• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS WAJAH PEREMPUAN SUKU BATAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS WAJAH PEREMPUAN SUKU BATAK"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS WAJAH PEREMPUAN SUKU BATAK

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher

Oleh

RIFI RIO ODIAS

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008

(2)

Lembar Pengesahan

Tanggal 23 Desember 2008

Disetujui untuk diajukan ke sidang ujian oleh :

Pembimbing 1 dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL(K) NIP : 140 105 362 Pembimbing 2 dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K) NIP :140 088 177 Pembimbing 3 dr. Farhat, Sp.THT-KL NIP :132 299 360 Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. Askaroellah Aboet, dr, Sp.THT-KL(K) NIP : 130 517 523

(3)

Medan, Desember 2008

Tesis dengan judul

ANALISIS WAJAH PEREMPUAN SUKU BATAK

Diketahui oleh

Ketua Departemen Ketua Program Studi

Prof.dr.Abdul Rachman Saragih,SpTHT-KL(K) Prof.dr.Askaroellah Aboet,SpTHT-KL(K)

Telah disetujui dan diterima baik oleh pembimbing Ketua

dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL (K)

Anggota

(4)

ANALISIS WAJAH PEREMPUAN SUKU BATAK

ABSTRAK

Dilakukan perhitungan dua puluh dua parameter pada wajah untuk menentukan nilai-nilai analisis wajah pada seratus orang perempuan suku Batak dengan umur diantara delapan belas dan empat puluh tahun. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan metode analisis fotometrik. Hasil menunjukan tinggi wajah pada suku Batak mendekati ke arah kriteria Neoclassical canon, tetapi pada parameter vertikal, lebar ala nasi lebih besar dibandingkan dengan jarak epikantus. Bentuk hidung pada suku Batak adalah tipe mesorhine dan bentuk wajah pada suku Batak adalah persegi. Parameter wajah pada suku Batak berbeda dengan suku-suku lain dan tidak termasuk ke dalam kriteria-kriteria yang digunakan selain ini dalam tindakan rinofasialplasti.

Kata kunci : Analisa wajah, Profil wajah, Suku Batak, Rinofasialplasti

ABSTRACT

Twenty two facial profiles were taken to determine facial analysis values among one hundreds Bataknese women between ages 18 and 40 years old. The measurements were made by photometrics analysis. The result showed that facial height of Bataknese close to Neoclassical canon criterias, but in the vertical values of ala nasi wider than the distance of epikantus. The shape of Bataknese’s nose was mesorhine type and facial shape was square type. Facial

(5)

profiles in Bataknese were different from other ethnics and also not included to criterias that was used in preparing a rhinofacialplasty.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas rahmat, karunia dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan.

Berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin Panusunan Lubis, dr, Sp.A (K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Sumatera Utara.

Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. Gontar Alamsyah, dr, Sp.PD-KGEH dan mantan dekan Prof. Sutomo Kasiman, dr, Sp.JP (K) dan Prof. T. Bahri Anwar, dr, Sp.JP (K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan di Fakultas Kedokteran Sumatera Utara.

Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja di Rumah Sakit ini.

(7)

Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, Sp.THT-KL (K) sebagai Kepala Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan arahan sejak penulis mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

Prof. Askaroellah Aboet, dr, Sp.THT-KL (K) sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan atas bimbingan, arahan, dorongan dan nasehat selama penulis mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

Dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL (K) sabagai pembimbing utama tesis, dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K) dan dr. Farhat, Sp.THT-KL sebagai pembimbing pendamping tesis, yang telah banyak memberikan waktu, bimbingan, arahan dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada semua guru-guru di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. Ramsi Lutan, dr, Sp.THT-KL (K), dr. Asroel Aboet, Sp.THT-KL (K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K), Prof. Askaroellah Aboet, dr, Sp.THT-KL (K), Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, Sp.THT-KL (K), Dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL (K), dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL, Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL (K), dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K), dr. Linda I Adenin, Sp.THT-KL, dr. Hafni, KL (K), dr. Ida Sjailendrawati H, KL, dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Siti Nursiah, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Andrina YM Rambe, Sp.THT-KL, dr. Harry Agustaf A, Sp.THT-KL, dr. Farhat, Sp.THT-KL, dr.

(8)

T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL dan dr. Ashri Yudhistira, Sp.THT-KL yang telah memberikan bimbingan, ilmu dan pengetahuan di bidang THT-KL yang bermanfaat bagi penulis di kemudian hari.

Bapak Kepala Departemen/Staf Radiologi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen/Staf Anastesiologi dan Reanimasi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen/Staf Patologi Anatomi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama menjalani stase pendidikan di Departemen tersebut.

Direktur dan seluruh staf THT-KL RSUD Lubuk Pakam, RS PTP XI Tembakau Deli Medan, Rumah Sakit DAM-I/Bukit Barisan Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis untuk belajar selama pendidikan di rumah sakit tersebut.

Kedua orangtua tercinta, Ibunda drg. Asnimar dan ayahanda dr. Rusdi Zain, Sp THT-KL, serta kedua adik-adik penulis mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa kepada penulis.

Istriku dr. Indira Julia, MKT terima kasih atas dukungan dan perhatiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Teman-teman sejawat peserta pendidikan Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala Leher terima kasih atas persahabatan dan kerjasama yang terjalin selama mengikuti pendidikan.

(9)

Paramedis dan karyawan Departemen THT Bedah Kepala Leher FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah membantu dan bekerja sama selama penulis menjalani pendidikan.

Semoga segala bantuan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis menjadi amal ibadah. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, dan semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua.

Medan, Desember 2008

(10)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Rifi Rio Odias, dr

Tempat/ Tanggal lahir : Medan, 13 September 1978 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam Status Perkawinan : Kawin

Nama Istri : Indira Julia, dr

Alamat : Jl. Setia Budi, Pasar 2, Kompleks Graha Tanjung Sari Blok F no.21 Medan 20132

PENDIDIKAN FORMAL

1984 – 1990 : SD Diponegoro Kisaran 1990 – 1993 : SMP Diponegoro Kisaran 1993 – 1996 : SMA Negeri I Medan

1996 – 2003 : Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara 2004 – 2008 : Asisten dokter (PPDS) Telinga Hidung Tenggorok

Bedah Kepala Leher Fak. Kedokteran USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

ABSTRAK... v

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB 1: PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 4 1.3. Tujuan Penelitian... 4 1.3.1. Tujuan Umum... .. 4 1.3.2. Tujuan Khusus... 4 1.4. Manfaat Penelitian ... 5 1.4.1. Manfaat Teoritik... 5 1.4.2. Manfaat Praktis... 5

BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA... 6

BAB 3 : KERANGKA KONSEP………. 25

BAB 4 : METODE PENELITIAN ... ……… 26

4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian... 26

4.2. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 26

4.2.1 Populasi... 26

4.2.2. Sampel... 26

4.2.3. Besar Sampel ... 26

4.2.4. Teknik Pengambilan Sampel ... 27

4.2.5. Kriteria Inklusi ... 27

4.2.6 Kriteria Eksklusi... . 27

4.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 28

4.3.1. Variabel Penelitian... 28

(12)

4.4. Alat dan Bahan Penelitian... 31

4.5. Lokasi dan Waktu Penelitian... 31

4.6. Kerangka Kerja... 32

4.7. Analisa Data... 32

BAB 5 : HASIL PENELITIAN ... 33

BAB 6 : PEMBAHASAN ... 35

BAB 7 : KESIMPULAN DAN SARAN... 47

7.1. Kesimpulan... 47

7.2. Saran... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Nilai normal analisis wajah... 18

Tabel 5.1. Sebaran parameter profil wajah sampel………... 33

Tabel 5.2. Sebaran tinggi wajah secara horizonta………. 34

Tabel 5.3. Sebaran perbandingan jarak interkantus dengan lebar ala nasi……….. 34

Tabel 6.1. Pembagian tinggi wajah secara horizontal... 35

Tabel 6.2. Persentase besar wajah secara horizontal……….. 36

Tabel 6.3. Sebaran persentase tinggi wajah secara horizontal pada beberapa suku... 37

Tabel 6.4. Pembagian tinggi bawah wajah menurut Powell dan Humpries... 38

Tabel 6.5. Pembagian tinggi bawah wajah menurut Peek dan Peek………. 39

Tabel 6.6. Tebal bibir atas………. 39

Tabel 6.7. Jarak interkantus dan lebar ala nasi………. 40

Tabel 6.8. Persentase sebaran perbandingan jarak interkantus dengan lebar ala nasi………. 41

Tabel 6.9. Sudut Nasofrontal, Nasofasial dan Naso Labial………. 42

Tabel 6.10. Sudut Mentoservikal dan sudut Nasomental………. 43

Tabel 6.11. Tabel proporsi panjang hidung……… 44

Tabel 6.12. Perbandingan proporsi lebar ala nasi dengan panjang hidung……….. 44

Tabel 6.13. Proyeksi hidung……… 45

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1. Neo Classical Cannon... 2

Gambar 1.2. Vetruvian Man………... 2

Gambar 2.1. Titik-titik antropometri pada wajah... 7

Gambar 2.2. Bidang dan sudut wajah... 8

Gambar 2.3. Garis Frankfort horizontal... 9

Gambar 2.4. Pembagian wajah secara vertikal dan horizontal………. 10

Gambar 2.5. Sudut nasofrontal... 11

Gambar 2.6. Sudut nasofasial………... 15

Gambar 2.7. Posisi horizontal bibir dengan sulkus mentolabial... 16

Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian………. 25

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Persetujuan Komite Etik Penelitian ... 56

Lampiran 2. Status Penelitian ... 57

Lampiran 3. Lembar Persetujuan Subjek Penelitian ... 59

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kecantikan merupakan hal yang sulit untuk diartikan secara objektif. Sejak sejarah pertama kali dicatat, manusia berusaha menampilkan dan menjelaskan konsep dari kecantikan. Gambaran ini berubah seiring dengan faktor waktu, dipengaruhi oleh etnik, ekonomi dan sosial (Wall, 1998; Drury, 2000; Nassif, 2005; Honn, 2006).

