia 18–22 tahun menunjukkan bahwa indeks massa tubuh (IMT) berlebih mempunyai hubungan terhadap lebih tingginya tekanan darah (Pinzon 1999). Hasil penelitian lanjutan menggunakan data Riskesdas 2007 menjelaskan bahwa faktor risiko yang berhubungan bermakna dengan hipertensi adalah usia tua (OR 11.5 95% CI: 10.79-12.33), jenis kelamin laki-laki (OR 1.25 95% CI: 1.21−1.29), pendidikan rendah (OR 1.6 95% CI: 1.51−1.71), obesitas (OR 2.8 95% CI: 2.67−2.91), dan obesitas abdominal (OR 1.4 95% CI: 1.36−1.44) (Rahajeng dan Tuminah 2009). Obesitas abdominal berhubungan erat dengan rasio lingkar pinggang panggul (RLPP). RLPP sendiri merupakan indikator penentuan distribusi lemak tubuh.

Penelitian lain dengan populasi umum di Kuantan Singingi menyebutkan bahwa kejadian hipertensi meningkat pada golongan umur ≥75 tahun, status gizi obesitas, pendidikan rendah, berstatus cerai mati, pengeluaran rendah, kurang aktivitas fisik, konsumsi makanan asin dan awetan >1 kali per hari, konsumsi makanan berlemak 1−2 kali per minggu, dan sebelumnya pernah merokok (Aisyiyah 2009). Studi Kartikasari (2012) menemukan faktor risiko hipertensi yaitu riwayat hipertensi keluarga (OR 14.378 95% CI: 4.207−51.332) dan kebiasaan merokok (OR 9.537 95% CI: 1.728−52.634). Konsumsi alkohol juga meningkatkan kejadian hipertensi pada wanita (OR 1.68: 1.14−2.46) (Nachahal 2000). Selain itu, konsumsi garam yang tinggi selama bertahun-tahun kemungkinan meningkatkan tekanan darah karena meningkatkan kadar natrium/sodium dalam sel-sel otot halus pada dinding arteriol (Beavers 2008). Adapun pada penelitian Uiterwaal et al. (2007) wanita yang tidak sama sekali mengonsumsi kafein dalam kopi menunjukkan penurunan risiko hipertensi dibandingkan dengan yang konsumsi kopi > 3 cangkir per hari (OR 0.54 95% CI: 0.31−0.92).

(17)

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui berbagai faktor risiko hipertensi pada pekerja wanita di pabrik garmen PT. Citra Abadi Sejati.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi kejadian hipertensi

2. Mengidentifikasi karakteristik pekerja wanita, meliputi: umur, besar keluarga, status pernikahan, tingkat pendidikan, gaji dan masa kerja. 3. Mengidentifikasi gaya hidup, meliputi: kebiasaan merokok, kebiasaan

minum minuman beralkohol, kebiasaan minum kopi, kebiasaan olahraga, serta kebiasaan makan yang berkaitan dengan risiko hipertensi.

4. Mengidentifikasi asupan energi dan zat gizi (protein, lemak, dan natrium) 5. Mengidentifikasi status gizi serta riwayat kesehatan, meliputi riwayat

penyakit terdahulu dan riwayat penyakit keluarga. 6. Menganalisis faktor risiko hipertensi.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini yaitu dapat memberikan sejumlah informasi mengenai faktor risiko hipertensi bagi pekerja wanita. Informasi ini dapat berguna untuk PT. Citra Abadi Sejati dalam upaya peningkatan kesehatan dan gizi pekerja wanita sehingga nantinya dapat meningkatkan produktivitas kerjanya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang faktor-faktor apa saja yang dapat memicu hipertensi dan yang dapat menghambatnya sehingga dapat menjadi saran untuk pembentukan perilaku sehat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini diupayakan agar kemunculan kejadian hipertensi pada pekerja wanita dapat diminimalkan.

KERANGKA PEMIKIRAN

Rutinitas pekerjaan di industri khususnya yang mempekerjakan wanita tidak jarang membawa dampak bagi pekerjanya. Jam kerja yang panjang demi mencapai target produksi, upah yang minim dibandingkan pekerja laki-laki, kurangnya jam istirahat serta tidak ditunjang dengan penyediaan kebutuhan akan asupan gizi yang memadai dapat menyebabkan stres berkepanjangan dan berpengaruh pada gangguan kesehatan pekerjanya. Salah satu gangguan kesehatan yang dialami yaitu hipertensi.

(18)

penggunaan obat tertentu, dan intoleransi glukosa diduga pula memiliki kontribusi dalam timbulnya kejadian hipertensi.

Perilaku tidak sehat seperti merokok, kurang aktivitas gerak, obesitas, konsumsi alkohol, hiperlipidemia/hiperkolesterolemia, stres dan konsumsi garam berlebih sangat erat berhubungan dengan kejadian hipertensi yang dapat diubah. Selain itu, semakin tua umur seseorang maka akan lebih berisiko mengalami hipertensi. Masa kerja juga dapat dihubungkan dengan kejadian hipertensi. Hal ini dapat menjelaskan apakah pekerja yang sudah lama bekerja disana lebih besar risiko mengalami hipertensi atau tidak. Selain itu umumnya besaran gaji juga mempengaruhi pola konsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi konsumsinya. Besar keluarga dan status pernikahan kemungkinan mempengaruhi kejadian hipertensi. Berikut kerangka pemikiran dalam penelitian ini.

Keterangan :

: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang diteliti : Hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka pemikiran faktor-faktor risiko hipertensi pada pekerja wanita di pabrik garmen kota Bogor

(19)

METODE

Desain, Waktu, dan Tempat

Desain penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan di pabrik garmen PT. Citra Abadi Sejati yang berlokasi di Kedunghalang, Bogor. Penelitian ini merupakan baseline data penelitian mengenai “Efikasi Suplementasi Vitamin D, Kalsium dan Susu terhadap Perbaikan Serum 25(OH) dan Sindrom Metabolik Pekerja Wanita Usia Subur” (Briawan et al. 2013). Penelitian dilakukan pada bulan September 2013.

Jumlah dan Cara Penarikan Subjek

Populasi dalam penelitian ini adalah wanita pekerja berusia 30−50 tahun yang bekerja di pabrik garmen PT. Citra Abadi Sejati. Subjek penelitian dipilih secara acak dengan kriteria inklusi: 1) tidak sedang hamil atau menyusui; 2) tidak mengalami cacat fisik; 3) bersedia berpartisipasi dan menandatangani formulir persetujuan etik. Jumlah subjek dalam penelitian ini sebesar 59 orang.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Seluruh data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dimana peneliti terlibat dalam pengumpulan data. Data sekunder tersebut mencakup karakteristik subjek (umur, besar keluarga, status pernikahan, tingkat pendidikan, gaji, dan masa kerja), gaya hidup (kebiasaan merokok, kebiasaan minum kopi, kebiasaan minum alkohol, kebiasaan olahraga, dan kebiasaan makan makanan berisiko), asupan energi dan zat gizi (protein, lemak, dan natrium), riwayat kesehatan (riwayat penyakit subjek dan keluarga), status gizi (IMT dan RLPP), serta tekanan darah.

(20)

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

Variabel Jenis data Cara pengumpulan

data

Tekanan darah  Sistolik dan diastolik

Pengukuran

 Kebiasaan makan makanan berisiko (makanan asin dan awetan, bumbu-bumbu serta makanan berlemak)

Wawancara menggunakan kuesioner dan FFQ

Asupan gizi  Asupan energi dan zat gizi (protein, lemak, natrium)

Berat badan pekerja diukur dengan menggunakan timbangan injak yang telah dikalibrasi dengan ketelitian 0.1 kg. Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan menggunakan microtoise dengan ketelitian 0.1 cm. Lingkar pinggang dan panggul diukur dengan menggunakan pita pengukur dengan ketelitian 0.1 cm. Pengukuran dilakukan dengan posisi subjek berdiri nyaman dengan berat badan tersebar merata dan jarak antara kedua kaki 25-30 cm. Pita ditarik secukupnya agar tidak menekan jaringan lunak dengan posisi pita berada di antara ujung bawah tulang rusuk dan puncak tulang iliac (panggul).

