i
OPTIMASI SUHU DAN WAKTU PEMANASAN PADA PROSES ISOLASI PARASETAMOL DALAM JELLY DENGAN APLIKASI DESIGN
FACTORIAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Far.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Kho, Jimmy Iwan Tamara NIM : 068114064
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
▸ Baca selengkapnya: pada pemanasan basah, salah satu tekniknya adalah memasak dengan mencelupkan makanan dalam air mendidih dalam waktu pendek, disebut
(2)ii
OPTIMASI SUHU DAN WAKTU PEMANASAN PADA PROSES ISOLASI PARASETAMOL DALAM JELLY DENGAN APLIKASI DESIGN
FACTORIAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Far.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Kho, Jimmy Iwan Tamara NIM : 068114064
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
v
Untuk Mama & Papa yang selalu memberi dukungan
Untuk Kakak dan Adikku yang selalu memberi semangat
Dan untuk Alamamaterku
Jika anda pernah berada dalam lembah gelap yang terdalam,
barulah anda dapat merasakan betapa indahnya di puncak
gunung yang tertinggi
Sukses adalah suatu hal yang tidak dapat kita bayar dengan
tunai. Kita harus membayarnya dengan cara mencicil dan
melakukan pembayaran setiap hari
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Kho, Jimmy Iwan Tamra
Nomor Mahasiswa : 068114064
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
OPTIMASI SUHU DAN WAKTU PEMANASAN PADA PROSES ISOLASI PARASETAMOL DALAM JELLY DENGAN APLIKASI DESIGN FACTORIAL
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada Tanggal : 16 Desember 2009 Yang Menyatakan
vii PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Optimasi Suhu dan Waktu Pemanasan pada Proses Isolasi Parasetamol dalam Jelly dengan Aplikasi Design Factorial ” sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana pada Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Berbagai kesulitan telah berhasil dilewati dan akhirnya ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya dihaturkan kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan hingga akhir penyusunan naskah skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
2. Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku pembimbing yang telah begitu sabar membimbing penulis, memberikan masukan, arahan, kritikan, dan dukungan selama penyusunan skripsi ini.
3. Rini Dwiastuti, M.Sc., Apt selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan kritik dan saran untuk skripsi ini.
4. Dra. M. M. Yetty Tjandrawati, M.Si selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan kritik dan saran untuk skripsi ini.
viii
6. Bayu sebagai patner, terima kasih atas kerja sama yang solid, atas kebersamaannya untuk membantu kerja di lab sampai malam.
7. Anton, Aan yang telah menjadi teman dan sahabat penulis semenjak memasuki Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta serta atas kecerian, kebersamaan dalam suka dan duka bersama penulis.
8. Aan, Anton, Pungki, Jacob, Yoki, Jeffry, Felix, Joseph atas kebersamaan kalian dengan penulis dalam membagi suka dan duka selama ini.
9. Irene, Eka, Reni atas diskusi dan tanya jawab bersama penulis sehingga menambah wawasan dan pengetahuan penulis.
10.Tim analisis instrumental (Henny, Oktaf, Angel, Pungki, Manik, Gessie, Aan, Yoki, Michele, Tony, Boim, Yola, Adhit) atas dukungan, kebersamaan dan motivasi bersama penulis.
11.Anak-anak kos tasura 29 : Ko Hartono, ko awenk, Ko Win, Ko Jerry, Ko Njoe, Ko Widi, Ko Jimmy, Adhit, Ardi, Maman terima kasih atas dukungan dan persahabatan selama 1 tahun awal perkuliahan.
12.Bayu, Kaka, Angel selalu menjadi patner kelompok sejak dari semester satu, terima kasih atas kerja sama dan kesolidannya. Semoga kalian dapat menjadi lebih baik lagi kelak.
ix
14.Setiap orang yang mungkin tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih karena baik atau buruk kalian telah membentukku menjadi pribadi yang seperti ini.
Akhir kata penulis menyadari bahwa karya penulisan skripsi ini jauh dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan dan pengalaman yang dimiliki. Oleh karena itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat diperlukan oleh penulis demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangsih yang bermanfaat pada perkembangan ilmu pengetahuan.
Yogyakarta, 16 Desember 2009
x
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dala kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana karya ilmiah.
Yogyakarta, 16 Desember 2009
xi INTISARI
Pada penelitian ini dilakukan optimasi suhu dan waktu pemanasan dalam proses perusakan sistem jelly parasetamol. Faktorial desain diaplikasikan dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor dominan dan pengaruh interaksi antara suhu pemanasan dan waktu pemanasan serta suhu dan waktu pemanasan yang optimum untuk mendapatkan % recovery yang memenuhi range (95% - 105)%.
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental murni menggunakan desain faktorial dengan dua faktor yaitu suhu pemanasan dan waktu pemanasan. Penelitian diawali dengan pembuatan jelly parasetamol, dan selanjutnya dilakukan optimasi suhu dan waktu pemanasan. Penetapan kadar parasetamol dilakukan dengan metode KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) dengan mengukur luas area di bawah kurva (AUC) masing-masing sampel pada berbagai level, kemudian dicari nilai % recovery-nya. Data hasil penelitian dianalisis secara statistik menggunakan Yate’s Treatment dengan tingkat kepercayaan 95 % untuk mengetahui tingkat signifikansi tiap faktor dan interaksi keduanya dalam menentukan respon % recovery.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa suhu pemanasan, waktu pemanasan dan interaksi tidak berpengaruh terhadap respon % recovery, hal ini dikarenakan nilai F hitung lebih kecil dari F tabel 4,49. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditemukan area optimum suhu pemanasan dan waktu pemanasan untuk mendapatkan % recovery yang memenuhi range (95% - 105)%.
xii ABSTRACT
In this study conducted optimization heating temperature and time in the process of destruction of paracetamol jelly system. Factorial design was applied in this study. This study aims to determine the dominant factor and the influence of the interaction between the heating temperature, heating the optimum time to get% recovery that meets the range.
This research includes studies using pure experimental factorial design with two factors namely the heating temperature and heating time. The study begins with the validation of methods, making jelly paracetamol, and further optimization performed heating temperature and time.
Determination of paracetamol level carried out by the method of HPLC (High Performance Liquid Chromatography) to measure the area under the curve (AUC) of each sample at various levels. Research data are statistically analyzed using the Yate's Treatment with 95% confidence level to determine the level of significance of each factor and interaction both in determining the response steviosida levels.
The results of data analysis showed that the heating temperature and heating time and the interaction does not affect the response % recovery. Based on the research results can be found in areas of optimum heating temperature and heating time to get the% recovery that meets the range (95% -105) %.
