ANALISIS WAJAH PEREMPUAN SUKU BATAK
Tesis
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Oleh
RIFI RIO ODIAS
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lembar Pengesahan
Tanggal 23 Desember 2008
Disetujui untuk diajukan ke sidang ujian oleh :
Pembimbing 1
dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL(K) NIP : 140 105 362
Pembimbing 2
dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K) NIP :140 088 177
Pembimbing 3
dr. Farhat, Sp.THT-KL NIP :132 299 360
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan, Desember 2008
Tesis dengan judul
ANALISIS WAJAH PEREMPUAN SUKU BATAK
Diketahui oleh
Ketua Departemen Ketua Program Studi
Prof.dr.Abdul Rachman Saragih,SpTHT-KL(K) Prof.dr.Askaroellah Aboet,SpTHT-KL(K)
Telah disetujui dan diterima baik oleh pembimbing
Ketua
dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL (K)
Anggota
ANALISIS WAJAH PEREMPUAN SUKU BATAK
ABSTRAK
Dilakukan perhitungan dua puluh dua parameter pada wajah untuk menentukan
nilai-nilai analisis wajah pada seratus orang perempuan suku Batak dengan umur
diantara delapan belas dan empat puluh tahun. Perhitungan dilakukan dengan
menggunakan metode analisis fotometrik. Hasil menunjukan tinggi wajah pada
suku Batak mendekati ke arah kriteria Neoclassical canon, tetapi pada
parameter vertikal, lebar ala nasi lebih besar dibandingkan dengan jarak
epikantus. Bentuk hidung pada suku Batak adalah tipe mesorhine dan bentuk
wajah pada suku Batak adalah persegi. Parameter wajah pada suku Batak
berbeda dengan suku-suku lain dan tidak termasuk ke dalam kriteria-kriteria
yang digunakan selain ini dalam tindakan rinofasialplasti.
Kata kunci : Analisa wajah, Profil wajah, Suku Batak, Rinofasialplasti
ABSTRACT
Twenty two facial profiles were taken to determine facial analysis values among
one hundreds Bataknese women between ages 18 and 40 years old. The
measurements were made by photometrics analysis. The result showed that
facial height of Bataknese close to Neoclassical canon criterias, but in the vertical
values of ala nasi wider than the distance of epikantus. The shape of
profiles in Bataknese were different from other ethnics and also not included to
criterias that was used in preparing a rhinofacialplasty.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas rahmat, karunia
dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah
satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan spesialis dalam bidang Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan.
Berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya tesis ini
dapat diselesaikan. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin Panusunan
Lubis, dr, Sp.A (K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL
Fakultas Kedokteran Sumatera Utara.
Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof.
Gontar Alamsyah, dr, Sp.PD-KGEH dan mantan dekan Prof. Sutomo Kasiman,
dr, Sp.JP (K) dan Prof. T. Bahri Anwar, dr, Sp.JP (K) yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan di Fakultas
Kedokteran Sumatera Utara.
Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja di
Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, Sp.THT-KL (K) sebagai Kepala
Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah
memberikan kesempatan, bimbingan dan arahan sejak penulis mengikuti
pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.
Prof. Askaroellah Aboet, dr, Sp.THT-KL (K) sebagai Ketua Program Studi
Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam
Malik Medan atas bimbingan, arahan, dorongan dan nasehat selama penulis
mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik
Medan.
Dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL (K) sabagai pembimbing utama tesis,
dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K) dan dr. Farhat, Sp.THT-KL sebagai
pembimbing pendamping tesis, yang telah banyak memberikan waktu,
bimbingan, arahan dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada semua
guru-guru di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof.
Ramsi Lutan, dr, Sp.THT-KL (K), dr. Asroel Aboet, Sp.THT-KL (K), dr. Yuritna
Haryono, Sp.THT-KL (K), Prof. Askaroellah Aboet, dr, Sp.THT-KL (K), Prof.
Abdul Rachman Saragih, dr, Sp.THT-KL (K), Dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL
(K), dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL, Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL (K), dr.
T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K), dr. Linda I Adenin, Sp.THT-KL, dr. Hafni,
KL (K), dr. Ida Sjailendrawati H, KL, dr. Adlin Adnan,
Sp.THT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Siti Nursiah, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Andrina YM
T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL dan dr. Ashri
Yudhistira, Sp.THT-KL yang telah memberikan bimbingan, ilmu dan pengetahuan
di bidang THT-KL yang bermanfaat bagi penulis di kemudian hari.
Bapak Kepala Departemen/Staf Radiologi FK USU/RSUP H. Adam Malik
Medan, Kepala Departemen/Staf Anastesiologi dan Reanimasi FK USU/RSUP
H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen/Staf Patologi Anatomi FK
USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bimbingan kepada
penulis selama menjalani stase pendidikan di Departemen tersebut.
Direktur dan seluruh staf THT-KL RSUD Lubuk Pakam, RS PTP XI
Tembakau Deli Medan, Rumah Sakit DAM-I/Bukit Barisan Medan dan RSU Dr.
Pirngadi Medan, yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada
penulis untuk belajar selama pendidikan di rumah sakit tersebut.
Kedua orangtua tercinta, Ibunda drg. Asnimar dan ayahanda dr. Rusdi
Zain, Sp THT-KL, serta kedua adik-adik penulis mengucapkan terima kasih atas
limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa
kepada penulis.
Istriku dr. Indira Julia, MKT terima kasih atas dukungan dan perhatiannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Teman-teman sejawat peserta pendidikan Ilmu Kesehatan THT Bedah
Kepala Leher terima kasih atas persahabatan dan kerjasama yang terjalin
Paramedis dan karyawan Departemen THT Bedah Kepala Leher FK
USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah membantu dan bekerja sama
selama penulis menjalani pendidikan.
Semoga segala bantuan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis
menjadi amal ibadah. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak, dan semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu
melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua.
Medan, Desember 2008
RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama : Rifi Rio Odias, dr
Tempat/ Tanggal lahir : Medan, 13 September 1978
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Nama Istri : Indira Julia, dr
Alamat : Jl. Setia Budi, Pasar 2, Kompleks Graha Tanjung
Sari Blok F no.21 Medan 20132
PENDIDIKAN FORMAL
1984 – 1990 : SD Diponegoro Kisaran
1990 – 1993 : SMP Diponegoro Kisaran
1993 – 1996 : SMA Negeri I Medan
1996 – 2003 : Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara
2004 – 2008 : Asisten dokter (PPDS) Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher Fak. Kedokteran USU / RSUP
DAFTAR ISI
DAFTAR LAMPIRAN... xi
BAB 1: PENDAHULUAN ... 1
4.2.4. Teknik Pengambilan Sampel ... 27
4.2.5. Kriteria Inklusi ... 27
4.2.6 Kriteria Eksklusi... . 27
4.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 28
4.3.1. Variabel Penelitian... 28
4.4. Alat dan Bahan Penelitian... 31
4.5. Lokasi dan Waktu Penelitian... 31
4.6. Kerangka Kerja... 32
4.7. Analisa Data... 32
BAB 5 : HASIL PENELITIAN ... 33
BAB 6 : PEMBAHASAN ... 35
BAB 7 : KESIMPULAN DAN SARAN... 47
7.1. Kesimpulan... 47
7.2. Saran... 47
DAFTAR PUSTAKA ... 48
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Nilai normal analisis wajah... 18
Tabel 5.1. Sebaran parameter profil wajah sampel………... 33
Tabel 5.2. Sebaran tinggi wajah secara horizonta………. 34
Tabel 5.3. Sebaran perbandingan jarak interkantus dengan lebar ala nasi……….. 34
Tabel 6.1. Pembagian tinggi wajah secara horizontal... 35
Tabel 6.2. Persentase besar wajah secara horizontal……….. 36
Tabel 6.3. Sebaran persentase tinggi wajah secara horizontal pada beberapa suku... 37
Tabel 6.4. Pembagian tinggi bawah wajah menurut Powell dan Humpries... 38
Tabel 6.5. Pembagian tinggi bawah wajah menurut Peek dan Peek………. 39
Tabel 6.6. Tebal bibir atas………. 39
Tabel 6.7. Jarak interkantus dan lebar ala nasi………. 40
Tabel 6.8. Persentase sebaran perbandingan jarak interkantus dengan lebar ala nasi………. 41
Tabel 6.9. Sudut Nasofrontal, Nasofasial dan Naso Labial………. 42
Tabel 6.10. Sudut Mentoservikal dan sudut Nasomental………. 43
Tabel 6.11. Tabel proporsi panjang hidung……… 44
Tabel 6.12. Perbandingan proporsi lebar ala nasi dengan panjang hidung……….. 44
Tabel 6.13. Proyeksi hidung……… 45
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1. Neo Classical Cannon... 2
Gambar 1.2. Vetruvian Man………... 2
Gambar 2.1. Titik-titik antropometri pada wajah... 7
Gambar 2.2. Bidang dan sudut wajah... 8
Gambar 2.3. Garis Frankfort horizontal... 9
Gambar 2.4. Pembagian wajah secara vertikal dan horizontal………. 10
Gambar 2.5. Sudut nasofrontal... 11
Gambar 2.6. Sudut nasofasial………... 15
Gambar 2.7. Posisi horizontal bibir dengan sulkus mentolabial... 16
Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian………. 25
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Persetujuan Komite Etik Penelitian ... 56
Lampiran 2. Status Penelitian ... 57
Lampiran 3. Lembar Persetujuan Subjek Penelitian ... 59
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kecantikan merupakan hal yang sulit untuk diartikan secara objektif. Sejak
sejarah pertama kali dicatat, manusia berusaha menampilkan dan menjelaskan
konsep dari kecantikan. Gambaran ini berubah seiring dengan faktor waktu,
dipengaruhi oleh etnik, ekonomi dan sosial (Wall, 1998; Drury, 2000; Nassif,
2005; Honn, 2006).