Pengumpulan data tekanan darah dilakukan oleh paramedis. Tekanan darah diukur menggunakan OMRON automatic blood pressure monitor Sem 1 model

(21)

Pengolahan dan Analisis Data

Proses pengolahan data meliputi pengeditan, pengkodean, pemasukan data, pengeditan kembali, penyusunan variabel, dan pengolahan data. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan program komputer Microsoft Excel 2007 dan SPSS (Statistical Progrrame for Social Science) version 16 for Windows.

Tekanan Darah

Data hasil pemeriksaan tekanan darah (TD) yang dikumpulkan kemudian dibandingkan dengan batas normal tekanan darah bagi dewasa. Tekanan darah dikategorikan berdasarkan Joint National Commitee VII (2004) menjadi 4 kategori. Secara umum subjek dinyatakan hipertensi apabila tekanan darah ≥140/90 mmHg. Subjek digolongkan hipertensi jika tekanan darah sistolik atau tekanan darah diastoliknya tergolong hipertensi maupun kedua-duanya. Berikut disajikan tabel penggolongan hipertensi tersebut.

Hipertensi tingkat 2 ≥160 100

(JNC VII 2004) Karakteristik subjek

Data karakteristik subjek yang dikumpulkan meliputi umur, besar keluarga, status pernikahan, tingkat pendidikan, gaji, dan masa kerja dikelompokkan dan dianalisis secara deskriptif. Secara keseluruhan dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 3 Pengelompokan karakteristik subjek

Variabel Kelompok Sumber pustaka

Umur  ≤ 40 tahun Tingkat pendidikan  Tinggi (SMA ke atas)

(22)

Gaya hidup

Variabel gaya hidup meliputi kebiasaan merokok, minum kopi, minum alkohol, olahraga, dan kebiasaan makan makanan berisiko. Berikut tabel pengelompokkan gaya hidup subjek.

Tabel 4 Pengelompokan gaya hidup subjek

Variabel Kelompok Sumber pustaka

Jumlah kopi yang Durasi olahraga  Rendah (< 30 menit)

 Tinggi (≥ 30 menit) makanan berlemak diolah menjadi frekuensi (kali/minggu) dan jumlah konsumsi (gram/minggu). Frekuensi dihitung dengan menjumlahkan frekuensi dari kelompok makanan yang dikonsumsi seluruh subjek per minggunya kemudian dibagi dengan jumlah subjek. Hal yang sama dilakukan untuk mendapatkan jumlah konsumsinya sehingga didapatkan jenis-jenis makanan yang paling sering dan paling banyak dikonsumsi seluruh subjek dalam seminggu. Untuk menilai kebiasaan makan makanan asin dan awetan setiap subjek maka dijumlahkan frekuensi dari kelompok makanan yang dikonsumsi subjek per minggunya kemudian dikelompokkan menjadi sering dan tidak sering.

Asupan energi dan zat gizi

Data jumlah pangan yang dikonsumsi dikonversikan ke dalam satuan energi (kkal), protein (g), lemak (g) dan natrium (mg) dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan Indonesia (DKBM) 2010, Tabel Komposisi Pangan Indonesia (TKPI) dan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) Singapura. Selain itu digunakan Penuntun Diet dan label pangan produk untuk melihat berbagai kandungan natrium dalam berbagai pangan olahan. Kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi dihitung menggunakan rumus berikut (Hardinsyah dan Briawan 1994):

(23)

Keterangan :

KGij = Kandungan zat gizi i dari pangan j dengan berat B gram Bj = Berat bahan pangan j (gram)

Gij = Kandungan zat gizi i dalam 100 gram bahan pangan j BDDj = % bahan pangan j yang dapat dimakan (%BDD)

Untuk menghitung kecukupan energi dan zat gizi subjek yang dikoreksi dengan berat badan aktual sehat (dari setiap kelompok usia) digunakan rumus sebagai berikut dimana:

AKGi = Angka kecukupan energi dan zat gizi Ba = Berat badan aktual sehat (kg)

Bs = Berat badan standar yang tercantum dalam AKG

AKG =Angka kecukupan energi dan zat gizi yang dianjurkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2012

AKGi = (Ba/Bs) x AKG

Rumus di atas hanya diberlakukan pada subjek dengan status gizi normal sedangkan untuk subjek dengan status gizi kurang, overweight dan obese

menggunakan koreksi berat badan ideal menurut tinggi badan.

Setelah didapatkan zat-zat gizi dari sejumlah pangan yang dikonsumsi subjek, maka selanjutnya dilakukan perhitungan tingkat kecukupan gizi (% AKG) dengan membandingkan kandungan zat gizi semua makanan yang dikonsumsi oleh pekerja wanita selama sehari dengan Tabel Angka Kecukupan Gizi 2012 dalam persen. Tingkat kecukupan gizi dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Hardinsyah dan Briawan 1994):

TKGi = (Ki/AKGi) x 100% Keterangan ;

TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi i Ki = Konsumsi zat gizi i

AKGi = Angka kecukupan zat gizi i

Kemudian selanjutnya tiap subjek dikelompokkan menurut tingkat kecukupan energi dan protein serta asupan lemak total dan natriumnya. Berikut tabel pengelompokkannya.

Tabel 5 Pengelompokan asupan dan tingkat kecukupan zat gizi

Variabel Kelompok Sumber pustaka

(24)

Status Gizi

Penentuan status gizi subjek dikategorikan berdasarkan IMT (Indeks Massa Tubuh) dan ukuran rasio lingkar pinggang panggul. Lingkar pinggang tergolong berisiko/obese jika >90 cm untuk pria dan >80 cm untuk wanita (IDF 2006 dalam WHO 2008). Nilai RLPP dikatakan berisiko/obese jika ≥0.90 untuk pria dan

≥0.85 untuk wanita (WHO 2008).

Tabel 6 Klasifikasi IMT menurut WHO (2000) untuk Asia

Kategori IMT (kg/m2) Risiko morbiditas

Underweight < 18.5 Risiko rendah (tapi risiko masalah klinis lain

Analisis data yang dilakukan meliputi analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan seluruh variabel. Melalui uji deskriptif tersebut dapat diketahui nilai minimal, nilai maksimal, nilai rata-rata serta frekuensi dan sebaran data. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara berbagai variabel yaitu dengan uji Chi-Square, Spearman, dan Pearson. Setelah itu, analisis multivariat digunakan untuk mengetahui nilai faktor risiko atau Odds Ratio (OR) variabel independen terhadap variabel dependen. Seluruh variabel independen dianalisis bersama-sama untuk mengetahui variabel independen mana yang paling berpeluang meningkatkan atau menghambat variabel dependen. Variabel independen merupakan seluruh variabel yang berhubungan dengan kejadian hipertensi, sedangkan variabel dependen merupakan kejadian hipertensi itu sendiri. Analisis ini menggunakan model

multiple logisticregression metode enter. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Keterangan:

л (x) = peluang terjadinya hipertensi (0 = normal, 1 = hipertensi)

e = eksponensial β0−β1 = koefisien regresi

x1 = umur (0 = ≤ 40 tahun, 1= > 40 tahun) x2 = besar keluarga (0 = kecil, 1= besar)

(25)

x5 = gaji (0 = ≥ 2 x UMR Kab.Bogor, 1 = < 2 x UMR. Kab. Bogor) x6 = masa kerja (0 = baru, 1= lama)

x7 = kebiasaan minum kopi (0 = < 1 gelas/hari, 1= ≥ 1 gelas/hari) x8 = kebiasaan olahraga (0 = sering, 1= tidak sering)

x9 = kebiasaan makan makanan asin dan awetan (0 = tidak sering,1= sering)

x10 = frekuensi penambahan bumbu ketika makan (0 = tidak sering, 1= sering)

x11 = kebiasaan makan makanan berlemak (0 = tidak sering, 1= sering)

x12 = asupan lemak total (0 = cukup, 1 = lebih) x13 = asupan natrium (0 = cukup, 1= lebih) x14 = IMT (0 = normal, 1 = obese)

x15 = RLPP (0 = normal, 1 = obese)

x16 = riwayat hipertensi keluarga (0 = tidak ada, 1= ada)

Definisi Operasional

Subjek adalah pekerja wanita usia 30-50 tahun yang bekerja di PT. Citra Abadi Sejati.

