• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Tentang Keanekaragaman Dan Distribusi Serangga Air Di Danau Lau Kawar Kecamatan simpang Empat, Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Tentang Keanekaragaman Dan Distribusi Serangga Air Di Danau Lau Kawar Kecamatan simpang Empat, Kabupaten Karo"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI TENTANG KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI

SERANGGA AIR DI DANAU LAU KAWAR

KECAMATAN SIMPANG EMPAT, KABUPATEN KARO

SKRIPSI

BOY RISMAN SILALAHI

040805008

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

(2)

KECAMATAN SIMPANG EMPAT, KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

BOY RISMAN SILALAHI

040805008

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PERSETUJUAN

Judul : STUDI TENTANG KEANEKARAGAMAN

DAN DISTRIBUSI SERANGGA AIR DI DANAU LAU KAWAR KECAMATAN SIMPANG EMPAT, KABUPATEN KARO Kategori : SKRIPSI

Nama : BOY RISMAN SILALAHI

Nomor Induk Mahasiswa : 040805008

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU

PENGETAHUAN ALAM (MIPA)

Ameilia Zuliyanti Siregar, S.Si, M.Sc Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus,M.Sc Nip. 132 307 219 Nip. 131 695 907

(4)

PERNYATAAN

STUDI TENTANG KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI SERANGGA AIR DI DANAU LAU KAWAR

KECAMATAN SIMPANG EMPAT, KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing- masing disebutkan sumbernya.

Medan, Mei 2009

(5)

PENGHARGAAN

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang karena atas limpah karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian yang berjudul ” STUDI TENTANG KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI SERANGGA AIR DI DANAU LAU KAWAR KECAMATAN

SIMPANG EMPAT, KABUPATEN KARO”, yang merupakan syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Sains di Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada : Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan dorongan, waktu dan arahan dalam pelaksanaan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ameilia Zuliyanti Siregar, S.Si, M.Sc selaku dosen pembimbing II yang juga telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Ketua dan Sekretaris Penguji Drs Arlen H.J. M.Si. dan Masitta Tanjung S.Si, M.Si., yang telah banyak memberikan saran dan arahan demi penyelesaian skripsi ini, Dra Nunuk Priyani M.Sc selaku Penasehat Akademik yang telah banyak memberikan bimbingan selama perkuliahan hingga sampai penulisan akhir skripsi ini. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada DR. Dwi Suryanto, M.Sc dan Dra. Nunuk Priyani M.Sc selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Biologi dan seluruh staff pengajar dan seluruh pegawai di departemen Biologi. DR. Eddy Marlianto M.Sc selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.Tidak lupa penulis juga ucapkan terimakasih kepada Bapak Sukirmanto dan Ibu Nurhasni Muluk selaku laboran di Laboratorium Biologi FMIPA USU dan kepada Ibu Roslina Ginting dan Bang Erwin selaku pegawai Administrasi Program Studi Biologi FMIPA USU.

Ucapan terimakasih yang tak ternilai penulis ucapkan kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta : B. Silalahi dan T. br Aritonang yang telah memberi doa, harapan dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan ini tepat pada waktu yang diharapkan. Kepada Kakanda Petrus H. Silalahi dan Adinda Nelson Silalahi penulis ucapkan terimakasih atas dukungan, doa dan semangat yang telah diberikan kepada penulis.

(6)

pengalaman dan latihan yang sudah dilalui bersama selama ini. Untuk PKBKB penulis juga mengucapkan terimakasih buat pengalaman rohani yang telah penulis rasakan selama ini. Tidak lupa untuk B’Viktor (Kimia) penulis ucapkan terimakasih atas bantuannya di laboratorium kimia PUSLIT.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca, sebelum dan sesudahnya penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, Mei 2009

(7)

ABSTRAK

Penelitian tentang ‘Keanekaragaman dan Distribusi Serangga Air di

Danau Lau Kawar Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo’ dilakukan dua

musim yaitu musim kemarau pada bulan Juni 2008 dan musim hujan pada bulan November 2008. Metode pengambilan sampel dilakukan menggunakan dua alat yaitu

Surber Sampler dan Kick Net. Untuk setiap stasiun dilakukan pengambilan sampel

(8)

DAFTAR ISI

Daftar Gambar xii

Daftar Lampiran xiii

2.1. Karakteristik Umum Serangga Air 4

2.2. Tubuh Serangga 5

2.3. Siklus Hidup Serangga Air 9

2.4. Habitat Serangga Air 11

2.5. Keanekaragaman dan Distribusi Serangga Air 12

2.5.1 Keanekaragaman Serangga Air 12

2.5.2 Distribusi Serangga Air 13

2.6. Ekosistem Danau 14

2.7. Faktor Fisik Kimia yang Mempengaruhi Keanekaragaman Plankton 14

2.7.1 Suhu 15

2.7.2 Oksigen Terlarut 16

2.7.3 Derajad Keasaman (pH) 17

2.7.4 Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand, BOD5)

18

2.7.5 Kandungan Organik Substrat 19

(9)

3.5 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan 25

3.6 Analisis Data 27

Bab.4 Hasil dan Pembahasan 30

4.1 Data Serangga Air Berdasarkan Musim 30

4.1.1 Nilai Kepadatan (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) Serangga Air yang Didapatkan di Setiap Stasiun Pada Kedua Periode Musim

32

4.1.2 Indeks Diversitas Shannon-Wienner (H’), Indeks Diversitas Simpson (D), dan Indeks Equitabilitas (E)

37

4.1.3 Indeks Distribusi 39

4.2 Faktor Fisik Kimia air 41

4.2.1 Parameter Fisika 42

4.2.2 Parameter Kimia 43

4.3 Uji Korelasi Pearson Untuk Nilai Faktor Fisik-Kimia dan Nilai Indeks Diversitas (H’ dan D) Serangga Air di Danau Lau Kawar Untuk Kedua Periode Musim Pada Setiap Stasiun Dengan Metode Komputerisasi SPSS Ver. 13.00

48

Bab.5 Kesimpulan dan Saran 49

5.1 Kesimpulan 49

5.2 Saran 49

DAFTAR PUSTAKA

(10)

DAFTAR TABEL

halaman Tabel 3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor

Fisik Kimia Perairan dan Tempat Pengukuran

27 Tabel 4.1 Hasil identifikasi Serangga Air Yang Ditemukan di Danau Lau

Kawar

30 Tabel 4.2 Nilai Kepadatan (ind/ m2), Kepadatan Relatif (%), dan Frekuensi

Kehadiran (%) Serangga Air yang Didapatkan di Danau Lau Kawar Untuk Kedua Periode Musim Pada Setiap Stasiun

33

Tabel 4.3 Indeks Diversitas Shannon-Wienner (H’), Indeks Diversitas Simpson (D), dan Indeks Equitabilitas (E) Serangga Air di Danau Lau Kawar Untuk Kedua Periode Musim Pada Setiap Stasiun

37

Tabel 4.4 Nilai Indeks Distribusi (ID) Serangga Air di Danau Lau Kawar Untuk Kedua Periode Musim Pada Setiap Stasiun

39 Tabel 4.5 Faktor Fisika-Kimia Air di Danau Lau Kawar Untuk Kedua

Periode Musim Pada Setiap Stasiun

42 Tabel 4.6 Hasil Uji Korelasi Pearson Untuk Nilai Faktor Fisik - Kimia dan

Nilai Indeks Diversitas (H’ dan D) Serangga Air di Danau Lau Kawar Untuk Kedua Periode Musim Pada Setiap Stasiun Dengan Metode Komputerisasi SPSS Ver. 13.00

(11)

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gambar 2.1 Berbagai Bentuk Tubuh Serangga Air 5

Gambar 2.2 Metamorfosis Serangga 12

Gambar 3.1 Foto Danau Lau Kawar 21

Gambar 3.2 Foto Lokasi Stasiun I 22

Gambar 3.3 Foto Lokasi Stasiun II 23

Gambar 3.4 Foto Lokasi Stasiun III 23

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

halaman Lampiran A. Beberapa Foto Serangga Air Yang diperoleh pada penelitian 54 Lampiran B. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen 56

Lampiran C. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5 57

Lampiran D. Bagan Kerja Pengukuran Kadar Organik Substrat 58

Lampiran E. Bagan Kerja kandungan Nitrat ( NO3-) 59

Lampiran F. Bagan Kerja Analisis Fosfat (PO4 -) 60

Lampiran G. Hasil Pengukuran Kadar Organik Substrat, Nitrat dan Fospat pada Musim Kemarau

61 Lampiran H. Hasil Pengukuran Kadar Organik Substrat, Nitrat dan Fospat pada

Musim Hujan

62 Lampiran I. Hasil Uji Korelasi Pearson Untuk Nilai Faktor Fisik - Kimia dan

Nilai Diversitas (H’ dan D) Serangga Air di Danau Lau Kawar Dengan Metode Komputerisasi SPSS Ver. 13.00

63

Lampiran J. Contoh Perhitungan 64

Lampiran K. Data Jumlah dan Jenis Serangga Air Yang Didapatkan Di Danau Lau Kaar di Setiap Titik Pada Masing – Masing Stasiun Penelitian Berdasarkan Musim dan Alat yang Digunakan

65

Lampiran L. Total Individu Serangga Air yang Didapatkan di Danau Lau Kawar Untuk Kedua Periode Musim Pada Setiap Stasiun

(13)

ABSTRAK

Penelitian tentang ‘Keanekaragaman dan Distribusi Serangga Air di

Danau Lau Kawar Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo’ dilakukan dua

musim yaitu musim kemarau pada bulan Juni 2008 dan musim hujan pada bulan November 2008. Metode pengambilan sampel dilakukan menggunakan dua alat yaitu

Surber Sampler dan Kick Net. Untuk setiap stasiun dilakukan pengambilan sampel

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia memiliki lebih dari 500 danau dengan luas keseluruhan lebih dari 5.000 km2 atau sekitar 0,25% dari luas daratan Indonesia, namun status kondisi sebagian besar danau tersebut akhir-akhir ini sudah sangat memprihatinkan. Pada saat ini fungsi dan manfaat danau dirasakan sudah semakin berkurang. Fenomena ini disebabkan oleh terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan perairan danau serta koordinasi antar sektoral dalam pengelolaannya yang sangat lemah atau hampir tidak ada sama sekali (Sumarwoto et al., 2004, dalam Marganof, 2007).

