A. Kajian Teori 1. Menulis Narasi
a. Pengertian Menulis
Menurut Gie (2002: 3) menulis adalah keseluruhan rangkaian kegiatan seseorang dalam mengungkapkan gagasan dan menyampaikan bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Kemudian menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menulis adalah membuat huruf (angka, dsb) dengan pena, melahirkan pikiran dan perasaan (seperti mengarang dan membuat surat) (Djuanda, 2008:179).
Marwoto (dalam Aritonang, 2006: 72) menyatakan bahwa menulis ialah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik
yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang. Orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut jika orang itu memahami bahasa dan gambaran grafik tersebut. Gambaran grafik
yang dimaksud menulis bukan huruf-huruf dalam poster atau membuat karya-karya kaligrafi yang artistik sifatnya. Menulis di sini
dimaksudkan sebagai kemampuan seseorang untuk mengungkapkan ide, pikiran, pengetahuan, ilmu, dan pengalaman-pengalaman hidupnya dalam bahasa tulis yang jelas, runtun, ekspresif, enak dibaca dan
dipahami orang lain. Kemudian Menurut definisi Akademi
11
Kepengarangan, menulis dapat dipahami sebagai keseluruhan rangkaian kegiatan seseorang mengungkapkan gagasan dan
menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami tepat seperti yang dimaksudkan oleh penulis.
Tarigan (dalam Aritonang: 2009: 73) menyatakan bahwa pada prinsipnya fungsi utama dari sebuah tulisan adalah sebagai alat
komunikasi yang tidak langsung. Menulis sangat penting bagi pendidikan karena memudahkan para pelajar berpikir. Juga dapat menolong kita
berpikir secara kritis. Menurut Morsey, keterampilan menulis sangat dibutuhkan dalam kehidupan modern saat ini. Keterampilan menulis merupakan suatu ciri dari orang yang terpelajar atau bangsa yang
terpelajar. Sehubungan dengan hal itu, kegiatan menulis dapat dilakukan dengan baik oleh orang yang dapat menyusun pikirannya dan
mengutarakannya dengan jelas. Kejelasan ini tergantung pada pikiran, organisasi, pemakaian kata-kata, dan struktur kalimat serta menuntut latihan yang cukup, teratur, dan pendidikan yang terprogram.
Banyak ahli yang membuat klasifikasi mengenai berbagai ragam tulisan. Salisbury (dalam Tarigan, 1985 : 26) membagi ragam tulisan
berdasarkan bentuknya sebagai berikut.
1. Bentuk-bentuk objektif yang mencakup: a. penjelasan yang terperinci mengenai suatu proses, b. batasan, c. laporan, dan d.
dokumen.
2. Bentuk-bentuk subyektif yang mencakup: a. otobiografi, b.
sastra. Selain pembagian di atas, ada yang mengklasifikasikan ragam tulisan ke dalam bentuk, (1) eksposisi, (2) deskripsi, (3)
narasi, dan (4) argumentasi. berita, resensi, dan makalah ilmiah)
b. Tujuan dan Manfaat Menulis
Kegiatan menulis mempunyai tujuan dan manfaat tertentu. Peck
dan Schulz (dalam Aritonang, 2009: 73) menyatakan bahwa tujuan menulis adalah :
1. Membantu para siswa memahami bagaimana caranya mengekspresikan ide secara tertulis, dapat melayani mereka, dengan jalan menciptakan situasi-situasi di dalam kelas yang jelas
memerlukan karya tulis dan kegiatan menulis.
2. Mendorong para siswa mengekspresikan diri mereka secara bebas
dalam tulisan.
3. Mengajar para siswa menggunakan bentuk yang tepat dan serasi dalam ekspresi tulis.
4. Mengembangkan pertumbuhan bertahap dalam menulis dengan cara membantu para siswa menulis sejumlah maksud dengan
sejumlah cara dengan penuh keyakinan pada diri sendiri secara bebas.
Sugiran (2008: 55) menegaskan bahwa kemampuan menulis
juga memiliki peranan yang sangat penting dan strategis bagi
perkembangan belajar siswa, karena siswa akan mendapatkan berbagai
keuntungan. Keuntungan yang diperoleh siswa antara lain:
1) dapat mengungkapkan dan mengkomunikasikan gagasan melalui tulisan;
2) dapat berlatih mencari dan menemukan gagasan;
3) dapat mengungkapkan kembali pengalaman dan pengetahuan yang telah diperolehnya ke dalam tulisan;
4) dapat merangkaikan gagasan sehingga membentuk satu kesatuan pikiran;
5) penulis terdorong untuk terus belajar demi kesempurnaan tulisannya;
6) dengan kegiatan menulis yang terencana, penulis membiasakan berpikir dan berbahasa secara teratur;
7) penulis dapat mengungkapkan gagasannya sesuai dengan tujuan yang diinginkan, dan
8) penulis dapat mengungkapkan gagasan sesuai dengan kebutuhan dan ada manfaatnya bagi pembaca.
Menurut Morsey (dalam Tarigan, 1985 : 4), keterampilan menulis sangat dibutuhkan dalam kehidupan modern saat ini. Keterampilan menulis merupakan suatu ciri dari orang yang terpelajar atau bangsa yang terpelajar. Pendapat tersebut menunjukkan betapa pentingnya kemampuan menulis bagi seseorang agar dapat mengikuti perkembangan jaman. Namun demikian, ternyata kemampuan menulis masih mempunyai permasalahan.
Menurut Aritonang (2008: 6), masalah yang sering terjadi dalam pengajaran bahasa Indonesia, khususnya keterampilan menulis adalah
sebagai berikut.
1. Kurang mampunya siswa menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini terlihat dari pilihan kata yang kurang tepat, kalimat yang kurang efektif, sukar mengungkapkan gagasan karena kesulitan memilih kata
atau membuat kalimat, bahkan kurang mampu mengembangkan ide secara teratur dan sistematis.
2. Kurangnya latihan dan praktek menulis Hal ini disebabkan dalam pengajaran bahasa Indonesia yang terdiri dari empat aspek yaitu keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis waktu
yang diberikan empat jam dalam satu minggu. Waktu hanya satu jam untuk aspek keterampilan menulis, dalam satu minggu sangatlah
kurang untuk latihan dan praktek menulis.
3. Kurang terampilnya guru memberikan berbagai macam tulisan kepada siswa. Hal ini terlihat dari hasil tulisan siswa, seperti karya
tulis sederhana yang dibuat sebagai syarat kelulusan terkesan asal jadi, tidak memenuhi syarat-syarat penulisan karangan ilmiah.
