• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ukuran Dan Bentuk Hidung Pada Suku Batak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Ukuran Dan Bentuk Hidung Pada Suku Batak"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

UKURAN DAN BENTUK HIDUNG

PADA SUKU BATAK

TESIS

Oleh

Budi Mulyana

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

BIDANG STUDI ILMU PENYAKIT THT KL

MEDAN

(2)

UKURAN DAN BENTUK HIDUNG

PADA SUKU BATAK

TESIS

Diajukan sebagai pelengkap tugas dalam memenuhi salah satu syarat untuk mencapai spesialis di bidang Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok

Kepala Leher Oleh

Budi Mulyana

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

BIDANG STUDI ILMU PENYAKIT THT KL MEDAN

(3)

HALAMAN PENGESAHAN Medan, Desember 2007

Tesis dengan judul

UKURAN DAN BENTUK HIDUNG PADA SUKU BATAK Diketahui oleh

Ketua Departemen Ketua Program Studi

Prof. Dr. Abdul Rachman SpTHT KL(K) Prof. Dr. Askaroellah Aboet SpTHT KL(K) Telah disetujui dan diterima baik oleh Pembimbing:

Ketua

Dr.Muzakkir Zamzam SpTHT KL(K) Anggota

(4)

Kata Pengantar

Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, saya panjatkan puji

syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karuniaNyalah saya dapat

menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini, Penulisan tesis ini merupakan

salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh

spesialisasi dalam bidang Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Bedah

Kepala dan Leher pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan

penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang

telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program

Pendidikan Dokter Spesialis I di fakultas ini.

Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, yang

telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja di

lingkungan Rumah Sakit ini.

Prof. Dr. A.Rachman Saragih SpTHT-KL(K) sebagai Kepala Departemen

THT- FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan dan sekaligus Ketua Program Studi

sewaktu kami memulai pendidikan, yang telah banyak memberikan bimbingan,

pengarahan dorongan dan nasehat serta petunjuk yang sangat berguna selama

saya mengikuti pendidikan di Bagian THT-KL FK USU/RSUP H.Adam Malik

(5)

Prof. Dr. Askaroellah Aboet, SpTHT-KL(K), selaku Ketua Program Studi

Pendidikan Dokter Spesialis I di Bagian THT-KL FK USU/RSUP H.Adam Malik

Medan, yang telah banyak memberikan bimbingan dan dorongan semangat

kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan program pendidikan ini.

Dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K), sebagai ketua pembimbing tesis,

DR. Dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K) dan Prof.Dr. Ramsi Lutan SpTHT-KL(K)

sebagai anggota pembimbing tesis, yang telah begitu banyak memberikan

petunjuk, serta bimbingan dan dorongan sehingga saya dapat menyelesaikan

tesis ini. Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang

setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada saya selama

penyelesaian penulisan tesis ini.

Para supervisor di jajaran Bagian THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik

Medan, sesepuh kami Prof. Dr. Adenin Adenan, SpTHT(almarhum), Dr. Basyroel

Shah, SpTHT (almarhum), Dr. Erwin L. Tobing, SpTHT, Dr.Asroel Aboet,

SpTHT-KL, Dr. Yuritna Haryono, SpTHT-KL(K), Dr.Sofya Hanum, SpTHT-KL(K), Dr.

Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL, Dr.Linda Adenin, KL, Dr. Hafni,

SpTHT-KL(K), Dr.Rizalina Asnir, SpTHT-KL, Dr. Ida Syailendra, SpTHT-KL, Dr Ainul

Mardhiah, SpTHT-KL, Dr. Harry A Asroel Sp.THT-KL, Dr. Siti Hajar Haryuna,

SpTHT-KL yang telah banyak memberikan bimbingan dalam ilmu pengetahuan

di bidang THT kepada kami baik secara teori maupun keterampilan yang kiranya

sangat bermanfaat bagi kami di kemudian hari .

Bapak Kepala Bagian/ Staf Radiologi FK USU/ RSUP H. Adam Malik

(6)

Anestesi FK USU/ RSUP. H.Adam Malik Medan, Kepala Bagian/ Staf Patologi

Anatomi FK USU/ RSUP H.Adam Malik Medan, yang telah memberikan

bimbingan kepada kami selama menjalani masa stase asisten di bagian

tersebut.

Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan, Direktur RSU Lubuk Pakam, Direktur

RS Tembakau Deli Medan dan Direktur RS Tentara Medan, yang telah memberi

kesempatan kepada kami untuk belajar dan menjalani stase asisten di ke empat

rumah sakit tersebut.

Dr. Arlinda Sri Wahyuni M.Kes, selaku konsultan statistik dan pengolahan

data penelitian ini.

Yang tercinta teman-teman sejawat peserta pendidikan keahlian ilmu

penyakit THT Bedah Kepala dan Leher yang telah bersama-sama baik dalam

suka maupun duka, saling bantu membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan

yang erat.

Yang mulia ayahanda H. Achmad Buchari (almarhum) dan Ibunda Hj.

Yusni Tandjung yang dengan segala daya upaya telah mengasuh, membesarkan

dan membimbing kami dengan penuh kasih sayang semenjak kecil hingga

dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, agama, bangsa dan

negara, dengan memanjatkan doa kehadirat Allah SWT, ampunilah dosa kami

dan kedua orang tua kami serta kasihilah mereka sebagaimana mereka

mengasihi dan menyayangi kami sewaktu kecil. Terimakasih juga kami tujukan

kepada kakak-kakak kami yang telah memberikan dorongan semangat selama

(7)

Yang terhormat mertua kami H. Masri Nur dan Hj. Murni serta abang dan

adik ipar yang telah memberi dorongan semangat kepada kami sehingga selesai

pendidikan ini.

Kepada isteriku tercinta Hj.Dewi Masri serta anak-anakku tersayang

Muhammad Yusuf Khalid, Muhammad Ilham Badruzzaman, Muhammad Danish

Rabbani dan Ahmad Hadi Ramadhan, tiada kata yang lebih indah yang dapat

diucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus tulusnya atas pengorbanan,

kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya

sehingga dengan ridha Allah SWT akhirnya kita sampai pada saat yang bahagia

ini.

Kepada seluruh kerabat dan handai tolan yang tidak dapat kami sebutkan

satu persatu, yang telah memberikan bantuan, kami ucapkan terima kasih.

Akhirnya ijinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas

kesalahan dan kekurangan kami selama mengikuti pendidikan ini, semoga

segala bantuan, dorongan petunjuk kepada kami selama mengikuti pendidikan

kiranya mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Yang Maha

Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang, Amin, Amin Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, September 2007

Penulis

(8)

ABSTRAK

UKURAN DAN BENTUK HIDUNG PADA SUKU BATAK

Budi Mulyana, Muzakkir Zamzam, Delfitri Munir, Ramsi Lutan

Tujuan: Untuk menentukan bentuk hidung dan ukuran hidung pada suku

Batak, mengetahui bentuk dan ukuran dan sudut-sudut bahagian dari

hidung suku Batak, mengetahui bentuk dan ukuran hidung menurut jenis

kelamin pada suku Batak.

Metode: Disain penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif

analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel terdiri dari 62 orang

yang terdiri dari laki-laki 29 orang dan perempuan 33 orang pada suku

Batak dari 3 generasi. Seluruh sampel difoto dan dilakukan pengukuran

secara langsung pada hidung dan pada foto yang telah dicetak.

Hasil: Rata-rata panjang hidung 4,17 cm, rata-rata tinggi hidung 1,36 cm,

rata-rata lebar hidung 3,82 cm dan rata-rata nasal index 92,33, rata-rata

sudut nasofrontal 123,530, nasomental 128,150, nasolabial 88,180,

nasofasial 40,440. Rata-rata panjang hidung, tinggi hidung dan lebar

hidung laki-laki suku Batak lebih besar dari perempuan suku Batak. Sudut

nasofrontal perempuan suku Batak lebih besar dari laki-laki.

Kesimpulan: Mayoritas pada suku Batak memiliki tipe hidung Platyrrhine.

(9)
(10)
(11)

BAB 5. PEMBAHASAN……….. 51

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 55

5.1 Kesimpulan... 55

5.2 Saran... 56

KEPUSTAKAAN... 57

LAMPIRAN KUESIONER... 62

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Karakter hidung secara umum berdasarkan bentuk hidung... 33

Tabel 4.1 Distribusi sampel menurut umur... 42

Tabel 4.2 Distribusi jenis kelamin... 43

Tabel 4.3 Distribusi bentuk hidung... 44

Tabel 4.4 Sebaran parameter hidung sampel... 45

Tabel 4.5 Sebaran karakteristik sudut estetik hidung sampel... 46

Tabel 4.6 Karakter nasal index hidung sampel... 46

Tabel 4.7 Hubungan bentuk hidung dengan jenis kelamin... 47

Tabel 4.8 Hubungan ukuran anatomi hidung dengan jenis kelamin... 49

(13)

DAFTAR DIAGRAM

Halaman

Diagram 4.1 Distribusi umur...43

Diagram 4.2 Distribusi jenis kelamin...44

Diagram 4.3 Distribusi bentuk hidung...44

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Landmark Anatomi wajah... 23

