IMUNOREAKTIVITAS NEUREGULIN I SERUM DAN
SNP8NRG433E1006 GEN NEUREGULIN I
PADA SUKU BATAK YANG MENDERITA
SKIZOFRENIA PARANOID
ELMEIDA EFFENDY
NIM: 098102004
PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Latar belakang Neuregulin 1 (NRG1) merupakan faktor pertumbuhan pleiotropik, yang penting dalam perkembangan dan fungsi susunan saraf pusat, terlibat dalam modulasi migrasi neuronal, sinaptogenesis, gliogenesis, komunikasi neuron-glia, mielinasi dan neurotransmisi pada otak dan jaringan lainnya. NRG1 terletak pada 8p13, paling sering direplikasi untuk skizofrenia. SNP8NRG433E1006 gen NRG1 merupakan salah satu SNP yang berisiko untuk terjadinya skizofrenia.
Tujuan untuk mengetahui perbedaan imunoreaktivitas NRG1 serum dan SNP8NRG433E1006 gen NRG1 pada suku Batak yang menderita skizofrenia paranoid dan tidak menderita gangguan jiwa.
Metode Setelah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran USU, diberikan penjelasan terperinci tentang tujuan dan manfaat penelitian, diberikan lembaran persetujuan penelitian, dilakukan wawancara psikiatrik menggunakan MINI ICD-X, diagnosis ditegakkan berdasarkan PPDGJI-III. Kemudian dilakukan pengambilan darah untuk ELISA, isolasi DNA, Nested-PCR, dan DNA sequencing pada suku Batak yang menderita skizofrenia paranoid dan yang tidak menderita gangguan jiwa.
ABSTRACT
Background Neuregulin 1 (NRG1) gene is located at 8p13, one of the best replicated linkage loci for schizophrenia. NRG1 is a pleiotropic growth factor, important in nervous system development and function. It is involved in the modulation of neuronal migration, synaptogenesis, gliogenesis, neuron-glia communication, myelination and neurotransmission in the brain and other tissues. SNP8NRG433E1006 gene NRG1 is one of the five high risk SNP in schizophrenia.
Objective to look for differences NRG1 immunoreactivity serum and SNP8NRG433E1006 NRG1 gene in Bataks ethnic with schizophrenia paranoid and without mental disorders.
Methods This study was approved by the Research Ethics Committee of Medical Faculty University of Sumatera Utara. Written informed consents were obtained from all participant after giving a full explanation of the study protocol. Semi-structured interviews using MINI-ICD X were carried out for all participants. Diagnosis of schizophrenia paranoid were made based on PPDGJI-III criteria. DNA extraction, Nested PCR, DNA sequencing and ELISA were done for participants.
UCAPAN TERIMA KASIH
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas segala rahmat dan karunia- Nya disertasi dengan judul
Imunoreaktivitas Neuregulin1 Serum dan SNP8NNRG433E1006 Gen Neuregulin1 pada Suku Batak yang Menderita Skizofrenia Paranoid dapat diselesaikan.
Saya ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berjasa dan memberikan kontribusi. Kiranya Allah Maha Tahu, Maha Teliti dan berkenan membalas setiap kebaikan yang teramat besar, yang telah diberikan kepada saya hingga saat ini.
Dengan segala kerendahan hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM& H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A Siregar, Sp.PD-KGEH, beserta jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Doktor (S3).
Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) selaku Ketua Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan, dorongan dan fasilitas. Demikian juga kepada Sekretaris Program Studi Doktor (S3) Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL(K) yang telah meluangkan waktu memberikan saran dan motivasi kepada saya selama mengikuti proses pendidikan.
pendidik sejati yang penuh dengan ide-ide cemerlang dengan berbagai solusi yang sudah mendidik saya sejak saya masih menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran sampai sekarang. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada beliau.
Dr. dr. Nurmiati Amir, Sp.KJ(K) , staf pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia selaku ko-promotor I yang telah dengan penuh kesabaran, meluangkan waktu datang ke Medan secara berulang, membimbing, memberikan dukungan moril, masukan dan koreksi dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini dengan segala kearifan, kelapangan hati dan sikap selalu siap menolong. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada beliau.
dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D, staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara selaku ko-promotor II yang selalu bersedia dengan ikhlas meluangkan waktu untuk memotivasi, membimbing, mendorong dan mengarahkan saya dalam menjalankan pendidikan, penelitian dan penyelesaikan disertasi ini dengan kedalaman dan keluasan ilmu beliau dan sikap selalu siap menolong. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada beliau.
Prof. Dr. dr. HM. Syamsulhadi, Sp. KJ(K), Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Ketua Kolegium Psikiatri Indonesia, selaku penguji disertasi, yang dalam kesibukannya yang padat telah bersedia membantu menyempurnakan disertasi ini dengan segala masukan yang sangat berharga, menguji, menilai serta memberikan bimbingan.
dr. Gino Tann, Ph.D, Sp.PK, selaku penguji disertasi yang telah bersedia membantu menyempurnakan usulan penelitian, memberikan wawasan berharga tentang biomolekuler, dan menyempurnakan disertasi ini.
Dr. dr. Rosita Juwita Sembiring, Sp.PK, selaku penguji disertasi yang telah bersedia melakukan koreksi, masukan dan bimbingan sejak awal usulan penelitian sampai selesainya disertasi ini.
Dr. Ir. Erna Mutiara, MKN, selaku penguji disertasi yang telah bersedia memberikan masukan dan bimbingan sejak awal usulan penelitian sampai selesainya disertasi ini.
MD, MPH, DSc; Dr. dr. Rosita Juwita Sembiring, Sp.PK(K); dr. Gino Tann, Ph.D, Sp.PK; Prof. dr. Syafruddin, PhD, saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas bimbingan dan diskusi selama saya mengikuti pendidikan Program Studi S3.
Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp.JP-K selaku Ketua Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan FK USU yang telah memberikan izin untuk dapat dilakukannya penelitian ini.
Prof. dr. Guslihan Dasa Tjipta, Sp. A(K), selaku Pembantu Dekan I FK USU yang telah memberikan dukungan sehingga memperlancar proses pendidikan ini.
dr. Zainuddin Amir, M.Ked(Paru), Sp.P(K), Ketua TKP PPDS-I FK USU yang telah banyak memberikan masukan, dorongan dan kemudahan demi selesainya pendidikan ini.
dr. P. J. Sirait, M.Kes yang banyak membantu dalam hal pengolahan data, analisis dan interpretasi hasil penelitian ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada semua guru saya di Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa: Prof. dr. Syamsir BS, Sp.KJ(K) (Alm), dr. Harun T. Parinduri, Sp.KJ(K), Prof. dr. H.M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ(K), dr. Raharjo S, Sp.KJ dan dr. Marhanuddin Umar, Sp.KJ(K) (Alm).
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada semua guru saya baik dalam pendidikan formal maupun nonformal dari mulai Sekolah Dasar hingga saya menyelesaikan pendidikan Doktor.
dr. Dapot Parulian Gultom, Sp.KJ, M.Kes selaku Wakil Direktur Pelayanan Medik BLUD RSJ, Pemprovsu yang telah memberikan izin dan kemudahan dalam pelaksanaan penelitian ini.
Jajaran direksi Badan Layanan Umum Daerah RSJ Provinsi Sumatera Utara, RS Universitas Sumatera Utara, RSUP H. Adam Malik Medan, RS.Bhayangkara Medan, RS Haji Mina Medan selaku pimpinan tempat penulis bertugas yang telah memberikan dukungan selama ini.
dr. Ferdinan Leo Sianturi, M.Ked.KJ, dr. Hanip Fahri, MM, M.Ked.KJ, dr. Superida Ginting, M.Ked.KJ, dr. Wijaya Taufik Tiji, M.Ked.KJ, dr. Dessy Wahyuni, dr. Nining Gilang Sari, M.Ked. KJ, dr. Nazli Mahdinasari Nasution, dr. Poltak Jeremias Sirait, M.Kes, dr. Novita Linda Akbar, dr. Trisna Marni, dr. Catherine Tjong yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
Dr. Tetty Aman Nasution, M. Med Sc selaku pimpinan Lab Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin untuk menggunakan fasilitas Laboratorium yang beliau pimpin; Mardiah Nasution, ST dan Indra Wahyudi, SP yang dengan penuh kesabaran mengajari, membimbing dan membantu saya saat melakukan pekerjaan laboratorium terkait penelitian ini.
Teman peserta didik Program Doktor (S3) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, terima kasih tak terhingga atas segala kerjasama, keakraban serta saling mendukung dalam suka dan duka selama ini.
Seluruh staf administrasi Program Studi Doktor (S3) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang turut berjerih payah membantu kelancaran studi saya.
Sembah sujud, terima kasih yang tidak terhingga serta doa kami untuk orang tua tercinta Alm. Prof. Dr. dr. Hasjim Effendy dan Prof. dr. Yasmeiny Yazir yang telah, membesarkan,mendidik, membimbing dan memberi teladan dalam bekerja keras, mendalami ilmu pengetahuan, berpikir positif dan optimis, bertanggung jawab terhadap pilihan, amanah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, serta tabah dalam menjalani kehidupan.
