• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis dengan Xerostomia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis dengan Xerostomia"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS

YANG MENJALANI HEMODIALISIS DENGAN

XEROSTOMIA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

syarat memperoleh sarjana kedokteran gigi

OLEH:

IVAN POLTAK SITOMPUL

NIM: 100600092

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Penyakit Mulut

Tahun 2014

Ivan Poltak Sitompul

Hubungan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis

dengan Xerostomia

x + 47 halaman

Penyakit ginjal kronis tahap 5 dapat menyebabkan kondisi uremia, yaitu

peningkatan urea dan zat-zat sisa metabolisme di dalam darah. Hal inilah yang dapat

menyebabkan berbagai manifestasi pada tubuh, termasuk juga manifestasi di rongga

mulut. Salah satu manifestasi di rongga mulut yang paling sering adalah xerostomia.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pasien penyakit ginjal kronis

yang menjalani hemodialisis dengan xerostomia. Rancangan penelitian ini adalah

penelitian analitis dengan pendekatan penelitian cross-sectional. Sampel pada

penelitian adalah pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di Klinik

Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan dengan total sampel 89 orang. Pasien

yang bersedia menjadi subjek penelitian dicatatat data pribadinya (nama, umur, jenis

kelamin) dan lama menjalani hemodialisis dari rekam medis. Lalu dilakukan

pengumpulan saliva dengan metode spitting. Xerostomia dapat ditegakkan apabila

saliva yang dikumpulkan <0,1 mL/menit. Data yang bersifat univariat dianalisis

secara manual dan data yang bersifat bivariat dianalisis dengan menggunakan sistem

(3)

pasien hemodialisis terdapat 66 orang mengalami xerostomia sedangkan subjek yang

tidak mengalami xerostomia sebanyak 23 orang. Subjek laki-laki berjumlah 59 orang,

di antaranya subjek yang mengalami xerostomia sebanyak 44 orang dan subjek yang

tidak mengalami xerostomia sebanyak 15 orang, sedangkan dari 30 subjek perempuan

yang mengalami xerostomia sebanyak 22 orang dan yang tidak mengalami

xerostomia sebanyak 8 orang. Subjek yang berusia 30-59 tahun yang mengalami

xerostomia sebanyak 28 orang dan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 21

orang. Subjek usia ≥ 60 tahun yang mengalami xerostomi a sebanyak 38 orang dan subjek yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 2 orang. Subjek yang menjalani

hemodialisis jangka pendek (3-60 bulan) dan mengalami xerostomia sebanyak 31

orang, sedangkan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 22 orang. Subjek yang

menjalani hemodialisis jangka panjang (>60 bulan) yang mengalami xerostomia

sebanyak 35 orang dan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 1 orang.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara lama

menjalani hemodialisis dengan xerostomia pada pasien penyakit ginjal kronis.

Terdapat hubungan antara usia dengan xerostomia pada pasien hemodialisis, tetapi

tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan xerostomia pada pasien

hemodialisis.

(4)

HUBUNGAN PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS

YANG MENJALANI HEMODIALISIS DENGAN

XEROSTOMIA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

syarat memperoleh sarjana kedokteran gigi

OLEH:

IVAN POLTAK SITOMPUL

NIM: 100600092

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan

di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 4 Juni 2014

Pembimbing: Tanda tangan

Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM ...

(6)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji

pada tanggal 4 Juni 2014

TIM PENGUJI

KETUA : Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM

ANGGOTA : 1. Nurdiana, drg., Sp.PM

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan

laporan hasil penelitian ini yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan

gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Universitas Sumatera Utara.

Rasa terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua

tercinta, Ayahanda dan Ibunda Penulis, Sam H. Sitompul, SE dan Frieda Kodrat yang

senantiasa memberi dukungan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya

kepada semua pihak yang telah turut serta membantu penulis menyelesaikan laporan

hasil penelitian ini, di antaranya kepada:

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Sayuti Hasibuan, drg., Sp. PM selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit

Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan dosen pembimbing

skripsi yang telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan petunjuk dan

pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

3. Nurdiana, drg., Sp. PM dan Indri Lubis, drg. selaku dosen penguji yang

telah memberikan saran dan masukan yang membangun untuk penelitian ini.

4. Irma Ervina, drg., Sp. Perio selaku dosen pembimbing akademik penulis

yang telah banyak membantu, membimbing, dan memberi nasehat yang berharga

selama penulis menjalani masa studi di perkuliahan.

5. Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH selaku direktur Klinik Spesialis

Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan.

6. Dr. Heri Farnas dan dr. Riri Andri Muzasti M.Ked (PD), Sp.PD serta

seluruh staf Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan yang telah

(8)

7. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Sumatera Utara, khususnya Departemen Ilmu Penyakit Mulut.

8. Pepita Nesi Ginting, yang senantiasa memberi motivasi dan dukungan

kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat penulis, Brian Merchantara Winato, Joseph Dede Hartanta

Ginting, Vincent Gomulia, Rizki Annisa Lubis dan Jessica Forsythia Fa.

10. Teman-teman seperjuangan di Departemen Ilmu Penyakit Mulut Intan,

Athien, Atika, Nunu, Dara, Gohan, Nandra, Fany, dan yang tak bisa disebutkan

satu-persatu oleh penulis

11. Untuk teman-teman penulis Eka, Dendy, Yohanes, Kardo, Iqbal, Sondi,

Tommy, Ojan, Shelly, Faradila, Fatur, Aldrian, Kibon, Affan, Calvin, Jul, Mek,

Pekong, Wendy, Fadli, Raja, Jogo, Yanta, Ones, Nuel, Malavita, Opa Roland dan

teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah membantu,

mendukung dan memberikan semangat kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga hasil karya atau skripsi ini dapat

memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi pengembangan disiplin ilmu di

Fakultas Kedokteran Gigi, khususnya di Departemen Ilmu Penyakit Mulut.

Medan, 4 Juni 2014

Ivan Poltak Sitompul

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ...

HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.2.1. Masalah Umum ... 2

1.2.2. Masalah Khusus ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3

1.4 Hipotesis ... 3

(10)

1.5.1. Manfaat Teoritis ... 3

1.5.2. Manfaat Praktis ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Penyakit Ginjal Kronis ... 5

2.1.1. Definisi ... 5

2.1.2. Etiologi dan Faktor Predisposisi ... 5

2.1.3. Klasifikasi ... 7

2.1.4. Manisfestasi ... 8

2.1.5. Komplikasi ... 9

2.1.6. Perawatan ... 11

2.2 Xerostomia ... 12

2.2.1. Definisi ... 12

2.2.2. Etiologi ... 13

2.2.3. Gejala danTanda ... 15

2.2.4. Diagnosis dan Pemeriksaan ... 15

2.3 Hubungan Hemodialisis dengan Xerostomia ... 16

2.4 Landasann Teori ... 19

2.5 Kerangka konsep ... 20

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Rancangan Penelitian ... 21

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

(11)

3.3.1 Populasi ... 21

3.3.2 Sampel ... 21

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 22

3.4.1 Kriteria Inklusi ... 22

3.4.2 Kriteria Eksklusi ... 23

3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 23

3.5.1 Variabel Bebas ... 23

3.5.2 Variabel Terikat ... 23

3.5.3 Variabel Terkendali ... 23

3.5.4 Variabel Tidak Terkendali ... 23

3.5.5 Definisi Operasional ... 23

3.6 Alat dan Bahan Penelitian ... 24

3.6.1 Alat ... 24

3.6.2 Bahan ... 24

3.7 Metode Pengumpulan Data ... 24

3.8 Pengolahan dan Analisis Data ... 25

3.8.1 Pengolahan Data ... 25

3.8.2 Data Univariat ... 25

3.8.3 Data Bivariat ... 25

3.9 Etika Penelitian ... 26

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 27

4.1 Gambaran Umum Sampel Penelitian ... 27

(12)

BAB 5 PEMBAHASAN ... 31

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Penyebab gagal ginjal di Indonesia... 6