Kata estetik berasal dari bahasa Yunani aisthesis, yang artinya
pengabdian pada kecantikan. Bangsa Yunani juga berusaha mengartikan
kecantikan melalui model proporsi geometrik dan matematika. Polykleitos (abad
ke-5 SM) membentuk sebuah canon personal (Classical Greek Canon) dari
proporsi seluruh badan dengan membagi 7 bagian dan 1,5 dari bagian badan
tersebut adalah kepala. Polykleitos biasanya memahat para atlit olahraga.
Kemudian Praxiteles (370 – 330 SM) lebih memilih wanita sebagai subjeknya.
Aphrodite merupakan hasilnya yang menjadi betuk ideal pada masanya dan
beberapa abad kemudian (Vegter, 2000; Papel, 2002; Honn, 2006).
Bangsa Romawi membawa pemikiran mengenai proporsi, pemahatan
diperuntukan untuk alasan politik dan sosial dari pada untuk seni. Marcus
Vitruvius Polio mempunyai teori dalam hal bangunan yang dimuliakan harus
mengikuti proporsi dari bentuk tubuh manusia, dimana menurutnya proporsi
manusia dengan tangan dan kaki yang ekstensi, badan masuk ke dalam bentuk
geometri dasar, yaitu lingkaran dan persegi (Papel, 2002).
Pada masa renaissance, Albrect Durer (1471 – 1528 M) mempelajari
prinsip Vitruvian dan menulis “Tidak seorang di dunia ini yang dapat menentukan
bagaimana bentuk manusia yang paling baik”. Leonardo da Vinci (1452-1511 M)
juga mempelajari prinsip dari Vitruvian, dia menitikberatkan proporsi dari pada
kecantikan. Versi nya mengenai Vitruvian menjadi salah satu karyanya yang
terkenal (Neoclassical canon). Da Vinci membagi wajah menjadi 3 bagian, dari
batas rambut depan sampai pangkal hidung, dari pangkal hidung sampai dasar
hidung, dan dari dasar hidung sampai batas bawah dari dagu (Vegter, 2000;
Porter, 2001; Papel, 2002).
Evaluasi proporsi dari wajah juga dimanfaatkan oleh ahli bedah selama
mepersiapkan tahap-tahap operasi plastik wajah. Ada beberapa cara dalam
penentuan proporsi dari wajah yang dapat dilakukan dalam persiapan
pembedahan. Teknik yang biasa di pakai, yaitu Cephalometrics dan
Photometrics (Riveiro, 2003; Choe, 2004; Hormozi, 2008; Shubailat, 2008).
Dikarenakan lebih menekankan pada proporsi jaringan lunak dibanding
dengan menggunakan foto rontgent, menjadikan cara photometrics lebih disukai
ahli bedah plastik. Dan merupakan cara yang lebih baik dalam menentukan
perbandingan pre operatif dan hasil post operatif (Wall, 1998; Jain, 2004).
Dengan meningkatnya permintaan Rinofasialplasti kosmetik dalam 20
tahun belakangan ini, untuk itu diperlukan suatu konsep normal dalam bentuk
wajah, dimana arti menarik pada seseorang tidak sama pada orang lain. Menarik
meliputi kombinasi kualitas wajah, proporsional, simetris, harmoni dan nilai
budaya yang berlaku. Kasus yang paling menantang dalam rinofasialplasti
kosmetik adalah perbedaan suku yang secara kolektif disebut dengan ‘hidung
orang yang bukan kulit putih’. Termasuk golongan ini adalah Negro, Asia, Indian
dan keturunan-keturunan dari suku-sukunya (Milgrim, 1996; Porter, 2001;
Shubailat, 2008).
Operasi wajah pada bangsa Asia (khususnya suku Batak pada penelitian
ini) akan menjadi tidak proporsional jika mengacu pada nilai normal pada bangsa
kulit putih. Dimana diharap operasi wajah tetap mempertahankan bentuk wajah
kesukuan masing-masing dari pasien. Untuk itu diperlukan adanya suatu nilai
2005; Maidl, 2005).
Suku Batak merupakan salah satu suku terbesar yang berdomisili di Kota
Medan. Dengan kebiasaan hidup splendid isolation, peneliti tidak membedakan
sub-suku dalam suku Batak dan cukup mudah mendapatkan subjek penelitian
yang murni tanpa ada gangguan dari pembauran antar suku.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut :
Bagaimanakah nilai rata-rata proporsi wajah perempuan suku Batak?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Menentukan nilai proporsi wajah perempuan suku Batak
1.3.2. Tujuan khusus
- Mengetahui jarak parameter wajah perempuan suku Batak
- Mengetahui sudut parameter wajah perempuan suku Batak
- Mengetahui proporsi hidung terhadap wajah perempuan suku Batak
- Mengetahui bentuk hidung wajah perempuan suku Batak
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritik
- Mengetahui bentuk wajah suku Batak
- Sebagai pengembangan keilmuan di bidang Ilmu Penyakit Telinga
Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher, Sub divisi Plastik-Rekonstruksi.
1.4.2. Manfaat Praktis
- Dapat menjadi patokan dalam melakukan operasi rinofasialplasti
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Analisis wajah dimulai dengan memeriksa faktor personal yang dapat
secara signifikan memberi efek pada intervensi pembedahan nantinya. Ada 5
komponen personal yang mempengaruhi analisis wajah, yaitu umur, jenis
kelamin, ras (etnis), bentuk tubuh dan personaliti (Nassif, 2005; Patrocinio,
2006.).
Petunjuk untuk dasar anatomi harus dipahami dalam melakukan analisis
karakteristik wajah. Pada penampakan frontal wajah, trichion (Tr) ditandai
sebagai batas atas dahi, yang berlokasi pada garis rambut frontal. Nasion (N)
adalah depresi dari pangkal hidung sejalan dengan suture nasofrontal. Radix (R)
adalah pangkal hidung , bagian lanjutan sisi superior dari alis mata ke dinding
nasal lateral. Subnasal (Sn) adalah pertemuan antara columella dan bibir atas
pada dasar hidung. Pertemuan mukokutaneus dari bibir atas dan bawah disebut
sebagai vermilion superior dan inferior (Vs dan Vi). Stomion (St) adalah
pertemuan dari kedua bibir itu. Menton atau Gnathion (Gn) adalah batas bawah
dari jaringan lunak dagu (Stevens, 1997; Wall, 1998; Reddy, 2003; Horioglu,
2005).
Pada penampakan lateral, Glabella (G) adalah bagian paling menonjol
pada penampang midsagital dari dahi. Rhinion (Rh) adalah pertemuan antara
tulang dan tulang rawan dorsum nasi yang merupakan bagian paling menonjol
puncak hidung dan pertemuan dari kedua kubah kartilago lateral bawah. Titik
kolumela (Cm) adalah bagian paling anterior dari jaringan lunak kolumela nasi.
Pada bagian lateral, lekukan alar (Al), adalah bagian paling posterior hidung.
Pada dagu, mentolabial sulcus (Ms) adalah bagian menurun dari bibir bawah dan
dagu. Dan pogonion (Pg) adalah bagian paling menonjol pada proyeksi anterior
dari dagu. Tragion (Tg) adalah titik supratragal pada telinga (Stevens, 1997;
Wall, 1998; Reddy, 2003; Horioglu, 2005).
Gambar 2.1. Titik-titik antropometri pada wajah (Wall, 1998)
Banyak bidang dan sudut yang digunakan untuk mendefinisikan
hubungan inter-fasial. Sudut nasofrontal (NFA) diukur dari gablella ke nasion
dan dorsum nasi (G-N-Tp). Sudut nasofasial (NfcA) dibentuk dari antara
dibentuk oleh columella nasi dan bibir atas (Cm-Sn-Vs). Sudut mentoservikal
(MCA) mengukur sudut (Pg-Gn-M) pada Gnathion (Stevens, 1997; Wall, 1998;
Becker, 2003).