Kata estetik berasal dari bahasa Yunani aisthesis, yang artinya

pengabdian pada kecantikan. Bangsa Yunani juga berusaha mengartikan kecantikan melalui model proporsi geometrik dan matematika. Polykleitos (abad ke-5 SM) membentuk sebuah canon personal (Classical Greek Canon) dari proporsi seluruh badan dengan membagi 7 bagian dan 1,5 dari bagian badan tersebut adalah kepala. Polykleitos biasanya memahat para atlit olahraga. Kemudian Praxiteles (370 – 330 SM) lebih memilih wanita sebagai subjeknya. Aphrodite merupakan hasilnya yang menjadi betuk ideal pada masanya dan beberapa abad kemudian (Vegter, 2000; Papel, 2002; Honn, 2006).

Bangsa Romawi membawa pemikiran mengenai proporsi, pemahatan diperuntukan untuk alasan politik dan sosial dari pada untuk seni. Marcus Vitruvius Polio mempunyai teori dalam hal bangunan yang dimuliakan harus mengikuti proporsi dari bentuk tubuh manusia, dimana menurutnya proporsi badan manusia merupakan model yang paling ideal. Dia menggambarkan

(17)

manusia dengan tangan dan kaki yang ekstensi, badan masuk ke dalam bentuk geometri dasar, yaitu lingkaran dan persegi (Papel, 2002).

Pada masa renaissance, Albrect Durer (1471 – 1528 M) mempelajari prinsip Vitruvian dan menulis “Tidak seorang di dunia ini yang dapat menentukan

bagaimana bentuk manusia yang paling baik”. Leonardo da Vinci (1452-1511 M) juga mempelajari prinsip dari Vitruvian, dia menitikberatkan proporsi dari pada

kecantikan. Versi nya mengenai Vitruvian menjadi salah satu karyanya yang

terkenal (Neoclassical canon). Da Vinci membagi wajah menjadi 3 bagian, dari batas rambut depan sampai pangkal hidung, dari pangkal hidung sampai dasar hidung, dan dari dasar hidung sampai batas bawah dari dagu (Vegter, 2000; Porter, 2001; Papel, 2002).

Gambar 1.1. Neo Classical Cannon Gambar 1.2. Vetruvian Man dari Da Vinci ( Papel, 2002) menurut Da Vinci (Vegter,2000)

(18)

Evaluasi proporsi dari wajah juga dimanfaatkan oleh ahli bedah selama mepersiapkan tahap-tahap operasi plastik wajah. Ada beberapa cara dalam penentuan proporsi dari wajah yang dapat dilakukan dalam persiapan pembedahan. Teknik yang biasa di pakai, yaitu Cephalometrics dan

Photometrics (Riveiro, 2003; Choe, 2004; Hormozi, 2008; Shubailat, 2008).

Dikarenakan lebih menekankan pada proporsi jaringan lunak dibanding dengan menggunakan foto rontgent, menjadikan cara photometrics lebih disukai ahli bedah plastik. Dan merupakan cara yang lebih baik dalam menentukan perbandingan pre operatif dan hasil post operatif (Wall, 1998; Jain, 2004).

Dengan meningkatnya permintaan Rinofasialplasti kosmetik dalam 20

tahun belakangan ini, untuk itu diperlukan suatu konsep normal dalam bentuk wajah, dimana arti menarik pada seseorang tidak sama pada orang lain. Menarik meliputi kombinasi kualitas wajah, proporsional, simetris, harmoni dan nilai budaya yang berlaku. Kasus yang paling menantang dalam rinofasialplasti

kosmetik adalah perbedaan suku yang secara kolektif disebut dengan ‘hidung orang yang bukan kulit putih’. Termasuk golongan ini adalah Negro, Asia, Indian dan keturunan-keturunan dari suku-sukunya (Milgrim, 1996; Porter, 2001; Shubailat, 2008).

Operasi wajah pada bangsa Asia (khususnya suku Batak pada penelitian ini) akan menjadi tidak proporsional jika mengacu pada nilai normal pada bangsa kulit putih. Dimana diharap operasi wajah tetap mempertahankan bentuk wajah kesukuan masing-masing dari pasien. Untuk itu diperlukan adanya suatu nilai rata-rata dari bentuk wajah suku Batak (Matory, 1986; Abraham, 2003; Honrado,

(19)

2005; Maidl, 2005).

Suku Batak merupakan salah satu suku terbesar yang berdomisili di Kota Medan. Dengan kebiasaan hidup splendid isolation, peneliti tidak membedakan

sub-suku dalam suku Batak dan cukup mudah mendapatkan subjek penelitian yang murni tanpa ada gangguan dari pembauran antar suku.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

Bagaimanakah nilai rata-rata proporsi wajah perempuan suku Batak?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Menentukan nilai proporsi wajah perempuan suku Batak

1.3.2. Tujuan khusus

- Mengetahui jarak parameter wajah perempuan suku Batak - Mengetahui sudut parameter wajah perempuan suku Batak

- Mengetahui proporsi hidung terhadap wajah perempuan suku Batak - Mengetahui bentuk hidung wajah perempuan suku Batak

(20)

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritik

- Mengetahui bentuk wajah suku Batak

- Sebagai pengembangan keilmuan di bidang Ilmu Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher, Sub divisi Plastik-Rekonstruksi.

1.4.2. Manfaat Praktis

- Dapat menjadi patokan dalam melakukan operasi rinofasialplasti kosmetik pada suku Batak

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Analisis wajah dimulai dengan memeriksa faktor personal yang dapat secara signifikan memberi efek pada intervensi pembedahan nantinya. Ada 5 komponen personal yang mempengaruhi analisis wajah, yaitu umur, jenis kelamin, ras (etnis), bentuk tubuh dan personaliti (Nassif, 2005; Patrocinio, 2006.).

Petunjuk untuk dasar anatomi harus dipahami dalam melakukan analisis karakteristik wajah. Pada penampakan frontal wajah, trichion (Tr) ditandai

sebagai batas atas dahi, yang berlokasi pada garis rambut frontal. Nasion (N)

adalah depresi dari pangkal hidung sejalan dengan suture nasofrontal. Radix (R)

adalah pangkal hidung , bagian lanjutan sisi superior dari alis mata ke dinding nasal lateral. Subnasal (Sn) adalah pertemuan antara columella dan bibir atas

pada dasar hidung. Pertemuan mukokutaneus dari bibir atas dan bawah disebut sebagai vermilion superior dan inferior (Vs dan Vi). Stomion (St) adalah

pertemuan dari kedua bibir itu. Menton atau Gnathion (Gn) adalah batas bawah

dari jaringan lunak dagu (Stevens, 1997; Wall, 1998; Reddy, 2003; Horioglu, 2005).

Pada penampakan lateral, Glabella (G) adalah bagian paling menonjol

pada penampang midsagital dari dahi. Rhinion (Rh) adalah pertemuan antara

tulang dan tulang rawan dorsum nasi yang merupakan bagian paling menonjol pada dorsum nasi. Puncak hidung (Tp) adalah proyeksi paling anterior dari

(22)

puncak hidung dan pertemuan dari kedua kubah kartilago lateral bawah. Titik

kolumela (Cm) adalah bagian paling anterior dari jaringan lunak kolumela nasi.

Pada bagian lateral, lekukan alar (Al), adalah bagian paling posterior hidung.

Pada dagu, mentolabial sulcus (Ms) adalah bagian menurun dari bibir bawah dan

dagu. Dan pogonion (Pg) adalah bagian paling menonjol pada proyeksi anterior

dari dagu. Tragion (Tg) adalah titik supratragal pada telinga (Stevens, 1997;

Wall, 1998; Reddy, 2003; Horioglu, 2005).

Gambar 2.1. Titik-titik antropometri pada wajah (Wall, 1998)

Banyak bidang dan sudut yang digunakan untuk mendefinisikan hubungan inter-fasial. Sudut nasofrontal (NFA) diukur dari gablella ke nasion

dan dorsum nasi (G-N-Tp). Sudut nasofasial (NfcA) dibentuk dari antara

(23)

dibentuk oleh columella nasi dan bibir atas (Cm-Sn-Vs). Sudut mentoservikal

(MCA) mengukur sudut (Pg-Gn-M) pada Gnathion (Stevens, 1997; Wall, 1998;

Becker, 2003).

Gambar 2.2. Bidang dan sudut wajah (Trenite, 1994)

Frankfort horizontal merupakan garis yang digunakan pada analisis

sefalometri. Garis ini ditarik dari batas superior kanalis auditorius eksternus ke batas inferior rima infraorbitalis pada foto lateral (Larrabee, 1987; Trenite, 1994; Swasonoprijo, 2002).

(24)

Gambar 2.3. Garis Frankfort horizontal (Nassif, 2005)

Bentuk wajah yang ideal adalah oval. Bentuk-bentuk wajah yang lain adalah bulat, segiempat atau segitiga. Secara umum, perbandingan lebar dan panjang wajah sebaiknya lebih kurang 3:4. Pada penampakan frontal , simetri wajah dinilai pada garis tengah dengan membagi wajah menjadi dua secara vertikal. Penilaian simetri dan proporsi wajah selanjutnya dilakukan dengan membagi wajah menjadi 5 secara vertikal, dengan setiap bagian kira-kira selebar 1 mata (Tardy, 1995; Wall, 1998; Farkas, 2000; Orten, 2002; Arslan, 2008).

(25)

Gambar 2.4. Pembagian wajah secara vertikal dan horizontal (Trenite, 1994)

Tinggi horizontal dievaluasi dengan membagi wajah menjadi tiga, dengan sepertiga atas dimulai dari trichion hingga glabella, sepertiga tengah dari glabella hingga subnasal, dan sepertiga bawah dari subnasal ke menton. Tinggi nasal vertikal sebaiknya 43% dari tinggi wajah total dari nasion ke menton sedangkan wajah bagian bawah 57% dari total tinggi wajah (Tardy, 1995; Wall, 1998; Leach, 2005).