Suami saya A. Reza Pahlevi, ST, SSi serta anak-anak saya Alifa Putri Mirza Pahlevi, dan M. Fadli Putra Pahlevi yang telah merelakan waktu mereka yang telah memberikan dukungan lahir bathin dan pengertian yang luar biasa selama ini.
Seluruh PPDS Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas pengertian dan dukungan yang diberikan selama saya menjalani pendidikan.
Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu namanya, semoga Allah SWT memberikan balasan yang terbaik.
serta mendapat berkah untuk dapat membawa nama almamater di pentas ilmiah nasional dan internasional.
Saya memohon maaf atas segala khilaf dan selalu memohon arahan, bimbingan dan nasehat kepada guru-guru saya. Semoga Allah SWT senantiasa memberi rahmat dan hidayahNya kepada kita semua, Amin. Ya Robbal Alamin.
Wabillahi taufiq walhidayah, wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
Medan, Februari 2014
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama :Elmeida Effendy
NIP :197205011999032004
Tempat/tanggal lahir:Leiden, 1 Mei 1972
Pangkat/Golongan : Penata tk I/ III d
Jabatan : Lektor Kepala
Agama : Islam
Alamat rumah : Jl.dr, Hamzah no 9- Medan 20154
No telepon/HP : 061-8211623 /08163131734
Alamat kantor : Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa FK USU/SMF Psikiatri RSUP.H. Adam Malik- Jl. Bunga Lau no 17 Medan
Alamat e-mail :micipsych@yahoo.com
Instansi : Fakultas Kedokteran USU
Nama orang tua
Ayah : (Alm). Prof. Dr. dr. Hasjim Effendy
Ibu : Prof. dr. Yasmeiny Yazir
Nama suami : A. Reza Pahlevi, ST,SSi
Nama anak : Alifa Putri Mirza Pahlevi
(Alm) M. Faiz Al Azmi
M. Fadli Putra Pahlevi
RIWAYAT PENDIDIKAN
- SD Yayasan Pendidikan Harapan 2 Medan : tamat tahun 1985 - SMP Yayasan Pendidikan Harapan 2 Medan : tamat tahun 1988 - SMA Negri 1 Medan : tamat tahun 1991
- Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa FK USU : tamat tahun 2004
- Program Magister Ilmu Kedokteran Jiwa FK USU : tamat tahun 2012
RIWAYAT PEKERJAAN
- Staf Pengajar Tetap Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa FK USU sejak tahun 1999 s/d sekarang
RIWAYAT JABATAN
- Sekretaris Departmen Ilmu Kedokteran Jiwa FK USU 2005-2007 - Sekretaris Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa FK USU 2007 –
2010
- Ketua Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa FK USU 2011- sekarang
KEANGGOTAAN ORGANISASI PROFESI
- Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Sumatera Utara - Ikatan Dokter Indonesia Cabang Medan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR SINGKATAN ... xvi
BAB I 1 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 4
1.3. Hipotesis Penelitian ... 5
1.4. Tujuan Penelitian ... 5
1.4.1. Tujuan umum ... 5
1.4.2. Tujuan khusus ... 5
1.5. Manfaat Penelitian ... 6
1.5.1. Manfaat teoritis ... 6
1.5.2. Manfaat praktis (terapan) ... 7
1.6. Orisinalitas ... 7
1.7. Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual ... 7
BAB II 8 2.1. Skizofrenia ... 8
2.1.1. Epidemiologi ... 8
2.1.2. Etiologi ... 9
2.1.2.1. Faktor-faktor biologik ... 9
2.1.2.1.1. Neurokimiawi otak ... 9
2.1.2.1.1.1. Hipotesis dopamin ... 9
2.1.2.1.1.2. Hipotesis serotonin ... 9
2.1.2.1.1.3. Hipotesis gamma-aminobutiryc acid (GABA) ... 10
2.1.2.1.1.4. Hipotesis glutamat ... 10
2.1.2.1.2. Hipotesis degeneratif saraf (neurodegenerative hypothesis) ... 10
2.1.2.1.3. Hipotesis perkembangan saraf (neurodevelopmental hypothesis) ... 11
2.1.2.1.4. Elektrofisiologi ... 11
2.1.2.1.5. Psikoneuroimunologi ... 12
2.1.2.1.6. Psikoneuroendokrinologi ... 12
2.1.2.2. Faktor psikososial ... 12
2.1.2.2.1. Teori psikoanalitik ... 12
2.1.2.2.2. Dinamika keluarga ... 12
2.1.2.3. Faktor genetik ... 13
2.1.4. Skizofrenia paranoid ... 14
2.1.5. Diagnosis ... 14
2.2. Genetika Skizofrenia ... 17
2.3 Neuregulin 1 ... 19
2.3.1 Protein neuregulin 1 ... 19
2.3.2. Gen NRG1 ... 20
2.4. Suku Batak ... 22
BAB III 24 3.1. Desain Penelitian ... 24
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24
3.3. Variabel Penelitian ... 24
3.4. Populasi dan Sampel ... 24
3.4.1. Populasi ... 24
3.4.2. Sampel ... 24
3.4.2.1. Besar sampel ... 25
3.4.2.2. Teknik pengambilan sampel ... 25
3.5. Kriteria inklusi dan eksklusi ... 25
3.6. Definisi operasional ... 26
3. 7. Bahan dan Alat Penelitian ... 28
3.7.1. Bahan ... 28
3.7.2. Alat penelitian ... 29
3.8. Cara kerja penelitian ... 29
3.8.1. Persiapan penelitian ... 29
3.8.1.1. Etika penelitian ... 29
3.8.1.2. Pelatihan tim peneliti ... 29
3.8.1.3. Identifikasi subjek yang berpotensi masuk ke dalam Penelitian ... 30
3.8.1.4. Informed consent ... 30
3.8.1.5. Penilaian lebih lanjut ... 30
3.8.1.6. Penegakan diagnosis ... 30
3.8.2. Prosedur pengambilan darah ... 31
3.8.3. ELISA ... 31
3.8.3.1. Cara kerja ... 31
3.8.4. Prosedur isolasi DNA... 32
3.8.5. Nested-polymerase chain reaction ... 33
3.8.6. Sequencing ... 34
3.9. Alur Penelitian ... 36
3.10.Manajemen dan Analisis Data ... 36
BAB IV 38 4.1. Protein NRG1 ... 39
4.2. Nested PCR NRG1 ... 41
4.3. Sequencing dari Gen NRG1 ... 42
BAB V 47 5.1. Protein NRG1 ... 49
5.2. Nested-PCR NRG1 ... 52
5.3. Sequencing dari gen NRG1 ... 52
BAB VI 56
6.1. Kesimpulan ... 56
6.2. Saran ... 57
DAFTAR PUSTAKA ... 59
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
Tabel 3. 1. Definisi Operasional ... 26
Tabel 4. 1. Data Dasar Usia, Durasi Penyakit, Awitan, Dosis Antipsikotika, Jenis Antipsikotika Suku Batak yang menderita skizofrenia paranoid dengan suku Batak yang tidak Menderita Gangguan Jiwa ... 38 Tabel 4. 2. Imunoreaktivitas NRG1 Serum Pada Suku Batak yang
Menderita Skizofrenia Paranoid dan Suku Batak yang
Tidak Menderita Gangguan Jiwa ... 40 Tabel 4. 3. Perbandingan Imunoreaktivitas NRG1 Serum pada Suku
Batak yang Menderita Skizofrenia Paranoid dengan Suku Batak yang tidak Menderita Gangguan Jiwa ... 40 Tabel 4. 4. Korelasi Usia, Awitan, Durasi Penyakit, Dosis Obat
Antipsikotika, dan Imunoreaktivitas NRG1 Serum ... 41 Tabel 4. 5. Distribusi Frekuensi SNP8NRG433E1006 gen NRG1 pada
Suku Batak yang menderita Skizofrenia Paranoid ... 43 Tabel 4. 6. Distribusi Frekuensi SNP8NRG433E1006 gen NRG1 pada
suku Batak yang Tidak Menderita Gangguan Jiwa ... 44 Tabel 4. 7. Hubungan Urutan Nukleotida ATCG dan GATC dengan
Suku Batak yang Menderita Skizofrenia Paranoid dan
Suku Batak yang Tidak Menderita Gangguan Jiwa ... 45 Tabel 4. 8. Perbandingan Nilai Rerata Imunoreaktivitas NRG1 Serum
pada Subjek dengan Dasar Perbedaan pada posisi bp 76-116 pada Suku Batak yang Menderita Skizofrenia
Paranoid ... 46 Tabel 4. 9. Perbandingan Nilai Rerata Imunoreaktivitas NRG1 Serum
pada Subjek dengan Dasar Perbedaan pada posisi bp 76-116 pada Suku Batak yang Tidak Menderita Gangguan
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
Gambar 2.1. Kerangka Teoritis... ...23
Gambar 2.2. Kerangka Konsep... ...23
Gambar 3.1. Alur Penelitian... ...36
Gambar 4. 1. Kurva Linier Imunoreaktivitas NRG1 Serum ... 39
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
DAFTAR SINGKATAN
AMPA : alpha amino 3 hydroxy-5 methyl-4-isoxazolepropionic acid
BDNF : brain derived neurotropic factor COMT : catechol-O- methyl-transferase DALY : Disability-Adjusted Life Year DISC1 : disrupted in schizophrenia 1
DNA : Deoxy Ribonucleic Acid
DSM-IV-TR : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Text Revised
DTNBP1 : dystrobrevin-binding protein 1
ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay GBD : Global Burden of Disease
GRM3 : glutamate receptor metabotropic 3 NMDA : N methyl D Aspartate
NRG1 : neuregulin1
PCR : Polymerase Chain Reaction PRODH : Proline dehydrogenase LTP : long term potentiation
RNA : Ribo Nuclec Acid
SA-HRP : Streptavidin-Horse Radish Peroxidase SNP : Single Nucleotide Polymorphism SWB : stringent wash buffer
ABSTRAK
Latar belakang Neuregulin 1 (NRG1) merupakan faktor pertumbuhan pleiotropik, yang penting dalam perkembangan dan fungsi susunan saraf pusat, terlibat dalam modulasi migrasi neuronal, sinaptogenesis, gliogenesis, komunikasi neuron-glia, mielinasi dan neurotransmisi pada otak dan jaringan lainnya. NRG1 terletak pada 8p13, paling sering direplikasi untuk skizofrenia. SNP8NRG433E1006 gen NRG1 merupakan salah satu SNP yang berisiko untuk terjadinya skizofrenia.
