I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang
Fenomena remaja yang terjadi di Indonesia khususnya belakangan ini terjadi penurunan atau degredasi moral. Dalam segala aspek moral, mulai dari tutur kata, cara berpakaian dan lainnya. Degradasi moral ini seakan luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang.
Faktor utama yang mengakibatkan degradasi moral remaja ialah perkembangan globalisasi yang tidak seimbang. Virus globalisasi terus menyerang bangsa ini, khususnya pada remaja tetapi banyak orang yang seakan tidak sadar, namun malah mengikutinya. Remaja sering menuntut kemajuan di era global tanpa memandang aspek kesantunan budaya bangsa ini. Ketidak seimbangan itulah yang pada akhirnya membuat moral semakin jatuh dan rusak.
luar dan bertentangan serta tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia maka sudah selayaknya jika para remaja menanggapinya dengan bersikap lebih selektif dan berhati-hati, tidak justru mengikutinya dengan mengabaikan nilai-nilai yang berlaku di Indonesia.
Salah satu pengaruh globalisasi adalah dengan pesatnya teknologi yang berkembang, ikut berkembang pula remaja-remaja di Indonesia. Ada yang berkembang menuju hal yang positif dan adapula yang kebalikannya berkembang menuju hal yang negatif yang akan menjadi penyebab degradasi moral remaja bangsa ini.
Masa remaja merupakan periode peralihan dari masa kanak- kanak ke masa dewasa. Pada masa ini remaja mengalami emosi yang rentan dan labil dalam bersikap. Sehingga remaja sering merasa kesulitan dalam mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalahnya. Namun, untuk meminta bantuan kepada orang tua dan guru-gurunya, remaja merasa bahwa dirinya sudah mandiri dan mampu mengatasi masalah yang dihadapi dengan kemampuannya sendiri. Hal ini senada dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Hurlock.
Remaja sebagai makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial dalam bersikap dan berperilaku tidak akan lepas dari konsep diri yang dimilikinya. Individu akan berkembang dan mengalami peningkatan-peningkatan baik secara fisik maupun psikis sesuai dengan konsep dirinya. Konsep diri adalah pandangan individu terhadap dirinya sendiri yang meliputi pandangan terhadap keadaan fisik dan kualitas dirinya, yang merupakan faktor untuk menentukan sikap dan perilaku individu dalam kehidupannya.
Konsep diri bukanlah merupakan aspek yang dibawa sejak lahir, tetapi merupakan aspek yang dibentuk melalui interaksi individu dalam berbagai lingkungan, baik itu lingkungan keluarga maupun lingkungan lain yang lebih luas. Pada dasarnya konsep diri seseorang terbentuk dari lingkungan pertama yang paling dekat dengan individu, yaitu lingkungan keluarga, tetapi lama kelamaan konsep diri individu akan berkembang melalui hubungan dengan lingkungan yang lebih luas, seperti teman sebaya, lingkungan masyarakat dan sebagainya. Hasil dari interaksi individu dengan lingkungan inilah yang lebih memberikan pengaruh yang besar terhadap konsep diri individu tersebut, terutama pengaruh kelompok teman sebaya (peer group).
individu memandang dirinya, yang akan tampak dari karakter dan seluruh perilakunya. Kesadaran dan pandangan tentang dirinya yang dihayati akan mempengaruhi persepsi seseorang tentang kehidupan maupun perilakunya, apakah persepsi dan perilaku tersebut bersifat positif atau negatif, tergantung pada konsep diri yang positif maupun negatif dari individu tersebut. Individu yang mempunyai konsep diri yang positif akan memandang dunia dan kehidupannya dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan individu yang mempunyai konsep diri yang negatif.
Jika dalam perkembangannya individu mempunyai konsep diri yang positif, maka individu cenderung memandang kehidupannya dengan sikap yang positif, begitu juga sebaliknya individu yang mempunyai konsep diri yang negatif, akan memandang kehidupannya dengan sikap-sikap yang negatif dan jelek, sehingga konsep diri individu yang positif maupun negatif tersebut akan berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan perilaku individu tersebut. Konsep diri maupun negatif pada remaja bisa saja terbentuk karena adanya faktor internal dan keadaan keluarga yang juga merupakan lingkungan awal dalam membentuk konsep diri anak. Keadaan finansial keluarga, keutuhan dan keretakan dalam rumah tangga, keharmonisan keluarga, dan intensitas berkumpulnya keluarga di rumah juga akan mempengaruhi pembentukan konsep diri pada anak.
yang negatif. Konsep diri tersebut bercirikan individu cenderung dipenuhi dengan persepsi dan pandangan-pandangan yang negatif tentang dirinya dalam memahami dan memandang dirinya baik tentang keadaan fisik, kualitas dan kemampuan dalam mencapai harapan dan keberhasilannya serta dalam memandang kehidupannya. Orang yang mempunyai konsep diri cenderung tidak dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat beragam tentang dirinya, sebaliknya seorang yang mempunyai konsep diri yang positif maka ia cenderung dapat memahami segala fakta yang ada pada dirinya.
mempunyai konsep diri yang positif akan dapat memahami dan menerima dirinya dengan baik serta ia bisa memandang bahwa dirinya mampu dan bisa lebih baik dari orang lain.
Berbeda dengan orang yang mempunyai konsep diri yang negatif, dalam memandang keadaan tentang dirinya yang demikian itu ia akan selalu memandang dirinya jelek dan bodoh dibandingkan dengan orang lain. Ia merasa bahwa ia adalah orang yang paling jelek dan tidak mampu melakukan apa pun, baik dalam tugas maupun dalam berhubungan dan bergaul dengan orang lain. Seseorang yang mempunyai konsep diri yang negatif ini akan mempunyai kecenderungan memotret dan menilai dirinya secara negatif, sehingga bentuk sikap dan perilaku yang dimunculkan pun cenderung negatif. Sehingga pada akhirnya individu yang mempunyai konsep diri yang negatif tersebut mempunyai kecenderungan terhambat dalam proses perkembangannya dan tidak mampu dalam melaksanakan tugas perkembangannya dengan baik.
Konsep diri juga memiliki pengaruh yang besar untuk keberhasilan pendidikan seseorang. Ketika seseorang memiliki konsep diri yang bagus dan mampu mengenali dirinya sendiri dengan baik maka akan jauh lebih mudah untuk mencapai prestasi dan targetan-targetan dalam hidupnya. Konsep diri yang baik akan memberikan pengaruh positif pula kepada individu dalam berbagai hal.
individu yang kurang baik dalam menghadapi segala peningkatan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas yang dapat mempengaruhi konsep diri individu tersebut.
Seperti halnya yang terjadi di MTS Negeri Kedondong, selama peneliti melaksanakan observasi di sekolah yang beralamatkan di Jalan H. Aliuddin Kecamatan Kedondong Kabupaten Pesawaran. Berdasarkan kenyataan di lapangan yang diperoleh dari hasil wawancara dengan guru pembimbing, wali kelas dan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa hampir sebagian siswa kelas delapan , khususnya di kelas VIII H mempunyai konsep diri. perilaku salah suai tampak pada sikap dan perilaku siswa yang sering mengeluh terhadap diri sendiri, merasa tidak bermanfaat terhadap orang lain, belum bisa mengerti tentang kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya, merasa pesimis/ tidak mampu apabila disuruh untuk mengerjakan dan menjalankan tugas tertentu, merasa malu dan tidak yakin terhadap dirinya dan tidak mempunyai motivasi untuk berkompetisi dalam berprestasi.
berkaitan dengan perkembangan diri siswa tersebut, sehingga konsep diri siswa tersebut perlu ditingkatkan agar lebih baik dan positif.