Dalam menganalisis wajah, kita dapat membagi dalam beberapa proporsi, yaitu dahi, mata, hidung, bibir dan dagu, serta telinga.

(26)

Dahi

Dahi membentuk sepertiga atas wajah yang berawal dari trichion sampai dengan glabella dan bagian superior dari alis mata pada lateralnya. Bentuk dahi ini dapat rata, melandai atau menonjol, yang akan turut berperan dalam bentuk wajah secara keseluruhan. Bagian yang paling penting dari dahi pada segi bedah adalah sudut nasofrontal yang biasanya membentuk sudut 115-130 (Stevens, 1997; Wall, 1998; Nassif, 2005).

Gambar 2.5. Sudut nasofrontal (Nassif, 2005)

Mata

Bersama-sama dengan hidung, mata merupakan bagian sentral dari wajah. Mata berguna untuk menunjukkan ekspresi dan lebih banyak penjabarannya diliteratur dibandingkan dengan bagian wajah lainnya. Lebar

(27)

mata antara kantus medial dan lateral biasanya seperlima dari keseluruhan lebar wajah. Jarak antara kedua sisi kantus medial adalah sama dengan lebar mata. Bentuk dan ukuran fisura palpebra bervariasi sesuai dengan umur dan etnik. Kelopak mata atas biasanya menutupi sebagian kecil iris, namun bukan pupil mata. Kelopak mata bawah juga menutupi sebagian kecil iris, kira-kira 2 mm dari pupil pada kondisi normal (Stevens, 1997; Wall, 1998).

Idealnya, jarak interkantus sama dengan setengah jarak interpupil. Jarak interkantus juga sebaiknya sama dengan lebar ala-ala pada dasar hidung pasien Kaukasia. Rata-rata jarak interkantus adalah 30-35 mm, dan rata-rata jarak interpupil adalah 60-70 mm (Wall, 1998).

Bentuk dan posisi alis bervariasi sesuai dengan jenis kelamin. Pada wanita umumnya, alis terletak pada supraorbital rim, dengan bentuk yang lebih melengkung. Pada pria umumnya, alis terletak tepat di atas atau sedikit superior dari supraorbital rim, dengan bentuk sedikit melengkung. Lateral dan medial alis mata terletak sejajar pada satu garis horisontal. Medial alis mata terletak pada garis vertikal yang melalui lateral ala dan medial kantus. Lokasi dari titik tertinggi dari kelengkungan alis pada garis vertikal yang melewati batas lateral limbus iris, yaitu pada 2/3 medial atau 1/3 lateral alis (Stevens, 1997; Wall, 1998).

Hidung

Hidung merupakan bagian estetika yang paling menonjol dari profil wajah, karena hidung terproyeksi paling anterior secara tampak lateral. Pada penampakan frontal, posisi hidung terletak di garis tengah, maka bila terdapat

(28)

asimetri hidung akan teridentifikasi dengan mudah. Hidung merupakan bagian estetika tersering yang diubah oleh para ahli bedah plastik dan rekonstruksi, oleh karena itu hidung banyak dipelajari untuk menentukan proporsional estetika dan hubungannya dengan bagian wajah lainnya (Wall, 1998; Becker, 2003; Finn, 2005).

Analisis hidung sebelum operasi sangat penting. Sebaiknya kita dapat melihat melalui kutis dan subkutis serta dapat membayangkan bentuk kerangka tulang dan tulang rawan. Terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan hubungan anatomi struktur hidung adalah unik. (Wall, 1998; Chang, 2003).

Pada tampak frontal, karakteristik hidung mencakup lebar hidung, simetri dan tampilan lengkung dorsum nasi. Lebar hidung dari lekukan ala nasi ke lekukan ala nasi sisi sebelahnya adalah 70% panjang hidung dari nasion ke puncak hidung. Pelebaran jarak interalar ini ditemukan pada ras oriental dan afrika (Milgrim, 1996; Wall, 1998).

Pembagian bentuk hidung menurut antropologi menjadi 3 golongan besar, yaitu golongan Kaukasia (lepthorrhine), Asia (mesorrhine) dan Afrika (platyrrhine). Perbedaan utama antara hidung Kaukasia dan non Kaukasia meliputi ketebalan kulit dan jaringan lunak, kekuatan dan ketebalan kartilago, tinggi dan panjang os nasal, serta bentuk dan orientasi lubang hidung. Secara umum, orang Afrika memiliki perbedaan paling nyata dibandingkan orang Kaukasia, sedangkan orang Asia memiliki karakteristik fisik di antara keduanya (Matory, 1986; Milgrim, 1996; Stevens, 1997; Hodgkinson, 2007).

(29)

Kekhasan hidung Asia adalah dorsum yang lebar dan rendah, defisiensi proyeksi tip, lobul lebar, kulit lobul tebal, jaringan lemak subkutis dan retraksi kolumela. Hidung bangsa non Kaukasia mempunyai variasi anatomi tersendiri. Pasien non Kaukasia ini terdiri dari berbagai latar belakang etnik dan morfologi (Matory, 1986).

Profil Hidung

Parameter yang dianggap menentukan bentuk hidung adalah profil hidung, proyeksi dan rotasi puncak hidung dan panjang hidung. Bila terdapat kelebihan lekukan rhinion pada penampakan wajah anterior, maka akan memperlihatkan profil hidung berpunuk (nasal hump). Bentuk ideal profil dorsum nasi adalah lurus, walaupun sedikit lekukan pada rhinion masih dapat diterima (Wall, 1998).

Proyeksi Tip

Sampai saat ini pengukuran proyeksi puncak hidung masih diperdebatkan, oleh karena itu sudut nasofasial sering digunakan untuk mengevaluasi secara tidak langsung derajat proyeksi puncak hidung. Sudut nasofasial ini berkisar 36 . Perbandingan antara nasion-subnasal dan garis perpendikular yang melewati puncak hidung adalah 2,8:1, untuk menjaga pengukuran estetika dari sudut nasofasial 36 . Metode paling mudah untuk mengukur proyeksi tip adalah metode Simmons, yang menghubungkan proyeksi yang diukur dari tip defining point ke subnasal, dengan panjang bibir atas, yang diukur dari subnasal ke batas

(30)

vermillion (Wall, 1998; Becker, 2003; Reddy, 2003; Devan, 2003).

Gambar 2.6. Sudut nasofasial (Nassif, Kokoska, 2005)

Dasar Hidung

Hidung berbentuk seperti segitiga sama kaki pada penampakan dari dasar hidung, dengan kolumela yang membagi dua segitiga yang sama sisi. Rasio perbandingan lobul dengan kolumela adalah 2:1 dan lebar kedua sisi lobul adalah 75% dari lebar dasar hidung. Lubang hidung biasanya sedikit menyerupai bentuk buah pir, dengan bagian paling lebar pada dasar. Pada penampakan lateral dari dasar hidung, rasio ala-lobul adalah 1:1,4. Umumnya bangsa non-Kaukasia mempunyai dasar hidung yang lebih lebar daripada jarak interkantus (Matory, 1986; Milgrim, 1996; Wall, 1998).

Terdapat perbedaan nyata antar etnik pada konfigurasi ala nasi. Hidung Afrika lebih lebar dan proyeksi rendah serta memiliki lubang hidung yang horisontal. Hidung Asia berada di tengah antara hidung Kaukasia dan Afrika. Pada tampak frontal, lebar ala nasi kurang lebih sama dengan jarak antara

(31)

kantus medius (Wall, 1998).

Bibir dan Dagu

Dagu membentuk sepertiga bawah dari wajah. Metoda untuk menilai posisi dagu dengan menarik garis vertikal tangensial dari titik Li dengan garis horisontal Frankfort. Sulkus mentolabial terletak sekitar 4 mm di belakang garis ini (Stevens R, 1997; Nassif, 2005).

Gambar 2.7. Posisi horizontal bibir dengan sulkus mentolabial (Nassif, 2005)

Bibir merupakan suatu yang dinamik dan kompleks ekspresi. Bibir atas dan hidung saling berhubungan dan merupakan unit penting pada estetika. Bibir umumnya penuh dengan definisi yang baik pada usia muda dan menipis dengan karakter yang menghilang pada proses penuaan. Bibir bawah dan dagu membentuk duapertiga pada sepertiga bawah wajah. Bibir atas merupakan sepertiga atas pada sepertiga bawah wajah. Bibir atas biasanya berukuran lebih panjang sekitar 2-3 mm dari bibir bawah, namun ini semua tergantung dari stuktur gigi (Wall, 1998).

(32)

Telinga

Ukuran telinga biasanya sesuai dengan jarak antara alis mata dengan ala nasi. Lebar telinga biasanya 55% panjang telinga. Axis panjang telinga paralel dengan axis panjang dorsum nasi. Sudut kelengkungan telinga sekitar 30 (Wall, 1998; Nassif, 2005).

Metode Analisis Wajah

Cephalometrics

Foto Rontgent dipergunakan untuk mendapatkan landmarks dari jaringan lunak dan tulang kepala, yang kemudian dapat menetukan jarak antara maksila ke kranium, mandibula ke kranium, maksila ke mandibula, gigi bagian atas ke maksila, gigi bagian bawah ke mandibula, gigi atas ke gigi bawah. Cara ini merupakan yang paling baik dalam mengevaluasi hubungan antara kraniofasial dan orthognathic, tetapi kurang tepat dalam menganalisa jaringan lunak ( Wall, 1998; Nomura, 1999; Bass, 2003; Riveiro, 2003; Ferrario, 2004; Umar, 2006; Behbehani, 2006; Shlomi, 2007; Honn, 2007).

Photometrics

Dikarenakan lebih menekankan pada proporsi jaringan lunak dibanding dengan menggunakan foto rontgent, menjadikan cara ini lebih disukai ahli bedah plastik. Dan merupakan cara yang lebih baik dalam menentukan perbandingan pre operatif dan hasil post operatif (Ahmed, 1991; Wall, 1998; Terris, 2002; Jain,

(33)

2004).