Hipertensi adalah kondisi dimana tekanan darah ≥ 140/90 mmHg.

Umur adalah bilangan yang dinyatakan dalam tahun, dihitung dari tahun kelahiran hingga tahun saat penelitian dilakukan.

Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan sumber perolehan makanan yang sama.

Status pernikahan adalah status responden dalam pernikahan meliputi menikah, belum menikah, cerai hidup dan cerai mati.

Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan tertinggi yang pernah ditempuh oleh subjek.

Gaji adalah jumlah upah yang diterima subjek per bulannya.

Masa kerja adalah lamanya subjek bekerja di pabrik tersebut terhitung dari mulai masuk bekerja hingga tanggal penelitian, dinyatakan dalam tahun.

Kebiasaan merokok adalah kebiasaan subjek merokok yang meliputi status merokok subjek, jumlah rokok yang dihisap per hari dan lama merokok. Subjek dikatakan terbiasa jika minimal merokok satu kali/satu batang rokok dalam sehari.

Kebiasaan minum alkohol adalah kebiasaan minum alkohol yang meliputi status minum alkohol, jumlah alkohol yang dikonsumsi per minggu dan jenis alkohol yang dikonsumsi. Subjek dikatakan terbiasa jika subjek minum minuman beralkohol minimal satu kali dalam seminggu.

Kebiasaan minum kopi adalah kebiasaan minum kopi subjek yang meliputi status minum kopi subjek, jumlah kopi per gelas yang diminum sehari, jenis kopi yang diminum, pertama kali minum kopi dan manfaat minum kopi. Subjek dikatakan terbiasa jika minimal minum kopi satu kali dalam sehari. Kebiasaan olahraga adalah kebiasaan olahraga subjek yang meliputi status

(26)

seminggu. Subjek dikatakan terbiasa jika minimal melakukan olahraga satu kali dalam seminggu.

Durasi olahraga adalah rata-rata lamanya subjek melakukan olahraga dalam seminggu dalam satuan menit. Jika ada beberapa jenis olahraga yang dilakukan dalam seminggu maka durasinya dijumlahkan.

Frekuensi olahraga adalah seberapa sering subjek melakukan olahraga dalam seminggu dalam satuan kali/minggu. Jika ada beberapa jenis olahraga yang dilakukan dalam seminggu maka frekuensinya dijumlahkan.

Kebiasaan makan makanan berisiko adalah frekuensi makan makanan asin, awetan, dan makanan berlemak dalam seminggu.

Penggunaan bumbu adalah frekuensi serta jumlah penambahan bumbu-bumbu yang mengandung natrium ketika memasak (garam, kecap manis, kecap asin, kaldu instan, vetsin, terasi, dan saus sambal/tomat; serta ketika makan (garam, kecap manis, kecap asin, dan saus sambal/tomat).

Kecukupan zat gizi adalah jumlah zat gizi seperti energi, protein, lemak dan natrium yang sebaiknya dipenuhi oleh subjek berdasarkan Angka Kecukupan Gizi.

Status gizi adalah keadaan tubuh subjek berdasarkan IMT yang dibedakan menjadi underweight, normal, overweight dan obese 1, dan obese II

Rasio lingkar pinggang panggul (RLPP) adalah hasil pembagian antara lingkar pinggang (cm) dengan lingkar panggul (cm).

Riwayat penyakit dahulu adalah ada tidaknya sejumlah penyakit yang pernah diderita, pernah didiagnosis, telah sembuh, atau masih dalam masa perawatan yang berhubungan dengan hipertensi, kolesterol, dan penyakit jantung.

Riwayat penyakit keluarga adalah ada tidaknya keluarga subjek yang pernah/sedang menderita diabetes, hipertensi, kolesterol dan penyakit jantung.

Faktor risiko hipertensi adalah peubah yang diduga mempengaruhi status hipertensi melalui analisis statistik. Faktor risiko yang hipertensi yang dianalisis adalah karakteristik subjek, gaya hidup, tingkat kecukupan energi dan zat gizi, status gizi, dan riwayat hipertensi keluarga.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kejadian Hipertensi

(27)

tekanan pada dinding pembuluh darah pada saat otot jantung rileks di antara dua denyutan (Purwati et.al 2002).

Berdasarkan tekanan darah sistolik terdapat 11.9% subjek yang mengalami hipertensi tingkat 1 dan 5.1% yang mengalami hipertensi tingkat 2. Rata-rata tekanan darah sistolik subjek yaitu 122.05±18.71 mmHg yang artinya proporsi terbesar subjek berada pada kategori normal untuk tekanan darah sistoliknya (54.2%) (Tabel 7). Tekanan darah sistolik subjek berkisar antara 90−171 mmHg. Jika berdasarkan tekanan darah diastolik terdapat 8.5% yang mengalami hipertensi tingkat 1 dan 11.9% yang hipertensi tingkat 2. Rata-rata tekanan darah diastoliknya 81.02±12.37 mmHg dengan kisaran 73−110 mmHg (Tabel 7). Tekanan darah sistolik umumnya menunjukkan angka yang lebih besar dibandingkan angka diastoliknya.

Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan klasifikasi hipertensi

Variabel n %

Sistolik

Normal 32 54.2

Prehipertensi 17 28.8

Hipertensi tingkat 1 7 11.9

Hipertensi tingkat 2 3 5.1

Total 59 100

Diastolik

Normal 30 50.8

Prehipertensi 17 28.8

Hipertensi tingkat 1 5 8.5

Hipertensi tingkat 2 7 11.9

Total 59 100

Subjek dikatakan hipertensi jika tekanan darah sistolik dan diastoliknya dan/atau melebihi batas normal. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dilihat bahwa besarnya prevalensi hipertensi yang ditemukan pada penelitian ini yaitu sebesar 22.1% dimana 6.8% termasuk hipertensi tingkat 1 dan 15.3 persennya termasuk hipertensi tingkat 2 (Gambar 2). Proporsi prehipertensi cukup besar yaitu sebesar 37.3%. Hal ini perlu diwaspadai karena berisiko menjadi hipertensi seiring dengan meningkatnya faktor risiko (Syofyarti 2013).

(28)

Karakteristik Subjek

Menurut UU RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa pekerja dewasa jika berumur 18 tahun ke atas. Kisaran umur subjek antara 29 hingga 48 tahun dengan rata-rata umur 41.31±4.52 tahun (Tabel 7). Walaupun penuaan tidak selalu memicu hipertensi, tekanan darah tinggi biasanya terjadi pada usia lebih tua. Pada usia antara 30−65 tahun, tekanan sistolik meningkat rata-rata sebanyak 20 mmHg dan terus meningkat setelah usia 70 tahun (Casey et al.

2006). Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata umur subjek tergolong pada kelompok umur yang rentan terhadap hipertensi (30−50 tahun). Sebagian besar subjek berumur lebih dari 40 tahun (62.7%).

Stres dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatik yang mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga dapat meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan retensi air dan garam (Syaifuddin 2006). Faktor lain seperti status pernikahan dan besar keluarga merupakan faktor lain yang dapat memicu stres terutama pada wanita. Semakin banyak anggota keluarga maka diduga memicu stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang anggotanya lebih sedikit. Seperti halnya besar keluarga, status pernikahan pun dapat mempengaruhi tingkat stres seseorang dan secara tidak langsung mempengaruhi tekanan darah.