Gambar 2.2. Bidang dan sudut wajah (Trenite, 1994)
Frankfort horizontal merupakan garis yang digunakan pada analisis
sefalometri. Garis ini ditarik dari batas superior kanalis auditorius eksternus ke
batas inferior rima infraorbitalis pada foto lateral (Larrabee, 1987; Trenite, 1994;
Gambar 2.3. Garis Frankfort horizontal (Nassif, 2005)
Bentuk wajah yang ideal adalah oval. Bentuk-bentuk wajah yang lain
adalah bulat, segiempat atau segitiga. Secara umum, perbandingan lebar dan
panjang wajah sebaiknya lebih kurang 3:4. Pada penampakan frontal , simetri
wajah dinilai pada garis tengah dengan membagi wajah menjadi dua secara
vertikal. Penilaian simetri dan proporsi wajah selanjutnya dilakukan dengan
membagi wajah menjadi 5 secara vertikal, dengan setiap bagian kira-kira selebar
Gambar 2.4. Pembagian wajah secara vertikal dan horizontal (Trenite, 1994)
Tinggi horizontal dievaluasi dengan membagi wajah menjadi tiga, dengan
sepertiga atas dimulai dari trichion hingga glabella, sepertiga tengah dari glabella
hingga subnasal, dan sepertiga bawah dari subnasal ke menton. Tinggi nasal
vertikal sebaiknya 43% dari tinggi wajah total dari nasion ke menton sedangkan
wajah bagian bawah 57% dari total tinggi wajah (Tardy, 1995; Wall, 1998; Leach,
2005).
Dalam menganalisis wajah, kita dapat membagi dalam beberapa proporsi,
Dahi
Dahi membentuk sepertiga atas wajah yang berawal dari trichion sampai
dengan glabella dan bagian superior dari alis mata pada lateralnya. Bentuk dahi
ini dapat rata, melandai atau menonjol, yang akan turut berperan dalam bentuk
wajah secara keseluruhan. Bagian yang paling penting dari dahi pada segi
bedah adalah sudut nasofrontal yang biasanya membentuk sudut 115-130
(Stevens, 1997; Wall, 1998; Nassif, 2005).
Gambar 2.5. Sudut nasofrontal (Nassif, 2005)
Mata
Bersama-sama dengan hidung, mata merupakan bagian sentral dari
wajah. Mata berguna untuk menunjukkan ekspresi dan lebih banyak
mata antara kantus medial dan lateral biasanya seperlima dari keseluruhan lebar
wajah. Jarak antara kedua sisi kantus medial adalah sama dengan lebar mata.
Bentuk dan ukuran fisura palpebra bervariasi sesuai dengan umur dan etnik.
Kelopak mata atas biasanya menutupi sebagian kecil iris, namun bukan pupil
mata. Kelopak mata bawah juga menutupi sebagian kecil iris, kira-kira 2 mm dari
pupil pada kondisi normal (Stevens, 1997; Wall, 1998).
Idealnya, jarak interkantus sama dengan setengah jarak interpupil. Jarak
interkantus juga sebaiknya sama dengan lebar ala-ala pada dasar hidung pasien
Kaukasia. Rata-rata jarak interkantus adalah 30-35 mm, dan rata-rata jarak
interpupil adalah 60-70 mm (Wall, 1998).
Bentuk dan posisi alis bervariasi sesuai dengan jenis kelamin. Pada
wanita umumnya, alis terletak pada supraorbital rim, dengan bentuk yang lebih
melengkung. Pada pria umumnya, alis terletak tepat di atas atau sedikit superior
dari supraorbital rim, dengan bentuk sedikit melengkung. Lateral dan medial alis
mata terletak sejajar pada satu garis horisontal. Medial alis mata terletak pada
garis vertikal yang melalui lateral ala dan medial kantus. Lokasi dari titik tertinggi
dari kelengkungan alis pada garis vertikal yang melewati batas lateral limbus iris,
yaitu pada 2/3 medial atau 1/3 lateral alis (Stevens, 1997; Wall, 1998).
Hidung
Hidung merupakan bagian estetika yang paling menonjol dari profil wajah,
karena hidung terproyeksi paling anterior secara tampak lateral. Pada
asimetri hidung akan teridentifikasi dengan mudah. Hidung merupakan bagian
estetika tersering yang diubah oleh para ahli bedah plastik dan rekonstruksi, oleh
karena itu hidung banyak dipelajari untuk menentukan proporsional estetika dan
hubungannya dengan bagian wajah lainnya (Wall, 1998; Becker, 2003; Finn,
2005).
Analisis hidung sebelum operasi sangat penting. Sebaiknya kita dapat
melihat melalui kutis dan subkutis serta dapat membayangkan bentuk kerangka
tulang dan tulang rawan. Terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan
hubungan anatomi struktur hidung adalah unik. (Wall, 1998; Chang, 2003).
Pada tampak frontal, karakteristik hidung mencakup lebar hidung, simetri
dan tampilan lengkung dorsum nasi. Lebar hidung dari lekukan ala nasi ke
lekukan ala nasi sisi sebelahnya adalah 70% panjang hidung dari nasion ke
puncak hidung. Pelebaran jarak interalar ini ditemukan pada ras oriental dan
afrika (Milgrim, 1996; Wall, 1998).
Pembagian bentuk hidung menurut antropologi menjadi 3 golongan besar,
yaitu golongan Kaukasia (lepthorrhine), Asia (mesorrhine) dan Afrika
(platyrrhine). Perbedaan utama antara hidung Kaukasia dan non Kaukasia
meliputi ketebalan kulit dan jaringan lunak, kekuatan dan ketebalan kartilago,
tinggi dan panjang os nasal, serta bentuk dan orientasi lubang hidung. Secara
umum, orang Afrika memiliki perbedaan paling nyata dibandingkan orang
Kaukasia, sedangkan orang Asia memiliki karakteristik fisik di antara keduanya
Kekhasan hidung Asia adalah dorsum yang lebar dan rendah, defisiensi
proyeksi tip, lobul lebar, kulit lobul tebal, jaringan lemak subkutis dan retraksi
kolumela. Hidung bangsa non Kaukasia mempunyai variasi anatomi tersendiri.
Pasien non Kaukasia ini terdiri dari berbagai latar belakang etnik dan morfologi
(Matory, 1986).
Profil Hidung
Parameter yang dianggap menentukan bentuk hidung adalah profil
hidung, proyeksi dan rotasi puncak hidung dan panjang hidung. Bila terdapat
kelebihan lekukan rhinion pada penampakan wajah anterior, maka akan
memperlihatkan profil hidung berpunuk (nasal hump). Bentuk ideal profil dorsum
nasi adalah lurus, walaupun sedikit lekukan pada rhinion masih dapat diterima
(Wall, 1998).
Proyeksi Tip
Sampai saat ini pengukuran proyeksi puncak hidung masih diperdebatkan,
oleh karena itu sudut nasofasial sering digunakan untuk mengevaluasi secara
tidak langsung derajat proyeksi puncak hidung. Sudut nasofasial ini berkisar
36 . Perbandingan antara nasion-subnasal dan garis perpendikular yang
melewati puncak hidung adalah 2,8:1, untuk menjaga pengukuran estetika dari
sudut nasofasial 36 . Metode paling mudah untuk mengukur proyeksi tip adalah
metode Simmons, yang menghubungkan proyeksi yang diukur dari tip defining
vermillion (Wall, 1998; Becker, 2003; Reddy, 2003; Devan, 2003).
Gambar 2.6. Sudut nasofasial (Nassif, Kokoska, 2005)
Dasar Hidung
Hidung berbentuk seperti segitiga sama kaki pada penampakan dari dasar
hidung, dengan kolumela yang membagi dua segitiga yang sama sisi. Rasio
perbandingan lobul dengan kolumela adalah 2:1 dan lebar kedua sisi lobul
adalah 75% dari lebar dasar hidung. Lubang hidung biasanya sedikit menyerupai
bentuk buah pir, dengan bagian paling lebar pada dasar. Pada penampakan
lateral dari dasar hidung, rasio ala-lobul adalah 1:1,4. Umumnya bangsa
non-Kaukasia mempunyai dasar hidung yang lebih lebar daripada jarak interkantus
(Matory, 1986; Milgrim, 1996; Wall, 1998).
Terdapat perbedaan nyata antar etnik pada konfigurasi ala nasi. Hidung
Afrika lebih lebar dan proyeksi rendah serta memiliki lubang hidung yang
kantus medius (Wall, 1998).
Bibir dan Dagu
Dagu membentuk sepertiga bawah dari wajah. Metoda untuk menilai
posisi dagu dengan menarik garis vertikal tangensial dari titik Li dengan garis
horisontal Frankfort. Sulkus mentolabial terletak sekitar 4 mm di belakang garis
ini (Stevens R, 1997; Nassif, 2005).
Gambar 2.7. Posisi horizontal bibir dengan sulkus mentolabial (Nassif,
2005)
Bibir merupakan suatu yang dinamik dan kompleks ekspresi. Bibir atas
dan hidung saling berhubungan dan merupakan unit penting pada estetika. Bibir
umumnya penuh dengan definisi yang baik pada usia muda dan menipis dengan
karakter yang menghilang pada proses penuaan. Bibir bawah dan dagu
membentuk duapertiga pada sepertiga bawah wajah. Bibir atas merupakan
sepertiga atas pada sepertiga bawah wajah. Bibir atas biasanya berukuran lebih
panjang sekitar 2-3 mm dari bibir bawah, namun ini semua tergantung dari
Telinga
Ukuran telinga biasanya sesuai dengan jarak antara alis mata dengan ala
nasi. Lebar telinga biasanya 55% panjang telinga. Axis panjang telinga paralel
dengan axis panjang dorsum nasi. Sudut kelengkungan telinga sekitar 30
(Wall, 1998; Nassif, 2005).