Tabel 2.1. Nilai normal analisis wajah (Wall, 1998) Tinggi vertikal wajah

Tinggi rasio hidung 47%

Tinggi rasio wajah bawah 53%

Sudut kelengkungan wajah (G-Sn-Pg) = 8-16 (12 ) Segitiga estetika Sudut nasofrontal (G-N-Tp) 115-130 Sudut nasofasial (G-Pg,N-Tp) 30-40 (36 ) Sudut nasomental (N-Prn-Pg), 120-132 Sudut mentoservikal (G-Pg,M-C) 80-95 Proporsional wajah Sudut hidung (N-Tr-Prn) 20-27 Sudut maksila (Tp-Tr-Vs)12-17 Sudut mandibula (Vs-Tr-Pg)14-20 Proyeksi hidung (Sn-Prn/N-Sn) 2,8:1 Sudut nasolabial (Cm-Sn-Vs) 90-120 Rasio ala-lobular , 1:1

Lebar hidung = jarak interokular = ½ jarak interpupil, 30-35mm Rasio 1/3 wajah bawah (Sn-St/St-M), 0,5:1

Proyeksi horisontal bibir atas 3,5 mm Proyeksi horisontal bibir bawah 2,2 mm Interlabial gap, 0-3 mm

Rasio Wajah bawah-leher, 1,2:1

N,nasion; Sn,subnasal; Gn,gnathiom; G,gablella; Pg,pogonion; Tp,titk tipnasi; M,menton; C,titik leher; Tg,tragion; Vs,batas vermilion superior; A,ala nasi; Cm,kolimela; St,stomion)

Dokumentasi

Fotografi berkualitas baik yang konsisten dengan standar penampakan diperlukan untuk membandingan sebelum dan sesudah hasil operasi. Hal ini penting untuk keperluan mengajar, dokumentasi medikolegal, dan sebagai

(34)

yang diperlukan adalah frontal, kedua sisi lateral, kedua sisi oblik dan tampak basal (Trenite, 1994; Tardy, 1995; Riveiro, 2003).

Petunjuk untuk mengambil fotografi perspektif rinoplasti (posisi estetik): Foto wajah tampak frontal diambil secara vertikal, harus mencakup seluruh wajah dan leher, mulai dari batas atas kepala sampai dengan batas atas klavikula. Foto tampak lateral wajah harus mencakup seluruh wajah, leher anterior sampai dengan kepala sternum dari klavikula, tengkuk leher, dan sebagian rambut ditarik agar telinga tampak dengan jelas. Pastikan bahwa kita tidak dapat melihat alis kontralateral. Garis Frankfort horisontal merupakan standart yang digunakan untuk mendapatkan posisi ini. Foto tampak oblik, puncak hidung harus sejajar dengan batas lateral pipi. Foto tampak basal hidung ini merupakan penampakan yang memberikan banyak informasi pada perencanaan operasi rinoplasti. Posisi kepala ekstensi, sehingga puncak hidung terletak setinggi alis mata dan dasar kolumela setinggi kantus lateral (Trenite, 1994; Bass, 2003).

Suku Batak

3000-1000 SM (Sebelum Masehi)

Suku Batak yang merupakan bagian dari Ras Proto Malayan hidup damai bermukim di perbatasan Burma/Myanmar dengan India. Beberapa komunitas tersebut yang kemudian menjadi cikal-bakal bangsa adalah kelompok suku Karen, Toradja, Tayal, Ranau, Bontoc, Meo serta trio Naga, Manipur, Mizoram.

(35)

Tiga yang terakhir ini sekarang berwarga negara India. Adat istiadat mereka dan aksesoris pakaian yang dimiliki sampai sekarang masih mirip dengan pakaian suku Batak, misalnya pernak-pernik dan warna ulos (Marbun, 2006).

Sifat dominan dari suku ini adalah kebiasaan hidup dalam Splendid

Isolation di lembah lembah sungai dan di puncak-puncak pegunungan. Mereka

sangat jarang membuat kontak bersifat permanen dengan pendatang yang berasal dari komunitas lainnya misalnya komunitas yang berada di tepi pantai, pesisir, yang saat itu banyak dipengaruhi oleh ideologi yang berbeda dengan mereka, misalnya Hinduisme, Zoroaster, Animisme gaya Yunani dan Romawi dan juga paham-paham baru seperti Buddha, Tao dan Shintoisme. Sifat tersebut masih membekas dan terus dipertahankan oleh orang-orang Batak hingga abad 19. Sampai saat ini, diperkirakan suku bangsa yang berasal dari ras ini masih mempertahankan kebiasaan ini, terutama Bangsa Tayal, suku pribumi di Taiwan, Suku Bontoc dan Batak Palawan penghuni pertama daerah Filipina (Marbun, 2006).

1000 SM

Bangsa Mongol yang dikenal bengis dan mempunyai kemajuan teknologi yang lebih tinggi berkat hubungan mereka yang konsisten dengan berbagai bangsa mulai bergerak ke arah selatan. Di sana, keturunan mereka menyebut dirinya Bangsa Syan dan kemudian menciptakan komunitas Burma, Siam (Thai) dan Kamboja yang kemudian menjadi cikal-bakal negara. Ras Proto Malayan mulai terdesak. Ketertutupan mereka menjadi bumerang karena teknologi

(36)

mereka tidak up to date. Sebagian dari mereka kemudian mulai meninggalkan

daerah-daerah tersebut, menempuh perjalanan untuk mencari daerah baru bahkan ke seberang lautan, di mana mereka akan menikmati hidup dalam

splendid isolation kembali (Marbun, 2006).

Suku Bontoc bergerak ke daerah Filipina, Suku Toraja ke selatannya, Sulawesi. Di Filipina, Batak Palawan merupakan sebuah suku yang sampai sekarang menggunakan istilah Batak. Saudara mereka bangsa Tayal membuka daerah di kepulauan Formosa, yang kemudian, beberapa abad setelah itu, daerah mereka diserobot dan kedamaian hidup mereka terusak oleh orang-orang Cina nasionalis yang kemudian menamakannya Taiwan. Yang lain, suku Ranau terdampar di Lampung. Suku Karen tidak sempat mempersiapkan diri untuk migrasi, mereka tertinggal di hutan belantara Burma/Myanmar dan sampai sekarang masih melakukan pemberontakan atas dominasi Suku Burma atau Myamar yang memerintah (Swasonoprijo, 2002; Marbun, 2006).

Selebihnya, suku Meo berhasil mempertahankan eksistensinya di Thailand. Bangsa Naga, Manipur, Mizo, Assamese mendirikan negara-negara bagian di India dan setiap tahun mereka harus berjuang dan berperang untuk mempertahankan identitas mereka dari supremasi bangsa Arya-Dravidian, yakni Bangsa India, yang mulai menduduki daerah tersebut karena kelebihan populasi (Marbun, 2006).

Suku Batak sendiri, selain terdampar di Filipina, sebagian terdampat di kepulauan Andaman (sekarang merupakan bagian dari India) dan Andalas dalam

(37)

tiga gelombang. Yang pertama mendarat di Nias, Mentawai, Siberut dan sampai ke Pulau Enggano. Gelombang kedua terdampar di muara Sungai Simpang. Mereka kemudian bergerak memasuki pedalaman Pulau Andalas menyusuri sungai Simpang Kiri dan mulai mendirikan tempat di Kotacane. Komunitas ini berkembang dan membuat identitas sendiri yang bernama Batak Gayo. Mereka yang menyusuri Sungai Simpang Kanan membentuk Komunitas Batak Alas dan Pakpak. Batak Gayo dan Alas kemudian dimasukkan Belanda ke peta Aceh (Marbun, 2006).

Mainstream dari Suku bangsa Batak mendarat di Muara Sungai Sorkam.

Mereka kemudian bergerak ke pedalaman, perbukitan. Melewati Pakkat, Dolok Sanggul, dan dataran tinggi Tele mencapai Pantai Barat Danau Toba. Mereka kemudian mendirikan perkampungan pertama di Pusuk Buhit di Sianjur Sagala Limbong Mulana di seberang kota Pangururan yang sekarang Mitos Pusuk Buhit pun tercipta.

Masih dalam budaya splendid isolation, di sini suku Batak dapat berkembang dengan damai sesuai dengan kodratnya. Komunitas ini kemudian terbagi dalam dua kubu. Pertama Tatea Bulan yang dianggap secara adat sebagai kubu tertua dan yang kedua Kubu Isumbaon yang di dalam adat dianggap yang bungsu.

Sementara itu komunitas awal suku Batak, jumlahnya sangat kecil, yang hijrah dan migrasi jauh sebelumnya, mulai menyadari kelemahan budayanya dan mengolah hasil-hasil hutan dan melakukan kontak dagang dengan Bangsa Arab, Yunani dan Romawi kuno melalui pelabuhan Barus. Di Mesir hasil produksi

(38)

mereka, kapur Barus, digunakan sebagai bahan dasar pengawetan mumi, Raja-raja Fir’aun yang sudah meninggal. (Marbun, 2006).

1000 SM – 1510 M

Komunitas suku Batak berkembang dan struktur masyarakat berfungsi. Persaingan dan kerjasama menciptakan sebuah pemerintahan yang berkuasa mengatur dan menetapkan sistem adat. Dinasti Sori Mangaraja telah berkuasa dan menciptakan tatanan suku yang maju selama 90 generasi di Sianjur Sagala Limbong Mulana. Dinasti tersebut bersama menteri-menterinya yang sebagian besar adalah Datu, Magician, mengatur pemerintahan atas seluruh suku Batak, di daerah tersebut, dalam sebuah pemerintahan berbentuk Teokrasi. Dinasti Sorimangaraja terdiri dari orang-orang bermarga Sagala cabang Tatea Bulan. Mereka sangat disegani oleh suku Batak di bagian selatan yang keturunan dari Tatea Bulan.