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PEENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi
PRAKATA ... vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... x
INTISARI ... xi
ABSTRAK ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ……….. xvii
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... ..xx
BAB I PENDAHULUAN ... ..1
A.Latar Belakang ... ..1
1. Perumusan Masalah ... ..3
2. Keaslian Penelitian ... ..3
3. Manfaat Penelitian ... ..3
B. Tujuan Penelitian ... ..4
xiv
A.Parasetamol.. ... ..5
B. Jelly ………. 7
1. Definisi ………...… 7
2. Stabilitas sistem jelly ………..… 8
C. Karaginan ……….……... 9
1. Penggolongan Karaginan ………..…. 9
2. Sifat Dasar Karaginan ………..…… 12
a. Kelarutan ……… 12
b. Stabilitas pH ………..….… 14
c. Viskositas ………...… 14
3. Pembentukan gel ………..…… 15
D.Spektofotometri UV ………..…… 17
E. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ……….…… 19
a. Fase gerak ………...… 21
b. Fase diam………..……….. 22
c. Detektor ……….…… 23
F. Desain Faktorial ……… 24
G.Landasan Teori ………..…... 25
H.Hipotesis ……….….. 26
BAB III METODE PENELITIAN ... 27
A.Jenis dan Rancangan Penelitian ... 27
xv
1. Klasifikasi Variabel ... 27
2. Definisi Operasional ... 27
C.Bahan Penelitian ... 28
D.Alat Penelitian ... 28
E.Tata Cara Penelitian ... 29
1. Pembuatan fase gerak ………..……. 29
2. Pembuatan larutan baku ………..…………. 29
a. Pembuatan larutan baku induk parasetamol ……… 29
b. Pembuatan larutan baku intermediet parasetamol ………...… 29
c. Pembuatan seri konsentrasi larutan baku parasetamol ……….... 29
3. Penetapan λ max parasetamol ……… 29
4. Pengamatan waktu retensi parasetamol ………..……. 30
5. Penetapan kadar sampel ………..….…… 30
a. Pembuatan larutan jelly tanpa parasetamol ... 31
b. Pembuatan larutan parasetamol sampel... 31
c. Pembuatan larutan jelly parasetamol dengan adanya variasi suhu dan waktu pemanasan ... 31
6. Analisis Hasil………..…….. 32
a. Analisis kuantitaif ... 32
b. Analisis hasil kadar parasetamol dalam jelly parasetamol dengan desain faktorial ... 32
xvi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Penyiapan fase gerak ………..……….…. 34
B.Pembuatan larutan baku ... 35
C.Optimasi metode ... 35
1. Pembuatan panjang gelombang maksimum ... 35
2. Pembuatan kurva baku parasetamol ... 38
D.Preparasi sampel ... 43
1. Pembuatan jelly parasetamol ………..…….. 43
2. Isolasi analit dari sampel ... 44
E.Optimasi suhu dan waktu pemanasan ... 45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 57
A.Kesimpulan ... 57
B.Saran ... 57
DAFTAR PUSTAKA ... 58
Lampiran ... 62
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel I. Unit–unit monomer karaginan ……….…..…. 12
Tabel II. Daya kelarutan karaginan pada berbagai media pelarut ……….... 13
Tabel III. Stabilitas karaginan dalam berbagai media pelarut ………..… 14
Tabel IV. Nilai indeks polaritas pelarut ……….….. 22
Tabel V. Rancangan percobaan desain faktorial ………..25
Tabel VI. Variasi suhu dan waktu pemanasan yang digunakan ……….………. 31
Tabel VII. Data kurva baku parasetamol ……….… 42
Tabel VIII. Data kadar dan nilai % recovery parasetamol dalam sampel ……… 48
Tabel IX. Data AUC sampel masing-masing perlakuan ……….….… 52
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur parasetamol ... 5
Gambar 2. Reaksi hidrolisis parasetamol ... 7
Gambar 3. Struktur kimia kappa karaginan... 10
Gambar 4. Struktur kimia iota karaginan... 11
Gambar 5. Struktur kimia lambda karaginan... 11
Gambar 6. Mekanisme pembentukan gel karaginan ... 16
Gambar 7. Pelaratan KCKT ... 21
Gambar 8. Gugus kromofor dan auksokrom parasetamol ... 37
Gambar 9. Penentuan panjang gelombang maksimum parasetamol ... 37
Gambar 10. Kromatogram larutan pelarut (fase gerak) ... 39
Gambar 11. Kromatogram larutan baku parasetamol ... 39
Gambar 12. Ikatan antara gugus polar parasetamol dengan fase gerak... 40
Gambar 13. Gugus non polar pada parasetamol... 41
Gambar 14. Kurva baku parasetamol ... 43
Gambar 15. Kromatogram sampel ... 47
Gambar 16. Kromatogram jelly tanpa parasetamol... 47
Gambar 17. Kromatogram sampel perlakuan 1 ... 50
Gambar 18. Kromatogram sampel perlakuan 2 ... 50
Gambar 19. Kromatogram sampel perlakuan 3 ... 51
Gambar 20. Kromatogram sampel perlakuan 4 ... 51
xix
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Sertifikat analisis parasetamol ……….… 63
Lampiran 2. Kemasan nutrijel ……….. 64
Lampiran 3. Data penimbangan bahan ……….… 65
Lampiran 4. Data kadar parasetamol dalam sampel ……….66
Lampiran 5. Data desain faktorial dan efek masing-masing faktor ………. 67
Lampiran 5. Perhitungan persamaan desain factorial ……….…… 67
Lampiran 6. Perhitungan yate’s treament ……… 70
Lampiran 7. Kromatogram parasetamol baku ………..…… 73
1
A. Latar belakang
Salah satu syarat suatu obat dikatakan baik adalah dapat diterima oleh pasien. Obat yang memiliki rasa dan bau yang tidak enak, akan menurunkan kepatuhan pasien. Apalagi pasien anak-anak yang susah sekali untuk dirayu minum obat. Saat ini industri farmasi obat-obatan berupaya untuk menginovasi bentuk sediaan obat yang lebih praktis dan nyaman digunakan pasien. Obat yang lebih praktis dan nyaman tersebut misalnya obat dengan rasa dan bau yang lebih sedap, bentuk yang lebih menarik, maupun dikombinasikan dengan makanan. Kenyamanan dan kepraktisan penggunaan obat dapat mengurangi kejadian ”kegagalan penerimaan obat oleh pasien atau yang disebut failure to receive drug”. Maka dari itu salah satu bentuk sediaan yang sedang dikembangkan saat ini
adalah bentuk sediaan obat semi solid yaitu “Jelly”.
Obat yang akan dipasarkan ke masyarakat, harus melalui beberapa syarat uji. Salah satu uji yang dilakukan adalah pengujian kadar obat dalam sediaan. Pengujian kadar obat dalam sediaan menjadi penting karena memberikan informasi keberadaan jumlah zat aktif dalam suatu sediaan.
sifat fisika, kimia dari parasetamol. Sifat fisika parasetamol yang dapat berubah yaitu stabilitasnya, sedangkan perubahan sifat kimia dapat diketahui dengan melakukan pengujian kadar zat aktif yang terdapat dalam sediaan racikan tersebut. Apalagi diketahui parasetamol stabilitasnya dapat rusak pada suhu diatas 60 oC (Novianti, 2004). Oleh sebab itu perlu dilakukan optimasi faktor-faktor yang dapat diduga mengakitbatkan stabilitas parasetamol dalam jelly menurun. Adapun faktor yang akan diuji dalam penelitian ini adalah suhu dan waktu pemanasan pada proses isolasi parasetamol dalam jelly.
Penelitian ini merupakan rangkaian penelitian Widyaningtyas (2008) mengenai “Fomulasi dan Penetapan Kadar Sediaan Parasetamol dalam Bentuk Jelly”, sehingga dalam penelitian ini metode yang digunakan mengacu pada penelitian Widyaningtyas (2008).
Pada penelitian ini, parameter yang digunakan adalah akurasi yang merupakan ketelitian metode analisis atau kedekatan nilai antara nilai terukur dengan nilai yang diterima, baik nilai konvensi, nilai sebenarnya, atau nilai rujukan yang dinyatakan dengan % recovery.
Aplikasi desain factorial digunakan dalam penelitian ini sehingga dapat diketahui pengaruh masing-masing suhu pemanasan dan atau interaksinya serta waktu pemanasan yang optimum untuk menentukan kadar parasetamol dalam jelly parasetamol dengan validitas yang baik. Melalui metode ini dapat dikurangi trial and error dalam percobaan jika dibandingkan dengan meneliti efek faktor
suhu dan waktu pemanasan akan diperoleh batasan level dari faktor yang diteliti untuk mendapatkan kadar patasetamol dengan % recovery 95-105%.
1. Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, masalah yang muncul dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Manakah yang paling dominan antara suhu pemanasan, waktu pemanasan, atau interaksi keduanya pada proses preparasi jelly dalam menentukan nilai % recovery parasetamol dalam jelly?
b. Apakah ditemukan area suhu dan waktu pemanasan yang optimum pada preparasi jelly yang menghasilkan nilai akurasi yang memenuhi syarat?
2. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran pustaka penulis, penelitian tentang optimasi suhu dan waktu pemanasan pada proses isolasi parasetamol dalam jelly dengan aplikasi design factorial belum pernah dilakukan oleh peneliti lain.
3. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang kefarmasian sains teknologi mengenai aplikasi desain faktorial pada proses isolasi parasetamol dalam jelly.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data mengenai pengaruh suhu pemasanan dan waktu pemanasan ataupun interaksinya dalam proses isolasi parasetamol dalam jelly serta suhu dan waktu pemanasan yang paling optimal untuk mendapatkan nilai % recovery 95-105%.
B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh yang dominan antara suhu pemanasan, waktu pemanasan, ataupun interaksi keduanya dalam menentukan nilai % recovery dalam jelly parasetamol.
5
A. Parasetamol
Parasetamol atau 4’-hidroksiasetanilida dengan bobot molekul 151,16 mengandung tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 101,0 % C8H9NO2,
dihitung terhadap zat anhidrat. Parasetamol merupakan serbuk hablur putih, tidak berbau, dengan rasa sedikit pahit (Anonim, 1995). Rumus molekul dapat dilihat pada gambar 1.
OH HN
C CH3
O
Gambar 1. Struktur Parasetamol (Anonim, 1995)
Satu bagian parasetamol larut dalam 70 bagian air, 7-10 bagian etanol dan 13 bagian aseton, agak sukar larut dalam kloroform, praktis tidak larut dalam eter (Clarke, 1986). Larut dalam natrium hidroksida 1 N (Anonim, 1995).
Serapan maksimum parasetamol pada daerah ultraviolet di larutan asam adalah 254 nm (A 1%, 1cm = 668) dan dalam larutan basa adalah 257 nm (A 1%, 1cm = 715) (Clarke, 1986). A 1%, 1cm atau serapan jenis adalah serapan dari larutan 1 % zat terlarut dalam sel dengan ketebalan 1 cm (Anonim, 1995).
Parasetamol merupakan senyawa yang sangat stabil dalam larutan air. Profil laju pH menunjukkan katalis asam spesifik dengan stabilitas maksimumnya pada jarak pH 5 sampai 7 (Connors,et al.,1986).
Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang telah digunakan sejak tahun 1893. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Parasetamol juga digunakan sebagai analgesik. Namun penggunaan parasetamol untuk meredakan demam (antipiretik) tidak seluas penggunaannya sebagai analgesik. Efek analgesik dari parasetamol yaitu meredakan rasa nyeri ringan hingga sedang (Wilmana, 1995).