Metode Analisis Wajah
Cephalometrics
Foto Rontgent dipergunakan untuk mendapatkan landmarks dari jaringan
lunak dan tulang kepala, yang kemudian dapat menetukan jarak antara maksila
ke kranium, mandibula ke kranium, maksila ke mandibula, gigi bagian atas ke
maksila, gigi bagian bawah ke mandibula, gigi atas ke gigi bawah. Cara ini
merupakan yang paling baik dalam mengevaluasi hubungan antara kraniofasial
dan orthognathic, tetapi kurang tepat dalam menganalisa jaringan lunak ( Wall,
1998; Nomura, 1999; Bass, 2003; Riveiro, 2003; Ferrario, 2004; Umar, 2006;
Behbehani, 2006; Shlomi, 2007; Honn, 2007).
Photometrics
Dikarenakan lebih menekankan pada proporsi jaringan lunak dibanding
dengan menggunakan foto rontgent, menjadikan cara ini lebih disukai ahli bedah
plastik. Dan merupakan cara yang lebih baik dalam menentukan perbandingan
2004).
Tabel 2.1. Nilai normal analisis wajah (Wall, 1998)
Tinggi vertikal wajah Tinggi rasio hidung 47%
Tinggi rasio wajah bawah 53%
Sudut kelengkungan wajah (G-Sn-Pg) = 8-16 (12 )
Segitiga estetika
Sudut nasofrontal (G-N-Tp) 115-130 Sudut nasofasial (G-Pg,N-Tp) 30-40 (36 ) Sudut nasomental (N-Prn-Pg), 120-132 Sudut mentoservikal (G-Pg,M-C) 80-95
Proporsional wajah
Sudut hidung (N-Tr-Prn) 20-27 Sudut maksila (Tp-Tr-Vs)12-17 Sudut mandibula (Vs-Tr-Pg)14-20 Proyeksi hidung (Sn-Prn/N-Sn) 2,8:1 Sudut nasolabial (Cm-Sn-Vs) 90-120 Rasio ala-lobular , 1:1
Lebar hidung = jarak interokular = ½ jarak interpupil, 30-35mm Rasio 1/3 wajah bawah (Sn-St/St-M), 0,5:1
Proyeksi horisontal bibir atas 3,5 mm Proyeksi horisontal bibir bawah 2,2 mm Interlabial gap, 0-3 mm
Rasio Wajah bawah-leher, 1,2:1
N,nasion; Sn,subnasal; Gn,gnathiom; G,gablella; Pg,pogonion; Tp,titk tipnasi; M,menton; C,titik leher; Tg,tragion; Vs,batas vermilion superior; A,ala nasi; Cm,kolimela; St,stomion)
Dokumentasi
Fotografi berkualitas baik yang konsisten dengan standar penampakan
diperlukan untuk membandingan sebelum dan sesudah hasil operasi. Hal ini
yang diperlukan adalah frontal, kedua sisi lateral, kedua sisi oblik dan tampak
basal (Trenite, 1994; Tardy, 1995; Riveiro, 2003).
Petunjuk untuk mengambil fotografi perspektif rinoplasti (posisi estetik):
Foto wajah tampak frontal diambil secara vertikal, harus mencakup
seluruh wajah dan leher, mulai dari batas atas kepala sampai dengan batas atas
klavikula. Foto tampak lateral wajah harus mencakup seluruh wajah, leher
anterior sampai dengan kepala sternum dari klavikula, tengkuk leher, dan
sebagian rambut ditarik agar telinga tampak dengan jelas. Pastikan bahwa kita
tidak dapat melihat alis kontralateral. Garis Frankfort horisontal merupakan
standart yang digunakan untuk mendapatkan posisi ini. Foto tampak oblik,
puncak hidung harus sejajar dengan batas lateral pipi. Foto tampak basal hidung
ini merupakan penampakan yang memberikan banyak informasi pada
perencanaan operasi rinoplasti. Posisi kepala ekstensi, sehingga puncak hidung
terletak setinggi alis mata dan dasar kolumela setinggi kantus lateral (Trenite,
1994; Bass, 2003).
Suku Batak
3000-1000 SM (Sebelum Masehi)
Suku Batak yang merupakan bagian dari Ras Proto Malayan hidup damai
bermukim di perbatasan Burma/Myanmar dengan India. Beberapa komunitas
tersebut yang kemudian menjadi cikal-bakal bangsa adalah kelompok suku
Tiga yang terakhir ini sekarang berwarga negara India. Adat istiadat mereka dan
aksesoris pakaian yang dimiliki sampai sekarang masih mirip dengan pakaian
suku Batak, misalnya pernak-pernik dan warna ulos (Marbun, 2006).
Sifat dominan dari suku ini adalah kebiasaan hidup dalam Splendid
Isolation di lembah lembah sungai dan di puncak-puncak pegunungan. Mereka
sangat jarang membuat kontak bersifat permanen dengan pendatang yang
berasal dari komunitas lainnya misalnya komunitas yang berada di tepi pantai,
pesisir, yang saat itu banyak dipengaruhi oleh ideologi yang berbeda dengan
mereka, misalnya Hinduisme, Zoroaster, Animisme gaya Yunani dan Romawi
dan juga paham-paham baru seperti Buddha, Tao dan Shintoisme. Sifat tersebut
masih membekas dan terus dipertahankan oleh orang-orang Batak hingga abad
19. Sampai saat ini, diperkirakan suku bangsa yang berasal dari ras ini masih
mempertahankan kebiasaan ini, terutama Bangsa Tayal, suku pribumi di Taiwan,
Suku Bontoc dan Batak Palawan penghuni pertama daerah Filipina (Marbun,
2006).
1000 SM
Bangsa Mongol yang dikenal bengis dan mempunyai kemajuan teknologi
yang lebih tinggi berkat hubungan mereka yang konsisten dengan berbagai
bangsa mulai bergerak ke arah selatan. Di sana, keturunan mereka menyebut
dirinya Bangsa Syan dan kemudian menciptakan komunitas Burma, Siam (Thai)
dan Kamboja yang kemudian menjadi cikal-bakal negara. Ras Proto Malayan
mereka tidak up to date. Sebagian dari mereka kemudian mulai meninggalkan
daerah-daerah tersebut, menempuh perjalanan untuk mencari daerah baru
bahkan ke seberang lautan, di mana mereka akan menikmati hidup dalam
splendid isolation kembali (Marbun, 2006).
Suku Bontoc bergerak ke daerah Filipina, Suku Toraja ke selatannya,
Sulawesi. Di Filipina, Batak Palawan merupakan sebuah suku yang sampai
sekarang menggunakan istilah Batak. Saudara mereka bangsa Tayal membuka
daerah di kepulauan Formosa, yang kemudian, beberapa abad setelah itu,
daerah mereka diserobot dan kedamaian hidup mereka terusak oleh orang-orang
Cina nasionalis yang kemudian menamakannya Taiwan. Yang lain, suku Ranau
terdampar di Lampung. Suku Karen tidak sempat mempersiapkan diri untuk
migrasi, mereka tertinggal di hutan belantara Burma/Myanmar dan sampai
sekarang masih melakukan pemberontakan atas dominasi Suku Burma atau
Myamar yang memerintah (Swasonoprijo, 2002; Marbun, 2006).
Selebihnya, suku Meo berhasil mempertahankan eksistensinya di
Thailand. Bangsa Naga, Manipur, Mizo, Assamese mendirikan negara-negara
bagian di India dan setiap tahun mereka harus berjuang dan berperang untuk
mempertahankan identitas mereka dari supremasi bangsa Arya-Dravidian, yakni
Bangsa India, yang mulai menduduki daerah tersebut karena kelebihan populasi
(Marbun, 2006).
Suku Batak sendiri, selain terdampar di Filipina, sebagian terdampat di
tiga gelombang. Yang pertama mendarat di Nias, Mentawai, Siberut dan sampai
ke Pulau Enggano. Gelombang kedua terdampar di muara Sungai Simpang.
Mereka kemudian bergerak memasuki pedalaman Pulau Andalas menyusuri
sungai Simpang Kiri dan mulai mendirikan tempat di Kotacane. Komunitas ini
berkembang dan membuat identitas sendiri yang bernama Batak Gayo. Mereka
yang menyusuri Sungai Simpang Kanan membentuk Komunitas Batak Alas dan
Pakpak. Batak Gayo dan Alas kemudian dimasukkan Belanda ke peta Aceh
(Marbun, 2006).
Mainstream dari Suku bangsa Batak mendarat di Muara Sungai Sorkam.
Mereka kemudian bergerak ke pedalaman, perbukitan. Melewati Pakkat, Dolok
Sanggul, dan dataran tinggi Tele mencapai Pantai Barat Danau Toba. Mereka
kemudian mendirikan perkampungan pertama di Pusuk Buhit di Sianjur Sagala
Limbong Mulana di seberang kota Pangururan yang sekarang Mitos Pusuk Buhit
pun tercipta.
Masih dalam budaya splendid isolation, di sini suku Batak dapat
berkembang dengan damai sesuai dengan kodratnya. Komunitas ini kemudian
terbagi dalam dua kubu. Pertama Tatea Bulan yang dianggap secara adat
sebagai kubu tertua dan yang kedua Kubu Isumbaon yang di dalam adat
dianggap yang bungsu.
