• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM HUKUM NASIONAL. D. Pengertian Pengelolaan Terumbu Karang dan Lingkungan Hidup

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM HUKUM NASIONAL. D. Pengertian Pengelolaan Terumbu Karang dan Lingkungan Hidup"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

23

BAB II

PENGATURAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM HUKUM

NASIONAL

D. Pengertian Pengelolaan Terumbu Karang dan Lingkungan Hidup

Pengelolaan ekosistem terumbu karang pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia, agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Apabila dilihat permasalahan pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang yang menyangkut berbagai sektor, maka pengelolaan sumberdaya terumbu karang tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, namun harus dilakukan secara terpadu oleh beberapa instansi terkait.16

Dasar pemikiran pengelolaan terumbu karang seharusnya yaitu terumbu karang merupakan sumber pertumbuhan ekonomi yang harus dikelola dengan bijaksana, terpadu dan berkelanjutan dengan memelihara daya dukung dan kualitas lingkungan melalui pemberdayaan masyarakat dan stakeholders (pengguna) guna memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat dan pengguna secara berkelanjutan (sustainable).

Carter menyatakan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat yaitu suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan disuatu daerah berada ditangan organisasi –

16

Anonim.1998. Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang Berakar pada Masyarakat. Kerjasama Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor

(2)

organisasi dalam masyarakat didaerah tersebut, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan, dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya.17

Pomeroy dan Williams mengatakan bahwa konsep pengelolaan yang mampu menampung kepentingan masyarakat maupun kepentingan pengguna lainnya adalah konsep Cooperative Management atau disingkat Co-Management. Co-management didefinisikan sebagai pembagian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dengan pengguna sumberdaya alam lokal (masyarakat) dalam pengelolaan sumberdaya alam seperti perikanan, terumbu karang, mangrove dan lain sebagainya. Dalam konsep Co-management, masyarakat lokal merupakan partner penting bersama-sama dengan pemerintah dan stakeholder lainnya dalam pengelolaan sumberdaya alam di suatu kawasan. Jadi dalam Co-management

bentuk pengelolaan sumberdaya alam di ekosistem terumbu karang berupa cooperative dari dua pendekatan utama yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah (Goverment Centralized Management) dan pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat (Community Based Management). Pada Goverment Centralized Management, hirarki yang tertinggi hanya memberikan informasi kepada masyarakat, dan selanjutnya dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan pada

Community Based Management, hirarki yang tertinggi adalah control yang ketat dari masyarakat dan koordinasi antar area yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.

17

Carter, J.A. Introductory Couse on Integrated Coastal Zone Management (Tarining Manual). Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sumatra Utara, Medan, dan Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia, Jakarta, 1996

(3)

Pengelolaan terumbu karang berbasis-masyarakat adalah pengelolaan secara kolaboratif antara masyarakat, pemerintah setempat, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan pihak-pihak terkait yang ada dalam masyarakat yang bekerja sama dalam mengelola kawasan terumbu karang yang sudah ditetapkan/disepakati bersama.Tujuan dari pengelolaan terumbu karang berbasis-masyarakat adalah untuk menjaga dan melindungi kawasan ekosistem atau habitat terumbu karang supaya keanekaragaman hayati dari kawasan ekosistem atau habitat tersebut dapat dijaga dan dipelihara kelestariannya dari kegiatan-kegiatan pengambilan atau perusakan. Selain itu, lewat pengelolaan terumbu karang berbasis-masyarakat maka produksi perikanan di sekitar lokasi terumbu karang yang dikelola/dilindungi dapat terjamin dan dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitarnya. Terumbu karang yang dilindungi oleh masyarakat dapat juga dikembangkan sebagai lokasi pendidikan dan penelitian keanekaragaman hayati ekosistem dan habitat bagi institusi pendidikan (SD, SMP, SMU, Universitas) serta dikembangkan sebagai lokasi pariwisata ramah lingkungan (ekowisata) yang dapat memberikan kesempatan usaha wisata berbasis-masyarakat. Pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat juga memberikan legitimasi dan pengakuan terhadap hak dan kewajiban masyarakat dalam mengelola terumbu karang dan sumberdaya pesisir dan laut yang ada di sekitar mereka.Supaya masyarakat dapat mengetahui secara langsung bagaimana keadaan terumbu karang yang ada di daerahnya maka mereka perlu dilatih untuk melakukan pemantauan sendiri. Setelah mereka mengetahui kondisi terumbu karang yang ada