Gambar 2.2 Sudut Nasolabial... 24

Gambar 2.3 Sudut Nasofrontal... 24

Gambar 2.4 Sudut nasofasial... 25

Gambar 2.5 Sudut Nasomental... 25

Gambar 2.6 Ragam bentuk hidung bila dilihat dari basal... 33

Gambar 2.7 Penampakan frontal, lateral kiri dan dasar hidung... 34

Gambar 2.8 Garis Frankfort... 35

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengetahuan mengenai perbedaan anatomi hidung menurut ras cukup

penting bila hendak mengerjakan rinoplasti. Di luar Indonesia sudah banyak

penelitian mengenai bentuk hidung, sementara di Indonesia sendiri belum begitu

banyak dijumpai penelitian mengenai hal ini. Bentuk hidung menurut antropologi

dapat dibagi dalam 3 golongan besar, yaitu golongan Leptorrine/Kaukasian

(Orang Barat), Mesorrhine/Asian dan golongan Platyrrhine/Afrika. Ukuran bentuk

hidung di sini menggunakan nasal indeks yaitu rasio dari lebar hidung antara

bagian terluar dari ala nasi dengan panjang hidung (Affandi, 2000)

Pada hidung Asian ketinggian tulang hidung sedang, lubang hidung oval,

lebar ke tengah. Pada hidung Afrika hidung pesek/rendah, lubang hampir bulat

dan datar. Pada ras Kaukasian umumnya tulang hidung lebih tinggi dan lebih

sempit, lubang hidung oval ke atas, tulang rawan upper lateral dan lower lateral

lebih besar. Sedangkan pada ras Oriental tulang hidung tidak terlalu tinggi dan

lebih lebar dan tulang rawan upper dan lower lateral lebih kecil. Selain bentuk ini

terdapat variasi-variasi diantara bentuk hidung dari ketiga golongan ini misalnya

orang Indonesia atau Oriental termasuk diantara golongan Asian dan Afrika

(Affandi, 2000).

Rahmawati et al (2006) Pada penelitiannya terhadap suku-suku di

(16)

sudut nasofrontal hidung antara suku Bugis dan Makasar terhadap suku Toraja

dan Mandar. Ditemukan jarak nasal ke subnasal pada laki-laki lebih besar dari

perempuan, demikian pula pada sudut nasofasial. Sedangkan sudut nasofrontal

dan sudut nasolabial lebih besar pada jenis kelamin perempuan. Nasal indeks

laki-laki suku Makasar termasuk kedalam platyrrhine sedangkan perempuan

suku Makassar termasuk kedalam mesorrhine Sedangkan nasal indeks laki-laki

dan perempuan suku Toraja termasuk dalam mesorrhine (Rahmawati et al,

2006).

Kami jadikan suku Batak sebagai sasaran penelitian karena penduduk

terbanyak di kota Medan adalah suku Batak.

1.2. Perumusan Masalah

Pada suku Batak belum ada data ukuran dan bentuk hidung. Dengan

alasan itulah maka kami ingin meneliti ukuran dan bentuk hidung pada suku

Batak di Medan.

1.3. Tujuan Penelitian

(17)

a. Tujuan Umum

Untuk menentukan bentuk hidung dan ukuran hidung pada

suku Batak.

b. Khusus

• Mengetahui ukuran dan sudut-sudut bahagian dari hidung

suku Batak.

• Mengetahui bentuk dan ukuran hidung menurut jenis kelamin

pada suku Batak.

1.4. Manfaat Penelitian

• Sebagai acuan dalam melakukan bedah rinoplasti pada suku

Batak.

• Dapat menentukan pola implant yang akan digunakan pada

augmentasi rinoplasti pada suku Batak.

• Mengetahui lebih detail bagian hidung serta ukurannya pada

suku Batak

• Memberikan kontribusi dalam menentukan bentuk hidung

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung

Pembahasan tentang anatomi hidung luar dimulai dengan konteks yang

lebih luas mengenai struktur wajah. Secara umum, hidung menempati bagian

sepertiga tengah vertikal wajah, dari nasal ke subnasal dan seperlima di tengah

di antara kedua kantus media. Variasi dimensi dan posisi hidung dapat

menyebabkan hidung keluar dari batasan tersebut diatas. Perbedaan ini sering

menarik perhatian dan mendorong pasien untuk menjalani rinoplasti (Kim, 2006).

Keberhasilan tindakan rinoplasti tergantung dari pengertian menyeluruh

mengenai anatomi dan fisiologi hidung. Tulang hidung adalah kerangka struktur

yang memberi penunjang dan bentuk dari kulit dan jaringan lunak (skin-soft

tissue envelope). Tindakan rinoplasti akan memodifikasi baik struktur kerangka

hidung maupun skin-soft tissue envelope (SSTE). Kuncinya adalah untuk

mencapai tujuan tanpa mengurangi integritas struktur kerangka hidung dan

tanpa mempengaruhi fungsinya (Trimartani, 2000).

Kerangka hidung yang kuat akan dapat melawan tarikan dari jaringan

fibrosis akibat operasi dan akan menyangga SSTE dengan baik. Sehingga

secara estetik hidung akan tampak sempurna. Analisis hidung sebelum operasi

sangat penting, seolah-olah kita dapat melihat melalui kutis dan subkutan serta

(19)

Anatomi hidung pada rinoplasti sering dibagi berdasarkan kerangka hidung, kulit

dan SSTE serta perdarahannya (Becky,1993).

2.1.1. Kerangka hidung

Kerangka hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan. Nasion yang

merupakan pertautan sepasang tulang dan tulang rawan yang saling terikat,

merupakan pertautan sepasang tulang hidung dengan prosesus nasalis os.

frontalis yang merupakan daerah terendah dari pangkal hidung dan membentuk

sudut nasofrontalis. Di atas nasion ini kulit dan jaringan lunak sangat tebal terdiri

dari kulit, lemak dan otot prosserus. Sebaliknya di daerah rinion yaitu batas

antara kaudal tulang hidung dengan kartilago lateral atas, jaringan lunak dan

kulitnya sangat tipis. Sebelah lateral, tulang hidung akan berartikulasi dengan

prosesus frontalis maksila, membentuk tulang pyramid hidung (Ballenger, 1994 ).

Hubungan antara kartilago lateral atas dengan septum secara klinis

sangat penting terutama di daerah kaudal yang disebut area katup atau “valve

area”. Unit fungsional ini dibentuk oleh septum di bagian medial, bagian kaudal

kartilago lateral atas, apertura piriformis, dasar hidung dan kaudal/ kepala konka

inferior. Sedangkan katup hidung adalah celah berbentuk segitiga dibentuk oleh

kaudal lateral atas dan septum hidung. Bila terjadi kelainan di daerah ini seperti,

sinekia, jaringan parut, web atau selaput akan terjadi gangguan fungsi hidung (

(20)

2.1.2. Tulang Rawan Piramid Hidung

Dua pertiga hidung bagian bawah terdiri dari tulang rawan. Tulang rawan

lateral atas tersusun di bawah kaudal os nasal. Kedua bagian tersebut diikat

dengan jaringan ikat yang menyatu dari periosteum dan perikondrium. Kerangka

tulang rawan ini membentuk huruf “T” yang menyatu di garis septum, sehingga

membentuk suatu kesatuan tulang rawan. Tindakan pada bagian dorsum akan

melibatkan bagian tengah lateral atas dan tulang rawan septum. Bagian kaudal

tulang rawan ini berada di bawah sefalik tulang rawan lower lateral. Pertemuan

ini diikat oleh jaringan ikat perikondrium yang disebut regio scroll dan penunjang

utama untuk tip atau puncak hidung (Trimartani, 2000).

Kita dapat menjumpai bentuk yang berbeda dari tumpang tindih antara

tulang rawan lateral atas dan bawah. Tumpang tindih yang pertama dapat

dijumpai pada daerah sefalik dari lateral bawah yang menutupi kaudal dari upper

lateral . Pada bentuk yang lain adalah sefalik lateral bawah yang menutupi

daerah lengkungan kaudal lateral upper lateral. Variasi ini dapat dilihat ketika

melakukan pemeriksaan vestibulum di daerah area katup (Lam, 2006).

2.1.3. Lobul

Puncak hidung merupakan bagian yang paling menonjol dari lobul.

Daerah diatas puncak hidung disebut supra tip dan dibagian bawah adalah infra

tip. Kartilago lateral bawah membentuk nostril dan daerah di antara krus medialis

(21)

medialis membentuk kolumela dan komponen krus lateralis membentuk

kerangka tulang rawan ala nasi (Lund, 1997).

Bagian medial kartilago yang terikat pada kaudal septum merupakan

penunjang tip hidung. Di daerah lateral, kartilago lateral bawah dihubungkan

dengan apertura piriformis oleh jaringan ikat dan lemak yang disebut area Hinge.

Pada area ini terdapat tulang rawan yang kecil-kecil yang disebut tulang rawan

sesamoid ( Ballenger, 1994).

Puncak hidung atau daerah yang paling tinggi dibentuk oleh sudut antara

krus medial dan lateral. Ukuran bentuk dari krus medial dan lateral membentuk

penunjang ketiga bagi puncak hidung. Penunjang minor bagi tip hidung adalah

(Ballenger,1994):

• Ligamentum yang menghubungkan kulit dengan daerah interdomal.

• Tulang rawan septum nasi.

• Kompleks sesamoid yang meneruskan topangan krus lateral.

• Apertura piriformis (area Hinge).

(22)

2.1.4. Septum nasi

Septum nasi terdiri dari tulang dan tulang rawan. pada awal usia

anak-anak, septum terdiri dari tulang rawan dan mengeras menjadi tulang sesuai

pertumbuhan mulai dari posterior krista galli ke arah ventro-kaudal (Marks,

2000).