Sementara itu komunitas awal suku Batak, jumlahnya sangat kecil, yang
hijrah dan migrasi jauh sebelumnya, mulai menyadari kelemahan budayanya dan
mengolah hasil-hasil hutan dan melakukan kontak dagang dengan Bangsa Arab,
mereka, kapur Barus, digunakan sebagai bahan dasar pengawetan mumi,
Raja-raja Fir’aun yang sudah meninggal. (Marbun, 2006).
1000 SM – 1510 M
Komunitas suku Batak berkembang dan struktur masyarakat berfungsi.
Persaingan dan kerjasama menciptakan sebuah pemerintahan yang berkuasa
mengatur dan menetapkan sistem adat. Dinasti Sori Mangaraja telah berkuasa
dan menciptakan tatanan suku yang maju selama 90 generasi di Sianjur Sagala
Limbong Mulana. Dinasti tersebut bersama menteri-menterinya yang sebagian
besar adalah Datu, Magician, mengatur pemerintahan atas seluruh suku Batak,
di daerah tersebut, dalam sebuah pemerintahan berbentuk Teokrasi. Dinasti
Sorimangaraja terdiri dari orang-orang bermarga Sagala cabang Tatea Bulan.
Mereka sangat disegani oleh suku Batak di bagian selatan yang keturunan dari
Tatea Bulan.
Dengan bertambahnya penduduk, maka berkurang pula lahan yang
digunakan untuk pertanian, yang menjadi sumber makanan untuk
mempertahankan regenerasi. Maka perpindahan terpaksa dilakukan untuk
mencari lokasi baru. Alasan lain dari perpindahan tersebut adalah karena para
tenaga medis kerajaan gagal membasmi penyakit menular yang sudah
menjangkiti penduduk sampai menjadi epidemik yang parah. Perpindahan
diarahkan ke segala arah, sebagian membuka pemukiman baru di daerah hutan
belukar di arah selatan yang kemudian bernama Rao, sekarang di Sumatera
membuka tanah, sekarang dikenal sebagai Tanjung Morawa, daerah di pinggir
BAB 3
KERANGKA KONSEP
Analisis profil wajah Bentuk wajah
- Umur
- Jenis kelamin
- Ras (etnis)
- Bentuk badan
- Personaliti
- penyakit
Nilai rata-rata
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Survei dengan desain potong lintang (cross sectional study) bersifat
deskriptif.
4.2. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
4.2.1. Populasi
Perempuan Batak murni yang berdomisili di Kota Medan
4.2.2. Sampel
Semua perempuan Batak murni yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan
sebagai sampel penelitian.
4.2.3. Besar Sampel
n = Z2 p(1-p) d2
Z2 = tingkat kepercayaan 95% = 1,96
p = proporsi wanita Batak = (0,5)
d = ketepatan penelitian = 0,1
4.2.4. Teknik Pengambilan Sampel
Perempuan Batak murni yang memenuhui kriteria inklusi diambil sebagai
subjek penelitian. Dilakukan pemotretan pada sisi frontal, lateral dan basal
kemudian dilakukan pengukuran profil wajah.
4.2.5. Kriteria Inklusi
1. Perempuan keturunan suku Batak murni; 3 keturunan
Sub-suku Batak yang diambil adalah :
• Mandailing
• Karo
• Toba
• Pak-pak
• Simalungun
• Angkola
2. Umur 18-40 tahun
3. Bersedia ikut serta dalam penelitian
4.2.6. Kriteria Eksklusi
1. Mempunyai gangguan obstruksi hidung yang menetap
2. Mempunyai riwayat rinitis alergi persisten sedang-berat
3. Sedang dalam perawatan ortodontis
4. Mempunyai kelainan pada kraniofasial kompleks
6. Pernah menjalani operasi wajah atau fraktur wajah sebelumnya
4.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
4.3.1. Variabel Penelitian
Variabel yang diamati adalah jarak dan sudut parameter wajah, proporsi
hidung terhadap wajah, bentuk hidung dan bentuk wajah pada suku Batak.
4.3.2. Definisi Operasional
Keturunan Batak murni 3 keturunan:
Kakek, nenek, ayah dan ibu sampel merupakan suku Batak.
Umur: dihitung dalam tahun dan menurut ulang tahun terakhir.
Perhitungan berdasarkan penanggalan Masehi.
Indeks Massa Tubuh dihitung menggunakan kalkulator CDC, angka di
atas 30 merupakan kriteria eksklusi.
Rinitis alergi persisten sedang berat: menurut klasifikasi ARIA, 2001.
Jarak pengambilan foto: kamera diletakan sejauh 60 cm dari sampel
dengan fokus berada pada mata.
Parameter wajah yang diukur:
1. Tinggi Atas Wajah / UFH (cm) : jarak antara titik Trichion dengan
Glabella. Trichion adalah batas atas dahi, yang berlokasi pada
garis rambut frontal.
2. Tinggi Tengah Wajah / MFH (cm) : jarak antara titik Glabella
3. Tinggi Bawah Wajah / LFH (cm) : jarak antara titik Subnasal
dengan Menton.
4. Tebal Bibir Atas / ULL (cm) : jarak antara Vermilion Superior
dengan Stomion.
5. Jarak Stomion-Menton / SM (cm) : jarak dari titik perbatasan batas
bibir atas dengan bibir bawah (Stomion) ke titik Menton. Menton
adalah batas bawah dari jaringan lunak dagu.
6. Jarak Epikantus / En-En (cm) : jarak antara
Endocanthion-Endocanthion. Endocanthion adalah titik pada komisura interna
pada fisura mata.
7. Lebar Ala Nasi / Al-Al (cm) : jarak antara Ala-Ala nasi. Ala adalah
titik palilng lateral dari kontur Ala Nasi.
8. Sudut Nasofrontal / NFA (0) : sudut yang dibentuk oleh
Glabella-Nasion-Tip Nasi. Glabella adalah bagian paling menonjol pada
penampang midsagital dari dahi. Nasion adalah depresi dari
pangkal hidung sejalan dengan sutura Nasofrontal. Tip Nasi adalah
proyeksi paling anterior dari puncak hidung dengan pertemuan dari
kedua kubah kartilago lateral bawah.
9. Sudut Nasofasial / NFcA (0) : sudut yang dibentuk oleh garis
Nasion-Tip Nasi dengan garis perpendikularis dengan pangkal
hidung (glabella-pogonion).
10. Sudaut Nasolabial / NLA (0) : sudut yang dibentuk oleh Tip Nasi
Kolumela dan bibir atas pada dasar hidung.
11. Sudut Mentoservikal / MC (0) : sudut yang dibentuk oleh kontur
dagu atas dengan permukaan bawah mandibula (
Glabella-Pogonion-Cervical).
12. Sudut Nasomental / NM (0) : sudut yang dibantuk oleh Nasion-Tip
Nasi-Pogonion. Pogonion adalah bagian paling menonjol pada
proyeksi anterior dari dagu.
13. Sudut Maksila: sudut yang dibentuk oleh Tip Nasi – Tragus –
Vermilion Superior.
14. Sudut Mandibula: sudut yang dibentuk oleh Vermilion Superior –
Tragus – Pogonion.
15. Panjang Hidung / NT (cm) : jarak antara titik Nasion dengan Tip
Nasi.
16. Proyeksi Tip Simons (perbandingan) : perbandingan jarak
Subnasal-vermilion superior dengan Tip Nasi-Subnasal.
17. Proyeksi Tip Powell (perbandingan) : perbandingan antara
Nasion-Subnasal dengan garis perpendikular yang melawati puncak
hidung.
18. Proyeksi Tip Goode (perbandingan) : perbandingan antara
Nasion-ala nasil dengan garis perpendikular yang melawati puncak hidung.
19. Sudut Kelengkungan Wajah (0) : sudut yang dibentuk oleh
Glabella-Subnasal-Pogonion.
foto lateral.
21. Sulkus Mentolabial (cm) : jarak antara titik midline pada Sulkus
Mentolabial dengan garis yang melewati Vermilion Inferior dengan
Pogonoin.
22. Perbandingan Lobul-Basal (perbandingan) : perbandingan lebar
lobul hidung dengan basal hidung, pada foto Basal.
4.4. Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan penelitian:
Alat pemeriksaan THT rutin
Kamera Canon EOS 350D (digital)
Latar belakang dengan warna biru muda/hijau muda
Pembersih wajah
Pensil eyeliner sebagai penanda titik-titik profil wajah
Printer Epson stylus photo R290 dan kertas high resolution
Spidol berwarna
Penggaris dan busur
4.5. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian berpusat di RSUP H. Adam Malik Medan. Pengambilan sampel
dilakukan di beberapa tempat di kota Medan. Waktu penelitian dimulai
Januari 2008 sampai Desember 2008.