(4)

maka diharapkan akan timbul kepedulian mereka yang lebih tinggi untuk menjaga kelestariannya.

Masyarakat dapat mengambil langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan guna menjaga dan mengelola terumbu karang yang ada apabila mereka dibekali dengan suatu pengetahuan. Masyarakat dapat melakukan pemantauan dan membangun data dasar tentang kondisi terumbu karang yang ada di wilayahnya apabila mereka memiliki keterampilan untuk melakukan pemantauan.Mereka dapat mengetahui dari waktu ke waktu apakah kondisi terumbu karang mereka lebih baik atau lebih buruk. Masyarakat dapat mengetahui kondisi umum terumbu karang yang ada baik persen tutupan karangnya maupun kelimpahan ikannya. Masyarakat juga dapat melakukan pemantauan sendiri terhadap hal-hal apa saja yang dapat mengancam kelestarian terumbu karang, baik yang terjadi secara alami seperti bintang laut berduri dan pemutihan karang maupun akibat perbuatan manusia seperti penggunaan bom dan racun sianida (potas). Dengan demikian pengelolaan terumbu karang dengan menggunakan konsep

comanagement diharapkan mampu mencapai tatanan hubungan kerjasama

(cooperation), komunikasi, sampai pada hubungan kemitraan.Dalam konsep tersebut, masyarakat lokal merupakan salah satu kunci dari pengelolaan sumberdaya alam, sehingga masyarakat lokal secara langsung menjadi embrio dari penerapan konsep co-management tersebut.

Bahkan secara tegas Gawel dalam White menyatakan bahwa tidak ada pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil tanpa melibatkan masyarakat lokal sebagaipengguna dari sumberdaya alam. Selanjutnya Pomeroy dan Williams

(5)

menyatakan bahwa penerapan co-management akan berbeda-beda dan tergantung pada kondisi spesifik dari suatu wilayah, maka co-management hendaknya tidak dipandang sebagai strategi tunggal untuk menyelesaikan seluruh problem sumberdaya ekosistem terumbu karang, tetapi dipandang sebagai alternatif pengelolaan yang sesuai situasi dan lokasi tertentu. Pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat dalam kajian ini dapat diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan yaitu; aspek ekonomi dan aspek ekologi, yang mana dalam pelaksanaannya terjadi pembagian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah disemua level dalam lingkup pemerintahan maupun sektoral dengan pengguna sumberdaya alam (masyarakat).

Pemerintah dan masyarakat sama-sama diberdayakan, sehingga tidak ada ketimpangan dimana hanya masyarakat saja yang diharapkan aktif, namun pihak pemerintah juga harus proaktif dalam menunjang program pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang ini. Secara lengkap, uraian tentang setiap langkah dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat disajikan sebagai berikut :

1. Komponen input

Dalam studi awal secara partisipatif, seyogyanya memasukkan segenap unsur kebijakan dalam hal pengelolaan sumberdaya ditingkat nasional dan lokal, diantaranya kebijakan Negara yang dituangkan dalam GBHN yang dijabarkan lebih lanjut kedalam konsep nasional tentang pengelolaan sumberdaya terumbu

