• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Preservasi dan Konservasi Koleksi Tercetak (Buku) di Museum Pusaka Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Evaluasi Preservasi dan Konservasi Koleksi Tercetak (Buku) di Museum Pusaka Karo"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi Untuk meraih gelar Sarjana Sosial (S.Sos) dalam Bidang

Ilmu Perpustakaan dan Informasi

Oleh

MARIANI BR TANGGANG 110709048

DEPARTEMEN ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Skripsi : EVALUASI PRESERVASI DAN KONSERVASI

KOLEKSI TERCETAK (BUKU) DI MUSEUM

PUSAKA KARO Oleh : Mariani br Tanggang

NIM : 110709048

Pembimbing I : Dra. Zaslina Zainuddin, M.Pd NIP. 19570407 1986032 001

Tanda Tangan :

Tanggal :

Pembimbing II : Dr. Irawaty Kahar, M.Pd NIP. 10511119 198601 2 001

Tanda Tangan :

(3)

PUSAKA KARO Oleh : Mariani br Tanggang

NIM : 110709048

DEPARTEMEN ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI

Ketua : Dr. Irawaty A. Kahar, M.Pd.

Tanda Tangan :

Tanggal :

FAKULTAS ILMU BUDAYA

Dekan : Dr. Syahron Lubis, M.A.

Tanda Tangan :

(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Karya ini adalah karya orisinalitas dan belum pernah disajikan sebagai suatu tulisan untuk memperoleh suatu klasifikasi tertentu atau dimuat pada media publikasi lain.

Penulis membedakan dengan jelas antara pendapat atau gagasan penulis dengan pendapat atau gagasan yang bukan berasal dari penulis dengan mencantumkan tanda kutip.

Medan, Juli 2015

(5)

Tercetak (Buku) Di Museum Pusaka Karo. Departemen Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Penelitian dilakukan di Museum Pusaka Karo. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kegiatan preservasi dan konservasi koleksi tercetak (buku) di Museum Pusaka Karo. Jumlah koleksi sekitar 300 eksemplar.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan informan sebanyak dua orang yaitu kepala dan staf pengelola koleksi tercetak (buku), observasi dengan pengamatan secara langsung terhadap kegiatan perawatan koleksi serta dokumentasi. Informan ditentukan dengan teknik

purposive sampling.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawatan dan pelestarian di Museum Pusaka Karo masih dilakukan dengan cara sederhana yaitu dengan menjilid ulang koleksi yang rusak dan menjaga kebersihan ruang penyimpanan sedangkan faktor-faktor penyebab kerusakan koleksi tercetak yaitu hewan pengerat, manusia serta faktor umur koleksi.

Dari kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih perlu adanya peningkatan dalam bidang perawatan dan pelestarian koleksi tercetak serta perlu dilakukan perekrutan sumber daya manusia yang ahli dalam pengelolaan koleksi tercetak agar kegiatan perawatan dan pelestarian berjalan maksimal sehingga koleksi dapat digunaka dalam jangka waktu yang panjang.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Peneliti ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta anugerah-Nya sehingga Peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Preservasi Dan Konservasi Koleksi Tercetak

(Buku) Di Museum Pusaka Karo”. Skripsi ini diselesaikan sebagai salah satu

persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Sosial (S.sos) dalam bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi pada Fakultas Ilmu Budaya.

Pada kesempatan ini Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada orang tua Peneliti, Bapak Otal Sitanggang dan Ibu Esti br Sinurat yang telah memberikan segalanya serta kesabaran menunggu Peneliti untuk wisuda. Kepada kakak-kakak Peneliti, Antonius Sitanggang, Predi Saul Sitanggang, S.E, adik Peneliti Renni Natalia br Tanggang, terima kasih atas dukungan dan semangat tanpa batas kepada Peneliti.

Peneliti juga menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu keberhasilan penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU.

(7)

4. Ibu Dr. Irawaty A. Kahar, M.Pd, selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktu serta kesabaran dalam membimbing Peneliti menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Hotlan Siahaan, S.Sos.,M.I.Kom, selaku Penguji I sekaligus Pembimbing Akademik yang telah memberikan saran yang bermanfaat dalam menyelesaikan skripsi ini sehingga menjadi lebih baik lagi.

6. Bapak A. Hafiz Harahap, S.Sos, M.I.Kom, selaku Penguji II yang telah memberikan saran yang bermanfaat dalam menyelesaikan skripsi ini sehingga menjadi lebih baik lagi.

7. Seluruh Staf Pengajar pada Departemen Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik Peneliti selama perkuliahan.

8. Kepada Pengelola Museum Pusaka Karo, Bapak Valentinus Ginting, SS, Bapak Kriswanto Ginting, Amd.Par, yang telah membantu dan memberikan informasi yang dibutuhkan Peneliti dalam penelitian ini.

9. Kepada sahabat Morina, Silvia, Yuka, Ocsel, Sari, Riris, Sri, Mariana, Wita yang selalu memberi semangat dan dukungan kepada Peneliti.

(8)

seluruh angkatan 2011. Terima kasih atas kebersamaan, semangat serta persaudaraan yang terjalin.

11.Kepada seluruh anggota Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) Santo Gregorius Agung Fakultas Ilmu Budaya, Kak Devi, Kak Caca, Kak Feni, Mika, Tasya, Betrik, Yuki, Jojo, Jefri, Alex, Aldi, edo, Rolas, Yana, Berliana, Ernes, Sanna, Agnes dan yang lainnya, terimakasih atas doa dan semangatnya. 12.Kepada seluruh Orang Muda Katolik (OMK) Berastagi, Kak Mita, Bou Maria, Kak Sella, Kak Tika dan yang lainnya, terimakasih atas doa dan motivasinya serta semangatnya kepada Peneliti.

13.Kepada seluruh keluarga besar Ikatan Ilmu Perpustakaan dan Informasi S1 (IMPUS) terimakasih atas doa dan semangatnya kepada Peneliti.

Peneliti berharap dan berdo’a semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan

Anugerah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, Peneliti mengharapkan adanya masukan yang positif untuk memperbaiki skripsi ini selanjutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Juni 2015 Mariani br Tanggang

(9)

BAB I PENDAHULUAN ... .... 1

1.1. Latar Belakang Masalah... ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1. Museum ... 9

2.1.1 Fungsi Museum ... 12

2.1.2 Tujuan Preservasi dan Konservasi ... 12

2.2 Preservasi (Perawatan) Koleksi Tercetak... 15

2.3 Konservasi (Pelestarian/Pemeliharaan) Koleksi Tercetak ... 16

2.4 Fungsi Preservasi dan Konservasi Koleksi Tercetak (Buku) ... 16

2.5 Tujuan Preservasi dan Konservasi Koleksi Tercetak (Buku)... ... 18

2.6. Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Koleksi Tercetak (Buku)... ... 18

2.6.1. Faktor Internal ... ... 18

2.6.2. Faktor Eksternal ... ... 18

2.6.2.1 Faktor Lingkungan ... ... 19

2.6.2.2 Faktor Manusia ... 22

2.6.2.3 Bencana Alam ... ... 22

2.7 Usaha Memperbaiki Koleksi yang Rusak... ... 22

2.8 Usaha Pencegahan Kerusakan Koleksi ... ... 27

2.8.1 Faktor Lingkungan ... ... 27

2.8.2 Faktor Manusia ... ... 28

2.8.3 Faktor Bencana Alam ... ... 31

2.9 Kajian Hasil-Hasil Penelitian Relevan ... 32

BAB III METODE PENELITIAN... 33

3.1. Gambaran Umum (Latar Penelitian) ... 33

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34

3.3. Metode Penelitian yang Digunakan ... 34

3.4. Data dan Sumber Data ... 35

3.5. Prosedur Pengumpulan Data ... 36

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 37

3.7. Analisis Data ... 38

3.8. Pemeriksaan dan Pengecekan Keabsahan Data(Validity of Data ... 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 42

4.1 Karakteristik Informan ... .42

(10)

4.2.1. Kondisi Koleksi Bahan Pustaka ... 42

4.2.2. Preservasi dan Konservasi ... 44

4.2.3.Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Koleksi Bahan Pustaka .... 44

4.2.3.Usaha Pencegahan Kerusakan Koleksi Bahan Pustaka. ... 49

4.2.5.Usaha Memperbaiki Koleksi Bahan Pustaka yang Rusak ………... 49

4.5. Rangkuman Hasil Penelitian ... 49

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………...………… 52

5.1. Kesimpulan ... 52

5.2. Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 54

(11)
(12)

DAFTAR LAMPIRAN

(13)

Tercetak (Buku) Di Museum Pusaka Karo. Departemen Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Penelitian dilakukan di Museum Pusaka Karo. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kegiatan preservasi dan konservasi koleksi tercetak (buku) di Museum Pusaka Karo. Jumlah koleksi sekitar 300 eksemplar.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan informan sebanyak dua orang yaitu kepala dan staf pengelola koleksi tercetak (buku), observasi dengan pengamatan secara langsung terhadap kegiatan perawatan koleksi serta dokumentasi. Informan ditentukan dengan teknik

purposive sampling.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawatan dan pelestarian di Museum Pusaka Karo masih dilakukan dengan cara sederhana yaitu dengan menjilid ulang koleksi yang rusak dan menjaga kebersihan ruang penyimpanan sedangkan faktor-faktor penyebab kerusakan koleksi tercetak yaitu hewan pengerat, manusia serta faktor umur koleksi.

