HUBUNGAN ANTARA KEADILAN INTERAKSIONAL
DENGAN INTENSI TURNOVER PADA KARYAWAN PDAM
CILACAP
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Diana Pujihastuti
NIM : 039114065
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
MOTTO
Serahkanlah khawatirmu kepada TUHAN, maka Ia akan
memelihara
engkau!
(Mazmur 55:23)
Selalu berusaha melakukan yang terbaik hari ini
karena kita tidak pernah tahu akan hari esok.
Jika sesuatu terselimuti CINTA ia menjadi tanpa batas.
CINTA tidak pernah mencari kesenangan diri tetapi memudahkan orang lain.
PERSEMBAHAN
Karya Terindah Ini Kupersembahkan Kepada :
Papa, Mamaku Tercinta yang dengan kesabaran telah
membuatku belajar tentang arti hidup…
Kakak-kakakku terkasih yang setia menemaniku saat ku
jatuh… dan
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya dari orang lain, kecuali yang telah
disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, Juni 2007
ABSTRAK
HUBUNGAN ANTARA KEADILAN INTERAKSIONAL DENGAN
INTENSI TURNOVER PADA KARYAWAN PDAM CILACAP
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keadilan interaksional dengan intensi turnover pada karyawan PDAM Cilacap. Asumsinya adalah jika keadilan interaksionalnya tinggi maka intensi turnover rendah. Hipotesis yang diajukan adalah adanya hubungan negatif antara keadilan interaksional dengan intensi turnover.
Variabel dalam penelitian adalah keadilan interaksional sebagai variabel bebas dan intensi turnover sebagai variabel tergantung. Jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak 55 karyawan dengan kriteria memiliki jabatan dibawah direksi, usia antara 20-40 tahun, masa kerja 0-10 tahun dan pendidikan minimal SMU. Pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran skala keadilan interaksional dan skala intensi turnover. Dari 120 item, terdapat 51 item valid dan 9 item gugur pada skala keadilan interaksional dan 30 item valid dan 30 item gugur pada skala intensi turnover. Reliabilitas yang dihasilkan dari uji coba skala adalah sebesar 0,967 pada skala keadilan interaksional dan reliabilitas sebesar 0,947 pada skala intensi turnover.
ABSTRACT
RELATIONSHIP BETWEEN INTERACTIONAL JUSTICE AND
TURNOVER INTENTION IN PDAM'S CILACAP EMPLOYEES
The research aims to know the relationship between interactional justice and turnover intention in PDAM's Cilacap employees. The assumption is if the interactional justice is higher so the turnover intention is lower. The existancy of the negative relation between interactional justice with the turnover intention propose as the hypothesis of this research.
The research variable is interactional justice as the independent variable and turnover intention as the dependent variable. The subject of this research are 55 employees with position under director, who has age between 20-40 years old, with tenure between 0-10 years, and the minimum educated of Senior High School. The data collection was done through scattered interactional justice scale and turnover intention scale. From 120 items, there are 51 items valid and 9 items invalid for interactional justice scale and 30 items valid and 30 items invalid for turnover intention scale. The trying out of two scales resulted reliability 0,967 for interactional justice scale and reliability 0,947 for turnover intention scale.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala cinta kasih-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana
Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari keterlibatan berbagai
pihak yang telah memberikan bantuan yang sangat berarti. Sehubungan dengan
itu, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Tuhan Yesus Kristus, yang telah memberikan kesempatan aku hidup
sehingga aku dapat berkarya sampai saat ini.
2. P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si., sebagai Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan ijin penelitian.
3. Kristiana Dewayani, S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan
mengarahkan penulis selama penyusunan skripsi berlangsung.
4. Sylvia Carolina MYM S.Psi., M.Si., selaku dosen penguji yang telah banyak
memberikan masukan demi tersempurnanya skripsi ini.
5. P. Henrietta P.D.A.D.S, S.Psi., selaku dosen penguji yang telah banyak
memberikan masukan demi penyempurnaan skripsi ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang telah
memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi masa depan
7. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi Sanata Dharma: mba'Nanik, mas
Gandung, pak Gik, mas Doni dan mas Muji, makasih banyak…
8. Drs. Budi Gagak Handoko, MM selaku direktur utama PDAM Cilacap yang
telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melakukan penelitian di
PDAM Cilacap.
9. Adi Tjahjono, S.Sos selaku karyawan personalia yang telah membantu
penulis selama melakukan penelitian di PDAM Cilacap.
10. Seluruh karyawan PDAM Cilacap yang menjadi subyek dalam penelitian
ini. Terima kasih atas kesediaannya untuk mengisi kuesioner di tengah
kesibukan Anda sekalian.
11. Mas Toni yang telah banyak membantu selama pengambilan data tryout.
Makasih yo Mas…
12. Papaku Tercinta “Babe Hardjo” yang telah mendidik dan membesarkanku
dengan setiap keringat yang terkuras untuk keberhasilanku. Maafkan jika
selama ini aku belum menjadi anak yang terbaik buat Papa. I Luv U Pa..
13. Mamaku Tercinta “Mama Pud”, di setiap doanya namaku disebut dan di
setiap air susu yang mengalir membuatku semakin kuat dalam menghadapi
segala persoalan yang kuhadapi. Maafkan jika selama ini aku belum bisa
nurut sama mama. Makasih buat semuanya.. I Luv U Ma…
14. Kakakku terkasih, mba'Rita & mas Rico; mba'Tiwuk & mas Dewo yang
telah banyak memberikan perhatian&nasihat2 yang sangat berguna buat
diriku. Maafin ya kalau adekmu ini banyak nyusahin. Tapi yang pasti…Aku
15. Keponakanku yang lucu2, Arya-Rangga, yang selalu menghiburku di setiap
senyumannya. Te'Nok dah lulus nih, hehehe… ☺
16. Michael Iron Pratama… Terima kasih buat kebersamaan yang indah ini
selama lebih dari 3 tahun. Tanpa dorongan dan semangat yang kamu berikan
mungkin skripsi ini belum terselesaikan. Makasih juga buat pinjaman
pundaknya yang selalu memberikan ketenangan di saat ku sedih..
I luv U Nduth
17. “ R 4708 EK ” yang selalu menemaniku kemanapun aku melangkah
walaupun di saat panas, dingin, maupun hujan.
18. Keluarga Besar Alm Sunardi Sastrosuhardjo, Manjung Sawit Boyolali:
Budhe Nik, Budhe Tik, Budhe Sri, mba'Atik, mba'Dewi, Fatma, dan semua
saudara2ku. Terima kasih telah menjadi saksi perjalanan hidupku selama 22
tahun ini. Aku mencintai kalian semua…
19. Keluarga Besar mbah'putri Nglungge…Terima kasih buat kebersamaan, doa
dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini. Buat Sandra&Ririn yang
dengan rela mengantarku walaupun kalian lelah. Aku mencintai kalian
semua…
20. Ana, Dhanie, Dyaz, Melan, Linda. Makasih buat persahabatan yang indah
selama 4 tahun ini.. teman2 yang gila, asyik, tapi juga enak diajak diskusi ya
itulah kalian itu.. ☺ “Dol, kapan nyusul?hehehe..semangat ye!..”
21. Beni, Indri, Atok, Nanang, Rondang, Galih.. Kalian emang sahabatku yang
baik dan selalu memberikan semangat di saat ku lelah.. Makasih buat
22. Teman-teman angkatan 2003 yang selalu berjuang meraih cita-citanya. Ayo
Semangat guys! Miu…akhirnya qta bisa pendadaran juga,hehe.. Sadel,
Dhani, Suster, Melati, Marin, Prima, Okie, Ayu “ndut”, Wahyu, Ani, Risa,
Lina, Nat2, Anie, Devita, dan teman2 kampusku lainnya “makasih ya..”
23. Linggar, Yani, Angel, Heni, Laura, Erika, Gatha, Eva dan Cantex. Terima
kasih buat masa-masa yang indah ketika kita di stece dulu.. gila abis
pokoknya euy.. ☺
24. Sahabat-sahabat rohaniku.. Ajiek, Nirma, Iit, Sari, mba Desi, mas Cahyo,
mba Yayik, Adi, Lia, Seto, Jepli, Budex, Egi, I-one, Anes, Yudi, Vivi, dan
masih banyak lagi.. “makasih ya…”
25. Semua pihak yang tidak bisa kusebutkan satu-persatu.. terima kasih buat
semuanya.. Tuhan memberkati kalian semua..