Dosis untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5-1 g, maksimal 4 g/hari, pada penggunaan kronis maksimal 2,5 g/hari. Anak-anak: 4-6 dd 10 mg/kg, yakni rata-rata usia 3-12 bulan 60 mg, 1-4 tahun 120-180 mg, 4-6 tahun 180 mg, 7-12 tahun 240-360 mg, 4-6 kali sehari. Dosis rektal 20mg/ kg setiap kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak usia 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg, 1-4 tahun 2-3 dd 240 mg, 4-6 tahun 4 dd240 mg dan 7-12 tahun 2-3 dd 0,5 g (Rahardja, 2007).
kadaluwarsa (t90) dan waktu paruh (t1/2) semakin kecil. Dengan demikian
menyatakan bahwa dengan semakin naiknya suhu penyimpanan, parasetamol akan mengalami degradasi sehingga kadarnya berkurang (Novianti, 2004).
Senyawa yang mengandung gugus amida dapat mengalami hidrolisis dengan cara yang serupa dengan senyawa jenis ester. Pengganti asam dan alkohol yang terbentuk pada hidrolisis ester, pemecahan hidrolisis amida menghasilkan asam dan amida. Langkah penentu laju reaksi pada reaksi yang terkatalisis ion hidroksida adalah serangan nukleofilik oleh ion hidroksida. Mekanisme hidrolisis asam pada amida memerlukan substituen yang efek polarnya lemah, tetapi efek steriknya kuat jika letaknya sesuai (Lachman,et al., 1986).
Jalur utama degradasi yang menyebabkan asetaminofen tidak stabil adalah peristiwa hidrolisis yang memecah parasetamol menjadi p-aminofenol dan asam asetat (Connors,et al.,1986)
Gambar 2. Reaksi hidrolisis parasetamol (Connors,et al.,1986)
B. Jelly 1. Definisi
Gel tersusun atas sejumlah kecil komponen padatan yang terdispersi dalam sejumlah besar cairan. Komponen padat dari gel membentuk jaringan tiga dimensi yang membentuk rigiditas gel. Oleh karena itu, meskipun sebagian besar komponennya berupa cairan, gel memiliki kemampuan mempertahankan bentuknya dengan pemberian sedikit tekanan. Padatan yang lazim digunakan dalam gel adalah polimer meskipun beberapa gel tersusun atas padatan inorganik. Contoh polimer yang biasa digunakan sebagai gelling agent antara lain carbomer, poloxamer, CMC-Na, Hidroxy Propyl Methyl Cellulose (HPMC), dan karaginan (Swarbick and Boylan, 1992).
2. Stabilitas Sistem Jelly
Salah satu cara untuk merusak sistem gel adalah dengan cara pendidihan. Kenaikan suhu pada sistem menyebabkan jumlah tumbukan antara partikel-partikel solid dengan partikel-partikel-patrikel air bertambah banyak. Menyebabkan lepasnya elektrolit yang teradsorpsi pada permukaan koloid (Sugianto, 2006).
C. Karaginan 1. Penggolongan Karaginan
Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri atas ester kalium, natrium, magnesium dan kalium sulfat dengan galaktosa 3,6 anhidrogalaktosa kopolimer. Karaginan adalah suatu bentuk polisakarida linear dengan berat molekul di atas 100 kDa (Winarno 1996 ; WHO 1999). Karaginan tersusun dari perulangan unit-unit galaktosa dan 3,6-anhidro galaktosa (3,6-AG). Keduanya baik yang berikatan dengan sulfat atau tidak, dihubungkan dengan ikatan glikosidik α –1,3 dan β-1,4 secara bergantian (FMC Corp 1977).
Menurut Hellebust dan Cragie (1978), karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut atau matriks intraselulernya dan karaginan merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut dibandingkan dengan komponen yang lain. Jumlah dan posisi sulfat membedakan macam-macam polisakarida Rhodophyceae, seperti yang tercantum dalam Federal Register, polisakarida tersebut harus mengandung 20 % sulfat berdasarkan berat kering untuk diklasifikasikan sebagai karaginan. Berat molekul karaginan tersebut cukup tinggi yaitu berkisar 100 - 800 ribu (deMan 1989).
Doty (1987), membedakan karaginan berdasarkan kandungan sulfatnya menjadi dua fraksi yaitu kappa karaginan yang mengandung sulfat kurang dari 28 % dan iota karaginan jika lebih dari 30 %. Winarno (1996) menyatakan bahwa kappa karaginan dihasilkan dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii, iota karaginan dihasilkan dari Eucheuma spinosum, sedangkan lambda karaginan dari Chondrus crispus, selanjutmya membagi karaginan menjadi 3 fraksi berdasarkan
unit penyusunnya yaitu kappa, iota dan lambda karaginan.
Kappa karaginan tersusun dari α(1,3)-D-galaktosa-4-sulfat dan β (1,4)-3,6-anhidro-D-galaktosa. Karaginan juga mengandung D-galaktosa-6-sulfat ester dan 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat ester. Adanya gugusan 6-sulfat, dapat menurunkan daya gelasi dari karaginan, tetapi dengan pemberian alkali mampu menyebabkan terjadinya transeliminasi gugusan 6-sulfat, yang menghasilkan 3,6-anhidro-D-galaktosa. Dengan demikian derajat keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah (Winarno 1996). Struktur kimia kappa karaginan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 3. Struktur kimia kappa karaginan (cPKelco ApS 2004).
seperti kappa karaginan. Iota karaginan sering mengandung beberapa gugusan 6-sulfat ester yang menyebabkan kurangnya keseragaman molekul yang dapat dihilangkan dengan pemberian alkali (Winarno 1996). Struktur kimia iota karaginan dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 4. Struktur kimia iota karaginan (cPKelco ApS 2004).
Lambda karaginan berbeda dengan kappa dan iota karaginan, karena memiliki residu disulpat α (1-4) D-galaktosa, sedangkan kappa dan iota karaginan selalu memiliki gugus 4-fosfat ester (Winarno 1996). Struktur kimia lambda karaginan dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 5. Struktur kimia lambda karaginan (cPKelco ApS 2004).
pada bagian monomer yang tidak mengandung sulfat yaitu monomer D-galaktosa-4-sulfat dan D-galaktosa-2-sulfat. Ion sulfat tidak pernah ada pada atom C3, ikatan 1,4 glikosidik terdapat pada bagian monomer yang mengandung jembatan anhidro yaitu monomer-monomer 2,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat dan 3,6-anhidro-D-galaktosa serta pada D-galaktosa-2,6-disulfat (Glicksman 1983). Unit-unit monomer karaginan dapat dilihat pada Tabel V.
Tabel I. Unit-unit monomer karaginan
2. Sifat Dasar Karaginan
Sifat-sifat karaginan meliputi kelarutan, viskositas, pembentukan gel dan stabilitas pH.
a. Kelarutan
hidrofilik. Karaginan jenis kappa kurang hidrofilik karena lebih banyak memiliki gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa (Towle 1983; cPKelco ApS 2004).
Karakteristik daya larut karaginan juga dipengaruhi oleh bentuk garam dari gugus ester sulfatnya. Jenis sodium umumnya lebih mudah larut, sementara jenis potasium lebih sukar larut. Hal ini menyebabkan kappa karaginan dalam bentuk garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin dan diperlukan panas untuk mengubahnya menjadi larutan, sedangkan dalam bentuk garam sodium lebih mudah larut. Lambda karaginan larut dalam air dan tidak tergantung jenis garamnya (cPKelco ApS, 2004). Daya kelarutan karaginan pada berbagai media dapat dilihat pada Tabel VI.
Tabel II. Daya kelarutan karaginan pada berbagai media pelarut
b. Stabilitas pH
Karaginan dalam larutan memiliki stabilitas maksimum pada pH 9 dan akan terhidrolisis pada pH dibawah 3,5. Pada pH 6 atau lebih umumnya larutan karaginan dapat mempertahankan kondisi proses produksi karaginan (cPKelco ApS 2004). Hidrolisis asam akan terjadi jika karaginan berada dalam bentuk larutan, hidrolisis akan meningkat sesuai dengan peningkatan suhu. Larutan karaginan akan menurun viskositasnya jika pHnya diturunkan dibawah 4,3 (Imeson 2003).
Kappa dan iota karaginan dapat digunakan sebagai pembentuk gel pada pH rendah, tetapi tidak mudah terhidrolisis sehingga tidak dapat digunakan dalam pengolahan pangan. Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari ikatan glikosidik yang mengakibatkan kehilangan viskositas. Hidrolisis dipengaruhi oleh pH, temperatur dan waktu. Hidrolisis dipercepat oleh panas pada pH rendah (Moirano 1977). Stabilitas karaginan dalam berbagai media pelarut dapat dilihat pada Tabel VII.