(6)

karang pada tingkat propinsi dan kebijakan-kebijakan lokal lainnya, serta dalam bentuk strategi nasional dalam perencanaan CRRM (Coral Reef Resources Management).Harapannya adalah bahwa dengan segenap informasi yang berkenaan dengan ekosistem terumbu karang ditingkat lokal sampai ditingkat nasional, maka keluaran dari hasil studi ini mampu memberikan gambaran yang cukup akomodatif secara menyeluruh mengenai situasi dan kondisi pengelolaan dan pemanfaatan potensi ekosistem terumbu karang yang ada.18

Komponen sumberdaya alam dan sumberdaya manusia merupakan salah satuinput penting dalam penerapan konsep pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat.Untuk mencapai tujuan pemahaman yang komprehensif terhadap potensi SDA dan SDM tersebut maka kegiatan studi awal sangat penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, masyarakat tidak hanya berperan sebagai objek studi, namun juga berperan sebagai pelaku/subyek dari studi, sehingga hasil dari studi awal tersebut mampu merepleksikan kebutuhan dan keinginan masyarakat lokal, serta dapat memberikan gambaran yang cukup akomodatif secara menyeluruh tentang kondisi dan bentuk pelaksanaan program pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat.

Kegiatan peningkatan kepedulian dan pengetahuan bagi masyarakat sangat tergantung dari kondisi dan struktur masyarakat yang ada.Beberapa kegiatan awal dapat dilakukan dalam rangka sosialisasi dan mencari bentuk – bentuk yang tepat bagi peningkatan kepedulian dan pengetahuan.

18

Zamani,N.P. dan Darmawan. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat. Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor dan Proyek Pesisir-Coastal Resources Management Project, Coastal Resources Centre-University of Rhode Island.2000

(7)

Keberhasilan dari pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat juga tergantung pada penguatan kelembagaan yang dapat dilakukan dengan memperkuat kelembagaan yang sudah ada atau dengan membentuk suatu lembaga baru, memperkuat peraturan dan perundangan yang sudah ada, atau menghapus peraturan perundangundangan yang sudah tidak cocok dan membuat yang baru yang dianggap perlu. Oleh karena itu, perlu adanya kajian yang menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang pengembangan/pengurangan dari kelembagaan dan kebijakan serta peraturan perundangundangan yang ada dalam rangka menunjang kegiatan pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat.

Setelah adanya pembekalan bagi masyarakat dan juga penguatan kelembagaan kebijakan yang mendukung, serta pengalaman dalam kegiatan studi awal, maka diharapkan masyarakat mampu menyusun rencana pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat di daerahnya.Apabila hal ini telah dapat dilakukan, maka dokumen yang dihasilkan dapat disalurkan melalui lembaga terkait untuk mendapat dukungan dan legalitas dari pemerintah dan juga menjadi suatu kesatuan agenda dalam rencana pengelolaan terumbu karang baik pada tingkat pemerintah daerah maupun nasional. Dalam penyusunan rencana pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat diharapkan mampu ; (1) meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya SDA dalam menunjang kehidupan mereka, (2) meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperan serta dalam setiap tahapan-tahapan pengelolaan secara terpadu, dan (3) meningkatkan pendapatan (income) masyarakat dengan bentuk pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan.

(8)

Rencana pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat yang telah dibuat, baik yang langsung dibuat oleh komunitas masyarakat maupun hasil penyusunan oleh pemerintah dan telah diterima dalam proses pensosialisasian, kemudian diproses dalam penentuan program pembangunan. Rencana pengelolaan ini sebelumnya harus mendapatkan persetujuan dari LMD, masyarakat, dan kepala desa.

Tahap implementasi merupakan tahap pokok dari system pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat.Pada tahap ini berbagai komponen SDM seperti motivator, tenaga pendamping lapangan dan komponen terkait sudah dipersiapkan.Lembaga adat atau lembaga sejenis lainnya dapat menjadi system bagi pelaksanaan rencana pengelolaan sumberdaya terumbu karang dilokasi tersebut. Dalam kegiatan implementasi tersebut, kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan adalah (a) integrasi ke dalam masyarakat, (b) pendidikan dan pelatihan masyarakat, (c) memfasilitasi arah kebijakan, dan (d) penegakan hukum dan peraturan.