Dengan bertambahnya penduduk, maka berkurang pula lahan yang digunakan untuk pertanian, yang menjadi sumber makanan untuk mempertahankan regenerasi. Maka perpindahan terpaksa dilakukan untuk mencari lokasi baru. Alasan lain dari perpindahan tersebut adalah karena para tenaga medis kerajaan gagal membasmi penyakit menular yang sudah menjangkiti penduduk sampai menjadi epidemik yang parah. Perpindahan diarahkan ke segala arah, sebagian membuka pemukiman baru di daerah hutan belukar di arah selatan yang kemudian bernama Rao, sekarang di Sumatera Barat. Beberapa kelompok di antaranya turun ke arah timur, menetap dan

(39)

membuka tanah, sekarang dikenal sebagai Tanjung Morawa, daerah di pinggir Kota Medan (Marbun, 2006).

(40)

BAB 3

KERANGKA KONSEP

Analisis profil wajah Bentuk wajah - Umur - Jenis kelamin - Ras (etnis) - Bentuk badan - Personaliti - penyakit Nilai rata-rata

(41)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Survei dengan desain potong lintang (cross sectional study) bersifat

deskriptif.

4.2. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 4.2.1. Populasi

Perempuan Batak murni yang berdomisili di Kota Medan

4.2.2. Sampel

Semua perempuan Batak murni yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan sebagai sampel penelitian.

4.2.3. Besar Sampel

n = Z2 p(1-p) d2

Z2 = tingkat kepercayaan 95% = 1,96 p = proporsi wanita Batak = (0,5) d = ketepatan penelitian = 0,1 hasil : n = 97 100

(42)

4.2.4. Teknik Pengambilan Sampel

Perempuan Batak murni yang memenuhui kriteria inklusi diambil sebagai subjek penelitian. Dilakukan pemotretan pada sisi frontal, lateral dan basal kemudian dilakukan pengukuran profil wajah.

4.2.5. Kriteria Inklusi

1. Perempuan keturunan suku Batak murni; 3 keturunan Sub-suku Batak yang diambil adalah :

• Mandailing • Karo • Toba • Pak-pak • Simalungun • Angkola 2. Umur 18-40 tahun

3. Bersedia ikut serta dalam penelitian

4.2.6. Kriteria Eksklusi

1. Mempunyai gangguan obstruksi hidung yang menetap 2. Mempunyai riwayat rinitis alergi persisten sedang-berat 3. Sedang dalam perawatan ortodontis

4. Mempunyai kelainan pada kraniofasial kompleks 5. Indeks massa tubuh lebih dari normal

(43)

6. Pernah menjalani operasi wajah atau fraktur wajah sebelumnya

4.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 4.3.1. Variabel Penelitian

Variabel yang diamati adalah jarak dan sudut parameter wajah, proporsi hidung terhadap wajah, bentuk hidung dan bentuk wajah pada suku Batak.

4.3.2. Definisi Operasional

Keturunan Batak murni 3 keturunan:

Kakek, nenek, ayah dan ibu sampel merupakan suku Batak.

Umur: dihitung dalam tahun dan menurut ulang tahun terakhir. Perhitungan berdasarkan penanggalan Masehi.

Indeks Massa Tubuh dihitung menggunakan kalkulator CDC, angka di atas 30 merupakan kriteria eksklusi.

Rinitis alergi persisten sedang berat: menurut klasifikasi ARIA, 2001. Jarak pengambilan foto: kamera diletakan sejauh 60 cm dari sampel

dengan fokus berada pada mata. Parameter wajah yang diukur:

1. Tinggi Atas Wajah / UFH (cm) : jarak antara titik Trichion dengan

Glabella. Trichion adalah batas atas dahi, yang berlokasi pada

garis rambut frontal.

2. Tinggi Tengah Wajah / MFH (cm) : jarak antara titik Glabella

(44)

3. Tinggi Bawah Wajah / LFH (cm) : jarak antara titik Subnasal

dengan Menton.

4. Tebal Bibir Atas / ULL (cm) : jarak antara Vermilion Superior

dengan Stomion.

5. Jarak Stomion-Menton / SM (cm) : jarak dari titik perbatasan batas

bibir atas dengan bibir bawah (Stomion) ke titik Menton. Menton

adalah batas bawah dari jaringan lunak dagu.

6. Jarak Epikantus / En-En (cm) : jarak antara

Endocanthion-Endocanthion. Endocanthion adalah titik pada komisura interna

pada fisura mata.

7. Lebar Ala Nasi / Al-Al (cm) : jarak antara Ala-Ala nasi. Ala adalah

titik palilng lateral dari kontur Ala Nasi.

8. Sudut Nasofrontal / NFA (0) : sudut yang dibentuk oleh

Glabella-Nasion-Tip Nasi. Glabella adalah bagian paling menonjol pada

penampang midsagital dari dahi. Nasion adalah depresi dari

pangkal hidung sejalan dengan sutura Nasofrontal. Tip Nasi adalah

proyeksi paling anterior dari puncak hidung dengan pertemuan dari kedua kubah kartilago lateral bawah.

9. Sudut Nasofasial / NFcA (0) : sudut yang dibentuk oleh garis

Nasion-Tip Nasi dengan garis perpendikularis dengan pangkal

hidung (glabella-pogonion).

10. Sudaut Nasolabial / NLA (0) : sudut yang dibentuk oleh Tip Nasi

(45)

Kolumela dan bibir atas pada dasar hidung.

11. Sudut Mentoservikal / MC (0) : sudut yang dibentuk oleh kontur dagu atas dengan permukaan bawah mandibula (

Glabella-Pogonion-Cervical).

12. Sudut Nasomental / NM (0) : sudut yang dibantuk oleh Nasion-Tip

Nasi-Pogonion. Pogonion adalah bagian paling menonjol pada

proyeksi anterior dari dagu.

13. Sudut Maksila: sudut yang dibentuk oleh Tip Nasi – Tragus –

Vermilion Superior.

14. Sudut Mandibula: sudut yang dibentuk oleh Vermilion Superior –

Tragus – Pogonion.

15. Panjang Hidung / NT (cm) : jarak antara titik Nasion dengan Tip

Nasi.

16. Proyeksi Tip Simons (perbandingan) : perbandingan jarak

Subnasal-vermilion superior dengan Tip Nasi-Subnasal.

17. Proyeksi Tip Powell (perbandingan) : perbandingan antara

Nasion-Subnasal dengan garis perpendikular yang melawati puncak

hidung.

18. Proyeksi Tip Goode (perbandingan) : perbandingan antara

Nasion-ala nasil dengan garis perpendikular yang melawati puncak hidung.

19. Sudut Kelengkungan Wajah (0) : sudut yang dibentuk oleh

Glabella-Subnasal-Pogonion.

(46)

foto lateral.

21. Sulkus Mentolabial (cm) : jarak antara titik midline pada Sulkus Mentolabial dengan garis yang melewati Vermilion Inferior dengan

Pogonoin.

22. Perbandingan Lobul-Basal (perbandingan) : perbandingan lebar lobul hidung dengan basal hidung, pada foto Basal.

4.4. Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan penelitian: Alat pemeriksaan THT rutin

Kamera Canon EOS 350D (digital)

Latar belakang dengan warna biru muda/hijau muda Pembersih wajah

Pensil eyeliner sebagai penanda titik-titik profil wajah Printer Epson stylus photo R290 dan kertas high resolution Spidol berwarna

Penggaris dan busur

4.5. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian berpusat di RSUP H. Adam Malik Medan. Pengambilan sampel dilakukan di beberapa tempat di kota Medan. Waktu penelitian dimulai Januari 2008 sampai Desember 2008.

(47)

Wanita suku Batak

Anamnesis dan Pemeriksaan THT rutin

Wajah dibersihkan dari make-up dan perhiasan dilepaskan

Penandaan titik-titik profil wajah pada wajah sampel

Pemotretan pada sisi frontal, lateral dan basal

Hasil foto dilakukan pengukuran Gambar 4.1. Kerangka kerja penelitian

4.7. Analisa Data

(48)

BAB 5

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada 100 orang perempuan suku Batak, yang dibatasi oleh umur antara 17 sampai 40 tahun. Pada sampel dilakukan fotometrik analisis pada wajah, dan hasil yang didapat dilakukan analisis univariat (statistik deskriptif) dengan menggunakan SPSS versi 10.0

Tabel 5.1. Sebaran parameter profil wajah sampel

No Parameter Minimum Maksimum Mean Median Modus Deviasi Std. 1. UFH (cm) 4.3182 7.6429 5.8959 5.8127 5.0000 0.5994 2. MFH (cm) 4.6667 7.4286 6.0408 6.0263 6.0000 0.5137 3. LFH (cm) 5.3947 7.5000 6.4209 6.4500 6.5000 0.4715 4. ULL (cm) 0.4285 1.2000 0.7829 0.7719 0.7142 0.1446 5. SM (cm) 3.3750 5.3333 4.3254 4.3662 4.0000 0.4074 6. En-En (cm) 2.9557 4.2029 3.5171 3.5408 3.7143 0.2767 7. Al-Al (cm) 3.5281 5.1667 4.1614 4.1316 4.0000 0.2972 8. NFA (0) 120 148 132.71 131.50 130 5.35 9. NfcA (0) 18 32 24.60 25.00 25 2.79 10. NLA (0) 100 140 118.90 120.00 120 9.81 11. MCA (0) 83 122 110.16 111.00 111 5.91 12. NMA (0) 123 152 133.40 133.00 130 4.53 13. Maksila (0) 11 20 14.70 15.00 15 1.82 14. Mandibula (0) 14 25 18.70 19.00 20 1.92 15. NT (cm) 2.1333 4.5000 3.2796 3.3229 3.5000 0.3817 16. Proyeksi Tip Simmons 0.4210 2.4286 0,7265 0.7142 0.5000 0.2206 17. Proyeksi Tip Powell 2.0000 4.1333 3.2484 3.2301 3.3333 0.3602 18. Proyeksi Tip Goode 1.3529 3.0435 2.1278 2.0825 2.0000 0.3449 19. Lengkung wajah (0) 162 180 173.91 174.00 180 4.35 20. Columella show (cm) 0.0000 0.5556 0.2308 0.2583 0.0000 0.1751 21. Sulkus mentolabial (cm) 0.2103 0.6000 0.3837 0.3750 0.3750 0,00891 22. Lobul-Basal 1.4412 2.4643 1.8505 1.8519 2.0000 0.1932

Dari tabel 5.1 di atas, didapati bahwa nilai standard deviasi terbesar terdapat pada parameter UFH yaitu sebesar 0,5994, dan standard deviasi yang terkecil terdapat pada parameter sulkus mentolabial yaitu 0,0891.