Tabe1 III. Stabilitas karaginan dalam berbagai media pelarut
c. Viskositas
temperatur, jenis karaginan, berat molekul dan adanya molekul-molekul lain (Towle 1973; FAO 1990). Jika konsentrasi karaginan meningkat maka viskositasnya akan meningkat secara logaritmik. Viskositas akan menurun secara progresif dengan adanya peningkatan suhu, pada konsentrasi 1,5% dan suhu 75 oC nilai viskositas karaginan berkisar antara 5 – 800 cP (FAO 1990).
Viskositas larutan karaginan terutama disebabkan oleh sifat karaginan sebagai polielektrolit. Gaya tolakan (repulsion) antar muatan-muatan negatif sepanjang rantai polimer yaitu gugus sulfat, mengakibatkan rantai molekul menegang. Karena sifat hidrofiliknya, polimer tersebut dikelilingi oleh molekulmolekul air yang terimobilisasi, sehingga menyebabkan larutan karaginan bersifat kental (Guiseley et al. 1980). Moirano (1977) mengemukakan bahwa semakin kecil kandungan sulfat, maka nilai viskositasnya juga semakin kecil, tetapi konsistensi gelnya semakin meningkat.
3. Pembentukan gel
Menurut Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan.
dan membentuk gel kembali jika didinginkan. Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu pembentukan gel akan mengakibatkan polimer karaginan dalam larutan menjadi random coil (acak). Bila suhu diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur double helix (pilinan ganda) dan apabila penurunan suhu terus dilanjutkan polimer-polimer ini akan terikat silang secara kuat dan dengan makin bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk agregat yang bertanggung jawab terhadap terbentuknya gel yang kuat (Glicksman 1969). Jika diteruskan, ada kemungkinan proses pembentukan agregat terus terjadi dan gel akan mengerut sambil melepaskan air. Proses terakhir ini disebut sineresis (Fardiaz 1989). Mekanisme pembentukan gel karaginan dapat dilihat pada Gambar 14.
Cs+. Kappa karaginan sensitif terhadap ion kalium dan membentuk gel kuat dengan adanya garam kalium, sedangkan iota karaginan akan membentuk gel yang kuat dan stabil bila ada ion Ca2+, akan tetapi lambda karaginan tidak dapat membentuk gel (Glicksman, 1983). Potensi membentuk gel dan viskositas larutan karaginan akan menurun dengan menurunnya pH, karena ion H+ membantu proses hidrolisis ikatan glikosidik pada molekul karaginan (Angka dan Suhartono, 2000).
D. Spektofotometri UV
Teknik spektroskopik merupakan salah satu teknik analisis fisiko-kimia yang mengamati interaksi atom atau molekul dengan suatu radiasi elektromagnetik (REM). Spektrofotometri ultraviolet adalah anggota teknik analisis spektroskopik yang menggunakan sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190–380 nm) dengan menggunakan instrument spektrofotometer. Radiasi ultraviolet jauh (100–190 nm) tidak dipakai, sebab pada daerah tersebut REM diabsorbsi oleh udara (Mulja dan Suharman, 1995).
Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spectrum ultraviolet dan terlihat tergantung pada struktur elektronik molekul (Sastrohamidjojo, 2002). Apabila suatu molekul dikenai REM maka akan terjadi eksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi yang dikenal sebagai orbiltal elektron antiikatan. Ada empat tipe transisi elektronik yang mungkin terjadi yaitu σ →σ*, π→π*, n →π*, dan n →
σ*
Eksitasi elektron (π→π*) diberikan oleh ikatan rangkap dua dan rangkap tingga, juga terjadi pada daerah ultraviolet jauh. Sedangkan eksitasi elektron (n → σ*) terjadi pada gugus karbonil yang terjadi pada ultraviolet jauh (Mulja dan Suharman, 1995).
Dalam praktek spektrofotometri ultraviolet digunakan terbatas pada sistem terkonjugasi. Meskipun demikian terdapat keuntungan yang selektif dari serapan ultraviolet. Yaitu gugus-gugus karakteristik dapat dikenal dalam molekul yang sangat kompleks (Sastrohamidjojo, 2002).
Suatu molekul dapat menyerap radiasi elektromagnetik jika memiliki kromofor, yaitu gugus tak jenuh kovalen sebagai penyerap dalam molekul. Pada senyawa organik dikenal pula gugus auksokrom, yaitu gugus yang tidak menyerap radiasi namun bila terikat bersama kromofor dapat meningkatkan penyerapan oleh kromofor atau mengubah panjang gelombang serapan maksimum (Christian, 2004). Auksokrom merupakan heteroatom yang langsung terikat pada kromofor, misalnya gugus –OCH3, -Cl, -OH, -NH2 (Sastrohamidjojo, 2002).
Spektrofotometri ultraviolet melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis sehingga spektrofotometri ultraviolet lebih banyak digunakan untuk analisis kuantitatif dibandingkan dengan kualitatif. Analisis kuantitatif dengan spektrofotometri ultraviolet selalu melibatkan pembacaan absorbansi REM oleh molekul (A) atau REM yang diteruskan (%T). Bouguer, Lambert dan Beer membuat formula secara matematik hubungan antara transmitan atau absorbansi terhadap intensitas radiasi atau konsentrasi zay yang dianalisis dan tebal larutan yang mengabsorbsi sebagai berikut.
Dimana T = persen transmitan
Io = intensitas radiasi yang dating
It = intensitas radiasi yang diteruskan
e = daya serap molar (Liter.mol-1.cm-1) c = konsentrasi (mol. Liter-1)
b = tebal larutan (cm)
A = serapan (Mulja dan Suharman, 1995).
E. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
dan tetap dibiarkan dalam fase diam kemudian ditentukan untuk dianalisis (Mulja dan Suharman, 1995).
Kemajuan dalam teknologi kolom, system pompa tekanan tinggi dan detektor yang sensitif telah menyebabkan perubahan kromatografi kolom cair menjadi suatu system pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi. Metode ini dikenal sebagai kromatografi cair kinerja tinggi (Anonima, 1995). Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan salah satu metode kromatografi cair yang fase geraknya dialirkan secara cepat dengan bantuan tekanan dan hasilnya dideteksi dengan instrument. Tidak seperti kromatografi gas, KCKT tidak dibatasi oleh volatilitas analit atau ketahanan analit terhadap panas. KCKT memiliki fase diam yang lebih banyak jenisnya sehingga memungkinkan lebih banyak interaksi spesifik untuk terjadinya pemisahan senyawa (Willard, Merrit, Dean, dan Settle, 1988).
Gambar 7. Peralatan KCKT (Kazakevich dan Nair, 1996)
Tiga variabel utama yang harus diperhatikan untuk proses pemisahan dan analisis menggunakan KCKT, yaitu :
a. Fase gerak
Pemisahan dengan fase gerak tunggal disebut elusi isokratik, sedangkan elusi gradient menggunakan dua fase gerak dengan berbagai perubahan komposisi. Suatu KCKT yang baik seharusnya mempunyai lebih dari dua penampung fase gerak. Fase gerak dialirkan ke botol penyampur pada berbagai laju aliran. Sebagian besar pompa KCKT mempunyai keluaran tekanan 70-400 atm, dan mampu menghasilkan aliran sampai 20 ml/menit. Sampel dimasukkan dalam sistem injeksi dengan penyuntik hiperdermik. Sampel sejumlah 2-100 μl dapat ditampung dalam sistem injeksinya (Khopkar, 1990).
Fase gerak untuk analisis KCKT harus murni untuk mencegah adanya peak pengganggu yang dapat tumpang tindih dengan peak analit, tidak bereaksi
memungkinkan memperoleh kembali analit dengan mudah (jika diperlukan), tidak mudah terbakar dan toksisitasnya rendah serta memiliki harga yang wajar (Skoog, Holler, dan Nieman, 1985). Fase gerak KCKT juga harus bebas dari gas yang terlarut karena dapat mempengaruhi kolom (Gritter, Bobbit, Schwarting, 1985). Maka peralatan degassing diperlukan untuk menghilangkan gas yang terlarut di dalam fase gerak (Dean, 1995).
Berikut ini ditampilkan beberapa nilai indeks polaritas dari beberapa pelarut yang sering digunakan :
Tabel IV. Nilai indeks polaritas pelarut
Tabel IV menunjukkan bahwa semakin besar eluotropic values dari pelarut menunjukkan semakin mudah untuk mengelusi sampel. Semakin besar indeks polaritas yang dimiliki oleh pelarut maka semakin bersifat polar pelarut yang digunakan (Snyder et al., 1997).
b. Fase diam
keadaan kolom (Mulja dan Suharman, 1995). Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan diameternya, yaitu:
1. Kolom analitik, memiliki diameter pada bagian dalam 2-6 mm. Panjang kolomnya bergantung pada jenis kemasan yaitu untuk kemasan pelikel biasanya 50-100 cm dan untuk kemasan mikropartikel berpori biasanya 10-30 cm.