Tahap monitoring (pengawasan) dilakukan mulai awal proses implementasi rencana pengelolaan. Pada tahap ini, monitoring dilakukan untuk menjawab segenap pertanyaan tentang efektivitas pengelolaan, atau masalah lain yang terjadi yang tidak sesuai dengan harapan yang ada pada rencana pengelolaan. Monitoring ini sebaiknya dilakukan secara terpadu dengan melibatkan masyarakat local dan stakeholder lainnya.

(9)

Evaluasi dilakukan terhadap segenap masukan dan hasil pengamatan yang dilakukan selama proses monitoring berlangsung. Evaluasi dilakukan secara terpadu dengan melibatkan masyarakat dan stakeholder lainnya.

E. Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang Di Indonesia

Degradasi terumbu karang baik ditimbulkan oleh kegiatan manusia maupun perubahan kondisi alam menyebabkan hilangnya sebagian aset nasional, yaitu terjadinya penurunan produktivitas sumberdaya terumbu karang (seperti penangkapan dan pariwisata) dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya (seperti volume dan jenis karang serta biota penghuni nya). Berkurangnya produktivitas sumberdaya terumbu karang yang diakibatkan oleh terjadinya degradasi terumbu karang semakin memperburuk posisi masyarakat pesisir yang hidupnya sangat tergantung pada sumberdaya alam tersebut19

Pemerintah telah lama menyadari dan telah menaruh perhatian terhadap kondisi tersebut.Hal ini dibuktikan dengan banyaknya penelitian dan proyek-proyek pengelolaan terumbukarang dari tahun ke tahun.Namun demikian, kegiatan-kegiatan tersebut belum mampu mencegah bahkan mengurangi laju degradasi terumbu karang yang semakin lama semakin tidak terkendali.Jadi pengertian hukum lingkungan disini hanya meliputi lingkungan fisik saja dan tidak menyangkut lingkungan sosial. Misalnya tidak meliputi pencemaran kebudayaan akan tetapi masalah lingkungan berkaitan pula dengan gejala sosial,

19

(10)

seperti pertumbuhan penduduk, migrasi dan tingkah laku sosial dalam memproduksi, mengkonsumsi, dan rekreasi.

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia mencegah bahkan mengurangi laju degradasi terumbu karang yang semakin lama semakin tidak terkendali. Salah satu faktornya adalah bahwa penegakan hukum terhadap berbagai peraturan yang ada tidak pernah dilakukan secara konsisten dan terus menerus. Hal tersebut diperburuk lagi oleh ketidakjelasan wewenang dan tanggungjawab dari berbagai instansi pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya itu. Belum berhasilnya pengelolaan terumbu karang yang dilakukan oleh pemerintah selama ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu;

1. Minimnya pemahaman terhadap nilai-nilai yang tidak tampak dan total nilai ekonomis yang sebenarnya dari ekosistem terumbu karang,

2. Rendahnya upaya koordinasi diantara berbagai instansi pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal,

3. Terumbu karang belum menjadi isuutama dalam agenda politik para pemimpin bangsa,

4. Kurangnya pengalokasian dana bagi pengelolaan terumbu karang,

5. Lemahnya pendekatan metode dan strategi maupun lobi yang dilakukan oleh berbagai kelompok pemerhati masalah lingkungan dalam pengelolaan terumbu karang,

6. Program pengelolaan yang hanya mengandalkan satu jenis pendekatan, yaitupengelolaan daerah konservasi (taman nasional).

(11)

8. Belum menempatkan masyarakat pesisir dalam pengelolaan terumbu karang 20 Oleh sebab itu kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan terumbu karang secara nasional harus meliputi berbagai aspek berikut ini:

1. Sikap Pemerintah terhadap pembagian kewenangan dan jurisdiksi dengan Pemerintah Daerah, baik propinsi, kabupaten/kota maupun kecamatan/desa sesuai dengan pemberlakuan Undang-Undang No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Kemauan Pemerintah untuk memperjelas dan menyempurnakan berbagai hukum dan perundang-undangan, peraturan-peraturan dan berbagai ketentuan pelaksanaan lainnya yang terkait dengan upaya–upaya pengelolaan sumberdaya terumbu karang.