Tujuan untuk mengetahui perbedaan imunoreaktivitas NRG1 serum dan SNP8NRG433E1006 gen NRG1 pada suku Batak yang menderita skizofrenia paranoid dan tidak menderita gangguan jiwa.
Metode Setelah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran USU, diberikan penjelasan terperinci tentang tujuan dan manfaat penelitian, diberikan lembaran persetujuan penelitian, dilakukan wawancara psikiatrik menggunakan MINI ICD-X, diagnosis ditegakkan berdasarkan PPDGJI-III. Kemudian dilakukan pengambilan darah untuk ELISA, isolasi DNA, Nested-PCR, dan DNA sequencing pada suku Batak yang menderita skizofrenia paranoid dan yang tidak menderita gangguan jiwa.
ABSTRACT
Background Neuregulin 1 (NRG1) gene is located at 8p13, one of the best replicated linkage loci for schizophrenia. NRG1 is a pleiotropic growth factor, important in nervous system development and function. It is involved in the modulation of neuronal migration, synaptogenesis, gliogenesis, neuron-glia communication, myelination and neurotransmission in the brain and other tissues. SNP8NRG433E1006 gene NRG1 is one of the five high risk SNP in schizophrenia.
Objective to look for differences NRG1 immunoreactivity serum and SNP8NRG433E1006 NRG1 gene in Bataks ethnic with schizophrenia paranoid and without mental disorders.
Methods This study was approved by the Research Ethics Committee of Medical Faculty University of Sumatera Utara. Written informed consents were obtained from all participant after giving a full explanation of the study protocol. Semi-structured interviews using MINI-ICD X were carried out for all participants. Diagnosis of schizophrenia paranoid were made based on PPDGJI-III criteria. DNA extraction, Nested PCR, DNA sequencing and ELISA were done for participants.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Skizofrenia merupakan gangguan psikiatrik berat, sangat destruktif,
penyebab disabilitas dengan prevalensi seumur hidup berkisar antara
0,5-1% (Stefansson et al., 2002; Li, Collier dan He, 2006; Mc Grath et al.,
2009; Nieratschker, Nothen dan Rietscel, 2010).
Menurut studi The Epidemiological Catchment Area yang
disponsori oleh National Institute of Mental Health prevalensi seumur
hidup skizofrenia berkisar antara 0,6-1,9 %, dan menurut Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder IV Text Revised (DSM-IV-TR)
insidens tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5-5,0 per 10.000 dengan
beberapa variasi geografis (Fatemi, 2008; Sadock dan Sadock, 2007).
Meskipun banyak penelitian terhadap gangguan ini, aspek dari
etiologi dan patofisiologinya sampai saat ini masih sedikit dipahami (Mc
Grath et al., 2009; Tamminga, 2009; Nieratschker, Nothen dan Rietscel,
2010; Jones dan Buckley, 2006; Tamminga, 2003). Namun demikian
pertimbangan terhadap kontribusi genetik pada gangguan ini sendiri telah
dikenal dengan baik. Dari berbagai studi keluarga mengemukakan peran
genetik dengan heritabilitas mencapai 70-85% (Mc Grath et al., 2009;
Braff dan Freedman, 2002; Cannon dan Keller, 2006) dan pada keluarga
derajat pertama memiliki peningkatan risiko 5-10 kali lebih tinggi untuk
menderita skizofrenia dibandingkan dengan populasi umum (Nieratschker,
Kebanyakan individu yang terlibat mungkin mempunyai beberapa
kombinasi dari variasi alel dalam variasi gen. Terdapatnya predisposisi
alel tersebut tidak cukup untuk menimbulkan manifesnya penyakit, namun
mempunyai kontribusi dalam pewarisan sifat (Volk dan Lewis, 2008).
Meta-analisis dari genome-wide linkage menemukan sejumlah loki
kromosom yang berhubungan dengan skizofrenia: 2p, 6p, 8p, 13q, dan
22q. Sejumlah loki ini mengandung gen-gen yang mengatur fungsi
neurobiologik, mengatur sistem molekuler, seperti neuregulin (NRG1),
dysbindin (DTNBP1), G72, suatu regulator dari G protein signaling 4
(RGS4), catechol-O–methyl transferase (COMT), proline dehydrogenase
(PRODH), metabotropic glutamate receptor 3 (GRM3), protein kinase
AKT1 dan disrupted-in-schizophrenia 1 (DISC1) (Volk dan Lewis, 2008;
Owen, Craddock dan O’Donovan, 2009; Riley dan Kendle, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Stefansson dan kawan-kawan
awalnya mengidentifikasi NRG1 sebagai suatu gen yang bertanggung
jawab untuk skizofrenia pada populasi Iceland (Stefansson et al., 2003;
Stefansson et al., 2002). Studi-studi asosiasi dan keterpautan pada
populasi etnik yang berbeda menyatakan NRG1 pada lokus 8p sebagai
kandidat gen yang berpengaruh untuk skizofrenia (Sei et al., 2007). Lebih
dari sepuluh studi-studi kasus kontrol dan lebih dari lima family-based
association studies menunjukkan bukti yang positif pada hubungan ini
(Buxbaum et al., 2008). Namun mekanisme pasti pengaruh kontribusi
Pada laporan asli asosiasi skizofrenia pada populasi Iceland,
Stefansson dan kawan-kawan mengidentifikasi suatu “core at-risk
haplotype” yang terdiri dari 5 SNP (SNP8NRG221132, SNP8NRG221533,
SNP8NRG241930, SNP8NRG243177 dan SNP8NRG433E1006).
Studi-studi lanjutan terpisah pada populasi Scottish, Irish, United Kingdom,
Dutch mengkonfirmasi asosiasi genetik antara skizofrenia dan NRG1
dengan penanda pada inti haplotype yang sama (Law et al., 2006).
Gen Neuregulin 1 menunjukkan perbedaan populasi pada alel dan
frekuensi haplotype (Wang et al., 2009; Corvin et al., 2004). Studi
terhadap populasi Asia Timur (khususnya Cina, Jepang dan Korea)
menunjukkan hasil yang inkonsisten dalam penemuan asosiasi antara
skizofrenia dan SNP8NRG433E1006 dan polimorfisme yang lain. Bahkan
dengan populasi Cina yang lain hasilnya berbeda (Li, Collier dan He,
2006; Munafo et al., 2006; Wang et al., 2009; Munafo, Attwood dan Flint,
2007).
Di Sumatera Utara, berdasarkan daftar kunjungan pasien ke Badan
Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa (BLUD RSJ) Propinsi
Sumatera Utara, kunjungan ke poliklinik jiwa rata-rata 52 orang per hari.
Prevalensi skizofrenia pada suku Batak di BLUD RSJ Propinsi Sumatera
Utara sebanyak 60 % (BLUD RS Jiwa Provinsi Sumatera Utara, 2012).
Suku Batak adalah kelompok masyarakat yang dikenal sebagai
orang Indonesia, dengan penampilan fisiknya yang mudah dibedakan
dengan orang kulit putih (Kaukasoid) dan orang kulit hitam (Negroid),
adat istiadat terutama yang berdomisili di Wilayah Sumatera Utara
(Simanjuntak, 2006).
Suku Batak dipilih karena selain prevalensi kunjungan ke poliklinik
BLUD RSJ Pemprovsu paling tinggi, kemurnian suku paling terjaga,
karena adanya adat istiadat yang kuat untuk tetap mempertahankan
kemurnian suku dengan menikah juga dengan suku Batak.