4. Pada umumnya sekolah tidak memiliki atau membuat program kegiatan menulis melalui proses intra maupun ekstrakurikuler.
Berdasarkan hal di atas, agar siswa memiliki keterampilan
menulis dan tujuan program kegiatan menulis tercapai, diperlukan pembimbing atau guru yang juga memiliki keterampilan dalam
sekolah, agar waktu untuk latihan dan praktek menulis dapat tersusun sesuai dengan jadwal dan proses bertahap dalam menulis dapat
berjalan teratur dan terprogram.
Menurut Lado (dalam Aritonang, 2008: 7), kualifikasi guru/ pelatih yang dituntut dalam bidang menulis, dibagi menjadi tiga kualifikasi, yaitu sebagai berikut.
1. Kualifikasi Minimal
Kualifikasi minimal yang harus dimiliki oleh guru/pelatih dalam
bidang menulis yaitu mampu menulis dengan tepat kalimat-kalimat atau paragraf-paragraf seperti yang akan dikembangkan secara lisan, dan menulis surat sederhana. Untuk mencapai kualifikasi
minimal tersebut guru harus memiliki kemampuan dasar menulis yang meliputi:
a. Menguasai bahasa yang digunakan untuk menulis. Jika menulis bahasa Indonesia, ia harus menguasai bahasa Indonesia dan mampu menggunakannya dengan baik dan benar. Menguasai
bahasa Indonesia berarti mengetahui dan dapat menggunakan kaidah-kaidah tata bahasa Indonesia yang meliputi tata bunyi,
tata bentukan, tata kalimat, dan tata wacana.
b. Mengetahui dan mampu menggunakan ejaan bahasa Indonesia yang berlaku yaitu Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan yang meliputi, penulisan huruf, penulisan kata, dan penggunaan tanda baca.
c. Mengetahui dan dapat menggunakan kosa kata bahasa Indonesia. Pengenalan kata atau jumlah kata yang terbatas
berarti pembatasan sumber daya untuk mengungkapkan diri di dalam kehidupan tulis-menulis. Dengan kosa kata terbatas tidak hanya menyulitkan dalam berinspirasi, tetapi juga akan menyulitkan menuangkan inspirasi tersebut. Semakin banyak
kata-kata yang dikuasai makin mudah untuk menulis yang pada gilirannya memudahkan kita dalam soal memilih kata.
d. Mengetahui dan mampu mengefektifkan kalimat. Kalimat efektif ialah kalimat jelas, mengikuti tata bahasa, ringkas, luwes, dan enak dibaca. Semua tulisan harus menggunakan kalimat efektif.
Jika tidak, tulisan tersebut akan menjadi tulisan yang tidak berhasil guna.
e. Mengetahui dan mampu mengembangkan paragraf. Guru harus mampu menyusun dan mengekspresikan gagasan-gagasan penunjang. Gagasan pokok dari sebuah paragraf hanya akan
jelas jika diperinci dengan gagasan-gagasan penunjang serta memperhatikan unsur kesatuan dan kepaduan (koheren)
paragraf. 2. Kualifikasi Baik
Guru yang berkualifikasi baik memiliki disiplin dan
kreativitas dalam menulis “karangan bebas” yang sederhana dengan kejelasan dan ketepatan dalam kosa kata, idiom, dan
sintaksis. Disiplin yang harus dimiliki antara lain:
a. Disiplin dalam membaca. Banyak membaca berbagai jenis buku baik itu fiksi maupun nonfiksi akan menambah kosa kata dan
pengetahuan sehingga menghasilkan tulisan bebas yang bermutu bagi pembaca. Hal ini dikarenakan antara menulis dan membaca terdapat hubungan yang sangat erat. Bila kita menulis sesuatu, maka pada prinsipnya kita ingin agar tulisan itu dibaca
oleh orang lain. (Tarigan, 1985 : 4).
b. Disiplin dalam menulis. Dalam menulis jangan ditunda-tunda.
Jika ada niat menulis langsung menulis. Landasan disiplin dalam menulis dengan latihan-latihan yang terus menerus, menangkap, dan berpikir sehingga menghasilkan berbagai
karangan bebas.
Sedangkan kreatifitas yang perlu dimiliki oleh guru agar
menghasilkan karangan bebas, antara lain:
a. Membiasakan diri bebas dalam berpikir dan bertindak. Lakukan perkerjaan menulis sesuai dengan tuntutan kreatif guru. Jika
menulis itu menuntut guru untuk bekerja keras dan berpikir kritis, ikuti saja. Dengan mengikuti tuntutan kreativitas jiwa
akan merasa leluasa dan dapat bekerja secara maksimal.
b. Menciptakan hal-hal yang baru. Jangan puas dengan apa yang telah ada. Pikirkan sesuatu yang mungkin terjadi atau cara yang
mungkin ditempuh dan perbanyak kemungkinan-kemungkinan untuk menempuh hal-hal yang baru. Dapat juga dilaksanakan
cara ini guru dapat berimajinasi, berpikir untuk menciptakan sesuatu yang baru.
c. Mengembangkan daya konsentrasi. Berlatihlah memusatkan perhatian pada apa yang sedang dilakukan. Salah satu latihan konsentrasi yang dapat dilakukan adalah duduk di tempat yang paling sunyi, pejamkan mata dan buat titik konsentrasi di dalam
pikiran. Mungkin ada lagi cara guru tersendiri untuk dapat berkonsentrasi.
d. Melakukan hal-hal yang menantang. Tantangan dapat menyuburkan kreativitas, karena melalui tantangan pikiran, emosi, dan imajinasi dapat bekerja keras. Untuk itu
hindarkanlah hal-hal yang bersifat statis.
e. Membiasakan bekerja keras. Tentukanlah waktu untuk berlatih
menulis. Upayakan jangan sampai ada waktu kosong latihan yang lama. Jangan mudah jemu dan putus asa yang mengakibatkan jiwa tumpul dan tidak ulet, sehingga sulit untuk
dapat bekerja keras.
f. Memupuk kepekaan terhadap gejala alam dan kehidupan.
Amati secara jeli segala aspek kehidupan di sekitar kita, baik kehidupan manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan. Amati dan renungkan setiap yang kita amati, kemudian olah dan organisir
dan tulislah apa yang telah diamati itu sampai menjadi sebuah tulisan bebas yang baik.
g. Melatih berpikir assosiasi. Biasakan mengassosiasikan suatu gejala yang Anda tangkap dengan sesuatu yang lain. Berpikir
assosiatif akan mempertajam imajinasi. Untuk itu berlatihlah terus sehingga imajinasi berkembang dengan optimal.