Dari kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih perlu adanya peningkatan dalam bidang perawatan dan pelestarian koleksi tercetak serta perlu dilakukan perekrutan sumber daya manusia yang ahli dalam pengelolaan koleksi tercetak agar kegiatan perawatan dan pelestarian berjalan maksimal sehingga koleksi dapat digunaka dalam jangka waktu yang panjang.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan kebutuhan informasi yang terjadi setiap hari bahkan setiap waktunya mendorong manusia mencari sumber-sumber informasi (information resources) yang relevan. Untuk itu manusia harus bijaksana menyaring sumber informasi yang tepat. Ada beberapa sumber informasi yang dapat membantu dalam pemenuhan kebutuhan informasi, diantaranya yaitu perpustakaan dan museum.

Menurut Undang-Undang nomor 43 Tahun 2007 perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. Sedangkan dalam Undang-Undang nomor 11 Tahun 2010 menyatakan bahwa

museum merupakan lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa benda, bangunan, dan/atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya atau yang bukan Cagar Budaya, dan mengomunikasokannya kepada masyarakat.

(15)

hanya baca ditempat. Dari segi koleksi perpustakaan memuat koleksi tercetak (buku) sesuai dengan jenisnya, sedangkan museum memuat koleksi yang memiliki nilai historis. Dengan melihat museum maka akan terbayang semua peristiwa masa lalu mulai dari adat istiadat, pakaian, tradisi, rumah adat, kepercayaan dan lain sebagainya yang terekam di dalamnya. Nilai-nilai kultural dan semangat perjuangan tersebut diharapkan dapat menyentuh jiwa pengunjungnya sehingga tergerak untuk melestarikannya bahkan merawat peninggalan sejarah yang mengingatkan pengunjung bagaimana sejarah kehidupan zaman dahulu terutama dalam hal pertukaran informasi antara masyarakat secara lisan maupun tulisan yang dituangkan dalam berbagai media misalnya kertas, kulit kayu, daun lontar (papyrus), batu, bamboo, kulit hewan (perkamen), tanah liat (tembikar), kayu, daun tal, gading, logam, dan tulang.

Perpustakaan dikelola oleh pustakawan sedangkan museum oleh kurator. Selain itu dari segi pelayanan, perpustakaan memiliki layanan teknis (pengadaan, pengolahan, perawatan) dan layanan umum (sirkulasi, referensi, administrasi) sedangkan pelayanan museum yaitu guide untuk wisata serta layanan penelitian.

(16)

3

fisik, tata pameran, koleksi benda bersejarah dan manuskrip-manuskrip yang tinggi nilainya.

Pengelola museum harus dapat memahami isu-isu global yang berkembang di masyarakat dan mengaitkannya dengan koleksi yang ada di museum dalam hal memberikan arti yang berbeda atas isu-isu tersebut. Untuk itu, pengelola museum harus selalu dididik melalui berbagai pelatihan berkaitan dengan kepemimpinan, dan perencanaan dalam membangun dan mengimplementasikan program-program yang memberikan arti bagi masyarakat.

Persepsi masyarakat bahwa museum merupakan salah satu pusat informasi mengenai budaya bangsa menjadi kunci untuk menarik perhatian pengunjung tertentu dalam suatu pameran atau program. Untuk itu dibutuhkan pemasaran yang menarik agar masyarakat dapat mengetahui dan tertarik atas produk-produk, kegiatan, dan pameran yang diselenggarakan museum. Maka dibutuhkan pengelola museum yang informatif, terlatih dan dapat memberikan pencitraan yang positif bagi museum sebagai sebuah institusi yang bergerak di bidang penyebaran informasi dari setiap koleksi yang dimiliki oleh museum.

Untuk dapat dimanfaatkan sepanjang zaman koleksi-koleksi perlu perawatan dan pelestarian agar tidak mengalami kerusakan, kehilangan, ataupun adanya gangguan-gangguan penyebab rusaknya koleksi, biasanya terdapat berbagai jenis dan macam benda-benda bersejarah yang memerlukan cara perawatannya masing-masing.

(17)

koleksi langka dan besarnya biaya pelestarian. Pelestarian hasil budaya bangsa yang tercetak dan terekam untuk generasi yang akan datang merupakan tugas utama setiap museum, dan tugas ini tak akan pernah berakhir.

Masyarakat Karo secara umum memiliki nilai-nilai budaya sendiri yang turun-temurun dari nenek moyang suku Karo yang telah lama menerapkan Sistem Religi, Organisasi Masyarakat, Pengetahuan, Mata Pencaharian Hidup, Ekonomi, Teknologi dan Peralatan, Bahasa, serta Kesenian. Berangkat dari unsur-unsur inilah orang Karo berkembang menjadi manusia yang modern dan hampir melupakan beberapa element tersebut yang dewasa ini kita sebut peninggalan bersejarah atau Pusaka yang mestinya dilanjutkan, dilestarikan dengan aman dan bijaksana. Mengingat ini semua, maka perlu dilakukan suatu kelangsungan hidup dari budaya itu sendiri dengan cara membudayakan pelestarian atau mencegah suatu kepunahan.

Museum Pusaka Karo sebagaimana fungsi umum dari museum bertugas untuk melestarikan dan merawat benda-benda bersejarah yang merupakan karya budaya dan sejarah Karo, dalam melestarikan kebudayaan Karo untuk tetap abadi serta dapat memberi sumbangsih pada pembangunan manusia Karo khususnya dan manusia Indonesia pada umumnya.

(18)

barang-5

barang peninggalan sejarah Karo yang banyak didatangkan langsung dari Belanda dan dikumpulkan dari berbagai sumber dan tempat yang terdapat di museum pusaka Karo. Tidak ada satupun dari koleksi-koleksi langka yang dimiliki Museum Pusaka Karo dibeli melainkan hasil dari sumbangan masyarakat Karo dan didatangkan dari berbagai tempat dan juga dari negara Belanda sehingga beberapa dari koleksi tampak rapuh dimakan usia, rusak dan perawatannya yang masih kurang, begitu juga dengan koleksi tercetak (buku) pengadaannya dari hadiah, sumbangan dan pembelian sehingga kondisi buku sebagian ada yang rusak dan kurang perawatan.

Museum Pusaka Karo terdiri dari dua bagian, pertama yaitu ruangan museum yang berisi sekitar 500 unit koleksi tentang etnografi, arkeologi, sejarah, keramik, biologi, dan seni rupa seperti barang yang umurnya puluhan hingga ratusan tahun antara lain: alat pertanian, alat memasak, alat makan, berbagai perlengkapan memakan sirih, baju, perhiasan, pakaian adat Karo, uis (ulos) Karo, pustaka Laklak, miniatur rumah adat Karo dan berbagai gambar yang berhubungan dengan peradaban budaya Karo.

(19)

klasifikasi menggunakan standar yang ditetapkan seperti DDC (Dewey Decimal Classification) atau UDC (Universal Decimal Classification). Koleksi tercetak (buku) hanya dapat dibaca ditempat karena tidak ada layanan peminjaman. Pengunjung yang datang memanfaatkan koleksi tercetak (buku) museum yaitu masyarakat sekitar museum, para pelajar yang ada di Berastagi dan juga luar kota, mahasiswa-mahasiswa yang sedang melakukan penelitian juga wisatawan lokal dan mancanegara.

Pada observasi awal, peneliti melihat kondisi koleksi tercetak (buku) yang perawatannya masih kurang ditunjukkan oleh beberapa koleksi yang sudah rusak, tulisan dalam buku tampak tidak jelas, banyaknya coretan yang merusak buku, beberapa sampul buku sudah rusak dan hilang serta tampak berdebu. Akibatnya yaitu sebagian buku tidak dapat dibaca oleh pengunjung sehingga nilai informasi dari buku yang rusak tidak tersampaikan kepada pembaca dengan baik. Kegiatan preservasi dan konservasi pada Museum Pusaka Karo sudah dilakukan namun masih dalam tahap sederhana sehingga masih perlu tindakan-tindakan atau langkah-langkah yang ditempuh untuk perawatan dan pemeliharaan koleksi agar dapat digunakan dalam waktu yang panjang.