Kisaran besar keluarga subjek yaitu 1−7 orang. Sebagian subjek termasuk ke dalam keluarga kecil (96.6%) dan sisanya termasuk ke dalam keluarga besar (3.4%). Secara umum, rata-rata besar keluarga subjek adalah 3.42±1.23 orang (Tabel 8). Sebagian besar subjek sudah menikah (83.1%), sedangkan sisanya tidak menikah (16.9%). Subjek yang dikategorikan tidak menikah terdiri dari subjek yang belum menikah (11.9%) dan cerai mati (5%). Subjek yang sudah menikah umumnya sudah berkeluarga (Tabel 8).

Tingkat pendidikan berpengaruh kepada sikap dan perilaku seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka diharapkan akan semakin luas pengetahuan serta semakin mudah dan cepat untuk menerima berbagai informasi dari berbagai media (Notoatmodjo 2003). Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi konsumsi pangan seseorang dimana semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tingkat pengetahuan gizi seseorang sehingga pemilihan pangan akan lebih baik. Proporsi terbesar subjek berada di tingkat pendidikan yang masih rendah dimana pendidikan tertinggi hanya sampai SMA (81.4%). Hanya sebagian kecil yang melanjutkan hingga perguruan tinggi (18.6%). Tidak ada subjek yang tidak sekolah atau tidak tamat SD dan pendidikan tertinggi yang ditempuh subjek hingga S1 (Tabel 8).

Pekerjaan berhubungan dengan tingkat penghasilan. Sementara itu, penghasilan berhubungan dengan gaya hidup seseorang. Menurut SK Gubernur Nomor 561, UMR Kabupaten Bogor pada tahun 2014 yaitu Rp 2 242 240. Kisaran gaji subjek adalah Rp 1 000 000−Rp 9 500 000 per bulan. Rata-rata subjek memiliki gaji sebesar Rp 2 929 627 ± 1 772 787 per bulan. Lebih dari separuh subjek (78%) masih memiliki gaji yang rendah dan sisanya tergolong memiliki gaji yang tinggi (22%) (Tabel 8).

(29)

tergolong masih baru (Tabel 8). Masa kerja menunjukkan lamanya subjek beradaptasi dengan lingkungan kerjanya dan dapat melihat tingkat stres pada pekerja yang lebih lama bekerja dibandingkan yang baru.

Tabel 8 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik subjek

Karakteristik subjek n %

Umur

≤ 40 tahun 22 37.3

> 40 tahun 37 62.7

Total 59 100

Besar keluarga

Kecil (≤ 4 orang) 51 86.4

Besar (> 4 orang) 8 13.6

Total 59 100

Status pernikahan

Menikah 49 83.1

Tidak menikah 10 16.9

Total 59 100

Tingkat pendidikan

Tinggi (SMA ke atas) 11 18.6

Rendah (SMA ke bawah) 48 81.4

Total 59 100

Gaji

Tinggi 13 22.0

Rendah 46 78.0

Total 59 100

Masa kerja

Baru 30 50.9

Lama 29 49.1

Total 59 100

Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor sosial, budaya, dan lingkungan. Perubahan kebiasaan makan menyebabkan perubahan pada gaya hidup. Hal ini juga berarti bahwa gaya hidup dapat menentukan bentuk pola konsumsi pangan. Gaya hidup mempengaruhi kebiasaan makan seseorang atau sekelompok orang dan akan berdampak tertentu (positif atau negatif) khususnya yang berkaitan dengan gizi (Suhardjo 1989).

Kebiasaan merokok

(30)

dapat menyempitkan pembuluh darah dan menimbulkan penggumpalan darah (Casey et al. 2006). Nikotin yang terkandung dalam rokok dapat menyebabkan epinefrin dan norepinefrin dalam darah meningkat sehingga menyebabkan jantung berdebar lebih cepat dan pembuluh darah berkontraksi atau menyempit (Bangun 2008).

Kelompok orang yang merokok dengan jumlah >20 batang setiap hari memiliki risiko 1,14 kali untuk menderita hipertensi dibandingkan subjek yang merokok < 10 batang per hari (Martini dan Hendarti 2003). Kebiasaan merokok juga dapat meningkatkan risiko prehipertensi lebih besar 1.787 kali (95% CI: 1.667−1.916) dibandingkan dengan yang tidak merokok di Sumatera Barat (Rachmawati et al. 2009).

Tabel 9 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan merokok

Kebiasaan merokok n %

Tidak pernah 57 96.6

Pernah merokok Ya

1 1

1.7 1.7

Total 59 100

Tabel 9 menunjukkan bahwa subjek yang terbiasa merokok hingga sekarang hanya 1 orang (1.7%), sisanya merupakan mantan perokok (1.7%) dan tidak pernah merokok hingga sekarang (96.6%). Hal ini dikarenakan masih ada anggapan tabu bagi wanita untuk merokok, karena umumnya rokok identik dengan laki-laki.

Kebiasaan minum minuman beralkohol

Keseluruhan subjek tidak ada yang memiliki kebiasaan minum minuman beralkohol dan tidak ada yang memiliki riwayat minum alkohol sebelumnya (Tabel 10). Hal ini dapat diduga karena perempuan masih dianggap tabu apabila mengonsumsi alkohol.

Tabel 10 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan minum minuman beralkohol

Kebiasaan minum minuman beralkohol n %

Tidak 59 100

Ya 0 0

Total 59 100

(31)

Kebiasaan minum kopi

Kopi mengandung kafein yang dapat meningkatkan debar jantung dan naiknya tekanan darah. Kafein merupakan salah satu zat yang terdapat dalam kopi yang meningkatkan pelepasan hormon norepinefrin yang akan menyebabkan vasokontriksi dan membatasi aliran darah (Wijayakusuma dan Dalimartha 2005).

Pada penelitian ini ditemukan bahwa sebanyak 30.5% subjek terbiasa minum kopi dalam sehari. Dari jumlah tersebut rata-rata subjek mengonsumsi kopi sebanyak 0.97±0.32 gelas per harinya dan tidak ada subjek yang mengonsumsi lebih dari 2 gelas per hari. (Tabel 11). Berdasarkan penelitian Zhang et al. (2011) risiko hipertensi meningkat sampai konsumsi kopi 3 cangkir/hari (1 cangkir = 237 ml) dan kemudian akan sedikit menurun pada jumlah konsumsi yang lebih tinggi.

Tabel 11 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan minum kopi

(32)

Untuk kopi hitam bubuk, subjek mengonsumsi rata-rata mengonsumsi sebanyak 1 sendok makan (sdm) kopi dengan tambahan gula 1 sdm untuk 1 gelas.

Kandungan kafein dalam kopi murni (250 ml) adalah 150-240 mg, sedangkan untuk kopi instan 250 ml adalah 80-120 mg (ADF 2011). Asupan tinggi kafein yaitu sekitar ≥400 mg per hari (Kovacs 2011). Jumlah ini setara dengan 2-3 gelas kopi (200ml) untuk kopi murni dan 4-6 gelas kopi (200ml) untuk kopi instan.

Sebagian besar subjek yang memiliki kebiasaan minum kopi mengaku bahwa pertama kali minum kopi yaitu lebih dari 5 tahun yang lalu. Ada subjek yang mengaku sudah terbiasa minum kopi sejak dahulu (usia muda) dan ada yang baru terbiasa semenjak bekerja di pabrik. Masa minum kopi terlama subjek yaitu sekitar 33 tahun, sedangkan yang terbaru sekitar 10 bulan terbiasa minum kopi. Alasan subjek mengonsumsi kopi karena dirasa kopi dapat memberikan efek sugesti yang berbeda setiap individunya. Sebagian besar subjek merasa manfaat minum kopi yaitu untuk menghilangkan kantuk (38.9%), menambah semangat (22.2%), serta menghilangkan pusing (11.1%). Lainnya mengatakan bahwa kopi bermanfaat untuk menghilangkan mual, mengurangi kanker, dan membuat badan enak (Tabel 11).