(49)

Nilai rata-rata parameter columella show adalah 0,2308 dan nilai yang paling banyak dijumpai pada pengukuran columella show adalah 0,000.

Tabel 5.2. Sebaran tinggi wajah secara horizontal

Tinggi wajah Jumlah sampel Persentase UFH = MFH = LFH 4 4% UFH = MFH UFH > MFH UFH < MFH 9 43 48 9% 43% 48% UFH = LFH UFH > LFH UFH < LFH 6 24 70 6% 24% 70% MFH = LFH MFH > LFH MFH < LFH 7 29 64 7% 29% 64%

Dari tabel 5.2, di dapat sebanyak 4 sampel yang mempunyai tinggi wajah atas, tengah dan bawah yang sama. Sebanyak 70 sampel yang mempunyai tinggi wajah atas lebih kecil dibanding dengan tinggi bawah wajah.

Tabel 5.3. Sebaran perbandingan jarak interkantus dengan lebar ala nasi

Jumlah sampel Persentase En-En = Al-Al 1 1% En-En > Al-Al 0 0% En-En < Al-Al 99 99%

Dari tabel 5.3 di atas, di dapat sebanyal 1 sampel yang mempunyai jarak epikantus dengan lebar ala nasi yang sama, dan sisanya sebanyak 99 sampel mempunyai lebar ala nasi yang lebih besar dibanding dengan jarak epikantus.

(50)

BAB 6 PEMBAHASAN

Wajah pada penampakan depan dapat dibagi 3, ditunjukan pada tabel 6.1 dengan melihat perbedaan terhadap beberapa suku di dunia.

Tabel 6.1. Pembagian tinggi wajah secara horizontal (cm)

No. Suku UFH MFH LFH Total

1. Batak 5,8959 6,0408 6,4209 18,3576 2. Turki 5,21 4,78 6,26 16,250 3. Korea 5,77 6,79 6,68 19,240 4. Afrika 5,57 6,20 6,70 18,470 5. Jawa 5,766 6,939 6,793 19,498 6. Caucasian 5,27 6,31 6,43 18,010

Dari tabel 6.1 di atas, pada suku Batak tinggi atas wajah (UFH) lebih kecil dibandingkan tinggi tengah wajah (MFH) maupun tinggi bawah wajah (LFH). Dan LFH merupakan yang paling panjang. Dan total panjang wajah suku Batak 18,3576 cm.

Dari tabel 6.1 tersebut dapat terlihat perbedaan bahwa pada suku Batak jarak UFH merupakan yang paling besar dibanding dengan suku-suku lain. Jarak MFH suku Batak bukan yang terbesar maupun terkecil dan begitu juga jarak LFH. Dan pada total panjang wajah, suku Batak bukan juga paling besar maupun kecil (Kowalski, 1976; Porter, 2001; Le, 2002; Bozkir, 2004; Choe, 2004; Hediyati, 2006).

Persentase tiap bagian wajah dapat diketahui dengan memperbandingkan tiap bagian wajah tersebut dengan keseluruhan panjang wajah. Dapat dilihat

(51)

pada tabel 6.2.

Tabel 6.2. Persentase besar wajah secara horizontal

No. Suku UFH MFH LFH

1. Batak 32,11% 32,90% 34,97% 2. Turki 32,06% 29,41% 38,52% 3. Korea 29,99% 35,29% 34,71% 4. Afrika 30,15% 33,56% 36,27% 5. Jawa 29,57% 35,58% 34,83% 6. Caucasian 29,26% 35,03% 35,70% 7. Cina 31,4% 34,3% 34,3% 8. NeoClassical Canon 33,33% 33,33% 33,33% Persentase LFH suku Batak yang sebesar 34,97% merupakan persentase tinggi wajah yang paling besar. Dan persentase UFH merupakan paling kecil dibanding dengan bagian wajah lain, tetapi seperti yang terlihat pada tabel 6.2 persentase UFH pada suku Batak tersebut merupakan persentase terbesar dibanding dengan suku-suku lain (Sim, 2000; Porter, 2001; Le, 2002; Bozkir, 2004; Choe, 2004; Hediyati, 2006).

Neoclassical cannon yang membagi tiga tinggi wajah horizontal sama besar menentukan tinggi tiap bagian wajah adalah 33,33%. Dapat dilihat bawah persentase tiap-tiap bagian tinggi wajah pada suku Batak merupakan yang paling mendekati ke nilai neoclassical cannon.

Dari tabel 5.2. di dapat bahwa pada suku Batak yang menyamai dengan Neoclassical canon terdapat 4% dari sampel. Perbandingan sebaran tinggi wajah menurut Neoclassical canon dengan beberapa suku dapat dilihat pada tabel 6.3.

(52)

Tabel 6.3. Sebaran persentase tinggi wajah secara horizontal pada beberapa suku.

Tinggi Wajah Batak Afrika Kaukasia Turki Korea

UFH = MFH = LFH 4% 0% - - - UFH = MFH UFH > MFH UFH < MFH 9% 43% 48% 0% 24,1% 75,9% 0% 10% 90% 19,1% 62,9% 18,0% 0% 93% 8% UFH = LFH UFH > LFH UFH < LFH 6% 24% 70% 0% 74,0% 92,6% 0% 11% 89% 14,7% 38,6% 46,7% 0% 0% 100% MFH = LFH MFH > LFH MFH < LFH 7% 29% 64% 0% 24,1% 75,9% 4% 54% 42% 16,5% 12,9% 70,6% 0% 32% 68%

Dari tabel 6.3 tampak perbandingan UFH=MFH=LFH sebanyak 4% sedang pada bangsa afrika 0%, pada kaukasia, turki maupun korea tidak terdapat laporan pada literatur yang kemungkinan tidak terdapat perbandingan yang sama (Porter, 2001; Choe, 2004; Bozkir, 2004).

Tingi bawah wajah dapat dibagi dengan beberapa bagian. Menurut Powell dan Humphries, jarak antara sub nasal ke stomion adalah sepertiga jarak dari tinggi bawah wajah (33,33%), dan jarak stomion dan gnation adalah dua pertiga jarak dari tinggi bawah wajah (66,67%). Pada suku Batak dapat dimasukan rumus tersebut (Hediyati, 2006; Calhoun, 2006).

LFH = 6,4209 cm SM = 4,3254 cm

Sehingga didapat jarak subnasal-stomion = LFH – SM = 6,4209 – 4,3254 = 2,0955 cm

(53)

Persentase SM = SM / LFH x 100% = 4,3254 / 6,4209 x 100% = 67,36%

Persentase subnasal-stomion = subnasal-stomion / LFH x 100% = 2,0955 / 6,4209 x 100%

= 32,63%

Tabel 6.4. Pembagian tinggi bawah wajah menurut Powell dan Humpries

Powell dan

Humpries Batak Jawa Kaukasia subnasal-menton 100% 100% 100% 100%

subnasal-stomion

33,33% 32,63% 34,59% 31,10% stomion-menton 66,67% 67,36% 65,40% 68,89%

Pada tabel 6.4 tampak bawah persentase pembagian tinggi bawah wajah pada suku Batak merupakan yang paling dekat dengan standar yang diajukan oleh Powell dan Humpries, yaitu jarak subnasal-stomion 32,63% dan stomion-menton 67,36% (Hediyati, 2006; Calhoun, 2006).

Peek dan peek mengajukan juga teori mengenai pembagian dari tinggi bawah wajah, yaitu perbandingan antara jarak subnasal ke stomion dengan jarak antara stomion dan menton adalah 0,5 : 1. Pada suku Batak dapat dimasukan rumus (Tardy, 1995; Hediyati, 2006; Calhoun, 2006)

(54)

Peek dan peek = subnasal-stomion / stomion-menton = 2,0955 / 4,3254

= 0,4844 : 1

Tabel 6.5. Pembagian tinggi bawah wajah menurut Peek dan Peek Peek dan Peek Batak Jawa Kaukasia 0,5 : 1 0,4844 : 1 0,5288 : 1 0,4514 : 1

Dari tabel 6.5 mengenai tinggi bawah wajah menurut Peek dan Peek, suku Batak bernilai 0,4844 : 1. Suku Jawa lebih mendekati kriteria Peek dan peek dibanding dengan suku Batak (Hediyati, 2006; Calhoun, 2006).

Tabel 6.6. Tebal bibir atas

Suku ULL (cm) Subnasal-stomion (cm) % ULL/subnasal-stomion Batak 0,77829 2,0955 37,36 % Jawa 1,44 2,35 61,27 % Kaukasia 0,87 2,09 41,62 % Tebal bibir atas pada suku Batak seperti yang terlihat pada tabel 6.6 merupakan yang terkecil dibanding dengan suku Jawa dan Kaukasia (Hediyati, 2006; Calhoun, 2006).

(55)

Tabel 6.7. Jarak interkantus dan lebar ala nasi

No. Suku Endocanthion-endocanthion (cm) Ala-ala (cm) 1. Batak 3,5171 4,1614 2. Jawa 3,608 4,041 3. Bugis 2,4040 3,2175 4. Makassar 2,4790 3,2184 5. Mandar 1,8861 3,0417 6. Toraja 2,0194 3,1667 7. Kaukasia 3,18 3,14 8. Cina 3,71 3,2 9. Cina selatan 3,4 3,8 10. Thailand 2,66 4,05 11. Vietnam 3,67 4,00 12. Korea 3,69 4,5 13. Afrika 3,14 3,80 14. Turki 3,00 3,23

Dari tabel 6.7 didapat jarak interkantus pada suku Batak sebesar 3,571 cm, bukan merupakan yang terbesar (Cina = 3,71 cm) dan bukan juga yang terkecil (suku Mandar = 1,8861). Jika dilihat perbedaan dengan suku toraja yang merupakan 1 kelompok ras protomelayu, jarak cukup berbeda yaitu jarak interkantus suku toraja adalah 2,0194 cm. Jarak interkantus suku Batak lebih mendekati dengan suku Cina selatan yang besarnya 3,4 cm (Sim, 2000; Porter, 2001; Le, 2002; Choe, 2004; Bozkir, 2004; Hediyati, 2006; Julianita, 2008).