2 Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan derajat

penyakit... 7

3 Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronis sesuai

derajatnya... ... 11

4 Distribusi dan frekuensi pasien penyakit ginjal kronis

yang menjalani hemodialisis berdasarkan jenis kelamin... 27

5 Distribusi dan frekuensi pasien penyakit ginjal kronis yang

menjalani hemodialisis berdasarkan usia... 27

6 Distribusi dan frekuensi pasien penyakit ginjal kronis yang

menjalani hemodialisis dengan xerostomia... 28

7 Tabulasi silang antara jenis kelamin dengan xerostomia pada

pasien hemodialisis... 28

8 Tabulasi silang antara usia dengan xerostomia pada pasien

hemodialisis... 29

9 Tabulasi silang antara lama menjalani hemodialisis dengan

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian

2. Lembar persetujuan subjek penelitian

3. Lembar pemeriksaan pasien

4. Surat persetujuan komisi etik

5. Surat keterangan penelitian

6. Output penelitian

(16)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Penyakit Mulut

Tahun 2014

Ivan Poltak Sitompul

Hubungan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis

dengan Xerostomia

x + 47 halaman

Penyakit ginjal kronis tahap 5 dapat menyebabkan kondisi uremia, yaitu

peningkatan urea dan zat-zat sisa metabolisme di dalam darah. Hal inilah yang dapat

menyebabkan berbagai manifestasi pada tubuh, termasuk juga manifestasi di rongga

mulut. Salah satu manifestasi di rongga mulut yang paling sering adalah xerostomia.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pasien penyakit ginjal kronis

yang menjalani hemodialisis dengan xerostomia. Rancangan penelitian ini adalah

penelitian analitis dengan pendekatan penelitian cross-sectional. Sampel pada

penelitian adalah pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di Klinik

Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan dengan total sampel 89 orang. Pasien

yang bersedia menjadi subjek penelitian dicatatat data pribadinya (nama, umur, jenis

kelamin) dan lama menjalani hemodialisis dari rekam medis. Lalu dilakukan

pengumpulan saliva dengan metode spitting. Xerostomia dapat ditegakkan apabila

saliva yang dikumpulkan <0,1 mL/menit. Data yang bersifat univariat dianalisis

secara manual dan data yang bersifat bivariat dianalisis dengan menggunakan sistem

(17)

pasien hemodialisis terdapat 66 orang mengalami xerostomia sedangkan subjek yang

tidak mengalami xerostomia sebanyak 23 orang. Subjek laki-laki berjumlah 59 orang,

di antaranya subjek yang mengalami xerostomia sebanyak 44 orang dan subjek yang

tidak mengalami xerostomia sebanyak 15 orang, sedangkan dari 30 subjek perempuan

yang mengalami xerostomia sebanyak 22 orang dan yang tidak mengalami

xerostomia sebanyak 8 orang. Subjek yang berusia 30-59 tahun yang mengalami

xerostomia sebanyak 28 orang dan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 21

orang. Subjek usia ≥ 60 tahun yang mengalami xerostomi a sebanyak 38 orang dan subjek yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 2 orang. Subjek yang menjalani

hemodialisis jangka pendek (3-60 bulan) dan mengalami xerostomia sebanyak 31

orang, sedangkan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 22 orang. Subjek yang

menjalani hemodialisis jangka panjang (>60 bulan) yang mengalami xerostomia

sebanyak 35 orang dan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 1 orang.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara lama

menjalani hemodialisis dengan xerostomia pada pasien penyakit ginjal kronis.

Terdapat hubungan antara usia dengan xerostomia pada pasien hemodialisis, tetapi

tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan xerostomia pada pasien

hemodialisis.

(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penyakit ginjal kronis merupakan kondisi menurunnya fungsi ginjal yang

memerlukan terapi pengganti ginjal, seperti dialisis atau transplantasi ginjal.

Penduduk dunia yang menjalani terapi pengganti ginjal pada tahun 2001 cukup

tinggi, yaitu sekitar 1,4 juta orang. Diprediksikan angka penderita penyakit ginjal

kronis derajat 5 ini akan meningkat 8% setiap tahunnya.1 Di negara maju seperti

Amerika Serikat, penyakit ginjal kronis adalah penyebab kematian nomor delapan.

Penyakit ginjal kronis menyerang dunia secara global, dan sedang mengalami

peningkatan terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia.2 Di Indonesia,

jumlah pasien penyakit ginjal kronis derajat 5 bertambah dengan sangat cepat.

Prevalensi pasien yang menjalani hemodialisis pada tahun 2002 adalah sebanyak 1.425

kasus per satu juta penduduk dan meningkat menjadi 3.079 kasus per satu juta penduduk

pada tahun 2006.3

Penyakit ginjal kronis derajat 5 dapat menyebabkan kondisi uremia, yaitu

peningkatan urea dan zat-zat sisa metabolisme di dalam darah. Hal inilah yang dapat

menyebabkan berbagai manifestasi pada tubuh, termasuk juga manifestasi di rongga

mulut. Salah satu manifestasi di rongga mulut yang tersering adalah xerostomia.4

Xerostomia adalah perasaan kekeringan oral yang subjektif. Xerostomia pada pasien

hemodialisis biasanya diikuti dengan berbagai keluhan, seperti masalah pengunyahan,

menelan, berbicara, dan pengecapan makanan. Hal ini dapat menyebabkan

peningkatan risiko penyakit oral seperti lesi di mukosa, gingiva, dan lidah; infeksi

bakteri dan jamur, karies, dan penyakit periodontal. Xerostomia sering dijumpai pada

pasien penyakit ginjal kronis derajat 5 karena adanya batasan masukan cairan, efek

samping obat-obatan terutama obat antihipertensi dan efek uremia terhadap kelenjar

(19)

Pada tahun 2004, Bots et al melakukan penelitian yang mengevaluasi hubungan pasien hemodialisis dengan xerostomia pada 94 subjek. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pasien penyakit ginjal kronis yang

menjalani hemodialisis dengan xerostomia.6 Penelitian yang sama juga dilakukan

oleh Fan pada tahun 2013 terhadap 42 pasien hemodialisis. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan adanya hubungan yang erat antara pasien penyakit ginjal kronis yang

menjalani hemodialisis dengan xerostomia.7 Persentase pasien hemodialisis yang

mengalami xerostomia cukup tinggi, berkisar 32,9%-72,4% dari berbagai penelitian.

Khausik pada tahun 2013 meneliti tentang kondisi rongga mulut pasien hemodialisis

dan dari 100 pasien yang diteliti, 65% pasien setidaknya memiliki satu oral symptoms

dan xerostomia adalah oral symptoms ketiga terbanyak ditemukan, yaitu sebanyak 42% dari populasi.8 Pada tahun 2013, Bruda-Zwiech juga melakukan penelitian yang

sama pada 111 pasien hemodialisis dan menemukan sebanyak 80 orang (71,8%)

pasien hemodialisis tersebut mengalami xerostomia.9

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara

hemodialisis dengan xerostomia, namun dari penelitian tersebut belum menjelaskan

mengenai hubungan lama menjalani hemodialisis dengan xerostomia. Oleh karena

itu, perlu dilakukan penelitian yang melihat hubungan lama menjalani hemodialisis

dengan xerostomia yang akan dilakukan di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi

Rasyida Medan.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Masalah Umum

Apakah terdapat hubungan antara pasien penyakit ginjal kronis yang

menjalani hemodialisis dengan xerostomia?

1.2.2 Masalah Khusus

(20)

2. Apakah terdapat hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan

xerostomia?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara pasien penyakit ginjal kronis yang

menjalani hemodialisis dengan xerostomia.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui prevalensi pasien hemodialisis yang mengalami

xerostomia.

2. Untuk mengetahui hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan

xerostomia.

1.4 Hipotesis

1. Terdapat hubungan antara pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani

hemodialisis dengan xerostomia.

2. Terdapat hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan xerostomia.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Meningkatkan kompetensi keilmuan dan menambah wawasan dalam

bidang kedokteran gigi mengenai xerostomia pada pasien yang menjalani terapi

hemodialisis.

2. Menyediakan data untuk penelitian lanjutan yang berhubungan dengan

(21)

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Untuk menambah informasi kepada para tenaga medis mengenai

keterkaitan antara terapi hemodialisis dengan kondisi di rongga mulut pasien, yaitu

xerostomia sehingga dapat menjalin kerja sama antara dokter gigi dan dokter

umum/dokter spesialis penyakit dalam untuk menangani masalah tersebut.

2. Untuk menambah informasi kepada masyarakat penderita penyakit ginjal

kronis mengenai keterkaitan antara hemodialisis dengan kondisi kesehatan rongga

(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronis

2.1.1 Definisi

Penyakit ginjal kronis adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang

beragam mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progesif dan pada umumnya

berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis

yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat

yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang permanen, berupa dialisis atau

transplantasi ginjal.10

Definisi penyakit ginjal kronis adalah:11

1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari tiga bulan, berupa kelainan

struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus

(LFG) dengan manifestasi kelainan patologis atau terdapat tanda kelainan ginjal,

termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes

pencitraan.