Keberhasilan siswa (remaja) dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya bergantung pada kemampuannya dalam memahami dengan baik siapa dirinya. Semakin remaja tersebut bisa memahami dirinya maka dengan kata lain bahwa remaja itu memiliki konsep diri yang positif. Demikian pun, sebaliknya jika remaja tidak mengetahui dan memahami tentang dirinya sendiri maka konsep diri yang dimilikinya adalah konsep diri yang negatif. Jika seseorang cenderung merasa dirinya jauh lebih baik dari orang lain, merasa bahwa tidak memiliki kekurangan maka dapat disimpulkan bahwa ia belum memiliki konsep diri yang positif.
digunakan dalam membantu siswa meningkatkan konsep diri adalah dengan menggunakan pendekatan client centered. Konseling client centered atau konseling yang berpusat pada konseli menekankan kecakapan konseli untuk menentukan hal yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah pada dirinya. Konseling bertujuan untuk membantu konseli agar dapat bergerak kearah keterbukaan, kepercayaan yang lebih besar pada dirinya, keinginan untuk menjadi pribadi yang baik dan dapat meningkatkan spontanitas hidup.
Sesuai dengan tujuan pendekatan client centered adalah salah satunya pengintegrasian kepribadian konseli. Ketika konseli bisa memahami tentang dirinya sendiri maka konseli dapat jauh lebih mudah mencapai tujuan dari pendekatan client centered tersebut. Pendekatan client centered ini menaruh kepercayaan pada konseli memiliki kesanggupan untuk menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapi.
2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:
a. Takut menghadapi tantangan atau persaingan,
b. Tidak berani mengungkapkan pendapat dalam diskusi di kelas, c. Menanggapi kritikan sebagai celaan atas kekurangan yang dimiliki, d. Pesimis terhadap kompetisi atau persaingan, merasa bahwa tidak
memiliki kemampuan dalam bersaing dengan temannya,
e. Sulit memahami kelebihan dan kekurangan diri, memgumpat diri sendiri jika gagal mendapatkan apa yang diinginkan.
3. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas,maka pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu penggunaan konseling dengan pendekatan client centereddalam membantu siswa meningkatkan konsep diri yang dimiliki siswa kelas VIII H MTs Negeri Kedondong Tahun Pelajaran 2011/2012.
4. Perumusan Masalah
B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan konsep diri yang negatif menjadi konsep diri yang positif melalui penggunaan pendekatan konseling client centered.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan konsep-konsep ilmu pada program studi Bimbingan dan Konseling, khususnya tentang penggunaan pendekatan teknik client centereddalam membantu siswa meningkatkan konsep diri.
b. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan pemikiran bagi siswa, guru Bimbingan Konseling dan tenaga kependidikan lainnya agar dapat memahami pentingnya konsep diri dalam proses pembelajaran dan dalam meningkatkan konsep diri yang dimiliki siswa.
3. Kerangka Pikir
kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada penjelasan dibawah ini :
Proses pembentukan konsep diri terbentuk sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Konsep diri seorang anak akan terbentuk menjadi konsep diri positif maupun negatif berawal dari hasil belajar dan pengalaman yang didapatkan dari interaksi dengan lingkungan terdekatnya.
Konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu lain (pudjijogyanti,1995:12).
Siswa usia remaja merupakan masa perkembangan yang merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Rentan banyaknya timbul konflik dalam diri remaja sendiri dalam mengatasi masalahnya disebabkan karena kurangnya pemahaman remaja terhadap dirinya sendiri. Pemahaman yang berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menilai dirinya sendiri baik secara emosional, psikologis, dan fisik.
Salah satu faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah belajar. Belajar merupakan sebuah proses yang berlangsung secara terus menerus sepanjang hidup seseorang. Jadi konsep diri juga bisa didapatkan dari hasil belajar individu dari lingkungan keluarganya, sekolah maupun lingkungan masyarakat secara luas.
Dalam proses pembelajaran di sekolah, konsep diri yang dimiliki siswa menentukan keberhasilan yang akan dicapai oleh siswa itu sendiri, hal ini disebabkan siswa tersebut dapat memahami dengan baik siapa dirinya. Menurut Ratnawuri (2007: 14) pemahaman terhadap diri itu berkaitan dengan bagaimana individu memandang dirinya secara positif baik kelebihan maupun kekurangannya. Konsep diri adalah cara bagaimana individu menilai terhadap dirinya sendiri.
Brook dan Emmert menyatakan individu yang mempunyai konsep diri memiliki ciri-ciri :
a. Percaya diri dan merasa setara dengan orang lain
b. Menerima diri apa adanya, mengenal kelebihan dan kekurangan c. Mampu memecahkan masalah dan mampu mengevaluasi diri d. Menyadari bahwa setiap orang memiliki perasaan, keinginan dan
perilaku yang tidak seluruhnya diterima masyarakat e. Bersikap optimis (Rahmat, 1996:105)
kemudian bangkit dan berusaha memecahkan masalah adalah individu yang memiliki konsep diri.
Berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan melalui observasi dan wawancara, siswa kelas VIII H di MTS Negeri Kedondong memiliki konsep diri yang negatif. Mereka cenderung tidak mengenal kekurangan dan kelebihan mereka, merasa tidak percaya diri dan tidak setara dengan teman-temannya. Upaya dalam meningkatkan konsep diri yang negatif tersebut adalah dengan melakukan kegiatan bimbingan konseling.
Dalam hal ini, peneliti mencoba untuk meningkatkan konsep diri yang negatif siswa menjadi konsep diri yang positif menggunakan pendekatan yang ada dalam Bimbingan Konseling yaitu salah satunya dengan melakukan pendekatan client centered karena mampu dalam membantu siswa yang memiliki konsep diri yang negatif meningkat manjadi konsep diri yang positif.
Sebagaimana yang dikemukakan Rogers, bila kenyataan diri kita (apa yang memang benar ada dalam diri kita) dan diri ideal kita (apa yang kita rasakan sebagai seharusnya) sangat berbeda sekali, sangat mungkin kita akan merasa tidak bahagia dengan diri kita sendiri. Semakin besar perbedaan tersebut, semakin besar ketidakpuasan itu. Kesadaran akan prinsip ini akan dapat menolong kita dalam menghadapi ketidakbahagiaan.
Seorang konseli yang mampu menyadari dirinya yang ideal dengan dirinya yang sebenarnya akan mampu mengatasi masalah yang ada dalam hidupnya. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Rogers (dalam sukardi,2002) menyatakan bahwa “konseling yang berpusat pada konseli haruslah dilandasi pemahaman konseli tentang dirinya sendiri”. Jadi, ketika konseli sudah bisa mengenal dirinya baik mengenai kekurangan maupun kelebihannya maka ia bisa mengatasi yang dimilikinya.
Sama halnya sepertinya yang dikemukakan oleh Surya (2003: 51) “konsep pokok yang mendasari konseling berpusat pada konseli adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat kecemasan”
Berikut digambarkan alur kerangka pikir dalam penelitian ini.
Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penggunaan Pendekatan Client Centereddalam Meningkatkan Konsep Diri Siswa
4. Hipotesis
Menurut Riduwan (2005:37) hipotesis adalah jawaban atau dugaan sementara yang harus diuji lagi keberhasilannya melalui penelitian ilmiah atau berdasarkan data yang diperoleh dari sampel penelitian.
Sedangkan menurut Arikunto (2001:62) menyatakan bahwa hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian seperti terbukti melalui data yang terkumpul.
Berdasarkan latar belakang masalah, teori dan kerangka pikir maka hipotesis penelitian yang penulis ajukan adalah konsep diri yang negatif dapat ditingkatkan menjadi konsep diri yang positif dengan penggunaan pendekatan client Centered pada siswa kelas VIII H di MTs Negeri Kedondong Tahun Pelajaran 2011/2012.
