HUBUNGAN PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS
YANG MENJALANI HEMODIALISIS DENGAN
XEROSTOMIA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat memperoleh sarjana kedokteran gigi
OLEH:
IVAN POLTAK SITOMPUL
NIM: 100600092
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Ilmu Penyakit Mulut
Tahun 2014
Ivan Poltak Sitompul
Hubungan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis
dengan Xerostomia
x + 47 halaman
Penyakit ginjal kronis tahap 5 dapat menyebabkan kondisi uremia, yaitu
peningkatan urea dan zat-zat sisa metabolisme di dalam darah. Hal inilah yang dapat
menyebabkan berbagai manifestasi pada tubuh, termasuk juga manifestasi di rongga
mulut. Salah satu manifestasi di rongga mulut yang paling sering adalah xerostomia.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pasien penyakit ginjal kronis
yang menjalani hemodialisis dengan xerostomia. Rancangan penelitian ini adalah
penelitian analitis dengan pendekatan penelitian cross-sectional. Sampel pada
penelitian adalah pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di Klinik
Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan dengan total sampel 89 orang. Pasien
yang bersedia menjadi subjek penelitian dicatatat data pribadinya (nama, umur, jenis
kelamin) dan lama menjalani hemodialisis dari rekam medis. Lalu dilakukan
pengumpulan saliva dengan metode spitting. Xerostomia dapat ditegakkan apabila
saliva yang dikumpulkan <0,1 mL/menit. Data yang bersifat univariat dianalisis
secara manual dan data yang bersifat bivariat dianalisis dengan menggunakan sistem
pasien hemodialisis terdapat 66 orang mengalami xerostomia sedangkan subjek yang
tidak mengalami xerostomia sebanyak 23 orang. Subjek laki-laki berjumlah 59 orang,
di antaranya subjek yang mengalami xerostomia sebanyak 44 orang dan subjek yang
tidak mengalami xerostomia sebanyak 15 orang, sedangkan dari 30 subjek perempuan
yang mengalami xerostomia sebanyak 22 orang dan yang tidak mengalami
xerostomia sebanyak 8 orang. Subjek yang berusia 30-59 tahun yang mengalami
xerostomia sebanyak 28 orang dan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 21
orang. Subjek usia ≥ 60 tahun yang mengalami xerostomi a sebanyak 38 orang dan subjek yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 2 orang. Subjek yang menjalani
hemodialisis jangka pendek (3-60 bulan) dan mengalami xerostomia sebanyak 31
orang, sedangkan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 22 orang. Subjek yang
menjalani hemodialisis jangka panjang (>60 bulan) yang mengalami xerostomia
sebanyak 35 orang dan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 1 orang.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara lama
menjalani hemodialisis dengan xerostomia pada pasien penyakit ginjal kronis.
Terdapat hubungan antara usia dengan xerostomia pada pasien hemodialisis, tetapi
tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan xerostomia pada pasien
hemodialisis.
HUBUNGAN PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS
YANG MENJALANI HEMODIALISIS DENGAN
XEROSTOMIA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat memperoleh sarjana kedokteran gigi
OLEH:
IVAN POLTAK SITOMPUL
NIM: 100600092
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan
di hadapan tim penguji skripsi
Medan, 4 Juni 2014
Pembimbing: Tanda tangan
Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM ...
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji
pada tanggal 4 Juni 2014
TIM PENGUJI
KETUA : Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM
ANGGOTA : 1. Nurdiana, drg., Sp.PM
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
laporan hasil penelitian ini yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan
gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Universitas Sumatera Utara.
Rasa terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua
tercinta, Ayahanda dan Ibunda Penulis, Sam H. Sitompul, SE dan Frieda Kodrat yang
senantiasa memberi dukungan dalam penulisan skripsi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada semua pihak yang telah turut serta membantu penulis menyelesaikan laporan
hasil penelitian ini, di antaranya kepada:
1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. Sayuti Hasibuan, drg., Sp. PM selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit
Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan dosen pembimbing
skripsi yang telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan petunjuk dan
pengarahan dalam penulisan skripsi ini.
3. Nurdiana, drg., Sp. PM dan Indri Lubis, drg. selaku dosen penguji yang
telah memberikan saran dan masukan yang membangun untuk penelitian ini.
4. Irma Ervina, drg., Sp. Perio selaku dosen pembimbing akademik penulis
yang telah banyak membantu, membimbing, dan memberi nasehat yang berharga
selama penulis menjalani masa studi di perkuliahan.
5. Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH selaku direktur Klinik Spesialis
Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan.
6. Dr. Heri Farnas dan dr. Riri Andri Muzasti M.Ked (PD), Sp.PD serta
seluruh staf Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan yang telah
7. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara, khususnya Departemen Ilmu Penyakit Mulut.
8. Pepita Nesi Ginting, yang senantiasa memberi motivasi dan dukungan
kepada penulis selama penulisan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabat penulis, Brian Merchantara Winato, Joseph Dede Hartanta
Ginting, Vincent Gomulia, Rizki Annisa Lubis dan Jessica Forsythia Fa.
10. Teman-teman seperjuangan di Departemen Ilmu Penyakit Mulut Intan,
Athien, Atika, Nunu, Dara, Gohan, Nandra, Fany, dan yang tak bisa disebutkan
satu-persatu oleh penulis
11. Untuk teman-teman penulis Eka, Dendy, Yohanes, Kardo, Iqbal, Sondi,
Tommy, Ojan, Shelly, Faradila, Fatur, Aldrian, Kibon, Affan, Calvin, Jul, Mek,
Pekong, Wendy, Fadli, Raja, Jogo, Yanta, Ones, Nuel, Malavita, Opa Roland dan
teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah membantu,
mendukung dan memberikan semangat kepada penulis selama penulisan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga hasil karya atau skripsi ini dapat
memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi pengembangan disiplin ilmu di
Fakultas Kedokteran Gigi, khususnya di Departemen Ilmu Penyakit Mulut.
Medan, 4 Juni 2014
Ivan Poltak Sitompul
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...
HALAMAN PERSETUJUAN ...
HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 2
1.2.1. Masalah Umum ... 2
1.2.2. Masalah Khusus ... 2
1.3 Tujuan Penelitian ... 3
1.3.1. Tujuan Umum ... 3
1.3.2. Tujuan Khusus ... 3
1.4 Hipotesis ... 3
1.5.1. Manfaat Teoritis ... 3
1.5.2. Manfaat Praktis ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Penyakit Ginjal Kronis ... 5
2.1.1. Definisi ... 5
2.1.2. Etiologi dan Faktor Predisposisi ... 5
2.1.3. Klasifikasi ... 7
2.1.4. Manisfestasi ... 8
2.1.5. Komplikasi ... 9
2.1.6. Perawatan ... 11
2.2 Xerostomia ... 12
2.2.1. Definisi ... 12
2.2.2. Etiologi ... 13
2.2.3. Gejala danTanda ... 15
2.2.4. Diagnosis dan Pemeriksaan ... 15
2.3 Hubungan Hemodialisis dengan Xerostomia ... 16
2.4 Landasann Teori ... 19
2.5 Kerangka konsep ... 20
BAB 3 METODE PENELITIAN ... 21
3.1 Rancangan Penelitian ... 21
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21
3.3.1 Populasi ... 21
3.3.2 Sampel ... 21
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 22
3.4.1 Kriteria Inklusi ... 22
3.4.2 Kriteria Eksklusi ... 23
3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 23
3.5.1 Variabel Bebas ... 23
3.5.2 Variabel Terikat ... 23
3.5.3 Variabel Terkendali ... 23
3.5.4 Variabel Tidak Terkendali ... 23
3.5.5 Definisi Operasional ... 23
3.6 Alat dan Bahan Penelitian ... 24
3.6.1 Alat ... 24
3.6.2 Bahan ... 24
3.7 Metode Pengumpulan Data ... 24
3.8 Pengolahan dan Analisis Data ... 25
3.8.1 Pengolahan Data ... 25
3.8.2 Data Univariat ... 25
3.8.3 Data Bivariat ... 25
3.9 Etika Penelitian ... 26
BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 27
4.1 Gambaran Umum Sampel Penelitian ... 27
BAB 5 PEMBAHASAN ... 31
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 35
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Penyebab gagal ginjal di Indonesia... 6
2 Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan derajat
penyakit... 7
3 Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronis sesuai
derajatnya... ... 11
4 Distribusi dan frekuensi pasien penyakit ginjal kronis
yang menjalani hemodialisis berdasarkan jenis kelamin... 27
5 Distribusi dan frekuensi pasien penyakit ginjal kronis yang
menjalani hemodialisis berdasarkan usia... 27
6 Distribusi dan frekuensi pasien penyakit ginjal kronis yang
menjalani hemodialisis dengan xerostomia... 28
7 Tabulasi silang antara jenis kelamin dengan xerostomia pada
pasien hemodialisis... 28
8 Tabulasi silang antara usia dengan xerostomia pada pasien
hemodialisis... 29
9 Tabulasi silang antara lama menjalani hemodialisis dengan
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian
2. Lembar persetujuan subjek penelitian
3. Lembar pemeriksaan pasien
4. Surat persetujuan komisi etik
5. Surat keterangan penelitian
6. Output penelitian
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Ilmu Penyakit Mulut
Tahun 2014
Ivan Poltak Sitompul
Hubungan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis
dengan Xerostomia
x + 47 halaman
Penyakit ginjal kronis tahap 5 dapat menyebabkan kondisi uremia, yaitu
peningkatan urea dan zat-zat sisa metabolisme di dalam darah. Hal inilah yang dapat
menyebabkan berbagai manifestasi pada tubuh, termasuk juga manifestasi di rongga
mulut. Salah satu manifestasi di rongga mulut yang paling sering adalah xerostomia.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pasien penyakit ginjal kronis
yang menjalani hemodialisis dengan xerostomia. Rancangan penelitian ini adalah
penelitian analitis dengan pendekatan penelitian cross-sectional. Sampel pada
penelitian adalah pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di Klinik
Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan dengan total sampel 89 orang. Pasien
yang bersedia menjadi subjek penelitian dicatatat data pribadinya (nama, umur, jenis
kelamin) dan lama menjalani hemodialisis dari rekam medis. Lalu dilakukan
pengumpulan saliva dengan metode spitting. Xerostomia dapat ditegakkan apabila
saliva yang dikumpulkan <0,1 mL/menit. Data yang bersifat univariat dianalisis
secara manual dan data yang bersifat bivariat dianalisis dengan menggunakan sistem
pasien hemodialisis terdapat 66 orang mengalami xerostomia sedangkan subjek yang
tidak mengalami xerostomia sebanyak 23 orang. Subjek laki-laki berjumlah 59 orang,
di antaranya subjek yang mengalami xerostomia sebanyak 44 orang dan subjek yang
tidak mengalami xerostomia sebanyak 15 orang, sedangkan dari 30 subjek perempuan
yang mengalami xerostomia sebanyak 22 orang dan yang tidak mengalami
xerostomia sebanyak 8 orang. Subjek yang berusia 30-59 tahun yang mengalami
xerostomia sebanyak 28 orang dan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 21
orang. Subjek usia ≥ 60 tahun yang mengalami xerostomi a sebanyak 38 orang dan subjek yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 2 orang. Subjek yang menjalani
hemodialisis jangka pendek (3-60 bulan) dan mengalami xerostomia sebanyak 31
orang, sedangkan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 22 orang. Subjek yang
menjalani hemodialisis jangka panjang (>60 bulan) yang mengalami xerostomia
sebanyak 35 orang dan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 1 orang.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara lama
menjalani hemodialisis dengan xerostomia pada pasien penyakit ginjal kronis.
Terdapat hubungan antara usia dengan xerostomia pada pasien hemodialisis, tetapi
tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan xerostomia pada pasien
hemodialisis.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Penyakit ginjal kronis merupakan kondisi menurunnya fungsi ginjal yang
memerlukan terapi pengganti ginjal, seperti dialisis atau transplantasi ginjal.
Penduduk dunia yang menjalani terapi pengganti ginjal pada tahun 2001 cukup
tinggi, yaitu sekitar 1,4 juta orang. Diprediksikan angka penderita penyakit ginjal
kronis derajat 5 ini akan meningkat 8% setiap tahunnya.1 Di negara maju seperti
Amerika Serikat, penyakit ginjal kronis adalah penyebab kematian nomor delapan.
Penyakit ginjal kronis menyerang dunia secara global, dan sedang mengalami
peningkatan terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia.2 Di Indonesia,
jumlah pasien penyakit ginjal kronis derajat 5 bertambah dengan sangat cepat.
Prevalensi pasien yang menjalani hemodialisis pada tahun 2002 adalah sebanyak 1.425
kasus per satu juta penduduk dan meningkat menjadi 3.079 kasus per satu juta penduduk
pada tahun 2006.3
Penyakit ginjal kronis derajat 5 dapat menyebabkan kondisi uremia, yaitu
peningkatan urea dan zat-zat sisa metabolisme di dalam darah. Hal inilah yang dapat
menyebabkan berbagai manifestasi pada tubuh, termasuk juga manifestasi di rongga
mulut. Salah satu manifestasi di rongga mulut yang tersering adalah xerostomia.4
Xerostomia adalah perasaan kekeringan oral yang subjektif. Xerostomia pada pasien
hemodialisis biasanya diikuti dengan berbagai keluhan, seperti masalah pengunyahan,
menelan, berbicara, dan pengecapan makanan. Hal ini dapat menyebabkan
peningkatan risiko penyakit oral seperti lesi di mukosa, gingiva, dan lidah; infeksi
bakteri dan jamur, karies, dan penyakit periodontal. Xerostomia sering dijumpai pada
pasien penyakit ginjal kronis derajat 5 karena adanya batasan masukan cairan, efek
samping obat-obatan terutama obat antihipertensi dan efek uremia terhadap kelenjar
Pada tahun 2004, Bots et al melakukan penelitian yang mengevaluasi hubungan pasien hemodialisis dengan xerostomia pada 94 subjek. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pasien penyakit ginjal kronis yang
menjalani hemodialisis dengan xerostomia.6 Penelitian yang sama juga dilakukan
oleh Fan pada tahun 2013 terhadap 42 pasien hemodialisis. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan adanya hubungan yang erat antara pasien penyakit ginjal kronis yang
menjalani hemodialisis dengan xerostomia.7 Persentase pasien hemodialisis yang
mengalami xerostomia cukup tinggi, berkisar 32,9%-72,4% dari berbagai penelitian.
Khausik pada tahun 2013 meneliti tentang kondisi rongga mulut pasien hemodialisis
dan dari 100 pasien yang diteliti, 65% pasien setidaknya memiliki satu oral symptoms
dan xerostomia adalah oral symptoms ketiga terbanyak ditemukan, yaitu sebanyak 42% dari populasi.8 Pada tahun 2013, Bruda-Zwiech juga melakukan penelitian yang
sama pada 111 pasien hemodialisis dan menemukan sebanyak 80 orang (71,8%)
pasien hemodialisis tersebut mengalami xerostomia.9
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
hemodialisis dengan xerostomia, namun dari penelitian tersebut belum menjelaskan
mengenai hubungan lama menjalani hemodialisis dengan xerostomia. Oleh karena
itu, perlu dilakukan penelitian yang melihat hubungan lama menjalani hemodialisis
dengan xerostomia yang akan dilakukan di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi
Rasyida Medan.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Masalah Umum
Apakah terdapat hubungan antara pasien penyakit ginjal kronis yang
menjalani hemodialisis dengan xerostomia?
1.2.2 Masalah Khusus
2. Apakah terdapat hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan
xerostomia?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara pasien penyakit ginjal kronis yang
menjalani hemodialisis dengan xerostomia.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui prevalensi pasien hemodialisis yang mengalami
xerostomia.
2. Untuk mengetahui hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan
xerostomia.
1.4 Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani
hemodialisis dengan xerostomia.
2. Terdapat hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan xerostomia.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
1. Meningkatkan kompetensi keilmuan dan menambah wawasan dalam
bidang kedokteran gigi mengenai xerostomia pada pasien yang menjalani terapi
hemodialisis.
2. Menyediakan data untuk penelitian lanjutan yang berhubungan dengan
1.5.2 Manfaat Praktis
1. Untuk menambah informasi kepada para tenaga medis mengenai
keterkaitan antara terapi hemodialisis dengan kondisi di rongga mulut pasien, yaitu
xerostomia sehingga dapat menjalin kerja sama antara dokter gigi dan dokter
umum/dokter spesialis penyakit dalam untuk menangani masalah tersebut.