3. Kualifikasi Unggul
Guru yang memiliki kualifikasi unggul mampu menulis
beraneka ragam tulisan baik itu fiksi maupun nonfiksi yang mudah dipahami. Ia juga mempunyai perasaan yang tajam terhadap gaya
bahasa yang beraneka ragam dalam bahasa tulisan tersebut. Dengan kemampuan yang demikian guru/ pelatih menulis dapat menghasilkan beraneka ragam tulisan sehingga hasil tulisan itu
dapat dijadikan bahan ajar kepada anak didik.
Tingkat kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kuantitas
dan kualitas bahan bacaan yang dihasilkan oleh para penulis/ pengarangnya. Juga dapat diukur dari tinggirendahnya minat baca warga negara bangsa tersebut. Terlebih-lebih minat baca para siswa
dan kita sebagai guru yang akan membimbing siswa dalam menulis. Menurut Breasted, hubungan antara tulisan dan peradaban
sangat erat. Seorang sejarawan Amerika asal Chicago pernah mengatakan bahwa “Penemuan tulisan dan sistim perekaman yang tepat dan sesuai pada kertas benar-benar telah mempunyai
pengaruh yang lebih besar dalam menaikkan martabat ras manusia daripada setiap prestasi intelektual lainnya dalam karier manusia.
(Tarigan, 1985 : 11)
c. Pengertian Menulis Narasi
Kegiatan menulis yang dikaji dalam penelitian ini adalah
menulis narasi. Menulis narasi yaitu jenis tulisan atau karangan yang sifatnya bercerita, baik berdasarkan pengalaman dan pengamatan oleh siswa (Arundati, 2010: 13). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999: 683) dijelaskan bahwa makna narasi adalah (1) penceritaan
suatu cerita atau kejadian, (2) cerita atau deskripsi dari suatu kejadian. Cerita dapat berupa pengalaman dan pengetahuan penulis. Dapat juga
berupa khayalan penulis. Cerita tentang pengalaman dapat berupa pengalaman langsung dan tidak langsung. Pengalaman langsung menunjukkan bahwa penulis mengalami secara langsung peristiwa atau
kejadian yang ditulis dalam tulisannya. Penulis menuliskan kejadian tersebut secara objektif. Disampaikan secara runtut mulai dari awal
sampai akhir kejadian. Sedangkan pengalaman tidak langsung diperoleh dari cerita seseorang atau sumber lainnya (Sugiran, 2008: 59).
Pengalaman berdasarkan dua sumber (cerita orang dan sumber lain) ini dapat juga dipertanggungjawabkan keakuratan objeknya. Cerita yang berdasarkan kejadian nyata merupakan cerita faktual sering juga disebut narasi ekspositoris. Dalam menceritakan suatu kejadian yang sebenarnya perlu urutan kejadian secara kronologis. Mulai dari awal sampai pada akhir peristiwa secara objektif. Hal ini sesuai dengan pendapat Suparno (2003: 4.28) bahwa karangan yang disebut narasi menyajikan serangkaian peristiwa. Karangan ini
berusaha menyampaikan serangkaian kejadian menurut urutan kejadiannya (kronologis), dengan maksud memberi arti kepada sebuah atau serentetan kejadian, sehingga pembaca dapat memetik hikmah dari cerita itu.
d. Unsur-unsur Intrinsik Menulis Narasi
Ada 3 (tiga) komponen yang tergabung dalam perbuatan menulis, yaitu: (1) penguasaan bahasa tulis, yang akan berfungsi
sebagai media tulisan, meliputi: kosakata, struktur kalimat, paragraf, ejaan, pragmatik, dan sebagainya; (2) penguasaan isi karangan sesuai
dengan topik yang akan ditulis; dan (3) penguasaan tentang jenis-jenis tulisan, yaitu bagaimana merangkai isi tulisan dengan menggunakan bahasa tulis sehingga membentuk sebuah komposisi yang diinginkan,
seperti esai, artikel, cerita pendek, makalah, dan sebagainya (Arundati, 2010: 7)
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menulis narasi. Pertama adalah memilih topik. Topik adalah pokok pembicaraan. Suparno (2003:3.3) menyatakan bahwa topik dapat
diberi batasan sebagai hal pokok yang dibicarakan. Dengan demikian, topik karangan atau topik tulisan dapat diartikan sebagai hal pokok
yang dituliskan atau diungkapkan dalam karangan. Memilih topik merupakan suatu keharusan yang dilakukan oleh penulis narasi. Jika penulis karangan adalah siswa, maka siswa itu sendiri yang memilih
topik yang akan dikembangkan menjadi suatu karangan.
Memilih topik sangat perlu dilakukan seorang pengarang dimaksudkan agar suatu pembicaraan terfokus pada suatu masalah
tertentu. Topik yang dipilih adalah yang ada manafaatnya. Terutama sekali manfaat bagi penulis dan pembaca. Manfaat bagi penulis adalah manfaat spritual dan secara material. Manfaat spritual, penulis merasa senang menyampaikan gagasan, ide melalui tulisannya yang
bermanfaat bagi orang lain. Orang lain dapat mengambil hikmah pengetahuan dan pengalaman yang disampaikan penulis. Sedangkan
manfaat material, penulis selain merasa senang menyampaikan ide, gagasannya melalui tulisan, penulis menghendaki adanya imbalan material. Bagi pembaca, manfaat yang diperoleh dapat berupa
menambah ilmu pengetahuan, sebagai hiburan, sebagai informasi, dan sebagainya.
Topik juga harus dikuasai dengan baik dan menarik. Kedua hal ini harus ada dalam benak penulis. Penulis tidak akan menulis suatu topik dengan baik jika tidak menguasai topik yang bersangkutan. Oleh
karena itu, topik harus dikuasai dengan baik. Demikian juga topik harus menarik bagi penulis. Topik yang tidak menarik menyebabkan
penulis suatu karangan akan tersendat-sendat dalam menyelesaikan tulisan karena merasa dipaksakan untuk menyelesaikan karangannya.