2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60ml/menit/1,73m2 selama tiga

bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

2.1.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi

Penyakit ginjal kronis dapat muncul karena manifestasi penyakit kronis lain,

seperti diabetes mellitus atau hipertensi. Diabetes adalah penyebab paling sering

terjadinya penyakit ginjal kronis dan insidensinya mencapai 33%. Penyakit vaskular

(hipertensi primer) adalah penyebab paling sering kedua gagal ginjal kronis, yang

menyebabkan 21% kasus penyakit ginjal kronis pada dewasa.10 Penyakit lain yang

(23)

1. Penyakit autoimun seperti systemic lupus erythematosus (SLE) dan scleroderma.

2. Kelainan bawaan pada ginjal seperti polycystic kidney disease, dimana terdapat kista berukuran besar di dalam ginjal dan merusak jaringan di sekitarnya.

3. Glomerulonefritis, yaitu penyakit yang menyebabkan inflamasi dan

kerusakan pada bagian filtrasi ginjal. Glomerulonefritis adalah penyebab penyakit

ginjal tersering ketiga terbanyak.

4. Trauma pada ginjal .

5. Obstruksi yang disebabkan oleh batu ginjal, tumor, atau pembesaran

kelenjar prostat pada laki-laki.

6. Infeksi saluran kemih yang berulang.

7. Kelainan pada arteri yang memperdarahi ginjal.

8. Obat-obatan analgesik dan obat-obatan lainnya seperti obat kanker.

9. Reflux nephropathy .

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab

gagal ginjal pada pasien yang menjalani hemodialisis di Indonesia seperti pada tabel

1.

Tabel 1. Penyebab gagal ginjal di Indonesia.10

Penyebab Insiden

Glomerulonefritis 46,39%

Diabetes mellitus 18,65%

Obstruksi dan infeksi 12,85%

Hipertensi 8,46%

Sebab lain 13,65%

Faktor predisposisi penyakit ginjal kronis antara lain:11

1. Faktor kerentanan, yaitu faktor yang menyebabkan seseorang rentan

terhadap penyakit ginjal kronis yaitu usia tua dan adanya riwayat keluarga penderita

(24)

2. Faktor inisiasi, yaitu faktor yang langsung menyebabkan kerusakan pada

ginjal seperti diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit autoimun, infeksi sistemik,

infeksi saluran kemih, obstruksi saluran kemih, dan toksisitas obat.

3. Faktor progresif, yaitu faktor yang dapat memperparah kondisi penyakit

ginjal kronis dan mempercepat penurunan fungsi ginjal seperti kadar proteinuria yang

tinggi, hipertensi berat, kadar gula darah yang tidak terkontrol pada pasien diabetes,

dan merokok.

2.1.3 Klasifikasi

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG yang dihitung

dengan menggunakan rumus Kockfort-Gault sebagai berikut:10

LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140-umur) x Berat Badan

72 x kreatinin plasma (mg/dl)

Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan derajat penyakit.11

Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal

atau meningkat

≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun

ringan 60 – 89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun

sedang

30 – 59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun

berat

15 – 29

(25)

2.1.4 Manifestasi

Pasien penyakit ginjal kronis derajat 1 sampai 3 seringnya tidak memiliki

keluhan atau asimtomatik. Pada tahap awal penyakit ginjal kronis biasanya terdapat

gejala yang tidak spesifik seperti hilangnya nafsu makan, lemah, sakit kepala, rasa

gatal pada kulit, kulit kering, mual, serta penurunan berat badan. Pada penyakit ginjal

kronis derajat 4 dan 5 mulai tampak manifestasi klinis yang signifikan. Pada penyakit

ginjal kronis derajat 5 (gagal ginjal) muncul kumpulan gejala yang disebut sindrom

uremia yang disebabkan oleh penumpukan toksin pada tubuh.10,11,12 Sindrom uremia

muncul terutama pada pasien yang tidak teratur menjalani terapi hemodialisis

seperti:13

1. Gangguan cairan dan elektrolit

- Hiponatremia

- Hiperkalemia

- Hiperfosfatemia

2. Gangguan endokrin-metabolik

- Amenorrhea

- Infertil dan disfungsi seksual

- Hiperurisemia

4. Manifestasi kardiovaskular dan pulmonal

- Hipertensi

- Perikarditis

(26)

- Kalsifikasi vaskular

5. Manifestasi pada kulit

- Pucat

7. Gangguan hemotologi dan imunologi

- Anemia

Menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) berhubungan erat dengan kejadian

komplikasi pada sistem organ tubuh. Semakin menurun LFG maka semakin berat

juga komplikasi yang terjadi.10 Komplikasi yang terjadi pada pasien penyakit ginjal

kronis antara lain:12,14

1. Anemia

Anemia adalah kondisi kekurangan sel darah merah. Anemia dapat ditegakkan

dengan pemeriksaan hemoglobin berdasarkan jenis kelamin, yaitu pada laki-laki

apabila dibawah 13,5 gr/dL dan pada perempuan apabila dibawah 12 gr/dL. Sebanyak

50% pasien penyakit ginjal kronis mengalami anemia. Anemia dapat terjadi pada

setiap tingkat penyakit ginjal kronis dan mempunyai hubungan yang erat dengan

(27)

folat, dan vitamin B12 tetapi etiologi yang paling berperan adalah karena

menurunnya sintesis eritropoietin. Eritropoietin adalah glikoprotein yang disekresikan

di ginjal yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan dan diferensiasi sel darah

merah di sum-sum tulang.

2. Gangguan pada tulang dan metabolisme mineral

Gangguan pada tulang dibagi menjadi dua kategori yaitu turnover tulang yang rendah dan turnover tulang yang tinggi. Pada pasien pre-dialisis, paling banyak mengalami turnover tulang yang tinggi karena peningkatan hormon paratiroid sehingga meningkatkan resorpsi tulang serta meningkatkan kadar kalsium dalam

darah. Keadaan ini dapat menyebabkan kalsifikasi vaskular yang merupakan faktor

risiko utama penyakit kardiovaskular pada pasien penyakit ginjal kronis. Resorpsi

tulang yang meningkat dan terus menerus dapat menyebabkan fibrosis dan

pembentukan kista pada tulang. Kondisi ini juga dapat menyebabkan gejala seperti

nyeri pada tulang bahkan tumor pada kasus yang berat. Hormon paratiroid adalah

toksin uremia dan apabila kadarnya meningkat dalam darah dapat menyebabkan

kelemahan otot dan fibrosis pada jaringan otot. Sebaliknya, pada pasien dialisis lebih

dominan mengalami turnover tulang yang rendah dengan penurunan hormon paratiroid. Hal ini akan menyebabkan akumulasi dari matriks tulang yang tidak

termineralisasi, penurunan volume tulang, peningkatan insidensi fraktur dan

berhubungan dengan peningkatan vaskular dan kalsifikasi.

3. Penyakit jantung

Penyakit jantung dapat menjadi penyebab sekaligus komplikasi dari penyakit

ginjal kronis. Kejadian komplikasi ini sering dikaitkan dengan hiperfosfatemia dan

hiperkalsemia yang menyebabkan kalsifikasi vaskular. Komplikasi pada jantung

sering kali berkembang menjadi gagal jantung kongestif.

4. Dislipidemia

Dislipidemia merupakan faktor risiko utama morbiditas dan mortalitas

kardiovaskular dan komplikasi ini paling sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal

kronis. Umumnya, peningkatan hiperlipidemia, hipertrigliseridemia, dan LDL

(28)

aktivitas lipoprotein lipase dan trigliserida lipase. Beberapa penelitian mendapat

bahwa kondisi hiperparatiroid juga dapat meningkatan keparahan dislipidemia.

5. Gangguan nutrisi

Pasien penyakit ginjal kronis memiliki kebutuhan nutrisi yang berbeda dan

adanya gangguan metabolisme protein, air, garam, dan potasium. Perubahan ini dapat

menyebabkan penghasilan energi yang tidak efektif walaupun dengan asupan protein

dan karbohidrat yang cukup.

2.1.6 Perawatan

Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya

seperti pada tabel 3.