Wanita suku Batak
Anamnesis dan Pemeriksaan THT rutin
Wajah dibersihkan dari make-up dan perhiasan dilepaskan
Penandaan titik-titik profil wajah pada wajah sampel
Pemotretan pada sisi frontal, lateral dan basal
Hasil foto dilakukan pengukuran
Gambar 4.1. Kerangka kerja penelitian
4.7. Analisa Data
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada 100 orang perempuan suku Batak, yang
dibatasi oleh umur antara 17 sampai 40 tahun. Pada sampel dilakukan fotometrik
analisis pada wajah, dan hasil yang didapat dilakukan analisis univariat (statistik
deskriptif) dengan menggunakan SPSS versi 10.0
Tabel 5.1. Sebaran parameter profil wajah sampel
No Parameter Minimum Maksimum Mean Median Modus Std. Deviasi 1. UFH (cm) 4.3182 7.6429 5.8959 5.8127 5.0000 0.5994 2. MFH (cm) 4.6667 7.4286 6.0408 6.0263 6.0000 0.5137 3. LFH (cm) 5.3947 7.5000 6.4209 6.4500 6.5000 0.4715 4. ULL (cm) 0.4285 1.2000 0.7829 0.7719 0.7142 0.1446 5. SM (cm) 3.3750 5.3333 4.3254 4.3662 4.0000 0.4074 6. En-En (cm) 2.9557 4.2029 3.5171 3.5408 3.7143 0.2767 7. Al-Al (cm) 3.5281 5.1667 4.1614 4.1316 4.0000 0.2972
8. NFA (0) 120 148 132.71 131.50 130 5.35 15. NT (cm) 2.1333 4.5000 3.2796 3.3229 3.5000 0.3817 16. Proyeksi Tip Simmons 0.4210 2.4286 0,7265 0.7142 0.5000 0.2206 17. Proyeksi Tip Powell 2.0000 4.1333 3.2484 3.2301 3.3333 0.3602 18. Proyeksi Tip Goode 1.3529 3.0435 2.1278 2.0825 2.0000 0.3449 19. Lengkung wajah (0) 162 180 173.91 174.00 180 4.35 20. Columella show (cm) 0.0000 0.5556 0.2308 0.2583 0.0000 0.1751 21. Sulkus mentolabial
(cm) 0.2103 0.6000 0.3837 0.3750 0.3750 0,00891 22. Lobul-Basal 1.4412 2.4643 1.8505 1.8519 2.0000 0.1932
Dari tabel 5.1 di atas, didapati bahwa nilai standard deviasi terbesar
Nilai rata-rata parameter columella show adalah 0,2308 dan nilai yang
paling banyak dijumpai pada pengukuran columella show adalah 0,000.
Tabel 5.2. Sebaran tinggi wajah secara horizontal
Tinggi wajah Jumlah sampel
Dari tabel 5.2, di dapat sebanyak 4 sampel yang mempunyai tinggi wajah
atas, tengah dan bawah yang sama. Sebanyak 70 sampel yang mempunyai
tinggi wajah atas lebih kecil dibanding dengan tinggi bawah wajah.
Tabel 5.3. Sebaran perbandingan jarak interkantus dengan lebar ala nasi
Jumlah
Dari tabel 5.3 di atas, di dapat sebanyal 1 sampel yang mempunyai jarak
epikantus dengan lebar ala nasi yang sama, dan sisanya sebanyak 99 sampel
BAB 6
PEMBAHASAN
Wajah pada penampakan depan dapat dibagi 3, ditunjukan pada tabel 6.1
dengan melihat perbedaan terhadap beberapa suku di dunia.
Tabel 6.1. Pembagian tinggi wajah secara horizontal (cm)
No. Suku UFH MFH LFH Total
1. Batak 5,8959 6,0408 6,4209 18,3576 2. Turki 5,21 4,78 6,26 16,250 3. Korea 5,77 6,79 6,68 19,240 4. Afrika 5,57 6,20 6,70 18,470 5. Jawa 5,766 6,939 6,793 19,498 6. Caucasian 5,27 6,31 6,43 18,010
Dari tabel 6.1 di atas, pada suku Batak tinggi atas wajah (UFH) lebih kecil
dibandingkan tinggi tengah wajah (MFH) maupun tinggi bawah wajah (LFH).
Dan LFH merupakan yang paling panjang. Dan total panjang wajah suku Batak
18,3576 cm.
Dari tabel 6.1 tersebut dapat terlihat perbedaan bahwa pada suku Batak
jarak UFH merupakan yang paling besar dibanding dengan suku-suku lain. Jarak
MFH suku Batak bukan yang terbesar maupun terkecil dan begitu juga jarak
LFH. Dan pada total panjang wajah, suku Batak bukan juga paling besar maupun
kecil (Kowalski, 1976; Porter, 2001; Le, 2002; Bozkir, 2004; Choe, 2004;
Hediyati, 2006).
pada tabel 6.2.
Tabel 6.2. Persentase besar wajah secara horizontal
No. Suku UFH MFH LFH
1. Batak 32,11% 32,90% 34,97%
2. Turki 32,06% 29,41% 38,52%
3. Korea 29,99% 35,29% 34,71%
4. Afrika 30,15% 33,56% 36,27%
5. Jawa 29,57% 35,58% 34,83%
6. Caucasian 29,26% 35,03% 35,70%
7. Cina 31,4% 34,3% 34,3%
8. NeoClassical Canon 33,33% 33,33% 33,33%
Persentase LFH suku Batak yang sebesar 34,97% merupakan persentase
tinggi wajah yang paling besar. Dan persentase UFH merupakan paling kecil
dibanding dengan bagian wajah lain, tetapi seperti yang terlihat pada tabel 6.2
persentase UFH pada suku Batak tersebut merupakan persentase terbesar
dibanding dengan suku-suku lain (Sim, 2000; Porter, 2001; Le, 2002; Bozkir,
2004; Choe, 2004; Hediyati, 2006).
Neoclassical cannon yang membagi tiga tinggi wajah horizontal sama
besar menentukan tinggi tiap bagian wajah adalah 33,33%. Dapat dilihat bawah
persentase tiap-tiap bagian tinggi wajah pada suku Batak merupakan yang paling
mendekati ke nilai neoclassical cannon.
Dari tabel 5.2. di dapat bahwa pada suku Batak yang menyamai dengan
Neoclassical canon terdapat 4% dari sampel. Perbandingan sebaran tinggi wajah
Tabel 6.3. Sebaran persentase tinggi wajah secara horizontal pada
Dari tabel 6.3 tampak perbandingan UFH=MFH=LFH sebanyak 4%
sedang pada bangsa afrika 0%, pada kaukasia, turki maupun korea tidak
terdapat laporan pada literatur yang kemungkinan tidak terdapat perbandingan
yang sama (Porter, 2001; Choe, 2004; Bozkir, 2004).
Tingi bawah wajah dapat dibagi dengan beberapa bagian. Menurut Powell
dan Humphries, jarak antara sub nasal ke stomion adalah sepertiga jarak dari
tinggi bawah wajah (33,33%), dan jarak stomion dan gnation adalah dua pertiga
jarak dari tinggi bawah wajah (66,67%). Pada suku Batak dapat dimasukan
rumus tersebut (Hediyati, 2006; Calhoun, 2006).
LFH = 6,4209 cm
SM = 4,3254 cm
Sehingga didapat jarak subnasal-stomion = LFH – SM
= 6,4209 – 4,3254
Persentase SM = SM / LFH x 100%
= 4,3254 / 6,4209 x 100%
= 67,36%
Persentase subnasal-stomion = subnasal-stomion / LFH x 100%
= 2,0955 / 6,4209 x 100%
= 32,63%
Tabel 6.4. Pembagian tinggi bawah wajah menurut Powell dan Humpries
Powell dan
Humpries
Batak Jawa Kaukasia
subnasal-menton 100% 100% 100% 100%
subnasal-stomion
33,33% 32,63% 34,59% 31,10%
stomion-menton 66,67% 67,36% 65,40% 68,89%
Pada tabel 6.4 tampak bawah persentase pembagian tinggi bawah wajah
pada suku Batak merupakan yang paling dekat dengan standar yang diajukan
oleh Powell dan Humpries, yaitu jarak subnasal-stomion 32,63% dan
stomion-menton 67,36% (Hediyati, 2006; Calhoun, 2006).
Peek dan peek mengajukan juga teori mengenai pembagian dari tinggi
bawah wajah, yaitu perbandingan antara jarak subnasal ke stomion dengan jarak
antara stomion dan menton adalah 0,5 : 1. Pada suku Batak dapat dimasukan
Peek dan peek = subnasal-stomion / stomion-menton
= 2,0955 / 4,3254
= 0,4844 : 1
Tabel 6.5. Pembagian tinggi bawah wajah menurut Peek dan Peek
Peek dan Peek Batak Jawa Kaukasia 0,5 : 1 0,4844 : 1 0,5288 : 1 0,4514 : 1
Dari tabel 6.5 mengenai tinggi bawah wajah menurut Peek dan Peek,
suku Batak bernilai 0,4844 : 1. Suku Jawa lebih mendekati kriteria Peek dan
peek dibanding dengan suku Batak (Hediyati, 2006; Calhoun, 2006).
Tabel 6.6. Tebal bibir atas
Suku ULL (cm) Subnasal-stomion (cm)
% ULL/subnasal-stomion
Batak 0,77829 2,0955 37,36 %
Jawa 1,44 2,35 61,27 %
Kaukasia 0,87 2,09 41,62 %
Tebal bibir atas pada suku Batak seperti yang terlihat pada tabel 6.6
merupakan yang terkecil dibanding dengan suku Jawa dan Kaukasia (Hediyati,
Tabel 6.7. Jarak interkantus dan lebar ala nasi
No. Suku Endocanthion-endocanthion (cm)
Dari tabel 6.7 didapat jarak interkantus pada suku Batak sebesar 3,571
cm, bukan merupakan yang terbesar (Cina = 3,71 cm) dan bukan juga yang
terkecil (suku Mandar = 1,8861). Jika dilihat perbedaan dengan suku toraja yang
merupakan 1 kelompok ras protomelayu, jarak cukup berbeda yaitu jarak
interkantus suku toraja adalah 2,0194 cm. Jarak interkantus suku Batak lebih
mendekati dengan suku Cina selatan yang besarnya 3,4 cm (Sim, 2000; Porter,
2001; Le, 2002; Choe, 2004; Bozkir, 2004; Hediyati, 2006; Julianita, 2008).