2. Kolom preparative, dengan diameter 6 mm atau lebih dan panjang kolom 25-100 cm (Johnson dan Stevenson, 1978).
c. Detektor
detektor yang baik hendaknya memiliki kepekaan tinggi, rentang respon liniernya lebar, tidak dipengaruhi perubahan suhu dan aliran, memberikan hasil dengan keterulangan yang baik, dan tidak banyak derau. Secara umum detektor dibagi menjadi 2 kategori, yaitu :
1. Bulk property detectors, merupakan detektor yang mengukur perubahan sifat fisik fase gerak dan solut. Detektor tipe ini cenderung relatif tidak sensitif dan menghendaki temperature yang terkendali. Contoh detektor jenis ini yaitu detektor indeks bias.
F. Desain Faktorial
Metode desain faktorial adalah sistem desain eksperimental dimana faktor-faktor yang terlibat dalam suatu reaksi atau proses dapat dievaluasi secara simultan dan mengukur efek dari faktor-faktor tersebut. Teknik ini bisa diterapkan dalam masalah farmasi, dan menjadi dasar bagi berbagai macam percobaan atau penelitian untuk mencari pemecahan yang optimum (Armstrong dan James, 1996).
Desain faktorial sederhana salah satunya adalah dengan dua faktor pada dua level (rendah dan tinggi). Hal ini berarti ada dua faktor yang masing-masing faktor diuji pada dua level yang berbeda, yaitu pada level rendah dan tinggi (Bolton, 1990).
Optimasi campuran dua bahan (berarti ada dua faktor) dengan desain faktorial (two level factorial design) dilakukan berdasarkan:
Y = bo + b1X1 + b2X2 + b12X1X2
Dengan: Y = respon hasil atau sifat yang diamati X1, X2 = level bagian A, level bagian B
percobaan II, formula b untuk percobaan III, dan formula ab untuk percobaan IV (Bolton, 1990)
Rancangan percobaan desain faktorial sebagai berikut:
Tabel V. Rancangan percobaan desain faktorial dengan dua faktor dan dua level
Percobaan Faktor A Faktor B Interaksi
1 - - +
a + - -
b - + -
ab + + +
Keterangan:
(-) = level rendah (+) = level tinggi
Percobaan(1) = faktor A level rendah, faktor B rendah Percobaan a = faktor A level tinggi, faktor B rendah Percobaan b = faktor A level rendah, faktor B tinggi
Percobaan ab = faktor A level tinggi, faktor B tinggi (Bolton, 1997). Efek masing-masing faktor dan interaksinya dapat dihitung sebagai rata-rata selisih antara respon pada level rendah dengan respon pada level tinggi. Efek dan interaksi faktor yang diteliti dapat dirumuskan menjadi persamaan berikut:
Efek faktor A= ((a-(1)) + (ab-b)) / 2 Efek faktor B = ((b-(1)) + (ab-a)) / 2
Interaksi = ((ab-b)) + ((1)-a) / 2 (Bolton, 1997).
G. Landasan Teori
tetapi kendala yang dihadapi dalam proses perusakan sistem jelly adalah parasetamol yang terkandung dalam jelly dapat rusak oleh karena pemanasan.
Dalam penelitian ini, hendak ditentukan faktor suhu pemanasan, waktu pemanasan atau interaksinya, komponen mana yang paling dominan dalam menentukan respon % recovery pada analisis kadar parasetamol dalam jelly parasetamol. Komponen yang dominan dapat diteliti dengan metode desain faktorial. Desain ini melihat kontribusi masing-masing faktor dan interaksinya dalam menentukan respon, sehingga dapat dicari seberapa besar suhu dan waktu pemanasan
H. Hipotesis
Hi(1) : suhu pemanasan berpengaruh dominan dalam menentukan respon %
recovery pada analisis kadar parasetamol dalam jelly parasetamol.
Hi(2) : waktu pemanasan berpengaruh dominan dalam menentukan respon %
recovery pada analisis kadar parasetamol dalam jelly parasetamol.
Hi(3) : ada interaksi antara suhu pemanasan dan waktu pemanasan dalam
27
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni karena adanya intervensi atau perlakuan terhadap subyek uji, dengan desain penelitian secara desain faktorial.
B. Variabel Penelitian 1. Klasifikasi Variabel
a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah suhu dan waktu pemanasan untuk memecah sistem jelly.
b. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kadar parasetamol terukur dalam “Jelly parasetamol”. Kadar patasetamol yang diperoleh dikonversikan dalam nilai % recovery.
c. Variabel pengacau terkendali berupa pelarut, alat dan bahan yang digunakan. Pelarut dikendalikan dengan memilih pelarut berkualitas p.a. Bahan dikendalikan dengan menggunakan satu merk bahan selama penelitian. Alat dikendalikan dengan mencuci alat-alat gelas dengan asam pencuci.
2. Definisi Operasional
a. Sampel jelly parasetamol yang digunakan dalam penelitian ini adalah jelly
karaginan, asam sitrat, frukto oligosakarida, vitamin D, kalsium, perasa makanan, dan pewarna karmoisin.
b. KCKT adalah salah satu jenis kromatografi yang fase geraknya dialirkan dengan cepat, dengan bantuan tekanan dan hasilnya dideteksi dengan bantuan instrumen yang sesuai.
c. Kadar parasetamol ditetapkan dalam satuan ppm d. Akurasi dinyatakan sebagai % recovery
C. Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jelly (Nutrijel), baku parasetamol kualitas working standar (Anqiu Lu’an Pharmaceutical), metanol (p.a, E. Merck), etanol (p.a, E. Merck), aquabidest (Otsuka).
D. Alat Penelitian
0,45 µm ; diameter 47 mm), mikropore ukuran pori 945 µm, neraca analitik Scaltec SBC 20, mortir dan stamper, glass finn, alat-alat gelas: pipet ukur, pipet volume, beaker glass, labu takar, gelas ukur, kompor listrik beserta stirrer, dll.
E. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan fase gerak
Fase gerak dibuat dalam campuran metanol : aquabidest (90:10), campuran tersebut digojog dan disaring dengan kertas Whatman organik dengan bantuan pompa vakum dan di degasing selama 15 menit.
2. Pembuatan larutan baku / standar parasetamol
a. Pembuatan larutan baku induk parasetamol. Lebih kurang 10 mg parasetamol baku ditimbang seksama dan dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml kemudian dilarutkan dengan fase gerak sampai volumenya tepat 10,0 ml.
b. Pembuatan larutan baku intermediet parasetamol. Larutan baku induk parasetamol dari langkah di atas dipipet 0,5 ml lalu dimasukkan dalam labu takar 50 ml dan diencerkan dengan fase gerak hingga volumenya tepat 50,0 ml.
c. Pembuatan seri konsentrasi larutan baku parasetamol. Dari larutan baku intermediet dibuat seri larutan baku dengan konsentrasi 3, 4, 5, 6, 7, 8 ppm. Masing-masing seri konsentrasi larutan baku disaring dengan milipore dengan ukuran diameter 0,45 μm dan di degasing selama 15 menit.
3. Penetapan λ max parasetamol
panjang gelombang 200-300 nm dengan spektrofotometer UV. Kemudian diperoleh kurva hubungan panjang gelombang dan absorbansi parasetamol.
4. Pengamatan waktu retensi parasetamol
Sebanyak 3 ml larutan baku intermediet parasetamol diencerkan dengan fase gerak dalam labu takar 10,0 ml sampai tanda. Disaring dengan milipore dan di degasing selama 15 menit. Kemudian sebanyak 50,0 µl larutan disuntikkan
kedalam system KCKT. Dari hasil kromatogram diamati waktu retensi parasetamol pada perbandingan komposisi fase gerak metanol:aquabidest (90:10) dengan volume injeksi 20 µl (Rheodyne Loop Injection).
5. Penetapan kadar sampel
a. Pembuatan Larutan Jelly tanpa Parasetamol. Lebih kurang 6,4286 g serbuk jelly ditimbang seksama, dilarutkan dengan 300 ml aquabidest lalu diaduk hingga homogen. Selanjutnya di panaskan sampai mendidih pada suhu 100ºC selama kurang lebih 5 menit sampai semua serbuk larut merata. Setelah itu larutan dimasukkan ke dalam masing-masing cetakan sebanyak 15 ml. Diamkan selama 15 menit hingga semua jelly memadat.
KCKT dengan kolom ODS (30 cm) dan kecepatan alir 1 ml/menit dan pada panjang gelombang 245 nm.
b. Pembuatan Larutan Parasetamol Sampel. Lebih kurang 120 mg serbuk parasetamol ditimbang seksama, dilarutkan dengan 1 ml aqubidest pada masing-masing cetakan.
c. Pembuatan sampel jelly parasetamol. Lebih kurang 6,4286 g serbuk jelly ditimbang seksama, dilarutkan dengan 280 ml aquabidest lalu diaduk hingga homogen. Selanjutnya di panaskan sampai mendidih pada suhu 100 ºC selama kurang lebih 5 menit sampai semua serbuk larut merata. Setelah itu larutan dimasukkan dalam masing-masing cetakan yang didalamnya sudah berisi larutan parasetamol sampel (larutan pada langkah 5b), hingga volumenya tepat 15 ml. Diamkan selama beberapa saat hingga semua jelly memadat.
d. Pembuatan larutan jelly parasetamol dengan adanya variasi suhu dan waktu pemanasan. Masing-masing jelly kemudian dipanaskan dalam 75 ml aquabidest (dengan variasi suhu dan waktu pemanasan yang telah ditentukan) hingga jelly mencair (terbentuk larutan jelly-parasetamol).