Menurut Tarumingkeng (1994), keadaan lingkungan hidup mempengaruhi keanekaragaman bentuk-bentuk hayati dan banyaknya jenis mahluk hidup atau keanekaragaman hayati (biodiversitas), dan sebaliknya keanekaragaman dan banyaknya mahluk hidup juga menentukan keadaan lingkungan. Selanjutnya Juhaeti dan Naiota (1996) dalam Erniwati (2001) menyatakan bahwa suatu lahan yang terdegradasi umumnya mengandung biota yang berbeda dengan ekosistem aslinya. Kecenderungannya adalah penurunan keanekaragaman jenis baik flora, fauna maupun jasad reniknya. Barus (2004), menyatakan bahwa suatu perairan yang belum tercemar akan menunjukkan jumlah individu yang seimbang dari semua spesies yang ada. Sebaliknya suatu perairan yang tercemar akan menyebabkan penyebaran jumlah individu tidak merata dan cenderung ada spesies tertentu yang bersifat dominan.

(15)

di upland (lahan atas), dari permukiman dan dari kegiatan yang berlangsung di badan perairan danau itu sendiri, dan demikian juga dengan aktivitas manusia yang hidup di sekitar danau. Jenis bahan pencemar utama yang masuk ke perairan danau terdiri dari beberapa macam, antara lain limbah organik dan anorganik, residu pestisida, sedimen dan bahan-bahan lainnya (Marganof, 2007).

Danau Lau Kawar terletak di kaki Gunung Sinabung yang berada di dalam kawasan hutan Sibayak II (Hutan Deleng Lancuk) pada ketinggian 1.425 m dpl. Hutan disekitar danau ini masih sangat asli dan lebat. Kelompok Hutan Deleng Lancuk memiliki luas 435 Ha termasuk luas Danau Lau Kawar (±100 Ha). Ditepi danau kecil ini terdapat camping ground yang sering dipadati oleh para pengunjung yang camping diakhir pekan.

Secara administratif pemerintahan Kawasan Hutan Wisata ini terletak di Desa Kuta Gugung Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Daerah Tingkat II Tanah Karo. Di sebelah utara danau ini merupakan bentangan hutan dan di sebelah selatannya terdapat aktivitas pertanian masyarakat. Kawasan ini telah ditunjuk menjadi Taman Wisata Alam sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 08/Kpts/II/1989 tanggal 6 Pebruari 1989 (Departemen Kehutanan, 2002).

Beranekaragamnya aktivitas manusia di sekitar Danau Lau Kawar seperti penggunaan lokasi tersebut sebagai areal Ekowisata, pemanfaatan air dalam kehidupan sehari-hari, aktivitas pertanian dan pertambakan ikan, akan menyebabkan pencemaran yang akan mengubah kualitas faktor fisik kimia perairan danau tersebut. Berubahnya kualitas suatu perairan sangat mempengaruhi kehidupan biota yang hidup didalamnya, diantaranya adalah serangga air. Maka untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang keanekaragaman jenis dan distribusi serangga air yang hidup di Danau Lau Kawar.

1.2Permasalahan

(16)

memiliki beragam aktivitas. Adanya keberagaman aktivitas tersebut tentunya akan mempengaruhi kualitas perairan pada Danau Lau Kawar. Sejauh ini belum diketahui bagaimanakah keanekaragaman jenis dan distribusi serangga air dan hubungannya dengan nilai parameter fisik-kimia perairan di Danau Lau Kawar.

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui keanekaragaman jenis dan distribusi serangga air di Danau Lau Kawar

b. Untuk mengetahui nilai faktor fisik-kimia perairan dan hubungannya dengan keanekaragaman serangga air di Danau Lau Kawar.

1.4Hipotesis

a. Terdapat perbedaan keanekaragaman dan distribusi serangga air pada musim kemarau dan musim hujan di setiap stasiun penelitian.

b. Terdapat hubungan nilai faktor fisik-kimia perairan dengan keanekaragaman serangga air di Danau Lau Kawar.

1.5Manfaat Penelitian

a. Memberikan informasi bagi masyarakat mengenai keanekaragaman jenis dan distribusi serangga air di Danau Lau Kawar.

b. Sebagai informasi yang berguna bagi instansi terkait dalam pengelolaan lingkungan kawasan Danau Lau Kawar

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Umum Serangga

Serangga tergolong dalam Filum Arthrophoda, Sub Filum Mandibulata, Kelas Insecta. Ruas yang membangun tubuh serangga terbagi atas tiga bagian yaitu, kepala (caput), dada (toraks) dan perut (abdomen). Sesungguhnya serangga terdiri dari tidak kurang dari 20 segmen. Enam Ruas terkonsolidasi membentuk kepala, tiga ruas membentuk thoraks, dan 11 ruas membentuk abdomen Jumar (2000). Selanjutnya Brotowidjoyo (1994), serangga dapat dibedakan dari anggota Arthropoda lainnya karena adanya 3 pasang kaki (sepasang pada setiap segmen thoraks). Bagian-bagian tubuh tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Serangga memiliki skeleton yang berada pada bagian luar tubuhnya (eksoskeleton). Rangka luar ini tebal dan sangat keras sehingga dapat menjadi pelindung tubuh, yang sama halnya dengan kulit kita sebagai pelindung luar. Pada dasarnya, eksoskeleton serangga tidak tumbuh secara terus-menerus. Pada tahapan pertumbuhan serangga eksoskeleton tersebut harus ditanggalkan untuk menumbuhkan yang lebih baru dan lebih besar lagi (Voshel, 2003).

(18)

Gambar 2.1.Berbagai Bentuk Tubuh Serangga

2.2 Tubuh Serangga

a. Kepala (Caput)

Kepala pada hewan serangga memiliki fungsi yang sama dengan fungsi kepala pada hewan-hewan yang bersimetris bilateral lain pada umumnya. Kepala tersusun atas mulut; organ-organ sensoris, dan otak yang merupakan sistem saraf pusat dan pusat memori (Evans, 1984). Menurut Voshell (2003) serangga mempunyai bentuk mulut yang termodifikasi sesuai dengan kebutuhan akan makanannya.

Jumar (2000) menyatakan bahwa posisi kepala serangga berbeda-beda berdasarkan letak arah mulutnya menjadi:

a. Hypognatus (vertikal), apabila bagian dari alat mulut mengarah ke bawah dan dalam posisi yang sama dengan tungkai. Contohnya pada ordo Orthoptera

b. Prognatus (horizontal), apabila bagian dari alat mulut mengarah ke depan dan biasanya serangga ini aktif mengejar mangsa. Contohnya pada ordo Coleoptera. c. Opistognathus (oblique), apabila bagian dari alat mulut mengarah ke belakang dan

terletak di antara sela-sela pasangan tungkai. Contohnya pada ordo Hemiptera.

(19)

b. Antena

Antena pada serangga bervariasi bentuknya dengan fungsi sebagai alat sensor. Borror et al (1992) menyatakan bahwa fungsi antena pada serangga merupakan alat perasa dan bertindak sebagai organ-organ pengecap, organ pembau, serta organ untuk mendengar. Antena memiliki segmen scape pada segmen pertama yang langsung berhubungan dengan kepala, pedisel pada segmen kedua dan flagella pada segmen berikutnya. Bervariasinya bentuk antena ini juga merupakan satu karakteristik pembeda yang penting dalam serangga (Arora & Dhaliwal,1999).

c. Mata Majemuk dan Ocelli

Reseptor cahaya yang utama adalah sepasang mata majemuk (compound ayes) dan juga unit mata tunggal (ocelli) berada pada kepala (Pechenik, 2005).