(20)

7

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Evaluasi Preservasi dan Konservasi Koleksi Tercetak (Buku) di

Museum Pusaka Karo”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan diteliti adalah:

1. Bagaimana kegiatan preservasi dan konservasi yang dilakukan oleh Museum Pusaka Karo ?

2. Apa saja faktor-faktor penyebab kerusakan koleksi tercetak pada Museum Pusaka Karo?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk:

1. Untuk mengetahui bagaimana kegiatan preservasi dan konservasi yang dilakukan oleh Museum Pusaka Karo.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kerusakan koleksi tercetak (buku) di Museum Pusaka Karo

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa manfaat bagi:

(21)

2. Pengelola Museum Pusaka Karo, diharapkan dapat memberikan masukan mengenai cara melakukan preservasi dan konservasi koleksi tercetak (buku).

3. Peneliti lanjutan, sebagai referensi dalam mengkaji koleksi tercetak (buku) pada topik yang sama, aspek yang berbeda.

4. Peneliti, penelitian menambah wawasan dan pengetahuan mengenai preservasi dan konservasi.

(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Museum

Museum adalah institusi permanen, nirlaba, melayani kebutuhan publik, dengan sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha pengoleksian, mengkonservasi, meriset, mengomunikasikan, dan memamerkan benda nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, pendidikan dan kesenangan. Karena itu ia bisa menjadi bahan studi oleh kalangan akademis, dokumentasi kekhasan masyarakat tertentu, ataupun dokumentasi dan pemikiran imajinatif pada masa depan.

Sejak tahun 1977, setiap tanggal 18 Mei diperingati sebagai Hari Museum Internasional. Pengertian museum dalam Direktorat Museum (2008, 15) yaitu:

Sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan pengembangannya, terbuka untuk umum, yang memperoleh, merawat, menghubungkan dan memamerkan, untuk tujuan-tujuan studi, pendidikan dan kesenangan, barang-barang pembuktian manusia dan lingkungannya.

Definisi menurut ICOM (International Council of Museum / Organisasi Permuseuman Internasional dibawah UNESCO ) museum merupakan suatu badan yang mempunyai tugas dan kegiatan untuk memamerkan dan menerbitkan hasil-hasil penelitian dan pengetahuan tentang benda-benda yang penting bagi kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

(23)

dahulu mengungkapkan identitas, akar budaya, dan makna koleksi. Pendapat lain dalam ICOM code ethics for museum juga menyatakan bahwa:

museum collections reflect the cultural and natural heritage of the communities from which they have been derived. As such, they have a character beyond that of ordinary property, which may include strong affinities with national, regional, local, ethnic, religious or political identity. It is important therefore that museum policy is responsive to this situation (ICOM, 2006: 9).

Pendapat tersebut mengemukakan bahwa museum merupakan cerminan budaya yang memiliki karakter dan kekhasan tersendiri, koleksi museum mencerminkan warisan budaya dan alam masyarakat dari mana mereka berasal, yang mungkin termasuk afinitas yang kuat dengan identitas nasional, regional, lokal, etnis, agama atau politik.

Koleksi museum menurut ICOM juga harus merefleksikan warisan budaya dan alam suatu komunitas yang dilayaninya. Koleksi tersebut dapat memperkuat identitas nasional, regional, lokal, etnik, religi, dan politik. Ali Akbar (2010) memberikan definisi tentang museum yaitu

(24)

11

Pendapat tersebut jelas menyatakan bahwa museum suatu tempat dimana koleksi budaya milik manusia dari suatu masa dan wilayah disimpan, dipamerkan dan dirawat keberadaannya untuk berbagai kepentingan aktivitas masyarakat seperti pendidikan, rekreasi dan kesenangan semata, ditambahkan dengan aktivitas penelitian baik yang dilakukan oleh intern museum sendiri maupun masyakarat khususnya pengunjung yang datang untuk penelitian.

Museum mempunyai peranan yang cukup penting dalam rangka kegiatan kerjasama kebudayaan. Untuk menangani berbagai hal mengenai museum, maka didirikanlah ICOM (International Council Of Museum) yang antara lain bertujuan:

1. Membantu museum-museum.

2. Menyelenggarakan kerjasama antar museum dan antar-anggota profesi permuseuman.

3. Mendorong pentingnya peranan museum dan profesi permuseuman dalam tiap paguyuban hidup dan memajukan pengetahuan dan saling pengertian antar bangsa yang makin luas.

ICOM telah merumuskan definisi atau batasan museum sebagai suatu lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang memperoleh, merawat, menghubungkan dan memamerkan, untuk tujuan-tujuan studi, pendidikan dan kesenangan, barang-barang pembuktian manusia dan lingkungannya. Adapun batasan museum:

1. Museum merupakan badan tetap, tidak mencari keuntungan dan harus terbuka untuk umum.

2. Museum merupakan lembaga yang melayani masyarakat untük kepentingan perkembangannya.

(25)

4. Museum memelihara dan mengawetkan koleksinya untuk digunakan sebagai sarana komunikasi dengan pengunjung.

5. Kegiatan-kegiatan museum di belakang layar dan kegiatan yang kelihatan oleh umum, seperti hasil penerbitan, pameran, ceramah dan peragaan kesemuanya itu adalah untuk studi, pendidikan dan kesenangan.

2.1.1 Fungsi Museum

Fungsi museum dalam musyawarah umum ke-11 (11th General Assembley International Council of Museum) pada tanggal 14 Juni 1974 di Denmark, dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Pengumpulan dan pengamanan warisan alam dan budaya. 2. Dokumentasi dan penelitian ilmiah.

3. Konservasi dan preservasi.

4. Penyebaran dan perataan ilmu untuk umum. 5. Pengenalan dan penghayatan kesenian.

6. Pengenalan kebudayaan antar-daerah dan antar-bangsa. 7. Visualisai warisan alam dan budaya.

8. Cermin pertumbuhan peradaban umat manusia.

9. Pembangkit rasa bertakwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2.1.2 Tugas Museum

Museum sebuah lembaga yang memamerkan dan menerbitkan hasil-hasil penelitian dan pengetahuan tentang benda-benda yang penting bagi kebudayaan dan ilmu pengetahuan . Adapun tugas yang dijalankan oleh sebuah museum, yakni:

1. Pengumpulan atau penggandaan

Tidak semua benda dapat dimasukkan ke dalam koleksi museum, hanyalah benda-benda yang memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni:

a. Harus mempunyai nilai budaya, ilmiah dan nilai estetika.

b. Harus dapat diidentifikasi mengenai wujud, asal, tipe, gaya dan sebagainya.

c. Harus dapat dianggap sebagai dokumen. 2. Pemeliharaan

(26)

13

a. Aspek Teknis

Benda-benda materi koleksi harus dipelihara dan diawetkan serta dipertahankan tetap awet dan tercegah dari kemungkinan kerusakan.

b. Aspek Administrasi

Benda-benda materi koleksi harus mempunyai keterangan tertulis yang menjadikan benda-benda koleksi tersebut bersifat monumental.

3. Konservasi

Merupakan usaha pemeliharaan, perawatan, perbaikan, pencegahan dan penjagaan benda-benda koleksi dari penyebab kerusakan.

4. Penelitian

Bentuk penelitian ada 2 macam, yakni: a. Penelitian Intern

Penelitian yang dilakukan oleh kurator untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan museum yang bersangkutan. b. Penelitian Ekstern

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari luar, seperti mahasiswa, pelajar, umum dan laian-lain untuk kepentingan karya ilmiah, skripsi, dan lain-lain.

5. Pendidikan

Kegiatan disini lebih ditekankan pada pengenalan benda-benda materi koleksi yang dipamerkan:

a. Pendidikan Formal

Berupa seminar-seminar, diskusi, ceramah dan sebagainya. b. Pendidikan Non formal

Berupa kegiatan pameran, pemutaran film, slide, dan lain-lain. 6. Rekreasi

Sifat pameran yang mengandung arti untuk dinikmati dan dihayati, yang merupakan kegiatan rekreasi segar, tidak diperlukan konsentrasi yang akan menimbulkan keletihan dan kebosanan.

2.2 Preservasi (Perawatan) Koleksi Tercetak

Museum tidak berhenti sekadar menjadi situs preservasi, tetapi harus menjadi

pusat transformasi kebudayaan. Benda-benda di dalam museum terus-menerus harus

(27)

konteks kebudayaan, Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) merupakan tempat

menyimpan informasi mengenai serangga bukan saja dari disiplin ilmu dasar biologi

tetapi juga dari sudut pandang budaya melalui pemaknaan baru.

Menurut Magetsari (2009: 8) koleksi diperlakukan sebagai representasi dari identitas, dari akar budaya atau mengandung makna-makna lain. Museum tidak hanya melestarikan kemudian memamerkan koleksinya, namun berubah menjadi bagaimana koleksi itu dapat bermakna bagi masyarakat, bagaimana koleksi itu dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat, bagaimana koleksi itu dapat memberi identitas masyarakat, dan bagaimana masyarakat dapat menemukan kembali akar budayanya.