3. Kemauan Pemerintah untuk menyempurnakan pembagian tugas antar instansi dan menyiapkan perangkat-perangkat kordinasi dalam pengelolaan terumbu karang.

4. Pengupayaan dan pengoptimalan pendanaan yang diperlukan dalam pengelolaanterumbu karang.

5. Penyiapan dan peningkatan kemampuan dan jumlah sumberdaya manusia dalamrangka upaya penegakan hukum.

6. Penyiapan perangkat pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan program-program pengelolaan sumberdaya terumbu karang.

20

(12)

7. Komitmen pemerintah untuk menjalankan berbagai ketentuan-ketentuan internasional yang berlaku dan telah diratifikasi secara nasional dalam pengelolaan sumberdaya alam.

8. Sikap pemerintah terhadap pembagian peran dan fungsi kerja dari unsur-unsur lain diluar pemerintahan seperti LSM, Perguruan Tinggi, masyarakat, swasta.

Sumberdaya terumbu karang merupakan bagian dari sumberdaya alam di wilayah pesisir yang pengelolaannya tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya alam lainnya seperti hutan mangrove, padang lamun, dan sumberdaya alam lainnya. Oleh karena itu kebijakan pengelolaan terumbu karang secara nasional harus memperhatikan serta menggunakan pendekatan menyeluruh (holistik) dan terpadu. Selain itu, sejalan dengan perkembangan politik nasional, maka kebijakan tersebut juga harus sejalan dengan pelaksanaan Undang Undang No. 23 tahun 2014 mengenai Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, kebijakan yang diajukan merupakan upaya untuk membantu pelaksanaan otonomi daerah dalam mengelola sumberdaya terumbu karang di tiap-tiap daerah21

Kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang disusun dengan didasari oleh beberapaprinsip yaitu:

1. Keseimbangan antara intensitas dan variasi pemanfaatan terumbu karang. 2. Pertimbangan pengelolaan sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat lokal

dan ekonomi nasional.

21

(13)

3. Mengandalkan pelaksanaan peraturan formal dan peraturan non formal untuk mencapai tujuan pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang yang optimal 4. Menciptakan insentif bagi pengelolaan yang berkeadilan dan

berkesinambungan.

5. Mencari pendekatan pengelolaan secara kooperatif antara semua pihak terkait 6. Menyusun program pengelolaan berdasarkan data ilmiah yang tersedia dan

kemampuan daya dukung lingkungan.

7. Pengakuan hak-hak ulayat dan pranata sosial persekutuan masyarakat adat tentangpengelolaan terumbu karang.

8. Memantapkan wewenang daerah dalam pengelolaan terumbu karang sesuai dengan semangat otonomi daerah.

Kedelapan prinsip tersebut ditambah dengan asas desentralisasi, baik dalam perencanaan maupun implementasi menjadi suatu hal yang angat penting dan harus dilaksanakan. Latar belakang dan isu yang harus dikaji, serta perbedaan persepsi dan minat dari sebagian besar pemegang kepentingan (stakeholders) yang harus dikompromikan sangatlah berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologicenderung mudah diperoleh dari berbagai sumber di dunia ini. Pengetahuan mengenai hal-hal tersebut dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain dengan mudah. Namun pengalaman dan kiat-kiat pengelolaan wilayah pesisir dan terumbu karang yang terdapat di dalamnya tidaklah mudah, untuk dapat dibawa dari satu tempat ke tempat lainnya. Pengelolaan sumberdaya pesisir yang berhasil merupakan gabungan dari ilmupengetahuan, kebijakan, hukum dan pengaturan administrasi yang sangat

(14)

tergantung pada situasi kondisi sosial, ekonomi dan politik dari tiap propinsi atau daerah tersebut.