Lebar ala nasi pada suku Batak 4,1614 cm merupakan yang kedua terbesar di bawah lebar ala nasii pada bangsa Korea (4,5 cm). Pada tabel 6.7 juga tampak lebar ala nasi pada bangsa Kaukasia merupakan yang terkecil (3,14 cm) diikuti bangsa Cina (3,2 cm) (Sim, 2000; Porter, 2001; Le, 2002; Choe, 2004; Bozkir, 2004; Hediyati, 2006; Julianita, 2008).

(56)

Dari tabel 6.8 tampak bahwa lebar ala nasi yang lebih kecil dibanding dengan jarak interkantus hanya pada bangsa Kaukasia (3,14 : 3,18 cm) dan Cina (3,2 : 3,71 cm). Pada suku Batak lebar ala nasi lebih besar dibanding dengan jarak interkantus (4,1614 cm : 3,5171 cm) (Sim, 2000; Porter, 2001; Le, 2002; Choe, 2004; Bozkir, 2004; Hediyati, 2006; Julianita, 2008).

Jika perbandingan antara jarak interkantus dengan lebar ala nasi dilihat Neoclassical Canon maka jarak tersebut harus sama. Pada tabel 5.3, hanya terdapat 1% pada suku Batak yang jarak interkantus yang sama. Pada tabel 6.8 di bawah dapat di lihat sebaran jarak tersebut dibeberapa suku.

Tabel 6.8. Persentase sebaran perbandingan jarak interkantus dengan lebar ala nasi

No. Suku En-En = Al-Al En-En > Al-Al En-En < Al-Al

1. Batak 1 % 0 % 99,0 % 2. Jawa 2,5 % 7,5 % 90,0 % 3. Afrika 4,6 % 1,9 % 93,5 % 4. Korea 1 % 62 % 38 % 5. Kaukasia 41 % 21 % 38 % 6. Turki 38,6 % 11,0 % 50,4 % 7. Cina 26,7 % 25,0 % 48,3 % 8. Vietnam 16,6 % 6,7 % 76,7 % 9. Thailand 21,6 % 1,7 % 76, 7 %

Perbandingan lebar ala nasi yang lebih besar dari pada jarak epikantus dengan persentase terbanyak adalah suku Batak yang diikuti oleh Afrika. Yang mendekati Neoclassical canon adalah bangsa Kaukasia sebesar 41% (Dawei, 1997; Sim, 2000; Porter, 2001; Le, 2002; Choe, 2004; Bozkir, 2004; Hediyati, 2006).

(57)

Tabel 6.9. Sudut Nasofrontal, Nasofasial dan Naso Labial

No. Suku NFA ( 0 / derajat ) NfcA ( 0 / derajat ) NLA ( 0 / derajat )

1. Batak 132,71 24,60 118,90 2. Jawa 138,04 29,65 92,81 3. Bugis 135,189 35,027 93,000 4. Makassar 136,210 2537,605 93,605 5. Mandar 136,778 35,528 94,833 6. Toraja 137,278 2535,944 91,250 7. Kaukasia 134,3 29,9 104,2 8. Korea 136,8 32,3 92,1 9. Cina 136,6 33,7 96,8 10. Cina Selatan 137,9 36,4 92,2

Sudut Nasofrontal yang dibentuk oleh titik-titik Glabella-Nasion-Tip Nasi pada suku Batak merupakan terkecil dibanding dengan suku lain. Menurut Powel dan Humphries sudut Nasofrontal adalah 115-1300. Walau sudut 1300 merupakan batas atas menurut Powell dan Humphries dan pada suku Batak merupakan sudut yang terbanyak (modus, tabel 5.1), tetapi sudut NFA terbesar pada suku Batak adalah 1480 dan rata-rata adalah 132, 710, sehingga dapat dikatakan NFA pada suku Batak tidak masuk ke dalam nilai Powel dan Humphries (Sim, 2000; Becker, 2003; Devan, 2003; Choe, 2004; Leong, 2004; Calhoun, 2006; Hediyati, 2006; Julianita, 2008).

Suku Batak mempunyai sudut nasofasial yang terkecil dibanding dengan suku yang lainnya yaitu 24,600, dimana sudut itu tidak termasuk ke dalam kriteria Powel dan Humphries dengan nilai 30-400 (Sim, 2000; Devan, 2003; Choe, 2004; Leong, 2004; Calhoun, 2006; Hediyati, 2006; Julianita, 2008).

(58)

1200 (Sim, 2000; Devan, 2003; Choe, 2004; Leong, 2004; Calhoun, 2006; Hediyati, 2006; Ingels, 2006; Julianita, 2008).

Tabel 6.10. Sudut Mentoservikal dan sudut Nasomental

No. Suku MCA ( 0 / derajat) NMA ( 0/derajat )

1. Batak 110,16 133,40 2. Jawa 95,27 136,45 3. Bugis 95,365 128,162 4. Makassar 97,290 130,000 5. Mandar 96,556 125,417 6. Toraja 93,167 128,806 7. Kaukasia 83,9 126 8. Cina Selatan 93,3 127,4

Dari tabel 6.10, sudut mentoservikal pada suku Batak merupakan yang terbesar dibanding dengan suku-suku lain, dan sudut nasomental suku Batak berada di bawah suku Jawa dalam besar sudut. Sudut mentoservikal dan nasomental merupakan termasuk segitiga estetika Powell dan Humphries selain sudut nasofrontal dan nasofasial, dengan nilai sudut mentoservikal = 80-950, sudut nasomental = 120-1320. Pada suku Batak sudut-sudut tersebut terlalu kecil (Sim, 2000; Becker, 2003; Calhoun, 2006; Hediyati, 2006; Julianita, 2008).

Sudut maksila dan mandibula merupakan sudut yang termasuk ke dalam fasial proporsi wajah menurut Peck dan Peck yaitu sebesar 12-170 dan 14-200. Dari tabel 5.1, pada suku Batak sudut maksila adalah 14,700, dan mandibula 18,790. Kedua sudut tersebut masuk dalam kriteria (Calhoun, 2006).

Dari tabel 5.1, didapat bahwa panjang hidung suku Batak adalah 3,2796 cm, dan jika diperbandingakan dengan panjang seluruh wajah maka akan dapat proporsi panjang hidung.

(59)

Proporsi panjang hidung = NT / (UFH+MFH+LFH)

= 3,2796 / 5,8959+6,0408+6,4209 = 3,2796 / 18,3576

= 0,1786

Tabel 6.11. Tabel proporsi panjang hidung

Batak Jawa Kaukasia

Proporsi panjang hidung

0,1786 0,2 0,25

Bila lebar ala nasi diperbandingkan dengan panjang hidung maka akan didapat nilai = al-al / NT

= 4,1614 / 3,2796 = 1,2689

Tabel 6.12. Perbandingan proporsi lebar ala nasi dengan panjang hidung

Batak Jawa Kaukasia Cina

al-al / NT 1,2689 1,0 0,7 1,2

Dari tabel 6.12, tampak lebar ala nasi pada suku Batak lebih besar dari panjang hidung sedang pada bangsa kaukasia ala nasi lebih kecil dibanding dengan panjang hidung. Dan Perbandingan proporsi lebar ala nasi dengan panjang hidung pada suku Batak lebih mendekati pada bangsa Cina (Nichani; Calhoun, 2006; Hediyati, 2006).

(60)

Tabel 6.13. Proyeksi hidung

No. Suku Proyeksi

Simmons

Proyeksi Powell Proyeksi Goode

1. Batak 0,7265 3,2484 2,1278

2. Jawa 0,76 3,62 -

3. Cina selatan 1,5 3,0 -

4. Cina - 3,0 -

5. Kaukasia 1 2,8 -

Proyeksi tip Simmons maupun Powell suku Batak hampir sama dengan proyeksi dengan suku Jawa. Pada proyeksi tip Goode, dimana menurut Peck dan Peck bernilai 0,55-0,6, sedang pada suku Batak terdapat perbedaan yang cukup mencolok yaitu 2,1278 (Sim, 2000; Calhoun, 2006; Hediyati, 2006; Ingels, 2006; Turner, 2006).

Sudut kelengkungan wajah yang dibentuk oleh sudut glabella-subnasal-pogonion pada suku Batak adalah 173,910 (tabel 5.1). Kelengkungan wajah menurut Legan dan Burstone adalah 1800 – (sudut glabella-subnasal-pogonion) dengan nilai 8-160. Pada suku Batak di dapat nilai 180-173,91 = 6,0900. Sudut tersebut lebih kecil dibanding menurut Legan dan Burstone (Calhoun, 2006).

Tabel 6.14. Columella show dan sulkus mentolabial

No. Suku Columella show (cm) Mentolabial (cm)

1. Batak 0,2308 0,3837

2. Jawa 0,584 0,3,65

3. Kaukasia 0,4 0,4

Collumela show yang merupakan penampakan kolumela dari sisi lateral, pada tabel 6.14 tampak pada suku Batak merupakan nilai terkecil. Jika

(61)

columella show yang kecil kemungkinan berhubungan dengan bentuk ala nasi pada suku Batak yang merupakan tipe hanging ala. Besar sulkus mentolabial

tidak banyak perbedaan antara suku Batak dan Jawa maupun terhadap bangsa Kaukasia (Bagal, 2002; Becker, 2003; Calhoun, 2006; Hediyati, 2006; Rettinger, 2007).

Lebar seluruh basal dibandingkan dengan besar lobulus pada bangsa Kaukasia adalah 4 :3 . Dari tabel 5.1, perbandingan tersebut pada suku Batak adalah 1,8505, dan modusnya adalah 2,000 dimana dapat diartikan lebar basal adalah 2 kali dari besar lobulus (Calhoun, 2006).