Kedua membatasi topik. Apa yang ada di benak penulis
bagaikan sebuah toko yang menyediakan berbagai keperluan rumah tangga. Tergantung pembeli mau membeli apa. Pemilik toko akan
dalam menulis, penulis akan menulis sesuai dengan kebutuhan pembacanya, sehingga topik tulisan tidak terlalu luas dan tidak terlalu
sempit. Selain itu, dengan adanya pembatasan terhadap topik, penulis akan lebih mudah menguraikan isi yang akan ditulis, juga memberikan kebutuhan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan karangan.
Ketiga menentukan tujuan. Sebelum penulis mengungkapkan
ide, pendapatnya melalui kata-kata, dalam benak seorang penulis sudah terpikirkan apa tujuan yang ingin dicapai melalui tulisannya.
Setiap penulis akan mempunyai tujuan yang berbeda dengan penulis lainnya. Suparno (2003: 3.7) menyatakan bahwa tujuan itu bermacam-macam, seperti menjadikan pembaca ikut berpikir dan bernalar,
membuat pembaca tahu tentang hal yang diberitakan, menjadikan pembaca beropini, menjadikan pembaca mengerti dan membuat
pembaca terpersuasi oleh isi karangan, atau membuat pembaca senang dengan menghayati nilai–nilai yang dikemukakan dalam karangan, seperti nilai moral, kemanusiaan, nilai etika, dan estetika. Perbedaan
tujuan itu disebabkan adanya pengaruh yang berasal dari luar diri pengarang. Setting suatu kejadian sangat berpengaruh terhadap tujuan
penulisan karangan. Termasuk audien/calon pembaca dari hasil karangan tersebut. Apakah latar belakang pendidikan calon pembaca, tingkat sosial ekonomi pembaca, dan tingkat kemampuan
berbahasanya. Dengan memperhatikan berbagai perbedaan yang ada, seorang penulis akan memperhatikan tingkat kesesuaian dan tingkat
keterbacaan hasil tulisaannya, sehingga pembaca dapat memahami isi karangan.
Keempat mengembangkan topik dan penulisan. Setelah ketiga langkah di atas direncanakan dengan tepat, selanjutnya topik karangan dikembangkan menjadi sebuah karangan. Karangan yang dikembangkan ini masih berupa draf. Karangan yang masih terdapat
kekurangan dan kesalahan-kesalahan. Pada tahap ini biasanya seorang penulis meminta orang lain atau teman sejawat untuk membaca dan
sekaligus memberikan saran pembetulan terhadap karangannya. Setelah ada masukan atau koreksi dari teman sejawat, selanjutnya draf diperbaiki menjadi sebuah karangan. Karangan dikembangkan dengan
memperhatikan tata cara penulisan paragraf, kesatuan antara paragraf satu dengan yang lainnya, ejaan, dan isi karangan.
Kelima revisi. Karangan yang telah selesai ditulis, perlu dibaca kembali oleh penulisnya. Hal ini dimaksudkan jika masih ada kesalahan baik mengenai isi maupun bahasa, dan ejaannya, diperbaiki
sebelum karangan dipublikasikan. Suparno (2003: 3.34) berpendapat ada empat aspek yang perlu diperhatitikan dalam memperbaiki atau
merivisi karangan, yaitu aspek isi, aspek bahasa, ejaan dan tanda baca, dan aspek teknis. Dengan adanya revisi ini, karangan sudah siap untuk dipublikasikan. Dari kelima tahap proses penulisan karangan narasi
tersebut, tidak ada satu pun tahap yang boleh ditinggalkan oleh penulis narasi. Pengarang/penulis harus melaluinya tahap demi tahap, sehingga
terbentuk karangan yang utuh siap untuk dipublikasikan.
e. Jenis Tulisan / Karangan Narasi
Istilah narasi atau sering disebut naratif berasal dari kata bahasa
Inggris narration (cerita) dan narrative (yang menceritakan).
Karangan narasi menyajikan serangkaian peristiwa atau kejadian
menurut urutan terjadinya ( kronologis) dengan maksud memberi
makna kepada sebuah atau serangkaian kejadian, sehingga pembaca
dapat mengambil hikmah dari cerita itu. Dengan demikian, karangan
narasi hendak memenuhi keingintahuan pembaca yang selalu bertanya
“ Apa yang terjadi ?”
Jenis tulisan narasi antara lain narasi informasional dan narasi
artistik. Ciri-ciri yang dominan pada kedua macam karangan narasi
adalah sebagai berikut :
Narasi Informasional :
1) Memperluas pengetahuan.
2) Menyampaikan informasi faktual suatu amanat yang tersirat.
mengenai suatu kejadian.
3) Didasarkan pada penalaran.
4) Bahasanya informatif dengan titik sehingga kalau perlu penalaran
dapat berat pada pemakaian kata-kata dilanggar, denotatif.
Narasi artistik
2) menyampaikan sesuatu makna atau
3) menimbulkan daya khayal.
4) penalaran hanya berfungsi sebagai mencapai kesepakatan rasional.
alat untuk menyampaikan makna,
5) Bahasanya figuratif dengan kata–kata konotatif
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa karangan narasi
informasional atau narasi ekspositoris digunakan untuk karangan yang
faktual seperti biografi, autobiografi, sejarah,atau proses cara
melakukan sesuatu hal. Sedangkan karangan narasi artistik atau narasi
sugestif digunakan untuk karangan imajinatif, misalnya cerpen, novel,
roman atau drama.
f. Contoh Jenis Tulisan / Karangan Narasi
Berikut ini dipaparkan beberapa contoh dari karangan narasi
yang berbentuk narasi informasional dan narasi artistik.
Contoh 1
Hj.Kuraesih, “35 Tahun Baca ‘PR’ tidak Bosan”
Lebih dari 35 tahun membaca Harian Umum Pikiran Rakyat, tapi ibu yang satu ini tidak pernah bosan. Selama itu ia tetap setia berlangganan “PR” dan tiap hari membaca Pikiran Rakyat dari halaman satu sampai halaman akhir, dari mulai berita sampai iklan-iklannya. Ketika ditemui Direktur Pemasaran PT PR Bandung H. Januar P.Ruswita, Rabu lalu di Purwakarta, Ibu Hj.Kuraesih atau lebih dikenal dipanggil Ibu Laksana, mengaku mulai berlangganan “OR” kira-kira tahun 1969 yaitu saat “PR” melakukan operasi pengembangan pasar di Kota Purwakarta.
“Ibu masih ingat ketika itu posko operasi pengembangan “PR” bertempat di sebuah hotel di depan rumah. Jadi selama beberapa hari, ibu mendapat koran gratis. Karena tertarik membaca “PR”, ibu berlangganan dan bahkan terus ketagihan sehingga menjadi pelanggan tetap sampai hari ini. Ibu tidak bosan baca “PR” selama 35 tahun,” katanya.