Kebiasaan olahraga

Olahraga adalah segala aktivitas fisik yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis untuk mendorong, membina, dan mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial (Mutohir dan Maksum 2007). Orang yang kurang aktif berolahraga akan lebih berisiko 30-50% mengalami hipertensi dibandingkan yang aktif. Metaanalisis menunjukkan bahwa terdapat keuntungan dari pengaruh olahraga terhadap tekanan darah. Analisis pertama menunjukkan bahwa berjalan kaki pada orang dewasa dapat mengurangi tekanan darah rata-rata sebesar 2% (Kelley et.al 2001 dalam Krummel 2004). Analisis kedua, menunjukkan bahwa aerobik menurunkan tekanan darah sistolik rata-rata 4 mmHg dan tekanan darah diastolik 2 mmHg pada pasien dengan atau tanpa tekanan darah tinggi (Whelton et al 2002 dalam Krummel 2004). Ketidakaktifan fisik akan meningkatkan risiko gangguan kesehatan termasuk tekanan darah tinggi. Olahraga dapat mencegah terbentuknya plak di arteri dengan meningkatkan High Density Lipoprotein

(HDL) dan menurunkan Low Density Lipoprotein (LDL). Selain itu, olahraga dapat melindungi dinding arteri, dan menurunkan berat badan berlebih (Casey et al. 2006).

Subjek yang memiliki kebiasaan olahraga sebanyak 55.9% sedangkan yang tidak yaitu 44.1%. Ini dapat dikatakan bahwa lebih dari separuh subjek memiliki kebiasaan olahraga (Tabel 12). Jenis olahraga yang paling banyak dilakukan oleh subjek yaitu jalan pagi/sore (72.7%) dan jogging (24.2%). Olahraga ini digemari karena sangat mudah dilakukan di waktu senggang dan tidak memerlukan banyak biaya untuk dikeluarkan. Selain itu, subjek juga ada yang terbiasa melakukan olahraga seperti senam aerobik (18.2%), stretching (15.2%), bulutangkis (9.1%), bersepeda (3%) dan renang (3%).

(33)

sistem kardiovaskular (Dorland’s Medical Dictionary 2007). Olahraga aerobik dengan durasi minimal 30 menit yang dilakukan dengan rutin (3 kali/minggu) dengan intensitas ringan-sedang dapat menurunkan tekanan darah sebesar 15 mmHg (Cade et al. 1984). Olahraga yang termasuk olahraga aerobik adalah jalan cepat, jogging, renang, dansa, atau bersepeda sehingga dapat dikatakan bahwa jenis olahraga yang sering dilakukan oleh subjek termasuk olahraga aerobik.

Durasi olahraga subjek berada antara antara 0 hingga 240 menit dengan rata-rata 35.42±51.53 menit. Durasi terlama subjek melakukan olahraga yaitu 240 menit dimana jenis olahraga yang dilakukan yaitu jalan pagi/sore. Hasil ini dapat dikatakan bahwa rata-rata durasi subjek sudah cukup karena memenuhi angka anjuran olahraga yang dapat menurunkan tekanan darah menurut Cade et al. (1984) yaitu selama 30 menit. Namun sebagian besar subjek masih tergolong rendah untuk durasi olahraganya (55.9%).

Tabel 12 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan olahraga

Kebiasaan Olahraga n %

Ya 33 55.9

Tidak 26 44.1

Total 59 100

Jenis Olahraga*

Jogging 8 24.2

Jalan pagi/sore 24 72.7

Senam aerobik 6 18.2

Stretching 5 15.2

Renang 1 3.0

Bersepeda 1 3.0

Bulutangkis 3 9.1

Durasi Olahraga

Rendah 33 55.9

Tinggi 26 44.1

Total 59 100

Frekuensi Olahraga

Sering 9 15.3

Tidak sering 50 84.7

Total 59 100

Keterangan: *) persentase berdasarkan jumlah subjek yang memiliki kebiasaan olahraga

(34)

Kebiasaan makan makanan berisiko

Suhardjo (1989) mendefinisikan kebiasaan makan adalah kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan seperti tata krama, frekuensi makan, pola makan yang dimakan, kepercayaan terhadap makanan, serta cara pemilihan bahan makanan yang hendak dikonsumsi. Kebiasaan makan yang berkenaan dengan kejadian hipertensi tergolong menjadi kebiasaan makan makanan berisiko dan makanan yang dapat menghambat terjadinya hipertensi. Kebiasaan makan makanan berisiko diantaranya konsumsi makanan asin, makanan yang diawetkan, makanan berlemak tinggi, dan makanan manis atau tinggi kalori. Sedangkan terbiasa mengonsumsi buah dan sayur merupakan faktor yang dapat menghambat terjadinya hipertensi.

Penelitian yang dilakukan oleh Dauchet et al. (2007) menyebutkan bahwa peningkatan konsumsi sayur dan buah serta penurunan konsumsi lemak total dan lemak jenuh, dapat menurunkan tekanan darah. Kandungan zat gizi seperti kalium dan serat serta antioksidan pada buah dan sayur yang cukup banyak terbukti mampu menurunkan tekanan darah. Kalium merupakan ion utama di dalam cairan intraseluler. Cara kerja kalium adalah kebalikan dari natrium dimana konsentrasi kalium yang banyak di dalam cairan intraseluler dapat cenderung menarik cairan di bagian ekstraseluler dan menurunkan tekanan darah (Nurrahmani 2012). Kebiasaan makan makanan berisiko yang diteliti dalam penelitian ini diantaranya kebiasaan makan makanan asin, awetan, dan berlemak.

Makanan asin dan awetan. Riskesdas (2007) menemukan bahwa hampir 24.5% penduduk Indonesia berusia di atas 10 tahun mengonsumsi makanan asin satu kali atau lebih tiap harinya. Sedangkan untuk makanan yang diawetkan proporsinya sebanyak 6.3%. Makanan asin merupakan makanan yang ditambahkan garam maupun penguat rasa (mononatrium glutamat) dalam jumlah banyak sehingga umumnya memiliki kandungan natrium yang tinggi. Natrium banyak terdapat pada makanan awetan (natrium benzoat dan natrium metabisulfit). Makanan awetan seperti makanan kaleng dan makanan kemasan mulai banyak dijumpai sekarang karena dinilai praktis dan cepat saji. Makanan awetan yang diteliti dalam penelitian ini tidak termasuk makanan yang diawetkan dengan penambahan gula (manisan) dan hanya produk-produk makanan industri.

Menurut Instalasi Gizi RSCM dan AsDI (2006), natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler tubuh yang mempunyai fungsi menjaga keseimbangan cairan dan asam basa tubuh, serta berperan dalam transmisi saraf dan kontraksi otot. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah sehingga berdampak kepada jantung yang memompa lebih kuat sehingga tekanan darah menjadi naik. Jika kejadian ini terus menerus terjadi maka dapat menimbulkan hipertensi. Sumber natrium/sodium yang utama adalah natrium klorida (garam dapur), penyedap masakan (monosodium glutamat), dan sodium karbonat (pengawet makanan).

(35)

enak dan harganya cukup murah sehingga mudah didapatkan. Namun jika dilihat dari jumlah konsumsi per minggunya, konsumsi ikan asin tidak terlalu tinggi. Hal ini dikarenakan umumnya subjek mengonsumsi ikan asin dalam jumlah yang sedikit dalam artian URT (Ukuran Rumah Tangga) hanya potongan kecil. Snack

asin seperti kacang dan keripik asin dikonsumsi subjek dengan frekuensi masing-masing 1.0 dan 0.5 kali per minggunya. Umumnya subjek membeli kedua snack

ini di koperasi pabrik yang tersedia dalam ukuran plastik kecil. Kacang yang dikonsumsi merupakan jenis kacang tanah goreng, kacang kulit hingga kacang atom. Sedangkan keripik asin yang dikonsumsi subjek diantaranya keripik singkong dan keripik kentang.