Jadi koleksi museum mengabadikan serta melestarikan sejarah yang terkandung di setiap unitnya yang harus dijaga dan dirawat agar tidak berkurang nilai estetika dan nilai historisnya.

Menurut Darmono (2001: 71) preservasi mencakup unsur-unsur pengelolaan dan keuangan, termasuk cara menyimpan dan alat-alat bantunya, tingkat dan kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan, kebijaksanaan, teknik dan metode yang diterapkan untuk melestarikan bahan-bahan pustaka dan arsip serta informasi yang dikandungnya.

Dari batasan tersebut kegiatan preservasi mencakup kegiatan yang lebih luas termasuk aspek keputusan dan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tertentu yang berkaitan dengan pelestarian. Preservasi merupakan bagian dari konservasi, preservasi merupakan perawatan yang dilakukan terhadap setiap koleksi tercetak (buku) yang berkelanjutan sehingga koleksi tercetak (buku) terpelihara (konservasi).

(28)

15

koleksi tercetak (buku) tidak mengalami kerusakan, mengingat bahan pustaka yang harganya mahal agar dapat digunakan lebih lama dan menjangkau lebih banyak pembaca bahan pustaka.

Jadi yang dimaksud dengan preservasi dari beberapa uraian diatas yaitu kegiatan ataupun tindakan-tindakan yang dilakukan untuk merawat buku-buku agar tidak mengalami kerusakan serta mencegah kerusakan dengan alat bantu, teknik serta metode sehingga buku dapat digunakan untuk waktu yang lebih lama. Indikator dari preservasi yaitu perawatan yang dilakukan terhadap koleksi tercetak.

2.3 Konservasi (Pelestarian/Pemeliharaan) Koleksi Tercetak

Museum dalam kaitanya dengan warisan budaya adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda-benda bukti materil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa (Pasal 1. (1). PP. No. 19 Tahun 1995). Namun museum dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada umumnya mempunyai arti yang sangat luas. Koleksi museum merupakan bahan atau obyek penelitian ilmiah.

Konservasi secara umum diartikan dengan pelestarian, namun dalam khasanahnya sangat banyak pengertian yang ada dan berbeda pula implikasinya. Konservasi merupakan suatu upaya memelihara, melindungi, dan melestarikan hasil karya. (Sutarno, 2008, p. 108).

(29)

pengawetan (Balai Pustaka, 2000:589). Sedangkan menurut Darmono (2001:71) konservasi merupakan kebijaksanaan dan cara tertentu yang dipakai untuk melindungi bahan pustaka dan arsip dari kerusakan dan kehancuran, termasuk metode dan teknik yang diterapkan oleh petugas teknis.

Menurut Adishakti (2007) istilah ini biasanya digunakan para arsitek mengacu pada piagam dari International Council of Monuments and Site (ICOMOS) tahun 1981, piagam ini lebih dikenal dengan Burra Charter. Dalam Burra Charter konsep konservasi adalah semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan yang dirumuskan pada Piagam tersebut, yaitu konsep proses pengolahan suatu tempat atau ruang ataupun obyek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan baik.

Jadi yang dimaksud dengan konservasi (pelestarian/pemeliharaan) dari uraian diatas yaitu pelestarian yang didapatkan dari proses perawatan koleksi sehingga koleksi terhindar kerusakan dan kehancuran sehingga nilai informasi didalamnya terlindungi. Indikator dari konservasi yaitu pelestarian/pemeliharaan yang dilakukan terhadap koleksi tercetak.

2.4 Fungsi Preservasi dan Konservasi Koleksi Tercetak (Buku)

(30)

17

Manusia sebagai pemustaka juga turut andil sebagai faktor perusak koleksi

tercetak (buku), maka perlu perhatian khusus bagi pengelola agar pemustaka tidak

lagi menjadi perusak koleksi tercetak (buku) dan harus diberdayakan sebagai pihak

yang ikut serta dalam pemeliharaan koleksi tercetak (buku).

Menurut Martoatmodjo kegiatan pemeliharaan bahan pustaka memiliki beberapa fungsi antara lain:

1. Fungsi Melindungi

Bahan pustaka dilindungi dari serangga dan binatang kecil tidak akan dmenyentuh dokumen. Manusia tidak akan salah dalam menangani dan memakai bahan pustaka. Jamur tidak akan sempat tumbuh, dan sinar matahari serta kelembaban udara di perpustakaan akan mudah dikontrol.

2. Fungsi Pengawetan

Dengan dirawat baik-baik, bahan pustaka menjadi awet, bisa lebih lama dipakai, dan diharapkan lebih banyak pembaca dapat menggunakan bahan pustaka tersebut.

3. Fungsi Kesehatan

Dengan pelestarian yang baik dan bahan pustaka menjadi bersih, bebas dari debu, jamur, binatang perusak, sumber dan sarang dari berbagai penyakit, sehingga pemakai maupun pustakawan menjadi tetap sehat. Pembaca lebih bergairah membaca dan memakai perpustakaan.

4. Fungsi Pendidikan

Pemakai perpustakaan dan pustakawan sendiri harus belajar bagaimana memakai dan merawat dokumen. Mereka harus menjaga disiplin, tidak membawa makanan dan minuman kedalam perpustakaan, tidak mengotori bahan pustaka maupun ruangan. Mendidik pemakai serta pustakawan untuk berdisiplin tinggi dan menghargai kebersihan.

5. Fungsi Kesabaran

(31)

6. Fungsi Sosial

Pelestarian tidak bisa dikerjakan oleh seorang diri. Pustakawan harus mengikutsertakan pembaca untuk tetap merawat bahan pustaka dan perpustakaan, demi kepentingan dan keawetan bahan pustaka.

7. Fungsi Ekonomi

Dengan pelestarian yang baik, bahan pustaka menjadi lebih awet. Keuangan dapat dihemat. Banyak aspek ekonomi lain yang berhubungan dengan pelestarian bahan pustaka.

8. Fungsi Keindahan

Dengan pelestarian yang baik, penataan bahan pustaka yang rapi, perpustakaan tampak menjadi makin indah, sehinggan menambah daya tarik kepada pembacanya.

2.5 Tujuan Preservasi dan Konservasi Koleksi Tercetak (Buku)

Menurut Martoatmodjo dalam buku Pelestarian Bahan Pustaka dijelaskan tujuan dari preservasi dan konservasi yaitu:

1. Menyelamatkan nilai informasi dokumen, dengan cara melakukan pembatasan-pembatasan layanan, seperti kunjungan dan referensi 2. Menyelamatkan fisik dokumen, melakukan laminasi : suatu tindakan

dengan cara memberikan perlindungan pembungkusan dengan kertas/plastik khusus di setiap halaman dokumen.

3. Mengatasi kendala kekurangan ruang, Sudah menyiapkan ruang-ruang untuk pelestarian dokumen, yang didalam ruangan tersebut sudah disiapkan lemari – lemari yang terbuat dari besi dan dibungkus plastik. 4. Mempercepat perolehan informasi, setiap dokumen siap di layankan

kepada setiap pengguna dengan kondisi yang baik.

2.6 Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Koleksi Tercetak (Buku)

Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kerusakan koleksi. Menurut Razak (1996, 9) “bahan pustaka mudah mengalami kerusakan oleh dua faktor yaitu

faktor internal dan faktor eksternal”. Sebagian besar bahan pustaka koleksi

(32)

19

internal. Faktor eksternal yang dapat merusak bahan pustaka antara lain jamur, serangga, binatang pengerat, zat kimia bahkan manusia dan lain-lain. Sedangkan faktor internal yang merusak bahan pustaka adalah zat asam yang terkandung dalam kertas, dengan adanya zat asam ini kertas dapat rusak dari dalam, yaitu akibat sisa-sisa zat kimia pada saat pembuatan kertas.

Ada dua faktor penyebab bahan pustaka mudah mengalami kerusakan menurut Razak (1996, 9) yaitu faktor internal dan faktor eksternal tersebut, sebagai berikut:

2.6.1 Faktor Internal

Kerusakan yang terjadi pada bahan buku sendiri, yakni pada kertas, tinta cetak, perekat, dan pengawet perekat yang tidak baik kualitasnya, dan pada benang penjilidan yang tidak serasi dengan sampul. Kerusakan pada bahan perpustakaan non-buku seperti kaset, disket, piringan hitam, CD ROM, dan pustaka renik juga disebabkan oleh kualitas bahannya yang tidak baik atau tidak cocok. Pemrosesan bahan non-buku yang kurang baik menyebabkan mudah tercemari oleh jasad renik sehingga bahan non-buku mudah rusak.