(Ruhimat, Pikiran Rakyat :25 Maret 2006).
Contoh 2:
Tanganku dia bimbing, kakiku berjalan dengan langkah cepat mengikutinya. Kami duduk di ruang tengah. Ada kursi-kursi di sana. Aku dimintanya duduk di sampingnya.
“Duduklah, cucu. Di samping kakek. Nah. Siapa namamu?” Aku sebutkan namaku, sambil mataku melayang ke sekitar. Semuanya penuh bunga. Aku menatap wajah kakek, kerut-merut kulit tua. Aku sebutkan namaku, sambil mataku melayang ke sekitar. Semuanya penuh bunga. Aku menatap wajah kakek, kerut-merut kulit tua. Kataku:
“Banyak sekali bunga, Kakek?”
“O, ya banyak. Aku suka bunga-bunga.”
“Belum pernah kulihat yang sebanyak ini, sebelumnya.” “Tentu saja. Kenapa tidak sejak dulu datang ke sini?” “Kenapa kakek tidak datang ke rumahku?”
Ia tertawa mengusap-usap kepalaku.
“Pintar, ya. Kau sering memanjat pagar itu, bukan?” “Ya. Ternyata kakek mengetahui tingkahku. Siapa memberi tahu?”
“Mataku, cucu.”
“Hanya untuk melihat-lihat saja. Kek.”
Ia tertawa terguncang badannya. “Tentu saja aku tahu itu. Kau anak baik, cucu. Karena, mata batinku lebih tajam dari mata kepalaku.”
(Kuntowijoyo dalam Yoyo M.dkk. 1998: 119).
Setelah membaca kedua contoh karangan narasi di atas, dapat dibedakan antara karangan narasi informasional dan karangan narasi artistik. Contoh 1 bertujuan memberikan informasi. Olah karena itu,
narasi jenis ini bersifat faktual dan secara esensial merupakan hasil pengamatan pengarang. Jadi, contoh 1 itu benar-benar
menginformasikan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan nyata. Sedangkan Contoh 2 bersifat fiktif dan secara esensial merupakan hasil imajinasi pengarang dan mengisahkan suatu kehidupan yang hanya
hidup dalam benak pengarang yang tidak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun tidak menutup kemungkinan bahan-bahan
ciptaan pengarang itu ada dalam kehidupan nyata (faktual).
g. Langkah-langkah Menulis Narasi
Berkaitan dengan tahap-tahap proses menulis, Kusumah (2008:
73) menyajikan lima tahap, yaitu: (1) pramenulis, (2) pembuatan draft,
(3) merevisi, (4) menyunting, dan (5) berbagi (sharing). Tompkins
juga menekankan bahwa tahap-tahap menulis ini tidak merupakan
kegiatan yang linier. Proses menulis bersifat nonlinier, artinya
merupakan putaran berulang. Misalnya, setelah selesai menyunting
tulisannya, penulis mungkin ingin meninjau kembali kesesuaiannya
dengan kerangka tulisan atau draft awalnya. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan pada setiap tahap itu dapat dirinci lagi. Dengan demikian,
tergambar secara menyeluruh proses menulis, mulai awal sampai akhir
menulis. Masing-masing tahap kegiatan tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut;
1) Tahap Pramenulis
Pada tahap pramenulis, siswa melakukan kegiatan sebagai
berikut:
a) Menulis topik berdasarkan pengalaman sendiri.
b) Melakukan kegiatan-kegiatan latihan sebelum menulis.
c) Mengidentifikasi pembaca tulisan yang akan mereka tulis.
d) Mengidentifikasi tujuan kegiatan menulis.
e) Memilih bentuk tulisan yang tepat berdasarkan pembaca dan
tujuan yang telah mereka tentukan.
2) Tahap Membuat Draft
Kegiatan yang dilakukan oleh pembelajar pada tahap ini
adalah sebagai berikut:
a) Membuat draft kasar.
b) Lebih menekankan isi daripada tata tulis.
3) Tahap Merevisi
Yang perlu dilakukan oleh pembelajar pada tahap merevisi
tulisan ini adalah sebagai berikut:
a) Berbagi tulisan dengan teman-teman (kelompok).
b) Berpartisipasi secara konstruktif dalam diskusi tentang tulisan
teman-teman sekelompok atau sekelas.
c) Mengubah tulisan mereka dengan memperhatikan reaksi dan
komentar baik dari pengajar maupun teman.
d) Membuat perubahan yang substantif pada draft pertama dan
draft berikutnya sehingga menghasilkan draft akhir.
4) Tahap Menyunting
Pada tahap menyunting, hal-hal yang perlu dilakukan oleh
pembelajar adalah sebagai berikut:
a) Membetulkan kesalahan bahasa tulisan mereka sendiri.
b) Membantu membetulkan kesalahan bahasa dan tata tulis tulisan
mereka sekelas/sekelompok.
c) Mengoreksi kembali kesalahan-kesalahan tata tulis tulisan
mereka sendiri
Dalam kegiatan penyuntingan ini, sekurang-kurangnya ada
dua tahap yang harus dilakukan. Pertama, penyuntingan tulisan
untuk kejelasan penyajian. Kedua, penyuntingan bahasa dalam
tulisan agar sesuai dengan sasarannya (Rifai, 2007: 105-106).
Penyuntingan tahap pertama akan berkaitan dengan masalah
komunikasi. Tulisan diolah agar isinya dapat dengan jelas diterima
oleh pembaca. Pada tahap ini, sering kali penyunting harus
mereorganisasi tulisan karena penyajiannya dianggap kurang
efektif. Ada kalanya, penyunting terpaksa membuang beberapa
paragraf atau sebaliknya, harus menambahkan beberapa kalimat,
bahkan beberapa paragraf untuk memperlancar hubungan gagasan.
Penyunting sebaiknya berkonsultasi dan berkomunikasi dengan
penulis. Pada tahap ini, penyunting harus luwes dan pandai-pandai
menjelaskan perubahan yang disarankannya kepada penulis karena
hal ini sangat peka. Hal-hal yang berkaitan dengan penyuntingan
tahap ini adalah kerangka tulisan, pengembangan tulisan,
penyusunan paragraf, dan kalimat.
Kerangka tulisan merupakan ringkasan sebuah tulisan.