2. Untuk menambah informasi kepada masyarakat penderita penyakit ginjal
kronis mengenai keterkaitan antara hemodialisis dengan kondisi kesehatan rongga
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Ginjal Kronis
2.1.1 Definisi
Penyakit ginjal kronis adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progesif dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat
yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang permanen, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal.10
Definisi penyakit ginjal kronis adalah:11
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari tiga bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG) dengan manifestasi kelainan patologis atau terdapat tanda kelainan ginjal,
termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes
pencitraan.
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60ml/menit/1,73m2 selama tiga
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
2.1.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi
Penyakit ginjal kronis dapat muncul karena manifestasi penyakit kronis lain,
seperti diabetes mellitus atau hipertensi. Diabetes adalah penyebab paling sering
terjadinya penyakit ginjal kronis dan insidensinya mencapai 33%. Penyakit vaskular
(hipertensi primer) adalah penyebab paling sering kedua gagal ginjal kronis, yang
menyebabkan 21% kasus penyakit ginjal kronis pada dewasa.10 Penyakit lain yang
1. Penyakit autoimun seperti systemic lupus erythematosus (SLE) dan scleroderma.
2. Kelainan bawaan pada ginjal seperti polycystic kidney disease, dimana terdapat kista berukuran besar di dalam ginjal dan merusak jaringan di sekitarnya.
3. Glomerulonefritis, yaitu penyakit yang menyebabkan inflamasi dan
kerusakan pada bagian filtrasi ginjal. Glomerulonefritis adalah penyebab penyakit
ginjal tersering ketiga terbanyak.
4. Trauma pada ginjal .
5. Obstruksi yang disebabkan oleh batu ginjal, tumor, atau pembesaran
kelenjar prostat pada laki-laki.
6. Infeksi saluran kemih yang berulang.
7. Kelainan pada arteri yang memperdarahi ginjal.
8. Obat-obatan analgesik dan obat-obatan lainnya seperti obat kanker.
9. Reflux nephropathy .
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab
gagal ginjal pada pasien yang menjalani hemodialisis di Indonesia seperti pada tabel
1.
Tabel 1. Penyebab gagal ginjal di Indonesia.10
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes mellitus 18,65%
Obstruksi dan infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%
Faktor predisposisi penyakit ginjal kronis antara lain:11
1. Faktor kerentanan, yaitu faktor yang menyebabkan seseorang rentan
terhadap penyakit ginjal kronis yaitu usia tua dan adanya riwayat keluarga penderita
2. Faktor inisiasi, yaitu faktor yang langsung menyebabkan kerusakan pada
ginjal seperti diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit autoimun, infeksi sistemik,
infeksi saluran kemih, obstruksi saluran kemih, dan toksisitas obat.
3. Faktor progresif, yaitu faktor yang dapat memperparah kondisi penyakit
ginjal kronis dan mempercepat penurunan fungsi ginjal seperti kadar proteinuria yang
tinggi, hipertensi berat, kadar gula darah yang tidak terkontrol pada pasien diabetes,
dan merokok.
2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG yang dihitung
dengan menggunakan rumus Kockfort-Gault sebagai berikut:10
LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140-umur) x Berat Badan
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan derajat penyakit.11
Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal
atau meningkat
≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun
ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun
sedang
30 – 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun
berat
15 – 29
2.1.4 Manifestasi
Pasien penyakit ginjal kronis derajat 1 sampai 3 seringnya tidak memiliki
keluhan atau asimtomatik. Pada tahap awal penyakit ginjal kronis biasanya terdapat
gejala yang tidak spesifik seperti hilangnya nafsu makan, lemah, sakit kepala, rasa
gatal pada kulit, kulit kering, mual, serta penurunan berat badan. Pada penyakit ginjal
kronis derajat 4 dan 5 mulai tampak manifestasi klinis yang signifikan. Pada penyakit
ginjal kronis derajat 5 (gagal ginjal) muncul kumpulan gejala yang disebut sindrom
uremia yang disebabkan oleh penumpukan toksin pada tubuh.10,11,12 Sindrom uremia
muncul terutama pada pasien yang tidak teratur menjalani terapi hemodialisis
seperti:13
1. Gangguan cairan dan elektrolit
- Hiponatremia
- Hiperkalemia
- Hiperfosfatemia
2. Gangguan endokrin-metabolik
- Amenorrhea
- Infertil dan disfungsi seksual
- Hiperurisemia
4. Manifestasi kardiovaskular dan pulmonal
- Hipertensi
- Perikarditis
- Kalsifikasi vaskular
5. Manifestasi pada kulit
- Pucat
7. Gangguan hemotologi dan imunologi
- Anemia
Menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) berhubungan erat dengan kejadian
komplikasi pada sistem organ tubuh. Semakin menurun LFG maka semakin berat
juga komplikasi yang terjadi.10 Komplikasi yang terjadi pada pasien penyakit ginjal
kronis antara lain:12,14
1. Anemia
Anemia adalah kondisi kekurangan sel darah merah. Anemia dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan hemoglobin berdasarkan jenis kelamin, yaitu pada laki-laki
apabila dibawah 13,5 gr/dL dan pada perempuan apabila dibawah 12 gr/dL. Sebanyak
50% pasien penyakit ginjal kronis mengalami anemia. Anemia dapat terjadi pada
setiap tingkat penyakit ginjal kronis dan mempunyai hubungan yang erat dengan
folat, dan vitamin B12 tetapi etiologi yang paling berperan adalah karena
menurunnya sintesis eritropoietin. Eritropoietin adalah glikoprotein yang disekresikan
di ginjal yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan dan diferensiasi sel darah
merah di sum-sum tulang.
2. Gangguan pada tulang dan metabolisme mineral
Gangguan pada tulang dibagi menjadi dua kategori yaitu turnover tulang yang rendah dan turnover tulang yang tinggi. Pada pasien pre-dialisis, paling banyak mengalami turnover tulang yang tinggi karena peningkatan hormon paratiroid sehingga meningkatkan resorpsi tulang serta meningkatkan kadar kalsium dalam
darah. Keadaan ini dapat menyebabkan kalsifikasi vaskular yang merupakan faktor
risiko utama penyakit kardiovaskular pada pasien penyakit ginjal kronis. Resorpsi
tulang yang meningkat dan terus menerus dapat menyebabkan fibrosis dan
pembentukan kista pada tulang. Kondisi ini juga dapat menyebabkan gejala seperti
nyeri pada tulang bahkan tumor pada kasus yang berat. Hormon paratiroid adalah
toksin uremia dan apabila kadarnya meningkat dalam darah dapat menyebabkan
kelemahan otot dan fibrosis pada jaringan otot. Sebaliknya, pada pasien dialisis lebih
dominan mengalami turnover tulang yang rendah dengan penurunan hormon paratiroid. Hal ini akan menyebabkan akumulasi dari matriks tulang yang tidak
termineralisasi, penurunan volume tulang, peningkatan insidensi fraktur dan
berhubungan dengan peningkatan vaskular dan kalsifikasi.
3. Penyakit jantung
Penyakit jantung dapat menjadi penyebab sekaligus komplikasi dari penyakit
ginjal kronis. Kejadian komplikasi ini sering dikaitkan dengan hiperfosfatemia dan
hiperkalsemia yang menyebabkan kalsifikasi vaskular. Komplikasi pada jantung
sering kali berkembang menjadi gagal jantung kongestif.
4. Dislipidemia
Dislipidemia merupakan faktor risiko utama morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular dan komplikasi ini paling sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal
kronis. Umumnya, peningkatan hiperlipidemia, hipertrigliseridemia, dan LDL
aktivitas lipoprotein lipase dan trigliserida lipase. Beberapa penelitian mendapat
bahwa kondisi hiperparatiroid juga dapat meningkatan keparahan dislipidemia.
5. Gangguan nutrisi
Pasien penyakit ginjal kronis memiliki kebutuhan nutrisi yang berbeda dan
adanya gangguan metabolisme protein, air, garam, dan potasium. Perubahan ini dapat
menyebabkan penghasilan energi yang tidak efektif walaupun dengan asupan protein
dan karbohidrat yang cukup.
2.1.6 Perawatan
Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
seperti pada tabel 3.