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belumlah sempurna. Maka dari itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat diharapkan demi
semakin sempurnanya skripsi ini. Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan bagi rekan-rekan mahasiswa
Fakultas Psikologi pada khususnya.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………... i
HALAMAN PERSETUJUAN……… ii
HALAMAN PENGESAHAN………. iii
MOTTO……… iv
PERSEMBAHAN………... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. vi
ABSTRAK……….. vii
ABSTRACT……… viii
KATA PENGANTAR………. ix
DAFTAR ISI……… xiii
DAFTAR TABEL………... xvi
DAFTAR BAGAN……….. xvii
DAFTAR LAMPIRAN……… xviii
BAB I PENDAHULUAN……….. 1
A. Latar Belakang Masalah………. 1
B. Rumusan Permasalahan……….. 7
C. Tujuan Penelitian……… 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………. 9
A. Intensi Turnover………. 9
1. Pengertian Intensi………. 9
2. Pengertian Turnover……… 12
3. Pengertian Intensi Turnover……… 14
4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Turnover………... 17
B. Keadilan Interaksional………... 22
1. Pengertian Keadilan Interaksional……….. 22
2. Aspek-aspek Keadilan Interaksional………... 24
3. Dampak Keadilan Interaksional……….. 29
C. Hubungan Keadilan Interaksional dengan Intensi Turnover…. 32 D. Hipotesis……… 33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……….. 35
A. Jenis Penelitian……….. 35
B. Variabel Penelitian……… 35
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian……….. 35
D. Subyek Penelitian……….. 37
E. Metode Pengumpulan Data………... 38
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur………. 42
G. Metode Analisis Data……… 43
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 45
1. Sejarah Singkat……….. 45
2. Tujuan Pendirian PDAM……….. 46
3. Visi dan Misi PDAM……… 46
4. Struktur Organisasi……… 49
5. Karyawan PDAM………. 49
B. Persiapan Penelitian……… 51
1. Perijinan Penelitian………... 51
2. Pelaksanaan Uji Coba Alat Ukur……….. 51
3. Hasil Uji Coba Alat Ukur……….. 51
C. Pelaksanaan Penelitian………. 55
D. Hasil Analisis Data……….. 56
1. Deskripsi Data………... 56
2. Uji Asumsi………. 58
3. Uji Hipotesis………. 59
E. Pembahasan……….. 59
BAB V PENUTUP………. 64
A. Kesimpulan………. 64
B. Saran……… 64
DAFTAR PUSTAKA……….. 66
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Intensi Turnover Sebelum Uji Coba………... 40
Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Keadilan Interaksional Sebelum Uji Coba…. 41
Tabel 3. Daftar Karyawan Berdasarkan Pusat/Cabang/Unit…….………. 50
Tabel 4. Tabel Aitem Setelah Uji Coba Skala Intensi Turnover………... 52
Tabel 5. Distribusi Aitem Skala Intensi Turnover Setelah Uji Coba…………. 53
Tabel 6. Tabel Aitem Setelah Uji Coba Skala Keadilan Interaksional……….. 54
Tabel 7. Distribusi Aitem Skala Keadilan Interaksional Setelah Uji Coba…... 55
Tabel 8. Tabulasi Data Subyek Penelitian………. 56
Tabel 9. Deskripsi Data Penelitian………. 57
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 1. Kerangka Konseptual untuk Meramalkan Suatu Intensi
Atau Perilaku Tertentu……… 10
Bagan 2. Bagan Model Hubungan Perantara Mobley……… 15
Bagan 3. Bagan Withdrawal Cognition versi Hom, Caranikas-Walker,
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
LAMPIRAN A. SKALA UJI COBA……… 69
LAMPIRAN B. HASIL UJI COBA………. 78
LAMPIRAN C. RELIABILITAS ALAT UKUR………. 94
LAMPIRAN D. SKALA PENELITIAN……….. 102
LAMPIRAN E. HASIL PENELITIAN……….... 109
LAMPIRAN F. UJI NORMALITAS………... 131
LAMPIRAN G. UJI LINEARITAS………... 132
LAMPIRAN H. UJI HIPOTESIS ………. 133
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keluar masuknya karyawan dari organisasi atau perusahaan adalah
suatu fenomena penting dalam kehidupan organisasi. Hal ini dikarenakan
fenomena keluar masuknya karyawan akan merugikan perusahaan-perusahaan
yang sedang ingin berkembang dan maju. Menurut Spector (1996) pada setiap
perusahaan pasti selalu ada karyawan yang mengundurkan diri dari
pekerjaannya. Pengunduran diri karyawan ini disebut dengan istilah turnover.
Turnover adalah putusnya hubungan kerja antara karyawan dengan
perusahaan tempat ia bekerja secara permanen dengan cara keluar atau
berpindah perusahaan secara sukarela tanpa pemberian imbalan maupun
secara terpaksa disertai dengan pemberian imbalan dari perusahaan (Spector,
1996).
Fenomena turnover ini menjadi layak untuk diperbincangkan karena
turnover sendiri dapat menyebabkan pengeluaran tenaga dan biaya yang tidak
sedikit. Selain itu, bila tidak cepat diatasi, maka turnover ini bisa menghambat
efektivitas dan efisiensi kerja yang selanjutnya akan menurunkan tingkat
produktivitas (Damayanti, 2003).
Menurut Simamora (1997), tingkat turnover yang tinggi merupakan
ukuran yang sering digunakan sebagai indikasi adanya masalah yang
2
sampai pada tingkat yang diterima karena turnover sendiri membutuhkan
biaya yang mahal. Namun demikian, mempertahankan tingkat turnover
sebesar nol adalah tidak realistik dan bahkan tidak dikehendaki.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa turnover merupakan
masalah yang sangat serius bagi perusahaan karena selalu mengeluarkan
anggaran yang tidak sedikit (Maeir, 1946; Staw, 1991). Lebih kompleks lagi,
permasalahan turnover membawa kerugian yang besar terhitung dari proses
rekruitmen, seleksi, orientasi, penempatan, pelatihan, penilaian prestasi kerja,
perencanaan dan pengembangan karir, pemberian imbal jasa, hubungan
industrial, pembentukan budaya dan etos kerja sampai pemutusan hubungan
kerja (Cowsey & Wedley dalam Handoyo, 1998).
Menurut Spector (1996) ketika laju turnover semakin tinggi maka
karyawan menjadi semakin tidak berpengalaman dan tidak terlatih. Akibatnya
karyawan menjadi tidak efisien dan mengalami kesulitan dalam mencapai
tujuan perusahaan.
Mobley (1986) menambahkan akibat-akibat negatif yang dapat
ditimbulkan turnover yaitu masalah biaya, masalah prestasi, masalah pola
komunikasi dan sosial, merosotnya semangat kerja, strategi-strategi
pengendalian yang kaku dan biaya-biaya peluang strategik. Turnover dapat
merugikan perusahaan yang sedang berkembang karena membutuhkan biaya
yang besar. Masalah prestasi terkait dengan potensi karyawan yang baru
belum tentu sama dengan karyawan yang keluar. Turnover juga akan
3
jaringan komunikasi atau merupakan kelompok kerja yang terpadu sehingga
akan berakibat negatif bagi karyawan lain yang masih tinggal. Mereka merasa
terbebani dengan pekerjaan yang ditinggalkan karyawan yang keluar dan
dapat menurunkan semangat kerja sehingga karyawan yang tadinya tidak
berniat untuk mencari pekerjaan lain akan mulai mencarinya. Akibat negatif
lain bagi perusahaan yaitu akan dilaksanakan strategi-strategi dan
kebijakan-kebijakan pengendalian pergantian karyawan yang kaku seperti kenaikan gaji
yang pukul rata, pelatihan-pelatihan “kilat” tentang hubungan sosial dan lain
sebagainya. Selain itu, turnover juga berdampak pada perusahaan untuk
menunda atau membatalkan usaha-usaha yang mempunyai keuntungan cukup
besar.
Terjadinya turnover sebenarnya dapat diprediksikan sebelumnya
dengan apa yang disebut intensi turnover. Shore dan Martin (dalam Handi,
2003) melihat bahwa intensi turnover merupakan variabel tergantung yang
tepat karena intensi turnover terkait erat dengan turnover sebenarnya. Smither
(1994) juga menambahkan bahwa sebenarnya turnover tidak bisa diukur
secara langsung dan intensi turnover merupakan prediktor terbaik dari
perilaku seseorang untuk melakukan turnover.