Tabel 13 Frekuensi dan jumlah konsumsi makanan asin dan awetan subjek Jenis

Total kontribusi terhadap kecukupan (%) 25.4

*) berdasar kecukupan natrium sehari = 1500 mg

Jenis makanan awetan yang paling sering dikonsumsi subjek yaitu mie instan, sosis, dan nugget. Mie instan merupakan jenis makanan awetan yang paling sering dikonsumsi subjek dengan frekuensi 1 kali per minggu dengan jumlah konsumsi sekitar 80.5 gram/minggu dimana jumlah ini sama dengan berat satu bungkus mie instan. Satu porsi mie instan mengandung natrium kurang lebih 950−1400 mg. Jumlah ini hampir setara dengan kecukupan natrium dalam sehari (1500 mg) jika mie instan ini dikonsumsi setiap hari. Jenis makanan awetan lainnya yaitu sosis dan nugget dengan frekuensi masing-masing 0.4 dan 0.2 kali per minggunya. Kedua jenis makanan ini lebih banyak dikonsumsi di daerah perkotaan karena dinilai praktis dan mudah disajikan. Secara keseluruhan, frekuensi konsumsi makanan asin dan awetan subjek masih dikatakan jarang.

(36)

Penggunaan bumbu-bumbu. Bumbu-bumbu yang diamati di penelitian ini diantaranya bumbu-bumbu yang mengandung banyak natrium diantaranya garam, kecap manis, kecap asin, kaldu instan, terasi, dan vetsin (penyedap rasa). Bumbu tersebut banyak dijumpai dan digunakan hampir setiap hari untuk menambah rasa dari suatu masakan. Kebiasaan penggunaan bumbu-bumbu subjek diamati dengan melihat frekuensi penggunaan bumbu tersebut dalam seminggu serta seberapa banyak bumbu tersebut dalam sekali penggunaan. Baik frekuensi maupun jumlah penambahan bumbu dibagi menjadi dua, yaitu penambahan ketika makan dan ketika memasak dikarenakan subjek yang umumnya sudah berkeluarga dan memasak untuk keluarganya.

Tabel 14 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan penggunaan bumbu bumbu

Variabel n %

Penambahan garam, kecap, atau saus ketika makan

Sering 7 11.9

Kadang-kadang 6 10.2

Jarang 46 78

Total 59 100

Penambahan bumbu-bumbu* ketika masak

Sering 41 69.5

Saus sambal/tomat 3.22 ± 5.93

Seberapa banyak penambahan bumbu-bumbu

Saus sambal/tomat 1.10 ± 3.60

Keterangan: Sering (≥ 6 kali/minggu), Kadang-kadang (3-5 kali/minggu), Jarang (≤ 2 kali/minggu)

*) bumbu-bumbu : garam, kecap manis, kecap asin, kaldu instan, vetsin, terasi, atau saus

(37)

ketika masakan sudah matang dan umumnya hanya pada masakan yang umumnya berkuah seperti bakso, mie instan, dan soto, sedangkan kebanyakan dari mereka tidak mengonsumsi masakan tersebut setiap hari.

Hasil yang berbeda didapat dari frekuensi penambahan bumbu-bumbu tersebut ketika memasak. Sebagian besar subjek mengaku bahwa sering menambahkan bumbu tersebut saat memasak (69.5%), namun tidak sedikit yang mengatakan jarang menambahkan saat masak (23.7%). Hal ini dikarenakan ada subjek yang tidak setiap hari memasak untuk keluarganya. Jika dilihat dari pengamatan aktivitas fisik subjek untuk kegiatan di dalam rumah (memasak), rata-rata frekuensi memasak subjek hanya 4.44±2.54 hari/minggu dan subjek yang tidak memiliki kebiasaan memasak untuk keluarganya sebanyak 6.8% dalam artian selama seminggu mereka tidak memasak sama sekali.

Perhitungan jumlah penambahan bumbu-bumbu ketika makan dan memasak yaitu dengan mengonversi ukuran URT (Ukuran Rumah Tangga) yang digunakan ke satuan gram. Secara umum subjek lebih banyak menambahkan garam (10.58±9.04 gram) dan kecap manis (2.08±4.26 gram) ketika memasak, sedangkan saus (3.22±5.93 gram) lebih banyak ditambahkan saat makan sebagai penambah rasa. Kecap asin merupakan bumbu yang paling sedikit ditambahkan ketika makan maupun memasak dikarenakan kecap asin lebih banyak dipakai untuk masakan Oriental dibandingkan masakan Indonesia. Penambahan garam ketika memasak dipengaruhi oleh banyaknya keluarga dan seberapa banyak masakan yang akan dihidangkan. Rata-rata subjek juga menambahkan kaldu instan, vetsin, dan terasi ketika memasak namun jumlah penambahannya tidak sebanyak garam dapur.

Tabel 15 Kontribusi natrium subjek dari bumbu ketika memasak Jenis bumbu Penambahan

Total kontribusi bumbu terhadap kecukupan (%) 84.4 *) berdasar kecukupan natrium sehari = 1500 mg

(38)

bumbu-bumbu yang diteliti merupakan sumber natrium dimana mengandung 225 mg (15% dari AKG untuk Na).

Untuk penambahan bumbu ketika makan, maka rata-rata subjek menambahkan natrium ketika makan sekitar 379.8 mg dari garam, 83.2 mg dari kecap manis, 7.9 mg dari kecap asin dan 67.6 mg dari saus sambal/tomat. Jumlah ini jika dibandingkan dengan angka kecukupan natrium dalam AKG 2012 (1500 mg) maka dapat dikatakan kontribusi natrium dari bumbu masih di bawah 50%. Kontribusi natrium dari total konsumsi bumbu sebesar 35.9% kecukupan natrium dalam sehari. Kontribusi terbesar berasal dari garam 25.3% dan yang terkecil berasal dari kecap asin (0.5%). Hal ini dapat disimpulkan bahwa penambahan bumbu ketika memasak harus diperhatikan takarannya karena kontribusinya yang lebih besar dibandingkan saat makan.

Hasil Susenas 2009 yang diacu dalam Hardinsyah (2011) mengatakan bahwa rata-rata konsumsi garam penduduk Indonesia adalah 5.7 gram/kap/hari. Data ini diperkirakan belum termasuk garam yang dibubuhkan pada makanan jajanan dan produk industri yang sulit diketahui berapa jumlah penambahannya.

Tabel 16 Kontribusi natrium subjek dari bumbu ketika makan Jenis bumbu Penambahan bumbu

*) berdasar kecukupan natrium sehari = 1500 mg

Makanan berlemak. Proporsi penduduk Indonesia yang mengonsumsi makanan berlemak adalah sebanyak 12,8% dan sebagian besar mereka yang tinggal di perkotaan. Kebiasaan mengonsumsi lemak khususnya lemak jenuh meningkatkan risiko terjadinya hipertensi. Lemak jenuh yang bersumber dari lemak hewan dapat menyebabkan penumpukan dan pembentukan plak di pembuluh darah jika keberadaaannya berlebih dalam tubuh (Almatsier 2006).

Jenis makanan berlemak yang paling sering dikonsumsi subjek adalah telur ayam dengan frekuensi 2.6 kali per minggu. Di sisi lain sebagai sumber protein hewani yang baik, telur mengandung kolesterol yang cukup tinggi. Selain itu jenis makanan lainnya yaitu gorengan dengan frekuensi 2.4 kali per minggu dengan jumlah konsumsi 176 gram/minggunya. Jenis gorengan yang sering dikonsumsi subjek diantaranya tahu, tempe, dan bakwan. Jeroan yang sering dikonsumsi subjek yaitu ati, ampela, dan usus ayam. Ketiga jeroan ini umum ditemukan di warung-warung nasi dan hampir setiap hari disajikan dibandingkan jeroan jenis lain. Secara keseluruhan frekuensi konsumsi makanan berlemak subjek masih di kategori jarang.