Menurut Jumar (2000), serangga dewasa memiliki 2 tipe mata, yaitu mata tunggal dan mata majemuk. Mata tunggal dinamakan ocellus (jamak: ocelli). Mata tunggal dapat dijumpai pada larva, nimfa, maupun pada serangga dewasa. Mata majemuk sepasang dijumpai pada serangga dewasa dengan letak masing-masing pada sisi kepala dan posisinya sedikit menonjol ke luar, sehingga mata majemuk ini mampu menampung semua pandangan dari berbagai arah. Mata majemuk (mata faset), terdiri atas ribuan ommatidia.

d. Bagian Mulut

Bagian mulut serangga tersusun atas labrum, sepasang mandibula, sepasang maksila, labium dan hypofaring (Gillot, 1980). Bentuk mulut pada serangga berdasarkan tipe makanan yang dikonsumsi serangga itu sendiri (Pechenik, 2005).

(20)

a. Menggigit-mengunyah, seperti pada Ordo Orthoptera, Coleoptera, Isoptera, dan pada larva serangga

b. Menusuk-menghisap, seperti pada Ordo Homoptera dan Hemiptera c. Menghisap, pada Ordo Lepidoptera

d. Menjilat-menghisap, pada Ordo Diptera.

e. Dada (Toraks)

Menurut Borror et al (1992), toraks merupakan tagma (segmen) lokomotor tubuh dan toraks mangandung tungkai-tungkai dan sayap-sayap. Toraks terdiri atas tiga ruas, bagian anterior protoraks, mesotoraks, dan bagian posterior metatoraks. Diantara serangga-serangga memiliki dua pasang spirakel terbuka pada toraks. Spirakel yang satu berkaitan dengan mesotoraks dan yang lain berkaitan dengan metatoraks. Meso dan metahoraks mengalami beberapa perubahan yang berkaitan dengan penerbangan.

Menurut Jumar (2000) pada dasarnya tiap ruas toraks dapat dibagi menjadi tiga bagian. Bagian dorsal disebut tergum atau notum, bagian ventral disebut sternum dan bagian lateral disebut pleuron (jamak: pleura). Sklerit yang terdapat pada sternum dinamakan sternit, pada pleuron dinamakan pleurit, dan tergum dinamakan tergit. Pronotum dari beberapa jenis serangga kadang mengalami modifikasi, seperti dapat terlihat pada pronotum Ordo Orthoptera yang membesar dan mengeras menutupi hampir semua bagian protoraks dan mesotoraksnya.

f. Sayap

(21)

Tidak semua serangga memiliki sayap. Serangga tidak bersayap digolongkan ke dalam subkelas Apterygota, sedangkan serangga yang memiliki sayap dimasukkan ke dalam golongan subkelas Pterygota. Sayap serangga juga mengalami modifikasi. Modifikasi sayap menurut Jumar (2000) adalah sebagai berikut:

a. Pada Ordo Tysanoptera, sayap depan berupa rumbai

b. Pada Ordo Coleoptera, sayap depan mengeras dan dinamakan elitra (tungggal: elitron). Elitra berfungsi untuk melindungi sayap belakang yang berupa selaput (membran)

c. Pada Ordo Diptera, sayap depan berkembang sempurna, sedangkan sayap belakang mengalami modifikasi menjadi struktur seperti gada yang disebut halter. Halter berfungsi sebagai penyeimbang tubuh pada saat terbang

d. Pada Ordo Hemiptera, sayap depan sebagian mengeras dan sebagian lagi tetap berupa membran. Sayap depan ini disebut sebagai hemielitra (tunggal: hemielitron)

e. Pada Ordo Orthoptera, sayap depan berupa perkamen, diduga sebagai pelindung dan disebut sebagai tegmina (tunggal: tegmen).

g. Tungkai/kaki

Menurut Borror et al (1992) tungkai-tungkai thoraks serangga bersklerotisasi (mengeras) dan selanjutnya dibagi menjadi sejumlah ruas. Secara khas, terdapat 6 ruas pada kaki serangga. Ruas yang pertama yaitu koksa yang merupakan merupakan ruas dasar; trokhanter, satu ruas kecil (biasanya dua ruas) sesudah koksa; femur, biasanya ruas pertama yang panjang pada tungkai; tibia, ruas kedua yang panjang; tarsus, biasanya beberapa ruas kecil di belakang tibia; pretarsus, terdiri dari kuku-kuku dan berbagai struktur serupa bantalan atau serupa seta pada ujung tarsus. Sebuah bantalan atau gelambir antara kuku-kuku biasanya disebut arolium dan bantalan yang terletak di dasar kuku disebur pulvili.

Menurut Jumar (2000), tungkai-tungkai serangga mengalami modifikasi. Sejumlah modifikasi tersebut adalah:

(22)

b. Tipe fussorial, tungkai yang digunakan untuk menggali, ditandai dengan adanya kuku depan yang keras

c. Tipe saltatorial, tungkai yang berfungsi untuk meloncat, ditandai dengan perbesaran femur pada tungkai belakang

d. Tipe raptorial, tungkai yang berfungsi untuk menangkap dan mencengkeram mangsa, ditandai dengan pembesaran femur tungkai depan

e. Tipe natatorial, tungkai yang berfungsi untuk berenang, ditandai dengan bentuk yang pipih serta adanya sekelompok “rambut-rambut renang” yang panjang

f. Tipe ambolatorial, tungkai yang berfungsi untuk berjalan ditandai dengan femur dan tibia yang lebih panjang dari bagian tungkai lainnya. Bentuk ini merupakan bentuk umum tungkai serangga.

h. Perut (Abdomen)

Pada umumnya abdomen serangga terdiri dari 11 segmen metameri (berulang). Tiap segmen metamer memiliki satu sklereit dorsal tergum (jamak: terga), satu sklereit

ventral sternum (jamak: sterna) dan satu selaput daerah lateral pleuron (jamak: pleura) (Borror et al, 1992).

Menurut Arora & Dhaliwal(1999), abdomen merupakan tempat organ dalam berada, yang mana fungsi-fungsi fisiologis tubuh berada di sana. Bagaimanapun sistem itu mulanya berasal dari saluran yang dimulai dari bagian kepala, melewati thoraks dan salurannya sampai sejauh mana pada abdomen.

2.3 Siklus Hidup Serangga Air

(23)

nimfa (tergantung macam metamorfosis atau perkembangan) yang keluar dari telur pada saat telur menetas. Larva/nimfa memiliki tahapan perkembangan (instar), yang setiap tahapannya melalui proses pergantian kulit (ecdysis), karena setiap peningkatan ukuran tubuh pada satu instar ke instar berikutnya memerlukan integumen baru yang lebih besar. Larva berkembang menjadi pupa (pada ulat kupu-kupu disebut kepompong), dan pupa dan nimfa berkembang menjadi serangga dewasa (Tarumingkeng, 2001).

Menurut Voshell (2003), Ada dua tipe utama metamorfosis pada serangga air, yaitu incomplete metamorphosis (hemimetabola) dan complete metamorphosis

(holometabola) seperti pada Gambar 2 berikut ini:

Pada hemimetabola, bentuk nimfa mirip dewasa hanya saja sayap belum berkembang dan habitat (tempat tinggal dan makanan) nimfa biasanya sama dengan habitat stadium dewasanya. Nimfa menempati habitat yang sama dengan dewasa Kumbang (Coleoptera), kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera) dan semut serta lebah (Hymenoptera) adalah serangga holometabola. Bentuk pradewasa (larva dan pupa) jenis-jenis holometabola ini sangat berbeda dengan stadium dewasanya (Tarumingkeng, 2001).

2.4 Habitat Serangga Air

Menurut De la Rosa & De la Rosa (2001), serangga air hidup di dekat atau di dalam air. Habitat aquatik dalam dua golongan berdasarkan ukurannya. Aquatik

(24)

makrohabitat merupakan area yang luas, area yang kompleks seperti danau, laut ataupun kolam. Aquatik mikrohabitat, merupakan area yang lebih sempit, seperti sehelai daun yang berada di bawah permukaan air. Mikrohabitat merupakan tempat spesifik dimana individu dari suatu spesies atau kelompok yang hidup di sana.

Dilihat dari atas ke bawah, habitat aquatik dapat dibagi menjadi 3 bagian makrohabitat, yaitu bagian permukaan air, yang banyak dihuni oleh serangga-serangga air yang berjalan di atas air atau larva-larva nyamuk, juga berbagai jenis dari Ordo Diptera dan Hemiptera. Bagian tengah, dimana merupakan daerah yang paling sibuk pada badan perairan, serangga dan organisme aquatik lainnya banyak hidup pada daerah ini. Serangga dapat terbawa arus aliran air dari suatu tempat ke tempat lainnya, seperti pada Ordo Hemiptera. Bagian dasar atau lantai perairan, merupakan tempat hidup serangga air. Mereka hidup di dalam lumpur, pasir, bebatuan atau pada akar tanaman. Contohnya, Ephemeroptera, Odonata, Plecoptera, Trichoptera.

Menurut Voshell (2003), salah satu hal yang menakjubkan dari serangga air adalah beragamnya habitat mereka hidup. Tidak ada suatu badan perairan yang kondisinya terlalu kecil, terlalu besar, terlampau dingin atau panas, keruh atau berlumpur, dengan kadar oksigen terlampau rendah, arus yang terlalu deras, atau tempat yang terlalu banyak polusi untuk beberapa jenis serangga air untuk dapat hidup di sana.