Tabel 3. Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronis sesuai derajatnya.10
Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana tatalaksana
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskular
2 60 – 89 Menghambat pemburukan fungsi ginjal
3 30 – 59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 atau dialisis Terapi pengganti ginjal
Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal dengan tujuan
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan air
dan elektrolit. Hemodialisis terbukti sangat bermanfaat dalam memperpanjang usia
dan meningkatkan kualitas hidup penderita penyakit ginjal kronis derajat 5. Dalam
suatu proses hemodialisis, darah penderita dipompa oleh mesin ke dalam
kompartemen darah pada dialyzer. Dialyzer mengandung ribuan serat sintesis yang berlubang kecil di tengahnya. Darah mengalir ke dalam lubang serat, sedangkan
ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi terjadi dengan cara meningkatkan tekanan hidrostatik
melintasi membran dialsisis dengan cara menerapkan tekanan negatif ke dalam
kompartemen.15
Indikasi hemodialisis antara lain sebagai berikut:16
1. Asidosis metabolik yang sulit dikoreksi
2. Uremia > 200mg/dL
3. Hiperkalemia > 7 mEq/L
4. Kelebihan cairan
5. Encephalopati uremikum
6. Intoksikasi obat
7. LFG < 15 mL/menit/1,73m2
Masalah yang paling sering dialami oleh pasien hemodialisis berkaitan
dengan akses vaskuler seperti trombosis fistula, pembentukan aneurisma, dan infeksi
terutama dengan graft sintetik atau akses vena sentral sementara. Infeksi sistemik
dapat timbul pada lokasi akses atau didapat dari sirkuit dialisis. Transmisi infeksi
yang ditularkan melalui darah seperti virus hepatitis dan HIV merupakan suatu
bahaya potensial.17
Pada dialisis jangka panjang, deposit protein amiloid dialisis yang
mengandung mikroglobulin dapat menyebabkan sindrom terowongan karpal dan
artropati destruktif dengan lesi tulang kistik. Senyawa pengikat fosfat yang
mengandung aluminium dan kontaminasi aluminium dari cairan dialisat dapat
menyebabkan toksisitas aluminium dengan demensia, mioklonus, kejang, dan
penyakit tulang.17
2.2 Xerostomia 2.2.1 Definisi
Xerostomia berasal dari bahasa Yunani, yaitu xeros yang artinya kering, dan stoma yang artinya mulut.18 Xerostomia merupakan kumpulan keluhan subjektif
Gambar 1. Xerostomia20
2.2.2 Etiologi
Xerostomia yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:
1. Efek samping obat
Xerostomia dapat disebabkan oleh efek samping dari pengobatan tertentu.
Beberapa obat tersebut seperti obat-obatan kardiovaskular, analgesik, psikiatrik, dan
endokrinologi. Obat-obatan ini memiliki sifat antikolinergik atau simpatomimetik
yang dapat menurunkan laju aliran saliva sehingga dapat meningkatkan kadar asam di
mulut. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya karies.21
2. Radiasi pada daerah leher dan kepala
Terapi radiasi pada daerah kepala dan leher untuk perawatan kanker terbukti
dapat mengakibatkan rusaknya struktur kelenjar saliva dengan berbagai derajat
kerusakan pada kelenjar saliva yang terkena radioterapi.18,22 Jaringan saliva sangat
rentan terhadap radiasi, dan kelenjar parotis yang paling mudah rusak. Dosis radiasi
terendah sebesar 20 Gy dapat menyebabkan penghentian permanen laju aliran saliva
jika diberikan sebagai dosis tunggal. Pada dosis di atas 52 Gy, disfungsi saliva
menjadi parah. Pengobatan karsinoma mulut konvensional melibatkan pemberian
dosis 60 Gy sampai 70 Gy dan ini dapat menyebabkan penurunan aliran secara cepat
3. Penyakit kelenjar saliva
Terdapat beberapa penyakit lokal tertentu yang dapat mempengaruhi kelenjar
saliva dan menyebabkan berkurangnya aliran saliva. Penyakit tersebut antara lain
inflamasi kelenjar saliva akut dan kronik (sialadenitis), tumor ganas maupun jinak,
sindroma Sjogren, dan penyakit sistemik.18 Sialadenitis kronis lebih sering
mempengaruhi kelenjar submandibula dan parotis. Penyakit ini menyebabkan
degenerasi dari sel asini dan penyumbatan duktus. Kista dan tumor kelenjar saliva,
baik yang jinak maupun ganas dapat menyebabkan penekanan pada struktur-struktur
duktus dari kelenjar saliva dan dengan demikian mempengaruhi sekresi saliva.23
Sindroma Sjogren adalah penyakit gangguan autoimun jaringan ikat. Pada dasarnya
yang dipengaruhi adalah kelenjar air mata dan kelenjar saliva. Sel-sel asini kelenjar
saliva rusak karena infiltrasi limfosit sehingga sekresinya berkurang.18,23 Xerostomia
juga dapat terjadi pada gangguan penyakit sistemik seperti demam, diare terlalu lama,
diabetes mellitus, gagal ginjal, dan penyakit sistemik lainnya.23
4. Usia
Xerostomia merupakan masalah umum pada usia lanjut.24 Keadaan ini
disebabkan oleh adanya perubahan atropi pada kelenjar saliva sesuai dengan
pertambahan umur yang akan menurunkan produksi saliva dan mengubah
komposisinya. Seiring dengan meningkatnya usia, terjadi proses aging. Terjadi
perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva, dimana kelenjar parenkim hilang,
dan akan digantikan oleh jaringan ikat dan lemak. Keadaan ini mengakibatkan
pengurangan jumlah salliva.23 Perubahan atropi yang terjadi di kelenjar submandibula
sesuai dengan pertambahan usia juga akan menurunkan produksi saliva dan
mengubah komposisinya.18
5. Keadaan fisiologi
Pada saat berolahraga, atau berbicara yang lama dapat menyebabkan
berkurangnya aliran saliva sehingga mulut terasa kering. Gangguan emosional,
seperti stress, putus asa, dan rasa takut dapat merangsang terjadinya pengaruh saraf
simpatis dari sistem saraf otonom dan menghalangi sistem saraf parasimpatis
Bernafas melalui mulut juga akan memberikan pengaruh mulut kering.2
2.2.3 Gejala dan Tanda
Individu yang menderita xerostomia sering mengeluhkan masalah dalam
makan, berbicara, menelan, dan pemakaian gigi tiruan. Makanan yang kering
biasanya sulit dikunyah dan ditelan. Pasien yang menderita xerostomia dapat
mengeluhkan gangguan pengecapan, rasa sakit pada lidah seperti terbakar, dan
peningkatan kebutuhan untuk minum air, terutama pada malam hari. Pasien
xerostomia yang memakai gigi tiruan mengalami masalah dengan retensi gigi tiruan,
lesi akibat gigi tiruan, dan lidah lengket pada palatum.25
Xerostomia menyebabkan keringnya selaput lendir. Mukosa mulut menjadi
kering, mudah mengalami iritasi dan infeksi. Keadaan ini disebabkan oleh karena
tidak adanya daya lubrikasi dan proteksi dari saliva. Rasa pengecapan dan proses
berbicara juga akan terganggu. Kekeringan pada mulut menyebabkan fungsi
pembersih saliva berkurang, sehingga terjadi radang dari selaput lendir yang disertai
keluhan mulut seperti terbakar. Selain itu, fungsi bakteri dari saliva pada penderita
xerostomia akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya karies gigi.25
Xerostomia dapat mengakibatkan peningkatan karies dental, eritema mukosa
oral, pembengkakan kelenjar parotid, angular chelitis, mukositis, inflamasi atau ulser
pada lidah dan mukosa bukal, kandidiasis, sialadenitis, halitosis, ulserasi pada rongga
mulut.25 Mukosa pada mulut dan lidah bisa tampak kering dan pecah-pecah. Karies
gigi, akumulasi plak, gingivitis, dan periodontitis adalah umum pada pasien dengan
hipofungsi kelenjar saliva yang signifikan. Infeksi seperti kandidiasis mulut,
pembesaran kelenjar dari sialadenitis umumnya terlihat pada pasien dengan
hipofungsi kelenjar saliva moderat sampai berat.20
2.2.4 Diagnosis dan Pemeriksaan
Diagnosis dari xerostomia dilakukan berdasarkan anamnesa terarah dan dapat
juga dilakukan dengan mengukur laju aliran saliva total yaitu dengan saliva
diagnostik dan tujuan penelitian tertentu. Fungsi kelenjar saliva dapat dibedakan
dengan teknik pengukuran tertentu. Laju aliran saliva dapat dihitung melalui kelenjar
saliva mayor, individual, atau melalui campuran cairan dalam rongga mulut yang
disebut saliva murni.26
Metode utama untuk mengukur saliva murni yaitu metode draining, spitting,
suction, dan swab. Metode draining bersifat pasif dan membutuhkan pasien untuk
memungkinkan saliva mengalir dari mulut ke dalam tabung dalam suatu masa waktu.