Konsep diri yang negatif
KonselingClient Centered
Sedangkan hipotesis statistik yang penulis ajukan adalah:
Ha : Penggunaan pendekatan konseling Client centered dapat meningkatkan konsep diri yang negatif pada siswa kelas VIII H di MTs Negeri Kedondong Tahun Pelajaran 2011/2012
II. TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan dengan ruang lingkup permasalahan yang di teliti dalam penelitian ini maka dapat dijelaskan bahwa tinjauan pustaka adalah teori-teori yang relevan yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang objek yang akan diteliti. Dengan demikian, dalam penelitian diperlukan teori-teori yang mendukung objek yang akan diteliti. Berikut akan dibahas mengenai konsep diri dan seluk beluknya, pelaksanaan layanan bimbingan konseling menggunakan pendekatan client centered dalam meningkatkan konsep diri yang negatif pada siswa, dan kaitan konsep diri dengan pendekatan Client- centered.
A. KONSEP DIRI
1. Pengertian Konsep Diri
Konsepsi-konsepsi manusia mengenani dirinya sendiri mempengaruhi pilihan tingkah laku dan pengharapannya dalam hidup ini.
Cawagas dalam Pudjijogyanti (1995:2) berpendapat bahwa konsep diri merupakan pandangan menyeluruh individu tentang dimensi fisik, karakteristik, pribadi, motivasi, kelemahan, kepandaian maupun kegagalannya.
Cara pandang individu yang meliputi banyak hal yang ada dalam diri individu tersebut berkaitan dengan fisik, psikis maupun kemampuan individu dalam bidang sosial serta harapan harapan individu yang muncul berdasarkan penilaian individu tersebut untuk mewujudkan harapan yang dimilikinya.
Senada seperti yang dikemukakan oleh Candless dalam Pudjijogyanti (1995:7) mendefinisikan bahwa konsep diri merupakan seperangkat harapan serta penilaian perilaku yang merujuk pada harapan-harapan tersebut.
Adapun Brooks dalam Ratnaningsih (2002:11) menyebutkan bahwa konsep diri merupakan pandangan dan perasaan dari diri kita. Perasaan ini boleh bersifat psikologi, sosial dan fisis.
dapat membantu seseorang atau individu dalam mengaktualisasikan diri secara bebas dan bertanggungjawab dalam mencapai suatu tujuan seperti apa yang diharapkan.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Konsep diri dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Keduanya memiliki pengaruhi yang besar terhadap perkembangan konsep diri yang ada dalam diri individu.
2.1 Faktor Internal
Konsep diri juga dipengaruhi faktor internal yaitu faktor yang memang sudah ada dalam diri individu tersebut. Konsep diri memang bukan bawaan dari lahir namun setiap individu sudah punya konsep diri masing-masing yang nantinya akan semakin berkembang dengan dipengaruhi faktor yang lainnya. Contohnya ada individu yang terlahir dengan kondisi memiliki hidung mancung maka konsep diri yang tertanam di dalam individu tersebut adalah ia adalah seseorang yang memiliki hidung mancung yang kemudian konsep diri itu akan semakin menguat dengan pernyataan yang diberikan oleh orang sekitarnya.
2.2 Faktor Eksternal
demikian pembentukan konsep diri dipengaruhi oleh orang lain yang dekat di sekitar kita.
Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri ada 3 yaitu : 2.2.1. Faktor pelaku, terdiri dari :
a. Orang tua
Orang tua kita merupakan kontak sosial paling awal yang kita alami dan yang paling kuat. Informasi yang dikomunikasikan orang tua pada anak akan lebih menancap daripada informasi lain yang diterima anak sepanjang hidupnya dan orang tualah yang menetapkan pengharapan bagi anak-anaknya. Murphy dalam Burns (1993:2004) menyatakan bahwa menurutnya sangat penting untuk menyelamatkan anak dari mendapatkan suatu pandangan mengenai dirinya yang tidak menyenangkan. Konsep diri yang positif pada anak akan tercipta apabila kondisi keluarga ditandai dengan adanya integritas dan tenggang rasa yang positif antar anggota keluarga. Selanjutnya Burn (1993:256) membuktikan bahwa ”ada hubungan erat antara kualitas hubungan orang tua dengan pandangan anak terhadap diri dan lingkungannya”.
b. Teman sebaya
c. Masyarakat
Anak muda tidak terlalu mementingkan kelahiran mereka, kenyataannya bahwa mereka hitam atau putih, anak orang kaya atau bukan, mereka laki-laki atau perempuan. Tetapi masyarakat mereka menganggap penting fakta-fakta semacam itu, akhirnya penilaian ini sampai pada anak dan mempengaruhi konsep dirinya.
2.2.2. Faktor substansi, terdiri dari :
a. Belajar
Konsep diri kita merupakan hasil dari belajar, belajar ini berlangsung terus-menerus tidak pernah kita sadari. Belajar merupakan perubahan psikologis yang relatif permanen yang sebagai akibat dari pengalaman. Dari pengalaman inilah individu dapat mempelajari konsep dirinya.
b. Asosiasi
Manusia menunjukan cenderung untuk berfikir asosiasi yaitu mempelajari hubungan-hubungan antara hal-hal yang berbeda. Proses berfikir dan menilai lewat asosiasi ini merupakan dasar bagi pembentukan konsep diri.
c. Motivasi
penting dalam mempelajari konsep diri adalah keinginan untuk berhasil dan keinginan untuk harga diri.
2.2.3. Pendekatan client- centered
Selain dipengaruhi 2 hal yang dipaparkan diatas konsep diri juga dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal lainnya yaitu pendekatan client-centered dapat meningkatkan konsep diri sebagaimana yang dikemukakan oleh Rogers.
Menurut Rogers (dalam Surya 2003:51) berpendapat bahwa “konstruk inti konseling berpusat pada konseli adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri”.
Seseorang yang faham dan mengenal dirinya dengan baik maka akan sangat mudah melakukan konseling dengan pendekatan client centered.Seorang individu yang mengalami konsep diri yang negatif disebabkan oleh ketidaksesuaian antara harapan yang dibangun dengan kenyataan yang dihadapinya. Sehingga pendekatan client centered memiliki pengaruh yang besar dalam konsep diri karena pendekatan ini bertujuan menyelaraskan antara ideal self dengan actual self.
3. Jenis-jenis Konsep Diri
Jenis-jenis konsep diri ada dua macam yaitu konsep diri yang positif dan konsep diri yang negatif.
a. Menurut James (1995) bahwa konsep diri yang positif adalah pandangan individu tentang dirinya yang bersifat positif, dimana individu menerima tentang kelebihan dan kekurangannya.
Ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri positif adalah : 1) Dapat menerima dan mengenal dirinya dengan baik
2) Dapat menyimpan informasi tentang dirinya sendiri baik itu informasi yang positif maupun yang egatif. Jadi mereka dapat memahami dan menerima fakta bermacam-macam tentang dirinya
3) Dapat menyerap pengalaman mentalnya
4) Apabila mereka memiliki pengharapan selalu merancang tujuan-tujuan yang sesuai dan realistis
5) Selalu memiliki ide yang diberikan pada kehidupannya dan bagaimana seharusnya dirinya mendekati dunia.
6) Individu menyadari bahwa setiap oang memiliki perasan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat.
b. Menurut Rakhmat (1996) menerangkan bahwa ciri orang yang memiliki konsep diri negatif adalah :
2) Individu responsif sekali terhadap pujian yang diberikan oleh orang lain kepadanya.
3) Individu tidak pandai dan tidak sanggup untuk mengungkapkan penghargaan atau pengakuan kelebihan yang dimiliki orang lain.
4) Individu bersikap pesimis terhadap kompetisi, keengganan bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Apabila dikaitkan dengan siswa dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki konsep diri yang positif akan dapat mengenal dirinya dengan baik kelemahan dan kelebihannya sehingga dapat merancang tujuan-tujuan yang sesuai dan realistis, sehingga juga akan lebih bijak dalam menentukan kariernya ke masa mendatang, termasuk berani untuk berwirausaha. Sedangkan siswa yang memiliki konsep diri negatif akan pesimis terhadap kompetisi sehingga enggan memanfaatkan kelebihan dan kekurangannya.