Tabel 3. Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronis sesuai derajatnya.10

Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana tatalaksana

1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,

evaluasi pemburukan fungsi ginjal,

memperkecil risiko kardiovaskular

2 60 – 89 Menghambat pemburukan fungsi ginjal

3 30 – 59 Evaluasi dan terapi komplikasi

4 15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5 < 15 atau dialisis Terapi pengganti ginjal

Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal dengan tujuan

mengeluarkan sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan air

dan elektrolit. Hemodialisis terbukti sangat bermanfaat dalam memperpanjang usia

dan meningkatkan kualitas hidup penderita penyakit ginjal kronis derajat 5. Dalam

suatu proses hemodialisis, darah penderita dipompa oleh mesin ke dalam

kompartemen darah pada dialyzer. Dialyzer mengandung ribuan serat sintesis yang berlubang kecil di tengahnya. Darah mengalir ke dalam lubang serat, sedangkan

(29)

ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi terjadi dengan cara meningkatkan tekanan hidrostatik

melintasi membran dialsisis dengan cara menerapkan tekanan negatif ke dalam

kompartemen.15

Indikasi hemodialisis antara lain sebagai berikut:16

1. Asidosis metabolik yang sulit dikoreksi

2. Uremia > 200mg/dL

3. Hiperkalemia > 7 mEq/L

4. Kelebihan cairan

5. Encephalopati uremikum

6. Intoksikasi obat

7. LFG < 15 mL/menit/1,73m2

Masalah yang paling sering dialami oleh pasien hemodialisis berkaitan

dengan akses vaskuler seperti trombosis fistula, pembentukan aneurisma, dan infeksi

terutama dengan graft sintetik atau akses vena sentral sementara. Infeksi sistemik

dapat timbul pada lokasi akses atau didapat dari sirkuit dialisis. Transmisi infeksi

yang ditularkan melalui darah seperti virus hepatitis dan HIV merupakan suatu

bahaya potensial.17

Pada dialisis jangka panjang, deposit protein amiloid dialisis yang

mengandung mikroglobulin dapat menyebabkan sindrom terowongan karpal dan

artropati destruktif dengan lesi tulang kistik. Senyawa pengikat fosfat yang

mengandung aluminium dan kontaminasi aluminium dari cairan dialisat dapat

menyebabkan toksisitas aluminium dengan demensia, mioklonus, kejang, dan

penyakit tulang.17

2.2 Xerostomia 2.2.1 Definisi

Xerostomia berasal dari bahasa Yunani, yaitu xeros yang artinya kering, dan stoma yang artinya mulut.18 Xerostomia merupakan kumpulan keluhan subjektif

(30)

Gambar 1. Xerostomia20

2.2.2 Etiologi

Xerostomia yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:

1. Efek samping obat

Xerostomia dapat disebabkan oleh efek samping dari pengobatan tertentu.

Beberapa obat tersebut seperti obat-obatan kardiovaskular, analgesik, psikiatrik, dan

endokrinologi. Obat-obatan ini memiliki sifat antikolinergik atau simpatomimetik

yang dapat menurunkan laju aliran saliva sehingga dapat meningkatkan kadar asam di

mulut. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya karies.21

2. Radiasi pada daerah leher dan kepala

Terapi radiasi pada daerah kepala dan leher untuk perawatan kanker terbukti

dapat mengakibatkan rusaknya struktur kelenjar saliva dengan berbagai derajat

kerusakan pada kelenjar saliva yang terkena radioterapi.18,22 Jaringan saliva sangat

rentan terhadap radiasi, dan kelenjar parotis yang paling mudah rusak. Dosis radiasi

terendah sebesar 20 Gy dapat menyebabkan penghentian permanen laju aliran saliva

jika diberikan sebagai dosis tunggal. Pada dosis di atas 52 Gy, disfungsi saliva

menjadi parah. Pengobatan karsinoma mulut konvensional melibatkan pemberian

dosis 60 Gy sampai 70 Gy dan ini dapat menyebabkan penurunan aliran secara cepat

(31)

3. Penyakit kelenjar saliva

Terdapat beberapa penyakit lokal tertentu yang dapat mempengaruhi kelenjar

saliva dan menyebabkan berkurangnya aliran saliva. Penyakit tersebut antara lain

inflamasi kelenjar saliva akut dan kronik (sialadenitis), tumor ganas maupun jinak,

sindroma Sjogren, dan penyakit sistemik.18 Sialadenitis kronis lebih sering

mempengaruhi kelenjar submandibula dan parotis. Penyakit ini menyebabkan

degenerasi dari sel asini dan penyumbatan duktus. Kista dan tumor kelenjar saliva,

baik yang jinak maupun ganas dapat menyebabkan penekanan pada struktur-struktur

duktus dari kelenjar saliva dan dengan demikian mempengaruhi sekresi saliva.23

Sindroma Sjogren adalah penyakit gangguan autoimun jaringan ikat. Pada dasarnya

yang dipengaruhi adalah kelenjar air mata dan kelenjar saliva. Sel-sel asini kelenjar

saliva rusak karena infiltrasi limfosit sehingga sekresinya berkurang.18,23 Xerostomia

juga dapat terjadi pada gangguan penyakit sistemik seperti demam, diare terlalu lama,

diabetes mellitus, gagal ginjal, dan penyakit sistemik lainnya.23

4. Usia

Xerostomia merupakan masalah umum pada usia lanjut.24 Keadaan ini

disebabkan oleh adanya perubahan atropi pada kelenjar saliva sesuai dengan

pertambahan umur yang akan menurunkan produksi saliva dan mengubah

komposisinya. Seiring dengan meningkatnya usia, terjadi proses aging. Terjadi

perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva, dimana kelenjar parenkim hilang,

dan akan digantikan oleh jaringan ikat dan lemak. Keadaan ini mengakibatkan

pengurangan jumlah salliva.23 Perubahan atropi yang terjadi di kelenjar submandibula

sesuai dengan pertambahan usia juga akan menurunkan produksi saliva dan

mengubah komposisinya.18

5. Keadaan fisiologi

Pada saat berolahraga, atau berbicara yang lama dapat menyebabkan

berkurangnya aliran saliva sehingga mulut terasa kering. Gangguan emosional,

seperti stress, putus asa, dan rasa takut dapat merangsang terjadinya pengaruh saraf

simpatis dari sistem saraf otonom dan menghalangi sistem saraf parasimpatis

(32)

Bernafas melalui mulut juga akan memberikan pengaruh mulut kering.2

2.2.3 Gejala dan Tanda

Individu yang menderita xerostomia sering mengeluhkan masalah dalam

makan, berbicara, menelan, dan pemakaian gigi tiruan. Makanan yang kering

biasanya sulit dikunyah dan ditelan. Pasien yang menderita xerostomia dapat

mengeluhkan gangguan pengecapan, rasa sakit pada lidah seperti terbakar, dan

peningkatan kebutuhan untuk minum air, terutama pada malam hari. Pasien

xerostomia yang memakai gigi tiruan mengalami masalah dengan retensi gigi tiruan,

lesi akibat gigi tiruan, dan lidah lengket pada palatum.25

Xerostomia menyebabkan keringnya selaput lendir. Mukosa mulut menjadi

kering, mudah mengalami iritasi dan infeksi. Keadaan ini disebabkan oleh karena

tidak adanya daya lubrikasi dan proteksi dari saliva. Rasa pengecapan dan proses

berbicara juga akan terganggu. Kekeringan pada mulut menyebabkan fungsi

pembersih saliva berkurang, sehingga terjadi radang dari selaput lendir yang disertai

keluhan mulut seperti terbakar. Selain itu, fungsi bakteri dari saliva pada penderita

xerostomia akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya karies gigi.25

Xerostomia dapat mengakibatkan peningkatan karies dental, eritema mukosa

oral, pembengkakan kelenjar parotid, angular chelitis, mukositis, inflamasi atau ulser

pada lidah dan mukosa bukal, kandidiasis, sialadenitis, halitosis, ulserasi pada rongga

mulut.25 Mukosa pada mulut dan lidah bisa tampak kering dan pecah-pecah. Karies

gigi, akumulasi plak, gingivitis, dan periodontitis adalah umum pada pasien dengan

hipofungsi kelenjar saliva yang signifikan. Infeksi seperti kandidiasis mulut,

pembesaran kelenjar dari sialadenitis umumnya terlihat pada pasien dengan

hipofungsi kelenjar saliva moderat sampai berat.20

2.2.4 Diagnosis dan Pemeriksaan

Diagnosis dari xerostomia dilakukan berdasarkan anamnesa terarah dan dapat

juga dilakukan dengan mengukur laju aliran saliva total yaitu dengan saliva

(33)

diagnostik dan tujuan penelitian tertentu. Fungsi kelenjar saliva dapat dibedakan

dengan teknik pengukuran tertentu. Laju aliran saliva dapat dihitung melalui kelenjar

saliva mayor, individual, atau melalui campuran cairan dalam rongga mulut yang

disebut saliva murni.26

Metode utama untuk mengukur saliva murni yaitu metode draining, spitting,

suction, dan swab. Metode draining bersifat pasif dan membutuhkan pasien untuk

memungkinkan saliva mengalir dari mulut ke dalam tabung dalam suatu masa waktu.