Lebar ala nasi pada suku Batak 4,1614 cm merupakan yang kedua
terbesar di bawah lebar ala nasii pada bangsa Korea (4,5 cm). Pada tabel 6.7
juga tampak lebar ala nasi pada bangsa Kaukasia merupakan yang terkecil (3,14
cm) diikuti bangsa Cina (3,2 cm) (Sim, 2000; Porter, 2001; Le, 2002; Choe, 2004;
Dari tabel 6.8 tampak bahwa lebar ala nasi yang lebih kecil dibanding
dengan jarak interkantus hanya pada bangsa Kaukasia (3,14 : 3,18 cm) dan Cina
(3,2 : 3,71 cm). Pada suku Batak lebar ala nasi lebih besar dibanding dengan
jarak interkantus (4,1614 cm : 3,5171 cm) (Sim, 2000; Porter, 2001; Le, 2002;
Choe, 2004; Bozkir, 2004; Hediyati, 2006; Julianita, 2008).
Jika perbandingan antara jarak interkantus dengan lebar ala nasi dilihat
Neoclassical Canon maka jarak tersebut harus sama. Pada tabel 5.3, hanya
terdapat 1% pada suku Batak yang jarak interkantus yang sama. Pada tabel 6.8
di bawah dapat di lihat sebaran jarak tersebut dibeberapa suku.
Tabel 6.8. Persentase sebaran perbandingan jarak interkantus dengan lebar ala
nasi
Perbandingan lebar ala nasi yang lebih besar dari pada jarak epikantus
dengan persentase terbanyak adalah suku Batak yang diikuti oleh Afrika. Yang
mendekati Neoclassical canon adalah bangsa Kaukasia sebesar 41% (Dawei,
1997; Sim, 2000; Porter, 2001; Le, 2002; Choe, 2004; Bozkir, 2004; Hediyati,
Tabel 6.9. Sudut Nasofrontal, Nasofasial dan Naso Labial
No. Suku NFA ( 0 / derajat ) NfcA ( 0 / derajat ) NLA ( 0 / derajat )
1. Batak 132,71 24,60 118,90 2. Jawa 138,04 29,65 92,81 3. Bugis 135,189 35,027 93,000 4. Makassar 136,210 2537,605 93,605 5. Mandar 136,778 35,528 94,833
Sudut Nasofrontal yang dibentuk oleh titik-titik Glabella-Nasion-Tip Nasi
pada suku Batak merupakan terkecil dibanding dengan suku lain. Menurut Powel
dan Humphries sudut Nasofrontal adalah 115-1300. Walau sudut 1300
merupakan batas atas menurut Powell dan Humphries dan pada suku Batak
merupakan sudut yang terbanyak (modus, tabel 5.1), tetapi sudut NFA terbesar
pada suku Batak adalah 1480 dan rata-rata adalah 132, 710, sehingga dapat
dikatakan NFA pada suku Batak tidak masuk ke dalam nilai Powel dan
Humphries (Sim, 2000; Becker, 2003; Devan, 2003; Choe, 2004; Leong, 2004;
Calhoun, 2006; Hediyati, 2006; Julianita, 2008).
Suku Batak mempunyai sudut nasofasial yang terkecil dibanding dengan
suku yang lainnya yaitu 24,600, dimana sudut itu tidak termasuk ke dalam kriteria
Powel dan Humphries dengan nilai 30-400 (Sim, 2000; Devan, 2003; Choe, 2004;
Leong, 2004; Calhoun, 2006; Hediyati, 2006; Julianita, 2008).
1200 (Sim, 2000; Devan, 2003; Choe, 2004; Leong, 2004; Calhoun, 2006;
Hediyati, 2006; Ingels, 2006; Julianita, 2008).
Tabel 6.10. Sudut Mentoservikal dan sudut Nasomental
No. Suku MCA ( 0 / derajat) NMA ( 0/derajat )
Dari tabel 6.10, sudut mentoservikal pada suku Batak merupakan yang
terbesar dibanding dengan suku-suku lain, dan sudut nasomental suku Batak
berada di bawah suku Jawa dalam besar sudut. Sudut mentoservikal dan
nasomental merupakan termasuk segitiga estetika Powell dan Humphries selain
sudut nasofrontal dan nasofasial, dengan nilai sudut mentoservikal = 80-950,
sudut nasomental = 120-1320. Pada suku Batak sudut-sudut tersebut terlalu kecil
(Sim, 2000; Becker, 2003; Calhoun, 2006; Hediyati, 2006; Julianita, 2008).
Sudut maksila dan mandibula merupakan sudut yang termasuk ke dalam
fasial proporsi wajah menurut Peck dan Peck yaitu sebesar 12-170 dan 14-200.
Dari tabel 5.1, pada suku Batak sudut maksila adalah 14,700, dan mandibula
18,790. Kedua sudut tersebut masuk dalam kriteria (Calhoun, 2006).
Dari tabel 5.1, didapat bahwa panjang hidung suku Batak adalah 3,2796
Proporsi panjang hidung = NT / (UFH+MFH+LFH)
= 3,2796 / 5,8959+6,0408+6,4209
= 3,2796 / 18,3576
= 0,1786
Tabel 6.11. Tabel proporsi panjang hidung
Batak Jawa Kaukasia
Proporsi panjang hidung
0,1786 0,2 0,25
Bila lebar ala nasi diperbandingkan dengan panjang hidung maka akan
didapat nilai = al-al / NT
= 4,1614 / 3,2796
= 1,2689
Tabel 6.12. Perbandingan proporsi lebar ala nasi dengan panjang hidung
Batak Jawa Kaukasia Cina
al-al / NT 1,2689 1,0 0,7 1,2
Dari tabel 6.12, tampak lebar ala nasi pada suku Batak lebih besar dari
panjang hidung sedang pada bangsa kaukasia ala nasi lebih kecil dibanding
dengan panjang hidung. Dan Perbandingan proporsi lebar ala nasi dengan
panjang hidung pada suku Batak lebih mendekati pada bangsa Cina (Nichani;
Tabel 6.13. Proyeksi hidung
Proyeksi tip Simmons maupun Powell suku Batak hampir sama dengan
proyeksi dengan suku Jawa. Pada proyeksi tip Goode, dimana menurut Peck
dan Peck bernilai 0,55-0,6, sedang pada suku Batak terdapat perbedaan yang
cukup mencolok yaitu 2,1278 (Sim, 2000; Calhoun, 2006; Hediyati, 2006; Ingels,
2006; Turner, 2006).
Sudut kelengkungan wajah yang dibentuk oleh sudut
glabella-subnasal-pogonion pada suku Batak adalah 173,910 (tabel 5.1). Kelengkungan wajah
menurut Legan dan Burstone adalah 1800 – (sudut glabella-subnasal-pogonion)
dengan nilai 8-160. Pada suku Batak di dapat nilai 180-173,91 = 6,0900. Sudut
tersebut lebih kecil dibanding menurut Legan dan Burstone (Calhoun, 2006).
Tabel 6.14. Columella show dan sulkus mentolabial
No. Suku Columella show (cm) Mentolabial (cm)
1. Batak 0,2308 0,3837
2. Jawa 0,584 0,3,65
3. Kaukasia 0,4 0,4
Collumela show yang merupakan penampakan kolumela dari sisi lateral,
columella show yang kecil kemungkinan berhubungan dengan bentuk ala nasi
pada suku Batak yang merupakan tipe hanging ala. Besar sulkus mentolabial
tidak banyak perbedaan antara suku Batak dan Jawa maupun terhadap bangsa
Kaukasia (Bagal, 2002; Becker, 2003; Calhoun, 2006; Hediyati, 2006; Rettinger,
2007).
Lebar seluruh basal dibandingkan dengan besar lobulus pada bangsa
Kaukasia adalah 4 :3 . Dari tabel 5.1, perbandingan tersebut pada suku Batak
adalah 1,8505, dan modusnya adalah 2,000 dimana dapat diartikan lebar basal
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 . KESIMPULAN
7.1.1 Tinggi wajah suku Batak mendekati kriteria Neoclassical canon, tetapi
secara vertikal lebar ala nasi lebih besar dari jarak epikantus.
7.1.2 Bentuk hidung dari suku Batak adalah tipe mesorhinne.
7.1.3 Bentuk hidung dari suku Batak adalah persegi.
7.1.4 Parameter jarak maupun sudut dari wajah suku Batak berbeda dari
suku-suku yang ada. dan juga tidak termasuk ke dalam kriteria-kriteria yang
dipakai dalam penentuan parameter wajah untuk tindakan rhinoplasti.
7.2 . SARAN
7.2.1 Diperlukan penelitian lebih lanjut dalam hal analisis wajah pada beberapa
suku yang ada di Sumatera Utara.