4. Komponen Konsep Diri
Menurut Rakhmat (1996) pada dasarnya konsep diri memiliki tiga komponen yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Komponen perseptual, yang sering disebut konsep diri fisik yaitu citra yang dimiliki seseorang terhadap penampilan jasmaniahnya dan kesan yang ditimbulkannya terhadap orang lain.
c. Komponen sikap, yaitu perasaan yang dimiiki seseorang terhadap dirinya sendiri, sikap terhadap statusnya sekarang maupun hari depannya, sikapnya terhadap harga diri, rasa bangga, rasa malu dan sebagainya. Setelah dewasa, komponen sikap ini juga melibatkan keyakinan, nilai aspirasi, komitmen dan sebagainya yang bisa membentuk falsafah hidupnya.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam konsep diri yang terbentuk pada seseorang terdapat di dalamnya komponen dimana ndividu tersebut memandang dirinya secara fisik, psikologis dan sikap.
5. Isi Konsep Diri
Untuk merumuskan isi dari konsep diri tidaklah mudah, di sini kita berkedudukan sebagai penilai tentang diri kita sendiri, namun demikian secara umum isi konsep diri dapat dirumuskan. Menurut Jerslid dalam penelitiannya terhadap anak di sekolah dasar dan sekolah menengah seperti yang dikutip dalam Burns (1993:209-210) mendiskripsikan isi dari konsep diri adalah sebagai berikut
a. Karakteristik fisik
lain pada tiap individu yang memandangnya hanya dengan melihat keadaan fisiknya. Adanya hal ini yang kadang membuat individu merasa memiliki adanya kekurangan jika dibandingkan dengan orang lain. Jika lingkungan sekitarnya menyanjungnya atau memperhatikan keadaan fisiknya, maka akan timbul konsep diri yang positif, tapi sebaliknya jika lingkungan selalu mempersoalkan keadaan fisiknya maka akan timbul konsep diri yang negatif pada individu.
b. Kesehatan dan kondisi fisik
Manusia hidup pasti selalu memperhatikan kesehatan dan kondisi fisiknya. Jika kedua hal itu terdapat suatu gangguan atau ketidaknormalan, maka akan mengakibatkan ia merasa terganggu dan tidak nyaman, misalnya jika kesehatannya mengalami gangguan misalnya ia mengidap penyakit kronis sulit diobati, maka hal ini akan dapat menimbulkan konsep diri yang negatif, begitu pula yang terjadi pada individu yang memiliki cacat maka dapat pula menimbulkan penilaian individu pada dirinya menjadi negatif. Berbeda degan yang memiliki kesehatan dan kondisi fisik yang sehat dan sempurna, maka individu akan merasa percaya diri jika berinteraksi dengan orang lain atau orang disekitarnya.
c. Sekolah dan pekerjaan sekolah
tidak lupa untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Dari sinilah terlihat bagaimana kemampuan dan sikap individu terhadap sekolah, apakah ia merasa mampu dan berperstasi di sekolah atau ia malah merasa tidak tertarik di sekolah dan ia merasa tidak betah belajar di sekolah, dan hal ini semua akan mempengaruhi konsep dirinya, sebagai contoh jika ada individu yang prestasi belajarnya jelek jika dibandingkan dengan temannya maka ia merasa bahwa ia bodoh dan tidak memiliki kemampuan dan ini akan mempengaruhi konsep dirinya.
d. Status Intelektual
Status intelektual ini berkaitan dengan kecerdasan yang dimiliki oleh individu yang berbeda-beda, ada yang positif dan ada pula yang negatif. Apabila lingkungan mereka mempersoalkan kecerdasan yang dimiliki oleh individu tanpa mereka memberikan motivasi untuk berkembang, maka akan mempengaruhi konsep dirinya, sebagai contoh anak yang memiliki kecerdasan umum negatif selalu dipandang bodoh maka ia akan menjadi anak yang negatif diri dan tidak mau berprestasi
e. Bakat dan kemampuan khusus
maka individu akan menganggap bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan bila dibandingkan dengan orang lain. Maka dapat disimpulkan bahwa bakat dan kemampuan khusus yang dimiliki individu sangat mempengaruhi konsep dirinya.
f. Ciri kepribadian
Ciri kepribadian seseorang tidaklah sama, ciri kepribadian ini berkaitan dengan tempramen, ciri karakter dan tendensi emosional dan lain-lain. Ciri kepribadian seseorang sangatlah mempengaruhi begaimana ia memandang dirinya, misalnya individu yang memiliki sifat mau menang sendiri maka ia akan berpandangan bahwa dirinya harus selalu menang dan tidak mau kalah dengan orang lain dan ini nantinya akan mempengaruhi konsep dirinya.
g. Sikap dan hubungan sosial
Sikap dan hubungan sosial yang dilakukan oleh individu akan mempengaruhinya dan orang-orang disekitarnya, sikap dan hubungannya dengan temannya baik dan mudah bergaul maka akan mengakibatkan orang lain senang berteman dengan dirinya, tapi jika ia bersikap sombong maka orang yang ada disekitarnya akan membencinya dan menjauhinya dan cara bagaimana individu ini tentu saja akan mempengaruhi konsep diri yang ada pada dirinya.
h. Ide religius, minat religius, keyakinan dan praktek religius.
damai. Bagaimana individu bersikap terhadap hal-hal yang religius akan mempengaruhi bagaimana ia memandang dirinya. Jika individu tidak memiliki keyakinan yang kuat terhadap Tuhan dan tidak menjalankan perintahnya , maka individu tidak memiliki iman yang kuat dan dirinya akan mudah goyah dengan keadaan lingkungan yang selalu memberikan pengaruh yang positif dan negatif.
i. Pengolahan peristiwa-peristiwa praktis
Pengolahan peristiwa-peristiwa praktis ini berkaitan dengan bagaimana kemandirian pada individu, dimana hal ini sangat mempengaruhi konsep dirinya, misalnya dalam mengambil keputusan ia selalu dapat mengambil keputusan ia selalu dapat mengambil keputusan yang paling tepat dan sesuai dengan dirinya tanpa bantuan dari orang lain maka ia akan menilai bahwa ia termasuk seseorang yang bisa mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam konsep diri seseorang terdapat isi yang mencerminkan penilaian kita terhadap diri
kita sendiri baik dalam hal keadaan fisik, sikap maupun psikologis.
B. Pendekatan Konseling Client Centered 1. Konsep Pokok
konseli, agar tercapai gambaran yang serasi antara ideal self (diri konseli yang ideal) dengan actual self (diri konseli sesuai dengan kenyataan sebenarnya)”.
Menurut Surya (2003:51) “konsep pokok yang mendasari konseling yang berpusat pada konseli adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat kecemasan”.
Dalam hubungannya dengan aktualisasi diri, Rogers mendefinisikan kecenderungan mewujud sebagai satu kecenderungan yang melekat dalam organisme untuk mengembangkan kapasitasnya dalam cara-cara yang dapat menjamin untuk memelihara atau meningkatkan organisme. Dengan aktualisasi diri berarti bahwa manusia terdorong oleh dorongan pokok
yaitu mengembangkan diri dan mewujudkan potensinya.
Menurut Surya (2003:52) Orang yang dikatakan sehat adalah yang dirinya dapat berkembang penuh (the fully functioning self), dan dapat mengalami proses hidupnya tanpa hambatan. Individu terdorong untuk menjadi dirinya sendiri. Adapun individu yang telah mencapai “fully functioning” ditandai dengan (1) terbuka pada pengalaman, (2) menghidupi setiap
peristiwa secara penuh, (3) mempercayai pertimbangan dan pemilihan sendiri.