Metode suction menggunakan sebuah aspirator atau penghisap saliva untuk mengeluarkan saliva dari mulut ke dalam tabung pada periode waktu yang telah

ditentukan. Metode swab menggunakan gauze sponge yang diletakkan dalam mulut pasien dalam waktu tertentu. Metode spitting dilakukan dengan membiarkan saliva untuk tergenang di dalam mulut dan meludah ke dalam suatu tabung setiap 60 detik

selama 2-5 menit.26

Untuk mengukur saliva total, maka tidak diperkenankan makan dan minum

dalam kurun waktu 90 menit sebelum dilakukan pengukuran laju aliran saliva. Laju

aliran saliva yang diukur adalah laju aliran saliva tanpa stimulasi dan terstimulasi.

Laju aliran saliva tanpa stimulasi < 0,1 mL/menit dan laju aliran saliva terstimulasi <

1,0 mL/menit adalah merupakan indikasi xerostomia.26 Riwayat kesehatan

keseluruhan yang mencakup penggunaan obat diikuti dengan pemeriksaan klinis yang

diperlukan untuk menetapkan diagnosis. Selanjutnya tes seperti evaluasi serologi,

pencitraan kelenjar ludah seperti sialografi, dan scintigraphy, dan evaluasi sialometrik

juga dapat diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan untuk menentukan

kondisi sistemik mendasar.25

2.3 Hubungan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis dengan Xerostomia

Menurunnya kesehatan gigi dan mulut sering dijumpai pada pasien

hemodialisis. Beberapa penelitian menunjukkan pasien dengan konsentrasi ureum

yang tinggi di dalam darah memiliki resiko yang lebih besar memiliki lesi di mulut.

(34)

penderita penyakit lain sepertti diabetes mellitus, konsumsi obat-obatan, dan

penurunan fungsi imun yang mempermudah terjadinya infeksi dan inflamasi di

rongga mulut.27

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat kondisi oral pada pasien

hemodialisis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan banyaknya pasien hemodialisis

yang memiliki setidaknya satu atau lebih manifestasi di rongga mulut, seperti

perdarahan pada gingiva, mukosa pucat, stomatitis uremia, ekimosis dan petekie,

sakit pada lidah atau mukosa, bau ureum, dan ulser di rongga mulut.8

Xerostomia pada pasien hemodialisis disebabkan oleh:

1. Batasan asupan cairan

Batasan asupan cairan dilakukan untuk menjaga keseimbangan cairan di

dalam tubuh pasien hemodialisis. Apabila asupan cairan tidak dibatasi, maka akan

mengakibatkan hipertensi, edema paru, dan manifestasi kardiovaskuler. Oleh karena

itu, pasien hemodialisis sering merasa haus yang berlebihan dan memiliki keluhan

mulut kering.9

2. Efek uremia

Uremia adalah sindrom klinis yang ditemukan pada pasien penyakit ginjal

kronis karena adanya retensi urea dan zat-zat sisa metabolisme di dalam darah yang

secara normal dapat diekskresikan melalui urin. Hal inilah yang dapat mempengaruhi

seluruh organ tubuh sehingga menyebabkan manifestasi penyakit ginjal kronis yang

khas, dan salah satunya juga dapat mempengaruhi kelenjar saliva.28 Penelitian yang

dilakukan oleh Epstein menemukan bahwa terdapat konsentrasi urea yang tinggi pada

saliva pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis.29 Pada tahun 2002,

Kaya melakukan penelitian yang menganalisis fungsi kelenjar saliva pada 23 pasien

hemodialisis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya penurunan fungsi

parenkimatosa dan fungsi ekskretori kelenjar submandibula dan parotid pada pasien

penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. Apabila dibandingkan antara

kedua kelenjar tersebut, penurunan fungsi kelenjar parotid lebih parah dibandingkan

dengan kelenjar submandibula. Hal ini disebabkan karena uremia (zat toksik) dalam

(35)

paling banyak terdapat pada kelenjar parotid. Hal inilah yang dapat menyebabkan

penurunan produksi saliva sehingga muncul keluhan xerostomia pada pasien penyakit

ginjal kronis yang menjalani hemodialisis.28

3. Konsumsi obat-obatan

Xerostomia pada pasien hemodialisis semakin diperparah apabila pasien

mengonsumsi obat-obatan, terutama obat anti hipertensi.28 Hal ini disebabkan karena

obat anti hipertensi dapat menyebabkan depresi saraf otonom. Saraf otonom pada

kelenjar saliva berfungsi untuk sekresi kelenjar saliva, tetapi karena adanya depresi

saraf otonom menyebabkan berkurangnya aliran saliva. Mekanisme yang lainnya juga

dapat terjadi apabila obat tersebut bereaksi secara langsung dalam proses seluler.

Obat tersebut dapat langsung memberikan sinyal ke otak untuk menghambat kerja

saraf otonom dalam mengatur sekresi saliva sehingga dapat mengakibatkan

penurunan laju aliran saliva.30

4. Usia lanjut

Pada pasien usia lanjut akan terjadi penurunan fungsi organ tubuh, termasuk

juga kelenjar saliva. Kelenjar saliva pada pasien usia lanjut akan mengalami atropi

(36)

2.4 Kerangka Teori

Pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani

hemodialisis

Uremia

penurunan fungsi kelenjar saliva

Batasan asupan cairan

Konsumsi obat-obatan

Usia lanjut atrofi kelenjar saliva

(37)

2.5 Kerangka Konsep

Xerostomia Lama menjalani

hemodialisis:

- Jangka pendek - Jangka panjang

(38)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah penelitian analitis dengan pendekatan

penelitian cross-sectional. Pada penelitian cross sectional, peneliti melakukan pengumpulan saliva pada pasien hemodialisis hanya diobservasi satu kali pada satu

saat tertentu saja. Jadi peneliti tidak melakukan tindak lanjut terhadap pengumpulan

saliva yang dilakukan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Klinik Spesialisis Ginjal dan Hipertensi Rasyida yang

beralamat di Jalan D.I. Panjaitan No. 144 Medan. Pemilihan Klinik Spesialis Ginjal

dan Hipertensi Rasyida sebagai lokasi penelitian dikarenakan klinik ini merupakan

pusat hemodialisis di Medan, dimana terdapat banyak pasien yang menjalani terapi

hemodialisis dan klinik ini juga memiliki sarana dan rekam medis yang lengkap

sehingga lebih terjangkau bagi peneliti untuk menemukan subjek penelitian. Waktu

penelitian dilakukan pada bulan Maret 2014.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani

hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan.

3.3.2 Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling. Pada

(39)

kriteria inklusi dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan

terpenuhi. Jumlah sampel dalam penelitian ini diambil dengan rumus penaksiran

proporsi populasi dengan ketentuan absolut (simpangan mutlak).31

Keterangan :

n : ukuran sampel yang diperlukan

d : tingkat akurasi (0,1)

P: proporsi populasi yang diambil berdasarkan penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Bots et al yaitu 36,2% (0,362) : nilai kepercayaan 0,95% =1,96

88,72  89 orang

Dari rumus tersebut didapat jumlah sampel minimum adalah 89 orang.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

1. Pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di Klinik

(40)

2. Pasien yang sudah menjalani terapi hemodialisis lebih dari 3 bulan.

3.4.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:

Pasien hemodialisis yang tidak bersedia melakukan pengumpulan saliva.

3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.5.1 Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pasien penyakit ginjal kronis yang

menjalani terapi hemodialisis.

3.5.2 Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah xerostomia.

3.5.3 Variabel Terkendali

Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah usia.

3.5.4 Variabel Tidak Terkendali

Variabel tidak terkendali dalam penelitian ini adalah jenis kelamin.

3.5.5 Definisi Operasional

1. Pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis adalah pasien

penyakit ginjal kronis derajat 5 (LFG < 15 ml/mnt/1,73m2) yang sedang menjalani

hemodialisis dan dapat dilihat dari rekam medik pasien.14

2. Xerostomia dapat diketahui dengan melakukan pengumpulan saliva dengan

metode spitting. Metode spitting dilakukan dengan cara membiarkan saliva untuk tergenang di dalam mulut (non stimulasi) dan diludahkan ke dalam suatu tabung

(41)

dikumpulkan < 0,1 mL/menit.26

3. Lama menjalani hemodialisis adalah lama waktu pasien menjalani

hemodialisis yang dihitung mulai dari inisiasi dialisis sampai saat ini dan dapat dilihat

pada rekam medik pasien. Lamanya terapi hemodialisis dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Hemodialisis jangka pendek: subjek yang telah menjalani terapi

hemodialisis pada rentang 3-60 bulan.

b. Hemodialisis jangka panjang: subjek yang telah menjalani terapi

hemodialisis di atas 60 bulan.