Metode suction menggunakan sebuah aspirator atau penghisap saliva untuk mengeluarkan saliva dari mulut ke dalam tabung pada periode waktu yang telah
ditentukan. Metode swab menggunakan gauze sponge yang diletakkan dalam mulut pasien dalam waktu tertentu. Metode spitting dilakukan dengan membiarkan saliva untuk tergenang di dalam mulut dan meludah ke dalam suatu tabung setiap 60 detik
selama 2-5 menit.26
Untuk mengukur saliva total, maka tidak diperkenankan makan dan minum
dalam kurun waktu 90 menit sebelum dilakukan pengukuran laju aliran saliva. Laju
aliran saliva yang diukur adalah laju aliran saliva tanpa stimulasi dan terstimulasi.
Laju aliran saliva tanpa stimulasi < 0,1 mL/menit dan laju aliran saliva terstimulasi <
1,0 mL/menit adalah merupakan indikasi xerostomia.26 Riwayat kesehatan
keseluruhan yang mencakup penggunaan obat diikuti dengan pemeriksaan klinis yang
diperlukan untuk menetapkan diagnosis. Selanjutnya tes seperti evaluasi serologi,
pencitraan kelenjar ludah seperti sialografi, dan scintigraphy, dan evaluasi sialometrik
juga dapat diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan untuk menentukan
kondisi sistemik mendasar.25
2.3 Hubungan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis dengan Xerostomia
Menurunnya kesehatan gigi dan mulut sering dijumpai pada pasien
hemodialisis. Beberapa penelitian menunjukkan pasien dengan konsentrasi ureum
yang tinggi di dalam darah memiliki resiko yang lebih besar memiliki lesi di mulut.
penderita penyakit lain sepertti diabetes mellitus, konsumsi obat-obatan, dan
penurunan fungsi imun yang mempermudah terjadinya infeksi dan inflamasi di
rongga mulut.27
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat kondisi oral pada pasien
hemodialisis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan banyaknya pasien hemodialisis
yang memiliki setidaknya satu atau lebih manifestasi di rongga mulut, seperti
perdarahan pada gingiva, mukosa pucat, stomatitis uremia, ekimosis dan petekie,
sakit pada lidah atau mukosa, bau ureum, dan ulser di rongga mulut.8
Xerostomia pada pasien hemodialisis disebabkan oleh:
1. Batasan asupan cairan
Batasan asupan cairan dilakukan untuk menjaga keseimbangan cairan di
dalam tubuh pasien hemodialisis. Apabila asupan cairan tidak dibatasi, maka akan
mengakibatkan hipertensi, edema paru, dan manifestasi kardiovaskuler. Oleh karena
itu, pasien hemodialisis sering merasa haus yang berlebihan dan memiliki keluhan
mulut kering.9
2. Efek uremia
Uremia adalah sindrom klinis yang ditemukan pada pasien penyakit ginjal
kronis karena adanya retensi urea dan zat-zat sisa metabolisme di dalam darah yang
secara normal dapat diekskresikan melalui urin. Hal inilah yang dapat mempengaruhi
seluruh organ tubuh sehingga menyebabkan manifestasi penyakit ginjal kronis yang
khas, dan salah satunya juga dapat mempengaruhi kelenjar saliva.28 Penelitian yang
dilakukan oleh Epstein menemukan bahwa terdapat konsentrasi urea yang tinggi pada
saliva pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis.29 Pada tahun 2002,
Kaya melakukan penelitian yang menganalisis fungsi kelenjar saliva pada 23 pasien
hemodialisis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya penurunan fungsi
parenkimatosa dan fungsi ekskretori kelenjar submandibula dan parotid pada pasien
penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. Apabila dibandingkan antara
kedua kelenjar tersebut, penurunan fungsi kelenjar parotid lebih parah dibandingkan
dengan kelenjar submandibula. Hal ini disebabkan karena uremia (zat toksik) dalam
paling banyak terdapat pada kelenjar parotid. Hal inilah yang dapat menyebabkan
penurunan produksi saliva sehingga muncul keluhan xerostomia pada pasien penyakit
ginjal kronis yang menjalani hemodialisis.28
3. Konsumsi obat-obatan
Xerostomia pada pasien hemodialisis semakin diperparah apabila pasien
mengonsumsi obat-obatan, terutama obat anti hipertensi.28 Hal ini disebabkan karena
obat anti hipertensi dapat menyebabkan depresi saraf otonom. Saraf otonom pada
kelenjar saliva berfungsi untuk sekresi kelenjar saliva, tetapi karena adanya depresi
saraf otonom menyebabkan berkurangnya aliran saliva. Mekanisme yang lainnya juga
dapat terjadi apabila obat tersebut bereaksi secara langsung dalam proses seluler.
Obat tersebut dapat langsung memberikan sinyal ke otak untuk menghambat kerja
saraf otonom dalam mengatur sekresi saliva sehingga dapat mengakibatkan
penurunan laju aliran saliva.30
4. Usia lanjut
Pada pasien usia lanjut akan terjadi penurunan fungsi organ tubuh, termasuk
juga kelenjar saliva. Kelenjar saliva pada pasien usia lanjut akan mengalami atropi
2.4 Kerangka Teori
Pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani
hemodialisis
Uremia
penurunan fungsi kelenjar saliva
Batasan asupan cairan
Konsumsi obat-obatan
Usia lanjut atrofi kelenjar saliva
2.5 Kerangka Konsep
Xerostomia Lama menjalani
hemodialisis:
- Jangka pendek - Jangka panjang
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah penelitian analitis dengan pendekatan
penelitian cross-sectional. Pada penelitian cross sectional, peneliti melakukan pengumpulan saliva pada pasien hemodialisis hanya diobservasi satu kali pada satu
saat tertentu saja. Jadi peneliti tidak melakukan tindak lanjut terhadap pengumpulan
saliva yang dilakukan.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Klinik Spesialisis Ginjal dan Hipertensi Rasyida yang
beralamat di Jalan D.I. Panjaitan No. 144 Medan. Pemilihan Klinik Spesialis Ginjal
dan Hipertensi Rasyida sebagai lokasi penelitian dikarenakan klinik ini merupakan
pusat hemodialisis di Medan, dimana terdapat banyak pasien yang menjalani terapi
hemodialisis dan klinik ini juga memiliki sarana dan rekam medis yang lengkap
sehingga lebih terjangkau bagi peneliti untuk menemukan subjek penelitian. Waktu
penelitian dilakukan pada bulan Maret 2014.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani
hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan.
3.3.2 Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling. Pada
kriteria inklusi dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan
terpenuhi. Jumlah sampel dalam penelitian ini diambil dengan rumus penaksiran
proporsi populasi dengan ketentuan absolut (simpangan mutlak).31
Keterangan :
n : ukuran sampel yang diperlukan
d : tingkat akurasi (0,1)
P: proporsi populasi yang diambil berdasarkan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Bots et al yaitu 36,2% (0,362) : nilai kepercayaan 0,95% =1,96
88,72 89 orang
Dari rumus tersebut didapat jumlah sampel minimum adalah 89 orang.
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
1. Pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di Klinik
2. Pasien yang sudah menjalani terapi hemodialisis lebih dari 3 bulan.
3.4.2 Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:
Pasien hemodialisis yang tidak bersedia melakukan pengumpulan saliva.
3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.5.1 Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pasien penyakit ginjal kronis yang
menjalani terapi hemodialisis.
3.5.2 Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah xerostomia.
3.5.3 Variabel Terkendali
Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah usia.
3.5.4 Variabel Tidak Terkendali
Variabel tidak terkendali dalam penelitian ini adalah jenis kelamin.