Septum terdiri dari perpendikularis os etmoid, premaksilaris dan vomer

yang merupakan perluasan dari rostrum sfenoid. Kaudal hidung sampai di

daerah krura medial dipisah oleh membran tipis bertemu dengan spina. Pada

daerah ini perikondrium dan periosteum bersilangan menyebabkan ikatan yang

kuat antara septum dan spina. Pada posterior septum memisahkan apertura

nasal atau koana (Ballenger,1994).

Superoposterior tulang rawan septum berhubungan dengan tepi inferior

sutura internasal. Ke arah anterior tulang rawan septum berakhir pada area

supratip di atas permukaan tulang rawan lateral bawah. Di daerah kaudal septum

mencapai krus media, dipisahkan oleh membranosa septum dan bertemu

dengan spina anterior di antero-inferior. Pada daerah ini serat perikondrium dan

periosteum saling bersilangan menyebabkan suatu ikatan yang sangat kuat

antara septum dengan spina. Inferior septum duduk pada krista maksilaris dan

diikat oleh serat perikondrium dan periosteum (Trimartani, 2000).

Kerangka tulang rawan dari septum dan upper lateral yang berbentuk “T”

memberi kekuatan yang cukup untuk menahan tekanan dari daerah tulang di

sekitarnya. Reseksi atau destruksi dari tulang rawan tersebut akibat trauma atau

(23)

2.1.5. Kutis

Kulit di daerah dorsum dan sisi hidung biasanya tipis dan longgar. Di

daerah nasofrontalis dan lower lateral biasanya lebih tebal dan erat. Ketebalan

kulit ini berperan penting pada perencanaan operasi. Undermining terlalu

superfisial akan menyebabkan kontraksi dan retraksi. Permukaan tulang atau

tulang rawan yang tersisa akan teraba dan tampak nyata pada kulit yang tipis

(Ballenger,1994).

2.1.6. Otot

Otot hidung bersifat elevetor yang dapat memendekkan hidung dan

melebarkan cuping hidung. Salah satunya adalah m. proserus yang dapat

dianggap sebagai sambungan dari m. frontalis dan berinsersi pada aponeurosis

dorsum nasi. Lapisan ini dapat ditemukan pada bagian bawah dari tulang hidung

dan bagian atas dari kartilago lateral atas (Hilger,1997).

M. dilator (m. nasalis pars alaris) membuka nostril dan berasal dari sutura

nasomaksilaris dan jaringan fibrosa yang menghubungkan “fibro fatty tissue

dengan kartilago lateral bawah dan apertura piriformis. Insersinya adalah pada

kulit dan lipatan nasolabial. Otot levator labii superior membuka nares dan

berasal dari prosesus frontalis os maksilaris. Ia menempel pada lapisan

perikondrium dari kartilago lower lateral. M. depressor septi menurunkan tip

(24)

Ia merupakan bagian dari m. orbikularis bibir atas dan berinsersi pada

kolumela. Satu-satunya otot yang mempunyai efek kompresi, memanjangkan

hidung dan kontraksi nostril adalah m. nasalis (pars transversa musculi nasalis).

Sehingga otot ini adalah antagonis m. procerus. Ia berasal dari lateral apertura

piriformis dan berinsersi pada lapisan aponeurosis dorsum nasi. Semua otot ini

harus dilindungi pada saat melakukan rinoplasti, karena cedera pada otot

tersebut dapat menyebabkan kekakuan pada hidung, kecuali untuk mengurangi

tegangan pada tip hidung dapat dilakukan pemotongan pada m. depressor septi

(Trimartani, 2000).

2.1.7. Perdarahan

Asupan darah untuk hidung eksterna diperoleh dari cabang arteri fasialis

dan arteri oftalmika. Pada basis ala nasi, arteri fasialis bercabang menjadi arteri

labialis, alaris dan angularis. Arteri labialis superior memperdarahi bibir atas dan

(25)

Arteri superior dan inferior berjalan sepanjang tepi kaudal dan sefal dari

lateral bawah . Arteri ini memperdarahi lobul. Arteri angularis berjalan ke atas ke

dinding lateral dan memperdarahi dorsum nasi . Ia bergabung dengan dorsalis

nasalis cabang dari arteri oftalmikus dekat sudut orbita. Semua pembuluh besar

ini berjalan pada lateral kerangka hidung . Bila kita bekerja dekat dengan

perikondrium dan periosteum pembuluh darah tersebut tidak akan cedera

(Trimartani, 2000).

Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari tiga sumber utama :

1. A.etmoidalis anterior dan 2. A. etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika

dan 3. A. sfenopalatina, cabang terminal a. maksilaris interna, yang berasal dari

arteri karotis eksterna. Septum bagian superior anterior dan dinding lateral

hidung mendapat perdarahan dari a. etmoidalis anterior, a. etmoidalis posterior

yang kecil hanya mendarahi daerah yang kecil di region superoposterior. Kedua

arteri etmoidalis, setelah meningggalkan a. oftalmika, menyeberangi lamina

kribrosa dan masuk hidung melalui foramen etmoid anterior dan posterior,

disertai oleh serabut saraf pasangannya. Arteri dan nervus etmoidalis anterior

merupakan petunjuk bagi operator akan batas lamina kribrosa (Ballenger,1994).

Biasanya a. maksilaris muncul sebagai cabang terakhir a. karotis eksterna

dan berjalan di lateral lamina pterigoideus lateral untuk memasuki fosa

pterigopalatina. Cabang terakhirnya, a. temporalis superfisialis berjalan ke atas

melalui permukaan luar pangkal zigoma dimana pulsasinya dapat diraba. Di

dalam fosa, a. maksilaris terbagi menjadi cabang-cabang yang berjalan bersama

(26)

dapat dikenali sebagai: a. alveolaris superoposterior, a. palatine minor, a.

asesorius nasal dan a. faringeus superior, a. infra orbitalis, arteri-arteri untuk

foramen rotundum dan kanalis pterigoideus, a. palatina mayor dan terakhir a.

sfenopalatina terminalis, yang melalui foramen sfenopalatina untuk masuk ke

dalam rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Arteri

sfenopalatina terbagi menjadi aa.nasalis posterolateral yang menuju ke dinding

lateral hidung, dan aa. septi posterior yang menyebar pada septum nasi. Oleh

karena aa. Nasalis posterolateral ukurannya cukup besar, maka pada operasi

pengangkatan konka media atau inferior akan disertai perdarahan yang cukup

banyak. Ada anastomosis bebas antara aa. nasalis lateral dengan a. etmoidalis

anterior, sehingga pada pengangkatan konka, perdarahan dapat timbul dari

kedua sumber ini meskipun hanya satu arteri yang terkena (Ballenger,1994).

A. septiposterior mempunyai tiga cabang cabang utama: satu untuk

bagian inferior, satu lagi untuk bagian tengah dan posterior septum. Cabang –

cabang yang sampai di bagian inferior anterior septum akan beranastomosis

bebas dengan cabang a. labialis superior untuk septum dan aa. palatine mayor

(Ballenger,1994).

Cabang lain dari a. sfenopalatina turun di dalam kanalis palatine mayor

untuk masuk ke dalam rongga mulut melalui foramen palatina mayor dan

kemudian menyebar di permukaan bawah palatum. Vena-vena hidung

mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.

Vena pada vestibulum dan struktur luar hidung mempunyai hubungan dengan

(27)

memiliki katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya

penyebaran infeksi dan turut menentukan sistem dinamik yang berhubungan

dengan postur seseorang (Ballenger, 1994).

Bagian antero-superior septum dan dinding lateral memperoleh

perdarahan dari arteri etmoidalis, sedangkan bagian posteroinferior

memperolehnya dari arteri sfenopalatina dan arteri palatina descenden. Arteri

palatina mayor memperdarahi bagian anteroinferior hidung, melalui kanalis

insisivus. Arteri itu bertemu dengan cabang dari arteri sfenopalatina. Pada

bagian kaudal septum terdapat pleksus Kiesselbach yang terdapat tepat di

belakang vestibulum. Area ini paling sering menjadi sumber pendarahan atau

epistaksis. Mukosa hidung pada konka inferior dan media mempunyai struktur

vaskuler kavernosus. Sistem pembuluh balik berdrainase ke posterior melalui

pembuluh sfenopalatina masuk ke pleksus pterigoideus dan terkadang ke kranial

(28)

2.1.8. Persarafan

Persarafan pada hidung luar dapat dibagi menjadi saraf sensorik dan

motorik. Sensasi pada kulit sepertiga tengah muka diperoleh dari n. infraorbita

cabang n. maksilaris. N. infratrochlearis cabang n. optalmikus mempersarafi

sepertiga atas hidung dan sudut orbita. Sepertiga tengah dorsum nasi dan tip

hidung memperoleh persarafannya dari n. etmoidalis eksternus. Persarafan

motorik pada otot fasialis dipersyarafi oleh n. fasialis (Ballenger,1994).

Bagian antero-superior hidung bagian dalam (dinding lateral dan septum)

dipersyarafi oleh n. etmoidalis, sedangkan cabang dari n. maksilaris dan

ganglion pterigopalatina mempersarafi bagian posterior. Sensasi pada bagian

anteroinferior septum dan dinding lateral diperoleh dari cabang n. alveolaris dan

pleksus dental superior. Trauma pada daerah ini seperti antrostomi inferior

meatus atau saluran inferior akan menyebabkan hipestesi pada gigi geligi

(Trimartani, 2000).