Secara nasional kebijakan pengelolaan terumbu karang telah diatur dalam sebuah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor : 38/MEN/2004 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang. Dalam Kebijakan tersebut dinyatakan bahwa terumbu karang merupakan bagian dari sumberdaya ala di wilayah pesisir yang pengelolaannya tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya lainnya seperti hutan mangrove dan padang lamun.

Oleh karena itu kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang harus memperhatikan dan menggunakan pendekatan menyeluruh dan terpadu.Selain itu pengelolaan terumbu karang juga harus mempertimbangkan pelaksanaan desentralisasi.

Kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang disusun berdasarkan prinsip-prinsip : (1) keseimbangan antara intensitas dan variasi pemanfaatan terumbu karang, (2) pengelolaan sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat lokal dan ekonomi nasional, (3) kepastian hukum melalui pelaksanaan peraturan perundang-undangan untuk mencapai tujuan pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang yang optimal, (4) pengelolaan yang berkeadilan dan berkesinambungan, (5) pendekatan pengelolaan secara kooperatif antar semua pihak terkait, (6) pengelolan berdasarkan data ilmiah yang tersedia dan kemampuan daya dukung lingkungan, (7) pengakuan hak-hak ulayat dan pranata sosial persekutuan masyarakat adat tentang pengelolaan terumbu karang, dan (8) pengelolaan terumbu karang sesuai dengan semangat otonomi daerah (Kepmen.

(15)

Kelautan dan Perikanan nomor: 38/ MEN/ 2004). Kebijakan umum pengelolaan terumbu karang di Indonesia adalah mengelola ekosistem terumbu karang berdasarkan keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan sinergis oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, masyarakat, swasta, perguruan tinggi, serta organisasinon pemerintah.

F. Pengaturan Pengelolaan Terumbu Karang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004Tentang Perikanan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil. Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : Kep.38/Men/2004 Tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.17/Men/2008 Tentang Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik IndonesiaNomor Per.02/Men/2009 Tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan.Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.03/Men/2010 Tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis ikan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik IndonesiaNomor Per.04/Men/2010 Tentang Tata Cara Pemanfaatan Jenis Ikandan Genetik Ikan.Peraturan Menteri Kelautan dan

(16)

Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.30/Men/2010 Tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep.59/Men/2011 Tentang Penetapan Status Perlindungan Terbatas Jenis Ikan Terumbuk (Tenualosa Macrura).

Referensi

Dokumen terkait

menumbuhkan dan meningkatkan kualitas dan kreatifitas Siswa serta Guru Sekolah Menengah Atas Namira, diadakan pelatihan berbasis teknologi Program Geographical Information

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas dapat disimpulkan bahwa melalui kegiatan bermain disentra balok dapat meningkatkan kemampuan visual spasial anak

Oleh karenanya adil dalam mendidik semua anak, baik yang laki-laki maupun perempuan, dengan cara mengajarkan semua anak untuk merapikan diri, menjaga kebersihan,

Rumah adalah suatu bangunan yang dihuni oleh manusia dan di dalamnya mereka dapat melakukan aktifitas untuk memenuhi kebutuhan hidup. Rumah merupakan sebuah

Tata kerja kelompok ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari aturan besar kelompok SHK Lestari Muara Tiga sebagai acuan atau landasan pelaksanaan kerja kelompok dalam

Dengan pembangunan proyek ini dapat meningkata kapasitas voluem yang akan dimiliki, dimana saat ini perseroan memiliki kapasitas terminal sebesar 180.000

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan sebagai alat untuk menerapkan teori yang diperoleh

Mata kuliah ini diperuntukkan bagi mahasiswa Jurusan Syari’ah sebagai calon sarjana yang mahir dalam hukum Islam. Mata kuliah ini akan membantu mahasiswa