Intensi turnover adalah besarnya niat seseorang untuk keluar dari
perusahaan tempat ia bekerja secara permanen dan kemudian pindah ke
perusahaan lain (Staw, 1991). Intensi turnover inilah yang kemudian
termanifestasikan dalam tindakan nyata yaitu turnover (Smither, 1994). Hal
4
Mobley yang menyatakan bahwa intensi untuk keluar dari perusahaan
merupakan variabel yang mendorong terjadinya turnover pada karyawan
(Mobley, 1986). Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebelum muncul tindakan
nyata dalam diri seseorang pasti akan muncul apa yang disebut intensi.
Ada banyak hal yang bisa mempengaruhi turnover seorang karyawan.
Beberapa peneliti menjelaskan bahwa turnover dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang kompleks; antara lain yaitu usia dan jabatan, lama bekerja, tingkat
pendidikan dan intelegensi, komitmen terhadap perusahaan, kepuasaan kerja
dan stres kerja (Mobley, 1986). Selain itu, Smither (1994) menambahkan
bahwa turnover juga dipengaruhi oleh tersedianya lapangan pekerjaan.
Menurut Slum dkk (Damayanti, 2003) perusahaan harus
memperhatikan beberapa hal agar karyawan merasa betah bekerja dalam
perusahaan sehingga tidak berniat untuk mencari pekerjaan lain. Beberapa hal
tersebut antara lain (1) Imbal jasa yang memadai. Hal ini merupakan faktor
utama mengapa orang mau bekerja, jika faktor ini tidak dipenuhi tidak heran
bila dalam perusahaan terjadinya turnover yang tinggi. (2) Suasana kerja yang
menyenangkan. Suasana kerja yang menyenangkan akan membuat para
karyawan betah bekerja untuk jangka panjang. (3) Keadilan. Pada dasarnya
setiap orang ingin diperlakukan secara adil, maka perusahaan pun harus
memberikan hal ini kepada setiap karyawan. (4) Pemerataan kesempatan
berkembang. Perusahaan harus membangun sistem yang memungkinkan
5
Seperti yang telah dijelaskan oleh Slum dkk (Damayanti, 2003),
meskipun masalah keadilan hanya merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi bertahan tidaknya karyawan dalam perusahaan, namun ketiga
faktor lainnya juga banyak melibatkan rasa keadilan. Hal ini dikarenakan
karyawan yang tidak diberi penjelasan bagaimana keputusan itu ditentukan
terkadang merasa diperlakukan tidak adil dan mereka nantinya akan bereaksi
terhadap keputusan tersebut.
Keadilan interaksional sebagai salah satu jenis keadilan dalam
organisasi, sedikit banyak memberikan pengaruh pada sikap dan perilaku
karyawan. Keadilan interaksional berkaitan dengan kepekaan organisasi dalam
memperlakukan dan menjalin hubungan dengan karyawan secara hormat
(Landy & Conte, 2004). Salah satu argumen penting keadilan interaksional
adalah adanya anggapan bahwa aspek penting dari keadilan ketika orang
berhubungan dengan pemegang kekuasaan adalah rasa hormat dan
menghargai sebagai cerminan dari sensitivitas sosial kepada penguasa
(Skarlicki & Folger, 1997).
Berbagai penelitian tentang keadilan interaksional telah banyak
dilakukan. Damayanti (2003) menyebutkan bahwa ada hubungan antara
keadilan interaksional dan komitmen organisasi. Kusumawardani (2007) juga
menemukan bahwa keadilan interaksional mempengaruhi tinggi rendahnya
komitmen karyawan. Selain itu, Barling & Philips (Colquitt, 2001)
mengemukakan bahwa keadilan interaksional mempengaruhi perilaku
6
seseorang akan mempersepsi keadilan interaksional ketika sedang berhadapan
dengan pembuat keputusan.
Keadilan interaksional dalam organisasi meliputi penghargaan,
netralitas dan kepercayaan. Setiap karyawan membutuhkan penghargaan atas
statusnya sebagai individu. Perlakuan yang bijak, sopan, menghargai hak dan
menghormati dari penguasa kepada anggota kelompok merupakan bagian dari
penghargaan (Faturochman, 2002). Perusahaan yang kurang mampu
memberikan penghargaan terhadap karyawannya baik itu berupa sikap,
tindakan maupun kata-kata yang mencerminkan penghargaan maka akan
mengakibatkan merosotnya semangat kerja.
Aspek netralitas dari perusahaan juga sangat penting bagi karyawan.
Netralitas berarti bahwa dasar-dasar dari pengambilan keputusan adalah
berdasarkan fakta bukan opini, adanya keterlibatan orang ketiga dalam
menyelesaikan masalah dan tidak adanya perbedaan perlakuan antara satu
orang dengan yang lainnya (Faturochman, 2002). Karyawan akan merasa
malas dalam bekerja apabila terdapat ketidaknetralan dalam perusahaan
tempatnya bekerja.
Menurut Brockner & Siegel (dalam Faturochman, 2002), kepercayaan
merupakan salah satu bagian penting dari keadilan interaksional. Kepercayaan
didefinisikan sebagai harapan pihak lain dalam melakukan hubungan sosial,
yang didalamnya tercakup risiko yang berkaitan dengan harapan itu. Artinya
bila seseorang mempercayai orang lain, ketika hal itu tidak terbukti, ia akan
7
(Faturochman, 2002). Kurangnya kepercayaan yang diberikan perusahaan
terhadap karyawan akan mengakibatkan karyawan merasa tidak dihargai dan
tidak dipedulikan keberadaannya. Ketidakpedulian ini bisa menurunkan
motivasi karyawan untuk bekerja dengan sebaik-baiknya.
Handi (2003) mengatakan bahwa meskipun penelitian-penelitian
sebelumnya banyak yang meneliti tentang keadilan organisasi, namun sedikit
penelitian yang menguji hubungan antara keadilan organisasi dan intensi
turnover. Selain itu penelitian-penelitian sebelumnya dalam bidang keadilan
organisasi hanya dilakukan terutama dalam seting laboratorium dan
mengabaikan elemen-elemen yang berpengaruh terhadap perilaku individu
dalam seting organisasi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti
tertarik untuk meneliti hubungan antara keadilan interaksional dengan intensi
turnover.
B. Rumusan Permasalahan
Masalah dalam penelitian ini adalah :
Apakah ada hubungan antara keadilan interaksional dengan intensi turnover?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
8
D. Manfaat Penelitian
Diketahuinya hubungan antara keadilan interaksional dengan intensi
turnover diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis :
Menambah kajian atau bahasan teoritis dalam bidang Psikologi
Industri dan Organisasi tentang keputusan seorang karyawan suatu
perusahaan untuk melakukan turnover yang dipengaruhi oleh keadilan
interaksional, dan khususnya pada bidang Psikologi Sumber Daya
Manusia mengenai kaitan karyawan sebagai sumber daya manusia dengan
perusahaan dimana setiap saat karyawan memiliki kemungkinan untuk
melakukan turnover.
2. Manfaat Praktis :
a. Perusahaan
Memberi gambaran bagi perusahaan mengenai penerapan
prinsip-prinsip keadilan interaksional yang sesuai dengan harapan
karyawan sehingga bisa mencegah karyawan untuk melakukan
turnover.
b. Karyawan
Sebagai bahan refleksi atau evaluasi dalam bekerja, khususnya
berkaitan dengan hubungan antara keadilan interaksional dan intensi
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Intensi Turnover
1. Pengertian Intensi
Fishbein & Ajzen (1975) menyatakan bahwa tingkah laku yang
muncul pada manusia merupakan pembentukan hubungan timbal balik
antara keyakinan (belief), sikap (attitude) dan intensi (intention) individu.
Keyakinan dikategorikan sebagai aspek kognitif yang melibatkan
pengetahuan, pendapat, dan pandangan individu terhadap objek. Sikap
dikategorikan sebagai aspek afektif yang mengarah pada perasaan individu
terhadap suatu objek serta evaluasi yang dilakukannya. Sedangkan intensi
dikategorikan sebagai aspek konatif yang menunjukkan intensi individu
dalam bertingkah laku (behavioral intention) dan bertindak ketika
berhadapan langsung dengan objek. Hubungan antara ketiganya secara
skematis dapat dilihat pada bagan 1.
Fishbein & Ajzen (1975) mengemukakan bahwa intensi individu
untuk melakukan perilaku tertentu merupakan fungsi dari dua komponen
utama yaitu :
a. Komponen sikap, yaitu sikap individu terhadap dilakukannya perilaku
10
b. Komponen norma subjektif, yaitu berhubungan dengan keyakinan
individu tentang pandangan orang lain atau tekanan sosial yang ada di
lingkungannya.