Saraf sensoris untuk hidung (selain olfaktorius) terutama berasal dari

cabang oftalmikus dan cabang maksilaris n. trigeminus. Cabang pertama n.

trigeminus, yaitu n. oftalmikus memberikan cabang n. nasosiliaris yang kemudian

bercabang lagi menjadi n. etmoidalis anterior dan posterior dan n. infratroklearis.

N. etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan

memasuki hidung bersama a. etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis

anterior dan di sini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan

lateral. Cabang medial berjalan ke depan bawah pada septum untuk

(29)

dinding lateral dan juga mempunyai cabang lagi, yaitu n. nasalis eksternus, yang

menuju permukaan luar hidung (Marks, 2000).

Saraf yang berasal dari cabang maksilaris n. trigeminus akan membentuk

n. nasalis superior posterior yang memasuki hidung melalui foramen

sfenopalatina, berjalan di dekat dinding lateral dan dinding medial (septum)

menuju ganglion sfenopalatina. Di sini terbagi menjadi cabang-cabang. Yang

terpenting di antara cabang medial adalah n. nasopalatina (n. Cotunnius) yang

berakhir di daerah foramen incisivus dan berhubungan dengan palatine anterior

(Ballenger, 1994).

Cabang maksilaris n. trigeminus juga membentuk n. nasalis inferior

posterior, yang memasuki hidung melalui foramen sfenopalatina, kemudian

berjalan ke arah bawah untuk mempersarafi konka inferior (Lund,1997).

Gambaran mengenai sfenopalatina (ganglion Meckel) tidak dapat

dijelaskan dengan pasti. Letaknya jauh di dalam fossa pterigopalatina tepat di

sebelah lateral foramen sfenopalatina dan sering digambarkan seakan-akan

tergantung pada n. maksilaris di atasnya. Yang menuju ganglion ini adalah n.

petrosus profundus mayor (simpatis) dan n. petrosus superfisialis mayor

(parasimpatis). Menurut Larsel, serabut-serabut saraf otak V dan system

parasimpatis melewati ganglion ini tanpa terhenti. Sebaliknya serabut saraf n.

petrosus superfisialis mayor keluar dari nucleus salivatorius superior dan

berakhir di ganglion ini. Serabut saraf n. petrosus superfisialis mayor setelah

(30)

respiratorius atas; fungsinya untuk vasodilatasi pembuluh darah dan

merangsang pembentukan air mata dan sekresi hidung (Ballenger, 2000).

Dari segi anatomi agaknya ganglion sfenopalatina hampir tidak berperan

dalam menghantarkan rasa sakit pada wajah. Tindakan melakukan anastesi

terhadap ganglion sfenopalatina dengan aplikasi lokal pada foramen

sfenopalatina atau penyuntikan pada ganglion akan sedikit sekali manfaatnya

untuk mengontrol rasa sakit. Namun serabut-serabut saraf cabang kedua n.

trigeminus letaknya sangat dekat dan bila ini di anestesi, mungkin rasa nyeri

dapat hilang (Ballenger,1994).

Saraf lain yang berasal dari cabang kedua n. trigeminus turun di dalam

kanalis pterigopalatina dan keluar pada foramen palatina mayor di permukaan

bawah palatum durum. Saraf ini akan mempersarafi palatum durum dan mole,

uvula tonsil dan berjalan terus ke depan sampai kanali insisivus (Lund,1997).

N. infratroklearis berasal dari cabang pertama n. trigeminus dan

serabut-serabutnya akan mempersarafi kelopak mata dan kulit sisi hidung bagian atas

(Ballenger,1994).

N. nasalis eksternus, dari pangkalnya di sinus etmoid anterior, berjalan ke

bawah di dalam celah yang terdapat pada permukaan dalam os nasal, celah ini

pada foto Rontgen harus dibedakan dengan garis fraktur. Saraf menembus

dinding hidung di antara os nasal dengan kartilago lateralis superior dan

mempersarafi kulit dorsum nasi bagian bawah sampai ke puncak hidung

(31)

N. infraorbitalis muncul di pipi di bawah mata pada foramen infra orbita

untuk mempersarafi sebagian dinding lateral hidung dan struktur lainnya di wajah

(Ballenger,1994).

2.2. Anatomi Estetik Hidung

2.2.1. Anatomi artistik

Suatu konsep anatomi artistik harus dikembangkan dalam diri seorang

ahli bedah plastik bila sedang mempelajari anatomi hidung. Selain melihat tulang

dan tulang rawan yang statis, ia harus memperhitungkan juga ketegangan otot,

tekstur kulit, hubungannya dengan struktur di sekitarnya, dan efek struktur yang

terkait dan yang mempunyai hubungan timbal balik, terhadap bentuk hidung.

Lagi pula konsep ini membagi hidung menjadi bagian atas yang statis dan

bagian bawah yang dapat digerakkan (Becky,1993).

Bagian atas yang statis terdiri diri os nasal dan kartilago lateralis superior.

Kartilago lateralis superior melekat dengan erat pada permukaan bawah os nasal

dan maksila oleh adanya jaringan ikat padat dan bersatu dengan septum di garis

tengah kecuali di sebagian kecil ujung bawahnya. Os nasal ditunjang oleh

maksila disampingnya, oleh prosesus spina nasalis os frontal, dan oleh septum

dibawahnya. Semua struktur ini ditutupi oleh perios, perikondrium, m. proserus

dan m. nasalis tranversus. Diatasnya ada lapisan fasia superfisial dan panikulus

adiposus yang tipis hanya mengandung lemak dan jaringan fibrosa sedikit,

sehingga memungkinkan mobilitas yang leluasa bagi kulit di atas daerah ini

(32)

Bagian hidung bawah yang dapat digerakkan, terdiri dari kedua alar

(lateralis inferior) dan kadang-kadang ada beberapa os sesamoid di lateral atas.

Tulang rawan ini melengkung, sehingga membuat bentuk nares. Kartilago alar ini

kurang lebih melayang, terikat dan dipertahankan pada kedudukannya oleh

jaringan fibrosa dan perlekatan otot dengan kedua kartilago lateralis superior,

dengan septum, dengan pasangannya, serta dengan kulit yang menutupi dan

kulit di sekitarnya (Becky,1997).

Bentuk puncak hidung terutama ditentukan oleh kartilago alar. Walaupun

demikian, tergantung tebalnya kulit, jumlah jaringan lemak subkutan dan jaringan

areolar, serta aktifitas kelenjar sebasea, dapat terjadi bermacam variasi

konfigurasi apeks dari struktur dasar yang dibentuk kartilago alar tadi.

Selanjutnya bentuk apeks juga dipengaruhi oleh posisi relatifnya terhadap

struktur statis hidung, yang menggantung dan mengikat apeks di tempat

kedudukannya oleh perlekatan jaringan ikat yang kuat. Faktor yang menentukan

bentuk dan posisi apeks hidung termasuk bentuk septum yang panjang , pendek

terangkat atau melesak; kartilago lateralis yang pendek atau panjang; bentuk os

nasal dan prosesus maksila; spina os maksila; dan arah serta ketegangan otot

dan jaringan ikat fibrosanya (Ballenger,1994).

Kita sering dibuat heran melihat betapa berubahnya bentuk dan posisi

hidung, hanya dengan membebaskan apeks dari otot dan jaringan ikat fibrosa di

sekitarnya. Perubahan lebih lanjut juga akan terlihat bila dilakukan pembebasan

terakhir apeks dari penahannya, yaitu dengan diseksi kartilago alar dari kulit

(33)

pada tulang rawan oleh jaringan ikat padat. Perlekatan yang kuat ini menunjang

keteguhan posisi apeks. Sehingga bila ingin benar-benar menggerakkan apeks,

kartilago alar harus dilepaskan dulu dari kulit yang menutupi dan yang ada di

sekitarnya. Seringkali tindakan ini saja sudah cukup untuk mengubah bentuk dan

arah apeks. Tindakan ini biasanya dilakukan pada awal bedah rinoplasti. Pada

waktu menggerakkan kartilago alar, serat-serat otot juga dibebaskan . Otot yang

turut terlibat adalah m. nasalis (tranversus dan alar), m. dilator naris , m.

depressor septi, dan kadang - kadang beberapa serabut kaput angulare m.

kuadratus labii superior. Pada hidung yang sangat panjang atau kaku, untuk

dapat membuat apeks dapat digerakkan dengan leluasa, perlu melakukan

diseksi tumpul pada kulit yang luas, ke bawah sampai m. orbikularis oris dan ke

lateral sampai lekukan nasolabial, dengan demikian dapat membebaskan

sebagian m kuadratus (Ballenger,1994 ).

Otot – otot yang melapisi dan mengelilingi hidung termasuk dalam otot

mimik wajah, yang tidak dilapisi oleh fasia penutup seperti halnya otot-otot

rangka tubuh, sebaliknya fasia ini terdapat di bawah dan di dalam panikulus

adiposus atau fasia superfisialis dan serabut-serabutnya mempunyai insersi

langsung pada dermis atau kulit. Susunan serabut otot yang demikian ini

berhubungan langsung dengan perkembangan proses bicara yang sangat rumit.

Serabut- serabut otot halus diperlukan di permukaan untuk dapat membuat

berbagai variasi gerakan wajah. (Ballenger,1994).