(25)

2.5 Keanekaragaman dan Distribusi Serangga Air

2.5.1 Keanekaragaman Serangga Air

Serangga menyusun sekitar 64 % (±950.000 spesies) dari total spesies flora dan fauna yang diperkirakan ada dibumi ini (Grombridge, 1992, dalam Shahabuddin, 2003). Selanjutnya Daly et al. (1978) dalam Putra (1994) menyatakan bahwa serangga merupakan salah satu anggota kerajaan binatang yang memiliki jumlah anggota terbesar. Hampir lebih dari 72% anggota hewan termasuk dalam golongan serangga, dengan jumlah spesies dan individu yang begitu besar maka serangga memegang peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem.

Pennak (1978) menyatakan bahwa serangga tersebar luas pada habitat-habitat tempat hidupnya, mereka terdapat dalam jumlah yang sangat luar biasa banyaknya dan sebagian besar dari mereka menjadi terspesialisasi dan beradaptasi dengan hebat pada habitat hidupnya. Namun, sebagai suatu kelompok, serangga tidak seluruhnya dapat hidup di habitat perairan. Ada sekitar 1% dari keseluruhan serangga yang terdapat di atau sebagian hidupnya berada di air. Kemudian Daly et al (1998) menyatakan bahwa serangga air hanya terdiri atas 3-5% dari keseluruhan spesies serangga, tetapi serangga air sangat tinggi keanekaragamannya.

Keanekaragaman yang tinggi dalam sifat-sifat morfologi, fisiologi dan perilaku adaptasi dalam lingkungannya, dan demikian banyaknya jenis serangga yang terdapat di muka bumi, menyebabkan banyak kajian ilmu pengetahuan, baik yang murni maupun terapan, menggunakan serangga sebagai model. Kajian dinamika populasi misalnya, bertumpu pada perkembangan populasi serangga. Demikian pula, pola, kajian ekologi, ekosistem dan habitat mengambil serangga sebagai model untuk mengembangkannya ke spesies-spesies lain dan dalam skala yang lebih besar (Tarumingkeng, 2001).

(26)

Coleombola (McCafferty, 1981; Merrit & Cummins, 1996). Kesemua ordo ini menempati habitat yang bervariasi dari mulai kolam, sungai dan danau yang meliputi baik ekosistem lentik dan ekosistem lotik merupakan tempat hidup dan berkembang bagi serannga air. Serangga air dan komponen biota aquatik lainnya dapat dipakai sebagai indikator untuk menilai tingkat pencemaran (Sudariyanti et al, 2001 dalam

Aswari, 2001).

Dalam menduga atau memantau keanekaragaman hayati perlu dilengkapi informasi jumlah individu dan fungsi atau peranannya pada suatu habitat dan ekosistem. Kelimpahan jenis serangga sangat ditentukan oleh aktivitas reproduksinya yang didukung oleh lingkungan yang sesuai dan tercukupinya kebutuhan sumber makanannya. Kelimpahan dan aktivitas reproduksi serangga di daerah tropik sangat dipengaruhi oleh musim, karena musim berpengaruh kepada ketersediaan bahan makanan dan kemampuan hidup serangga yang secara langsung dapat mempengaruhi kelimpahan. Setiap ordo serangga mempunyai respon yang berbeda terhadap perubahan musim dan iklim (Wolda, 1978 dalam Aswari, 2001).

2.5.2 Distribusi Serangga Air

Distribusi jenis invertebrata air dalam ekosistem air tidak tersebar luas dan tidak juga seragam. Kebanyakan dari mereka memiliki kebutuhan khusus dan hanya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di daerah atau tempat dimana kebutuhan-kebutuhan khusus tersebut dapat terpenuhi. Dengan demikian, distribusi spesies-spesies yang hidup di lingkungan pasti mencerminkan aspek kualitas lingkungan tersebut. Komunitas serangga juga mencerminkan tingkatan dan struktur habitatnya (Barbern & Kavern, 1973; Hawkins, 1984; Minshall & Minshall, 1977; Minshall et al, 1985; Shaldon & Walker, 1998 dalam Salmah et al, 1999)

(27)

oksigen. Dapat dijelaskan bahwa kehadiran spesies-spesies tertentu dalam suatu habitat mengindikasikan bahwa parameter fisik-kimia tersebut berada pada batas toleransi untuk setiap spesies di dalamnya (Salmah, 1999)

2.6 Ekosistem Danau

Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen komponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan biotik (produsen, konsumen dan pengurai) yang membentuk suatu hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi (Marganof, 2007).

Perairan danau merupakan salah satu bentuk ekosistem air tawar yang ada di permukaan bumi. Secara fisik, danau merupakan suatu tempat yang luas yang mempunyai air yang tetap, jernih atau beragam dengan aliran tertentu (Jorgensen & Vollenweiden, 1989). Sementara itu, menurut Ruttner (1977) dan Satari (2001), danau adalah suatu badan air alami yang selalu tergenang sepanjang tahun dan mempunyai mutu air tertentu yang beragam dari satu danau ke danau yang lain serta mempunyai produktivitas biologi yang tinggi. Kemudian menurut Barus (2004), perairan disebut sebagai danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam. Air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah pinggir saja.

2.7 Faktor Fisik-Kimia Perairan

Pada banyak parameter fisik kimia perairan, dapat menyatakan tipikal kondisi air dan invertebtara yang ada di dalamnya membutuhkan adaptasi khusus untuk dapat bertahan hidup pada kondisi tersebut (William 1987 dalam Suhling et al, 2000).

(28)

dan berkembangbiak dengan baik, dalam hal ini mereka akan mencari daerah yang lingkungannya optimum bagi pertumbuhan dan perkembangbiakannya (Suin, 2003).

2.7.1 Suhu

Menurut hukum Van’t Hoffs, kenaikan temperatur sebesar 100C (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, sementara di lain pihak dengan naiknya temperatur akan mengakibatkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang. Hal ini

menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk melakukan respirasi (Barus, 2004).

Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman dari badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi di badan air. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu, peningkatan suhu air juga mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2, CO2, N2, dan CH4 (Haslam, 1995 dalam

Marganof, 2007).

2.7.2 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO)

Oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam perairan merupakan faktor penting sebagai pengatur metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembangbiak. Sumber oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran air 25 melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Novonty & Olem, 1994).

(29)

organisme aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang pada akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan. Dalam kondisi anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami maupun secara perlakuan aerobik yang ditujukan untuk memurnikan air buangan industri dan rumah tangga (Salmin 2005).

Difusi oksigen atmosfer ke air bisa terjadi secara langsung pada kondisi air

stagnant (diam) atau terjadi karena agitasi atau pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau angin. Difusi oksigen dari atmosfer ke perairan pada hakekatnya berlangsung relatif lambat, meskipun terjadi pergolakan massa air atau gelombang. Sebagian besar oksigen pada perairan danau dan waduk merupakan hasil sampingan aktivitas fotosintesis. Di perairan danau, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh fotosintesis alga yang banyak terdapat pada zona epilimnion, sedangkan pada perairan tergenang yang dangkal dan banyak ditumbuhi tanaman air pada zona litoral, keberadaaan oksigen lebih banyak dihasilkan oleh aktivitas fotosintesis tumbuhan air. Keberadaan oksigen terlarut di perairan sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian, dan berkurangnya tekanan atmosfer (Jeffries & Mills, 1996).

Penyebab utama berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air disebabkan karena adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen. Zat pencemar tersebut terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik yang berasal dari barbagai sumber, seperti kotoran (hewan dan manusia), sampah organik, bahan-bahan buangan dari industri dan rumah tangga. Menurut Connel & Miller (1995), sebagian besar dari zat pencemar yang menyebabkan oksigen terlarut berkurang adalah limbah organik.

(30)

dipengaruhi oleh perubahan temperatur juga dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghadirkan oksigen. Nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar antara 6-8 mg/l.

Menurut Lee et al. (1978), kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan. Status kualitas air sebagai berikut a. > 6,5 Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan

b. 4,5 – 6,4 Tercemar ringan c. 2,0 – 4,4 Tercemar sedang d. < 2,0 Tercemar berat

2.7.3 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa (Effendi, 2003). Adanya karbonat, bikarbonat dan hidroksida akan menaikkan kebasaan air, sementara adanya asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan keasaman suatu perairan. Sejalan dengan pernyataan tersebut Mahida (1993) menyatakan bahwa limbah buangan industri dan rumah tangga dapat mempengaruhi nilai pH perairan.

Nilai pH dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan toksisitas dari unsur-unsur renik yang terdapat di perairan, sebagai contoh H2S yang bersifat toksik

banyak ditemui di perairan tercemar dan perairan dengan nilai pH rendah. Selain itu, pH juga mempengaruhi nilai BOD5, fosfat, nitrogen dan nutrien lainnya (Dojildo &

(31)

menyebabkan mobilitas senyawa logam berat, terutama Aluminium yang bersifat toksik, semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme air. Sedangkan pH yang sangat tinggi akan mengakibatkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam perairan menjadi terganggu. Dengan meningkatnya amoniak maka amoniak menjadi senyawa yang sangat toksik bagi organisme.

2.7.4 Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand, BOD5)

BOD5 merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu perairan.