Bagan 1
Kerangka Konseptual untuk Meramalkan Suatu Intensi Atau Perilaku Tertentu (Fishbein & Ajzen, 1975)
Keyakinan akan akibat dari perilaku X
Sikap terhadap perilaku X
Intensi untuk melakukan perilaku X
Norma subyektif tentang perilaku X Keyakinan normatif
akan akibat perilaku X
Perilaku X
: Pengaruh
: Umpan balik
Penjelasan Bagan
Keyakinan akan akibat perilaku X adalah komponen yang berisikan
aspek tentang X yaitu akibat positif dan negatif yang didapat subjek bila
11
tentang perilaku tersebut, akan semakin positif sikap subjek terhadap
perilaku tersebut.
Keyakinan normatif akan akibat perilaku X adalah komponen
pengetahuan tentang X yang merupakan pandangan atau pendapat orang
lain yang memberi pengaruh terhadap kehidupan seorang individu, dimana
individu tersebut dapat menerima atau menolak pengaruh-pengaruh
tersebut. Pengaruh yang diterima oleh individu akan membentuk norma
subjektif individu tentang perilaku X. Jadi norma subjektif tersebut
berisikan keputusan yang dibuat individu setelah mempertimbangkan
pandangan orang-orang yang mempengaruhi dunianya.
Intensi seseorang untuk melakukan suatu perilaku didasari oleh sikap
orang tersebut terhadap perilaku itu dan norma subjektif tentang perilaku
tersebut (Fishbein & Ajzen, 1975). Sikap terhadap perilaku merupakan
fungsi dari keyakinan terhadap perilaku tersebut. Keyakinan yang
dimaksud disini adalah bahwa individu yakin bahwa perilaku yang
dilakukan memberikan hasil. Sedangkan norma subjektif merupakan
fungsi dari keyakinan individu terhadap norma yang diberlakukan pada
lingkungannya. Keyakinan normatif akibat perilaku tersebut terbentuk dari
umpan balik yang diberikan oleh perilaku itu sendiri. Keyakinan terhadap
norma ini akan mempengaruhi norma subjektif yang kemudian akan
12
Menurut Fishbein & Ajzen (1975) intensi melibatkan empat elemen
yang berbeda, yaitu :
1. Behavior : Tingkah laku yang akan dilakukan
2. Target : Tujuan dari perilaku tersebut
3. Time : Waktu terjadinya perilaku tersebut
4. Situation : Keadaan pada saat tindakan dilaksanakan, penyebab
mengapa tingkah laku itu dilaksanakan.
Setiap elemen di atas memiliki tingkat kekhususan yang berbeda.
Pada tingkat yang paling spesifik keempat elemen akan tercakup
didalamnya yaitu seorang individu bermaksud untuk melakukan suatu
tindakan tertentu yang berhubungan dengan targetnya dalam situasi dan
waktu tertentu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa intensi adalah kemungkinan subjektif
seorang individu untuk melakukan suatu perilaku tertentu yang
berhubungan dengan target yang hendak dicapai dalam situasi dan waktu
tertentu, serta dipengaruhi oleh sikap dan norma subjektif yang dimiliki.
2. Pengertian Turnover
Cascio (1998) mendefinisikan turnover sebagai berhentinya
hubungan kerja secara permanen antara perusahaan dengan karyawannya,
tidak disebabkan karena kematian, pensiun atau PHK. Spector (1996)
mengungkapkan bahwa turnover adalah putusnya hubungan kerja antara
13
cara keluar atau berpindah perusahaan secara sukarela atau dengan
terpaksa dan disertai dengan pemberian hadiah. Maeir (1946)
mengungkapkan bahwa turnover adalah perpisahan antara perusahaan
dengan pekerja, sedangkan Scott (Anggraeni, 2004) mendefinisikan gejala
turnover sebagai perpindahan tenaga kerja dari dan ke sebuah perusahaan.
Minner (Anggraeni, 2004) memberi batasan tentang turnover sebagai
karyawan yang meninggalkan perusahaan tempat dia bekerja secara
permanen. Sedangkan Mobley (1986) memberi batasan tentang turnover
sebagai berhentinya individu dari anggota suatu organisasi yang disertai
dengan pemberian imbalan keuangan oleh organisasi yang bersangkutan.
Pemberhentian tersebut menurut Robbins (dalam Anggraeni, 2004)
dibedakan menjadi 2 tipe yaitu turnover yang sukarela atau yang tidak
diprakarsai oleh perusahaan (voluntary turnover) dan tipe turnover yang
terpaksa atau yang diprakarsai oleh perusahaan, ditambah dengan
kematian dan pengunduran diri atas desakan.
Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa
turnover adalah putusnya hubungan kerja antara karyawan dengan
perusahan tempat ia bekerja secara permanen dengan cara keluar atau
berpindah perusahaan secara sukarela tanpa pemberian imbalan atau
hadiah maupun secara terpaksa disertai dengan pemberian hadiah atau
14
3. Pengertian Intensi Turnover
Shore dan Martin (Handi, 2003) melihat bahwa intensi turnover
merupakan variabel tergantung yang tepat karena intensi turnover terkait
erat dengan turnover sebenarnya. Smither (1994) juga menambahkan
bahwa sebenarnya turnover tidak bisa diukur secara langsung. Dengan
demikian, intensi turnover banyak digunakan dalam penelitian yang
bertujuan untuk meneliti masalah turnover.
Menurut Model Hubungan Perantara Mobley (Mobley, 1986), intensi
turnover dimulai dari rasa tidak puas terhadap organisasi yang membuat
karyawan berpikir untuk keluar, sehingga mendorong pada pengevaluasian
perilaku turnover dan berbagai alternatif pekerjaan lain yang akan
membuat karyawan tersebut berniat untuk mencari pekerjaan lain dan
akhirnya keluar dari perusahaan. Dari Model Hubungan Perantara Mobley
tersebut ditarik kesimpulan bahwa intensi turnover terdiri dari 3 aspek,
yaitu :
a) Thinking of quiting yaitu berpikir untuk keluar dari perusahaan
tempatnya bekerja
b) Intention of search yaitu intensi untuk mencari pekerjaan lain, dan
c) Intention of quiting yaitu intensi untuk keluar dari perusahaan
tempatnya bekerja.
15
Bagan 2
Bagan Model Hubungan Perantara Mobley (1986)
Evaluasi terhadap pekerjaan yang ada
Kepuasan terhadap pekerjaan yang dirasakan – perasaan tidak puas
Berpikir keluar
Mempertimbangkan akibat yang terjadi bila melakukan tindakan keluar
Maksud untuk mencari alternatif-alternatif lain
Mencari alternatif-alternatif lain
Mempertimbangkan alternatif lain
Membandingkan alternatif-alternatif lain dengan pekerjaan yang sekarang
Maksud untuk keluar atau tinggal
16
Hom, Caranikas-Walker, Prussia & Griffeth (Anggraeni, 2004) juga
mengungkapkan teori pengunduran diri yang serupa dengan Model
Hubungan Perantara Mobley. Teori dikenal dengan teori kognisi
pengunduran diri atau Withdrawal Cognition yang terdiri dari berpikir
untuk berhenti, intensi mencari pekerjaan lain dan intensi untuk berhenti
dari pekerjaan. Ketiga komponen ini bersifat integral karena merupakan
suatu rangkaian proses.
Bagan 3
Bagan Withdrawal Cognition versi Hom, Caranikas-Walker, Prussia & Griffeth
• Thoughts of Quiting • Search Decisions • Intention to Quit
TURNOVER
Setiap individu yang memasuki suatu organisasi kerja membawa
sejumlah harapan dalam dirinya, misalnya tentang upah, status, pekerjaan,
lingkungan sosial dan pengembangan dirinya. Disamping karakteristik
individu, harapan-harapan tersebut juga dipengaruhi oleh informasi
tentang perusahaan itu dan pilihan kesempatan kerja yang ada pada saat
itu.
Bersama-sama dengan karakteristik perusahaan, pengalaman bekerja
17
individu itu akan mempengaruhi reaksi afektifnya terhadap pekerjaan dan
perusahaan tersebut. Adanya suasana, prestasi dan pengalaman kerja yang
positif serta harapan individu yang dapat terpenuhi di perusahaan akan
membentuk rasa komitmen yang kuat dan keinginan untuk tetap menjadi
anggota perusahaan itu. Tetapi bila sebaliknya yang terjadi, maka individu
akan mengembangkan suatu reaksi untuk keluar dari perusahaan tersebut.
Bila ada kesempatan dari perusahaan lain yang lebih menarik, maka ia
akan keluar dan berpindah ke perusahaan itu (Mowday, dalam Anggraeni,
2004).