Hidung merupakan bagian estetika yang paling menonjol dari profil wajah,

(34)

frontal posisi hidung terletak di garis tengah, maka bila terdapat asimetri hidung

maka akan teridentifikasi dengan mudah. Hidung merupakan bagian estetika

tersering yang diubah oleh ahli bedah plastik dan rekonstruksi, oleh karena itu

hidung banyak dipelajari untuk menentukan proporsi estetika dan hubungannya

dengan wajah lainnya (Ballenger,1994).

Terminologi yang digunakan untuk mendiskripsikan hubungan anatomi

stuktur hidung adalah unik. Pada tampak frontal, karakteristik hidung mencakup

lebar hidung, simetri dan tampilan lengkung dorsum nasi. Lebar hidung dari

lekukan ala nasi ke lekukan ala nasi sisi sebelahnya adalah 70% panjang

hidung dari nasion ke puncak hidung. Pelebaran jarak interalar tersebut

(35)

Affandi (2000) membagi bentuk hidung menurut antropologi menjadi 3

golongan besar, yaitu golongan Kaukasia, Asia, dan Afrika. Perbedaan utama

antara hidung Kaukasia dan non Kaukasia meliputi ketebalan kulit dan jaringan

lunak, kekuatan dan ketebalan kartilago, tinggi dan panjang os nasal, serta

bentuk dan orientasi lubang hidung. Secara umum, orang Afrika memiliki

perbedaan paling nyata dibandingkan orang Kaukasia sedangkan orang Asia

memiliki karakteristik fisik diantara keduanya . Kekhasan hidung Asia adalah

dorsum yang lebar dan rendah. Defisiensi proyeksi tip, lobul lebar, kulit lobul

tebal, jaringan lemak subkutis dan retraksi Kolumela. Hidung bangsa non

Kaukasia mempunyai variasi anatomi tersendiri. Orang non Kaukasia terdiri atas

(36)

2.2.2. Proyeksi Tip

Sampai saat ini pengukuran proyeksi puncak hidung masih diperdebatkan

oleh karena itu sudut nasofasial sering digunakan untuk mengevaluasi secara

tidak langsung derajat proyeksi puncak hidung. Sudut nasofasial ini berkisar 360 .

Powell dan Humpries seperti yang dikutip oleh Wall mengatakan bahwa

perbandingan antara Nasion–Subnasal dan garis perpendikular yang melewati

puncak hidung adalah 2,8:1, untuk menjaga ukuran tetap mendekati kriteria

estetik (Calhoun et al, 2006).

Metode paling mudah untuk mengukur proyeksi tip adalah metode simons

yang menghubungkan proyeksi yang diukur dari tip defining point ke subnasal,

dengan panjang bibir atas yang diukur dari subnasal ke batas vermilion. Menurut

Simons, proyeksi dan panjang bibir atas kira-kira sama (Mirta, 2006).

2.2.3. Dasar Hidung

Hidung berbentuk seperti segitiga sama kaki pada penampakan dari dasar

hidung, dengan kolumela yang membagi dua segitiga tersebut. Rasio

perbandingan lobul adalah 75% dari lebar hidung. Lubang hidung biasanya

sedikit menyerupai bentuk buah pir, dengan bagian paling lebar pada dasar.

Pada penampakan lateral dari dasar hidung rasio Ala- Lobul adalah 1:1.

Porter seperti yang dikutip oleh Tardy mengatakan pada umumnya bangsa non

kaukasia mempunyai dasar hidung yang lebih lebar daripada jarak epikantus

(37)

Terdapat perbedaan nyata antar etnik pada konfigurasi cuping hidung

(ala nasi). Hidung Afrika lebih lebar dan proyeksi rendah serta memiliki lubang

hidung yang horizontal . Hidung Asia berada di tengah antara hidung Kaukasia

dan Afrika. Pada tampak frontal, lebar ala nasi kurang lebih sama dengan jarak

antara kantus medius (Mirta, 2006).

Para ahli sependapat bahwa yang membentuk wajah cantik, tampan atau

serasi bukan ditentukan oleh struktur bagian dalam tetapi oleh tulang. Karena

hidung terdiri dari tulang maka perlu diketahui lebih detail bagian-bagian hidung

dengan ukurannya (Mirta, 2006):

1. Titik atau daerah yang paling menonjol dari dahi disebut glabela. Daerah

glabela atau daerah pangkal hidung penting dalam augmentasi rinoplasti

karena ikut memberi kesan tinggi rendahnya pangkal hidung.

2. Daerah yang terendah atau terdalam pada pangkal atau akar hidung

disebut nasion. Daerah ini berperan sebagai titik pangkal sudut

nasofrontal yang besarnya ikut menentukan serasi tidaknya bentuk

pangkal hidung.

3. Daerah yang paling anterior dari hidung atau paling tinggi ,disebut tip.

Sedangkan di belakang tip yang agak rendah disebut supra tip. Daerah tip

ini merupakan puncak dari hidung dibentuk oleh tulang rawan lower

lateral. Pada augmentasi hidung, tip menentukan kesan kemancungan

atau tingginya hidung dan menentukan baik atau kurang baiknya bentuk

(38)

4. Kolumela atau kaki dari puncak hidung letaknya di bawah tip yang terdiri

dari bagian medial tulang rawan lower lateral kiri dan kanan dan struktur

ligamentum diantaranya. Daerah ini merupakan kesatuan dengan bentuk

tip sehingga bila bentuknya menonjol atau tidak mempengaruhi bentuk

secara keseluruhan bagian depan hidung.

5. Daerah pertemuan antara kolumela dengan daerah kulit bibir bagian atas

disebut subnasal. Daerah ini pada augmentasi hidung yang membentuk

sudut nasolabial, mempengaruhi bentuk bibir atas dan bentuk lubang

hidung lebih terbuka atau tertutup.

6. Batang hidung letaknya antara daerah pangkal hidung sampai tip daerah

punggung hidung yang letaknya pada batas antara tulang hidung dengan

tulang rawan upper lateral disebut rhinion. Daerah ini sering sebagai

tempat hump nose atau penonjolan pada punggung hidung. Pada

augmentasi hidung dapat memberi kesan bentuk hidung lebih feminin

atau lembut yaitu agak melengkung ke dalam atau keras maskulin yaitu

(39)

Gb.2.1. Landmark anatomi wajah.

(40)

Beberapa garis potongan dibuat untuk mendapatkan ukuran sudut-sudut

bahagian dari hidung. Garis vertikal ditarik dari Glabela ke pogonion (titik

paling puncak dari dagu). Garis dari nasal tip ke nasion dan glabela ke

nasion, maka titik pertemuan membentuk sudut nasofrontal (NFr) yang

besarnya 115-130o. Sudut nasofasial (Nfa) antara garis dorsum hidung

dengan garis vertikal dari glabela ke pogonion, besarnya 30-40o. Sudut

nasomental (NM) adalah pertemuan garis dari dorsum hidung dengan garis

dari pogonion ke nasal tip dan besarnya 120-130o. Sudut mentoservikal

(MeC) besarnya 80-90o. Ukuran lainnya yaitu sudut nasolabial antara

90-115o, ukuran panjang kolumela dari 3 sampai 5 mm. Perbandingan panjang

lobul dan kolumela 1/3 banding 2/3 (Becky,1993; Calhoun, 2006; Affandi,

2000).

Gb.2.2. Sudut Nasolabial A. Pria;. B. Wanita

(41)

Gb 2.3. Sudut Nasofrontal

(dikutip dari Rhynoplasty Centre,

2006)

Gb 2.4. Sudut Nasofasial

(42)

Gb 2.5. Sudut Nasomental

(dikutip dari Rhynoplasty Centre,

(43)

2.2.4. Sudut Estetika Wajah

Powell dan Humpreys mengemukakan sudut estetika wajah meliputi sudut

Nasofrontal (115o-130o), sudut Nasofasial (30o-40o), sudut nasomental berkisar

120o-132o (Mirta, 2006).

Terdapat perbedaan sudut estetika pada masing masing ras dan suku,

seperti yang telah dilakukan pada penelitian terdahulu.

Mirta (2006) melaporkan hasil pengukuran nilai rerata sudut nasofrontal

yang diperoleh dari penelitian terhadap suku jawa ternyata lebih lebar secara

bermakna bila dibandingkan dengan hasil pengukuran pada perempuan

kaukasia . selain itu nilai serta sudut nasofrontal pada perempuan jawa murni

ternyata lebih lebar bila dibandingkan dengan nilai normal Powell dan Humpreys.

Hal ini menandakan bahwa sudut Nasofrontal perempuan Jawa Murni lebih lebar

dan landai bila dibandingkan dengan perempuan Kaukasia. Mengingat bahwa

sudut nasofrontal ini dibentuk oleh Glabela-Nasion-Tip Nasi, maka ketiga titik

tersebut memegang peranan dalam sudut ini. Memang secara garis besar sudut

yang lebih kecil berkesan menunjukkan hidung yang lebih mancung , namun

tetap harus diperhitungkan dahi yang menonjol atau landai juga akan

(44)

Sudut nasofasial adalah sudut yang dibentuk oleh garis nasion-subnasal

dan garis perpendikular dengan puncak hidung. Sudut ini menggambarkan

prominensia dari hidung. Pada suku jawa menunjukkan rata-rata nilai sudut

Nasofasial perempuan Jawa Murni hanya 0,350 lebih kecil dibandingkan dengan

sudut nasofasial perempuan kaukasia. Hidung Kaukasia terkesan lebih prominen

(Mirta, 2006)

Sudut nasomental adalah sudut yang dibentuk dari titik pertemuan antara

dorsum hidung dengan garis dari pogonion ke nasal tip. Ketiga sudut tersebut

bersama-sama dengan sudut mentoservikal merupakan sudut penting dalam

menentukan estetika wajah (Becky, 1993; Affandi, 2000).