3.5.5 Definisi Operasional
1. Pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis adalah pasien
penyakit ginjal kronis derajat 5 (LFG < 15 ml/mnt/1,73m2) yang sedang menjalani
hemodialisis dan dapat dilihat dari rekam medik pasien.14
2. Xerostomia dapat diketahui dengan melakukan pengumpulan saliva dengan
metode spitting. Metode spitting dilakukan dengan cara membiarkan saliva untuk tergenang di dalam mulut (non stimulasi) dan diludahkan ke dalam suatu tabung
dikumpulkan < 0,1 mL/menit.26
3. Lama menjalani hemodialisis adalah lama waktu pasien menjalani
hemodialisis yang dihitung mulai dari inisiasi dialisis sampai saat ini dan dapat dilihat
pada rekam medik pasien. Lamanya terapi hemodialisis dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Hemodialisis jangka pendek: subjek yang telah menjalani terapi
hemodialisis pada rentang 3-60 bulan.
b. Hemodialisis jangka panjang: subjek yang telah menjalani terapi
hemodialisis di atas 60 bulan.
4. Usia adalah perhitungan ulang tahun subjek penelitian dihitung sejak tahun
lahir sampai ulang tahun terakhir saat dilakukan penelitian yang dapat dilihat dari
rekam medik pasien.33
5. Jenis kelamin adalah keadaan kodrati responden sesuai anatomis, yaitu
laki-laki atau perempuan yang dapat dilihat dari rekam medik pasien.33
3.6 Alat dan Bahan Penelitian 3.6.1 Alat
1. Gelas ukur
3.6.2 Bahan
1.Sarung tangan dan masker
2. Larutan sterilisasi
3. Rekam medik
3.7 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data ditujukan kepada pasien yang menjalani terapi
hemodialisis yang diperoleh dari rekam medik pasien yang datang ke ruang
hemodialisis Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan yang dilakukan
mulai pukul 07.00-15.00. Pasien kemudian diberi informasi tentang tujuan penelitian
ini. Setelah pasien setuju menjadi subjek penelitian, pasien diminta menandatangani
umur, jenis kelamin) dan lama menjalani hemodialisis. Kemudian dilakukan
pengumpulan saliva dengan metode spitting untuk memastikan ada atau tidaknya xerostomia. Pengumpulan saliva ini dilakukan dengan cara meminta pasien untuk
meludahkan ke dalam kontainer saliva setiap 60 detik selama 5 menit. Dapat
ditegakkan xerostomia apabila saliva yang dikumpulkan < 0,1 mL/menit.
3.8 Pengolahan dan Analisis data
3.8.1 Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan dari lembar hasil pemeriksaan pasien kemudian
dianalisis sesuai dengan jenisnya. Data yang bersifat univariat dianalisis secara
manual dan data yang bersifat bivariat dianalisis dengan menggunakan sistem
komputerisasi.10
3.8.2 Data Univariat
Analisis univariat (analisis deskriptif) bertujuan untuk mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian.10 Data univariat disajikan dalam bentuk tabel
yang meliputi :
1. Distribusi dan frekuensi pasien hemodialisis berdasarkan jenis kelamin.
2. Distribusi dan frekuensi pasien hemodialisis berdasarkan usia.
3. Distribusi dan frekuensi pasien hemodialisis dengan xerostomia.
3.8.3 Data Bivariat
Analisis bivariat adalah analisis yang digunakan terhadap 2 variabel yang
diduga berhubungan atau berkorelasi.31 Data bivariat disajikan dalam bentuk tabel
yang meliputi :
1. Tabulasi silang antara jenis kelamin dengan xerostomia pada pasien
hemodialisis
3. Tabulasi silang antara lama menjalani hemodialisis dengan xerostomia.
Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji Chi-square (X2) untuk mengetahui hubungan antara hemodialisis dengan xerostomia. Berdasarkan uji statistik tersebut
dapat diputuskan:
a. Menerima Ha (menolak Ho), jika diperoleh nilai X2 hitung > X2 tabel atau
nilai p ≤ α (0,05).
b. Menolak Ha (menerima Ho), jika diperoleh nilai X2 hitung < X2 tabel atau
nilai p > α (0,05).
3.9 Etika Penelitian
Etika penelitian dalam penelitian ini mencakup hal sebagai berikut:
1. Ethical clearance
Peneliti mengajukan persetujuan pelaksanaan penelitian kepada komisi etik
penelitian kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat internasional maupun
nasional.
2. Lembar Persetujuan (Informed Consent)
Peneliti meminta secara sukarela subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian
yang dilakukan. Bagi subjek yang setuju, dimohon untuk menandatangani lembar
persetujuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian.
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dijamin kerahasiannya oleh peneliti,
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Sampel Penelitian
Penelitian ini menggunakan subjek sebanyak 89 orang pasien penyakit ginjal
kronis yang menjalani hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida
Medan. Tabel 4 menunjukkan subjek penelitian yang dibagi berdasarkan jenis
kelamin. Pada penelitian ini terdapat 59 orang subjek laki-laki (66,3%) dan 30 orang
subjek perempuan (33,7%).
Tabel 4. Distribusi dan Frekuensi Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani
Hemodialisis Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi (f) Persentase (%)
Laki-laki 59 66,3%
Perempuan 30 33,7%
Total 89 100%
Tabel 5 menunjukkan usia subjek penelitian yang dibagi menjadi dua
kelompok usia, yaitu kelompok usia 30-59 tahun dan usia lansia (≥ 60 tahun). Subjek dengan usia 30-59 tahun sebanyak 49 orang (55,1%) dan usia ≥ 60 tahun sebanyak 40 orang (44,9%).
Tabel 5. Distribusi dan Frekuensi Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani
Hemodialisis Berdasarkan Usia
Usia Frekuensi (f) Persentase (%)
30-59 tahun 49 55,1%
Total 89 100%
4.2 Frekuensi Xerostomia
Tabel 6 menunjukkan frekuensi subjek penelitian yang mengalami
xerostomia. Mayoritas subjek penelitian mengalami xerostomia yaitu sebanyak 66
orang (74,2%) sedangkan subjek yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 23
orang (25,8%).
Tabel 6. Distribusi dan Frekuensi Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani
Hemodialisis dengan Xerostomia
Xerostomia Frekuensi (f) Persentase (%)
Xerostomia (+) 66 74,2%
Xerostomia (-) 23 25,8%
Total 89 100%
Tabel 7 menunjukkan bahwa dari 59 subjek laki-laki, subjek yang mengalami
xerostomia sebanyak 44 orang (49,4%) dan subjek laki-laki yang tidak mengalami
xerostomia sebanyak 15 orang (16,8%). Subjek perempuan berjumlah 30 orang, di
antaranya subjek yang mengalami xerostomia sebanyak 22 orang (24,8%) dan subjek
yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 8 orang (9%). Hasil uji statistik
menggunakan Pearson chi-square memperlihatkan bahwa nilai signifikansi p = 1,00
atau p > sig α (0,05). Dengan demikian, Ho diterima atau Ha ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan xerostomia
Tabel 7. Tabulasi Silang antara Jenis Kelamin dengan Xerostomia pada Pasien
Hemodialisis
Jenis Kelamin Xerostomia
Total Nilai p
Tabel 8 menunjukkan subjek penelitian yang berusia 30-59 tahun yang
mengalami xerostomia sebanyak 28 orang (31,4%) dan subjek yang tidak mengalami
xerostomia sebanyak 21 orang (23,6%). Subjek usia ≥ 60 tahun mayoritas mengalami xerostomia yaitu sebanyak 38 orang (42,6%) dan subjek lansia yang tidak mengalami
xerostomia sebanyak 2 orang (2,4%). Hasil uji statistik menggunakan Pearson chi-square memperlihatkan bahwa nilai signifikansi p < 0,001 atau p < sig α (0,05). Dengan demikian, Ho ditolak atau Ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan antara usia dengan xerostomia pada pasien hemodialisis.
Tabel 8. Tabulasi Silang antara Usia dengan Xerostomia pada Pasien Hemodialisis
Usia
Tabel 9 menunjukkan bahwa subjek penelitian yang menjalani hemodialisis
jangka pendek (3-60 bulan) mayoritas mengalami xerostomia yaitu sebanyak 31
orang (34,8%), sedangkan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 22 orang
tidak mengalami xerostomia sebanyak 1 orang (1,1%). Hasil uji statistik
menggunakan Pearson chi-square memperlihatkan bahwa nilai signifikansi p < 0,001
atau p < sig α (0,05). Dengan demikian, Ho ditolak atau Ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan
xerostomia.