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa intensi turnover
adalah besarnya niat seseorang untuk keluar atau pindah ke perusahaan
lain secara permanen sesuai dengan target yang ingin dicapai dalam situasi
dan waktu tertentu. Intensi turnover ini mencakup tiga aspek yaitu
thinking of quiting, intention of search dan intention of quiting.
4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Turnover
Faktor-faktor yang mempengaruhi turnover yang saling berkaitan
satu sama lain diantaranya yaitu :
a. Usia
Karyawan yang berusia muda memiliki kecenderungan yang
lebih besar untuk keluar dari perusahaan dibandingkan karyawan yang
berusia lebih tua. Hal ini dikarenakan karyawan yang lebih muda
18
jawab kekeluargaan yang lebih kecil sehingga lebih mempermudah
untuk mobilitas pekerjaan (Porter & Steerm dalam Mobley, 1986). Hal
ini senada dengan pendapat Maier (1946) yang menyatakan bahwa
karyawan usia muda memiliki tingkat turnover yang lebih tinggi
daripada karyawan-karyawan yang lebih tua.
Hurlock (1996) mengemukakan bahwa kecenderungan orang
muda memiliki tingkat turnover yang lebih tinggi daripada orang yang
lebih tua dikarenakan pada masa usia dewasa khususnya pada masa
dewasa dini, mereka cukup produktif dan aktif dalam bekerja. Selain
itu, pada penelitian-penelitian sebelumnya (Mobley, 1986)
menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara usia dan
intensi turnover, yang artinya bahwa semakin muda usia seseorang
maka semakin tinggi intensi turnover-nya.
b. Lama Bekerja
Werbel & Gould (Smither, 1994) mengemukakan bahwa kasus
turnover lebih sering terjadi pada karyawan baru dibandingkan dengan
karyawan lama. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mobley (1986)
menyatakan bahwa masa kerja berhubungan negatif dengan intensi
turnover. Hal ini bisa disebabkan karena karyawan yang telah lama
bekerja diyakini sudah memiliki sense of belongingness pada
perusahaan tempat ia bekerja sehingga mereka merasa enggan untuk
19
semakin tinggi masa kerjanya maka semakin rendah intensi turnover
-nya.
c. Tingkat Pendidikan dan Inteligensi
Maeir (1946) mengatakan bahwa mereka yang memiliki tingkat
intelegensi tidak terlalu tinggi akan memandang tugas-tugas yang sulit
sebagai tekanan dan sumber kecemasan. Sebaliknya mereka yang
memiliki tingkat intelegensi yang lebih tinggi akan merasa cepat bosan
dengan pekerjaan yang monoton. Mereka akan lebih berani keluar dan
mencari pekerjaan baru daripada mereka yang mempunyai tingkat
pendidikan dan intelegensi terbatas (Handoyo, 1998).
d. Komitmen terhadap Perusahaan
Penelitian yang dilakukan oleh Hom., dkk (Mowday dalam
Anggraeni, 2004) menemukan bahwa komitmen terhadap perusahaan
mempunyai korelasi yang negatif dan signifikan terhadap intensi
turnover. Artinya yaitu semakin tinggi komitmen seseorang terhadap
perusahaan maka semakin kecil ia mempunyai niat untuk pindah
pekerjaan dan perusahaan lain, atau sebaliknya. Pekerja yang memiliki
rasa komitmen yang kuat terhadap perusahaan tempat ia bekerja berarti
mempunyai dan membentuk suatu perasaan memiliki (feeling of
belonging), rasa aman, efikasi, tujuan dan arti hidup serta gambaran
diri yang positif. Akibat secara langsung yaitu menurunnya dorongan
20
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Werbel & Gould
(Smither, 1994) yang menyatakan bahwa karyawan yang tidak
memiliki komitmen tinggi terhadap perusahaan cenderung memilih
keluar dan berpindah ke perusahaan lain.
e. Kepuasan Kerja
Menurut Robbins (Anggraeni, 2004) kepuasan kerja adalah sikap
umum individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat
kepuasan kerja yang tinggi mempunyai sikap positif terhadap
pekerjaannya, sementara seseorang yang tidak puas dengan
pekerjaannya mempunyai sikap negatif terhadap pekerjaannya,
sehingga dengan demikian bisa membuatnya tidak semangat dalam
bekerja bahkan sampai keluar dari perusahaan.
Sementara itu, dari penelitian yang dilakukan oleh Mowday
(Anggraeni, 2004) ditemukan bahwa semakin tidak puas seseorang
terhadap pekerjaannya maka akan semakin kuat dorongannya untuk
melakukan turnover. Hal ini diperkuat oleh Mobley (1986) yang
menemukan adanya hubungan yang negatif antara kepuasan kerja dan
turnover karyawan, dimana karyawan yang merasa tidak puas
memiliki kecenderungan lebih besar untuk meninggalkan pekerjaan
daripada mereka yang puas. Temuan Clugston (Harsono dan Sunjoyo,
2003) juga menyatakan bahwa kepuasan kerja secara langsung
21
f. Stres Kerja
Salah satu penyebab terjadinya turnover adalah stres kerja
dimana dinamika stres kerja berasal dari keadaan yang terkait dengan
pekerjaan dan dunia kerja yang bersangkutan (Mobley, 1986). Jika
stres kerja tidak segera diatasi maka akan mengakibatkan pada
menurunnya produktivitas kerja, meningkatkan ketidakhadiran atau
absen dan munculnya turnover pada karyawan (Schultz&Schultz
dalam Anggraeni, 2004). Hal ini didukung oleh Cooper, dkk (2001)
yang mengungkapkan bahwa stres kerja yang sering dialami karyawan
akan menyebabkan kelelahan, kecelakaan dan bolos kerja yang pada
akhirnya akan mendorong karyawan untuk keluar dari perusahaan
tempat ia bekerja.
g. Tersedianya Lapangan Pekerjaan
Mitra (Anggraeni, 2004) menyatakan bahwa turnover akan lebih
rendah jika lapangan kerja yang tersedia juga sedikit. Hal ini didukung
oleh Smither (1994) yang menyatakan ketika lapangan pekerjaan
sangat banyak, seorang karyawan akan lebih gampang meninggalkan
pekerjaan untuk mencari pekerjaan lain yang lebih menarik.
Banyaknya lapangan pekerjaan akan memberikan peluang dan
kesempatan yang lebih besar kepada seorang karyawan untuk memilih
tempat kerja yang lebih baik dan mendukung karyawan tersebut untuk
berkembang dan mendapatkan fasilitas-fasilitas yang lebih baik pula
22
B. Keadilan Interaksional
1. Pengertian Keadilan Interaksional
Keadilan sebagai bagian dari moralitas, telah dirumuskan dalam
aturan-aturan yang baku dan harus dilaksanakan dengan ketat. Keadilan
pada awalnya hanya berkisar pada bidang filsafat, hukum dan ekonomi.
Setelah beberapa tahun kemudian, konsep keadilan mendapat perhatian
lebih dari bidang psikologi (Faturochman, 2002). Lind & Tyler
(Faturochman, 2002) mengatakan bahwa secara umum keadilan
digambarkan sebagai suatu situasi sosial ketika norma-norma tentang hak
dan kelayakan terpenuhi. Keadilan dalam organisasi sedikit banyak dapat
mempengaruhi sikap dan perilaku kerja karyawan sehingga perusahaan
dituntut untuk dapat memberikan keadilan secara personal. Beberapa ahli
memberikan definisi mengenai keadilan interaksional sebagai berikut.
Menurut Donovan dkk (1998) keadilan interaksional diartikan
sebagai evaluasi individual mengenai mutu dari pengalaman perlakuan
interpersonal ketika prosedur organisasi ditetapkan. Skarlicki & Folger
(1997) mendefinisikan keadilan interaksional sebagai persepsi karyawan
mengenai mutu perlakuan interpersonal yang diterima selama
pemberlakuan prosedur organisasi. Definisi tersebut memperlihatkan
bahwa keadilan interaksional dirumuskan dalam aturan-aturan baku yang
harus dilaksanakan oleh segenap karyawan organisasi.
Masteron (2001) juga mengartikan keadilan interaksional sebagai
23
prosedur yang berlaku. Karyawan yang diperlakukan secara adil akan
merasa lebih punya rasa memiliki dan mengidentifikasikan dirinya sebagai
pemiliki organisasi sehingga ia merasa betah dalam bekerja. Menurut
Tyler (Faturochman, 2002) asumsi dasar dalam keadilan interaksional
adalah bahwa manusia sebagai anggota organisasi sangat memperhatikan
tanda-tanda atau simbol-simbol yang mencerminkan posisinya dalam
organisasi. Oleh karenanya, manusia berusaha memahami, mengupayakan
dan memelihara hubungan sosial.