Sudut nasolabial adalah sudut lain yang berperan dalam menentukan

proporsi hidung, yaitu sudut yang dibentuk dari titik pertemuan antara kolumela

dengan bibir atas (Becky, 1993).

2.3. Suku Batak

Suku batak merupakan salah satu suku di Sumatera bagian utara. Yang

merupakan penduduk terbesar di kota Medan (Nasution, 2004).

Suku Batak memiliki lima subsuku dan masing-masing mempunyai

wilayah utama, sekalipun sebenarnya wilayah itu tidak sedominan batas-batas

pada zaman yang lalu. Sub suku dimaksud yaitu (Daulay, 2006; Bungaran,

2006):

1. Batak Karo yang mendiami wilayah dataran tinggi Karo, Deli Hulu,

(45)

2. Batak Simalungun yang mendiami wilayah induk Simalungun

3. Batak Pakpak yang mendiami wilayah induk Dairi, sebagian tanah Alas

dan Gayo.

4. Batak Toba yang mendiami wilayah meliputi daerah tepi danau Toba,

Pulau Samosir, Dataran tinggi Toba, dan Silindung, daerah pegunungan

Pahae, Sibolga, dan Habincaran.

5. Batak Angkola Mandailing yang mendiami wilayah induk Angkola dan

Sipirok, Batang Toru, Sibolga, Padang Lawas, Barumun, Mandailing,

Pakantan, dan Batang Natal.

Sekarang ini yang dimaksud dengan tanah Batak ialah Kabupaten

Tapanuli utara, tengah dan selatan (sebelum pemekaran). Artinya wilayah yang

berbatasan dengan Kabupaten Simalungun, Karo dan Aceh Tenggara arah

Utara. Kabupaten Simalungun, Asahan dan Labuhan Batu arah timur. Serta

arah selatan berbatasan dengan Propinsi Riau dan Sumatera Barat. Di sebelah

barat terletak Lautan Hindia (Bungaran, 2006).

Teori cara masuknya nenek moyang orang Batak mula pertama ke

Sumatera, yang di kemukakan oleh Ypes. Dikatakannya bahwa pada mula

pertama orang-orang Batak datang dari utara dan mendarat di teluk Haru( Pasai)

Aceh, dan dari sana turun ke arah Gayo dan Alas (Aceh Tenggara), baru

kemudian ke selatan lagi, yaitu ke Pusuk Buhit dan menetap di sana. Sebagian

lagi naik ke pedalaman wilayah Toba melalui muara sungai Asahan kemudian

(46)

Dari Pusuk Buhit mereka menyebar lagi ke seluruh tanah Batak yang

sekarang, yaitu Tapanuli utara, tengah dan selatan, kemudian juga ke kabupaten

Asahan, Simalungun, Deli Serdang (Sumatera Timur), Labuhan Batu, Aceh

Tenggara dan luar Sumatera (Bungaran, 2006).

Suku bangsa Batak adalah Protomelayu, seperti juga Suku bangsa

Toraja. Bukannya neo Melayu seperti suku bangsa Jawa, Bugis, Aceh,

Minangkabau, Sunda dan lainnya ( Mangaraja, 2007).

Menurut tarombo (silsilah) orang Batak, semua sub-sub Batak itu

mempunyai nenek moyang yang satu yaitu si Raja Batak. Dari si Raja Batak

inilah berkembang sub-sub suku Batak yang mengembara ke wilayah-wilayah

teritorial di atas sejalan dengan perkembangan pemukiman baru atau perkotaan

yang semakin meluas (Mangaraja, 2007).

Setiap pembukaan kampung baru biasanya disertai penabalan nama

marga baru terhadap orang yang membuka perkampungan tersebut. Cara ini

terutama dilaksanakan di lingkungan sub-sub suku Batak Toba, sehingga

dengan demikian jumlah marga di lingkungan suku Batak Toba relatif lebih

banyak jumlahnya. Berbeda dengan jumlah marga pada suku batak Mandailing

Angkola adalah hanya belasan jumlahnya, yaitu Nasution, Lubis, Siregar,

Harahap, Hasibuan, Batu Bara, Dasopang, Daulay, Dalimunthe, Dongoran,

Hutasuhut, Pane, Parinduri, Pohan, Pulungan, Siagian, Rambe, Rangkuti,

(47)

Di Medan Suku batak adalah suku terbesar, dimana menurut Biro Pusat

Statistik tahun 2004 dari 1. 904.273 penduduk kota Medan 641.782 etnis Batak,

628.898 etnis Jawa, 202.839 etnis Cina 163.774 etnis Minang, 125.557 etnis

Melayu dan sisanya adalah etnis lainnya (Nasution, 2004).

2.4. Analisis Hidung Beberapa Ras

2.4.1. Hidung Latinos

Hidung orang latin umumnya lebih lebar dan pendek dari pada Kaukasia.

Dorsum nasi cenderung berpunuk, kolumela lebih pendek, ala nasi lebih tebal,

tip hidung yang bulat kulit yang lebih tebal, lubang hidung yang lebih horizontal.

Nilai sudut nasolabial pada Kaukasia tidak bisa diaplikasikan pada operasi

rinoplasti Hispanic (Mirta,2006).

2.4.2. Hidung Orang Asia

Antara wanita Korea yang menarik dan wanita Amerika Utara, didapatkan

hasil yang hampir sama, dalam hal panjang hidung, proyeksi puncak hidung,

panjang wajah bawah, lebar pangkal hidung, ketebalan ala dan sudut nasofasial.

Pada orang Cina perbandingan ala-ala dengan nasion–pronasion lebih besar,

dorsum nasi yang lurus sedangkan sudut nasomental dan nasofasial hampir

mendekati angka ideal kaukasia. Namun sudut nasofrontal pada orang Cina

umumnya lebih besar. Hidung oriental lebih lebar pada dasar tulangnya, sudut

(48)

Perbandingan antara orang India Himachali dengan Kaukasia. Didapatkan

bahwa sudut nasofasial orang India Himachali lebih kecil dari Kaukasia, sudut

nasomental lebih besar karena ukuran dagu lebih besar (Anand, 2004 ).

2.4.3. Hidung Orang Afrika

Pada pengukuran antropometri tampak bahwa bentuk hidung kelompok

Afrika terpendek dan terlebar, Afro Indian terpanjang dan Afrokaukasia di

tengahnya. Perbedaan yang paling besar antara pria Afrika Amerika dan Pria

Amerika Utara adalah panjang hidung yang lebih pendek (n-sn), jarak antara ala

yang lebih lebar (al-al), protusion puncak hidung lebih pendek (sn-prn), pangkal

hidung lebih lebar (mf-mf), kolumela lebih pendek, sudut nasolabial lebih tajam,

dan sudut nasofrontal lebih landai. Disimpulkan bahwa penggunaan standard

data analisis pria Kaukasia bagi pria Afrika Amerika tidak tepat (Kim, 2006).

Sampai saat ini, masih banyak para ahli bedah plastik dan rekonstruksi

yang berpegang pada data neoclassical canon dalam menganalisa wajah tanpa

memperhitungkan latar belakang ras dan etnik pasien. Akan sangat bermanfaat

apabila dapat dilakukan suatu penelitian mengenai analisis wajah Indonesia,

sehingga data tersebut dapat digunakan oleh para ahli bedah plastik dan

rekonstruksi indonesia untuk perencanaan sebelum melakukan operasi plastik

dan rekonstruksi, tanpa menghilangkan latar belakang ras dan etnik Indonesia

(49)

2.4.4. Jawa

Mirta (2006) melaporkan dari hasil penelitiannya menunjukkan rata-rata

panjang hidung (NT) perempuan Jawa Murni ternyata lebih pendek sekitar 5 mm

dari rata-rata panjang hidung perempuan Kaukasia. Dalam pengukuran proporsi

lebar ala nasi (al-al) terhadap panjang hidung menunjukkan bahwa proporsi ala

nasi perempuan jawa Murni kurang lebih 1:1 terhadap panjang hidung (100%).

Sedangkan pada perempuan kaukasia proporsi lebar ala nasi adalah 0,7 dari

panjang hidung. Pengukuran panjang kolumela (Sn-C) perempuan Jawa Murni

ternyata lebih pendek sekitar 6 mm dibandingkan dengan perempuan kaukasia

(Mirta, 2006).

Proporsi lebar lobul dengan lebar basal yang dianggap ideal untuk

perempuan Kaukasia adalah 0,75. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa

proporsi lebar lobul dengan lebar basal hidung pada Jawa Murni lebih kecil

sekitar 25% dibandingkan dengan perempuan Kaukasia. Hasil pengukuran lebar

lobul perempuan Jawa Murni ternyata kurang lebih setengah dari lebar basal

hidung (0,56). Sedangkan pada perempuan Kaukasia dengan proporsi lebar

lobul dengan lebar basal yang lebih besar (0,75) justru menghasilkan lebar ala

nasi yang lebih kecil dari ala nasi perempuan Jawa murni (Mirta, 2006).