Teori kepribadian Rogers (dalam Surya, 2003) yang disebut sebagai “the self theory”dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Yang menjadi inti kepribadian, menurut teori kepribadian Rogers ini adalah (the self), yang terbentuk melalui atau karena pengalaman-pengalaman, baik yang datang dari luar diri individu yang bersangkutan maupun yang datang dari dalam dirinya.
diri yang ia bayangkan, yang ia tangkap, yang ia sendiri atau ia hayati sebagai “saya/ku”. Sedangkan diri yang actual adalah diri yang dipandang oleh/ dari sudut orang lain sebagai “ia/ dia” atau “nya”. c. Kepribadian yang terintegrasi (well adjusted) adalah kepribadian yang
konsisten antara diri yang ideal dengan diri yang aktual. Sedangkan kepribadian yang disintegrasi (maladjusted) adalah kepribadian yang tidak konsisten antara diri yang ideal dengan diri yang aktual; diri subyektif tidak sesuai dengan diri obyektif.
d. Pengubahan kepribadian yang salah suai agar menjadi kepribadian yang well adjusted(kepribadian yang terpadu) hanya dapat dilakukan dengan jalan mengubah gambaran diri yang ideal itu supaya konsisten/ sesuai dengan diri yang aktual.
e. Peranan dan kecenderungan kepribadian ialah mempribadikan diri dalam bentuk perwujudan diri, pemeliharaan diri, dan perluasan diri.
2. Dasar Pandangan Client-CenteredTentang Individu
Menurut Rogers (dalam Sukardi, 2002) mengungkapkan bahwa “konseling client-centeredmemberikan suatu gambaran bahwa proses konseling yang menjadi pusatnya adalah konseli, dan bukan konselor”. Oleh karena itu, dalam proses konseling ini kegiatan sebagian besar diletakkan di pundak konseli itu sendiri. Dalam pemecahan masalah maka konseli itu sendiri didorong oleh konselor untuk mencari serta menemukan cara yang terbaik
dalam pemecahan masalahnya.
a. Dasar Filosofi Rogers mengenai manusia
Dasar filosofi Rogers mengenai manusia berorientasi kepada filosofi humanistik. Dasar filsafat Rogers yang dimaksud ialah :
1). Inti sifat manusia adalah positif, sosial, menuju ke muka dan realistik. Ini berarti bahwa manusia itu pada dasarnya adalah positif, rasional, sosial, bergerak maju, dan realistik. Tingkah laku manusia diorganisir secara keseluruhan di sekitar tendensi, dan polanya ditentukan oleh kemampuan untuk membedakan antara respons yang efektif (menghasilkan rasa senang) dan respons yang tidak efektif (menimbulkan rasa tidak senang).
2). Manusia pada dasarnya adalah koperatif, konstruktif, dan dapat dipercaya.
4). Manusia mempunyai kemampuan dasar untuk memilih tujuan yang benar, dan membuat pemilihan yang benar, apalagi ia diberi situasi yang bebas dari ancaman.
b. Pokok-Pokok Teori Rogers
Ada tiga pokok mengenai kepribadian yang dikemukakan oleh Rogers (dalam Sukardi :2002) yang mendasari teknik konselingnya. Diantaranya adalah sebagai berikut :
(1) Organisme
Organismeyaitu totalitas individu yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
1. Bereaksi secara keseluruhan sebagai satu kesatuan yang teratur terhadap medan phenomenal untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
2. Memiliki motif dasar, yaitu mengaktualisasi, mempertahankan dan mengembangkan diri.
3. Organisme kemungkinan melambangkan pengalaman-pengalamannya, sehingga menjadi disadari atau menolak untuk melambangkan pengalaman-pengalaman tersebut sehingga tetap tidak disadari, atau kemungkinan tidak memperdulikan pengalaman tersebut.
(2) Medan Phenomenal
Medan Phenomenal adalah keseluruhan pengalaman yang pernah dialami. Pengalaman tersebut disadari atau tidak tergantung dari apakah pengalaman tersebut disimbolkan atau tidak. Medan Phenomenalhanya dapat diketahui oleh subjek yang mengalaminya. Orang lain hanya dapat mengetahui pengalaman seseorang melalui kesimpulan atas dasar empati (empatic inference). Kesadaran tercapai jika pengalaman itu disimbolisasikan.
Menurut Rogers, pengalaman terdiri dari : 1. Pengalaman yang disimbolisasikan 2. Pengalaman yang tidak disimbolisasikan
(3) Self
Self merupakan bagian yang terpisah dari medan phenomenal, yang berisi pola pengamatan dan penilaian yang sadar dari subjek. Dari pengalaman-pengalaman, seseorang akan dapat membentuk pola pengamatan dan penilaian terhadap diri sendiri secara sadar, baik orang tersebut sebagai subjek maupun sebagai objek. self ini dinamakan juga Self Concept (Konsep Diri).
Berkaitan dengan konseling client-centered dari Rogers (dalam Sukardi, 2002) menyatakan bahwa ”konseling yang berpusat pada konseli haruslah dilandasi pada pemahaman konseli tentang dirinya”. Atau dengan kata lain, pendekatan Rogers menitikberatkan kepada kemampuan konseli untuk menentukan sendiri masalah-masalah yang penting bagi dirinya dan memecahkan sendiri masalahnya. Campur tangan konselor sedikit sekali. Konseli akan mampu menghadapi sifat-sifat dirinya yang tidak dapat diterima lingkungannya tanpa ada perasaan terancam dan cemas, sehingga ia maju kearah menerima dirinya dan nilai-nilai yang selama ini dimiliki dan dianutnya, serta mampu mengubah aspek-aspek dirinya sebagai sesuatu yang dirasakan perlu diubah.
3. Karakteristik Konseling Client-Centered
Peran konseli yang besar dibandingkan dengan konselornya dalam hubungan konseling, adalah merupakan karakteristik utama dari konseling client-centeredatau konseling non-direktif ini.
Menurut Rogers (dalam Willis, 2004) Karakteristik utama dalam konseling client centeredmasing-masing menekankan pada :
1. Tanggung jawab dan kemampuan konseli dalam menghadapi kenyataan. Untuk memperoleh suatu pemahaman akan dirinya, konseli haruslah diberi suatu kesempatan, pengalaman dan tanggung jawab untuk menghadapi kenyataan. Kenyataan itu pada hakekatnya adalah sesuatu yang diamati dan dialami individu. Jadi, dalam konseling client centered ini konseli didorong untuk menentukan pilihan dan keputusannya serta tanggung jawab atas pilihan dan keputusan yang telah diambilnya.
2. Konseling client centered lebih menitikberatkan pada pengalaman-pengalaman sekarang. Untuk mengungkapkan pengalaman-pengalaman dan permasalahannya yang dihadapi sekarang ini, konselor mendorong konseli untuk mengungkapkannya dengan sikap yang empati, terbuka, asli (tidak berpura-pura), dan permisif.
3. Konseling ini bukanlah suatu bentuk hubungan atau pendekatan yang bersifat kaku atau dogma. Tetapi merupakan suatu pola kehidupan yang berisikan bertukar pengalaman, di mana konselor dan konseli memperlihatkan sifat-sifat kemanusiaan dan berpartisipasi dalam menemukan berbagai bentuk pengalaman baru.
4. Konseling ini menekankan kepada persepsi konseli. Konselor berusaha untuk memahami keseluruhan pengalaman yang pernah dialami konseli dari sudut persepsi konseli itu sendiri.
5. Konseling ini menempatkan konseli pada kedudukan sentral. Jadi tujuan dari konseling dengan sendirinya ada dan ditentukan oleh konseli itu sendiri.
Sedangkan menurut Willis (2004: 63) karakteristik terapi ini adalah:
1. Ditujukan kepada konseli yang sanggup memecahkan masalahnya agar tercapai kepribadian konseli yang terpadu.
3. Titik tolak konseling adalah keadaan individu termasuk kondisi sosial psikologis masa kini (here and now) dan bukan pengalaman masa lalu.