Peneliti memilih untuk memeriksa NRG1 di antara gen-gen yang
berpengaruh terhadap skizofrenia berdasarkan bukti kekuatan yang paling
menonjol baik di bidang asosiasi dengan skizofrenia, keterpautan dengan
lokus gen, biologic plausibility dan ekspresi yang berubah pada
skizofrenia. SNP8NRG433E1006 dipilih berdasarkan kemampulaksanaan
dalam pemeriksaan SNP tersebut.
Penelitian tentang NRG1, baik imunoreaktivitas NRG1 serum
maupun SNP8NRG433E1006 gen NRG1 pada bangsa Indonesia,
khususnya suku Batak belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu perlu
diketahui nilai imunoreaktivitas NRG1 serum dan SNP8NRG433E1006
gen NRG1 pasien skizofrenia di Indonesia khususnya suku Batak.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang sudah diuraikan
dan penelusuran kepustakaan, dapat dirumuskan masalah yang
dituangkan sebagai pertanyaan penelitian berikut: Apakah ada perbedaan
suku Batak yang menderita skizofrenia paranoid dengan suku Batak yang
tidak menderita gangguan jiwa?
1.3. Hipotesis Penelitian
Terdapat perbedaan imunoreaktivitas NRG1 serum antara suku
Batak yang menderita skizofrenia paranoid dengan suku Batak yang tidak
menderita gangguan jiwa.
Terdapat perbedaan SNP8NRG433E1006 gen NRG1 antara suku
Batak yang menderita skizofrenia paranoid dengan suku Batak yang tidak
menderita gangguan jiwa.
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan umum
Untuk mengetahui perbedaan imunoreaktivitas NRG1 serum dan
SNP8NRG433E1006 gen NRG1 antara suku Batak yang menderita
skizofrenia paranoid dengan suku Batak yang tidak menderita gangguan
jiwa.
1.4.2. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik suku Batak yang menderita skizofrenia
paranoid (usia, durasi penyakit, dosis dan jenis antipsikotika yang
digunakan, faktor endogen dan stresor psikososial)
2. Untuk mengetahui imunoreaktivitas NRG1 serum pada suku Batak
yang menderita skizofrenia paranoid dan pada suku Batak yang tidak
3. Untuk mengetahui perbedaan imunoreaktivitas NRG1 serum pada suku
Batak yang menderita skizofrenia paranoid dengan suku Batak yang
tidak menderita gangguan jiwa
4. Untuk mengetahui korelasi usia, awitan, durasi penyakit, dosis
antipsikotika dengan imunoreaktivitas NRG1 serum
5. Untuk mengetahui distribusi frekuensi SNP8NRG433E1006 gen NRG1
pada suku Batak yang menderita skizofrenia paranoid.
6. Untuk mengetahui distribusi frekuensi SNP8NRG433E1006 gen NRG1
pada suku Batak yang tidak menderita gangguan jiwa.
7. Untuk mengetahui hubungan SNP8NRG433E1006 gen NRG1 dan
besar risiko timbulnya skizofrenia paranoid pada suku Batak.
8. Untuk mengetahui hubungan SNP8NRG433E1006 gen NRG1 dengan
imunoreaktivitas NRG1 serum pada suku Batak yang menderita
skizofrenia paranoid.
9. Untuk mengetahui hubungan SNP8NRG433E1006 gen NRG1 dengan
imunoreaktivitas NRG1 serum pada suku Batak yang tidak menderita
gangguan jiwa.
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat teoritis
1. Mendapatkan nilai imunoreaktivitas NRG1 serum sebagai salah satu
faktor kerentanan timbulnya skizofrenia paranoid pada suku Batak
2. Dengan mendapatkan frekuensi SNP8NRG433E1006 gen NRG1 pada
pasien skizofrenia suku Batak dapat diketahui faktor predisposisi segi
1.5.2. Manfaat praktis (terapan)
1. Dapat digunakan sebagai metode screening untuk keluarga yang
mempunyai riwayat keluarga skizofrenia paranoid.
2. Memanfaatkan metode biologi molekuler pada konsul genetika untuk
tindakan preventif terjadinya skizofrenia pada suku Batak.
1.6. Orisinalitas
Penelitian tentang imunoreaktivitas NRG1 serum dan
SNP8NRG433E1006 gen NRG1 pada bangsa Indonesia, khususnya suku
Batak belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu, penelitian ini diharapkan
dapat menyumbangkan sebuah hak atas kekayaan intelektual berupa
penemuan informasi baru yang menyajikan imunoreaktivitas NRG1 serum
dan SNP8NRG433E1006 gen NRG1 pada suku Batak baik pada suku
Batak yang menderita skizofrenia paranoid dengan suku Batak yang tidak
menderita gangguan jiwa.
1.7. Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual
1. Diketahuinya nilai imunoreaktivitas NRG1 serum pada suku Batak yang
menderita skizofrenia paranoid dan suku Batak yang tidak menderita
gangguan jiwa.
2. Ditemukannya distribusi frekuensi SNP8NRG433E1006 gen NRG1
pada suku Batak yang menderita skizofrenia paranoid.
3. Ditemukannya distribusi frekuensi SNP8NRG433E1006 gen NRG1
pada populasi suku Batak yang tidak menderita gangguan jiwa.
4. Diketahuinya hubungan SNP8NRG433E1006 gen NRG1 dengan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Skizofrenia
Skizofrenia merupakan suatu sindroma klinis yang bervariasi, tetapi
sangat destruktif, psikopatologinya mencakup aspek-aspek kognisi, emosi,
persepsi dan aspek-aspek perilaku lainnya. Ekspresi dari manifestasi
gangguan ini bervariasi di antara pasien, tapi efeknya selalu berlangsung
lama dan berat. Gangguan ini biasanya dimulai sebelum usia 25 tahun,
dapat mengenai siapa saja dari kelompok sosial ekonomi manapun
(Sadock dan Sadock, 2007; Fatemi, 2008; Pesold, Roberts dan
Kirkpatrick, 2004).
2.1.1. Epidemiologi
Di Amerika Serikat prevalensi seumur hidup untuk skizofrenia
berkisar 1 %, ini berarti 1 dalam 100 orang akan mengalami skizofrenia
dalam hidupnya. Menurut studi The Epidemiological Catchment Area yang
disponsori oleh National Institute of Mental Health prevalensi seumur
hidup skizofrenia berkisar antara 0,6-1,9%. Menurut Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder IV Text Revised (DSM-IV-TR)
insidens tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5-5,0 per 10.000 dengan
beberapa variasi geografis.Insidens lebih tinggi pada orang–orang yang
dilahirkan di daerah urban. Skizofrenia ditemukan ditemukan di seluruh
kelas masyarakat dan area geografis, insidens dan rasio prevalens
DSM-IV, American Psychiatric Association, 2000; Van-Os dan Allardyce,
2009).
2.1.2. Etiologi
Etiologi skizofrenia terdiri dari : faktor-faktor biologik,psikososial dan
genetik.
2.1.2.1. Faktor-faktor biologik
Faktor-faktor biologik terdiri dari :
2.1.2.1.1. Neurokimiawi otak
Terdiri dari hipotesis dopamin, hipotesis serotonin,hipotesis GABA,
hipotesis glutamat (Sadock dan Sadock, 2007; Benes dan Tamminga,
2002).
2.1.2.1.1.1. Hipotesis dopamin
Formulasi paling sederhana dari hipotesis dopamin skizofrenia
menyatakan skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergik yang
berlebihan. Teori dasar ini tidak mengelaborasi apakah hiperaktivitas
dopaminergik itu sehubungan dengan terlalu banyak pelepasan dopamin,
terlalu banyak reseptor dopamin, hipersensitivitas reseptor dopamin
terhadap dopamin atau kombinasi dari mekanisme-mekanisme ini (Stahl,
2008; Guillin, Abi-Dargham dan Laruelle, 2007; Goto dan Grace, 2007;
Bobo dan Rapoport, 2008; Abi-Dargham dan Grace, 2011).
2.1.2.1.1.2. Hipotesis serotonin
Hipotesis ini menyatakan serotonin yang berlebihan sebagai
penyebab gejala positif dan negatif pada skizofrenia (Sadock dan Sadock,
2.1.2.1.1.3. Hipotesis gamma-aminobutiryc acid (GABA)
Neurotransmiter asam amino inhibitory gamma-aminobutiryc acid
(GABA) dikaitkan dengan patofisiologi skizofrenia didasarkan pada
penemuan bahwa beberapa pasien skizofrenia mempunyai kehilangan
neuron-neuron GABA-ergic di hipokampus. GABA memiliki efek regulatory
pada aktivitas dopamin, dan kehilangan neuron inhibitory GABA-ergic
dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron-neuron dopaminergik (Sadock
dan Sadock, 2007; Lewis dan Hashimoto, 2007; Krystal dan Moghaddam,
2011).