Tabel 9. Tabulasi Silang antara Lama Menjalani Hemodialisis dengan Xerostomia
Lama menjalani
hemodialisis
Xerostomia
Total Nilai p
Ya (%) Tidak (%)
Hemodialisis jangka
pendek (3-60 bulan)
31 34,8% 22 24,7% 59,5%
< 0,001 Hemodialisis jangka
panjang (>60 bulan)
35 39,4% 1 1,1% 40,5%
Total 66 74,2% 23 25,8% 100%
BAB 5 PEMBAHASAN
Pada penelitian ini terdapat 89 orang subjek yang terdiri dari 59 orang subjek
laki-laki (66,3%) dan 30 orang subjek perempuan (33,7%). Hal ini sesuai dengan
penelitian Jungers et al yang menemukan hasil bahwa insiden penyakit ginjal kronis lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.34 Garibotto et al
menyatakan bahwa hormon seksual mempengaruhi morfologi ginjal dan proses
keparahan penyakit ginjal kronis antara pria dan wanita. Hormon estrogen dapat
melindungi ginjal dari pengaruh radikal bebas pada glomerulus ginjal. Selain itu,
estrogen juga mencegah terjadinya permbesaran glomerulus dan akumulasi matriks
protein ekstraseluler (MPE) sehingga menghambat terjadinya glomerular sklerosis
pada ginjal. Sebaliknya, hormon testosteron bersifat profibrotik yang dapat memicu
deposisi MPE pada sel mesangial glomerulus yang mengakibatkan terjadinya
ekspansi mesangial dan disfungsi ginjal. Beberapa penelitian menemukan bahwa
sel-sel proinflamasi TNF-α dan interleukin 1β lebih tinggi pada sel mesangial pria. Kondisi ini mengindikasikan adanya aksi profibrotik dan proinflamasi dari
testosteron pada ginjal. Hal ini mengakibatkan proses keparahan penyakit ginjal yang
lebih cepat pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.35
Pada penelitian yang dilakukan, didapat pasien penyakit ginjal kronis yang
berusia 30-59 tahun sebanyak 49 orang (55,1%) dan usia ≥ 60 tahun sebanyak 40 orang (44,9%). Terlihat persentase subjek lansia (≥ 60 tahun) lebih kecil
dibandingkan subjek usia 30-59 tahun. O’Hare et al menyatakan insidensi kematian pada penderita penyakit ginjal berhubungan dengan usia. Individu yang berusia lanjut
(≥ 60 tahun) meninggal lebih cepat daripada individu yang berusia lebih muda, walaupun individu tersebut sudah menjalani terapi pengganti ginjal (hemodialisis).
Hal ini menyebabkan persentase individu lansia lebih kecil dibandingkan dengan
Pada penelitian ini, mayoritas subjek hemodialisis mengalami xerostomia
yaitu sebanyak 66 orang (74,2%) sedangkan subjek yang tidak mengalami xerostomia
sebanyak 23 orang (25,%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Bruda-Zwiech yang menemukan bahwa mayoritas pasien hemodialisis mengalami
xerostomia. Penelitian tersebut menemukan hasil sebanyak 71,8% pasien
hemodialisis mengalami xerostomia.9 Xerostomia pada pasien yang menjalani
hemodialisis diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain adalah adanya batasan
asupan cairan, efek uremia, dan usia lanjut. Batasan asupan cairan pada pasien
hemodialisis adalah faktor yang paling berperan terhadap terjadinya xerostomia.
Batasan asupan cairan harus dilakukan karena apabila tidak, dapat menyebabkan
penumpukan cairan tubuh dimana tubuh tidak mampu mengeluarkan cairan melalui
urin. Tingkat ureum yang tinggi di dalam darah juga dapat mempengaruhi sel-sel
pada kelenjar saliva sehingga menyebabkan penurunan laju aliran saliva. Pada pasien
lanjut usia juga terdapat atrofi pada kelenjar saliva sehingga menyebabkan
berkurangnya volume saliva. Ketiga hal inilah yang dapat menyebabkan xerostomia
pada pasien penyakit ginjal kronis yang sedang menjalani hemodialisis.9,28,30
Pada penelitian ini, dari 59 subjek laki-laki, subjek yang mengalami
xerostomia sebanyak 44 orang (49,4%) dan subjek laki-laki yang tidak mengalami
xerostomia sebanyak 15 orang (16,8%). Dari 30 subjek perempuan, subjek yang
mengalami xerostomia sebanyak 22 orang (24,8%) dan subjek yang tidak mengalami
xerostomia sebanyak 8 orang (9%). Berdasarkan hasil tersebut tampak bahwa
persentase subjek laki-laki yang mengalami xerostomia lebih besar daripada subjek
perempuan. Pada tabel 7 didapat nilai P = 1,00 (P > 0,05) sehingga dapat disimpulkan
tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan xerostomia pada pasien
hemodialisis. Hasil ini sama dengan penelitian Bots et al yang menemukan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan xerostomia. Menurut Bots et al, kebiasaan merokok dan minum alkohol pada laki-laki merupakan faktor resiko yang
turut berperan serta terhadap timbulnya xerostomia pada pasien hemodialisis.6 Pada
penelitian ini, peneliti tidak menganalisis faktor resiko tersebut pada subjek
laki-laki yang menjalani hemodialisis.
Pada penelitian ini, subjek yang berusia 30-59 tahun yang mengalami
xerostomia sebanyak 28 orang (31,4%) dan subjek yang tidak mengalami xerostomia
sebanyak 21 orang (23,6%). Subjek usia ≥ 60 tahun mengalami xerostomia yaitu sebanyak 38 orang (42,6%) dan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 2 orang
(2,4%). Didapatkan hasil bahwa persentase pasien hemodialisis berusia ≥ 60 tahun yang mengalami xerostomia lebih besar dibandingkan dengan xerostomia pada pasien
hemodialisis yang berusia 30-59 tahun. Pada tabel 8 didapat nilai p < 0,001 (p < 0,05)
sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan antara usia dengan xerostomia pada
pasien hemodialisis. Hal ini disebabkan karena pada pasien usia lanjut (usia ≥ 60 tahun) terjadi penurunan fungsi organ tubuh, termasuk juga penurunan fungsi kelenjar
saliva. Kelenjar saliva pada pasien usia lanjut akan mengalami atropi sehingga
terdapat penurunan laju aliran saliva yang menyebabkan xerostomia.28
Pada penelitian ini, subjek yang menjalani hemodialisis jangka pendek (3-60
bulan) mayoritas mengalami xerostomia yaitu sebanyak 31 orang (34,8%), sedangkan
yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 22 orang (24,7%). Sama halnya pada
pasien yang menjalani hemodialisis jangka panjang (>60 bulan) mayoritas mengalami
xerostomia, yaitu sebanyak 35 orang (39,4%) dan yang tidak mengalami xerostomia
sebanyak 1 orang (1,1%). Tingkat kepercayaan pada tabel ini adalah sebesar 0,05.
Pada tabel 9 didapat nilai P < 0,001 (P < 0,05) sehingga dapat disimpulkan terdapat
hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan xerostomia.
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian oleh Postorino et al pada tahun 2003 yang membandingkan laju aliran saliva pada pasien yang menjalani
hemodialisis ≤ 6 tahun dan > 6 tahun. Penelitian tersebut menemukan adanya hubungan antara xerostomia dengan lama menjalani hemodialisis. Pemeriksaan
histopatologi kelenjar saliva pada pasien hemodialisis jangka panjang menemukan
adanya atropi dan fibrosis pada kelenjar saliva yang merupakan faktor utama
terjadinya xerostomia pada pasien hemodialisis jangka panjang.37
Hasil ini juga sesuai dengan pendapat beberapa sumber yang menyatakan
dengan xerostomia. Xerostomia pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani
hemodialisis disebabkan oleh interaksi dari berbagai faktor, antara lain batasan
asupan cairan, efek uremia, konsumsi obat-obatan, dan usia lanjut. 9,28-9,30 Batasan
asupan cairan harus terus dipatuhi oleh pasien selama menjalani hemodialisis
sehingga pasien sering mengeluh mulut kering dan rasa haus berlebihan.9 Pasien
penyakit ginjal kronis memiliki kadar ureum dan zat-zat toksik yang tinggi di dalam
darah sehingga menyebabkan penurunan fungsi kelenjar saliva.28,29 Konsumsi
obat-obatan, terutama obat antihipertensi dapat menyebabkan depresi saraf otonom yang
menyebabkan berkurangnya sekresi saliva.30 Pasien usia lanjut akan mengalami
atropi pada kelenjar saliva sehingga dapat menyebabkan xerostomia.28
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Bots et al yang membandingkan laju aliran saliva non stimulasi pada pasien dengan lama
hemodialisis ≤ 24 bulan dan 24-60 bulan. Penelitian tersebut menemukan tidak terdapat hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan xerostomia. Perbedaan
tersebut karena kategori hemodialisis jangka panjang yang singkat, yaitu selama
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
antara lama menjalani hemodialisis dengan xerostomia pada pasien penyakit ginjal
kronis. Terdapat hubungan antara usia dengan xerostomia pada pasien hemodialisis,
tetapi tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan xerostomia pada pasien
hemodialisis.