4. Proses konseling bertujuan menyesuaikan antara ideal self dengan actual self.
5. Peranan yang aktif dalam konseling dipegang dalam konseli, sedangkan konselor adalah pasif reflektif, artinya tidak semata- mata diam dan pasif akan tetapi berusaha membantu agar konseli aktif memecahkan masalahnya.
Berdasarkan karakteristik client centered diatas, penulis menyimpulkan bahwa pendekatan ini difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan konseli untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan secara lebih penuh oleh dirinya sendiri. Terapi client centered bukanlah sekumpulan teknik, juga bukan suatu dogma.
4. Proses Konseling
Menurut Surya (2003: 55) ”konseling yang berpusat pada konseli memusatkan pada pengalaman individual”. Dalam proses disorganisasi dan reorganisasi diri, konseling berupaya untuk meminimalkan rasa diri terancam dan memaksimalkan serta menopang eksplorasi diri. Perubahan dalam perilaku datang melalui pemanfaatan potensi individu untuk menilai pengalamannya, membuatnya untuk memperjelas dan mendapat tilikan perasaan yang mengarah kepada pertumbuhan. Melalui penerimaan terhadap konseli, konselor membantunya untuk menyatakan, mengkaji, dan memadukan, pengalaman-pengalaman sebelumnya ke dalam konsep diri. Dengan redefinisi, pengalaman, individu mencapai penerimaan dari dan menerima orang lain dan menjadi orang yang lebih berkembang penuh
Menurut Surya (2003: 57) mengungkapkan bahwa pada garis besarnya langkah-langkah proses terapi dalam konseling yang berpusat pada konseli adalah sebagai berikut :
1) Individu atas kemauan sendiri datang kepada konselor / terapis untuk meminta bantuan. Apalagi individu itu datangnya atas petunjuk orang lain, maka konselor harus menciptakan situasi yang sangat bebas dan permisif, sehingga ia dapat menentukan pilihannya: apakah akan malanjutkan meminta bantuan kepada konselor atau tidak.
2) Situasi terapeutik ditetapkan/ dimulai sejak situasi permulaan telah didasarkan, bahwa yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah konseli. Untuk hal ini konselor harus yakin bahwa konseli mempunyai kemampuan untuk “menolong” dirinya dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
3) Konselor mendorong/ memberanikan konseli agar ia mampu mengemukakan/ mengungkapkan perasaannya secara bebas berkenaan dengan masalah yang dihadapinya. Untuk memungkinkan terjadinya hal itu, konselor harus selalu memperhatikan sikap ramah, bersahabat dan menerima konseli sebagaimana adanya.
4) Konselor menerima, mengenal dan memahami perasaan-perasaan negatif yang diungkapkan konseli; kemudian meresponnya. Respon konselor harus menunjukkan atau mengarahkan kepada apa yang ada dibalik ungkapan-ungkapan perasaan itu, sehingga menimbulkan suasana konseli dapat memahami dan menerima keadaan negatif atau tidak menyenangkan itu tidak diproyeksikan kepada orang lain atau disembunyikan sehingga menjadi mekanisme pertahanan diri.
5) Ungkapan-ungkapan perasaan negatif yang meluap-luap dari konseli itu biasanya disertai ungkapan-ungkapan perasaan positif yang lemah/ samar-samar, yang dapat disembuhkan.
6) Konselor menerima dan memahami perasaan-perasaan positif yang diungkapkan konseli sebagaimana adanya, sama seperti menerima dan memahami ungkapan-ungkapan perasaan negatif.
7) Konseli memahami dan menerima dirinya sendiri sebagaimana adanya. Hal ini terjadi setelah konseli memahami dan menerima hal-hal yang negatif dan positif pada dirinya.
8) Apabila konseli telah memahami dan menerima dirinya, maka tahap berikutnya adalah memilih dan menentukan pilihan sikap dan tindakan mana yang akan diambil, sejak saat itu terbayanglah oleh konseli rangkaian kegiatan yang harus dilakukan sehubungan dengan keputusan pilihannya, dan ia menyadari tanggung jawabnya.
9) Konseli mencoba memanifestasikan atau mengaktualisasikan pilihannya itu dalam sikap dan perilakunya.
11) Perilaku konseli makin bertambah terintegrasi dan pilihan-pilihan yang dilakukan makin adekuat; kemandirian dan pengarahan dirinya makin menyakinkan.
12) Konseli merasakan kebutuhan akan pertolongan mulai berkurang dan akhirnya ia berkesimpulan bahwa terapi harus diakhiri. Ia menghentikan hubungan therapeutic dengan konselor. Psikoterapi telah selesai; konseli telah menjadi individu yang kepribadiannya terintegrasi dan berdiri sendiri, ia telah sembuh /bebas dari gangguan psikis.
Sedangkan menurut Willis (2004: 64) tahap- tahap terapi terpusat pada konseli antara lain :
1. Konseli datang kepada konselor atas kemauan sendiri, apabila konseli datang atas suruhan orang lain maka konselor harus mampu menciptakan situasi yang sangat bebas dan permisif dengan tujuan agar konseli memilih apakah ia akan terus meminta bantuan atau akan membatalkannya.
2. Situasi konseling sejak awal harus menjadi tanggung jawab konseli, untuk itu konselor menyadarkan konseli.
3. Konselor memberanikan konseli agar ia mampu mengemukakan perasaannya. Konselor harus bersikap ramah, bersahabat dan menerima konseli sebagaimana adanya.
4. Konselor menerima perasaan konseli serta memahaminya.
5. Konselor berusaha agar konseli dapat memahami dan menerima keadaan dirinya.
6. Konseli menentukkan pilihan sikap dan tindakan yang akan diambil (perencanaan).
7. Konseli merealisasikan pilihannya itu.
5. Tahapan Konseling
Dalam proses konseling ada tiga tahapan konseling, yaitu:
a. Tahap mendefinisikan masalah (tahap awal)
b. Tahap atau fase kerja dengan definisi masalah (tahap pertengahan)
a). Tahap Awal
Tahap ini terjadi saat konseli menemui konselor hingga berjalan proses konseling sampai konselor dan konseli menemukan definisi masalah konseli atas dasar isu, kepedulian, atau masalah konseli. Adapun proses konseling tahap awal dilakukan konselor sebagai berikut:
1. Membangun hubungan konseling yang melibatkan konseli 2. Memperjelas dan mendefinisikan masalah
3. Membuat penaksiran dan penjajakan 4. Menegosiasikan kontrak (perjanjian)
b) Tahap Pertengahan
Berangkat dari definisi masalah konseli yang disepakati pada tahap awal, kegiatan selanjutnya adalah memfokuskan pada penjelajahan masalah konseli, dan bantuan apa yang akan diberikan berdasarkan penilaian kembali apa yang telah dijelajah tentang masalah konseli.
c) Tahap Akhir
Pada tahap terakhir konseling ditandai dengan beberapa hal yaitu:
1. Menurunnya kecemasan konseli, hal ini diketahui setelah konselor menanyakan keadaan kecemasannya.
2. Adanya perubahan perilaku konseli ke arah yang lebih positif, sehat dan dinamik.
Dari uraian diatas disimpulkan bahwa pelaksanaan proses konseling client centered harus dilaksanakan atas kemauan konseli itu sendiri. Setiap tahapan dalam proses layanan konseling ini harus melalui urutan fase- fase dari tahapan secara keseluruhan agar tujuan dari pelaksanaan konseling dapat terlaksana.