Beberapa ragam bentuk dilihat dari basal hidung dan karakter hidung,

(50)

Gb. 2.6. Ragam bentuk hidung bila dilihat dari basal

(dikutip dari Rhynoplasty Centre, 2006)

Tabel 2.1 Karakter hidung secara umum berdasarkan bentuk hidung

platyrrhine Mesorrhine Leptorrhine

tipe kulit sangat tebal agak tebal tipis

punggung hidung pendek, lebar, konkaf pendek, lebar panjang , runcing

pangkal hidung rendah rendah tinggi

tulang hidung pendek pendek panjang

puncak hidung membulat tumpul meruncing

kolumela pendek pendek panjang

lebar alar nasi lebar sedang relatif sempit

ala menonjol mendatar bervariasi sering mendatar

(51)

2.5. Fotografi

Fotografi berkualitas baik yang konsisten dengan standard penampakan

diperlukan untuk membandingkan sebelum dan sesudah hasil operasi. Hal ini

penting untuk untuk keperluan mengajar, dokumentasi, medikolegal, dan

sebagai fasilitas komunikasi terhadap pasien. Pada pasien-pasien rinoplasti

tampilan yang diperlukan adalah frontal, kedua sisi lateral, kedua sisi oblik

dan tampak basal.

Gb.2.7. Penampakan frontal, lateral kiri, dan dasar hidung

(52)

Bila menggunakan kamera digital, hal yang perlu diperhatikan adalah

total angka pixels kamera. Lensa mempunyai kapabilitas yang sama dengan

lensa 35 mm, 80-110mm, optical zoom, kapabilitas makro. Resolusi antara

1,4 sampai 3 megapixels, memory card, dan kemampuan cahaya yang cukup

(Terris, 2002).

Latar belakang biru muda merupakan pilihan yang baik karena warna ini

lebih kontras dengan warna kulit dan memberikan hasil yang baik pada

fotografi berwarna. Petunjuk untuk mengambil fotografi perspektif rinoplasti

(Ballenger,1994; Terris, 2002):

1. Foto wajah tampak frontal diambil secara vertikal, harus mencakup

seluruh wajah dan leher, mulai dari batas atas kepala sampai dengan

batas atas klavikula.

2. Foto tampak lateral wajah harus mencakup seluruh wajah, leher

anterior sampai dengan kepala sternum dari klavikula, tengkuk leher

dan sebagian rambut ditarik agar telinga tampak dengan jelas.

Pastikan kita tidak dapat melihat alis kontralateral. Garis Frankfort

horisontal merupakan standard yang digunakan untuk mendapatkan

(53)

Gb.2.8. Garis Frankfort

(dikutip dari Rhynoplasty Centre, 2006)

3. Foto tampak oblik, puncak hidung harus sejajar dengan batas lateral

pipi.

4. Foto tampak basal hidung ini merupakan penampakan yang

memberikan banyak informasi pada perencanaan operasi rinoplasti.

Posisi kepala ekstensi, sehingga puncak hidung terletak setinggi alis

(54)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Disain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitik dengan

pendekatan cross sectional.

3.2. Tempat dan Waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan THTKL FK USU

H. Adam Malik Medan

Waktu penelitian: penelitian ini dilakukan sejak Januari 2007.

3.3 Sampel Penelitian

Sampel penelitian dilakukan dan diperoleh dari beberapa lokasi di kota

Medan yaitu masyarakat sekitar jalan Pancing, jalan Namorambe dan

RSUP. H. Adam Malik Medan pada populasi berumur diatas 17 tahun

bersuku Batak yang memenuhi kriteria inklusi.

Metoda pengambilan sampel: Secara purposive sampling, semua orang yang

(55)

3.3.1 Kriteria Inklusi

a. Berusia minimal 17 tahun

b. Semua berasal dari suku Batak dari minimal tiga generasi.

e. Bersedia ikut dalam penelitian

3.3.2. Kriteria Eksklusi

Subjek penelitian yang memiliki kelainan kranio fasial.

3.3.3. Besar Sampel

n = Z2.P (1-P) = 1,96 2 . 0,19 (1- 0,19) = 59,1= 60 sampel

d2 0,12

dimana : n= jumlah sampel

Z= tingkat kepercayaan 95%

P= proporsi suku Batak

d=ketepatan penelitian (0,1)

3.4. Alat dan Bahan Yang Dipakai

a. Tustel Canon 3,2 Piksel.

b. Kain Latar warna biru muda ukuran 2 x 4 meter.

c. Jangka Pengukur.

(56)

3.5. Cara Kerja

Dilakukan pendataan pada orang bersuku batak yang memenuhi kriteria

inklusi. Dilakukan foto dengan latar belakang kain berwarna biru dengan

menggunakan kamera digital merk Canon 3,2 Mega piksel dari arah depan,

samping kanan dan kiri serta dari bawah hidung dengan jarak 0,6 meter.

Disertai pengukuran dengan menggunakan busur 180 o dan penggaris 12 cm

disertai jangka pengukur pada subjek penelitian dan pada foto yang telah

(57)

3.7. Batasan Operasional

1. Bentuk hidung : Bentuk dari hidung yang secara anthropologi

dibagi dalam 3 golongan besar, Yaitu golongan Leptorrine,

Mesorrhine dan Platyrrhine. Ukuran bentuk hidung menggunakan

nasal indeks yaitu rasio dari lebar hidung antara jarak terluar kedua

lobul (alanasi) dengan panjang hidung .

• Platyrrhine: bila nasal index ≥ 85.

• Mesorrhine: bila nasal index 85 > x > 65

• Leptorrhine: bila nasal index ≤ 65 (Matory et al,1985).

2. Sudut nasofrontal : sudut yang dibentuk dari titik pertemuan antara

garis dari nasal tip ke nasion dan glabela ke nasion berkisar 1150

-1300 (Becky,1993; Calhoun,2006).

3. Sudut nasofasial: sudut yang dibentuk dari titik pertemuan antara

garis dorsum hidung dengan garis vertikal dari glabela ke

pogonion berkisar 300-400 (Becky,1993; Calhoun,2006).

4. Sudut nasomental : sudut yang dibentuk dari titik pertemuan

antara dorsum hidung dengan garis dari pogonion ke nasal tip

berkisar 1200-1320 (Becky,1993; Calhoun,2006).

5. Sudut nasolabial : sudut yang dibentuk dari titik pertemuan antara

kolumela dengan bibir atas berkisar pada laki-laki 900-1050 dan

perempuan 1050-1200 (Becky,1993; Calhoun,2006).

(58)

7. Panjang hidung: jarak dari nasion ke subnasal (n-sn) diukur dalam

cm.

8. Lebar hidung: jarak dari bagian terlebar dari ala nasi (al-al) diukur

dalam cm.

9. Nasal indeks: rasio dari lebar hidung antara kedua lobul (ala nasi)

dengan panjang hidung (al-al)x100/n-sn).

(59)

10. Suku Batak yaitu salah satu suku yang terdapat di Sumatera Utara

yang di dalamnya terdiri dari lima subsuku yaitu Batak Karo, Toba,

Simalungun, Pakpak dan Angkola Mandailing.

3.8. Analisa data

Semua data yang terkumpul diolah dan disusun dalam bentuk tabel dan

diagram. Data dianalisis secara univariat dan bivariat dengan menggunakan uji T

(60)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Jumlah sampel penelitian yang diperoleh dari beberapa lokasi di kota

Medan yaitu Masyarakat sekitar jalan Pancing, Jalan Namorambe dan RSUP. H.

Adam Malik Medan mulai Januari 2007 berjumlah 62 orang terdiri dari 33

perempuan dan 29 laki-laki.

Data yang dikumpulkan, disajikan dalam bentuk tabel serta diagram.

Hasil Analisis Univariat (statistik deskriptif)

Tabel 4 .1. Distribusi sampel menurut umur

Umur n Persentase

(tahun)

<20 18 29,1

21-30 19 30,6

31-40 13 21,0

41-50 9 14,5

>51 3 4,8

(61)

Dari tabel 4.1 sampel terbanyak berusia 21-30 tahun; 19 orang (30 %).

TABEL 4.2 Distribusi Jenis Kelamin

JENIS KELAMIN n %

Laki-laki 29 46,8

Perempuan 33 53,2

(62)

47% 53%

Laki-laki

Perempuan

Diagram 4.2. Distribusi Jenis Kelamin

Dari tabel 4.2. Pemilihan sampel perempuan lebih banyak dari pada laki-laki.

Tabel 4.3 Distribusi Bentuk Hidung

Bentuk hidung Jumlah Persentase

Mesorrhine

Platyrrhine

Total

9

53

62

14.5

85.5

(63)

15%

85%

Mesorrhine Platyrrhine

Diagram 4.3. Distribusi Bentuk Hidung

Dari tabel 4.3 dapat dilihat bahwa pada grup Platyrrhine terdapat 53 orang

(85%) dan grup Mesorrhine 9 orang (14,5%).dan tidak terdapat grup Leptorrhine.

Tabel 4.4. Sebaran Parameter Hidung Sampel

Panjang hidung Tinggi hidung Lebar hidung

(n-sn) (sn-nt) (al-al)

Mean 4,17 1,36 3,82

Median 4,10 1,30 3,80

Mode 4,00 1,20 3,70

Standard deviasi 0,37 0,20 0,28

Minimum 3,20 1,00 3,20

Maksimum 5,40 1,90 4,30

Dari tabel 4.4. diperoleh nilai panjang hidung yang memiliki standard

(64)

cm dan nilai maksimum 5,40 cm. Tinggi hidung menunjukkan standard deviasi

terkecil yaitu 0,20 cm dengan rata-rata 1,36 cm dengan nilai maksimum 1,90 cm

dan nilai minimum 1,00 cm.