Tabel VI. Variasi suhu dan waktu pemanasan yang digunakan :
Larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan aquabidest hingga tanda. Dari larutan intermediet ini kemudian dibuat
Percobaan Suhu pemanasan (ºC) Waktu pemanasan (menit)
(1) 50 20
a 100 20
b 50 30
larutan baru dengan konsentrasi 8 ppm. Kemudian larutan disaring dengan milipore dengan ukuran diameter 0,45 μm dan di degasing selama 15 menit. Sampel siap untuk diinjeksikan ke dalam instrumen KCKT. Sampel untuk masing-masing variasi suhu dan waktu pemanasan di replikasi sebanyak 5x.
F. Analisis Hasil
a. Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif yang dilakukan adalah penetapan kadar parasetamol dalam jelly
berdasarkan analisi data AUC sampel dan kurva baku parasetamol. Data kemudian
ditampilkan dalam bentuk % recovery. Rumus % recovery sebagai berikut :
% recovery =
b. Analisis hasil kadar parasetamol dalam jelly parasetamol dengan desain faktorial
Berdasarkan respon tiap kombinasi dapat diperoleh persamaan desain faktorial :
Y = b0 + b1XA + b2XB + b12XAXB Keterangan :
Y = respon hasil percobaaan/sifat yang diamati, dalam hal ini % recovery
XA = faktor pertama, dalam hal ini suhu pemanasan XB = faktor kedua, dalam hal ini waktu pemanasan b0, b1, b2, b12 = koefisien yang dapat dihitung berdasarkan hasil
percobaan
dalam perusakan sistem jelly. Kemudian dapat dihitung besarnya efek suhu pemanasan, efek lama waktu pemanasan maupun interaksi yang dihasilkan.
c. Yate’s Treatment
Data kuantitatif % recovery yang diperoleh dianalisis menggunakan Yate’s Treatment dengan taraf kepercayaan 95% untuk melihat signifikansi dari tiap faktor dan interaksinya dalam mempengaruhi respon % recovery.
Sebelumya ditentukan terlebih dahulu, hipotesis alternatif (Hi) yang menyatakan respon persen recovery faktor level rendah berbeda dengan respon % recovery faktor level tinggi dan ada interaksi antara faktor dalam mempengaruhi
respon % recovery, sedangkan H0 merupakan negasi dari Hi yang menyatakan
respon % recovery faktor level rendah tidak berbeda dengan respon % recovery faktor level tinggi dan tidak ada interaksi antara faktor dalam mempengaruhi respon. Hi diterima dan H0 ditolak bila harga F hitung lebih besar dari F tabel. F
tabel diperoleh dari Fα (numerator, denominator) dengan taraf kepercayaan 95 %. Derajat bebas dan interaksi sebagai numerator yaitu 1, dan derajat bebas experimental error sebagai denomimator yaitu 3, sehingga diperoleh harga F tabel
untuk interaksi pada semua respon adalah F0,05(1,3) = 10,128
34
A. Penyiapan Fase Gerak
Penelitian ini merupakan rangkaian penelitian Widyaningtyas (2008) mengenai “Fomulasi dan Penetapan Kadar Sediaan Parasetamol dalam Bentuk Jelly”, sehingga dalam penelitian ini pemilihan fase diam mengacu pada penelitian Widyaningtyas (2008).
Fase gerak yang digunakan dalam penelitian ini adalah campuran antara metanol dan aquabidest dengan perbandingan 90 : 10. Campuran fase gerak bersifat polar, sedangkan fase diam yang digunakan adalah kolom oktadesilsilan yang bersifat non polar sehingga sistem kromatografi yang digunakan adalah kromatografi partisi fase terbalik. Pemilihan fase diam oktadesilsilan karena kolom oktadesilsilan bersifat lebih retensif dibandingkan kolom jenis lainnya. Pada kolom oktadesilsilan, pemisahan dapat lebih optimal karena sampel dengan sifat yang mirip dengan oktadesilsilan akan tertambat lebih lama.
pada kolom dan meningkatkan efisiensi kolom untuk memisahkan komponen campuran.
B. Pembuatan Larutan Baku
Kurva baku dibuat pada rentang 3 – 8 ppm dengan fase gerak sebagai pelarut, yakni campuran antara aqubidest : metanol dengan perbandingan 10 : 90. Pemilihan pelarut yang digunakan didasarkan atas kelarutan parasetamol serta memudahkan dalam pencampurannya dengan fase gerak, dimana pelarut yang digunakan memiliki komposisi yang sama dengan fase gerak, yakni campuran antara aqubidest : metanol dengan perbandingan 10 : 90. Selain itu syarat pelarut yang dapat digunakan dalam sistem KCKT adalah pelarut yang kemurniannya tinggi, dapat bercampur dengan fase gerak dan mudah terelusi.
Larutan baku parasetamol dibuat dalam 6 seri konsentrasi. Konsentrasinya 3 ppm, 4 ppm, 5 ppm, 6 ppm, 7 ppm, dan 8 ppm. Pemilihan seri konsentrasi kurva baku ini dimaksudkan agar kadar yang terdapat dalam sampel dapat masuk dalam rentang seri larutan baku yang digunakan sehingga persamaan kurva baku yang diperoleh dapat digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol dalam sampel.
C. Optimasi Metode 1. Penentuan panjang gelombang maksimum
setiap perubahan konsentrasi adalah paling besar (Pecsok, Shields, Cairns, William, 1976). Penentuan panjang gelombang serapan maksimum dilakukan 2 kali pada seri kadar 6 ppm, dengan tujuan untuk memberikan hasil yang dapat meyakinkan bahwa senyawa tersebut benar-benar senyawa yang dimaksud. Hal ini dilakukan mengingat bahan yang digunakan berkualitas working standar. Pembacaan serapan dilakukan pada rentang panjang gelombang 200 - 400 nm yang termasuk dalam panjang gelombang ultraviolet, karena parasetamol memiliki panjang gelombang serapan maksimum pada rentang itu.
Detektor yang akan digunakan pada sistem KCKT adalah detektor UV karena memiliki sensitivitas tinggi. Analit yang memiliki gugus kromofor dan auksokrom yang dapat terdeteksi oleh detector UV. Selain itu senyawa (Parasetamol) yang ditetapkan kadarnya memiliki gugus kromofor dalam strukturnya sehingga dapat menyerap sinar radiasi ultraviolet. Penyerapan sinar radiasi oleh suatu senyawa tergantung pada struktur elektronik dari senyawa tersebut. Pada gugus kromofor yang dimiliki oleh parasetamol terdapat ikatan rangkap yang mengandung elektron π yang bila dikenai sinar radiasi elektromagnetik akan mudah tereksitasi ke tingkat yang lebih tinggi yaitu orbital
π*
Gambar 8. Gugus kromofor dan auksokrom parasetamol
Dalam Farmakope Indonesia edisi IV (1995) disebutkan bahwa pengujian panjang gelombang serapan maksimum menpunyai makna jika serapan maksimum tersebut tepat pada atau dalam batas 2 nm dari panjang gelombang yang ditentukan. Serapan yang dihasilkan senyawa dapat dilihat pada gambar 10.
Gambar 9. Penentuan panjang gelombang maksimal parasetamol
pergeseran ke panjang gelombang yang lebih panjang / efek batokhromik / red shiff. Sedangkan pada transisi n-π* peningkatan polaritas pelarut akan menyebabkan pergeseran ke panjang gelombang yang lebih pendek / efek hipsokhromik / blue shiff. Demikian yang terjadi pada parasetamol yang mengalami pergeseran panjang gelombang sebesar 3,4 nm dan 3,2 nm. Perbedaan panjang gelombang serapan maksimal antara peneliti dan teoritis juga dapat disebabkan karena perbedaan instrument, kondisi pelarut dan zat yang digunakan pada saat penetapan secara teoritis dan pada saat penelitian.
Pada gambar 10, tampak serapan pada panjang gelombang 200 - 210 nm. Hal ini merupakan serapan dari pelarut yang digunakan, yakni metanol yang memberikan serapan di daerah panjang gelombang 200 - 210 nm. Namun hal tersebut tidak mengganggu pengukuran karena panjang gelombang yang digunakan peneliti jauh dari panjang gelombang serapan metanol (pelarut).