C. Keterkaitan Penggunaan Pendekatan Client Centered dengan Perubahan Konsep diri
Client centeredadalah suatu metode perawatan psikis yang dilakukan dengan cara berdialog antara konselor dengan konseli, agar tercapai gambaran yang serasi antara ideal self (diri konseli yang ideal) dengan actual self(diri konseli sesuai dengan kenyataan sebenarnya). Jadi, ketika seoraang individu faham dan mengerti akan dirinya yang sebenarnya dengan apa yang menjadi apa yang diharapkannya akan semakin mudah ia memiliki konsep diri yang baik. Karena konsep diri itu sendiri adalah bagaimana si individu mengenal dirinya baik dari aspek fisik, psikis maupun kemampuan yang lainnya.
Salah satu dari 3 pokok kepribadian menurut Rogers adalah self yang itu nama lain dari konsep diri.
Berkaitan dengan konseling client-centered dari Rogers menyatakan bahwa konseling yang berpusat pada konseli haruslah dilandasi pada pemahaman konseli tentang dirinya. Atau dengan kata lain, pendekatan Rogers menitikberatkan kepada kemampuan konseli untuk menentukan sendiri masalah-masalah yang penting bagi dirinya dan memecahkan sendiri
masalahnya.
Campur tangan konselor sedikit sekali. Konseli akan mampu menghadapi sifat-sifat dirinya yang tidak dapat diterima lingkungannya tanpa ada perasaan terancam dan cemas, sehingga ia maju kearah menerima dirinya dan nilai-nilai yang selama ini dimiliki dan dianutnya, serta mampu mengubah aspek-aspek dirinya sebagai sesuatu yang dirasakan perlu diubah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep diri (self concept) adalah merupakan gambaran seseorang tentang dirinya sendiri.Gambaran yang lengkap tentang dirinya meliputi berbagai kemampuan, kelemahannya, sifat-sifatnya dan bagaimana hubungan dirinya dengan lingkungannya. Jadi konsep diri adalah bagaimana individu menyadari dirinya sendiri, dan mengenal dirinya sendiri.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Metodelogi Penelitian
Metode penelitian merupakan hal yang penting dalam suatu penelitian. Dalam metode penelitian dijelaskan tentang urutan suatu penelitian yang dilakukan yaitu dengan teknik dan prosedur bagaimana suatu penelitian akan dilakukan. Hal terpenting yang perlu diperhatikan bagi seorang peneliti adalah pada ketepatan penggunaan metode yang sesuai dengan objek penelitian dan tujuan yang ingin dicapai. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen.
Sebagaimana dikemukakan oleh Kartono (dalam Suprapto, 2007:75),
“Metode eksperimen adalah metode percobaan dan observasi sistematis dalam suatu situasi khusus, dimana gejala-gejala yang diamati itu begitu disederhanakan, yaitu hanya beberapa faktor saja yang diamati, sehingga penelitian bisa mengatasi seluruh proses eksperimennya”.
Terdapat bermacam-macam desain dari penelitian baik yang termasuk P re-Eksperimental, True-Eksperimental Design, dan Quasi-Eksperimental. Desain penelitian eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pre-eksperimental Design (One group Pretest-Posttes Design) karena penelitian ini tanpa menggunakan kelompok kontrol (dalam Arikunto, 2002:78)
Gambar 3.1. Pola kelompok pre testdan post test
Keterangan :
01 : Pre test (pengukuran/pertama, bagaimana konsep diri pada siswa sebelum diberi layanan pendekatan client centered dengan menggunakan bentuk skala likert).
X : Perlakuan (pelaksanaan layanan pendekatan client centered pada siswa kelas VIII H di MTs Negeri Kedondong).
02 : Post test/kondisi setelah perlakuan (pengukuran/observasi kedua, bagaimana konsep diri siswa setelah diberi layanan pendekatan client centered dengan skala yang sama dengan pengukuran yang pertama).
Untuk memperjelas eksperimen dalam penelitian ini disajikan tahap-tahap rancangan eksperimen yaitu :
1. Melakukan Pre-test adalah pemberian tes pertama kepada siswa sebelum diadakan perlakuan yaitu layanan pendekatan client centered sehingga diperoleh hasil siswa yang memiliki konsep diri yang negatif.
2. Memberikan perlakuan (treatment) adalah pemberian perlakuan yaitu layanan pendekatan client centered.
3. Melakukan Post-test sesudah pemberian layanan pendekatanclient centered dengan tujuan untuk mengetahui kondisi dan hasil apakah client centered efektif untuk meningkatkan konsep diri siswa yang negatif.
4. Proses analisis data, yaitu dengan menggunakan Uji wilcoxon dengan bantuan program SPSS.
B. Subyek Penelitian
Subyek penelitian merupakan sumber data untuk menjawab masalah. Penelitian subyek ini disesuaikan dengan keberadaan masalah dalam penelitian. Selain itu jenis data yang ingin dikumpulkan juga harus disesuaikan dengan masalah dalam penelitian.
Tabel 3.1. Data Siswa yang Memiliki Konsep diri yang Negatif
C. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel penelitian
Variabel merupakan salah satu komponen penting dalam suatu penelitian, karena memahami dan menganalisis setiap variabel membutuhkan kelincahan berpikir bagi peneliti. Artinya jika penetapan variabel berjalan baik maka penelitian pun akan berjalan baik.
Arikunto (2006: 118) menyatakan variabel adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian.
Jadi variabel merupakan suatu objek penelitian. Objek penelitian tersebut menjadi titik perhatian dan pengamatan suatu penelitian. Peneliti membutuhkan ketelitian dalam menentukan variabel yang akan diukur atau diteliti.
Dalam penelitian yang berjudul “penggunaan pendekatan client centered dalam meningkatkan konsep diri yang negatif pada siswa kelas VIII.H MTs Negeri Kedondong Tahun Pelajaran 2011/2012” maka variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : konsep diri. Penggunaan variabel ini adalah untuk mengetahui suatu keadaan tertentu agar mendapatkan suatu dampak/akibat dari eksperimen. Dalam penelitian ini,
No. Nama Siswa Skor Klasifikasi Skor
1. Tangkas Wijaya
68 Negatif
2. Anggi Pria Tama
69 Negatif
3. Mediansyah
perlakuan yang diberikan adalah layanan pendekatan client centered untuk mendapatkan peningkatan pada individu, yaitu meningkatnya konsep diri pada individu atau siswa.
2. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah bentuk mendefinisikan secara operasional suatu konsep sehingga dapat diukur, dicapai dengan melihat pada dimensi tingkah laku atau properti yang ditunjukkan oleh konsep, dan mengkategorikan hal tersebut menjadi elemen yang dapat diamati dan dapat di ukur. Definisi operasional berisi pengertian variabel yang akan dikembangkan. Dalam penelitian ini terdapat variabel yaitu konsep diri.
Konsep diri adalah cara pandang atau persepsi individu terhadap dirinya sendiri yang menyangkut apa yang ia ketahui dan rasakan tentang perilakunya, isi pikiran dan perasaannya, serta bagaimana perilakunya tersebut berpengaruh terhadap orang lain.
D. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
1. Sumber Data
Data dalam penelitian ini diperoleh di lapangan melalui skala penilaian yang juga dilengkapi dan didukung oleh hasil wawancara serta observasi di lapangan. Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitiaan ini adalah sesuai dengan subjek penelitian.
2. Teknik-Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data di bedakan menjadi dua yaitu :
2.1 Teknik Pokok yaitu, Skala Konsep Diri
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan pokok yang digunakan adalah skala konsep diri. Peneliti menggunakan skala psikologi, karena skala psikologi merupakan alat yang digunakan untuk mengukur atribut psikologis (Azwar, 2010:3). Skala konsep diri digunakan untuk mengetahui peningkatan konsep diri pada siswa sebelum dan sesudah diberikan konseling dengan menggunakan pendekatan client centered.
Pernyataan dibuat dalam dua bentuk, yaitu pernyataan yang bersifat mendukung (favourable) dan yang tidak mendukung (unfavourable). Setiap item pernyataan disediakan lima alternatif jawaban yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), kurang sesuai (KS), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS), Pernyataan yang baik ditentukan dengan memberi bobot nilai berdasarkan jawaban langsung dengan metode summated ratings yang bertujuan memberikan skor pada alternatif jawaban setiap pernyataan.