Penyunting dapat melihat gagasan, tujuan, wujud, dan sudut
pandang penulis melalui kerangka tulisan. Dalam bentuknya yang
ringkas itulah, tulisan dapat diteliti, dianalisis, dan
dipertimbangkan secara menyeluruh, dan tidak secara lepas-lepas.
Penyunting dapat memperoleh keutuhan sebuah tulisan dengan cara
mengkaji daftar isi tulisan dan bagian pendahuluan. Jika ada,
misalnya, dalam tulisan ilmiah atau ilmiah populer, sebaiknya
bagian simpulan pun dibaca. Dengan demikian, penyunting akan
memperoleh gambaran awal mengenai sebuah tulisan dan
tujuannya. Gambaran itu kemudian diperkuat dengan membaca
secara keseluruhan isi tulisan. Jika tulisan merupakan karya fiksi,
misalnya, penyunting langsung membaca keseluruhan karya
tersebut. Pada saat itulah, biasanya penyunting sudah dapat
menandai bagian-bagian yang perlu disesuaikan.
5) Tahap Berbagi
Tahap terakhir dalam proses menulis adalah berbagi
(sharing) atau publikasi. Pada tahap berbagi ini, siswa
mempublikasikan (memajang) tulisan mereka dalam suatu bentuk
tulisan yang sesuai, atau berbagi tulisan yang dihasilkan dengan
pembaca yang telah mereka tentukan.
Dari tahap-tahap pembelajaran menulis sebagaimana dijabarkan
di atas dapat dipahami betapa banyak dan bervariasi kegiatan
pembelajar dalam proses menulis. Keterlibatannya dalam berbagai
kegiatan tersebut sudah tentu merupakan pelajaran yang sangat berharga
guna mengembangkan keterampilan menulis. Kesulitan-kesulitan yang
dialami oleh pembelajar pada setiap tahap, upaya-upaya mengatasi
kesulitan tersebut, dan hasil terbaik yang dicapai oleh para pembelajar
membuat mereka lebih tekun dan tidak mudah menyerah dalam
mencapai hasil yang terbaik dalam mengembangkan keterampilan
menulis.
2. Teknik Cerita Berantai a. Pengertian
Tarigan (dalam Tarmizi, 2009: 14) berpendapat bahwa teknik
cerita berantai adalah salah satu teknik dalam pengajaran berbicara yang menceritakan suatu cerita kepada siswa pertama, kemudian siswa
pertama menceritakan kepada siswa kedua, dan seterusnya kemudian cerita tersebut diceritakan kembali lagi kepada siswa yang pertama.
Teknik atau metode cerita berantai bisa dimulai dari seorang
siswa yang menerima informasi dari guru, kemudian siswa tadi membisikkan informasi itu kepada teman lain, dan teman yang telah
menerima bisikan meneruskannya kepada teman yang lain lagi. Begitulah seterusnya. Pada akhir kegiatan akan dievaluasi, yaitu: siswa yang mana yang menerima informasi yang benar atau salah. Siswa
yang salah menerima informasi tentu akan salah pula menyampaikan informasi kepada orang lain. Sebaliknya, bisa saja terjadi informasi
yang diterima oleh siswa itu benar tetapi mereka keliru menyampaikannya kepada teman yang lain. Untuk itu, diperlukan pertimbangan yang cukup bijak dari guru untuk menilai keberhasilan
teknik cerita berantai ini.
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam menggunakan teknik bercerita antara lain:
1. Pendengar Harus Terlibat
Seorang guru biasanya menyampaikan cerita lengkap dengan berbagai intisari pengajarannya tanpa melibatkan anak-anak yang diajarnya. Padahal, keterlibatan anak secara aktif akan semakin
mendorong pemahaman anak akan arti cerita.
2. Cerita dapat dimengerti dan memiliki makna bagi pendengarnya
Dalam menyampaikan cerita, guru juga harus jeli melihat kebutuhan anak yang dilayaninya, keadaan dan situasi dimana anak tersebut tinggal, serta pengetahuan anak tentang dunianya.
3. Guru benar-benar memahami cerita yang akan disampaikan
Seorang pembawa cerita yang baik dapat membawa anak-anak
serasa masuk ke dalam tempat dan suasana cerita yang sesungguhnya dan dapat membuat karakter dalam cerita menjadi lebih hidup. Hal ini bisa terjadi apabila guru benar-benar
memahami cerita yang akan disampaikan. (http://bobezani.tripod. com/teknik.htm)
b. Langkah-langkah
Menurut Tarigan (1990), cerita berantai dapat diterapkan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Guru menyusun suatu cerita yang dituliskan dalam sehelai kertas.
2. Cerita itu kemudian dibaca dan dihapalkan oleh siswa.
3. Siswa pertama menceritakan cerita tersebut, tanpa melihat teks,
kepada siswa kedua.
4. Siswa kedua menceritakan cerita itu kepada siswa ketiga.
5. Siswa ketiga menceritakan kembali cerita itu kepada siswa
pertama.
6. Sewaktu siswa ketiga bercerita suaranya direkam.
7. Guru menuliskan isi rekaman siswa ketiga di papan tulis.
8. Hasil rekaman diperbandingkan dengan teks asli cerita.
Untuk menerapkan teknik cerita berantai diperlukan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Guru menyiapkan sehelai kertas yang bertuliskan pesan (kurang
lebih satu atau tiga kalimat) yang akan disampaikan kepada siswa.
2. Pesan yang hendak disampaikan guru menyangkut
kejadian-kejadian yang cukup menarik dan berarti bagi siswa. Misalnya:
cara meningkatkan hasil belajar, penerapan disiplin diri, atau
motivasi belajar.
3. Siswa yang duduk di depan menerima pesan dari guru dan
meneruskannya kepada siswa yang duduk di sebelahnya. Kegiatan
ini dilakukan siswa di depan kelas sambil berdiri.
4. Siswa yang telah menerima pesan meneruskannya kembali kepada
siswa lain. Kegiatan ini dilakukan sampai pada tiga orang siswa
saja. Kemudian siswa ketiga menceritakan isi cerita kepada siswa
pertama.