(39)

digoreng dengan metode deep fat frying, yaitu seluruh bahan pangan terendam dalam minyak goreng (Paramitha dalam Makaryani 2014). Makanan yang digoreng dengan minyak mengandung asam lemak jenuh apabila dikonsumsi akan dimetabolisme, akhirnya akan meningkatkan profil lipid dalam darah. Studi menyebutkan bahwa dari 29.70 g per hari asam lemak jenuh yang dikonsumsi, 5.93 g per hari berasal dari makanan non-gorengan dan 23.77 g per hari dari makanan gorengan (Cahatur dan Suhanda dalam Makaryani 2014). Pangan sumber lemak yang dikonsumsi subjek diantaranya telur ayam, gorengan, daging ayam dengan kulit, daging sapi, dan susu full cream dimana kandungan lemaknya 15% dari kecukupan lemak yang dianjurkan yaitu sebesar 9 gram.

Tabel 17 Frekuensi dan jumlah konsumsi makanan berlemak subjek Jenis makanan Frekuensi

Total kontribusi terhadap kecukupan (%) 52

*) berdasar kecukupan lemak sehari = 60 g

Asupan Energi dan Zat Gizi

(40)

78

Gambar 3 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein serta asupan lemak dan natrium

Asupan energi

Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat, dan protein.Kisaran asupan energi subjek adalah 582−2577 kkal/hari dengan rata-rata asupan energi sebesar 1301±442 kkal/hari. Lebih dari separuh subjek memiliki tingkat kecukupan energi yang tergolong kategori cukup (78%) dan sisanya sebesar 22% yang tergolong lebih. Asupan energi yang berlebih jika tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang cukup akan menimbulkan obesitas.

Asupan protein

Asupan protein subjek berkisar antara 18.1−136.6 gram/hari. Rata-rata asupan protein subjek adalah 47.0±24.9 gram/hari. Keseluruhan subjek berada pada kategori tingkat kecukupan protein yang tersebar merata. Sebanyak 55.9% subjek berada pada kategori cukup, sedangkan 44.1% subjek tergolong kategori lebih.

Asupan lemak

(41)

Asupan natrium

Kisaran asupan natrium subjek sebesar 195.8-7795.5 mg/hari dengan rata-rata asupannya sebesar 1266.1±1008.5 mg/hari. Sebagian besar subjek berada pada kategori cukup (72.9%) untuk asupan natriumnya dan sebagian kecil yang tergolong lebih (27.1%). Makanan sehari-hari biasanya cukup mengandung natrium yang dibutuhkan, sehingga tidak ada penetapan kebutuhan natrium sehari. Namun beberapa metaanalisis (Krummel dan MacGregor 2004) menyebutkan bahwa pengurangan asupan natrium dapat menurunkan tekanan darah baik untuk individual dengan hipertensi maupun normotensi.

Asupan natrium subjek yang terendah yaitu 195.8 mg/hari. Hal ini dikarenakan asupan subjek yang sangat rendah baik pada recall 1 maupun recall

2. Dalam AKG 2012 tidak disebutkan batas terendah asupan natrium namun Almatsier (2006) menyebutkan bahwa kecukupan natrium dalam sehari antara 500-2400 mg per hari. Sedangkan Wiseman (2003) menyebutkan bahwa sebagian besar orang dewasa cukup dengan 250-1000 mg natrium untuk memenuhi kebutuhan sehari pada iklim sedang. Orang di iklim tropis lebih membutuhkan natrium lebih banyak dikarenakan produksi keringat yang lebih dibandingkan dengan orang yang tinggal di iklim sedang. Jika dilihat dari batas terendah natrium untuk orang Indonesia yaitu 500 mg maka dapat dikatakan bahwa ada sebesar 11.9% subjek yang masih kurang asupan natriumnya.

Tabel 18 Asupan natrium subjek

Variabel Rata-rata asupan (mg) Kontribusi (%)

Recall hari ke-1 1415.5 94.3

Recall hari ke-2 1116.8 74.5

Total Recall 1266.1 84.4

Status Gizi

Status gizi adalah suatu kondisi tubuh akibat asupan, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama (Supariasa et al.

(42)

Indeks Massa Tubuh (IMT)

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah salah satu cara untuk mengukur status gizi seseorang. Menurut Supariasa et al. (2002), penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan. Disamping itu, IMT tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti edema, asites, dan hepatomegali. Interpretasi nilai IMT harus dilakukan secara hati-hati agar dapat mengindikasikan total lemak yang tepat.

Hasil penelitian lanjutan menggunakan data Riskesdas 2007, salah satu faktor risiko hipertensi yaitu obesitas dengan OR 2.8 (95% CI: 2.67−2.91), dan obesitas abdominal OR 1.4 (95% CI: 1.36−1.44). Obesitas abdominal atau sentral merupakan ukuran atau volume lemak tubuh di bagian abdomen dan umumnya diukur dengan ukuran lingkar pinggang. Klasifikasi IMT yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menurut WHO (2000) untuk Asia.

Gambar 4 Sebaran subjek berdasarkan IMT

Indeks massa tubuh (IMT) subjek berkisar antara 17.5−38.0 kg/m2 dengan rata-rata sebesar 26.1±4.12 kg/m2. Lebih dari separuh subjek berada pada kategori

obese I (49%), dan hanya sebagian kecil yang berada pada kategori underweight

(2%). Dari jumlah subjek yang obese, 81 persennya termasuk obesitas abdominal (dimana nilai IMTnya melebihi 30 kg/m2).

Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan energi antara intake energi dan energi yang digunakan (Elliot et al. 2011). Hal ini disebabkan karena sebagian besar pekerjaan mereka lebih banyak duduk dan berdiri. Pekerjaan ini termasuk jenis pekerjaan sedentarian (kurang gerak) dimana tidak banyak melibatkan aktivitas fisik yang berat.

(43)

Rasio Lingkar Pinggang Panggul (RLPP)

Beberapa pakar lebih menggunakan RLPP dibandingkan dengan LP karena terkadang lebih baik dalam memprediksi risiko penyakit jantung koroner (Snijder

et al. 2003). Rasio lingkar pinggang panggul (RLPP) merupakan salah satu indikator penentuan distribusi lemak tubuh. RLPP melebihi batas ketika lingkar pinggang lebih besar daripada lingkar panggul. RLPP yang melebihi standar tidak sehat karena terjadi kelebihan lemak abdominal karena lingkar pinggang yang lebih besar daripada lingkar panggul menunjukkan jumlah lemak abdominal (Agustino 2013).

Tabel 19 Sebaran subjek berdasarkan rasio lingkar pinggang panggul (RLPP)

Kategori n %

Normal 43 72.9

Obese/berisiko 16 27.1

Total 59 100

Ukuran lingkar pinggang subjek berkisar antara 62-102 cm dengan rata-rata 79.10±8.68 cm. Sebagian besar subjek berada pada kategori normal untuk lingkar pinggangnya ≤80 cm (66.1%). Proporsi terbesar subjek berada pada kategori normal berdasarkan ukuran RLPP yaitu sebesar 72.9% dan hanya 27.1% yang berstatus gizi obese. Kisaran RLPP subjek yaitu 0.73-0.93 dengan rata-rata subjek memiliki RLPP sebesar 0.82±0.04 atau cenderung masih normal karena di bawah batas normalnya (<0.85) Berdasarkan penelitian Purba (2005) bahwa rata-rata perempuan cenderung mengalami obesitas abdominal dibandingkan dengan laki-laki.

Hasil uji Pearson menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara IMT dengan lingkar pinggang (p<0.05, r = 0.888), lingkar pinggul (p<0.05, r = 0.878), dan RLPP (p<0.05, r = 0.517) (Lampiran 1). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai IMT seseorang maka semakin besar juga lingkar pinggang, lingkar pinggul, dan nilai RLPP nya. Hal ini sesuai dengan kriteria yang ditetapkan

International Diabetes Federation (IDF) 2006 dimana seseorang dengan nilai IMT melebihi 30 kg/m2 maka orang tersebut tidak perlu dilakukan pengukuran lingkar pinggang karena diasumsikan mengalami obesitas sentral.