2.1.2.1.1.4. Hipotesis glutamat
Glutamat dianggap terlibat karena penggunaan fensiklidin, suatu
antagonis glutamat menghasilkan suatu sindroma akut yang serupa
dengan skizofrenia (Sadock dan Sadock, 2007).
2.1.2.1.2. Hipotesis degeneratif saraf (neurodegenerative hypothesis)
Sejumlah proses degeneratif saraf dihipotesiskan, berkisar dari
apoptosis abnormal yang diprogram secara genetik, degenerasi dari
neuron-neuron yang kritis, pemaparan prenatal terhadap anoksia, toksin-
toksin, infeksi atau malnutrisi, proses kehilangan neuronal yang dikenal
sebagai excitotoxicity akibat aksi berlebihan dari neurotransmiter glutamat.
Jika neuron- neuron tereksitasi ketika memperantarai gejala-gejala positif,
kemudian mati akibat proses toksik yang disebabkan neurotransmisi
gejal-gejala negatif (Stahl, 2008; Stan, Lesselyong dan Ghose, 2009;
Konrad dan Winterer, 2008; Balu dan Coyle, 2011).
2.1.2.1.3. Hipotesis perkembangan saraf (neurodevelopmental hypothesis)
Banyak teori-teori tentang skizofrenia menyatakan gangguan ini
berasal dari abnormalitas dalam perkembangan otak. Sebagian
menyatakan bahwa problem didapatkan dari lingkungan otak janin.
Skizofrenia dapat berawal dengan proses degeneratif yang didapat yang
berpengaruh dengan perkembangan saraf. Sebagai contoh skizofrenia
meningkat pada orang-orang dengan riwayat semasa janin mengalami
komplikasi obstetrik saat dalam kehamilan ibu, berkisar dari infeksi virus,
kelaparan, proses autoimun dan masalah-masalah lain yang
menyebabkan gangguan pada otak di awal perkembangan janin, dapat
berkontribusi terhadap penyebab skizofrenia. Faktor-faktor ini juga
akhirnya dapat mengurangi faktor-faktor pertumbuhan saraf dan
merangsang proses-proses tetentu yang membunuh neuron-neuron yang
kritis, seperti sitokin, infeksi virus, hipoksia, trauma, kelaparan atau stres
(Stahl, 2008; Busatto et al., 2010; Jaaro-Peled et al., 2009; Kato et al.,
2011; Waddington dan Morgan, 2001; Harrison, Lewis dan Kleinman,
2011; Weinberger dan Levitt, 2011).
2.1.2.1.4. Elektrofisiologi
Studi-studi elektrofisiologi menunjukkan bahwa banyak pasien
skizofrenia mempunyai rekaman elektrofisiologik abnormal, peningkatan
kurangnya tidur, penurunan aktivitas alfa, peningkatan aktivitas theta dan
delta) (Sadock dan Sadock, 2007; Salisbury, Krljes dan McCarley, 2003;
Winterer dan McCarley, 2011).
2.1.2.1.5. Psikoneuroimunologi
Sejumlah abnormalitas berkaitan dengan skizofrenia, mencakup
penurunan produksi T-cell interleukin-2, pengurangan jumlah dan respons
limfosit perifer, reaktivitas humoral dan seluler abnormal terhadap neuron,
adanya antibodi brain-directed (antibrain) (Stahl, 2008).
2.1.2.1.6. Psikoneuroendokrinologi
Banyak laporan menggambarkan perbedaan neuroendokrin pada
pasien skizofrenia dan kelompok kontrol. Contohnya: abnormalitas
dexamethason suppression test, penurunan luteinizing hormone dan
follicle-stimulating hormone (Stahl, 2008).
2.1.2.2. Faktor psikososial 2.1.2.2.1. Teori psikoanalitik
Sigmund Freud menyatakan skizofrenia berasal dari perkembangan
yang terfiksasi. Fiksasi ini mengakibatkan defek pada perkembangan ego
dan defek-defek ini memberikan kontribusi terhadap gejala-gejala
skizofrenia (Sadock dan Sadock, 2007).
2.1.2.2.2. Dinamika keluarga
Sejumlah pasien skizofrenia berasal dari keluarga-keluarga yang
disfungsi. Perilaku keluarga patologis dapat meningkatkan stres emosional
yang merupakan hal yang rentan pada pasien skizofrenia untuk
communication, schisms and skewed family, pseudomutual dan
pseudohostile families, dan emosi yang diekspresikan secara tinggi
(Sadock dan Sadock, 2007).
2.1.2.3. Faktor genetik
Terdapat kontribusi genetik pada sebagian atau mungkin semua
bentuk skizofrenia, dan proporsi yang tinggi dari variasi dalam
kecenderungan skizofrenia sehubungan dengan efek genetik. Risiko
menderita skizofrenia sebesar 1% pada populasi umum jika tidak ada
keluarga yang terlibat. Bila salah satu orang tua menderita skizofrenia
maka insidens untuk menderita skizofrenia sebesar 12%. Insidens
skizofrenia pada kembar dizigotik jika salah satu menderita skizofrenia
sebesar 12%, pada kembar monozigotik sebesar 47%. Jika kedua orang
tua menderita skizofrenia insidensnya sebesar 40% (Sadock dan Sadock,
2007; Owen, O'Donovan dan Harrison, 2005; Weeks dan Lange, 1988).
2.1.3. Gambaran klinis
Tidak ada gejala dan tanda klinis yang patognomonis untuk
skizofrenia; setiap gejala atau tanda yang terlihat pada skizofrenia juga
ada di gangguan neurologik dan psikiatrik lainnya. Gejala-gejala seorang
pasien dapat berubah sejalan dengan waktu. Misalnya seorang pasien
mungkin mengalami halusinasi intermiten atau kemampuan yang
bervariasi dalam menghadapi situasi sosial secara adekuat, atau
gejala-gejala gangguan mood yang bermakna dapat datang dan pergi selama
perjalanan penyakit skizofrenia. Klinisi juga harus mempertimbangkan
Sebagai contoh, kemampuan yang terganggu untuk memahami konsep
abstrak dapat mencerminkan pendidikan pasien atau intelegensianya.
Organisasi keagamaan dan kebudayaan mungkin memiliki pola-pola yang
kelihatan aneh bagi orang di luar tetapi normal bagi yang terlibat di
dalamnya (Sadock dan Sadock, 2007; Goldberg, David dan Gold, 2011;
Yeganeh et al., 2011).
2.1.4. Skizofrenia paranoid
Skizofrenia paranoid ditandai oleh preokupasi satu atau lebih
waham atau halusinasi pendengaran yang sering. Umumnya waham
besar dan waham kejaran. Biasanya mengalami episode pertama pada
usia yang lebih tua dibandingkan skizofrenia disorganized dan katatonik
(Sadock dan Sadock, 2007).
2.1.5. Diagnosis
Di Indonesia kriteria diagnostik skizofrenia ditegakkan berdasarkan
Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III yang
dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1993
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993).
Walaupun tidak ada gejala-gejala yang patognomonik, dalam
praktek ada manfaatnya untuk membagi gejala-gejala tersebut ke dalam
kelompok-kelompok yang penting untuk diagnosis dan yang sering
terdapat secara bersama-sama, misalnya :
a) thought echo,thought insertion atau withdrawal dan thought
b) Waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi
(delusion of influence) atau passivity, yang jelas merujuk pada
pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak, atau
pikiran,perbuatan atau perasaan khusus;persepsi delusional;
c) Suara halusinasi yang berkomentar terus-menerus terhadap perilaku
pasien, atau mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri,
atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian
tubuh;
d) Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap
tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai
identitas keagamaan atau politik, atau kekuatan dan kemampuan
manusia super (misalnya mampu mengendalikan cuaca,atau
berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia lain);
e) Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide
berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi
setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan
terus-menerus;
f) Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi)
yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau
g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap
tubuh tertentu (posturing) atau fleksibilitas serea, negativism, mutisme
dan stupor;
h) Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat masa bodoh (apatis),
pembicaraan yang terhenti dan respons emosional yang menumpul
atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari
pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau
medikasi neuroleptika;
i) Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi
sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam
diri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial;
Pedoman diagnostik
Persyaratan yang normal untuk diagnosis skizofrenia ialah harus
ada sedikitnya satu gejala tersebut di atas yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih apabila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang
jelas) dari gejala (a) sampai (d) tersebut di atas, atau paling sedikit dua
gejala dari kelompok (e) sampai (h) yang harus selalu ada secara jelas
selama kurun waktu satu bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang memenuhi
persyaratan gejala tersebut tetapi yang lamanya kurang dari satu bulan
(baik diobati atau tidak) harus didiagnosis pertama kali sebagai ganggun
gejala-gejala tersebut menetap selama kurun waktu yang lebih lama
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993).
2.2. Genetika Skizofrenia
Minat yang besar dalam genetika dari gangguan psikiatrik berasal
dari kekuatan potensial dari pendekatan genetik untuk mengidentifikasi
penyakit gen dan menegaskan dasar molekuler psikopatologi gangguan
tersebut. Beberapa bukti mendukung peranan terhadap pewarisan
gangguan tersebut. (Volk dan Lewis, 2008; Bakker et al., 2004; Craddock
dan Owen, 1996; Gejman, Sanders dan Duan, 2010; Hauser et al., 1996;
Maier, Zobel dan Kuhn, 2006; Mowry, 2010; Harrison dan Weinberger,
2005; Riley, Asherson dan McGuffin, 2003).