4. Usia adalah perhitungan ulang tahun subjek penelitian dihitung sejak tahun

lahir sampai ulang tahun terakhir saat dilakukan penelitian yang dapat dilihat dari

rekam medik pasien.33

5. Jenis kelamin adalah keadaan kodrati responden sesuai anatomis, yaitu

laki-laki atau perempuan yang dapat dilihat dari rekam medik pasien.33

3.6 Alat dan Bahan Penelitian 3.6.1 Alat

1. Gelas ukur

3.6.2 Bahan

1.Sarung tangan dan masker

2. Larutan sterilisasi

3. Rekam medik

3.7 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data ditujukan kepada pasien yang menjalani terapi

hemodialisis yang diperoleh dari rekam medik pasien yang datang ke ruang

hemodialisis Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan yang dilakukan

mulai pukul 07.00-15.00. Pasien kemudian diberi informasi tentang tujuan penelitian

ini. Setelah pasien setuju menjadi subjek penelitian, pasien diminta menandatangani

(42)

umur, jenis kelamin) dan lama menjalani hemodialisis. Kemudian dilakukan

pengumpulan saliva dengan metode spitting untuk memastikan ada atau tidaknya xerostomia. Pengumpulan saliva ini dilakukan dengan cara meminta pasien untuk

meludahkan ke dalam kontainer saliva setiap 60 detik selama 5 menit. Dapat

ditegakkan xerostomia apabila saliva yang dikumpulkan < 0,1 mL/menit.

3.8 Pengolahan dan Analisis data

3.8.1 Pengolahan Data

Data yang dikumpulkan dari lembar hasil pemeriksaan pasien kemudian

dianalisis sesuai dengan jenisnya. Data yang bersifat univariat dianalisis secara

manual dan data yang bersifat bivariat dianalisis dengan menggunakan sistem

komputerisasi.10

3.8.2 Data Univariat

Analisis univariat (analisis deskriptif) bertujuan untuk mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian.10 Data univariat disajikan dalam bentuk tabel

yang meliputi :

1. Distribusi dan frekuensi pasien hemodialisis berdasarkan jenis kelamin.

2. Distribusi dan frekuensi pasien hemodialisis berdasarkan usia.

3. Distribusi dan frekuensi pasien hemodialisis dengan xerostomia.

3.8.3 Data Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang digunakan terhadap 2 variabel yang

diduga berhubungan atau berkorelasi.31 Data bivariat disajikan dalam bentuk tabel

yang meliputi :

1. Tabulasi silang antara jenis kelamin dengan xerostomia pada pasien

hemodialisis

(43)

3. Tabulasi silang antara lama menjalani hemodialisis dengan xerostomia.

Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji Chi-square (X2) untuk mengetahui hubungan antara hemodialisis dengan xerostomia. Berdasarkan uji statistik tersebut

dapat diputuskan:

a. Menerima Ha (menolak Ho), jika diperoleh nilai X2 hitung > X2 tabel atau

nilai p ≤ α (0,05).

b. Menolak Ha (menerima Ho), jika diperoleh nilai X2 hitung < X2 tabel atau

nilai p > α (0,05).

3.9 Etika Penelitian

Etika penelitian dalam penelitian ini mencakup hal sebagai berikut:

1. Ethical clearance

Peneliti mengajukan persetujuan pelaksanaan penelitian kepada komisi etik

penelitian kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat internasional maupun

nasional.

2. Lembar Persetujuan (Informed Consent)

Peneliti meminta secara sukarela subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian

yang dilakukan. Bagi subjek yang setuju, dimohon untuk menandatangani lembar

persetujuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Data yang terkumpul dalam penelitian ini dijamin kerahasiannya oleh peneliti,

(44)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Sampel Penelitian

Penelitian ini menggunakan subjek sebanyak 89 orang pasien penyakit ginjal

kronis yang menjalani hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida

Medan. Tabel 4 menunjukkan subjek penelitian yang dibagi berdasarkan jenis

kelamin. Pada penelitian ini terdapat 59 orang subjek laki-laki (66,3%) dan 30 orang

subjek perempuan (33,7%).

Tabel 4. Distribusi dan Frekuensi Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani

Hemodialisis Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi (f) Persentase (%)

Laki-laki 59 66,3%

Perempuan 30 33,7%

Total 89 100%

Tabel 5 menunjukkan usia subjek penelitian yang dibagi menjadi dua

kelompok usia, yaitu kelompok usia 30-59 tahun dan usia lansia (≥ 60 tahun). Subjek dengan usia 30-59 tahun sebanyak 49 orang (55,1%) dan usia ≥ 60 tahun sebanyak 40 orang (44,9%).

Tabel 5. Distribusi dan Frekuensi Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani

Hemodialisis Berdasarkan Usia

Usia Frekuensi (f) Persentase (%)

30-59 tahun 49 55,1%

(45)

Total 89 100%

4.2 Frekuensi Xerostomia

Tabel 6 menunjukkan frekuensi subjek penelitian yang mengalami

xerostomia. Mayoritas subjek penelitian mengalami xerostomia yaitu sebanyak 66

orang (74,2%) sedangkan subjek yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 23

orang (25,8%).

Tabel 6. Distribusi dan Frekuensi Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani

Hemodialisis dengan Xerostomia

Xerostomia Frekuensi (f) Persentase (%)

Xerostomia (+) 66 74,2%

Xerostomia (-) 23 25,8%

Total 89 100%

Tabel 7 menunjukkan bahwa dari 59 subjek laki-laki, subjek yang mengalami

xerostomia sebanyak 44 orang (49,4%) dan subjek laki-laki yang tidak mengalami

xerostomia sebanyak 15 orang (16,8%). Subjek perempuan berjumlah 30 orang, di

antaranya subjek yang mengalami xerostomia sebanyak 22 orang (24,8%) dan subjek

yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 8 orang (9%). Hasil uji statistik

menggunakan Pearson chi-square memperlihatkan bahwa nilai signifikansi p = 1,00

atau p > sig α (0,05). Dengan demikian, Ho diterima atau Ha ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan xerostomia

(46)

Tabel 7. Tabulasi Silang antara Jenis Kelamin dengan Xerostomia pada Pasien

Hemodialisis

Jenis Kelamin Xerostomia

Total Nilai p

Tabel 8 menunjukkan subjek penelitian yang berusia 30-59 tahun yang

mengalami xerostomia sebanyak 28 orang (31,4%) dan subjek yang tidak mengalami

xerostomia sebanyak 21 orang (23,6%). Subjek usia ≥ 60 tahun mayoritas mengalami xerostomia yaitu sebanyak 38 orang (42,6%) dan subjek lansia yang tidak mengalami

xerostomia sebanyak 2 orang (2,4%). Hasil uji statistik menggunakan Pearson chi-square memperlihatkan bahwa nilai signifikansi p < 0,001 atau p < sig α (0,05). Dengan demikian, Ho ditolak atau Ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa

terdapat hubungan antara usia dengan xerostomia pada pasien hemodialisis.

Tabel 8. Tabulasi Silang antara Usia dengan Xerostomia pada Pasien Hemodialisis

Usia

Tabel 9 menunjukkan bahwa subjek penelitian yang menjalani hemodialisis

jangka pendek (3-60 bulan) mayoritas mengalami xerostomia yaitu sebanyak 31

orang (34,8%), sedangkan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 22 orang

(47)

tidak mengalami xerostomia sebanyak 1 orang (1,1%). Hasil uji statistik

menggunakan Pearson chi-square memperlihatkan bahwa nilai signifikansi p < 0,001

atau p < sig α (0,05). Dengan demikian, Ho ditolak atau Ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan

xerostomia.