2.6.2 Faktor Eskternal

(33)

2.6.2.1Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan adalah faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan koleksi yang disebabkan oleh pengaruh dari lingkungan disekitarnya, antara lain:

1. Kerusakan oleh Cahaya

Cahaya adalah suatu bentuk energi elektromagnetik yang berasal dari radiasi cahaya matahari dan lampu listrik. Cahaya dapat berakibat buruk pada buku jika tidak sesuai dengan standar. Gelombang cahaya mendorong dekomposisi kimiawi bahan-bahan organik, terutama cahaya ultraviolet (UV) dengan gelombang yang lebih tinggi yang bersifat sangat merusak. Dalam ruang baca bahan langka tingkat cahaya yang menyinari bahan pustaka harus rendah tetapi masih tetap nyaman untuk kegiatan membaca.Selain itu cahaya matahari langsung juga harus dihindari.

2. Kerusakan oleh Suhu dan Kelembaban Udara

Sebenarnya kekuatan kertas tidak akan berkurang oleh perubahan suhu yang tidak begitu ekstrim seperti yang terjadi di Indonesia,asalkan kandungan air dalam kertas itu rendah. Suhu udara di Indonesia berkisar antara 20-30 derajat celcius, perbedaan suhu udara antara siang dan malam hari tidak terlalu besar.

(34)

21

higroskopis. Perubahan suhu pada saat kertas mengandung banyak air inilah yang menyebabkan struktur kertas menjadi lemah.

Hubungan antara suhu dan kelembaban udara sangat erat sekali, sebab bila suhu udara berubah, maka kelembaban udarapun turut berubah. Jika suhu udara naik, kelembaban udara akan turun, dan air yang ada dalam kertas dilepas, sehingga kertas menjadi kering dan volumenya menyusut. Pada saat inilah terjadi ketegangan karena molekul-molekul selulosa saling tarik-menarik pada proses penyusutan ini.

3. Kerusakan oleh Debu

(35)

4. Kerusakan oleh Serangga dan Binatang Pengerat

Mahkluk hidup seperti mikroorganisme (jamur), insek dan binatang pengerat merupakan musuh utama kertas pada naskah kuno. Mahkluk-mahkluk ini terutama memilih kertas sebagai tempat hidup karena pada kertas tersedia makanan untuk kelangsungan hidup. Berikut adalah beberapa serangga dan binatang pengerat tersebut, antara lain:

a. Jamur ( Fungi ) b. Kecoa

c. Kutu Buku d. Tikus 2.6.2.2Faktor Manusia

Manusia merupakan penyebab kerusakan benda–benda koleksi naskah kuno di museum, baik disengaja maupun tidak. Faktor yang tidak disengaja dalam hal ini, dapat terjadi karena cara pengambilan dan membawa benda koleksi yang salah. Hal ini, disebabkan karena yangbersangkutan kurang mengerti arti dan fungsi benda koleksi. Sehingga dengan perlakuan yang salah, mengakibatkan benda koleksi setelah sampai di tempat tujuan mengalami kerusakan. Misalnya. Benda koleksi retak, tidak utuh, pecah, berjamur, ada yang hilang. Faktor manusia akibat kesengajaan, hal ini dilakukan karena sengaja merusak dan mengambil obyek-obyek museum untuk kepentingan pribadi.

2.6.2.3Faktor Bencana Alam

(36)

23

buku, selama dalam pelaksanaan konservasi dan restorasi merupakan sebab-sebab kerusakan yang sangat merugikan. Kerusakan yang terjadi karena kebanjiran dan kehujanan akan menimbulkan noda oleh pertumbuhan jamur dan kotoran yang terdapat dalam air. Noda yang timbul oleh jamur sangat sukar di hilangkan karena jamur berakar disela-sela kertas. Kebakaran dapat memusnahkan kertas dalam waktu yang sangat singkat, Oleh sebab itu kita harus menjaga agar kebakaran jangan sampai terjadi.

2.7 Usaha Memperbaiki Koleksi yang Rusak

Untuk memperbaiki koleksi bahan pustaka yang rusak diperlukan suatu usaha atau tindakan perbaikan, usaha tersebut diantaranya sebagai berikut:

1. Pembersihan terhadap noda

Noda yang terjadi pada kertas selain memeberikan kesan kotor, juga dapat menimbulkan karat dan zat asam yang dapat membuat tumbuhnya jamur pada bahan pustaka. Pembersihan yang akan dilakukan tergantung pada jenis noda atau kotoran dan keadaan bahan.

2. Fumigasi

Fumigasi berasal dari kata “fumigation” atau “to fumigati” yang artinya

(37)

pelaksanaanya fumigant akan menjadi uap atau gas pada tekanan dan suhu kamar tertentu.

Dalam mengadakan fumigasi pustakawan harus memperhitungkan jumlah bahan yang akan difumigasi dan luas ruang yang diperlukan. Dengan memperhatikan ruang yang ada maka dipilih pula fumigant yang akan dipergunakan, jenis-jenis fumigant, jumlah yang diperlukan serta lama fumigasi.

Petugas juga harus memperhatikan bahaya dari pemakai zat-zat kimia untuk fumigasi. Tidak satu pun bahan kimia dapat dipakai tanpa alat pengaman, atau tanpa supervisi oleh orang yang berpengalaman dalam bidang ini.

3. Menghilangkan keasaman pada kertas (Deasidifikasi)

Menurut Martoatmodjo (2012) deasidifikasi adalah kegiatan pelestarian bahan pustaka dengan cara menghentikan proses keasaman yang terdapat pada kertas. Keasaman yang terkandung dalam kertas menyebabkan kertas itu cepat lapuk, terutama kalau kena polusi. Bahan pembuat kertas merupakan bahan organik yang mudah bersenyawa dengan udara luar. Agar pengaruh udara tersebut tidak berlanjut, maka bahan pustaka perlu dilaminasi. Agar laminasi efektif, sebelum dikerjakan bahan pustaka dihilangkan atau diturunkan tingkat keasamannya. Ada dua cara menghilangkan keasaman pada bahan pustaka, yaitu cara kering dan cara basah. Sebelum ditentukan cara yang mana yang tepat, maka perlu diukur tingkat keasaman pada dokumen.

(38)

25

kering. Kalau tinta bahan pustaka luntur, maka cara keringlah yang paling cocok. Kalau menggunakan cara basah, harus diperhatikan cara pengeringan bahan pustaka yang ternyata cukup sukar dan harus hati-hati. Kalau hanya sekedar mengurangi tingkat keasaman kertas dan tidak akan dilaminasi, kiranya cara kering lebih aman, sebab tidak ada kekhawatiran bahan pustaka robek. Cara kering ini dapat diulang setiap enam bulan, sampai bahan pustaka dimaksud sudah kurang keasamannya dan dijamin lebih awet.

4. Laminasi

Laminasi adalah suatu proses pelapisan dua permukaan kertas dengan bahan penguat. Laminasi maksudnya adalah menutupi satu lembar di antara dua lembar bahan penguat, Perpustakaan Nasional RI (1995: 93). Laminasi dapat dilakukan dengan cara manual yakni alaminasi dengan tangan dan laminasi dengan modern dengan menggunakan mesin, dimana bahan laminasi sudah di desain dalam bentuk siap pakai. Proses ini menggunakan untuk melestarikan bahan pustaka yang sudah rusak dan akan lebih parah bila dipergunakan lagi, misalnya bahan yang sudah tua, sobek atau rapuh, dan bersifat asam. Sebelum pekerjaan laminasi dilaksanakan, hendaknya bahan sudah mengalami perawatan. Perpustakaan Nasional RI, (1992: 35 ) misalnya:

a. Telah difumigasi

b. Telah dihilangkan nodanya

c. Telah dihilangkan asam yang terkandung didalamnya

(39)

bahan kimia atau laminasi. Karena proses panas (dari mesin), laminasi akan melindungi dokumen. Cara ini banyak digunakan di Indonesia terutama perlindungan dokumen berharga.

Cara lain yang digunakan dalam penanganan bahan pustaka pada laminasi dapat dilakukan dengan pelepasan atau penyemprotan bahan pustaka dengan bahan kimia. Sedangkan laminasi sederhana yang dilakukan secara manual dilakukan dengan cara membentangkan kertas tissue sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan, kemudian diatasnya digelar selembar acetat foil dengan dimensi ukuran yang sama. Lalu diatasnya dihamparkan bahan pustaka yang rusak. Kemudian dipasang lagi kertas tissue dengan ukuran lebih besar daripada halaman yang rusak. Kemudian di ulas dengan cairan acetat pada semua halaman dan dibolak-balik dengan bantuan kapas atau kuas. Persenyawaan cairan aceton menyebabkan acetat foil bersenyawa dengan kertas tissue, baik diatas maupun dihalaman yang rusak, lalu kertas tissue digunting.

5. Enkapsulasi

(40)

27

6. Konservasi Koleksi Audio Visual

Kerusakan suatu film nitrat dapat diperkirakan sebelumnya melalui test kimia dan fisika, misalnya dengan test pelapukan. Dengan test ini dapat disimpulkan berapa tahun film nitrat akan bertahan lama. Daya tahan suatu film juga tergantung dari kondisi penyimpanan dan mutu kerja saat prossing. Dalam merawat koleksi audio visual ini harus disesuaikan dengan temperatur dengan kelembapan udara sehingga bahan pustaka yang berbentuk audio visual dapat bertahan selama mungkin.