Model transmisi genetik pada skizofrenia belum diketahui, tetapi
sejumlah gen tampak memiliki kontribusi pada kerentanan terhadap
skizofrenia. Studi keterkaitan dan asosiasi genetik telah mendapatkan
bukti yang kuat untuk sembilan tempat terkait : 1q,5q,6p,6q,8p,10p,13q,15
q dan 22q (Sadock dan Sadock, 2007; Riley dan Kendler, 2005; Hirvonen
et al., 2004; Badner dan Gershon, 2002; Riley dan Kendler, 2011).
Studi-studi yang membuktikan keterlibatan genetik dan pengaruh
lingkungan pada skizofrenia antara lain :
Studi Epidemiologi Populasi
Studi ini mempelajari prevalensi dan insiden dari gangguan dan
penyakit berdasarkan survey komunitas. Variasi dalam nilai rerata tertentu
dapat memberikan informasi berharga mengenai penyakit dan
populasi merupakan dasar yang kritis untuk mengestimasi kemampuan
pewarisan pada studi genetik yang melibatkan keluarga. Studi pada
populasi yang terisolasi secara geografik, kebudayaan juga memberikan
manfaat yang khusus karena selain terisolasi secara geografik biasanya
populasi ini merupakan keluarga besar (large pedigree) dan akan
memudahkan mengambil kesimpulan oleh karena peningkatan
homogenitas baik variasi gennya maupun interaksi lingkungannya (Moldin
dan Daly, 2009; Fears dan Freimer, 2009; O'Donovan dan Owen, 2011).
Studi Keluarga
Studi-studi keluarga menunjukkan suatu gangguan atau simtom
spesifik yang diwariskan pada anggota keluarga. Meskipun demikian sulit
untuk memisahkan apakah keadaan tersebut berasal dari faktor
lingkungan atau faktor genetik, karena keluarga memang berbagi materi
genetik tetapi juga berbagi elemen lingkungan yang sama. Dalam rangka
memisahkan faktor genetik dan faktor lingkungan diadakan studi kembar
dan studi adopsi (Moldin dan Daly, 2009; Riley dan Kendler, 2005).
Studi Molekular Genetik
Studi keterpautan, studi asosiasi dan studi transgenik banyak
dilakukan untuk mengidentifikasi faktor genetik pada tingkat molekuler
(Nieratschker, Nothen dan Rietscel, 2010; Craddock dan Owen, 1996;
Craddock, O’Donovan dan Owen, 2005). Studi keterpautan memakai
sampel dari keluarga (pedigree) yang memiliki masalah/penyakit yang
menggambarkan kerentanan terhadap penyakit tersebut (Fears dan
Freimer, 2009; Clerget-Darpoux, Bonaiti-Pellie dan Hochez, 1986).
Studi-studi yang berkaitan dengan kandidat gen, baik posisi; lokasi
pada regio genom yang berhubungan dengan skizofrenia dan fungsi;
keterlibatan dalam perkembangan otak, hubungan sinaptik dan
neurotransmisi menghasilkan beberapa kandidat yang menjanjikan yang
dianggap mempunyai kontribusi terhadap skizofrenia, seperti : dysbindin
(DTNBP 1), neuregulin1(NRG1), G 72, RGS4,cathecol- O- methyl
transferase (COMT), proline dehydrogenase (PRODH), metabotropic
glutamate receptor 3 (GRM3), protein kinase AKT1 dan disrupted-in-
schizophrenia (DISC1) (Munafo et al., 2006; Kim et al., 2012).
Empat gen-gen kunci yang mengatur konektivitas dan
sinaptogenesis pada skizofrenia adalah: brain- derived neurotrophic factor
(BDNF), dysbindin (disebut juga dystrobrevin-binding protein1) yang
terlibat dalam pembentukan struktur-struktur sinaptik, neuregulin, terlibat
dalam migrasi neuronal dan pembentukan sel-sel glia dan mielinisasi; dan
DISC-1(disrupted in schizophrenia-1) yang membuat protein yang terlibat
dalam neurogenesis, migrasi neuronal dan organisasi dendritik (Stahl,
2008; Hall et al., 2006; Dammann et al., 2008; Haraldsson et al., 2010;
Buonanno, 2010).
2.3 Neuregulin 1
2.3.1 Protein neuregulin 1
Protein neuregulin 1 dan reseptor-reseptornya merupakan anggota
penting dalam perkembangan sistem saraf dan jantung. Kebanyakan
isoform neuregulin 1 disintesis sebagai proprotein transmembran yang
diproses secara proteolitik terhadap fragmen terminal N yang
mengandung bioaktif EGF-like domain (Ozaki et al., 2004; Feng et al.,
2010; Frenzel dan Falls, 2001; Keri, Kiss dan Kelemen, 2009; Newbern
dan Birchmeier, 2010). NRG 1 juga dikenal sebagai faktor pertumbuhan
glial, suatu protein yang dimurnikan sebagai mitogen untuk Schwann cells
(SC). NRG1 dapat menginduksi diferensiasi neural crest menjadi fenotip
SC. NRG1 juga meningkatkan pergerakan SC, migrasi dan menginduksi
proliferasi SC (Corfas et al., 2004; Boucher et al., 2011).
2.3.2. Gen NRG1
Neuregulin 1 (NRG1) awalnya merupakan suatu kandidat gen yang
bertanggung jawab untuk skizofrenia pada studi yang dilakukan di Iceland
(Petryshen et al., 2005; Munafo et al., 2006; Marball et al., 2012; Gardner
et al., 2006). Gen NRG1 terletak pada 8p21-p12,satu dari loki yang
berkaitan dengan skizofrenia (Li, Collier dan He, 2006; Pedrosa et al.,
2009; Tosato, Dazzan dan Collier, 2005; Kirov, O'Donovan dan Owen,
2005; Levinson, 2005) NRG1 merupakan faktor pertumbuhan pleiotropik,
penting dalam perkembangan dan fungsi sistem saraf. Gen ini terlibat
dalam modulasi migrasi neuronal, sinaptogenesis, gliogenesis, komunikasi
neuron-glia, myelinisasi dan neurotransmisi dalam otak dan
jaringan-jaringan lain (Li, Collier dan He, 2006; Hashimoto et al., 2004; Tosato et
NRG1 memengaruhi regulasi myelinisasi susunan saraf pusat
dengan menginduksi migrasi dan diferensiasi oligodendrosit susunan
saraf pusat (Wang et al., 2009; Stahl, 2008). Lebih jauh lagi bukti preklinis
menunjukkan bahwa perubahan dalam NRG1-ErbB signalling
menyebabkan abnormalitas pada struktur dan fungsi oligodendrosit,
seperti pengurangan ketebalan myelin dan perlambatan kecepatan
konduksi di akson susunan saraf pusat (Wang et al., 2009; Huang dan
Chen, 2009).
Stefansson dan kawan-kawan pertama kali melaporkan suatu
hubungan antara NRG1 dan skizofrenia, mengikuti positional mapping
pada kromosom 8p pada keluarga Icelandic (Stefansson et al., 2002; Riley
dan Kendler, 2005; Stefansson et al., 2003). Inti dari haplotype yang
berisiko (HAPice) pada 5’ ujung gen yang terdiri dari 5 SNP
(SNP8NRG221132, SNP8NRG221533, SNP8NRG 241930,
SNP8NRG243177, SNP8NRG433E1006) dan dua mikrosatelit
(478B14-848, 420M91395) ditemukan berhubungan dengan skizofrenia pada
populasi Icelandic, dan populasi Scottish (Thomson et al., 2007; Li, Collier
dan He, 2006; Hanninen et al., 2008; Stefansson et al., 2003; Naz, Riaz
dan Saleem, 2011). Bukti yang kuat untuk hubungan dengan haplotype
yang sama, dikenal dengan HAPICE ditemukan pada sampel yang besar
dari Scotland, dan didukung lebih jauh lagi dengan sampel dari United
Kingdom (Owen, Craddock dan Jablensky, 2010). SNP8NRG433E1006
merupakan salah satu dari kelima SNP dari HAPICE. Hal ini mengubah
(Javitt, 2007). Secara keseluruhan terdapat bukti yang kuat dari beberapa
studi bahwa variasi genetik pada NRG1 memberikan risiko terhadap
skizofrenia, tetapi tidak semua studi menemukan haplotype terkait yang
sama, pengaruh spesifik dan varian protektif belum ditemukan (Owen,
Craddock dan Jablensky, 2010; Corvin et al., 2004)..
2.4. Suku Batak
Suku Batak adalah kelompok masyarakat yang dikenal sebagai
orang Indonesia, dengan penampilan fisiknya yang mudah dibedakan
dengan orang kulit putih (Kaukasoid) dan orang kulit hitam (Negroid).