Penelitian ini dilakukan dengan melihat xerostomia dari lama menjalani
hemodialisis antara 3-60 bulan dan ≥ 60 bulan, diharapkan adanya penelitian lanjutan yang membandingkan laju aliran saliva dari awal menjalani hemodialisis dan pada
beberapa rentang waktu. Hal ini perlu dilakukan agar penurunan laju aliran saliva
pada pasien hemodialisis dapat terlihat dengan jelas. Penelitian ini tidak
mengidentifikasi berbagai faktor risiko yang berperan terhadap timbulnya xerostomia
pada pasien hemodialisis. Untuk itu disarankan adanya penelitian lanjutan yang juga
menganalisis faktor resiko yang mungkin berkaitan dengan terjadinya xerostomia
pada pasien hemodialisis. Diharapkan adanya penelitian lanjutan dengan adanya
batasan usia, yaitu hanya pada subjek yang belum mengalami menopause.
Pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis jangka
pendek maupun jangka panjang disarankan untuk menjaga kebersihan rongga mulut
serta mengunyah permen karet tanpa gula untuk menstimulasi sekresi saliva. Hal ini
dimaksudkan supaya pasien tidak merasa haus terus menerus dan dapat mematuhi
batasan asupan cairan. Selain itu, peningkatan laju aliran saliva juga diharapkan dapat
mengurangi keluhan xerostomia seperti kesulitan berbicara, mengunyah, dan
DAFTAR PUSTAKA
1. White SL, Chadban SJ, Jan S, Chapman RJ, Cass A. How can we achieve
global equity in provision of renal replacement therapy. Bulletin of the World
Health Organization 2008; 86 (3): 229-37.
2. U.S. Department of Health and Human Services. Kidney Disease Statistic for
the United States 2012: 3-6.
3. Prodjosudjadi W, Suhardjono A. End stage renal disease in Indonesia:
treatment development 2009: 56-7.
4. Haider SR, Tanwir F, Momin AI. Oral aspects of chronic renal failure.
Pakistan Oral & Dental Journal 2013; 33 (1): 12-7.
5. Hamid MJAA, Dummer DC, Pinto LS. Systemic condition, oral findings and
dental management of chronic renal failure patients: general considerations
and case report. Braz Dent J 2006; 17(2): 166-70.
6. Bots CP, Brand HS, Veerman CIE et al. Interdialytic weight gain in patients on hemodialysis is associated with dry mouth and thirst. Kidney International
2004; 66(4): 1662-8.
7. Fan WF, Zhang Q, Luo LH, Niu JY, Gu Y. Study on the clinical significance
and related factors of thirst and xerostomia in maintenance hemodialysis
patients. Kidney Blood Press Res 2013; 374(4-5): 464-74.
8. Khausik A, Reddy SS, Umesh L, Devi BK, Santana N, Rakesh N. Oral and
salivary changes among renal patients undergoing hemodialysis: a
cross-sectional study. Indian J Nephrol 2013; 23(2): 125–9.
9. Bruda-Zwiech A, Joanna S, Rafal Z. Sodium gradient, xerostomia, thirst and
interdialytic excessive weight gain: a possible relationship with
hyposalivation in patients on maintenance hemodialysis. Int Urol Nephrol
2013; 30(2): 45-9.
10.Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit
11.Levey AS, Eckardt KU, Tsukamoto Y et al. Definition and classification of chronic kidney disease: a position statement from kidney disease: improving
global outcomes (KDIGO). Kidney International 2005; 67: 2089-97.
12.Longo D, Fauci AS, Kasper D et al. Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed., New York: Mc Graw Hill 2008: 1761-71.
13.Murphree DD, Thelen SS. Chronic Kidney Disease in Primary Care. J Am
Board Fam Med 2010; 23 (4): 542-50.
14.Callaghan CAO. Sistem ginjal at a glance. Alih Bahasa. Yasmine E. Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2006: 96-8.
15.Himmelfarb J, Ikizler TA. Hemodialysis. N Engl J Med 2010; 36(3): 1833-45
16.Parson FM. Haemodialysis. Postgraduate Medical Journal 1996; 35 (409):
625-30.
17.Thomas R, Kanso A, Sedor JR. Chronic kidney disease and its complications.
Prim Care 2008; 35(2): 329-40.
18.Kidd EAM, Bechal SJ. Dasar-dasar karies. Alih Bahasa. Sumawinata N,
Faruk S. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1992: 67-70.
19.Nagler RM. Salivary glands and the aging process: mechanistic
aspects, health-status medicinal efficacy monitoring. Biogerontology
2004; 5 (4): 223-3
20.Navazesh M, Kumar SKS. Xerostomia: prevalence, diagnosis, and
management. Compendium of Continuing Education in Dentistry 2011: 30-7.
21.Rantonen P. Salivary flow and composition in healthy and diseased adults.
Institute of Dentistry University of Helsinki 2003; 42(4): 16-20.
22.Scully C, Bagan JV. Adverse drug reaction in the orofacial region. Crit Rev
Oral Biol Med 2004; 15 (4): 221-2.
23.Al SKM. Clinical management of salivary deficiency. A Review Article the
Saudi Dental Journal 1992; 3(2): 77-80.
24.Pajukoski H, Meurman JH, Halonen P, Sulkava R. Prevalence of subjective
in relation to saliva, medication, and systemic diseases. Oral Surg Oral Med
Pral Pathol Oral Radiol Endod 2001; 92: 641-9.
25.Bartels CL. Xerostomia information for dentists: helping patients with dry
mout
Januari 2014)
26.Fox PC, Grisius MM. Salivary gland diseases. Burket’s Oral Medicine
Diagnosis and Treatment. 10th ed., Hamilton: BC Dekker Inc 2003: 253-38.
27.Akar H, Akar CG, Carrero JJ, Stenvinkel P, Lindholm B. Systemic
consequences of poor oral health in chronic kidney disease patients. Clin J
Am Soc Nephrol 2011; (6): 218-26.
28.Kaya M, Cermik TF, Ustun F, Sen S, Berkarda S. Salivary function in patients
with chronic renal failure undergoing hemodialysis. Hell J Nucl Med 2002;
16(2): 117-20.
29.Epstein SR, Mandel I, Scopp IW. Salivary composition and calculus
formation in patients undergoing hemodialysis. J Periodontol 1993; 51: 336–
338.
30.Arunkumar S, Kalappanavar AA, Annigeri RG, Shakuntala. Adverse oral
manifestations of cardiovascular drugs. IOSR-JDMS 2012; 7: 64-71.
31.Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi 4.
Jakarta: Sagung Seto, 2011: 112-113.
32.Depner TA, Daugirdas JT. Hemodialysis adequacy 2006. American Journal of
Kidney Diseases 2006; (48): 16-8.
33.Chang L, Toner BB, Fukudo S et al. Gender, age, society, culture, and the patient perspective in the functional gastrointestinal disorders.
Gastroenterology 2006; 120: 1435-41.
34.Jungers P, Chauveau P, Descamps-Latschka B et al. Age and gender related incidence of chronic renal failure in a French urban area: A prospective
epidemiologic study. Nephrol Dial Transplan 1996; 11: 1542-46.
35.Garibotto G, Verzola D, Tosetti F, Gandolfo MT. Gender and progression of
36.O’Hare A, Choi A, Berthental D et al. Age affects outcomes in chronic kidney disease. J Am Soc Nephrol 2007; 18: 2758-65.