2.8 Usaha Pencegahan Kerusakan Koleksi

Pencegahan oleh faktor lingkungan yang terdiri dari cahaya, suhu dan kelembaban, debu serta serangga dan jamur dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:

2.8.1 Faktor lingkungan

1. Pencegahan kerusakan oleh Cahaya

Menurut Mastini Hardjoprakoso (1992, 16), ada beberapa cara mencegah kerusakan karena pengaruh cahaya, antara lain:

a. Memperkecil intensitas cahaya yang digunakan dalam gudang dan ruang baca. Intensitas cahaya yang diizinkan untuk kertas adalah 50 lux.

b. Memperpendek waktu pencahayaan.

c. Menghilangkan radiasi sinar ultra violet yang menimbulkan reaksi foto kimia pada kertas dari sumber cahaya. Kandungn ultra violet yang diizinkan untuk kertas adalah 75 m watt/lumen.

(41)

Cahaya matahari yang masuk lewat jendela baik yang lansung atau yang dipantulkan oleh benda lain mengandung radiasi ultra violet. Oleh sebab itu cahaya yang masuk lewat jendela ini harus disaring atau dipantulkan terlebih dahulu dengan bahan yang dapat menyerap uultra violet agar koleksi terhindar dari kerusakan.

Untuk melindung kertas dari radiasi sinar ultra violet ini, tindakan yang harus diambil adalah memasang filter pada kaca jendela dengan lembaran plastik plexy glass type UF-3 atau UV filtering polyster film yang bias ditempelkan pada kaca jendela. Plexy glass yang tipis bias digunakan sebagai filter untuk menyaring ultra violet dari cahaya lampu listrik (dalam vitrin atau langit-langit ruangan), sedangkan yang tebal bias dipasang pada kaca jendela.

2. Pencegahan kerusakan oleh suhu dan kelembaban udara

(42)

29

Menurut Mastini Hardjoprakoso (1992, 18), untuk mengurangi kelembaban udara dalam ruangan penyimpanan dapat menggunakan alat

dehumidifier. Alat ini dapat menyerap uap air dari udara. Dalam menggunakan alat ini, ruangan harus selalu tertutup dan dehumidifier harus dipasang diluar ruangan karena alat ini mengeluarkan panas yang berbahaya bagi kertas.

Alat yang digunakan untuk mengukur temperatur dan kelembaban udara adalah: thermohygrometer, psychrometer, thermohygraph, sling psychrometer atau whirling psycrometer.

3. Pencegahan kerusakan oleh Debu

Menurut Razak (1992, 38) banyak yang dapat dilakukan untuk mengurangi permasalahan debu jika pengatur udara tidak dapat disediakan yaitu dengan cara:

menjamin supaya pintu dan jendela tertutup rapat, menggunakan pita perekat pada pintu dan jendela, menggunakan jendela berengsel daripada jendela sorong karena jendela ini tidak pernah bebas dari debu. Debu dan kotoran yang tidak meresap kedalam naskah dapat dihilangkan dengan metode kering. Alat-alat yang digunakan untuk melakukan cara ini adalah sikat halus, kuas, spon, vacuum cleaner, sedangkan untuk kotoran yang sukar dibersihkan dengan alat-alat tersebut dapat dibersihkan dengan menggunakan penghapus karet. 4. Pencegahan Serangga dan Jamur

(43)

dengan benar agar bahan kimia tersebut tidak menyebabkan keruskan pada buku itu sendiri dan cukup aman untuk digunakan serta tidak membahayakan manusia. Lingkungan yang lembab, gelap, sirkulasi udara kurang merupakan lingkungan yang ideal bagi serangga, untuk itu suhu dan kelembaban udara harus benar-benar dimonitor.

2.8.2 Faktor Manusia

Pencegahan kerusakan koleksi di museum juga perlu disosialisasikan kepada manusia sebagai pengelola, pengguna maupun pencari informasi. Perlindungan terhadap koleksi museum merupakan tanggung jawab dari petugas pengelola di museum, namun petugas juga sering lalai sehingga dapat menimbulkan kerusakan koleksi. Selain itu penyebab kerusakan lainnya disebabkan oleh pengunaan yang ceroboh oleh para pengguna koleksi naskah. Untuk mencegah kerusakan-kerusakan ini dapat ditempuh dengan cara memberikan pemahaman kepada pengguna dan petugas pengelola sendiri tentang pentingnya koleksi yang telah di himpun didalam museum tersebut.

Menurut Mastini Hardjoprakoso (1992, 15) untuk melindungi koleksi dari pencurian maka perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pemasangan alarm sistem, terutama untuk menghindari pencurian pada jam-jam kantor.

2. Perlu pemeriksaan identitas pemakai jasa

3. Perlu dipasang pengumuman bahwa pengunjung dilarang membawa tas, mantel, payung kedalam ruangan. Bila perlu diadakan pemeriksaan pada pengunjung yang keluar dari ruangan.

(44)

31

2.8.3 Faktor Bencana Alam

Banyak kemungkinan yang terjadi sehingga koleksi di museum terancam keamanan fisik dan nilai informasi yang terkandung didalamnya. Terutama bencana alam. Untuk itu perlu dilakukan pencegahan atas kerusakan koleksi yang di akibatkan oleh bencana alam yaitu :

1. Pencegahan kerusakan oleh Api

Menurut Mastini Hardjoprakoso (1992, 16) Untuk mencegah kerusakan-kerusakan yang lebih parah lagi perlu adanya suatu tindakan preventif seperti: a. Memasang smoke detektor pada tiap ruangan dalam ruang

penyimpanan.

b. Instalansi listrik harus diperiksa secara awal. c. Dilarang keras merokok dalam ruangan.

d. Alat pemadam api harus dipasang ditempat-tempat yang mudah dijangkau.

2. Pencegahan Kerusakan oleh Air

Air dapat merusak bahan pustaka seperti halnya api. Air dapat berasal dari reservoir pemadam kebakaran, pipa yang bocor, atap yang bocor, kebanjiran, dan lain-lain. Untuk menghindari kerusakan karena air,maka sebelum memasukan bahan pustaka ke dalam suatu ruangan, harus dilakukan penyempurnaan sebagai berikut:

a. Memperbaiki atap yang bocor.

(45)

2.9 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang pernah dilakukan mengenai preservasi dan konservasi yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, sehingga beberapa poin penting dari hasil penelitian sebelumnya dapat dijadikan dasar dalam penelitian ini.

Penelitian oleh Penelitian oleh Ni Putu Wahyu (2008) yang meneliti tentang Preservasi Naskah Lontar di Perpustakaan Universitas Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi kondisi fisik dari naskah dan memaparkan kegiatan preservasi naskah lontar di perpustakaan Universitas Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif dengan observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan preservasi naskah lontar di Perpustakaan Universitas Indonesia terhambat karena adanya beberapa kendala yaitu kurangnya sumber daya manusia di ruang naskah, anggaran, dan fasilitas serta masalah teknis, seperti belum adanya kebijakan dan standar operasional prosedur kerja.

(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Gambaran Umum ( Latar penelitian )

Berawal dari gagasan seorang misionaris Belanda bernama Joosten Leonardus Edigius yang lebih dikenal sebagai Pastor Leo Joosten Ginting (bere-bere Sitepu). Terpanggil untuk mengemban tugas melaksanakan upaya melestarikan nilai-nilai budaya Karo, mengingat tugas gereja yang luhur dalam menjunjung tinggi nilai-nilai budaya semua bangsa dan suku di dunia ini, sebagaimana dirumuskan oleh Konsili Vatikan II dalam Sacrosanctum Concilium nomor 37 dan Konsili Gaudium et Spes nomor 53-62. Para sahabat di Tanah Karo dikumpulkan untuk berbagi “kegelisahan” dan untuk menghimpun barang-barang dan perkakas-perkakas sebagai Pusaka Karo yang akan dipamerkan berikut ratusan gambar “tempoe doeloe” yang sudah

ditemukan dari berbagai sumber dan media.

(47)

Museum Pusaka Karo yang merupakan bekas gedung Gereja Katolik (lama) di jalan Perwira No. 3 Berastagi, mulai dibangun pada tahun 2010 dan diresmikan pada tanggal 9 Februari 2013 oleh Dirjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya, Ahman Sya dan ibu Lisa Tirto yang menjadi penyandang dana (sponsor) pendirian museum dan rumah adat Karo “Rumah Gugung Tirto Meciho”.