Suku Batak diduga berasal dari utara dan India Sampai abad XIX, suku
Batak terisolasi di pegunungan Bukit Barisan selama 3000 tahun,
sebanyak 100 generasi. Suku Batak termasuk Proto Malayan (subras
Mongoloid) seperti juga suku Toraja, sedangkan suku Jawa, Aceh,
Minangkabau, Bugis, Makasar, Sunda dan Madura termasuk subras Neo
Malayan. Subras Proto Malayan seperti Suku Batak dan Suku Toraja
merupakan suku yang suka hidup terisolasi di pegunungan dan menolak
pengaruh luar. (Simanjuntak, 2006; Munir, 2007; Gultom Raja Marpadang,
Gambar 2. 1. Kerangka Teoritis
Gambar 2. 2. Kerangka Konsep
Imunoreaktivitas NRG 1 Serum LH
FSH
VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN
Karakteristik Subjek: A. Usia
B. Durasi Penyakit C. Awitan
D. Dosis Antipsikotika E. Jenis Kelamin F. Faktor Endogen G. Stresor Psikososial SNP8NRG433E1006
Imunoreaktivitas NRG1 Serum
Suku Batak
menderita skizofrenia paranoid
tidak menderita gangguan jiwa
Usia Durasi Penyakit
Awitan Dosis Antipsikotika
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah suatu jenis eksploratif observasional analitik,
yang menilai hubungan antara faktor risiko dengan kejadian penyakit
dengan cara membandingkan kelompok kasus dengan kontrol (Ghazali et
al., 2008; Madiyono et al., 2008).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di beberapa lokasi, yaitu : BLUD RSJ Provinsi
Sumatera Utara, RS Bhayangkara Medan, Laboratorium Terpadu FK
USU, dan First Base Sequencing Service Selangor dengan waktu
penelitian dilaksanakan dalam periode waktu dua belas bulan.
3.3. Variabel Penelitian
Variabel tergantung (dependen): skizofrenia paranoid
Variabel bebas (independen): SNP8NRG433E1006 gen NRG1 dan
imunoreaktivitas NRG1 dalam serum
3.4. Populasi dan Sampel 3.4.1. Populasi
Populasi target pada adalah suku Batak yang menderita skizofrenia
paranoid, sedangkan populasi terjangkau adalah suku Batak yang
menderita skizofrenia paranoid dan berobat di BLUD RSJ ProvSU.
3.4.2. Sampel
Sampel penelitian ini terdiri dari kelompok kasus dan kontrol.
dan memenuhi kriteria inklusi. Kelompok kontrol adalah suku Batak yang
tidak menderita skizofrenia paranoid.
3.4.2.1. Besar sampel
Besar sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus
untuk uji hipotesis terhadap dua proporsi dua kelompok independen
(Dahlan, 2009; Dahlan, 2009) sebagai berikut:
(
)
(
)
= proporsi SNP8PNRG433E1006 berdasarkan judgement Peneliti
2
P
= proporsi SNP8NRG433E1006 yang didapat dari kepustakaan
(Stefansson et al., 2003; Zhao et al., 2004)
1= 0,504; P2=0,154; Q1= 0,496; Q2
Q= 1-P α=0,05 Zα =1,96; β=0,20 Zβ=0.84
=0,846 P=1/2 (P1+P2);
n1=n2= 27,67
Besar sampel minimal kasus dan kontrol adalah masing-masing 30.
3.4.2.2. Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara consecutive
sampling (Ghazali et al., 2008; Madiyono et al., 2008).
3.5. Kriteria inklusi dan eksklusi
Kriteria Inklusi Kasus adalah pasien skizofrenia paranoid suku Batak yang
didiagnosis berdasarkan PPDGJI III, kooperatif, berusia 15 sampai
Kriteria Eksklusi Kasus adalah yang menderita penyakit fisik berat,
mengalami gangguan jiwa, hamil dan menyusui dan menolak
berpartisipasi.
Kriteria kelompok populasi normal (sebagai kontrol) adalah manusia
berasal dari suku Batak yang tidak menderita gangguan jiwa, tidak
mempunyai hubungan keluarga dengan sampel kasus, dan tidak
mempunyai riwayat skizofrenia dalam keluarga dua generasi vertikal dan
horizontal, berusia 15-55 tahun.
3.6. Definisi operasional
Tabel 3. 1. Definisi Operasional
No Definisi Variabel Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
A Skizofrenia paranoid adalah salah satu subtipe skizofrenia yang gejala klinisnya didominasi oleh adanya waham dan halusinasi, diagnosis ditegakkan melalui PPDGJI-III
wawancara klinis
B Imunoreaktivitas NRG1 serum merupakan hasil pengukuran reaksi imunitas terhadap NRG1
Teknik ELISA pg/ml Rasio
C SNP8NRG433E1006 adalah salah satu SNP dari gen NRG1 yang berhubungan dengan skizofrenia pada populasi Icelandic dan Asia
Dengan cara
D Suku Batak adalah kelompok masyarakat yang dikenal sebagai orang Indonesia, dengan penampilan fisiknya yang mudah dibedakan dengan orang kulit putih (Kaukasoid ) dan orang kulit hitam (Negroid). Suku Batak dibedakan menjadi: Batak Toba, Mandailing, Karo, Dairi, Simalungun, Angkola. Suku Batak dalam hal ini adalah yang ayah kandung dan ibu kandungnya juga Suku Batak, demikian juga kakek dan nenek dari kedua pihak adalah Batak (2 generasi Batak murni)
Wawancara sistematis menggunakan
peta silsilah (Pedigree)
Suku Batak Nominal
E Usia adalah lamanya hidup sejak lahir
Wawancara Usia dalam tahun
F Durasi penyakit ladalah lamanya waktu pasien menderita skizofenia paranoid
dalam tahun Rasio
G Awitan usia pertama sekali pasien menunjukkan gejala skizofrenia
dalam tahun Rasio
H Dosis Antipsikotika adalah jumlah antipsikotika dalam mg yang dikonsumsi pasien saat dilakukan pemeriksaan disetarakan dengan
I Jenis Antipsikotika adalah jenis antipsikotika yang dikonsumsi pada saat dilakukan pemeriksaan.
J Riwayat endogen adalah riwayat memiliki keluarga yang menderita skizofrenia pada turunan derajat pertama atau kedua baik secara horizontal maupun vertikal.
K Stresor psikososial suatu keadaan atau peristiwa yang mengakibatkan perubahan pada diri seseorang sehingga orang tersebut harus beradaptasi atau mengatasi stresor tersebut, yang timbul dalam waktu satu tahun atau kurang.
3. 7. Bahan dan Alat Penelitian 3.7.1. Bahan
Penelitian ini membutuhkan beberapa bahan, reagen sebagai berikut :
1. Bahan untuk proses isolasi DNA yaitu darah EDTA 3cc, KIT isolasi
DNA (promega), ery lysis buffer (EL buffer), ethanol absolut, ethanol
70%, air destilata, buffer fosfat, NaCl 6 M, proteinase K, agarosa,
ethidium bromida, loading buffer.
2. Bahan untuk pemeriksaan Nested Polymerase Chain Reaction (PCR)
yaitu master mix (10% gliserol, KCL <0,001% dATP, dCTP, dGTP,
dUTP, biotinylated pemicu, 0,01 % tag polymerase,0,05 % sodium
azide, MgCl2 25 mM, air destilata, wash hybridization buffer (WHB),
stringent wash buffer (SWB) 300ml, ambient wash buffer (AWB) 700ml,
working conjugate solution (WCS), SA-HRP (Streptavidin-Horse Radish
Peroxidase) 10µ l dan buffer sitrat.
3. Bahan NRG1 BETA 1 Human ELISA, yang terdiri dari:
a. NRG 1 beta 1 Microplate (Item A)
b. Wash buffer concentrate (20x) (Item B)
c. Standard (Item C)
d. Assay Diluent A (Item D)
e. Assay Diluent B (Item E)
f. Detection Antibodi NRG1 beta 1 (Item F)
g. HRP-Streptavidin Concentrate (Item G)
h. TMB One-step Substrate Reagent (Item H)
3.7.2. Alat penelitian
1. Alat untuk mengambil sampel darah, yaitu alcohol swabs, spuit 5 cc,
torniquette, Pad/plester
2. Alat untuk ELISA, yaitu : washer thermoscientific, reader
thermoscientific, multichannel pippete thermoscientific, microsentrifuge
eppendorf, tabung microcentrifuge eppendorf, tips biru, kuning dan
putih.
3. Alat untuk isolasi DNA, yaitu tips kuning, tips biru, tabung
microcentrifuge, mikropipet 1000 mikro liter, mikropipet 200 mikro liter,
vortex, microcentrifuge, Centrifuge klinik, Mesin centrifuge, inkubator,
spatula, elektroforesis, transluminator dan kamera Polaroid
4. Alat untuk pemeriksaan PCR yaitu : Thermal cycler Perkin Elmer 9600,
shaking waterbath dan X-ray film
3.8. Cara kerja penelitian 3.8.1. Persiapan penelitian 3.8.1.1. Etika penelitian
Penelitian ini sudah mendapat persetujuan dari Komite Etik
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara nomor
18/KOMET/FKUSU/2013 tanggal 31 Januari 2013.