Perairan dengan nilai BOD5 tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh

bahan organik. Bahan organik akan distabilkan secara biologis dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan sampai pada tingkat terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob yang dapat mengakibatkan kematian organisme akuatik (Marganof, 2007).

Barus (2004) menyebutkan, nilai BOD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik, yag diukur pada temperatur 200C.

Lee et al. (1978) menyatakan bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkannilai BOD5-nya, status kualitas air sebagai berikut:

a. 2,9 tidak tercemar b. 3,0 – 5,0 tercemar ringan c. 5,1 – 14,9 tercemar sedang d. 15 tercemar berat.

(32)

mikroorganisme. Oleh karena itu disamping mengukur BOD, perlu dilakukan pengukuran terhadap jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dikenal dengan COD (Chemical Oxygen Demand) yang dinyatakan dalam mg/l. Dengan mengukur nilai COD, maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar/tidak dapat diuraikan secara biologis.

2.7.5 Kandungan Organik Substrat

Menurut Seki (1982) komponen organik utama yang terdapat di dalam perairan adalah asam amino, protein, karbohidrat dan lemak, sedangkan komponen lain seperti asam-asam organik, hidrokarbon, vitamin dan hormon juga ditemukan di perairan. Tetapi hanya 10% dari material organik tersebut yang mengendap sebagai substrat ke dasar perairan.

Konsentrasi bahan organik yang tinggi akan membutuhkan jumlah oksigen dalam jumlah yang besar. Melalui prosedur secara kimia dapat dilihat bahan-bahan organik yang terkandung di dalam substrat yang dilakukan dengan metode Black &Walkey ( Michael, 1984).

2.7.6 Nitrat

(33)

Dalam kondisi dimana konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah dapat terjadi proses kebalikan dari nitrifikasi, yaitu proses denitrifikasi dimana nitrat melalui nitrit akan menghasilkan nitrogen bebas yang akhirnya lepas ke udara atau dapat juga kembali membentuk amonium/amoniak melalui proses ammonifikasi nitrat (Barus, 2004).

2.7.7 Phosfor

Seperti halnya Nitrogen, Phosfor merupakan komponen penting lainnya dalam ekosistem air. Kedua unsur ini berperan dalam proses terjadinya eutrofikasi di suatu ekosistem air. Zat-zat terutama protein mengandung gugus Phosfor, misalnya ATP, yang terdapat dalam sel mahluk hidup dan berperan penting dalam penyediaan energi. Seperti diketahui bahwa fitoplankton dan tumbuhan air lainnya membutuhkan Nitrogen dan Phosfat sebagai sumber nutrisi utama bagi pertumbuhannya.

(34)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di Danau Lau Kawar yang terletak di Desa Kuta Gugung Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Daerah Tingkat II Tanah Karo. Secara geografis lokasi penelitian berada pada pada titik koordinat 3011’ 48,8” LU-3012’ 09,6” LU dan 98022’ 27,0” BT-98023’ 26,3” BT (Gambar 3.1). Perjalanan dari Medan melalui Kabanjahe sekitar 60 km dapat ditempuh lebih kurang 1 1/2 jam.

Gambar 3.1. Foto Danau Lau Kawar

(35)

3.2 Stasiun Pengamatan

3.2.1 Stasiun I

Stasiun I merupakan stasiun kontrol, terbagi dalam 3 titik pengamatan. Pada stasiun ini tidak didapati aktivitas masyarakat. Terletak pada koordinat 3012’ 01,3” LU-3012’ 09,6” LU dan 98022’ 27,0” BT-98022’ 53,9” BT (Gambar 3.2).

Gambar 3.2. Foto lokasi Stasiun I

3.2.2 Stasiun II

Stasiun II merupakan daerah pemukiman penduduk dan merupakan areal pertanian. Stasiun II terbagi menjadi 3 titik pengamatan, dan terletak pada koordinat 3011’ 45,1” LU-3011’ 46,3” LU dan 98023’ 00,1” BT-98022’ 50,8” BT (Gambar 3.3).

(36)

3.2.3 Stasiun III

Stasiun III merupakan daerah Camping Ground bagi wisatawan maupun pendaki gunung yang selalu ramai dikunjungi. Stasiun III terbagi menjadi 3 titik pengamatan, dan terletak pada koordinat 3011’ 48,8” LU-3012’ 49,2” LU dan 98023’ 13,3” BT- 98023’ 26,3” BT (Gambar 3.4). .

Gambar 3.4. Foto lokasi Stasiun III

3.2.4 Stasiun IV

Stasiun IV merupakan lokasi aliaran keluar (outlet), dan merupakan suatu bentuk anakan sungai. Stasiun ini terbagi juga dalam 3 titik pengamatan, dan terletak pada titik koordinat 3011’ 48,1” LU dan 98023’ 12,1” BT (Gambar 3.5).

(37)

3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam menentukan lokasi penelitian adalah metode

“Purposive Random Sampling” pada 4 stasiun pengamatan. Penetapan stasiun ini

berdasarkan perbedaan pengunaan lahan oleh masyarakat. Stasiun I, tidak terdapat penggunaan lahan, atau daerah ini merupakan daerah yang tidak terdapat aktivitas. Stasiun II, merupakan daerah yang digunakan masyarakat sebagai daerah pemukiman dan areal pertanian. Stasiun III, merupakan daerah Camping yang dikunjungi oleh wisatawan. Stasiun IV, daerah yang merupakan aliran keluar (outlet) dari Danau Lau Kawar tersebut. Dari setiap stasiun terbagi menjadi 3 titik lokasi pengamatan seperti pada foto lokasi penelitian (Gambar 3.1).

3.4 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan dua tahap yaitu, pada bulan Juni 2008 (musim kemarau ) dan bulan November 2008 (musim hujan). Pada setiap stasiun, akan dilakukan pengambilan sampel dalam 3 titik yang berbeda.

Pengambilan serangga yang hidup di permukaan dan badan air, dilakukan dengan menggunakan jaring air (Kick Net). Penggunaan alat ini dilakukan sebanyak 10 kali (Siregar, 1999; 2005) pada setiap titik pengamatan. Sedangkan yang berada pada dasar perairan, digunakan Surber net (Surber Sampler) dan dilakukan juga sebanyak 10 kali pengambilan (Grinang, 2000).

(38)

%

100

A

B

A

KO

3.5 Pengukuran Faktor Fisik-kimia Perairan

Adapun faktor fisik perairan yang diukur adalah temperatur air dan tipe substrat, sedangkan faktor kimia yang diukur adalah pH air, Oksigen terlarut (DO), kejenuhan Oksigen, kandungan organik substrat dan Biochemical Oxygen Demand

(BOD5), kandungan Nitrat dan Phosfat.

3.5.1 Temperatur Air

Temperatur air diukur dengan menggunakan Termometer air raksa berskala 0-500C. Pengukuran dilakukan dengan mencelupkan termometer ke dalam air kurang

lebih selama 5 menit.

3.5.2 Tipe Substrat

Tipe substrat diamati langsung secara visual pada seiap stasiun penenelitian

3.5.3 Kandungan Organik Substrat

Pengukuran kandungan organik substrat dilakukan dengan metode analisa abu, dengan cara substrat diambil, ditimbang sebanyak 100 gr dan dimasukkan ke dalam oven dengan temperatur 450C sampai beratnya konstan (2-3 hari), substrat yang kering di gerus di lumpang dan dimasukkan kembali kedalam oven dan dibiarkan selama 1 jam pada temperatur 450C agar substrat benar-benar kering. Kemudian ditimbang 25 gr dan diabukan dalam tanur dengan temperatur 7000C selama 3,5 jam. Kemudian substrat yang tertinggal ditimbang berat akhirnya, dan dihitung kandungan organik substrat (Barus, 2004) dengan rumus :

dimana :

KO = Kandungan Organik A = Berat Konstan Substrat

(39)

Analisis kandungan organik substrat dilakukan di Laboratorium Sentral Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

3.5.4 Derajat Keasaman (pH)

Derajat Keasaman (pH) diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil dari dalam perairan sampai pada pembacaan pada alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.

3.5.5 Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut (DO) diukur dengan menggunakan Metode Winkler. Sampel air diambil dari dalam perairan dan dimasukkan ke dalam botol Winkler kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut (Lampiran B).

3.5.6 Kejenuhan Oksigen

Kejenuhan Oksigen diukur dengan menghitung nilai DO yang didapatkan dibandingkan dengan nilai DO pada tabel nilai Kejenuhan Oksigen berdasarkan suhu lapangan. Atau dengan rumus sebagai berikut:

Kejenuhan Oksigen= x100%

tabel pada DO

diukur yang DO

3.5.7 Biochemical Oxygen Demand (BOD5)

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan Metode Winkler. Sampel air yang

(40)

3.5.8 Kandungan Nitrat ( NO3-)

Pengukuran Kandungan Nitrat ( NO3-) dilakukan dilaboratorium dengan

menggunakan alat spektrofotometer. Prosedur pengukurannya dilakukan seperti pada lampiran E.

3.5.9 Fosfat (PO4-)

Pengukuran Kandungan Fosfat (PO4-) dilakukan dilaboratorium dengan

menggunakan alat spektrofotometer. Prosedur pengukurannya dilakukan seperti pada lampiran F.