(62)

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 . KESIMPULAN

7.1.1 Tinggi wajah suku Batak mendekati kriteria Neoclassical canon, tetapi

secara vertikal lebar ala nasi lebih besar dari jarak epikantus.

7.1.2 Bentuk hidung dari suku Batak adalah tipe mesorhinne. 7.1.3 Bentuk hidung dari suku Batak adalah persegi.

7.1.4 Parameter jarak maupun sudut dari wajah suku Batak berbeda dari

suku-suku yang ada. dan juga tidak termasuk ke dalam kriteria-kriteria yang dipakai dalam penentuan parameter wajah untuk tindakan rhinoplasti.

7.2 . SARAN

7.2.1 Diperlukan penelitian lebih lanjut dalam hal analisis wajah pada beberapa

suku yang ada di Sumatera Utara.

7.2.2 Diperlukan penelitian lebih lanjut pada analisis wajah setelah dilakukan

(63)

DAFTAR PUSTAKA

Abraham MT. 2003. Rhinoplasty, multiracial. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic113.htm.

Ahmed R, Vernon SA. 1991. A Camera that Directly Meassures Physical Parameters. Journal of the Royal Society of Medicine. Vol. 84 : pp. 81-3.

Arslan SG, Genc C, Odabas B, Kama JD. 2008. Comparison of Facial Proportions and Anthropometric Norms Among Turkish Young Adults with Different Face Types. Journal of Aesthetic Plastic Surgery. Vol. 32 : pp. 234-42.

Bagal AA, Adamson PA. 2002. Revision Rhinoplasty. Facial Plastic Surgery. Vol. 18(4) : pp. 233-43.

Baker DC. 1980. Physiology. In : Aesthetic Plastic Surgery. Vol 1. Saunders, W.B. Company : pp. 66-98.

Bass NM. 2003. Measurement of the Profile Angle and the Aesthetic Analysis of the Facial. Journal of Orthodontics. Vol. 30 : pp. 3-9.

Becker DG. 2003. Rhinoplasty. Journal of Long-Term of Medical Implants, 13(3) : pp. 223-46.

Becker DG, Toriami DM. 2008. Rhinoplasty analysis. Available from URL :

(64)

Behbehani F, Hicks EP, Beeman C, Kluemper GT, Rayens MK. 2006. Racial Variations in Cephalometric Analysis between Whites and Kuwaitis. Angle Orthodontist. Vol. 76(3) : pp. 406-11.

Bozkir MG, Karakas P, Oguz O. 2004. Vertical and Horizontal Neoclassical Facial Canons in Turkish Young Adults. Journal of Surg Radiol Anat. Vol. 26 : pp. 212-19.

Calhoun KH, Stambaugh KI. 2006. Facial Analysis and Preoperative Evaluation. In : Bailey, Byron J, Johnson, Jonas T, Newlands, Shawn D. Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. Lippincott Wlliams & Wilkins, pp. 2481-97.

Chang EW. 2003. Nose Anatomy. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic6.htm.

Choe KS, Sclafani AP, Litner JA, Yu GP, Romo T. 2004. The Korean American Woman’s Face. Anthropometric Measurements and Quantitative Analysis of Facial Aesthetics. Arch Facial Plast Surg/Vol 6, Juli/Aug : pp. 244-52.

Dawei W, Guozheng Q, Mingli Z, Farkas LG. 1997. Differences in Horizontal, Neoclassical Facial Canons in Chinese (Han) and North American Caucasian Pupolations. Journal of Aesthetic Plastic Surgery. Vol. 21 : pp. 265-9.

Devan PP. 2003. Rhinoplasty, Nasal Tip Projection. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic118.htm.

(65)

Medicine. Vol 93, Feb : pp.89-92.

Farkas LG, Forrest CR, Litsas L. 2000. Revision of Neoclassical Facial Canons in Young Adult Afro-Americans. Journal of Aesthetic Plastic Surgery. Vol. 24 : pp. 179-84.

Ferrario VF, Dellavia C, Tartaglia GM, Turci M, Sforza C. 2004. Soft Tissue Facial Morphology in Obes Adolescent: A Three-Dimensional Noninvasive Assessment. Angle Orthodontist. Vol. 74(1) : pp. 37-42.

Finn JC. 2005. Rhinoplasty, Broad Nasal Tip. Available from URL : www.emedicine.com/ent/topic111.htm.

Hediyati M, Trimartani, Boedhihartono. 2006. Analisis Antropometri Wajah Perempuan Jawa Murni di Jakarta. Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta.

Hodgkinson DJ. 2007. The Eurasian Nose : Aesthetic Principles and Techniques for Augmentation of the Asian Nose with Autogenous Grafting. Journal of Aesthetic Plastic Surgery. Vol. 31 : pp. 28-31. Honn M, Goz G. 2007. The Ideal of Facial Beauty:A Riview. Journal of

Orofacial Orthopedics, 68 : pp. 6-16.

Honrado CP. 2005. Facial Plastic Surgery in Asian Patients. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic680.htm.

Horioglu RE. 2005. Prerhinoplasty Facial Analysis. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic617.htm

(66)

Hormozi AK, Toosi AB. 2008. Rhinometry: An Important Clinical Index for Evaluation of the Nose Before and After Rhinoplasty. Journal of Aesthetic Plastic Surgery. Vol. 32 : pp. 286-93.

Ingels K, Orhan KS. 2006. Measurement of Preoperative and Postoperative Nasal Tip Projection and Rotation. Arch Otolaryngol Head Neck Surg/Vol 8, Nov/Dec : pp. 411-15.

Jain SK, Anand C, Ghosh SK. 2004. Photometric Facial Analysis-A Baseline Study. Journal Anat Soc India, 53(2) : pp. 11-3.

Julianita, Rahmawati, Punagi AQ, Akil MA. 2008. Analisis Fotometrik Wajah Suku-suku di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Studi Antropometrik Sub Ras Deutero Melayu dan Proto Melayu). Oto Rhino Laryngology Indonesia. Vol. XXXVIII (1) : hal.14-23.

Kowalski CJ, Nasjleti CE. 1976. Upper Face Height-Total Face Height Ratio in Adult American Black Males. Journal of Dental Research. Vol. 55(5) : pp. 913.

Larrabee Jr WF. 1987. Facial Analysis for Rhinoplasty. In : The Otolaryngologic Clinics of North America. Vol 20/No.4. Saunders WB Company : pp. 653-73.

Leach JL. 2005. Rhinoplasty, Short Nose. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic112.htm.

Le TT, Farkas LG, Ngim RCK, Levin LS, Forrest CR. 2002. Proportionality in Asian and North American Caucasian Faces Using Neoclassical Facial Canons as Criteria. Journal of Aesthetic Plastic Surgery. Vol.

(67)

26. pp. 64-69.

Leong SCL, White PS. 2004. A Comparison of Aesthetic Proportions Between the Oriental and Caucasian Nose. Clin Otolaryngology, 29 : pp. 672-76.

Maidl MM, Evans CA, Viana G, Anderson NK, Giddon DB. 2005. Preferences for Facial Profiles Between Mexican Americans and Caucasians. Journal of Angle Orthodontist. Vol 75(6) : pp. 953-8.

Marbun. 2006. Angka Tahun : Sejarah Batak. Available from URL :

http://marbun.blogspot.com/2006/03/angka-tahun-sejarah-Batak.html

Matory Jr WE, Falces E. 1986. Non-Caucasian Rhinoplasty : A 16-Year Experience. Plasctic and Reconstructive Surgery : pp. 239-51. Milgrim LM, Lawson W, Cohen AF. 1996. Anthropometric Analysis of the

Female Latino Nose. Revised Aesthetic Concepts and Their Surgical Implications. Arch Otolaryngol Head Neck Surg/Vol 122, Oct : pp. 1079-86.

Nassif PS, Kokoska MS. 2005. Aesthetic Facial Analysis. Spalding Drive Cosmetic Surgery and Dermatology. Available from URL : http://www.drnassif.com/facial_analysis.htm.

Nichani JR, Willat DJ. 2004. Dimensional Analysis-Its Role in Our Preoperative Surgical planning of Rhinoplasty. Clin Otolaryngology, 29 : pp. 518-21.

Gambar

Gambar 1.1. Neo Classical Cannon       Gambar 1.2. Vetruvian Man   dari Da Vinci ( Papel, 2002)            menurut Da Vinci (Vegter,2000)
Gambar 2.1. Titik-titik antropometri pada wajah (Wall, 1998)
Gambar 2.2. Bidang dan sudut wajah (Trenite, 1994)
Gambar 2.3. Garis Frankfort horizontal (Nassif, 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil tambahan penelitian menunjukkan pada pria, tingkat dominansi masing-masing dimensi kepribadian Suku Bangsa Batak Toba dapat diurutkan dari yang paling dominan

Pada Tabel 3 dan 4 dinyatakan bahwa ukuran lebar mesiodistal rahang atas dan rahang bawah pada mahasiswa suku Batak Universitas Sumatera Utara yang berjenis kelamin laki-laki

KORELASI PANJANG TULANG JARI TELUNJUK TANGAN ( Digiti II) TERHADAP TINGGI BADAN PRIA DEWASA SUKU BALI DAN SUKU BATAK DI KECAMATAN TANJUNG SENANG BANDAR

persentase tipe morfologi vertikal skeletal wajah pada pasien Suku Batak di RSGMP. FKG USU berdasarkan

Kekerabatan, religi,dan hagabeon itulah yang menjadi modal dasar spiritual suku bangsa Batak Tobadalam perjalanan hidupnya.Dalam keadaan sedih maupun gembira, merekasenantiasa

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa distribusi tipe vertikal skeletal wajah pada ras-ras di Indonesia khususnya suku Batak belum cukup banyak. Berdasarkan uraian

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer untuk menghitung persentase tipe vertikal skeletal wajah dengan relasi rahang Klas I, II, III pada pasien Suku Batak

Analisis semiotik makna dalam kain uis beka buluh pakaian adat suku Batak