Schminke dkk (2000) mengungkapkan bahwa ketika individu dalam
organisasi secara personal diperlakukan adil maka ia cenderung memiliki
hubungan yang bermutu dengan para supervisor-nya, melakukan usaha
yang membantu organisasi dan memiliki kinerja yang tinggi. Skarlicki &
Folger (1997) mengungkapkan bahwa aspek penting dari keadilan
interaksional ketika orang berhubungan dengan pemegang kekuasaan
adalah rasa hormat dan menghargai sebagai cerminan dari sensitivitas
sosial kepada penguasa. Sensitivitas sosial penguasa ini dapat membuat
anggota organisasi merasa lebih baik dalam melaksanakan aktivitas kerja
organisasi.
Menurut Landy & Conte (2004), keadilan interaksional berkaitan
dengan kepekaan organisasi dalam memperlakukan dan menjalin
hubungan dengan karyawan secara hormat. Senada dengan hal itu,
Colquitt (2001) mengatakan bahwa keadilan interaksional membantu
24
anggotanya dengan rasa hormat, peka dan menjelaskan dasar pemikiran
untuk mengambil keputusan secara menyeluruh.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
keadilan interaksional merupakan evaluasi individu mengenai perlakuan
interpersonal yang diterima berdasarkan prosedur yang berlaku.
2. Aspek-Aspek Keadilan Interaksional
Tyler (Faturochman, 2002) menyebutkan ada tiga hal pokok yang
patut diperhatikan dalam interaksi sosial yang kemudian dijadikan aspek
penting dari keadilan interaksional. Aspek-aspek tersebut yaitu
penghargaan, netralitas dan kepercayaan. Penjelasan tentang ketiga aspek
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Penghargaan
Penghargaan adalah segala sesuatu yang diberikan seseorang
kepada orang lain atas keberhasilannya dalam melakukan pekerjaan.
Dalam hal ini, perusahaan memberikan penghargaan kepada karyawan
yang telah bekerja sebaik mungkin demi mencapai tujuan perusahaan.
Penghargaan tercermin dalam perlakuan yang diberikan perusahaan
kepada karyawan seperti perlakuan yang bijak dan sopan, menghargai
dan memenuhi hak serta menghormati karyawan. Semakin baik
kualitas perlakuan yang diberikan perusahaan interaksinya dinilai
semakin adil. Penghargaan yang diberikan perusahaan dapat berbentuk
25
positif seperti respon yang cepat terhadap pertanyaan atau persoalan
yang diajukan, apresiasi terhadap pekerjaan karyawan, membantu dan
memuji atas tindakan yang benar atau hasil yang baik juga dapat
diterapkan oleh perusahaan dalam memberikan penghargaan (Donovan
dkk, 1998).
Penghargaan yang diberikan perusahaan kepada karyawan dapat
menumbuhkan semangat dalam diri karyawan untuk bekerja sebaik
mungkin. Karyawan merasa dihargai dan diterima keberadaannya
sebagai bagian dari perusahaan. Selain kata-kata atau pujian,
penghargaan juga dapat diwujudkan melalui kenaikan gaji atau
tunjangan-tunjangan lainnya yang dapat meningkatkan kesejahteraan
hidup karyawan. Perlakuan yang bertolak belakang dengan
penghargaan adalah memaki, membentak, menyepelekan,
mengabaikan, menghina dan mengancam (Donovan dkk, 1998).
Perlakuan-perlakuan tersebut dapat menyebabkan karyawan merasa
tidak nyaman dalam bekerja dan menurunkan produktivitas kerja
karyawan.
b. Netralitas
Konsep netralitas berkembang dari keterlibatan pihak ketiga
dalam masalah hubungan sosial antar karyawan atau karyawan dengan
perusahaan (Faturochman, 2002). Aspek netralitas menekankan bahwa
perusahaan harus mampu menempatkan diri sebagai mediator dalam
26
perusahaan dapat tercapai apabila pengambilan keputusan didasarkan
pada fakta yang obyektif dan valid, bukan pada opini atau pendapat
orang lain. Aspek netralitas juga mengandung makna bahwa dalam
melakukan relasi sosial perusahaan tidak membeda-bedakan antara
satu karyawan dengan karyawan lain. Netralitas akan tampak pada saat
terjadi konflik internal baik bersifat interpersonal, antarkelompok
maupun antara karyawan dengan pimpinan. Perusahaan berperan
sebagai mediator dalam mengatasi konflik yang terjadi dengan cara
tidak memihak atau memihak salah satu pihak yang terlibat konflik.
Pemihakan masih dibenarkan bila berpedoman pada norma atau aturan
yang sudah disepakati bersama. Pemihakan yang tidak berpedoman
pada norma atau aturan yang telah disepakati bersama menyebabkan
penyelesaian konflik cenderung ke arah subyekivitas atau berdasarkan
kedudukan atau kedekatan pihak yang berkonflik dengan perusahaan
secara pribadi.
c. Kepercayaan
Kepercayaan merupakan aspek keadilan interaksional yang
paling banyak dibahas. Ahli sosiologi dan ekonomi menekankan
kepercayaan sebagai fenomena institusional seperti dalam lembaga
atau antarlembaga. Berdasarkan teori kepribadian, kepercayaan
merupakan keyakinan, harapan atau perasaan yang berakar pada
kepribadian yang berkembang dari awal masa pertumbuhan individu.
27
pihak lain dalam melakukan hubungan sosial, yang didalamnya
mencakup resiko yang berkaitan dengan harapan tersebut. Hal ini
berarti seseorang akan menerima konsekuensi negatif seperti merasa
dikhianati, kecewa dan marah apabila pihak lain tidak mewujudkan
harapannya (Faturochman, 2002). Sztompka (Faturochman, 2002)
menambahkan bahwa kepercayaan berarti suatu pertaruhan terhadap
hasil di masa depan dengan menyerahkannya kepada orang lain.
Kepercayaan interaksional dalam organisasi ditentukan oleh tiga
hal yaitu disposisi, situasi dan pengalaman hubungan antarindividu.
Karyawan akan sulit menumbuhkan kepercayaan pada perusahaan
apabila ia bersikap tidak meyakinkan, sebagai indikasi rasa percaya
diri yang rendah (disposisi). Situasi yang tidak menentu dalam
perusahaan juga dapat menghambat tumbuhnya kepercayaan terhadap
karyawan. Pengalaman masa lalu, seperti karyawan sering bolos, juga
menyebabkan tingkat kepercayaan perusahaan menjadi rendah.
Kepercayaan terhadap karyawan dapat dibangun dengan berbagai
cara. Mishra (Faturochman, 2002) menyebutkan bahwa kepercayaan
terhadap karyawan dapat dibangun melalui empat dimensi pokok
kepercayaan yaitu kompetensi, keterbukaan, kepedulian dan
reliabilitas. Perusahaan mempercayai karyawan karena kompetensi
yang dimiliki karyawan tersebut. Kepercayaan yang dibangun melalui
28
kepada karyawan karena menganggap karyawan tersebut memiliki
kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan baik.
Kepercayaan terhadap karyawan juga dapat dibangun melalui
keterbukaan, yang disejajarkan dengan kejujuran. Keterbukaan dan
kejujuran digunakan karyawan untuk menumbuhkan kepercayaan dari
perusahaan. Karyawan ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat
dipercaya dengan cara bersikap terbuka dan jujur terhadap perusahaan.
Dimensi keterbukaan dan kejujuran ini mengandung nilai-nilai moral
untuk membangun hubungan sosial dari karyawan terhadap
perusahaan.
Faturochman (2002) menyebutkan bahwa dimensi kepedulian
merupakan bagian dari kepercayaan yang paling mencerminkan
keadilan interaksional. Kepedulian tidak hanya merupakan bentuk
kontrol terhadap oportunisme atau interes pribadi tetapi juga berperan
sebagai mekanisme yang menyeimbangkan antara kepentingan pribadi
dengan kepentingan orang lain. Dalam konteks organisasi, dimensi
kepedulian berperan sebagai mekanisme yang menyeimbangkan antara
kepentingan karyawan dengan kepentingan perusahaan.
Faturochman (2002) menyebutkan bahwa beberapa ahli
berpendapat bahwa kepercayaan yang kuat terbentuk dari proses
hubungan sosial yang terjalin lama dan terus-menerus. Dalam kondisi
yang demikian, perusahaan dapat melakukan tes terhadap karyawan.