3.8.1.2. Pelatihan tim peneliti
Pelatihan tentang cara melakukan wawancara terstruktur dengan
MINI ICD X dan penegakan diagnosis dilakukan pada semua tim peneliti
yang terdiri dari residen ilmu kedokteran jiwa dan psikiater. Kelayakan tim
penilaian praktik. Dinyatakan memadai jika nilai post test mencapai nilai
minimal 90. Bagi tim dokter, dilakukan penilaian konsistensi intra dan antar
observer. Dinyatakan konsisten bila nilai kappa minimal 0,8.
3.8.1.3. Identifikasi subjek yang berpotensi masuk ke dalam Penelitian
Identifikasi subjek dilakukan oleh residen ilmu kedokteran jiwa dan
perawat yang sudah dilatih menggunakan daftar tilik identifikasi subjek
penelitian. Apabila subjek memenuhi kriteria penelitian, petugas tersebut
akan menghubungi peneliti untuk prosedur informed consent.
3.8.1.4. Informed consent
Diberikan penjelasan yang terperinci pada Suku Batak yang
menderita skizofrenia paranoid maupun suku Batak yang tidak menderita
gangguan jiwa yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi tentang
tujuan dan manfaat penelitian, yang berminat mengikuti penelitian
diberikan lembar persetujuan penelitian (informed consent).
3.8.1.5. Penilaian lebih lanjut
Subjek penelitian yang bersedia ikut serta dalam penelitian akan
menjalani penilaian lebih lanjut sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria
ekslusi.
3.8.1.6. Penegakan diagnosis
Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
dilakukan wawancara terstruktur dengan menggunakan MINI ICD-X untuk
penapis adanya gangguan jiwa dan untuk menegakkan diagnosis
3.8.2. Prosedur pengambilan darah
Pengambilan darah dilakukan pada pukul 08.00–09.00 WIB.
Dilakukan pembebatan pada lengan kiri subjek penelitian dengan
torniquette, dibersihkan vena mediana kubiti dengan alcohol swab.
Kemudian diambil darah sebanyak 4 cc dari vena mediana cubiti sinistra,
3cc dimasukkan ke dalam tabung EDTA 3cc dan 1 cc untuk pemeriksaan
ELISA. Bekas pengambilan darah ditutup dengan pad. Dalam satu jam
pengumpulan darah, darah dikoagulasikan pada temperatur 370C. Serum
dipisahkan melalui sentrifugasi pada temperatur 40C selama lima belas
menit dan disimpan pada suhu -800
3.8.3. ELISA
C sampai digunakan untuk dianalisis.
Semua reagen dan sampel diletakkan pada ruangan dengan
temperatur ruangan (18-25o
3.8.3.1. Cara kerja
C) sebelum digunakan. Selanjutnya, sampel
didilusikan. Assay Diluent A (Item D) digunakan untuk dilusi sampel
serum/plasma. Assay Diluent B (Item E) satu kali digunakan untuk dilusi
supernatan kultur sel/urine. Selanjutnya, Assay Diluent B 5X diencerkan
dengan distilled water menjadi satu kali.
Semua reagen diletakkan di dalam ruangan dengan temperatur
ruang (18-25oC) sebelum digunakan. Kemudian, 100 µl dari setiap standar
dan sampel ditambahkan ke dalam well. Well ditutup dan diinkubasi
selama dua setengah jam pada temperatur ruang atau selama satu malam
pada temperatur 4oC dan digoncang perlahan. Selanjutnya, larutan
menggunakan wash solution. Setiap well yang terisi wash buffer (300 µl)
dicuci dengan menggunakan multi-channel pipette atau autowasher.
Setelah pencucian terakhir, sisa wash buffer dibuang dengan
mengaspirasikannya. Kemudian, plate dibalikkan dan dibersihkan dengan
menggunakan kertas tissue. Selanjutnya, 100 µl dari satu kali biotinylated
antibody ditambahkan ke masing-masing well. Kemudian, diinkubasi
selama satu jam pada temperatur ruang dengan menggoncangnya secara
perlahan. Selanjutnya, larutan dibuang dan diulangi pencucian seperti
sebelumnya. Kemudian, 100 µl HRP-Streptavidin ditambahkan ke
masing-masing well. Kemudian, diinkubasi selama empat puluh lima menit pada
temperatur ruang dengan menggoncangnya perlahan. Larutan tersebut
dibuang dan diulangi pencucian seperti sebelumnya. Selanjutnya, 100 µl
TMB One –step substrate reagent ditambahkan ke masing-masing well.
Kemudian, diinkubasi selama tiga puluh menit pada temperatur ruang
dalam keadaan gelap dengan menggoncangnya secara perlahan.
Selanjutnya, 50 µl Stop Solution ditambahkan ke dalam masing-masing
well. Kemudian, hasilnya dibaca dengan segera pada panjang gelombang
450 nm.
3.8.4. Prosedur isolasi DNA
Darah dimasukkan ke dalam tabung EDTA sebanyak 3 cc dengan
diinjeksikan secara perlahan-lahan. Kemudian, tabung tersebut
dibolak-balik perlahan agar darah bergabung dengan EDTA. Selanjutnya,
disentrifus 3000 rpm selama 10-15 menit. Plasmanya dipisahkan dan
mL lalu ditambahkan EL buffer 900 mikroliter, kemudian dibolak-balin
secara perlahan. Tabung tersebut diinkubasi selama sepuluh menit di
dalam kulkas dan selanjutnya disentrifus dalam 13000 rpm selama tiga
menit. Supernatan dibuang secara hati-hati dan pelan-pelan agar
endapannya tidak ikut terbuang. Hal ini diulangi sampai lima kali, sampai
warna supernatan jernih dan endapan sudah berwarna putih. Setelah
diperoleh endapan putih atau cairan sudah jernih, supernatan dibuang dan
endapan divortex selama dua puluh detik. Selanjutnya, 300 uL nuclei lysis
solution ditambahkan dan tabung dibolak-balik agar tercampur. Kemudian
protein precipitation 100uL ditambahkan dan divortex selama dua puluh
menit. Selanjutnya, tabung tersebut disentrifugasi 13.000 rpm selama tiga
menit pada temperatur ruang. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung
eppendorf 1,5 mL yang steril yang telah berisi 300 uL isopropanolol.
Kemudian dibolak-balik sekitar tiga detik sampai terlihat benang DNA.
Selanjutnya, disentrifugasi 13.000 rpm selama satu menit, hingga tampak
pellet putih. Supernatan dibuang dan ditambahkan 70% etanol sebanyak
300 uL. Kemudian, disentrifugasi 13.000 rpm selama satu menit. Etanol
diaspirasi menggunakan pipet dengan hati-hati, lalu dikeringkan dengan
kipas angin sekitar satu jam. Selanjutnya, ditambahkan 100 uL DNA
rehydration solution dan disimpan pada suhu 40C selama satu malam.
Besoknya disimpan ke freezer (-200
3.8.5. Nested-polymerase chain reaction
C).
Nested-Polymerase Chain Reaction (Nested-PCR) dilakukan untuk
pertama dilakukan dengan menggunakan primer
CCTACCCCTGCACCCCCAATAAATAAA dan CTTCCTGTCGAGTGCCC
CCTGCT. Volume reaksi adalah 10 mikroliter, dan untuk masing-masing PCR, 30ng dari genomik DNA diamplifikasi dalam 3,5pmol dari setiap
primer, 0,25U AmpliTaq Gold, 0,2mM dNTPs, 10% dimethyl sulfoxide, dan
2,5mM MgCl2. Diputar dengan temperatur 950C selama sepuluh menit,
diikuti dengan 40 putaran pada temperatur 940C selama lima belas detik,
didinginkan pada temperatur 680C selama tiga puluh detik, dan diekstensi
pada temperatur 720
3.8.6. Sequencing
C selama satu menit. Reaksi kedua didapatkan
dengan menggunakan primer TGCCACTACTGCTGCTGCT dan
ACCTTTCCCTCGATCACCAC. Hasil PCR di-sequencing secara
langsung setelah pembersihan hasil PCR dengan menggunakan Big Dye
Terminator Cycle Sequencing kit (PE Biosystem).
Untuk mendapatkan “sequence lengkap SNP8NRG433E1006 gen
NRG1”, terdapat beberapa tahapan. Pertama, produk Nested-PCR
dianalisis menggunakan mesin Applied Biosystems 3730 xl DNA Analyzer
dengan protokol Big Dye Terminator v3.1 cycle sequencing kit Chemistry.
Selanjutnya adalah pengolahan menggunakan perangkat lunak komputer.
Perangkat lunak komputer digunakan untuk melakukan alignment
terhadap pra sequence forward dan pra sequence reverse. Tahapan
mendapatkan sequence lengkap untuk masing-masing subjek penelitian