Proses preservasi dan konservasi sudah dilakukan namun masih dalam tahapan sederhana, yang ditunjukan oleh beberapa koleksi sudah rusak, tulisan dalam lembaran kertas tidak tampak jelas, banyak coretan, beberapa buku tidak memiliki sampul lagi, berdebu dan tidak tersusun rapi di rak penyimpanan. Kondisi tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang kegiatan preservasi dan konservasi pada koleksi tercetak (buku) di Museum Pusaka Karo.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Museum Pusaka Karo, yang berlokasi di jalan Perwira No. 3 Berastagi - Sumatera Utara. Peneliti memilih lokasi tersebut sebagai tempat penelitian karena letak museum berada di pusat kota Berastagi sehingga untuk mengakses museum tersebut sangat strategis. Koleksi tercetak di Museum Pusaka Karo menyimpan informasi penting yang perlu dirawat dan dipelihara keutuhan fisiknya sehingga isi informasinya terlindungi.

3.3 Metode Penelitian yang Digunakan

(48)

35

menghasilkan data deskriptif: Ucapan atau tulisan dan perilaku yang diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri. Dalam penelitian ini peneliti hanya menggambarkan keadaaan atau situasi yang terjadi pada saat sekarang berdasarkan survey yang telah dilakukan dengan cara observasi dan wawancara.

3.4 Data dan Sumber Data

Sumber data yang peneliti peroleh untuk melengkapi data-data dalam kegiatan penelitian ini terdiri dari 2 sumber, antara lain:

1. Sumber data Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh langsung dari sumber asli. Data primer dapat berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok. Sumber data primer pada penelitian ini peneliti peroleh dari informan di Museum Pusaka Karo, dalam hal ini adalah pengelola Museum pusaka Karo berjumlah dua orang.

2. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh orang lain). Sumber data sekunder pada penelitian ini peneliti peroleh dari buku, majalah, artikel dan jurnal yang mengulas tentang preservasi dan konservasi buku.

3.5 Prosedur Pengumpulan Data

(49)

1. Mengidentifikasi Informan

Informan merupakan orang yang benar-benar mengetahui permasalahan yang akan diteliti dan bersedia memberikan informasi kepada peneliti. Dalam penelitian kualitatif, informan sangat memiliki posisi terpenting sebagai narasumber dalam penelitian. Informan merupakan tumpuan pengumpulan data bagi peneliti dalam mengungkap permasalahan penelitian (Sutopo 2002, 50).

Informan dalam penelitian ini adalah para petugas pengelola koleksi di Museum Pusaka Karo. Hal ini dilakukan dengan cara mensurvei terlebih dahulu pada lokasi Museum Pusaka Karo.

2. Menentukan Informan

Penentuan informan dalam penelitian ini adalah memilih informan yang dianggap mengetahui dan mampu memberikan keterangan terhadap masalah yang diteliti. Teknik pengambilan informan dilakukan secara purposif.

Purposive sampling adalah “teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2006, 61).’’ Maka informan dalam penelitian ini adalah

(50)

37

3.6 Teknik Pengumpulan Data 1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) sebagai pengaju/pemberi pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewed) sebagai pemberi jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Tujuan wawancara adalah untuk mengumpulkan data dan informasi yang lengkap, akurat, dan adil. Pedoman wawancara diperlukan agar tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara juga disusun berdasarkan dengan teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Wawancara terstruktur adalah wawancara yang digunakan oleh peneliti, dimana wawancara terstruktur adalah wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Pada penelitian ini, peneliti mewawancarai pengelola koleksi Museum Pusaka Karo. Peneliti menggunakan metode wawancara yang terstruktur serta memiliki pedoman wawancara. Selain alat tulis sebagai alat bantu peneliti juga menggunakan perekam suara karena pada dasarnya pengamatan dan ingatan manusia yang sangat terbatas.

2. Observasi

(51)

serta ruangan tempat penyimpan koleksi bahan pustaka yang dimiliki Museum Pusaka Karo.

3. Dokumentasi

Menurut Gulo (2002, 123) dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara mencatat berbagai kegiatan atau peristiwa pada waktu yang lalu. Peneliti melakukan pencatatan informasi di Museum Pusaka Karo yang didapatkan dari informan pada saat observasi dan wawancara berlangsung, serta peneliti melengkapi dengan foto-foto koleksi yang ada di Museum Pusaka Karo.

3.7 Analisis Data

Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan kepada orang lain. Adapun tahapan-tahapan yang harus dilakukan diantara adalah sebagai berikut:

1. Reduksi data

(52)

39

koleksi bahan pustaka tersebut. (2) peneliti menyusun data dalam satuan-satuan yang sejenis sebagai kegiatan kategorisasi. (3) peneliti membuat koding data sesuai dengan kisi-kisi kerja penelitian, disini peneliti membuat data sesuai dari hasil wawancara dan observasi di lokasi Museum Pusaka Karo.

2. Display Data

Display data diartikan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan penyajian data, peneliti akan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan berdasarkan pemahaman tentang penyajian data. Pada penelitian ini peneliti mengumpulkan data dari informan di Museum Pusaka Karo, setelah mengumpulkan data tersebut, peneliti kemudian mencoba memahami data yang telah didapat dari informan tersebut, kemudian peneliti menyajikan data yang telah didapat dari informan, yang datanya berupa kegiatan preservasi dan konservasi koleksi di Museum Pusaka Karo dan faktor-faktor kerusakan yang terjadi pada koleksi tersebut.

3. Mengambil Kesimpulan dan verifikasi

(53)

dengan bertambahnya data, maka kesimpulan itu lebih berkembang. Jadi kesimpulan senantiasa harus diverifikasi selama penelitian berlangsung. Pada penelitian ini peneliti menarik kesimpulan dari hasil observasi dan wawancara terhadap informan, kemudian untuk lebih menguji kebenaran dari data tersebut, maka data tersebut di verifikasi sehingga peneliti mendapatkan data yang akurat dan interpretasi data yang jelas.

3.8 Pemeriksaan dan Pengecekan Keabsahan Data (Validity of data)

Untuk menjaga keabsahan data dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan beberapa metode triangulasi, yaitu teknik yang dilakukan dengan meminta penjelasan lebih lanjut. Menurut Pawito (2007, 99-100) jenis teknik triangulasi yaitu:

1. Triangulasi Metode

Triangulasi metode dilakukan dengan cara membandingkan informasi atau data dengan cara yang berbeda, dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara dan observasi.

2. Triangulasi Antar Peneliti

(54)

41

3. Triangulasi Sumber Data

Menggunakan berbagai sumber data seperti hasil wawancara dan hasil observasi. Peneliti dalam hal ini mewawancarai informan yakni pengelola koleksi di Museum Pusaka Karo serta para pegawai fungsional di Museum tersebut untuk mendapatkan data yang lebih lengkap disertai oleh observasi dan dokumentasi yang dilakukan oleh penulis pada Museum Pusaka Karo.

4. Triangulasi Teori

(55)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Informan

[image:55.612.220.448.302.357.2]

Informan dalam penelitian ini adalah Kepala dan staf Pengelola Koleksi Tercetak di Museum Pusaka Karo. Adapun karakteristik dari para informan tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1 : Karakteristik Informan

Informan pertama (I1) adalah responden yang berhasil diwawancarai dengan perkenalan pendekatan terlebih dahulu, begitu juga dengan responden I2. Kemudian diminta waktu dan kesediaannya untuk diwawancarai, dengan menjelaskan terlebih dahulu maksud dan tujuan pada penelitian dan yang dilakukan melalui wawancara. Setelah perkenalan barulah dilakukan wawancara.

Wawancara berlangsung secara informal, dimana wawancara dilakukan dengan pedoman wawancara dan wawancara secara mendalam. Suasana dan kondisi wawancara bersifat alamiah artinya apa adanya dan tidak dibuat-buat atau tidak diatur sedemikian rupa untuk tujuan tertentu. Begitu juga dengan bahasa yang digunakan tidak formal (informal). Wawancara dilakukan berulang jika peneliti merasa ada yang perlu ditambahi atau kurang jelas dari wawancara sebelumnya. Untuk informan

Kode Status

I1 Kepala Pengelola

(56)

43

selanjutnya, peneliti terus berusaha untuk mencari keterangan yang lebih jelas dan lengkap.

4.2 Kategori

Setelah melakukan wawancara peneliti menyusun kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam melakukan coding, memilih data yang relevan dengan judul penelitian sehingga menghasilkan beberapa kategori sebagai berikut: 4.2.1 Kondisi Koleksi Tercetak (Buku)

Untuk mengetahui kondisi koleksi tercetak (buku) maka peneliti mewawancarai informan I1 dan I2. Berikut adalah petikan wawancara mengenai kondisi koleksi tercetak (buku):

Pertanyaan: bagaimana kondisi tercetak (buku) di Museum Pusaka Karo? “kondisi koleksi tercetak atau buku-buku yang ada di ruang baca

sebagian ada yang mengalami kerusakan, mulai dari kerusakan ringan

seperti adanya coretan di halaman-halaman buku sampai kerusakan yang

berat seperti tulang buku yang sudah rusak dan lem di punggung buku sudah

terkelupas sehingga sulit untuk membacanya serta beberapa buku yang tidak

memiliki sampul, disamping itu sebagian buku masih dalam keadaan baik dan

layak baca”

“kondisi koleksi tercetak dalam hal pengklasifikasiannya masih

sangat sederhana, kami belum dapat membuat nomor kelas seperti yang ada

di perpustakaan yang menggunakan standar yang telah ada, jadi kami susun

(57)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa kondisi koleksi tercetak sebagian mengalami kerusakan dengan berbagai tingkat kerusakan mulai dari kerusakan ringan sampai kerusakan berat dan sebagian lagi masih dalam kondisi baik, belum mengalami kerusakan.