29
perusahaan juga dinilai lebih kecil sehingga dapat lebih mudah
mempercayai karyawan.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
tercapainya keadilan interaksional tercermin dalam perlakuan perusahaan
yang meliputi penghargaan, netralitas dan kepercayaan terhadap karyawan.
Perusahaan yang dapat menghargai kinerja karyawan, bersikap netral dan
dapat mempercayai karyawan dinilai mampu menciptakan keadilan
interaksional. Sebaliknya, perusahaan yang tidak dapat menghargai
karyawan, bersikap tidak netral dan tidak percaya pada karyawan dinilai
kurang mampu menciptakan keadilan interaksional.
3. Dampak Keadilan Interaksional
Keadilan sering dijadikan sebagai suatu pegangan dalam berbagai
bentuknya seperti moralitas, norma atau peraturan. Pada proses sosial
keadilan bisa menjadi suatu syarat atau keharusan dan, pada sisi lain,
keadilan juga bisa menjadi sesuatu yang harus dicapai (tujuan). Kedua sisi
keadilan ini berhubungan erat satu sama lain karena dalam kenyataannya
keadilan sulit didapatkan. Dengan kata lain, kajian tentang dampak
keadilan lebih sedikit didapatkan daripada kajian tentang dampak
ketidakadilan.
Keadilan dalam organisasi memiliki dampak yang besar terhadap
sikap dan perilaku karyawan. Keadilan interaksional yang mencakup
30
sikap dan perilaku karyawan. Dampak yang besar ini membuat perusahaan
berusaha keras untuk menciptakan keadilan walaupun sebenarnya keadilan
sulit untuk didapatkan. Perusahaan yang memiliki berbagai latar belakang
karyawan dapat memicu adanya perbedaan pendapat dan kepentingan
antara perusahaan dengan karyawan sehingga keadilan sulit didapatkan.
Secara esensial tercapainya keadilan adalah sesuatu yang normatif.
Oleh karenanya, keadaan yang adil akan berpengaruh besar terhadap
terciptanya hubungan yang normatif pula. Hubungan normatif ini
digambarkan sebagai hubungan yang serasi dan harmonis. Hubungan yang
adil diyakini pula sebagai faktor terbentuknya kesejahteraan sosial dan
ekonomi. Secara psikologis keadilan dapat memberikan jaminan atas
terciptanya rasa aman (Faturochman, 2002).
Rasa aman sangat penting pada tingkat individu dan pada tingkat
komunitas. Berbagai bentuk perlakuan dari perusahaan yang tidak sesuai
dengan harapan dan keinginan karyawan akan memunculkan konflik.
Adanya konfilk ini dapat memicu aksi demonstrasi dari karyawan sebagai
reaksi terhadap kurangnya rasa aman yang diberikan perusahaan. Perilaku
karyawan tersebut merugikan perusahaan karena dapat menghambat
aktivitas dalam bekerja.
Rasa keadilan dalam organisasi juga berkaitan dengan produktivitas
kerja, komitmen terhadap organisasi serta berbagai dampak positif lainnya
(Faturochman, 2002). Karyawan yang mengalami rasa keadilan dari
31
kerja dapat meningkat. Rasa keadilan juga berdampak pada komitmen
karyawan. Perusahaan yang dapat memberikan penghargaan, bersikap
netral dan penuh kepercayaan pada karyawan, akan menumbuhkan
komitmen pada karyawan untuk bekerja dengan sebaik-sebaiknya dan
memberikan yang terbaik kepada perusahaan tempat ia bekerja.
Ketidakadilan juga dapat terjadi dalam perusahaan. Ketidakadilan
dialami karyawan ketika terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan
yang ada (Faturochman, 2002). Kesenjangan ini dapat memunculkan
adanya aksi-aksi negatif dari karyawan seperti bolos kerja dan bahkan
dapat terjadi aksi demonstrasi. Sebab terjadinya aksi-aksi tersebut sering
dikaitkan dengan kepuasan terhadap perlakuan yang diterima karyawan.
Rasa ketidakadilan dialami karyawan ketika merasa tidak puas terhadap
perlakuan yang diberikan perusahaan kepada dirinya.
Secara konseptual dan operasional, kepuasan dapat digunakan untuk
mengukur dampak keadilan (Faturochman, 2002). Kepuasan disini terkait
dengan kepuasan terhadap keadaan yang dihadapi oleh pihak yang
bersangkutan. Hal ini menggambarkan semakin tinggi kepuasan yang
diterima karyawan maka rasa keadilan yang diberikan perusahaan juga
32
C. Hubungan antara keadilan interaksional dengan intensi turnover
Keadilan interaksional merupakan evaluasi individu terhadap perlakuan
yang diterima dari perusahaan. Suatu perlakuan dari perusahaan terhadap
karyawan harus secara hormat, sopan dan bermartabat dalam upaya memenuhi
hak-hak karyawan. Tiga aspek penting yang diterapkan dalam keadilan
interaksional yaitu adanya penghargaan, netralitas dan kepercayaan terhadap
karyawan. Dengan kata lain, perusahaan yang mampu memberikan
penghargaan, bersikap netral dan dapat mempercayai karyawan dinilai dapat
menciptakan keadilan interaksional, begitu juga sebaliknya. Apabila dalam
perusahaan tidak terdapat penghargaan, netralitas dan kepercayaan maka
dinilai kurang mampu menciptakan keadilan interaksional.
Secara esensial sebenarnya tercapainya keadilan adalah sesuatu yang
normatif. Faturochman (2002) menyebutkan bahwa secara psikologis dampak
keadilan interaksional terkait dengan terciptanya rasa aman, produktivitas
kerja, komitmen terhadap perusahaan atau organisasi serta berbagai dampak
positif lainnya. Perusahaan yang dapat memberikan rasa keadilan pada
karyawan akan membuat karyawan merasa aman dalam bekerja dan dapat
menumbuhkan motivasi kerja sehingga produktivitas meningkat dan
komitmen karyawan terhadap perusahaan juga semakin tinggi. Sebaliknya
apabila perusahaan tidak dapat memberikan keadilan maka karyawan akan
merasa tidak aman dan menjadi malas dalam bekerja. Jika rasa malas ini tidak
segera diatasi maka diasumsikan karyawan dapat merasa bosan terhadap
33
Masalah turnover merupakan masalah yang serius bagi perusahaan
karena mengakibatkan pengeluaran yang cukup besar (Staw, 1991).
Perusahaan yang tidak mampu mempertahankan karyawan dapat
mengakibatkan menurunnya produktivitas kerja secara keseluruhan. Maka dari
itu, perusahaan harus menciptakan rasa keadilan bagi karyawan agar tidak
muncul niat untuk keluar dari perusahaan tempatnya bekerja. Hal ini
dikarenakan pada dasarnya seseorang ingin diperlakukan secara adil, demikian
juga di dalam perusahaan.
Karyawan yang mendapatkan perlakuan adil dan menilai bahwa
perlakuan yang diterimanya itu adalah benar-benar adil maka diasumsikan
dapat meningkatkan motivasi karyawan untuk bekerja sebaik mungkin
sehingga tidak terlintas dalam pikiran karyawan untuk keluar dari perusahaan,
tidak berniat mencari pekerjaan lain dan akhirnya tidak keluar dari perusahaan
tempat ia bekerja sekarang. Sebaliknya, karyawan yang menilai bahwa
perlakuan yang diterima itu adalah tidak adil maka diasumsikan dapat
menurunkan motivasi mereka untuk bekerja dengan sebaik-baiknya sehingga
muncul pikiran untuk keluar dari perusahan, berniat mencari pekerjaan lain
dan akhirnya keluar dari perusahaan tempat ia bekerja sekarang.
D. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara
keadilan interaksional dengan intensi turnover. Artinya, semakin tinggi
34
dilakukan karyawan. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah keadilan
interaksionalnya maka intensi turnover karyawan semakin tinggi.
35
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian
korelasional yang bertujuan untuk menyelidiki sejauh mana variasi-variasi
pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor
lain berdasarkan koefisien korelasi (Narbuko, 1997). Permasalahan yang akan
diuji dalam penelitian ini adalah ada tidaknya hubungan antara keadilan
interaksional dengan intensi turnover.
B. Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini terdiri dari dua yakni variabel bebas dan
variabel tergantung.