Tabel 9. Tabulasi Silang antara Lama Menjalani Hemodialisis dengan Xerostomia

Lama menjalani

hemodialisis

Xerostomia

Total Nilai p

Ya (%) Tidak (%)

Hemodialisis jangka

pendek (3-60 bulan)

31 34,8% 22 24,7% 59,5%

< 0,001 Hemodialisis jangka

panjang (>60 bulan)

35 39,4% 1 1,1% 40,5%

Total 66 74,2% 23 25,8% 100%

(48)

BAB 5 PEMBAHASAN

Pada penelitian ini terdapat 89 orang subjek yang terdiri dari 59 orang subjek

laki-laki (66,3%) dan 30 orang subjek perempuan (33,7%). Hal ini sesuai dengan

penelitian Jungers et al yang menemukan hasil bahwa insiden penyakit ginjal kronis lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.34 Garibotto et al

menyatakan bahwa hormon seksual mempengaruhi morfologi ginjal dan proses

keparahan penyakit ginjal kronis antara pria dan wanita. Hormon estrogen dapat

melindungi ginjal dari pengaruh radikal bebas pada glomerulus ginjal. Selain itu,

estrogen juga mencegah terjadinya permbesaran glomerulus dan akumulasi matriks

protein ekstraseluler (MPE) sehingga menghambat terjadinya glomerular sklerosis

pada ginjal. Sebaliknya, hormon testosteron bersifat profibrotik yang dapat memicu

deposisi MPE pada sel mesangial glomerulus yang mengakibatkan terjadinya

ekspansi mesangial dan disfungsi ginjal. Beberapa penelitian menemukan bahwa

sel-sel proinflamasi TNF-α dan interleukin 1β lebih tinggi pada sel mesangial pria. Kondisi ini mengindikasikan adanya aksi profibrotik dan proinflamasi dari

testosteron pada ginjal. Hal ini mengakibatkan proses keparahan penyakit ginjal yang

lebih cepat pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.35

Pada penelitian yang dilakukan, didapat pasien penyakit ginjal kronis yang

berusia 30-59 tahun sebanyak 49 orang (55,1%) dan usia ≥ 60 tahun sebanyak 40 orang (44,9%). Terlihat persentase subjek lansia (≥ 60 tahun) lebih kecil

dibandingkan subjek usia 30-59 tahun. O’Hare et al menyatakan insidensi kematian pada penderita penyakit ginjal berhubungan dengan usia. Individu yang berusia lanjut

(≥ 60 tahun) meninggal lebih cepat daripada individu yang berusia lebih muda, walaupun individu tersebut sudah menjalani terapi pengganti ginjal (hemodialisis).

Hal ini menyebabkan persentase individu lansia lebih kecil dibandingkan dengan

(49)

Pada penelitian ini, mayoritas subjek hemodialisis mengalami xerostomia

yaitu sebanyak 66 orang (74,2%) sedangkan subjek yang tidak mengalami xerostomia

sebanyak 23 orang (25,%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Bruda-Zwiech yang menemukan bahwa mayoritas pasien hemodialisis mengalami

xerostomia. Penelitian tersebut menemukan hasil sebanyak 71,8% pasien

hemodialisis mengalami xerostomia.9 Xerostomia pada pasien yang menjalani

hemodialisis diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain adalah adanya batasan

asupan cairan, efek uremia, dan usia lanjut. Batasan asupan cairan pada pasien

hemodialisis adalah faktor yang paling berperan terhadap terjadinya xerostomia.

Batasan asupan cairan harus dilakukan karena apabila tidak, dapat menyebabkan

penumpukan cairan tubuh dimana tubuh tidak mampu mengeluarkan cairan melalui

urin. Tingkat ureum yang tinggi di dalam darah juga dapat mempengaruhi sel-sel

pada kelenjar saliva sehingga menyebabkan penurunan laju aliran saliva. Pada pasien

lanjut usia juga terdapat atrofi pada kelenjar saliva sehingga menyebabkan

berkurangnya volume saliva. Ketiga hal inilah yang dapat menyebabkan xerostomia

pada pasien penyakit ginjal kronis yang sedang menjalani hemodialisis.9,28,30

Pada penelitian ini, dari 59 subjek laki-laki, subjek yang mengalami

xerostomia sebanyak 44 orang (49,4%) dan subjek laki-laki yang tidak mengalami

xerostomia sebanyak 15 orang (16,8%). Dari 30 subjek perempuan, subjek yang

mengalami xerostomia sebanyak 22 orang (24,8%) dan subjek yang tidak mengalami

xerostomia sebanyak 8 orang (9%). Berdasarkan hasil tersebut tampak bahwa

persentase subjek laki-laki yang mengalami xerostomia lebih besar daripada subjek

perempuan. Pada tabel 7 didapat nilai P = 1,00 (P > 0,05) sehingga dapat disimpulkan

tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan xerostomia pada pasien

hemodialisis. Hasil ini sama dengan penelitian Bots et al yang menemukan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan xerostomia. Menurut Bots et al, kebiasaan merokok dan minum alkohol pada laki-laki merupakan faktor resiko yang

turut berperan serta terhadap timbulnya xerostomia pada pasien hemodialisis.6 Pada

penelitian ini, peneliti tidak menganalisis faktor resiko tersebut pada subjek

(50)

laki-laki yang menjalani hemodialisis.

Pada penelitian ini, subjek yang berusia 30-59 tahun yang mengalami

xerostomia sebanyak 28 orang (31,4%) dan subjek yang tidak mengalami xerostomia

sebanyak 21 orang (23,6%). Subjek usia ≥ 60 tahun mengalami xerostomia yaitu sebanyak 38 orang (42,6%) dan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 2 orang

(2,4%). Didapatkan hasil bahwa persentase pasien hemodialisis berusia ≥ 60 tahun yang mengalami xerostomia lebih besar dibandingkan dengan xerostomia pada pasien

hemodialisis yang berusia 30-59 tahun. Pada tabel 8 didapat nilai p < 0,001 (p < 0,05)

sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan antara usia dengan xerostomia pada

pasien hemodialisis. Hal ini disebabkan karena pada pasien usia lanjut (usia ≥ 60 tahun) terjadi penurunan fungsi organ tubuh, termasuk juga penurunan fungsi kelenjar

saliva. Kelenjar saliva pada pasien usia lanjut akan mengalami atropi sehingga

terdapat penurunan laju aliran saliva yang menyebabkan xerostomia.28

Pada penelitian ini, subjek yang menjalani hemodialisis jangka pendek (3-60

bulan) mayoritas mengalami xerostomia yaitu sebanyak 31 orang (34,8%), sedangkan

yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 22 orang (24,7%). Sama halnya pada

pasien yang menjalani hemodialisis jangka panjang (>60 bulan) mayoritas mengalami

xerostomia, yaitu sebanyak 35 orang (39,4%) dan yang tidak mengalami xerostomia

sebanyak 1 orang (1,1%). Tingkat kepercayaan pada tabel ini adalah sebesar 0,05.

Pada tabel 9 didapat nilai P < 0,001 (P < 0,05) sehingga dapat disimpulkan terdapat

hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan xerostomia.

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian oleh Postorino et al pada tahun 2003 yang membandingkan laju aliran saliva pada pasien yang menjalani

hemodialisis ≤ 6 tahun dan > 6 tahun. Penelitian tersebut menemukan adanya hubungan antara xerostomia dengan lama menjalani hemodialisis. Pemeriksaan

histopatologi kelenjar saliva pada pasien hemodialisis jangka panjang menemukan

adanya atropi dan fibrosis pada kelenjar saliva yang merupakan faktor utama

terjadinya xerostomia pada pasien hemodialisis jangka panjang.37

Hasil ini juga sesuai dengan pendapat beberapa sumber yang menyatakan

(51)

dengan xerostomia. Xerostomia pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani

hemodialisis disebabkan oleh interaksi dari berbagai faktor, antara lain batasan

asupan cairan, efek uremia, konsumsi obat-obatan, dan usia lanjut. 9,28-9,30 Batasan

asupan cairan harus terus dipatuhi oleh pasien selama menjalani hemodialisis

sehingga pasien sering mengeluh mulut kering dan rasa haus berlebihan.9 Pasien

penyakit ginjal kronis memiliki kadar ureum dan zat-zat toksik yang tinggi di dalam

darah sehingga menyebabkan penurunan fungsi kelenjar saliva.28,29 Konsumsi

obat-obatan, terutama obat antihipertensi dapat menyebabkan depresi saraf otonom yang

menyebabkan berkurangnya sekresi saliva.30 Pasien usia lanjut akan mengalami

atropi pada kelenjar saliva sehingga dapat menyebabkan xerostomia.28

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Bots et al yang membandingkan laju aliran saliva non stimulasi pada pasien dengan lama

hemodialisis ≤ 24 bulan dan 24-60 bulan. Penelitian tersebut menemukan tidak terdapat hubungan antara lama menjalani hemodialisis dengan xerostomia. Perbedaan

tersebut karena kategori hemodialisis jangka panjang yang singkat, yaitu selama

(52)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan

antara lama menjalani hemodialisis dengan xerostomia pada pasien penyakit ginjal

kronis. Terdapat hubungan antara usia dengan xerostomia pada pasien hemodialisis,

tetapi tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan xerostomia pada pasien

hemodialisis.

Penelitian ini dilakukan dengan melihat xerostomia dari lama menjalani

hemodialisis antara 3-60 bulan dan ≥ 60 bulan, diharapkan adanya penelitian lanjutan yang membandingkan laju aliran saliva dari awal menjalani hemodialisis dan pada

beberapa rentang waktu. Hal ini perlu dilakukan agar penurunan laju aliran saliva

pada pasien hemodialisis dapat terlihat dengan jelas. Penelitian ini tidak

mengidentifikasi berbagai faktor risiko yang berperan terhadap timbulnya xerostomia

pada pasien hemodialisis. Untuk itu disarankan adanya penelitian lanjutan yang juga

menganalisis faktor resiko yang mungkin berkaitan dengan terjadinya xerostomia

pada pasien hemodialisis. Diharapkan adanya penelitian lanjutan dengan adanya

batasan usia, yaitu hanya pada subjek yang belum mengalami menopause.

Pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis jangka

pendek maupun jangka panjang disarankan untuk menjaga kebersihan rongga mulut

serta mengunyah permen karet tanpa gula untuk menstimulasi sekresi saliva. Hal ini

dimaksudkan supaya pasien tidak merasa haus terus menerus dan dapat mematuhi

batasan asupan cairan. Selain itu, peningkatan laju aliran saliva juga diharapkan dapat

mengurangi keluhan xerostomia seperti kesulitan berbicara, mengunyah, dan

(53)

DAFTAR PUSTAKA

1. White SL, Chadban SJ, Jan S, Chapman RJ, Cass A. How can we achieve

global equity in provision of renal replacement therapy. Bulletin of the World

Health Organization 2008; 86 (3): 229-37.

2. U.S. Department of Health and Human Services. Kidney Disease Statistic for

the United States 2012: 3-6.

3. Prodjosudjadi W, Suhardjono A. End stage renal disease in Indonesia:

treatment development 2009: 56-7.

4. Haider SR, Tanwir F, Momin AI. Oral aspects of chronic renal failure.

Pakistan Oral & Dental Journal 2013; 33 (1): 12-7.

5. Hamid MJAA, Dummer DC, Pinto LS. Systemic condition, oral findings and

dental management of chronic renal failure patients: general considerations

and case report. Braz Dent J 2006; 17(2): 166-70.

6. Bots CP, Brand HS, Veerman CIE et al. Interdialytic weight gain in patients on hemodialysis is associated with dry mouth and thirst. Kidney International

2004; 66(4): 1662-8.

7. Fan WF, Zhang Q, Luo LH, Niu JY, Gu Y. Study on the clinical significance

and related factors of thirst and xerostomia in maintenance hemodialysis

patients. Kidney Blood Press Res 2013; 374(4-5): 464-74.

8. Khausik A, Reddy SS, Umesh L, Devi BK, Santana N, Rakesh N. Oral and

salivary changes among renal patients undergoing hemodialysis: a

cross-sectional study. Indian J Nephrol 2013; 23(2): 125–9.

9. Bruda-Zwiech A, Joanna S, Rafal Z. Sodium gradient, xerostomia, thirst and

interdialytic excessive weight gain: a possible relationship with

hyposalivation in patients on maintenance hemodialysis. Int Urol Nephrol

2013; 30(2): 45-9.

10.Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit

(54)

11.Levey AS, Eckardt KU, Tsukamoto Y et al. Definition and classification of chronic kidney disease: a position statement from kidney disease: improving

global outcomes (KDIGO). Kidney International 2005; 67: 2089-97.

12.Longo D, Fauci AS, Kasper D et al. Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed., New York: Mc Graw Hill 2008: 1761-71.

13.Murphree DD, Thelen SS. Chronic Kidney Disease in Primary Care. J Am

Board Fam Med 2010; 23 (4): 542-50.

14.Callaghan CAO. Sistem ginjal at a glance. Alih Bahasa. Yasmine E. Jakarta:

Penerbit Erlangga, 2006: 96-8.

15.Himmelfarb J, Ikizler TA. Hemodialysis. N Engl J Med 2010; 36(3): 1833-45

16.Parson FM. Haemodialysis. Postgraduate Medical Journal 1996; 35 (409):

625-30.

17.Thomas R, Kanso A, Sedor JR. Chronic kidney disease and its complications.

Prim Care 2008; 35(2): 329-40.

18.Kidd EAM, Bechal SJ. Dasar-dasar karies. Alih Bahasa. Sumawinata N,

Faruk S. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1992: 67-70.

19.Nagler RM. Salivary glands and the aging process: mechanistic

aspects, health-status medicinal efficacy monitoring. Biogerontology

2004; 5 (4): 223-3

20.Navazesh M, Kumar SKS. Xerostomia: prevalence, diagnosis, and

management. Compendium of Continuing Education in Dentistry 2011: 30-7.

21.Rantonen P. Salivary flow and composition in healthy and diseased adults.

Institute of Dentistry University of Helsinki 2003; 42(4): 16-20.

22.Scully C, Bagan JV. Adverse drug reaction in the orofacial region. Crit Rev

Oral Biol Med 2004; 15 (4): 221-2.

23.Al SKM. Clinical management of salivary deficiency. A Review Article the

Saudi Dental Journal 1992; 3(2): 77-80.

24.Pajukoski H, Meurman JH, Halonen P, Sulkava R. Prevalence of subjective

(55)

in relation to saliva, medication, and systemic diseases. Oral Surg Oral Med

Pral Pathol Oral Radiol Endod 2001; 92: 641-9.

25.Bartels CL. Xerostomia information for dentists: helping patients with dry

mout

Januari 2014)

26.Fox PC, Grisius MM. Salivary gland diseases. Burket’s Oral Medicine

Diagnosis and Treatment. 10th ed., Hamilton: BC Dekker Inc 2003: 253-38.

27.Akar H, Akar CG, Carrero JJ, Stenvinkel P, Lindholm B. Systemic

consequences of poor oral health in chronic kidney disease patients. Clin J

Am Soc Nephrol 2011; (6): 218-26.

28.Kaya M, Cermik TF, Ustun F, Sen S, Berkarda S. Salivary function in patients

with chronic renal failure undergoing hemodialysis. Hell J Nucl Med 2002;

16(2): 117-20.

29.Epstein SR, Mandel I, Scopp IW. Salivary composition and calculus

formation in patients undergoing hemodialysis. J Periodontol 1993; 51: 336–

338.

30.Arunkumar S, Kalappanavar AA, Annigeri RG, Shakuntala. Adverse oral

manifestations of cardiovascular drugs. IOSR-JDMS 2012; 7: 64-71.

31.Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi 4.

Jakarta: Sagung Seto, 2011: 112-113.

32.Depner TA, Daugirdas JT. Hemodialysis adequacy 2006. American Journal of

Kidney Diseases 2006; (48): 16-8.

33.Chang L, Toner BB, Fukudo S et al. Gender, age, society, culture, and the patient perspective in the functional gastrointestinal disorders.

Gastroenterology 2006; 120: 1435-41.

34.Jungers P, Chauveau P, Descamps-Latschka B et al. Age and gender related incidence of chronic renal failure in a French urban area: A prospective

epidemiologic study. Nephrol Dial Transplan 1996; 11: 1542-46.

35.Garibotto G, Verzola D, Tosetti F, Gandolfo MT. Gender and progression of

(56)

36.O’Hare A, Choi A, Berthental D et al. Age affects outcomes in chronic kidney disease. J Am Soc Nephrol 2007; 18: 2758-65.

Gambar

Tabel
Tabel 1. Penyebab gagal ginjal di Indonesia.10
Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan derajat penyakit.11
Tabel 3. Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronis sesuai derajatnya.10
+6

Referensi

Dokumen terkait

material rarnah lingkungan; (d) Dengan menerapkan konsep green building perusalzaan akan nten.fadi bagian dari industri yang bermanfaat bagi

Merupakan suatu proses pengumpulan data daninformasi yang dilakukan dengan cara memberikan seperangkatpertanyaan tertulis kepada responden untuk dijawab. Selanjutnya

• Melalui kegiatan membuat peta persebaran sumber daya hewan atau tumbuhan yang ada di daerahnya, siswa mampu mencari informasi tentang karakteristik lingkungan di

Karakteristik dalam segi intelegensi secara potensial anak tunarungu tidak berbeda dengan intelegensi anak normal pada umumnya, ada yang pandai, sedang dan ada

Karakteristik kadar air biocharcoal serbuk gergaji kayu cempaka adalah 4,05% dan kadar abu biocharcoal adalah sebesar 7,75%.Berat optimum yang diperlukan biocharcoal serbuk

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah terciptanya peta perubahan tata guna lahan yang terdapat pada Sub DAS Karang Mumus, diperoleh hasil pendugaan Nilai Koefisien

Berdasarkan post – kuesioner nomor 5, sebanyak 17 koresponden (26 %) menyatakan bahwa kekurangan dari aplikasi ini adalah lain – lain yaitu seperti tulisan yang kurang jelas,

Pola hias yang sudah dirancang untuk busana atau untuk keperluan lenan rumah tangga dipindahkan terlebih dahulu pada bahan yang akan dihias. Cara memindahkan desain hiasan