5. Guru dan siswa membandingkan isi cerita siswa pertama dengan
ketiga.
c. Kelebihan dan Kekurangan
Menurut Tarmizi (2009: 34) penggunaan teknik cerita berantai ternyata memberikan beberapa manfaat dalam meningkatkan keterampilan siswa, antara lain:
1. Pembelajaran berlangsung lebih efektif. 2. Keaktifan siswa lebih meningkat.
3. Terjadi interaksi yang positif antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru.
4. Proses pembelajaran berjalan lebih terarah dan lebih menarik. Di samping manfaat di atas, penerapan teknik cerita berantai menurut hasil temuan di lapangan memiliki beberapa kendala dan kelemahan, seperti:
1. Waktu yang tersedia masih kurang mencukupi.
2. Memerlukan kecermatan dalam memberikan penilaian.
3. Kalimat yang panjang lebih dari tiga kalimat masih sulit untuk disimak.
3. Teknik Berandai-andai a. Pengertian
Berandai-andai merupakan sinonim dari berimajinasi atau berkhayal. Semi (2007: 28) menyatakan bahwa berimajinasi atau berkhayal dimaksudkan menciptakan sesuatu dalam pikiran yang
sebenarnya hal itu tidak atau belum terjadi. Hasil berimajinasi ini dapat dijadikan sebagai bahan tulisan. Menurut Ischlahudin (2009: 2) metode imajinasi yaitu suatu metode pembelajaran melalui imaji visual, siswa dapat menciptakan gagasan mereka sendiri. Imaji cukup efektif sebagai suplemen kreatif dalam proses belajar bersama.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
teknik berandai-andai pada prinsipnya merupakan teknik yang dilakukan melalui pemanfaatan imajinasi atau daya khayal. Jadi,
imajinasi merupakan dasar dan intisari dari teknik ini. Dalam kaitan ini, Widodo (2009: 1) menyatakan dalam proses pembelajaran menulis imajinatif, siswa diajarkan menguasai kompetensi menulis/mengarang
secara bebas sesuai imajinasinya sendiri-sendiri. Di sini siswa diberi kebebasan untuk menuangkan segala ide/gagasan, pendapat/opini,
imajinasi atau daya khayal, dsb ke dalam bentuk tulisan/karangan.
b. Langkah-langkah
Prosedur teknik imajinatif menurut dapat dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut (Ani, 2010):
1. Perkenalkan topik yang akan dibahas. Jelaskan kepada siswa
bahwa mata pelajaran ini menuntut kreativitas dan bahwa penggunaan imaji visual dapat membantu upaya mereka.
2. Perintahkan siswa untuk menutup mata. Perkenalkan latihan
relaksasi yang akan membersihkan pikiran-pikiran yang ada sekarang dari benak siswa.
3. Lakukan latihan pemanasan untuk membukan “mata batin” mereka. Perintahkan siswa, dengan mata mereka tertutup, untuk berupaya
menggambarkan apa yang terlihat dan apa yang terdengar, misalnya ruang tidur mereka, lampu lalu lintas sewaktu berubah warna, dan rintik hujan.
4. Ketika para siswa merasa rileks dan terpanaskan (setelah latihan
pemanasan), berikanlah sebuah imaji untuk mereka bentuk.
5. Sewaktu menggambarkan imajinya, berikan selang waktu hening
secara regular agar siswa dapat membangun imaji visual mereka sendiri. Buatlah pertanyaan yang mendorong penggunaan semua indera, semisal:
• Seperti apakah rupanya? • Siapa yang kamu lihat?
• Apakah yang mereka lakukan? • Apa yang kamu rasakan?
6. Akhiri pengarahan imaji dan instruksikan siswa untuk mengingat
imaji mereka.
7. Perintahkan siswa untuk membentuk kelompok-kelompok kecil dan
berbagi pengalaman imaji mereka. Perintahkan mereka untuk menjelaskan imaji mereka satu sama lain dengan menggunaan sebanyak mungkin penginderaan. Atau perintahkan mereka
imajinasikan.
8. Setelah siswa mengingat kembali bagaimana mereka akan
merencanakan bagaimana mereka akan benar-benar bertindak berdasarkan apa yang mereka pikirkan.
9. Lakukan latihan imaji di mana siswa mengalami kegagalan. Selanjutnya perintahkan mereka untuk membayangkan atau mengimajinasikan sebuah keberhasilan.
4. Prosedur Penilaian Menulis Karangan Narasi
Resmini (2006: 1) menyatakan bahwa pembelajaran menulis di
sekolah dasar didasarkan pada interaksi antara dua pendekatan, yaitu pendekatan yang berorientasi proses dan yang berorientasi produk. Oleh karena itu, evaluasi yang dilakukan juga berupa evaluasi proses dan
evaluasi produk. Penilaian dalam pembelajaran menulis sangat diperlukan terutama untuk melihat proses dan hasil kegiatan menulis siswa. Evaluasi
terhadap perkembangan kemampuan menulis siswa harus dilakukan secara terus-menerus. Dalam pelaksanaannya dapat digunakan beragan bentuk evaluasi diantaranya asesmen otentik yang dapat membantu guru
mengamati perkembangan masing-masing siswa dan siswa sendiri dapat melihat kemampuan yang telah mereka capai. Jenis dan prosedur penilaian
dalam kegiatan menulis siswa, yang terdiri atas penilaian melalui (1) penggunaan asesmen otentik (portofolio, jurnal, catatan anekdot, dan sebagainya), (2) pemantauan kegiatan menulis siswa secara informal, (3)
penilaian proses menulis siswa, dan (4) penilaian hasil tulisan siswa. Rofi’uddin (1996) mengemukakan pendapatnya bahwa penilaian
seringkali disamaartikan dengan istilah tes, pengukuran, dan pengambilan kebijakan.
Untuk memperoleh hasil penilaian yang akurat, kegiatan penilaian hendaknya didasarkan pada prinsip integral atau komprehensif, prinsip kesinambungan, dan prinsip objektif.
a. Prinsip integral atau komprehensif, yakni penilaian pengajaran yang
dilakukan secara menyeluruh dan utuh, yang di dalamnya menyangkut masalah perilaku, sikap dan kreativitas. Dengan demikian, penilaian
pun dilakukan dalam lingkup aspek kognitif, psikomotor, dan aspek emotif.
b. Prinsip berkesinambungan, yakni penilaian yang dilakukan secara
berencana, terus-menerus dan bertahap untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan tingkah laku siswa sebagai hasil dari kegiatan
belajar. Untuk memenuhi prinsip ini, kegiatan penilaian harus sudah direncanakan bersamaan dengan kegiatan penyusunan program semester dilaksanakan sesuai dengan program yang disusun.
c. Prinsip objektif, yakni penilaian pengajaran yang dilakukan dengan
menggunakan alat ukur yang handal dan dilaksanakan secara objektif,
sehingga dapat menggambarkan dengan tepat kemampuan yang diukur.