(44)

Riwayat Kesehatan

Individu dengan orang tua yang hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium. Selain itu, didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial (hipertensi primer) memiliki riwayat hipertensi dalam keluarga (Armilawati et al. 2007). Faktor genetik (keturunan) ini merupakan faktor risiko hipertensi yang tidak dapat dikontrol.

Tabel 20 menunjukkan bahwa subjek yang memiliki riwayat hipertensi sebelumnya sebanyak 15.2% dan yang masih dalam perawatan hingga sekarang sebanyak 6.8%. Perawatan yang dilakukan meliputi penggunaan obat dan perubahan gaya hidup. Berdasarkan penuturan subjek, jenis obat yang digunakan diantaranya obat klinik dan Captopryl. Captopryl merupakan jenis obat

Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor yang mencegah ginjal menahan natrium dan air dengan menonaktifkan ACE tersebut mengonversi Angiotensin I inaktif menjadi Angiotensin II aktif. Angiotensin II meningkatkan tekanan darah dengan memicu retensi natrium dan air serta mempersempit arteri. Subjek mengaku bahwa setelah didiagnosa hipertensi, subjek lebih memperhatikan jenis makanan yang dikonsumsinya dan mengurangi makan enak. Tidak ada subjek yang mengaku memiliki riwayat penyakit lainnya seperti diabetes mellitus (DM), hiperkolesterolemia, dan penyakit jantung. Keseluruhan penyakit tersebut merupakan faktor yang dapat menimbulkan hipertensi maupun penyerta dari hipertensi tersebut.

Jika dilihat prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah yaitu 22.1%, maka prevalensi hipertensi berdasarkan diagnosa dari tenaga kesehatan hanya sebesar 15.2%. Hasil yang berbeda ini menunjukkan bahwa hipertensi merupakan silent killer yang mana meningkatnya tekanan darah tidak menunjukkan gejala-gejala yang signifikan.

Tabel 20 Sebaran subjek berdasarkan riwayat penyakit terdahulu

Variabel n %

Pernah didiagnosa

Diabetes Mellitus (DM) 0 0

Hipertensi 9 15.2

Hiperkolesterolemia 0 0

Jantung 0 0

Tidak ada 50 84.8

Total 59 100

Sedang dalam perawatan

Diabetes Mellitus (DM) 0 0

Hipertensi 4 6.8

Hiperkolesterolemia 0 0

Jantung 0 0

Tidak ada 55 93.2

Total 59 100

(45)

darah. Kolesterol yang sangat tinggi dapat memblokade arteri, menyebabkan penyakit jantung, serangan jantung, dan stroke. Kolesterol LDL cenderung tersimpan dalam daerah arteri, sedangkan jenis kolestrol lain seperti HDL dapat mengeluarkan LDL dari dalam arteri dan menghilangkannya dari sirkulasi darah (Nurrahmani 2012). Kolesterol yang menumpuk dapat menyumbat pembuluh darah sehingga aliran darah menjadi terhambat dan memicu hipertensi.

Hipertensi juga dapat muncul sebagai komplikasi dari diabetes mellitus, khususnya pada penderita diabetik nefropati, diabetes yang menyebabkan kerusakan pada jaringan syaraf. Penderita diabetes umumnya memiliki kondisi resistensi insulin dimana kerja insulin tidak sebagaimana mestinya (Nurrahmani 2012). Hiperinsulinemia akan menyebabkan peningkatan reabsorpsi sodium dan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik dan berperan dalam terjadinya hipertensi dengan semakin meningkatnya level asam lemak dalam sirkulasi darah (Eckel et al. 2005).

Gambar 5 menunjukkan sebaran subjek berdasarkan riwayat hipertensi keluarga subjek. Sebagian besar riwayat hipertensi keluarga subjek berasal dari ibu (11.9%) namun untuk riwayat hipertensi dengan komplikasi lebih banyak berasal dari ayah (15.3%). Hipertensi dengan komplikasi yang didapat diantaranya kombinasi hipertensi dengan DM, jantung, hiperkolesterolemia, kegemukan, serta riwayat stroke. Kombinasi penyakit-penyakit tersebut tanpa adanya riwayat hipertensi dianggap tidak ada hipertensi. Depkes RI (2006) menjelaskan bila kedua orang tua menderita hipertensi, maka sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya.

Gambar 5 Sebaran subjek berdasarkan riwayat hipertensi keluarga

Hubungan Karakteristik Subjek dengan Kejadian Hipertensi

(46)

yang signifikan antara umur dengan kejadian hipertensi (p>0.05) namun berkorelasi positif (r = 0.075). Korelasi antara umur dengan hipertensi dikatakan lemah dikarenakan nilai r nya antara 0−0.25. Hasil ini bertentangan dengan penelitian sebelumnya dimana umur berhubungan dengan kejadian hipertensi (Tesfaye et al. 2007, Riyadina W 2002, Aisyiyah 2009). Semakin bertambah umur seseorang maka semakin meningkat kejadian hipertensinya. Semakin bertambah umur maka pembuluh darah akan kehilangan elastisitasnya namun darah tetap dipaksakan melewati pembuluh darah yang menyempit sehingga tekanan darah menjadi tinggi. Hasil yang berbeda ini diduga dikarenakan rata-rata umur subjek relatif sama dan subjek dengan umur paling tua yaitu 48 tahun.

Berdasarkan penelitian Widyaningsih dan Latifah (2008), setiap kenaikan umur satu tahun maka tekanan darah sistolik akan meningkat sebesar 0.369 mmHg dan sebesar 0.283 mmHg untuk tekanan darah diastolik. Hal ini menjelaskan bahwa semakin bertambah umur seseorang maka meningkat pula risiko hipertensinya. Penyakit hipertensi paling banyak dialami oleh kelompok umur 31−55 tahun dan umumnya cenderung meningkat khususnya yang berusia lebih dari 40 tahun bahkan pada usia lebih dari 60 tahun keatas (Krummel 2004).

Tabel 21 Hubunganantara karakteristik subjek dengan kejadian hipertensi Karakteristik Kejadian Hipertensi

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran faktor-faktor risiko hipertensi pada pekerja wanita
Tabel 3  Pengelompokan karakteristik subjek
Tabel 4  Pengelompokan gaya hidup subjek
Tabel 5  Pengelompokan asupan dan tingkat kecukupan zat gizi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kadar Timbal Dalam Darah Poisi Lalu Lintas Dan Hubungannya Dengan Kadar Hemoglobin, Studi Pada Polisi Lalu Lintas Yang Bertugas di Jalan Raya Kota Semarang.. Semarang: Universitas

1) Pembebasan Bersyarat dari kewajiban untuk menjalankan pidana penjara dalam suatu Lembaga Pemasyarakatan seperti yang diatur dalam Pasal 15 sampai pasal 17 KUHP, lebih

Perubahan desain dan pengembangan harus ditunjukkan dan rekamannya dipelihara. Perubahan harus ditinjau, diverifikasi dan dibenarkan,secara sesuai, dan disetujui

PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA secara bersama-sama telah bersepakat mengikatkan diri dalam suatu Kontrak Penelitian/mengadakan Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Program Penelitian

Berdasarkan pendekatan nilai limpasan permukaan yang diperoleh dari model, besar debit di sub DAS Kuning selama 31 hari di bulan Januari 2009 memiliki rentang antara 0

Subbagian Akademik Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Kendari, 2015.. dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengairan separuh daerah akar dapat mempertahankan pertumbuhan, biomassa, nodul, kadar air daun relatif, kandungan klorofil daun relatif, kandungan

Faktor-faktor tersebut adalah tingkat bunga yang ditetapkan untuk sejumlah kredit yang dipinjam nasabah, sistem administrasi di dalam pengurusan kredit, agunan yang