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik-kimia perairan beserta alat dan satuannya dapat dilihat pada tabel 3.5 berikut ini

Tabel 3.1. Alat dan Satuan yang dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan dan tempat pengukuran

No Parameter Fisik-Kimia

Satuan Alat Tempat

Pengukuran

1 Temperatur Air 0C Termometer air

raksa

In-Situ

2 Tipe Substrat - - In-situ

3 Kandungan Organik Substrat % Oven dan Tanur Laboratorium

4 Derajat Keasaman (pH) - pH meter In-situ

5 Oksigen Terlarut (DO) mg/l Metode Winkler In-situ

6 Kejenuhan Oksigen % - In-situ

7 Biochemical Oxygen Demand, BOD5

mg/l Metode Winkler dan Inkubasi

Laboratorium

8 Kandungan Nitrat ( NO3-) % spektrofotometer Laboratorium

9 Fosfat (PO4-) % spektrofotometer Laboratorium

3.6 Analisis Data

Data serangga air yang diperoleh dihitung berdasarkan formula Brower et al, 1990 (nilai Kepadatan Populasi, Kepadatan Relatif), Krebs, 1985

(41)

Suin, 2002 (Indeks Diversitas Simpson), Michael, 1984 (Indeks Distribusi) dan Analisa Kolerasi dengan persamaan-persamaan sebagai berikut :

a. Kepadatan Populasi (K)

K =

b. Kepadatan Relatif (KR)

KR =

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

FK = x100%

d. Indeks Diversitas Shannon – Wiener (H’)

H’ = 

pilnpi

dimana: H’ = indeks diversitas Shannon – Wiener Pi = proporsi spesies ke –i

ln = logaritma Nature

pi =

ni/N (Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)

(42)

e. Indeks Diversitas Simpson

f. Indeks Equitabilitas/Indeks Keseragaman (E)

(E) = H max = keanekaragaman spesies maximum

= ln S (dimana S banyaknya spesies)

N = jumlah total individu dalam total plot

x2= kuadrat jumlah individu perplot untuk total plot Kriteria pola distribusi dikelompokkan sebagai berikut:

Jika Id = 1 (distribusi acak) Id < 1 (distribusi beraturan)

Id > 1 (distribusi berkelompok)

h. Analisa Kolerasi (r)

(43)
(44)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Serangga Air Berdasarkan Musim

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan selama dua periode (musim kemarau dan musim hujan) menggunakan dua alat dalam pengambilan sampel (Surber sampler dan

Kick Net) di Danau Lau Kawar diidentifikasi 10 Ordo, 33 Famili dan 48 genus. Hasil dari identifikasinya dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini:

Tabel 4.1. Hasil identifikasi Serangga Air Yang Ditemukan di Danau Lau Kawar Musim

Hydroscaphilidae 8. Hydroscapha - +

Psephenidae 9. Psephenus + +

Ephemeroptera Ephemerellidae 15. Ephemerella + -

Heptageniidae 16. Heptagenia + +

Hemiptera Belastomatidae 17. Belastoma + -

Corixidae 18. Tenagobia + -

Megaloptera Corydalidae 26. Chauliodes + -

Odonata Aeshnidae 27. Aeshna + +

(45)

29. Enalagma + -

Trichoptera Calamoceratidae 41. Anisocentropus + +

42. Heteroplectron + +

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa ditemukan sebanyak 10 Ordo terdiri dari 33 Famili dan 48 genus serangga air. Hasil yang diperoleh dari 2 periode musim (kemarau dan hujan) dapat dilihat bahwa ditemukan sebanyak 40 genus serangga air pada periode musim kemarau sementara pada periode musim hujan hanya sebanyak 29 genus. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa jumlah genus yang ditemukan pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan musim hujan. Banyakya jumlah genus yang ditemukan pada musim kemarau bila dibandingkan dengan musim hujan karena kondisi lingkungan pada musim kemarau mendukung masa perkembangbiakan serangga Mc.Cafferty (1996). Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian Salmah (1999), Grinang (2000) yang juga menemukan bahwa secara umum sampel yang didapatkan lebih banyak pada musim kemarau dibandingkan musim hujan. Salmah et al, (1999) juga menyatakan bahwa keanekaragaman dan distribusi serangga air berhubungan dengan perubahan musim seperti musim hujan dan kemarau.

(46)

yang ditemukan pada musim hujan. Untuk Stasiun IV, ditemukan 12 genus pada musim kemarau dan 2 genus ditemukan pada musim hujan.

Mc.Cafferty (1996) menyatakan bahwa pada umumnya kondisi iklim biasanya menentukan masa-masa tertentu dalam tahapan kehidupan serangga air. Perubahan iklim tersebut akan menentukan jangka waktu siklus hidupnya secara keseluruhan (larva-dewasa), masa untuk bertelur atau masa untuk meletakkan telur, pertumbuhan larva, masa pupasi, pergantian kulit dan masa untuk bereproduksi kembali. Masa-masa tersebut terkoordinasi dengan baik pada waktu musim yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan setiap spesies serangga air pada lingkungannya. Maka dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kemungkinan besar pada musim kemarau aspek tersebut lebih sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan serangga air di Danau Lau Kawar.

4.1.1 Nilai Kepadatan (K), Kepadatan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran

(FK) Serangga Air yang Didapatkan di Setiap Stasiun Pada Kedua Periode

Musim

(47)
(48)

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan nilai total kepadatan serangga air tertinggi pada musim kemarau yaitu di Stasiun IV sebesar 102,309 ind/m2

yang terdiri dari 12 genus, kemudian diikuti pada Stasiun I sebesar 34,894 ind/m2 (27

genus), Stasiun II sebesar 6,009 ind/m2 (17 genus) dan Stasiun III sebesar 4,072 ind/m2 (7

genus) sedangkan untuk nilai total kepadatan serangga air tertinggi pada musim hujan yaitu di Stasiun I sebesar 30,667 ind/m2 (24 genus), kemudian diikuti oleh Stasiun II

sebesar 2,590 ind/m2 (8 genus), Stasiun IV sebesar 1,481 ind/m2 (2 genus) dan Stasiun III

sebesar 0,185 ind/m2 (1 genus).

Pada Stasiun I, genus yang memiliki nilai kepadatan tertinggi yaitu Genus

Heteroplectron sebesar 7,314 ind/m2 di musim kemarau. Genus ini memiliki nilai

kepadatan tertinggi karena didukung oleh habitat yang cukup sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Stasiun I merupakan daerah masukan air ke Danau Lau Kawar. Genus Heteroplectron dapat hidup dengan baik pada lokasi yang memiliki substrat serasah dan memiliki aliran yang tidak deras. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mc.Cafferty (1981) dan Bouchard (2004). Bentuk selubung tubuh (case) genus ini terbuat dari meterial-material kayu atau dedaunan yang gugur dan berbentuk tabung (Mc.Cafferty, 1981). Maka dengan demikian Stasiun I adalah tempat yang sesuai sebagai habitat Heteroplectron. Tipe genus ini berdasarkan kebiasaan dalam pembuatan case-nya adalah Tube-case maker, yaitu pembuatan selubung berbentuk tabung (Mc.Cafferty, 1981).

Pada musim hujan ditemukan nilai kepadatan yang tertinggi pada Hydropsyche

sebesar 5,370 ind/m2 . Pada saat musim hujan, material-material dari atas perbukitan yang

(49)

ini secara keseluruhan pada musim kemarau jumlah genus yang ditemukan lebih banyak dibandingkan dengan musim hujan.

Untuk nilai-nilai kepadatan yang terendah, menandakan bahwa jumlah individu yang ditemukan hanya sedikit, hal ini berarti kondisi habitat yang kurang cocok bagi kehidupannya, namun dari faktor-faktor ketersediaan nutrisi yang sesuai (walaupun dalam jumlah yang kecil) memungkinkan kesemua genus yang hidup di Stasiun I dapat bertahan dan melangsungkan kehidupannya.

Pada Stasiun II, secara umum gambaran hasil yang ditemukan pada stasiun ini, genus-genus yang ditemukan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan Stasiun I, baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Nilai kepadatan tertinggi di Stasiun II ditempati oleh genus Trepobates dan Rhagovelia dari Ordo Hemiptera (masing-masing 0,833 ind/m2) pada musim hujan. Kedua genus ini merupakan serangga air yang hidup di

atas permukaan air (Merrit & Cummins, 1996; Borror et al, 1996; Andersen et al, 2002; Bouchard, 2004). Habitat yang sesuai untuk genus Rhagovelia dan Trepobates dimana pada Stasiun II ada aliran masuk air ke Danau Lau Kawar yang tidak terlalu deras.