Tabel 4.5. Sebaran Karakteristik Sudut Estetik Hidung Sampel

Nasofrontal Nasomental Nasolabial Nasofasial

Mean 123,53 128,14 88,17 40,43

Median 124,50 129,50 90,00 40,00

Mode 120,00 130,00 90,00 40,00

Std.deviasi 9,27 6,16 7,77 4,83

Minimum 105,00 115,00 55,00 30,00

Maksimum 138,00 141,00 105,00 50,00

Keterangan satuan (0)

Dari tabel 4.5 diperoleh nilai sudut nasofrontal menunjukkan standard

deviasi terbesar 9,27 0 dengan nilai rata-rata 123,53 0 , nilai minimum 105 0 dan

nilai maksimum 138 0, sedangkan nilai sudut nasofasial menunjukkan standard

deviasi terkecil 4,830 dengan nilai rata-rata 40,44 0, nilai minimum 30 0 dan nilai

(65)

Tabel 4.6. Karakter Nasal Index Hidung Sampel

92,33 0 yang berarti Platyrrhine dengan nilai minimum 68,50 0 yang berarti

mesorrhine dan nilai maksimum 115 0.

Analisa Bivariat

Tabel 4.7. Hubungan Bentuk Hidung dengan Jenis Kelamin

(66)

0 5 10 15 20 25 30

mesorrhyne platyrrhine

Bentuk Hidung

Ju

mlah laki-laki

perempuan

Diagram 4.4. Hubungan Bentuk Hidung dengan Jenis Kelamin

Dari tabel 4.7 terlihat yang berbentuk mesorrhine 5 (55,6%) adalah

perempuan, laki-laki 4 (44,4%) dan yang berbentuk hidung platyrhine 28 (52,8%)

berjenis kelamin perempuan dan 25 (47,2%) berjenis kelamin laki-laki. Tidak ada

hubungan antara jenis kelamin dengan bentuk hidung pada suku Batak

(67)

Tabel 4.8 Hubungan Ukuran Anatomi Hidung dengan Jenis Kelamin

Laki-laki perempuan Anatomi Hidung ____________________________________________________ P

n Mean SD n Mean SD

Panjang hidung 29 4,43 0,30 33 3,94 0,24 0,0001

(n-sn)

Tinggi hidung 29 1,41 0,18 33 1,31 0,20 0,031

(sn-tn)

lebar hidung 29 3,98 0,21 33 3,69 0,25 0,0001

(al-al)

P<0,05

Dari Tabel 4.8 dapat dilihat rata-rata panjang hidung laki-laki 4,43 cm

(SD= 0,30) dan perempuan 3,94 cm (SD=0,24), tinggi hidung laki-laki 1,41 cm

(SD=0,18) dan perempuan 1,31 cm (SD= 0,20), lebar hidung laki-laki 3,98 cm

(SD=0,21) dan perempuan 3,69 cm (SD= 0,25).

Pada panjang hidung p=0,0001, tinggi hidung p=0,031 dan lebar hidung

p=0,0001. Ada perbedaan ukuran anatomi hidung menurut jenis kelamin (p<

(68)

TABEL 4.9 Perbedaan Sudut Hidung dan Nasal Indeks Menurut Jenis

Kelamin

Jenis Kelamin N Mean Std. Deviasi

Nasofrontal laki-laki 29 118,72 8,77

perempuan 33 127,76 7,55

Nasomental laki-laki 29 127,38 6,79

Perempuan 33 128,82 5,56

Nasolabial laki-laki 29 88,28 8,15

Perempuan 33 88,09 7,53

Nasofasial laki-laki 29 40,34 4,83

Perempuan 33 40,52 4,89

Nasal Index laki-laki 29 90,29 6,67

perempuan 33 94,12 9,13

p>0,05

Dari tabel 4.9 pada sudut nasofrontal terdapat perbedaan yang bermakna

menurut jenis kelamin dimana sudut nasofrontal perempuan lebih lebar

dibandingkan laki-laki (p<0,05)

Tidak terdapat perbedaan bermakna sudut nasomental, nasolabial dan

(69)

BAB 5

PEMBAHASAN

Sampel penelitian diambil dari tiga tempat penelitian, karena di tiga

tempat tersebut banyak bermukim masyarakat suku Batak. Pemukiman Batak

Toba, selain pemukiman Mandailing, tersebar dalam kelompok–kelompok

kampung di Medan Timur,Sunggal, Denai dan Johor. Sedangkan etnik Karo

banyak di daerah Simalingkar Tuntungan dan Padang Bulan (Pelly,2006).

Pada tabel 4.1 distribusi umur sampel paling muda 17 tahun dan tertua

53 tahun dengan umur rata-rata 29 tahun dan usia terbanyak berusia 21-30

tahun sebanyak 19 orang (30%). Paula (2003) di Spanyol pada penelitian pada

populasi Kaukasia Eropa umur terbanyak yang ikut penelitian 18-20 tahun.

Pada tabel 4.2 jenis kelamin sampel terbanyak perempuan 33 orang

(53,2%) dan laki-laki 29 (46,8%). Paula (2003) pada penelitiannya dari 212

sampel terdiri dari 50 laki-laki (23,6%) dan 162 perempuan (76,4%). Bejar (1996)

di Toronto pada penelitian pengukuran antropometri pada ras Kaukasia dari 28

sampel, didapat 21 laki-laki (75%) dan 7 perempuan (25%).

Pada tabel 4.3 tampak grup yang memiliki bentuk hidung Platyrrhine yang

terbanyak 53 orang (85% ) sedangkan bentuk hidung Mesorrhine 9 orang (15%).

Dari tabel 4.4 diperoleh nilai panjang hidung yang memiliki standard

deviasi terbesar yaitu 0,37 cm dengan rata-rata 4,17 cm dengan nilai minimum

3,20 cm dan nilai maksimum 5,40 cm. Tinggi hidung menunjukkan standard

(70)

1,90 cm dan nilai minimum 1,00 cm. Lebar hidung rata-rata 3,82 cm dengan nilai

minimum 3,20 cm dan nilai maksimum 4,30 cm dengan standard deviasi 0,28

cm.

Dari tabel 4.5 diperoleh nilai sudut nasofrontal menunjukkan standard

deviasi terbesar 9,27 0 dengan nilai rata-rata 123,53 0, nilai minimum 105 0 dan

nilai maksimum 138 0, sedangkan nilai sudut nasofasial menunjukkan standard

deviasi terkecil 4,83 0 dengan nilai rata-rata 40,44 0, nilai minimum 30 0 dan nilai

maksimum 50 0.

Dari tabel 4.6 diperoleh standard deviasi 8,24 dengan nilai rata- rata

92,33 yang berarti Platyrrhine dengan nilai minimum 68,50 dan nilai maksimum

115.

Dari tabel 4.7 terlihat bentuk mesorrhine 5 (55,5%) adalah perempuan dan

bentuk hidung platyrhine 28 (52,8%) juga berjenis kelamin perempuan. Pada

laki-laki bentuk hidung mesorrhine 4 (44,4%) dan bentuk hidung platyrrhine 25

(47,2%). Berarti tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan bentuk hidung

pada suku batak (p=0,880).

Dari tabel 4.8 dapat dilihat rata-rata panjang hidung laki-laki 4,43 cm

(SD= 0,30 cm) dan perempuan 3,94 cm (SD=0,24 cm), tinggi hidung laki-laki

1,41 cm (SD=0,18 cm) dan perempuan 1,30 cm (SD= 0,20 cm), lebar hidung

laki-laki 3,98 cm (SD=0,21) dan perempuan 3,68 cm (SD= 0,25 cm).

Pada panjang hidung p=0,0001, tinggi hidung p=0,031 dan lebar hidung

p=0,0001. Ada perbedaan anatomi hidung menurut jenis kelamin (p< 0,05)

Gambar

Gambar 2.1 Landmark Anatomi wajah..........................................             23
Tabel 2.1  Karakter hidung secara umum berdasarkan bentuk hidung
Tabel 4 .1. Distribusi sampel menurut umur
TABEL 4.2     Distribusi Jenis Kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

39 Penelitian lainnya oleh Sutan menyatakan terdapat diskrepansi lebar mesiodistal gigi geligi laki-laki dan perempuan suku Batak yaitu pada gigi kaninus rahang atas, kaninus

Model rahang atas dan rahang bawah yang diperoleh dari penelitian sebelumnya dengan judul Ukuran lebar mesiodistal dan dimensi lengkung gigi pada mahasiswa suku Batak

Konflik peran jender laki-laki Batak secara signifikan lebih tinggi dari konflik peran jender laki-laki Jawa, yang secara signifikan lebih tinggi dari konflik peran jender

Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda klan).. Acara tersebut dilanjutkan dengan

Panjang mandibula dan panjang basis mandibula laki-laki normal lebih besar daripada perempuan normal dan kelompok buta, serta perempuan normal lebih besar daripada pe- rempuan

Dari tabel 6.12, tampak lebar ala nasi pada suku Batak lebih besar dari panjang hidung sedang pada bangsa kaukasia ala nasi lebih kecil dibanding dengan panjang hidung..

PERSEPSI MASYARAKAT SUKU BATAK TOBA DAN BATAK KARO DALAM KONTEKS KOMUNIKASI ANTARBUDAYA (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa

Seorang janda lansia suku Batak Toba dituntut untuk melakukan tugas perkembangannya, living arrangement yang diikat oleh adat Batak Toba yaitu tinggal dengan anak