Untuk memenuhi prinsip ini, kegiatan penilaian harus dilaksanakan
secara objektif dengan menggunakan alat ukur yang tepat.
Selain ketiga prinsip di atas, terdapat beberapa prinsip yang
dikemukakan Mathews (1989, dalam Resmini, 2006: 11)
a. Evaluasi hendaknya berbasis unjuk kerja siswa sehingga selain memanfaatkan penilaian produk, penilaian terhadap proses perlu
mendapat perhatian yang lebih besar.
b. Pada setiap langkah evaluasi hendaknya siswa dilibatkan.
c. Evaluasi hendaknya, memberikan perhatian pula pada refleksi diri siswa (self reflection).
d. Asesmen alternatif (portofolio, catatan anekdotal, unjuk kerja, jurnal dan lainnya) hendaknya lebih dimanfaatkan karena kompleksnya aspek
yang harus dinilai.
e. Umpan balik hendaknya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk pengembangan anak baik secara individual maupun sosial.
e. Evaluasi pembelajaran menulis hendaknya dilakukan dalam proses yang terus menerus (ongoing process), bukan kegiatan penilaian yang
dilakukan di awal atau di akhir program pembelajaran saja.
f. Evaluasi juga harus bersifat multidimensional, komprehensif dan sistematis.
Dalam melaksanakan penilaian kemampuan menulis siswa, guru hendaknya memperhatikan dan menerapkan prinsip-prinsip penilaian
sebagaimana telah dipaparkan di atas. Dengan demikian, hasil penilaian akan memberikan gambaran iformasi kemampuan siswa sesuai dengan tujuan yang ingi dicapai.
Evaluasi terhadap kemampuan menulis siswa harus dilaksanakan secara kontinu dengan mengacu pada prinsip-prinsip evaluasi. Berbagai
proses evaluasi kemampuan menulis siswa antara lain portofolio, catatan anecdotal, rubric, catatan sekolah, dan jurnal. Pemilihan dan penggunaan
bentuk-bentuk evaluasi tersebut sebaiknya digunakan secara variatif dan dikombinasikan sehingga diperoleh gambaran sesungguhnya berkaitan dengan perkembangan masing-masing tulisan siswa. Proses evaluasi ini juga dilakukan melalui pemantauan informal kegiatan menulis siswa
melalui kegiatan observasi, diskusi, dan wawancara. Evaluasi sebaiknya dilakukan secara integral, objektif, dan berkesinambungan. (Resmini,
2006: 14)
B. Kerangka Berpikir
Keterampilan menulis sebagai salah satu dari empat keterampilan berbahasa, mempunyai peranan yang penting bagi siswa. Menulis merupakan
kemampuan seseorang mengungkapkan ide-ide, pemikiran, pengetahuan, pengalaman dalam bahasa tulis yang jelas, runtut dan sistematis. Namun kenyataan menunjukkan bahwa banyak siswa yang kurang memiliki
kemampuan menulis dengan baik.
Arundati (2010: 13) menyatakan dalam mata pelajaran bahasa
Indonesia di SD keterampilan menulis siswa masih menghadapi sejumlah masalah yang antara lain: pertama, kurang mampunya siswa menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini terlihat dari pilihan kata yang kurang tepat, kalimat
yang kurang efektif, sukar mengungkapkan gagasan karena kesulitan memilih kata atau membuta kalimat, bahkan kurang mampu mengembangkan ide
Hal ini disebabkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang terdiri dari empat aspek, waktu yang diberikan empat jam dalam satu minggu. Waktu
hanya satu jam untuk aspek Keterampilan menulis khususnya menulis karangan sangatlahkurang. Ketiga, kurang terampilnya guru memberikan berbagai macam tulisan kepada siswa. Hal ini terlihat dari hasil tulisan siswa seperti membuat kalimat atau membuat cerita pendek. Keempat, pada
umumnya sekolah tidak memiliki program kegiatan menulis.
Dalam upaya meningkatkan kemampan siswa dalam pmbelajaran
menulis diperlukan teknik yang tepat. Teknik yang dikaji dalam penelitian ini adalah teknik cerita berantai dan berandai-andai. Melalui penerapan kedua teknik tersebut, diharapkan kemampuan siswa dalam menulis narasi. Selain
itu, penerapan kedua teknik tersebut juga dapat dibandingkan hasilnya untuk mengetahui teknik yang lebih efektif dalam meningkatkan kemampuan siswa
dalam menulis narasi.
Berdasarkan paparan di atas, kerangka pikir dalam penelitian ini dapat digambarkan melalui skema sebagai berikut :
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
parapagraf, Unsur Intrinsik )
C. Hipotesis
Kemampuan menulis sangat penting bagi siswa. Menulis memungkinkan siswa untuk menyampaikan sesuatu misalnya untuk
menyampaikan ide, gagasan, pikiran, dan perasaan secara sistematis dan menggunakan kaidah-kaidah bahasa, misalnya penggunaan ejaan dan tanda
baca yang tepat. Oleh sebab itu, kemampuan menulis perlu dikembangkan pada para siswa agar siswa terlatih untuk menuangkan pemikiran dan ide-idenyan secara sistematis melalui tulisan.
Untuk mendukung peningkatan kemampuan siswa dalam menulis
maka perlu adanya penerapan teknik yang tepat. Metode tersebut khususnya Kemampuan siswa dalam menulis
narasi kurang optimal
Perlu penerapakan teknik yang tepat dalam pembelajaran menulis
Cerita berantai Berandai-andai
Peningkatan kemampuan menulis karangan narasi pada siswa
Perbandingan
adalah cerita berantai dan berandai-andai. Pemilihan kedua teknik tersebut
antara lain didasarkan pada penelitian terdahulu. Hasil penelitian yang
dilakukan Ani (2010) dan Hartati (2009) menunjukkan bahwa teknik cerita
berantai dan berandai-andai memberikan manfaat yang positif terhadap
peningkatan keterampilan berbahasa pada siswa SD.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah :
1) Teknik cerita berantai dapat meningkatkan secara signifikan kemampuan
menulis karangan narasi pada siswa SDN Adireja Wetan 01.
2) Teknik berandai-andai dapat meningkatkan secara signifikan kemampuan
menulis karangan narasi pada siswa SDN Adireja Wetan 01.
3) Teknik cerita berantai lebih efektif dalam meningkatkan kemampuan
menulis karangan narasi dibanding dengan teknik berandai-andai pada
siswa SDN Adireja Wetan 01.