2. Pembuatan kurva baku parasetamol
Tiap seri konsentrasi larutan baku parasetamol diinjeksikan pada KCKT dengan kondisi :
Instrumen : Shimadzu LC-10 AD
Kolom : C18 Merk KNAUER dengan packing Kromasil 100-5 C18 panjang kolom 25 cm, diameter 4,6mm Fase gerak : metanol: aquabides ( 90:10 )
Flow rate : 1 ml/menit AUFs / Atteuation : 0,01 / 7
Dengan menggunakan sistem kromatogram di atas, didapatkan kromatogram parasetamol baku sebagai berikut :
Gambar 10. Kromatogram larutan pelarut (fase gerak)
Gambar 11. Kromatogram larutan baku parasetamol
UV hanya dapat mendeteksi senyawa yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi (kromofor) dan auksokrom. Serta pada penelitian ini digunakan panjang gelombang pada 274,4 nm, sehingga senyawa dengan panjang gelombang dibawah 274,4 nm tidak akan terdeteksi.
Pada gambar 11, hanya 1 peak yang muncul, sehingga dapat dipastikan bahwa peak tersebut adalah peak dari parasetamol. Jika dibandingkan antara gambar 11 dan gambar 12 maka dapat disimpulkan bahwa pelarut yang digunakan tidak mengganggu pembacaan peak pada waktu retensi parasetamol.
Dari gambar 11 dapat dilihat bahwa waktu retensi parasetamol adalah 2,533 menit. Waktu retensi antar tiap senyawa pada umumnya berbeda tetapi spesifik pada senyawa yang sama. Perbedaan waktu retensi antar tiap senyawa ini dipengaruhi oleh interaksi masing-masing senyawa terhadap fase diam dan fase geraknya. Parasetamol mempunyai gugus polar dan nonpolar. Gugus polar dari parasetamol akan berinteraksi dengan fase gerak melalui ikatan hidrogen, sedangkan gugus polarnya akan berinteraksi dengan fase diam melalui ikatan van der Waals. Interaksi antara parasetamol dengan fase gerak dapat dilihat pada
gambar 12.
O N
O H3C
O
H3C
O H O H H O H H H ikatan hidrogen ikatan hidrogen H O H CH3
H O H
H
O CH3
H
ikatan hidrogen
Tiap senyawa memiliki sisi polar dan non polar pada strukturnya. Pada penelitian ini, fase diam yang digunakan bersifat non polar, sedangkan fase geraknya bersifat polar. Karena hal itu, maka senyawa yang cenderung non polar akan lama keluar dari kolom atau memiliki waktu retensi yang besar, begitu pula sebaliknya. Hal ini didasarkan atas prinsip like dissolve like. Interaksi senyawa dengan fase diam terjadi pada bagian senyawa yang non polar.
Interaksi antara parasetamol dengan fase diam terjadi melalui ikatan van der waals. Ikatan ini terbentuk antara gugus nonpolar parasetamol dengan fase diam oktadesilsilan yang juga nonpolar. Karena ikatan yang terjadi sukar untuk digambarkan, maka gambar 13 hanya menunjukkan gugus nonpolar dari parasetamol yang dapat membentuk ikatan van der Waals dengan oktadesilsilan.
Gambar 13. Gugus non polar pada parasetamol yang berinteraksi dengan fase diam
penelitian ini dari 3 kali replikasi dipilih salah satu replikasi yang kemudian digunakan sebagai data kurva baku. Pemilihan data kurva baku ini didasarkan pada nilai r yang digunakan, yaitu nilai r yang mendekati ± 1. Berikut hasil kurva baku untuk 3 kali replikasi seperti yang ditunjukkan pada tabel VII.
Tabel VII. Data kurva baku parasetamol
Penentuan Kurva Baku I Penentuan Kurva Baku II Penentuan Kurva Baku III
Konsentrasi
(ppm) AUC
Konsentrasi
(ppm) AUC
Konsentrasi
(ppm) AUC
3,072 161038 3,072 162409 2,9730 161024
4,096 206160 4,096 224116 3,9640 216159
5,12 269864 5,12 281794 4,9550 269657
6,144 321799 6,144 326443 5,9460 327764
7,168 365354 7,168 393486 6,9370 372567
8,192 448277 8,192 443562 7,9280 445252
a = -13567,98 b = 54595,75 r = 0,9952 y = 54595,75 x - 13567,98
a = -2466, 39 b = 54646,32 r = 0,99905 y = 54646,32 x -2466, 39
a = -7451,1133 b = 56176,1857 r = 0,9986
y = 54646,32 x -2466, 39
Keterangan : = merupakan data kurva baku yang digunakan untuk perhitungan kadar
pada kurva baku yang hampir membentuk garis lurus, ini menunjukkan koefisien korelasi yang mendekati ± 1.
Gambar 14. Kurva baku parasetamol
D. Preparasi sampel
Preparasi sampel, dalam penelitian ini merupakan aspek terpenting yang akan mempengaruhi akurasi hasil pengukuran analit. Preparasi sampel meliputi tiga bagian yaitu pembuatan jelly parasetamol, perusakan sistem jelly, dan isolasi parasetamol dalam jelly.
1. Pembuatan jelly parasetamol
Pembuatan jelly parasetamol dimulai dari pembuatan basis jelly. Jelly yang digunakan dalam penelitian ini adalah nutrijel, dengan komposisi karaginan, asam sitrat, Frukto oligosakarida, vitamin D, kalsium, perasa makanan, dan pewarna karmoisin. Karaginan berfungsi sebagai gelling agent, sehingga
terbentuk matriks jelly yang kaku.
bagi polimer karaginan untuk merengangkan polimer-polimernya sehingga terjadi penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi yang bersambungan. Selanjutnya jala ini akan menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Karena zat aktif (parasetamol) memiliki kelarutan dalam air maka parasetamol akan terperangkap dalam matriks jelly.
Proses pencampuran zat aktif (parasetamol) tidak dilakukan bersama-sama dengan pembuatan basis jelly. Proses ini dilakukan satu per satu dalam masing-masing cetakan jelly, bukan mencampurkan zat aktif sekaligus bersamaan dengan serbuk jelly. Alasannya agar dapat diketahui dengan pasti kadar parasetamol dalam masing-masing jelly.
Monomer-monomer dalam setiap fraksi karaginan dihubungkan oleh jembatan oksigen melalui ikatan β-1,4 glikosidik. Monomer-monomer yang telah berikatan tersebut digabungkan bersama monomer-monomer yang lain melalui ikatan α-1,3 glokisidik yang membentuk polimer. Ikatan β-1,4 glikosidik dan α -1,3 glikosidik inilah yang bertanggung jawab dalam pembentukkan cross link. Cross link yang disebabkan oleh ikatan ini dikenal sebagai physical cross link atau
non-kovalen cross link. Karaginan membentuk tipe cross link yang disebut random koil.
2. Isolasi analit dari sampel
kemampuan zat terdispersi yang berupa polimer untuk membentuk cross link yang menghasilkan suatu matriks (Zatz and Kushla, 1996).
Zat aktif merupakan komponen gel yang larut atau bercampur dalam medium disperse. Untuk menarik zat aktif keluar dari sistem gel maka medium
perlu dibebaskan dari matriks zat terdispersi.
Karaginan adalah zat yang terdipersi dalam formula jelly parasetamol yang digunakan sebagai sampel. Untuk menarik medium disperse (air) dari matriks karaginan, digunakan pemanasan. Alasan digunakan pemanasan adalah sistem jelly akan meleleh jika dipanaskan, sehingga dapat merusak sistem jelly yang menjebak medium disperse yang mengandung zat aktif (parasetamol). Suhu pada saat proses pemanasan ini harus lebih tinggi dari suhu pembentukan gel. Selain suhu pemanasan yang perlu diperhatikan dalam isolasi parasetamol dari jelly, hal lain yang perlu diperhatikan adalah waktu pemanasan untuk merusak sistem jelly. Karena lama pemanasan ini akan berpengaruh terhadap rusaknya sistem jelly. Pada waktu yang relatif singkat ada sebagian jelly yang belum mencair sempurna.
E. Optimasi suhu dan waktu pemanasan
Pada penelitian ini, pertimbangan yang digunakan untuk menentukan level rendah faktor suhu pemanasan adalah sifat parasetamol yang tidak stabil pada suhu diatas 60 °C (Novianti, 2004). Sehingga ditentukan level rendah faktor suhu pemanasan adalah 50 °C, sedangkan level tinggi faktor suhu pemanasan adalah 100 °C, dimana merupakan kelipatan level rendah faktor suhu pemanasan.
Pertimbangan penentuan level rendah faktor waktu pemanasan diperoleh dari hasil orientasi. Dimana pada waktu pemanasan 10 menit, belum semua jelly telah mencair sempurna, sehingga level rendah pemanasan dinaikkan menjadi 20 menit, dimana pada waktu tersebut seluruh jelly telah larut dalam medium. Selanjutnya penentuan level tinggi faktor waktu pemanasan adalah 30 menit, yang merupakan hasil faktor rendah waktu pemanasan ditambah 10 menit. Hasil ini paling sesuai mengingat jika digunakan waktu 40 menit (yang merupakan kelipatan level rendah waktu pemanasan, maka terlalu lama sehingga tidak efisien). Selain itu, diharapkan dengan penggunaan suhu dan waktu pemanasan pada rentang level tersebut dapat memberikan hasil yang berbeda secara signifikan terhadap nilai % recovery hasil penetapan kadar parasetamol dalam jelly.