1. Variabel bebas : Keadilan interaksional
2. Variabel tergantung : Intensi turnover
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi operasional variabel penelitian ini adalah mengenai intensi
turnover dan keadilan interaksional seperti dijelaskan sebagai berikut :
1. Intensi Turnover
Intensi turnover adalah besarnya niat seseorang untuk keluar atau
36
ingin dicapai dalam situasi dan waktu tertentu. Aspek yang diukur dalam
intensi turnover adalah berpikir untuk keluar dari perusahaan tempatnya
bekerja (thinking of quiting), intensi untuk mencari pekerjaan lain
(intention of search), dan intensi untuk keluar dari perusahaan tempatnya
bekerja (intention of quiting).
Intensi turnover diukur dengan menggunakan skala intensi
turnover. Skor total yang diperoleh subyek menunjukkan tinggi atau
rendahnya intensi turnover. Semakin tinggi skor total yang diperoleh
subyek, menunjukkan bahwa intensi turnover yang dimiliki subyek
semakin tinggi. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor total yang
diperoleh subyek menunjukkan bahwa intensi turnover-nya semakin
rendah.
2. Keadilan Interaksional
Keadilan interaksional merupakan evaluasi individu terhadap
perlakuan yang diterima dari perusahaan. Aspek-aspek yang diukur dalam
keadilan interaksional adalah penghargaan, netralitas dan kepercayaan.
Keadilan interaksional diukur dengan menggunakan skala keadilan
interaksional. Skor total yang diperoleh subyek menunjukkan tinggi atau
rendahnya keadilan interaksional. Semakin tinggi skor total yang diperoleh
subyek, menunjukkan bahwa semakin tinggi keadilan interaksional. Begitu
pula sebaliknya, semakin rendah skor total yang diperoleh subyek
37
D. Subyek Penelitian
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik purposive sampling yaitu bahwa sampel yang diambil
berdasarkan kriteria-kriteria dan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Adapun
kriteria tersebut yaitu :
1. Memiliki posisi jabatan di bawah direksi
Pertimbangannya adalah bahwa orang yang di bawah direksi adalah
orang yang bukan penentu hasil keputusan dan mereka yang mendapatkan
perlakuan dari direksi perusahaan.
2. Memiliki usia 20-40 tahun.
Pada masa usia dewasa khususnya masa dewasa dini, seseorang
cukup produktif dan aktif dalam bekerja sehingga memiliki kecenderungan
yang lebih tinggi untuk melakukan turnover dibandingkan orang yang
lebih tua (Hurlock, 1996). Karyawan yang memiliki usia muda juga
memiliki kesempatan berkarir lebih banyak sehingga lebih mempermudah
untuk mobilitas pekerjaan (Mobley, 1986). Mobley (1986) mengatakan
bahwa usia memiliki hubungan yang signifikan negatif dengan intensi
turnover. Maka dari itu, peneliti memilih usia subyek sekitar 20-40 tahun.
3. Memiliki masa kerja 0-10 tahun.
Karyawan yang telah lama bekerja diyakini sudah memiliki sense of
belongingness pada perusahaan tempat ia bekerja. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Mobley (1986) menyatakan bahwa masa kerja
38
tahun dan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu masa kerja awal (≤10tahun),
masa kerja menengah (10<x≤20tahun), dan masa kerja akhir (>20tahun).
Maka dari itu, peneliti memlilih masa kerja subyek 0-10 tahun.
4. Memiliki tingkat pendidikan minimal SMU
Maeir (1946) mengatakan bahwa karyawan yang memiliki tingkat
pendidikan lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan pekerjaan yang
monoton sehingga lebih berani untuk mencari pekerjaan lain. Tingkat
pendidikan juga memiliki hubungan positif dengan intensi turnover. Maka
dari itu, peneliti memilih subyek yang memiliki tingkat pendidikan
minimal SMU.
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan metode skala. Metode skala adalah suatu metode penyelidikan
dengan menggunakan daftar pernyataan yang berisi aspek-aspek yang hendak
diukur, yang harus dijawab oleh orang-orang yang menjadi subyek penelitian
(Suryabrata, 2002). Dengan kata lain, metode ini digunakan untuk
mengungkap aspek yang hendak diukur dan disertai dengan lembar identitas
diri. Subyek diminta untuk memilih salah satu jawaban yang telah disediakan
yang sesuai dengan dirinya.
Sebelum digunakan pada penelitian yang sebenarnya, skala
diujicobakan terlebih dahulu pada sekelompok subyek untuk mengetahui nilai
39
kualifikasi validitas isi dan reliabilitas inilah yang digunakan dalam penelitian,
dengan asumsi bahwa alat ukur tersebut secara tepat dapat mengungkap apa
yang ingin diungkap serta konsisten dalam pengukuran (Azwar, 1999).
Penelitian ini menggunakan dua jenis skala yaitu skala intensi turnover
dan skala keadilan interaksional.
1) Skala Intensi Turnover
Skala ini menunjukkan seberapa besar intensi individu untuk keluar
dari perusahaan. Masalah intensi mencakup 4 aspek yaitu behavior, time,
target, dan situation. Tiap aitem dalam intensi turnover akan mengandung
4 aspek intensi. Skala intensi turnover ini disusun berdasarkan tiga aspek
intensi turnover yang dikemukakan oleh Mobley (1986) yaitu (a) berpikir
untuk keluar dari perusahaan tempatnya bekerja (thinking of quiting), (b)
intensi untuk mencari pekerjaan lain (intention of search), (c) intensi untuk
keluar dari perusahaan tempatnya bekerja (intention of quiting).
Metode yang digunakan dalam skala intensi turnover adalah metode
Likert, dimana masing-masing aitem terdiri dari empat kategori jawaban
yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak
Setuju (STS). Setiap kategori diberi skor sebagai berikut :
a. Untuk aitem-aitem yang favorable jawabannya : Sangat Setuju, Setuju,
Tidak Setuju, dan Sangat Tidak Setuju, masing-masing diberi skor 4,
40
b. Untuk aitem-aitem yang unfavorable jawabannya : Sangat Setuju,
Setuju, Tidak Setuju, dan Sangat Tidak Setuju, masing-masing diberi
skor 1, 2, 3, dan 4.
Skor total yang diperoleh dari skala intensi turnover tersebut menunjukkan
tingkat tinggi rendahnya intensi turnover yang dimiliki subjek.
Tabel 1
Distribusi Aitem Skala Intensi Turnover Sebelum Uji Coba
No Aitem Jumlah
No. Aspek
Favorable Unfavorable %
1. Thinking of quiting 6,9,14,21,25,
31,37,43,52,58
1,5,11,23,29,
35,41,49,51,56
20 33,33%
2. Intention of search 4,13,17,24,28,
34,40,42,50,55
2,8,15,19,26,
33,39,44,48,57
20 33,33%
3. Intention of quiting 7,10,16,20,27,
32,38,46,53,60
3,12,18,22,30,
36,45,47,54,59
20 33,33%
Total 30 30 60 100%
2) Skala Keadilan Interaksional
Skala ini digunakan untuk mengungkap bentuk perlakuan dari
perusahaan kepada karyawan secara personal. Skala keadilan interaksional
ini disusun berdasarkan tiga aspek keadilan interaksional yang dikemukan
oleh Tyler (1994) yaitu penghargaan, netralitas dan kepercayaan.
Metode yang digunakan dalam skala keadilan interaksional adalah
41
jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan
Sangat Tidak Setuju (STS). Setiap kategori diberi skor sebagai berikut :
a. Untuk aitem-aitem yang favorable jawabannya : Sangat Setuju, Setuju,
Tidak Setuju, dan Sangat Tidak Setuju, masing-masing diberi skor 4,
3, 2, dan 1.
b. Untuk aitem-aitem yang unfavorable jawabannya : Sangat Setuju,
Setuju, Tidak Setuju, dan Sangat Tidak Setuju, masing-masing diberi
skor 1, 2, 3, dan 4.
Skor total yang diperoleh dari skala keadilan interaksional tersebut
menunjukkan tingkat tinggi rendahnya keadilan interaksional.
Tabel 2
Distribusi Aitem Skala Keadilan Interaksional Sebelum Uji Coba
No Aitem Jumlah
No. Aspek
Favorable Unfavorable %
1. Penghargaan 1,4,15,23,29,
33,39,42,50,56
7,10,17,20,30,
34,40,46,52,55
20 33,33%
2. Netralitas 5,8,12,18,24,
35,41,47,51,58
2,13,19,22,27,
31,37,44,49,57
20 33,33%
3. Kepercayaan 3,9,14,21,26,
32,38,45,53,59
6,11,16,25,28,
36,43,48,54,60
20 33,33%