Berikut ini skor nilai dari masing-masing alternatif jawaban berdasarkan perhitungan summated ratings:
Pernyataan
Tabel 3.2. Skor Nilai Alternatif Jawaban
Tabel 3.3. Kriteria Konsep diri yang Negatif pada Siswa 2.2 Wawancara
Wawancara adalah semacam dialog atau tanya jawab antara pewawancara dengan responden dengan tujuan memperoleh jawaban-jawaban yang dikehendaki. Wawancara dapat digunakan apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti atau untuk mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit atau kecil.
2.3 Observasi
Hadi (dalam Sugiyono, 2007:256), menyatakan observasi adalah suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses psikologis.
Observasi adalah metode atau cara-cara untuk menganalisis dan melakukan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dan melihat serta mengamati individu atau kelompok secara langsung, metode ini digunakan untuk melihat dan mengamati secara langsung keadaan di lapangan agar peneliti memperoleh gambaran yang lebih luas tentang permasalahan yang diteliti. Observasi yang dilakukan di
Interval Kriteria
> 112 Positif
71-111 Sedang
MTs Negeri Kedondong adalah mengenai pendekatan client centered dalam meningkatkan konsep diri yang negatif pada siswa.
E. Uji Instrumen
Teknik pengolahan data yang digunakan untuk menilai keampuhan instrumen penelitian. “Syarat instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan penting, yaitu valid dan reliabel” (dalam Arikunto, 2006 :156).
“Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur” (dalam Sugiyono, 2007 : 267).
“Instrumen yang reliabel berarti instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama dan akan menghasilkan data yang sama” (dalam Sugiyono, 2007 : 267).
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penyusunan instrumen dilakukan dalam beberapa tahap, baik dalam perbuatan atau uji cobanya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan di bawah ini yaitu:
Gambar 3.2. Prosedur Penyusunan Instrumen
Kisi-kisi/pengembang an instrument
penelitian
Instrument Penelitian
Uji Coba Instrument
Instrumen yang telah dibuat diujicobakan sebelum dipergunakan sebagai pengumpul data. Uji coba ini untuk melihat validitas dan reliabilitas instrumen. Data yang akan diungkap dalam penelitian ini yaitu tentang konsep diri. Oleh karena itu, instrumen yang digunakan yaitu berupa skala konsep diri . Kisi-kisi yang peneliti kembangkan yaitu karakteristik atau ciri-ciri konsep diri yang positif. Ada pun kisi-kisi pengembangan instrumen penelitian adalah sebagai berikut :
No. Variabel Indikator Deskriptor No. Item
+
dirinya dalam
Tabel 3.4. Kisi-kisi Pengembangan Instrumen Penelitian 1. Uji Validitas
Arikunto (2001:168) menyatakan bahwa Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat kevalidan dan kesohihan suatu instrument.
skala dapat memberikan kontribusi terhadap variabel yang diteliti, maka dapat dilakukan dengan mengkorelasikan antara skor tiap item pada instrumen dengan skor total dengan menggunakan rumus Pearson Product Moment, yaitu :
rxy : koefisien korelasi antara X dan Y
x : jumlah skor butir, masing-masing item
y : jumlah skor total rtab berarti pernyataan valid, tetapi jika rhit < rtab berarti pernyataan tersebut tidak valid.
Uji coba skala dilakukan sebelum skala dijadikan sebagai instrumen dalam penelitian. Skala disebarkan kepada 30 orang siswa di luar subjek penelitian. Berdasarkan hasil uji coba didapatlah 30 item yang valid dari 75 item. Adapun r tabel yang digunakan sebagai batas validitas dari instrumen yang digunakan adalah 0,361 sesuai ketentuan dari r tabel dengan responden sebanyak 30 orang.
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas menunjukan bahwa suatu instrument dapat dipercaya untuk dipergunakan sebagai alat pengumpulan data. Untuk mengukur reliabilitas instrumen dalam penelitian ini menggunakan rumus alpha karena skor yang diberikan bukan 1 dan 0. Hal ini sesuai dengan Arikunto (2002:171) bahwa ”untuk mencari reliabilitas instrumen yang skornya bukan 1 dan 0 menggunakan rumus alpha”. Adapun rumus Alpha tersebut adalah sebagai berikut:
Kriteria reliabilitas menurut Nurgana ( Ruseffendi, 1994 : 144 )
1,00 : sempurna
0,80 – 1,00 : positif sekali 0,60 - 0,80 : positif 0,40 – 0,60 : sedang 0,20 – 0,40 : negatif 0,00 – 0,20 : negatif sekali
Berdasarkan hasil pengolahan data uji coba instrument ada 30 item yang
memiliki kontribusi yang besar dengan reliabilitas yang positif yakni 0,88 dengan rtabel 0,361.
F. Teknik Analisis Data
konsep diri siswa dengan menggunakan metode eksperimen yaitu untuk mengetahui dampak dari suatu perlakuan yaitu mencobakan sesuatu, lalu dicermati akibat dari perlakuan tersebut. Maka dari itu pendekatan yang efektif adalah hanya dengan membandingkan nilai-nilai antara pre-test dan post – test.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Wilcoxon Match Pairs Test karena subjek penelitian yang relatif sedikit (3 orang siswa). Uji Wilcoxon adalah alternatif untuk uji t data berpasangan (t-paired) dimana pada uji Wilcoxon ini data harus dilakukan pengurutan (ranking) dan kemudian baru diproses (Santoso, 2009: 358). Dengan demikian, peneliti akan mengurutkan data dimulai dari angka yang terbesar ke terkecil terlebih dahulu.
Dalam pelaksanaan uji Wilcoxon untuk menganalisis kedua data yang berpasangan tersebut, dilakukan dengan menggunakan analisis uji melalui program SPSS (Statistical Package for Social Science)17.Hasil pengujian ini kemudian disimpulkan untuk membuktikan adanya peningkatan konsep diri siswa.
Pengambilan keputusan analisis data akan didasarkan pada hasil uji z. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (2009: 362) yang menyatakan bahwa mengambil keputusan dapat didasarkan pada hasil uji z, yaitu:
Jika statistik hitung (angka z output) > statistik tabel (tabel z), maka Ho
ditolak
Jika statistik hitung (angka z output) > statistik tabel (tabel z), maka Ho
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa konsep diri siswa yang negatif dapat ditingkatkan
menjadi konsep diri positif dengan menggunakan pendekatan client
centered. Hal ini ditunjukkan dari peningkatan pada diri siswa pada setiap
pertemuan konseling client centered telah mengarah pada peningkatan
konsep diri siswa terlihat lebih baik dari sebelumnya. Selaras dengan hasil
uji statistik yang diperoleh yaitu zoutput= –1,604 > ztabel = –0,4452 maka
Ho ditolak dan Ha diterima .
B. SARAN
Saran yang dapat dikemukakan dari penelitian yang telah dilakukan di
MTs Negeri Kedondong adalah:
1. Kepada siswa
Siswa hendaknya memanfaatkan layanan dan program yang ada di
bimbingan konseling untuk mengatasi masalah yang dialami
khususnya dalam meningkatkan konsep diri dengan menggunakan
2. Kepada guru Bimbingan dan Konseling
Kepada guru bimbingan dan konseling hendaknya dapat memberikan
layanan konseling individual dalam hal ini yaitu konseling client
centered kepada siswa lain yang mengalami masalah konsep diri
negatif karena pendekatan client centereddapat meningkatkan konsep
diri negatif menjadi konsep diri positif.
3. Kepada Para Peneliti
Kepada para peneliti, hendaknya dapat melakukan penelitian
mengenai masalah konsep diri siswa pada kondisi subjek yang
berbeda dengan menggunakan teknik atau model konseling yang sama