Pada KCKT, analisis kualitatif dilakukan dengan membandingkan waktu retensi (tR) sampel dengan waktu retensi (tR) baku/ pembanding. Pada penelitian
Gambar 15. Kromatogram parasetamol dalam sampel jelly
Gambar 16. Kromatogram jelly tanpa parasetamol
adanya peak lain selain peak pada waktu retensi 2,532 yang dapat diduga merupakan peak dari parasetamol yang akan kita tetapkan kadarnya.
Pada gambar 15 hanya satu peak yang muncul, sehingga telah terjadi pemisahan yang sempurna antara analit dengan komponen dalam sampel. Jika dibandingkan antara gambar 15 dan gambar 16, maka dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen dalam jelly tidak ikut terdeteksi. Salah satu komponen tersebut adalah karaginan yang berfungsi sebagai gelling agent. Karaginan tidak terdeteksi oleh detektor UV karena tidak memiliki ikatan rangkap terkonjugasi (kromofor) dan auksokrom.
Analisis kuantitatif dilakukan dengan menghitung kadar parasetamol dalam sampel jelly. Hal ini dilakukan untuk melihat respon dari masing-masing perlakuan. Penetapan ini dilakukan dengan sistem yang sama seperti yang digunakan dalam pembuatan kurva baku masing-masing senyawa. Dari AUC masing-masing perlakuan maka dimasukkan dalam persamaan kurva baku, sehingga diketahui kadar masing-masing, lalu dicari nilai % recovery nya. Sehingga diperoleh hasil seperti yang ditunjukkan oleh tabel VIII.
Tabel VIII. Data kadar dan nilai % recovery parasetamol dalam sampel
Perlakuan Replikasi AUC
Kadar Terukur (ppm) Kadar Sebenarnya (ppm) % Recovery % R rata-rata % CV 1
1 360780 6,647 7,940 83,715
92,895 6,835
2 417046 7,677 7,940 96,688
3 404737 7,452 7,907 94,246
4 419532 7,722 7,986 96,694
2
1 382421 7,043 7,927 88,848
93,776 7,204
2 404210 7,442 7,986 93,188
3 369524 6,807 7,940 85,730
4 439777 8,093 7,986 101,340
5 432588 7,961 7,979 99,774
3
1 389625 7,175 7,940 90,365
95,568 6,669
2 380788 7,013 7,940 88,325
3 434112 7,989 7,940 100,617
4 412458 7,593 7,960 95,389
5 447706 8,238 7,966 103,415
4
1 394100 7,257 7,900 91,861
95,070 5,881
2 383693 7,067 7,966 88,715
3 422773 7,782 7,927 98,171
4 444680 8,183 7,946 102,983
5 404731 7,452 7,960 93,618
Pada tabel IX nilai % CV dapat diterima karena masih dalam range yang diperkenankan. Adapun nilai % CV untuk pengukuran analit pada konsentrasi range 1ppm -10 ppm adalah 7,3 % (Yuwono dan Indrayatno, 2005).
Gambar 17. Kromatogram sampel perlakuan 1
Gambar 19. Kromatogram sampel perlakuan 3
Gambar 20. Kromatogram sampel perlakuan 4
Tabel IX. Data AUC sampel masing-masing perlakuan Perlakuan Rata-rata AUC
1 405790.4
2 405704
3 412937.8
4 409995.4
Keterangan :
Perlakuan 1 = suhu pemanasan 50 °C; waktu pemanasan 20 menit Perlakuan 2 = suhu pemanasan 100 °C; waktu pemanasan 20 menit Perlakuan 3 = suhu pemanasan 50 °C; waktu pemanasan 30 menit Perlakuan 4 = suhu pemanasan 100 °C; waktu pemanasan 30 menit
Pada Tabel IX ditunjukkan bahwa perlakuan 3 yang memiliki nilai AUC paling besar. Akan tetapi kita masih belum bisa menentukan faktor mana yang paling dominan, karena nilai AUC yang dihasilkan sangat tergantung dari hasil penimbangan sampel. Oleh sebab itu dari data AUC masing-masing sampel dikonversikan dalam bentuk % recovery, kemudian setelah itu diolah menggunakan aplikasi desain faktorial, sehingga didapatkan efek suhu pemanasan = 0,383; efek waktu pemanasan = 1,9835; efek interaksi = -1,379. Jika nilai efek suhu pemanasan dan waktu pemanasan bertanda positif maka efek tersebut akan meningkatkan respon, dalam hal ini adalah nilai % recovery. Sedangkan nilai efek interaksi bertanda negatif, sehingga akan menurunkan respon % recovery. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa efek waktu pemanasan diprediksi yang paling dominan karena nilainya yang paling besar.
Gambar 21. Pengaruh suhu pemanasan terhadap nilai % recovery
Gambar 22. Pengaruh waktu pemanasan terhadap nilai % recovery
Pada waktu pemanasan level rendah, peningkatan suhu pemanasan akan meningkatkan nilai % recovery. Pada waktu pemanasan level tinggi, peningkatan suhu pemanasan justru menurunkan nilai % recovery (gambar 24).
Melalui hubungan kedua gambar di atas, diketahui bahwa suhu dan waktu pemanasan level tinggi memiliki efek menurunkan nilai % recovery. Hal ini dapat terlihat dari bentuk kurva yang menurun. Penurunan nilai % recovery ini mungkin disebabkan atas sifat parasetamol yang rusak pada suhu diatas 60 °C (Novianti, 2004). Akan tetapi suhu dan waktu pemanasan level rendah justru memiliki efek meningkatkan nilai % recovery. Hal ini dapat terlihat dari bentuk kurva yang menanjak. Sehingga dapat disimpulkan semakin tinggi suhu pemanasan dan semakin lama waktu pemanasan maka nilai % recovery akan menurun.
Namun untuk menentukan faktor mana yang paling berpengaruh dalam meningkatkan dan menurunkan nilai % recovery haruslah diuji terlebih dahulu secara statistik apakah pengaruh tersebut signifikan atau tidak. Pengujian secara statistik ini menggunakan Yate’s Treatment. Melalui pengolahan data secara statistik didapatkan hasil:
Tabel X. Hasil Analisis Statistik Yate’s Treatment
Source of variation Degrees of freedom
Sum of Squares
Mean
Squares Fhitung Ftabel
Replicates 4 325,1661 81,2915 4,49
Treatment 3 11,6715 3,8905
a 1 10,8089 10,8089 0,7084
b 1 0.7065 0.7065 0,0463
ab 1 0,1561 0,1561 0,0102
Experimental error 12 289.905 15,2581
Total 19 626,7426
Ket : a= suhu pemanasan b= waktu pemanasan ab= interaksi
Nilai Ftabel (1,12) dengan tingkat kepercayaan 95% adalah 4,49. Berdasarkan
lebih kecil dari nilai Ftabel. Sehingga H0 diterima yang menunjukkan suhu pemanasan
tidak berpengaruh dominan dalam menentukan nilai % recovery pada analisis kadar
parasetamol dalam jelly parasetamol(lampiran 7).
Sedangkan Fhitung waktu pemanasan (b) lebih kecil dari nilai Ftabel.
Sehingga H0 diterima yang menunjukkan waktu pemanasan tidak berpengaruh
dominan dalam menentukan nilai % recovery pada analisis kadar parasetamol dalam jelly parasetamol (lampiran 7).
Nilai Fhitung interaksi lebih kecil dari F tabel sehingga Hi3 ditolak, Ho3
diterima yang menunjukkan tidak ada interaksi antara suhu pemanasan dengan waktu pemanasan dalam menentukan respon nilai % recovery (lampiran 7). Hal ini menunjukkan interaksi tidak berpengaruh secara signifikan, sehingga respon nilai % recovery lebih dipengaruhi oleh faktor yang digunakan, dalam hal ini suhu pemanasan dan waktu pemanasan. Namun suhu pemanasan memberikan efek yang paling dominan, dikarenakan nilai F-nya paling besar.
Efek suhu pemanasan yang paling dominan ini, dapat dikarenakan efek pemanasan dapat merusakan sistem jelly. Sehingga dengan rusaknya sistem jelly, maka parasetamol menjadi tidak terjebak dalam matriks jelly. Dengan tidak terjebaknya parasetamol ini, menyebabkan keberadaan parasetamol menjadi lebih besar, sehingga nilai % recovery-nya cenderung lebih besar. Berbeda jika parasetamol terjebak dalam matriks jelly menyebabkan keberadaan parasetamol dalam sistem menjadi berkurang. Sehingga akan menurunkan nilai % recovery-nya.
0,00276 XAXB. Melalui persamaan tersebut dibuat contour plot untuk menentukan area optimum suhu dan waktu pemanasan dalam mendapatkan nilai % recovery yang memenuhi range yaitu 95% - 105% (Mulja and Hanwar, 2003). Penentuan range ini didasarkan atas konsentrasi sampel analit. Berikut hasil contour plot dari persamaan Y = 91,19 - 0,07282 XA + 0,4053 XB - 0,00276 XAXB yang ditunjukkan pada gambar 23 di bawah ini.