4.2.2 Preservasi dan Konservasi

Preservasi dan konservasi terhadap koleksi tercetak (buku) yang dilakukan oleh pengelola koleksi tercetak di Museum Pusaka karo dapat dikutip melalui hasil wawancara dengan informan I1 dan I2 sebagai berikut:

Pertanyaan: Bagaimana kegiatan preservasi dan konservasi koleksi tercetak (buku)?

“preservasi ataupun perawatan yang kami lakukan untuk menjaga kondisi

fisik buku-buku yaitu dengan menjaga kebersihan ruangan dan menegaskan

kepada pengunjung agar bekerjasama dalam perawatan koleksi tercetak”

“perawatan atau preservasi dan pemeliharaan atau konservasi yang kami

lakukan untuk menjaga kondisi fisik buku serta infomasi yang terkandung di

dalamnya masih sangat sederhana hanya menaruh kapur barus untuk

mencegah kerusakan buku-buku, karena belum mengetahui berbagai tindakan

yang lebih intens mengenai hal tersebut terhadap koleksi tercetak”

(58)

45

belum mengetahui beberapa tindakan preventif dan kuratif lainnya dalam preservasi dan konservasi koleksi tercetak.

4.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Koleksi Tercetak (buku)

Dari hasil wawancara dengan informan, yang mempengaruhi kerusakan koleksi tercetak (buku) ada beberapa faktor, diantaranya adalah manusia dan binatang pengerat. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan informan I1 dan I2:

Pertanyaan: apa saja faktor yang mempengaruhi kerusakan koleksi?

“ ada beberapa faktor yang mempengaruhi kerusakan koleksi tercetak

(buku) yang terjadi di Museum Pusaka Karo misalnya dimakan rayap atau

hewan pengerat, dimakan usia, kerusakan akibat debu serta ulah pembaca

ataupun pengunjung yang membaca buku kurang menjaga kondisi buku”

“ sudah pernah terjadi pengunjung tidak mengembalikan buku yang

dipinjam untuk difotokopi sehingga kami tidak memperbolehkan lagi pembaca

membawa buku keluar dari ruang baca, hanya dibaca di tempat dan boleh

mendokumentasikannya”

Berdasarkan uraian di atas dapat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi kerusakan bahan pustaka yaitu faktor internal seperti kerusakan yang terjadi dari bahan buku, usia buku. Faktor eksternal yaitu binatang pengerat, debu serta manusia. 4.2.4 Usaha Memperbaiki Koleksi Tercetak (Buku) yang Rusak

(59)

Pertanyaan: upaya apa saja yang dilakukan untuk memperbaiki koleksi tercetak (buku) yang rusak?

”ketika terjadi kerusakan pada buku-buku, upaya yang kami lakukan

untuk memperbaiki koleksi tercetak (buku) yang rusak dengan menjidid

kembali dan apabila ada yang robek ditempel kembali menggunakan lem”

”sebisa mungkin buku yang rusak diperbaiki”

Dari hasil wawancara di atas dapat dikatakan bahwa usaha yang dilakukan dengan menjilid ulang dan menempel kembali buku yang rusak, belum ada tindakan yang lebih intens dalam memperbaiki buku yang rusak seperti pembersihan terhadap noda, fumigasi, dan enkapsulasi buku untuk penanganan buku yang sudah tua atau usang.

4.2.5 Usaha yang dilakukan dalam pencegahan kerusakan koleksi Tercetak (buku)

Usaha yang dilakukan dalam pencegahan kerusakan koleksi tercetak (buku) oleh pengelola dapat dilihat dari hasil wawancara dengan informan yaitu sebagai berikut:

Pertanyaan: apa saja usaha yang dilakukan dalam hal pencegahan kerusakan koleksi tercetak (buku)?

” usaha yang kami lakukan dalam pencegahan kerusakan koleksi

tercetak (buku) yaitu dengan menjaga kebersihan ruangan penyimpanan agar

(60)

47

kepada pengunjun, menggunakan bahan kimia seperti kapur barus untuk

mencegah kerusakan oleh binatang pengerat serta memastikan bahwa

ruangan penyimpanan terhindar dari kebocoran agar air tidak merusak

buku-buku”

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa usaha yang dilakukan dalam mencegah kerusakan koleksi tercetak (buku) masih sederhana, belum memperhatikan beberapa faktor penting seperti efek pencahayaan dalam ruangan penyimpanan, suhu dan kelembaban udara di ruangan, peralatan pencegah terjadinya kebakaran (alat pemadam api) dan beberapa rambu-rambu peringatan seperti dilarang merokok, dilarang makan dan minum yang dapat juga mencegah kerusakan koleksi tercetak (buku).

4.3 Rangkuman Hasil Penelitian

[image:60.612.113.529.581.701.2]

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan para informan, melalui proses analisis data yang menjaga keabsahan data, sehingga diperoleh beberapa kategori Preservasi dan Konservasi Koleksi Tercetak (Buku) di Museum Pusaka Karo adalah sebagai berikut :

Tabel 4.2. : Rangkuman Hasil Penelitian

No Kategori Keterangan

(61)

2. Preservasi dan Konservasi Koleksi Tercetak (Buku)

Mengajak pengunjung agar bekerjasama untuk menjaga kondisi fisik buku dan memelihara buku-buku agar dapat digunakan untuk jangka waktu yang lebih lama. 3. Faktor yang Mempengaruhi

Kerusakan Koleksi Tercetak (Buku)

Manusia dan binatang pengerat.

4. Usaha Memperbaiki Koleksi Bahan pustaka yang Rusak

Menjilid dan menempel buku yang rusak.

5. Usaha Pencegahan Kerusakan Koleksi Tercetak (Buku)

(62)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan data yang diperoleh dan pembahasan yang dilakukan, maka peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kegiatan preservasi dan konservasi koleksi tercetak (buku) di Museum Pusaka Karo berjalan kurang baik, dilihat dari pemeliharaan, perawatan, perbaikan dimana kegiatan preservasi dan konservasi dilaksanakan seadanya saja dan masih minimnya pengetahuan tentang preservasi dan konservasi koleksi tercetak yang dimiliki oleh pengelola dan staf.

2. Faktor-faktor penyebab kerusakan koleksi tercetak (buku) di Museum Pusaka Karo adalah oleh rayap atau hewan pengerat serta ulah pembaca ataupun pengunjung yang membaca buku kurang menjaga kondisi buku, serta sudah pernah terjadi pengunjung tidak mengembalikan buku yang dipinjam untuk difotokopi sehingga pembaca tidak memperbolehkan lagi membawa buku keluar dari ruangan hanya dibaca ditempat dan boleh mendok

Gambar

Tabel 4.1 : Karakteristik Informan
Tabel 4.2. : Rangkuman Hasil Penelitian
No. Faktor-Faktor Tabel 4.3 Penyebab Kerusakan Koleksi Ada  Tidak
No. Tabel 4.4 Usaha Pencegahan Kerusakan Koleksi Ada
+5

Referensi

Dokumen terkait

Selain dari adanya interaksi antara tenaga kerja di perusahaan domestik dengan di perusahaan asing, juga kehadiran modal asing dalam wilayah maupun industri yang sama yang

Penelitian dilakukan dengan membandingkan aktivitas ovarium kanan dan kiri dalam hal panjang, lebar, jumlah korpus luteum, ukuran korpus luteum, jumlah folikel, dan

NO KD IPK INDIKATOR SOAL RUMUSAN BUTIR SOAL KUNCI JAWABAN BUKU SUMBER 1 3.7 Membandingkan fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan beberapa teks

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar bermain bolavoli melalui model pembelajaran Team Game Turnamnt (TGT) dan Modifikasi media

Untuk membukt ikan bahwa dua himpunan adalah himpunan yang sama maka harus dibukt ikan bahwa himpunan pert ama merupakan subset dari himpunan kedua, dan himpunan kedua merupakan

Konsentrasi P-total air di tiap zona

Terkait dengan permasalahan yang ada di wilayah pemeritahan Kota Langsa belum semua masyarakat yang melakukan budaya perilaku hidup bersih dan sehat serta kondisi Potensi

Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo yang telah memberikan kesempatan menyusun Laporan Tugas Akhir ini.. SST,.M.Kes, selaku pembimbing I yang