Pada Stasiun III, dari dua periode musim penelitian, sangat sedikit serangga air yang ditemukan pasa stasiun ini. Hal ini dapat dilihat dari kondisi Stasiun III yang sudah terbuka, tidak ada kanopi tutupan yang akan menjadi habitat yang lebih sesuai untuk hidup bagi serangga air. Adapun serangga air yang ditemukan yang memiliki nilai kepadatan tertinggi yaitu genus Plathemis dan Tenagobia (masing-masing 0,833 ind/m2)

(50)

Pada musim hujan, adapun serangga air yang ditemukan hanya satu genus yaitu genus Textrix yang memiliki kepadatan sebesar 0,185 ind/m2. Genus Textrix (dari Ordo

Orthoptera) merupakan salah satu genus yang hidupnya semiaquatik dan golongan ini cenderung menyukai tempat yang basah (Gillott, 1980). Genus Textrix pada penelitian ini tedak hanya menempati Stasiun III tetapi juga menempati Stasiun I dan II, hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan ketersedian nutrisi yang membuat golongan ini tersebar pada ketiga stasiun. Gillott (1980) menyatakan bahwa makanan dari golongan ini adalah alga dan lumut.

Pada Stasiun IV, kondisinya hampir sama dengan Stasiun III dimana jumlah genus pada Stasiun IV juga sedikit yang ditemukan selama dua periode musim penelitian. Genus Hydropsyche merupakan genus yang sangat melimpah pada Stasiun IV dengan nilai kepadatan sebesar 64,259 ind/m2 pada musim kemarau. Hal ini menunjukkan suatu

indikator pada stasiun ini. Dari hasil penelitian Salmah et al (1998) yang menunjukkan bahwa genus ini merupakan golongan indikator kerena Hydropsyche merupakan serangga air yang sensitif terhadap perubahan-perubahan faktor fisik-kimia air.

Khusus untuk Stasiun IV pada musim hujan, terjadi perubahan habitat pada stasiun ini. Pada periode musim kemarau lokasi ini merupakan aliran keluar (outlet) Danau Lau Kawar yang berupa aliran anak sungai. Tetapi pada bulan November dilakukan penelitian untuk periode musim hujan, stasiun ini sudah dibendung. Dengan adanya pembendungan ini tentunya juga akan merubah organisme serangga air yang hidup didalamnya. Dapat dilihat bahwa hasil dari pengambilan sampel, penggunaan Surber dan Kick net tidak memungkinkan lagi karena kedalaman pinggirannya sudah mencapai 100 cm yang pada musim kemarau hanya sekitar 15 cm. Dari hasil perubahan ini genus Hydropsyche yang ditemukan melimpah pada musim kemarau tidak ditemukan lagi.

(51)

Rhagovelia (KR=13,266%), Eccoptura (KR=11,145%), Heteroplectron (KR=20,961%),

Lepidostoma (KR=12,999%), dan di musim hujan ditemukan Pelocoris (KR=10,663%),

Hydropsyche (KR=17,511%), Lepidostoma (KR=14,191%). Untuk Stasiun II di musim

kemarau ditemukan Trepobates (KR=13,862%), Rhagovelia (KR=13,862%), dan dimusim hujan ditemukan Gerris (KR=17,838%), Ischnura (KR=10,695%), Crocothemis

(KR=35,753%). Untuk Stasiun III di musim kemarau ditemukan Tenagobia

(KR=20,457%), Plathemis (KR=20,457%), Sympetrum (KR=13,630%), Textrix

(KR=29,568%) dan di musim hujan ditemukan hanya satu genus yaitu Textrix

(KR=100%). Untuk Stasiun IV di musim kemarau ditemukan Pelochoris (KR=19,820%),

Hydropsyche (KR=62,809%) dan di musim hujan hanya ditemukan dua genus yaitu

Hydrophilus (KR=12,492%) dan Gerris (KR=87,508%).

Akan tetapi berdasarkan KR≥10% dan FK≥25%, maka didapatkan dari 18 genus tersebut hanya dua genus yang memenuhi kategori tersebut yaitu genus Pelochoris

(KR=19,820% dan FK=46,667%) dan Hydropsyche (KR=62,809% dan FK=51,667%), sedangkan ketiga belas genus lainnya memiliki nilai FK< 25%. Kedua genus tersebut ditemukan pada Stasiun IV di Musim Kemarau. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pada stasiun ini dapat mendukung kehidupan serangga air tersebut. Sesuai dengan pernyataan Suin (2002) bahwa habitat dinyatakan sangat baik untuk kehidupan dan perkembangbiakan organismenya apabila didapatkan nilai kepadatan relatif ≥10% dan frekuensi kehadiran ≥25% .

4.1.2 Indeks Diversitas Shannon-Wienner (H’), Indeks Diversitas Simpson (D), dan

Indeks Equitabilitas (E)

(52)

Tabel 4.3. Indeks Diversitas Shannon-Wienner (H’), Indeks Diversitas Simpson (D), dan Indeks Equitabilitas (E) Serangga Air di Danau Lau Kawar Untuk Kedua Periode Musim Pada Setiap Stasiun

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

Parameter

Kemarau Hujan Kemarau Hujan Kemarau Hujan Kemarau Hujan

H’ 2,57 2,62 2,71 1,84 1,82 0 1,21 0,38

D 0,89 0,90 0,92 0,79 0,68 0 0,54 0,78

E 0,51 0,53 0,84 0,72 0,61 0 0,49 0,18

Kategori H’ Tercemar sedang Tercemar sedang Tercemar berat- sedang

Tercemar berat- sedang Ket:

H’ = Nilai indeks Shannon-Wienner D = Nilai indeks Simpson

E = Nilai indeks Equitabilitas

1) Nilai indeks Diversitas Shannon-Wienner (H’)

Dari Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa nilai indeks Diversitas Shannon Wienner (H’) dari kedua periode musim penelitian maka H’ yang diperoleh memiliki kisaran 0-2,71. Kisaran nilai H’ yang diperoleh pada musim kemarau yaitu 1,21-2,71, sedangkan pada musim hujan 0-2,62. Nilai terendah H’= 0 diperoleh pada Stasiun III pada musim hujan. Nilai tersebut sesuai dengan pernyataan Ludwig and Reynold (1988), yang menyatakan bahwa H’= 0 jika dan hanya jika ada satu spesies dalam sampel. Pada Stasiun III hanya terdapat satu genus yang ditemukan.

Terdapat perbedaan nilai H’ baik dilihat dari periode musim penelitian. Hal ini didukung oleh Hughes (1978), yang menyatakan ada beberapa hal yang mempengaruhi nilai indeks Diversitas Shannon Wienner (H’) selain kualitas lingkungan. Menurut Hughes, terdapat enam faktor lain yang mempengaruhinya yaitu:

a. Metode pengambilan sampel b. Ukuran sampel

c. Kedalaman pengambilan sampel d. Lamanya pengambilan sampel e. Waktu/periode pengambilan sampel

f. Level takson yang digunakan untuk mengukur nilai indeks keanekaragamannya.

Kategori H’ berdasarkan Salmah et al (1999) Dimana: <1 = tercemar berat

(53)

Dalam hal ini menurut pernyataan di atas maka didapatkan gambaran bahwa nilai H’ berbeda berdasarkan periode pengambilan sampel.

2) Nilai indeks Diversitas Simpson (D)

Nilai indeks Diversitas Simpson (D) yang diperoleh pada musim kemarau adalah 0,54-0,92 dan pada musim hujan adalah 0-0,90. Indeks DiversitasSimpson yang terendah berada di Stasiun III pada musim hujan dan tertinggi di Stasiun II pada musim kemarau. Rendahnya nilai indeks Keanekaragaman dapat dilihat dari sedikitnya genus yang ditemukan dengan jumlah yang tidak merata dan nilai indeks Keanekaragamannya lebih tinggi apabila terdapat banyak genus dengan jumlah individu masing-masing genus yang relatif merata (Brower, 1990).

3) Nilai indeks Equitabilitas (E)

Nilai indeks Equitabilitas (E) yang diperoleh pada setiap stasiun berdasarkan periode musim dalam penelitian (Tabel 4.3) dapat dilihat bahwa nilai E yang paling rendah pada Stasiun III pada musim hujan sebesar 0,00, dan yang tertinggi pada Stasiun II pada musim kemarau sebesar 0,92. Menurut Ludwig & Reynold (1988), jika semua spesies dalam suatu sampel kelimpahannya sama, itu menunjukkan bahwa indeks Keseragaman maksimum dan menurut Krebs (1985), nilai E adalah 0-1. Maka dengan demikian semakin mendekati nilai 1 maka nilainya semakin maksimum, berarti nilai kelimpahannya merata. Sementara semakin medekati nol, maka nilai E semakin minimum, berarti di dalam sampel ada spesies yang mendominasi dan kelimpahannya tidak sama/tidak merata.

4.1.3 Indeks Distribusi

(54)

Tabel 4.4. Nilai Indeks Distribusi (ID) Serangga Air di Danau Lau Kawar Untuk Kedua Periode Musim Pada Setiap Stasiun

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Genus

Kemarau Hujan Kemarau Hujan Kemarau Hujan Kemarau Hujan

1. Helichus Id<1 - - - -

(Id=1) = distribusi acak (dalam penelitian ini tidak ditemukan) (Id<1) = distribusi beraturan

(Id>1) = distribusi berkelompok

(55)

masing-masing pola distribusi serangga air baik pada periode musim kemarau dan hujan maupun digunakan dalam penelitian.