7.2.2 Diperlukan penelitian lebih lanjut pada analisis wajah setelah dilakukan
DAFTAR PUSTAKA
Abraham MT. 2003. Rhinoplasty, multiracial. Available from URL :
http://www.emedicine.com/ent/topic113.htm.
Ahmed R, Vernon SA. 1991. A Camera that Directly Meassures Physical
Parameters. Journal of the Royal Society of Medicine. Vol. 84 : pp.
81-3.
Arslan SG, Genc C, Odabas B, Kama JD. 2008. Comparison of Facial
Proportions and Anthropometric Norms Among Turkish Young
Adults with Different Face Types. Journal of Aesthetic Plastic
Surgery. Vol. 32 : pp. 234-42.
Bagal AA, Adamson PA. 2002. Revision Rhinoplasty. Facial Plastic Surgery.
Vol. 18(4) : pp. 233-43.
Baker DC. 1980. Physiology. In : Aesthetic Plastic Surgery. Vol 1. Saunders,
W.B. Company : pp. 66-98.
Bass NM. 2003. Measurement of the Profile Angle and the Aesthetic Analysis
of the Facial. Journal of Orthodontics. Vol. 30 : pp. 3-9.
Becker DG. 2003. Rhinoplasty. Journal of Long-Term of Medical Implants,
13(3) : pp. 223-46.
Becker DG, Toriami DM. 2008. Rhinoplasty analysis. Available from URL :
Behbehani F, Hicks EP, Beeman C, Kluemper GT, Rayens MK. 2006. Racial
Variations in Cephalometric Analysis between Whites and Kuwaitis.
Angle Orthodontist. Vol. 76(3) : pp. 406-11.
Bozkir MG, Karakas P, Oguz O. 2004. Vertical and Horizontal Neoclassical
Facial Canons in Turkish Young Adults. Journal of Surg Radiol
Anat. Vol. 26 : pp. 212-19.
Calhoun KH, Stambaugh KI. 2006. Facial Analysis and Preoperative
Evaluation. In : Bailey, Byron J, Johnson, Jonas T, Newlands,
Shawn D. Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition.
Lippincott Wlliams & Wilkins, pp. 2481-97.
Chang EW. 2003. Nose Anatomy. Available from URL :
http://www.emedicine.com/ent/topic6.htm.
Choe KS, Sclafani AP, Litner JA, Yu GP, Romo T. 2004. The Korean
American Woman’s Face. Anthropometric Measurements and
Quantitative Analysis of Facial Aesthetics. Arch Facial Plast
Surg/Vol 6, Juli/Aug : pp. 244-52.
Dawei W, Guozheng Q, Mingli Z, Farkas LG. 1997. Differences in Horizontal,
Neoclassical Facial Canons in Chinese (Han) and North American
Caucasian Pupolations. Journal of Aesthetic Plastic Surgery. Vol.
21 : pp. 265-9.
Devan PP. 2003. Rhinoplasty, Nasal Tip Projection. Available from URL :
http://www.emedicine.com/ent/topic118.htm.
Medicine. Vol 93, Feb : pp.89-92.
Farkas LG, Forrest CR, Litsas L. 2000. Revision of Neoclassical Facial
Canons in Young Adult Afro-Americans. Journal of Aesthetic Plastic
Surgery. Vol. 24 : pp. 179-84.
Ferrario VF, Dellavia C, Tartaglia GM, Turci M, Sforza C. 2004. Soft Tissue
Facial Morphology in Obes Adolescent: A Three-Dimensional
Noninvasive Assessment. Angle Orthodontist. Vol. 74(1) : pp.
37-42.
Finn JC. 2005. Rhinoplasty, Broad Nasal Tip. Available from URL :
www.emedicine.com/ent/topic111.htm.
Hediyati M, Trimartani, Boedhihartono. 2006. Analisis Antropometri Wajah
Perempuan Jawa Murni di Jakarta. Tesis, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Hodgkinson DJ. 2007. The Eurasian Nose : Aesthetic Principles and
Techniques for Augmentation of the Asian Nose with Autogenous
Grafting. Journal of Aesthetic Plastic Surgery. Vol. 31 : pp. 28-31.
Honn M, Goz G. 2007. The Ideal of Facial Beauty:A Riview. Journal of
Orofacial Orthopedics, 68 : pp. 6-16.
Honrado CP. 2005. Facial Plastic Surgery in Asian Patients. Available from
URL : http://www.emedicine.com/ent/topic680.htm.
Horioglu RE. 2005. Prerhinoplasty Facial Analysis. Available from URL :
Hormozi AK, Toosi AB. 2008. Rhinometry: An Important Clinical Index for
Evaluation of the Nose Before and After Rhinoplasty. Journal of
Aesthetic Plastic Surgery. Vol. 32 : pp. 286-93.
Ingels K, Orhan KS. 2006. Measurement of Preoperative and Postoperative
Nasal Tip Projection and Rotation. Arch Otolaryngol Head Neck
Surg/Vol 8, Nov/Dec : pp. 411-15.
Jain SK, Anand C, Ghosh SK. 2004. Photometric Facial Analysis-A Baseline
Study. Journal Anat Soc India, 53(2) : pp. 11-3.
Julianita, Rahmawati, Punagi AQ, Akil MA. 2008. Analisis Fotometrik Wajah
Suku-suku di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Studi
Antropometrik Sub Ras Deutero Melayu dan Proto Melayu). Oto
Rhino Laryngology Indonesia. Vol. XXXVIII (1) : hal.14-23.
Kowalski CJ, Nasjleti CE. 1976. Upper Face Height-Total Face Height Ratio
in Adult American Black Males. Journal of Dental Research. Vol.
55(5) : pp. 913.
Larrabee Jr WF. 1987. Facial Analysis for Rhinoplasty. In : The
Otolaryngologic Clinics of North America. Vol 20/No.4. Saunders
WB Company : pp. 653-73.
Leach JL. 2005. Rhinoplasty, Short Nose. Available from URL :
http://www.emedicine.com/ent/topic112.htm.
Le TT, Farkas LG, Ngim RCK, Levin LS, Forrest CR. 2002. Proportionality in
Asian and North American Caucasian Faces Using Neoclassical
26. pp. 64-69.
Leong SCL, White PS. 2004. A Comparison of Aesthetic Proportions Between
the Oriental and Caucasian Nose. Clin Otolaryngology, 29 : pp.
672-76.
Maidl MM, Evans CA, Viana G, Anderson NK, Giddon DB. 2005. Preferences
for Facial Profiles Between Mexican Americans and Caucasians.
Journal of Angle Orthodontist. Vol 75(6) : pp. 953-8.
Marbun. 2006. Angka Tahun : Sejarah Batak. Available from URL :
http://marbun.blogspot.com/2006/03/angka-tahun-sejarah-Batak.html
Matory Jr WE, Falces E. 1986. Non-Caucasian Rhinoplasty : A 16-Year
Experience. Plasctic and Reconstructive Surgery : pp. 239-51.
Milgrim LM, Lawson W, Cohen AF. 1996. Anthropometric Analysis of the
Female Latino Nose. Revised Aesthetic Concepts and Their
Surgical Implications. Arch Otolaryngol Head Neck Surg/Vol 122,
Oct : pp. 1079-86.
Nassif PS, Kokoska MS. 2005. Aesthetic Facial Analysis. Spalding Drive
Cosmetic Surgery and Dermatology. Available from URL :
http://www.drnassif.com/facial_analysis.htm.
Nichani JR, Willat DJ. 2004. Dimensional Analysis-Its Role in Our
Preoperative Surgical planning of Rhinoplasty. Clin Otolaryngology,
Nomura M, Tochikura M, Konishi H, Suzuki T, Sebata M, Isshiki Y. 1999. A
Study of the Harmonious Profile in Facial Esthetics. Bulletin Tokyo
Dent. Coll. Vol. 40(1) : pp. 35-46.
Orten SS, Hilger PA. 2002. Facial Analysis of the Rhinoplasty Patient. In :
Facial Plastic and Reconstructive Surgery 2nd ed. New York.
Thieme Medical Publishers : pp.361-8.
Papel ID. 2002. Facial Analysis and Nasal Aesthetics. Aesthetic Plastic
Surgery. DOI : 10. 1007/s00266-002-4317-3. Springer-Verlag. New
York. Inc : pp. 1-10.
Patrocinio LG, Carvalho PMC, Souza HM, Couto HG, Patrocinio JA. 2006.
Surgical Maneuvers Performed on Rhinoplasty Procedures Carried
Out at an Otorhinolaryngology Residency Program. Brazilian
Journal of Otorhinolaryngology. Vol. 72. Ed. 4 : pp. 439-42.
Porter JP, Olsen KL. 2001. Anthropometric Facial Analysis of the African
American Woman. Arch Facial Plast Surg/Vol 3, July-Sep : pp.
191-97.
Reddy SS, Calhoun K, Quinn FB, Ryan MW. 2003. Refinement of the Nasal
Tip. Dept of Otolaryngology, UTMB, Galveston.
Rettinger G. 2007. Risk and Complications in Rhinoplasty. GSM Current
Tropic in Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery. Vol. 6 : pp.
1-14.
Riveiro PF, Chamosa ES, Quintanilla DS, Cungueiro MS. 2003. Angular