Dari data-data tersebut dapat dilihat bahwa kesemua stasiun tidak menunjukkan pola distribusi acak (dimana Id=1). Menurut Odum (1993), distribusi acak terjadi apabila kondisi lingkungan seragam, tidak kompetisi yang kuat antar individu anggota populasi dan masing-masing individu tidak memiliki kecenderungan untuk memisahkan diri.

Pada Stasiun I penyebaran serangga air yang ditemukan memiliki pola penyebaran/distribusi beraturan (id<1) dan distribusi berkelompok (id>1) secara keseluruhan pada musim kemarau maupun pada musim hujan. Pada musim kemarau dari 27 genus yang ditemukan, sebanyak 18 genus yang distribusinya berkelompok dan 9 genus yang beraturan. Sedangkan pada musim hujan dari 24 genus yang ditemukan, ada 11 genus yang berkelompok dan 13 genus yang beraturan.

Pada Stasiun II, kesemua genus (17 genus) yang ditemukan memiliki pola beraturan pada musim kemarau dan pada musim hujan dari 8 genus yang ditemukan ada 1 genus yang berkelompok dan 7 genus yang beraturan.

Pada Stasiun III, dari ketujuh genus yang ditemukan, ada 2 genus berkelompok dan 5 genus beraturan pada musim kemarau. Sedangkan pada musim hujan ditemukan hanya satu genus dan pola distribusinya beraturan.

Pada Stasiun IV, dari 12 genus yang ditemukan, ada sebanyak 6 genus berkelompok dan 5 genus beraturan pada musim kemarau sedangkan pada musim hujan ditemukan 1 genus berkelompok dan1 genus beraturan.

(56)

1999). Selain itu serangga air menunjukkan kemampuan dan sensitivitas yang berkelanjutan terhadap kehadiran pencemaran di dalam ekosistem perairan yang tidak dapat atau dapat dipengaruhi oleh faktor lain sepanjang tahun (Ward, 1992 dalam Siregar, 1999).

Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa pada musim kemarau dan musim hujan terdapat pola-pola distribusi yang berbeda pada beberapa genus. Hal ini dapat dimengerti bahwa keadaan habitat pada kedua musim ini tentunya berbeda apabila dilihat dari hasil-hasil pengukuran faktor fisik-kimia pada setiap stasiun penelitian. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa ada kemungkinan genus yang satu pada musim tertentu menyebar beraturan pada musim yang lain mengelompok atau bahkan tersebar secara acak.

4.3 Faktor Fisik Kimia Air

Hasil pengukuran faktor fisika-kimia air yang diperoleh seperti pada Tabel 4.5 berikut ini:

Tabel 4.5. Faktor Fisika-Kimia Air di Danau Lau Kawar Untuk Kedua Periode Musim Pada Setiap Stasiun

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

PARAMETER

Kemarau Hujan Kemarau Hujan Kemarau Hujan Kemarau Hujan

A. FISIKA

1. Temperatur (0C) 22 22 22 22 22 22 22 22

(57)

4.3.1 Parameter Fisika

1) Temperatur (0C)

Pola temperatur yang terdapat pada keempat stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.3. Dari data pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa kedua periode musim baik pada musim kemarau maupun musim hujan tidak menunjukkan perubahan suhu. Suhu pada musim kemarau dan musim hujan tetap sama (22oC) pada setiap stasiun penelitian. Hal ini dapat terjadi karena kondisi lingkungan di Lau Kawar yang merupakan daerah Dataran Tinggi yang keadaan cuacanya tidak stabil. Jadi walaupun pada masa periode musim kemarau yang seharusnya temperatur lebih tinggi dibandingkan periode musim hujan, temperaturnya tetap sama karena adanya kondisi cuaca yang berubah-ubah.

Sesuai dengan pernyataan (Brower, 1990) yang menyatakan bahwa kondisi temperatur perairan dipengaruhi oleh kondisi atmosfer yang mengatur iklim, musim dan perubahan cuaca serta perubahan intensitas cahaya metahari pada permukaan air dan dapat juga dikarenakan oleh adanya tutupan/kanopi pohon disekitar perairan. Pola temperatur air juga dipengaruhi oleh ketinggian geografis (Brehm & Meijering, 1990)

dalam Barus (2004).

Temperatur yang ditemukan pada lokasi penelitian merupakan temperatur yang masih cukup baik bagi kehidupan serangga air, karena menurut Merrit & Cummins, (1996) serangga air dapat hidup pada nilai temperatur antara 0o-50oC, dan Pennak (1978) menyatakan bahwa temperatur letal organisme air tawar adalah 30o-40oC.

2) Tipe Substrat

(58)

ini masih berupa substrat serasah. Stasiun III merupakan stasiun yang tipe substratnya berpasir dan disekitar pinggirannya tidak terdapat kanopi. Hal ini terjadi karena pada stasiun ini sudah terdapat pembangunan tembok pengaman untuk melindungi tepi danau. Jadi dari Hasil sisa pembangunan tersebut maka sepanjang stasiun tersebut, tipe substrat dasarnya berpasir. Stasiun IV yang merupakan aliran keluar (outlet) Danau Lau Kawar memiliki tipe berbatu pada substratnya.

4.3.2 Parameter Kimia

1) pH

Pola pH yang terdapat pada keempat stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.3. Dari data pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa kisaran pH yang diperoleh dari kedua musim penelitian adalah 6,9-7,7. Dari keempat satasiun tersebut, diperoleh nilai pH tertinggi 7,7 di Stasiun I pada musim kemarau dan yang terendah 6,9 di Stasiun IV juga pada musim kemarau.

Secara keseluruhan bahwa nilai pH yang diperoleh ini menunjukkan kisaran yang masih cukup mendukung pertumbuhan dan perkembangan serangga air. Sesuai dengan pernyataan Baur (1987), Brehm & Meijering (1990), Brakke et al (1992) dalam Barus (2004) bahwa nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7-8,5.

(59)

2) DO (Dissolved Oxygen) (mg/l)

Pola DO (Dissolved Oxygen) yang terdapat pada keempat stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.3. Dari data pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada musim kemarau tidak ada perbedaan nilai DO pada setiap stasiun penelitian. Hal ini menandakan persebaran kadar oksigen di semua stasiun merata. Hal ini dapat dimengerti dan dihubungkan dengan temperatur air pada musim kemarau juga tidak ada perbedaan. Sesuai dengan pernyataan Barus (2004) yang menyatakan bahwa pada ekosistem air tawar, pengaruh temperatur menjadi sangat dominan karena temperatur sangat mempengaruhi kelarutan oksigen di dalam air.

Namun pada musim hujan, terjadi kenaikan DO secara umum pada stasiun penelitian kecuali Stasiun IV. Hal ini dapat terjadi karena kadar DO memang memiliki fluktuasi harian maupun musiman dan fluktuasi ini selain dipengaruhi suhu tadi dapat juga dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen (Schworbel, 1987) dalam Barus (2004).

Dari nilai DO keseluruhan yaitu antara 6,8-7,5 mg/l masih merupakan nilai yang

sangat memungkinkan serangga air untuk dapat hidup. Sesuai dengan pernyataan Barus (2004), yang menyatakan nilai oksigen terlarut dipererairan sebaiknya berkisar 6-8 mg/l

dan didukung juga oleh Thani dan Phalaraksh (2008) yang menyatakan nilai DO normal pada perairann yang mengalir (Lotic) adalah antara 4,6-8,6 mg/l.

3) Kejenuhan Oksigen (%)

Gambar

Gambar 2.1.Berbagai Bentuk Tubuh Serangga
Gambar 3.1. Foto Danau Lau Kawar
Gambar 3.3. Foto lokasi Stasiun II
Gambar 3.5. Foto lokasi Stasiun IV
+7

Referensi

Dokumen terkait

karakteristik fisik dilakukan pada saat awal terbentuk mikroemulsi dan setelah penyimpanan selama 5 minggu dalam suhu kamar.. Dari data yang didapatkan dilakukan

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fahjur Akbar (2013), diketahui bahwa pada wilayah Agroekosistem Kelurahan Kalampangan Kecamatan Sebangau Kota

Hal ini berarti semakin banyak jumlah sarana media massa yang dimiliki petani maka akan semakin tinggi tingkat pengetahuan petani dengan kata lain kepemilikan media

Ungkapan ketiga yang mengandung makna denotasi dari Valentino Simanjuntak yang muncul saat mengomentari pertandingan antara Indonesia melawan Brunei Darussalam

Sebaliknya, mereka dipandang sebagai makhluk inferior yang keselamatan hidupnya ditentukan oleh perannya sebagai jaya (orang yang ikut merasakan perasaan suami), jani (menjadi

pada tahun 1910 (Swiss); Georg Schwarzenberger pada tahun 1950 (Jerman); Gerhard Mueller pada tahun 1965 (Jerman); J.P. Secara ringkas hukum pidana internasional

Aku punya solusi nih buat Kamu yang ingin menurunkan berat badan dengan cepat, yaitu dengan obat pelangsing untuk wanita yang paling bagus dari tiens.. Produk obat pelangsing

Pengertian Akhlak Menurut para Ahli : Akhlak adalah istilah bahasa Arab yang asal katanya khuluk berarti perilaku, baik itu perilaku terpuji maupun tercela.. Istilah