BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Mas (Cyprinus carpio L.)
2.1.1 Klasifikasi Ikan Mas (Cyprinus carpio L.)
Klasifikasi ikan mas (C. carpio) menurut Saanin (1984) adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Pisces
Subclass : Teleostei Ordo : Cyprinifarmes Subordo : Cyprinoidei
Famili : Cyprinidae Subfamili : Cyprininae
Genus : Cyprinus
Species : Cyprinus carpio L.
Gambar 2.1 Ikan mas (Cyprinus carpio L.)
2.1.2 Biologi Ikan Mas (Cyprinus carpio L.)
Ikan mas (C. carpio) merupakan salah satu ikan yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat, karena dagingnya enak, kenyal, dan durinya
mengumpul. Daerah yang sesuai untuk mengusahakan pemeliharaan ikan ini yaitu daerah yang berada antara 150 – 1000 meter, suhu optimum 25-30 oC, pH perairan berkisar antara 7-8 (Rukmana, 2003). Ikan mas mempunyai daya
adaptasi dan laju pertumbuhan yang tinggi dengan pemberian pakan buatan yang sesuai (Santoso, 1993).
Ikan mas (C. carpio) adalah salah satu ikan perairan tawar yang hidup di danau, sungai yang perairannya tidak dalam, tidak begitu deras, dan berair hangat. Ikan mas (C. carpio) termasuk dalam jenis ikan pemakan hewan dan
tumbuhan (omnivora). Ikan mas (C. carpio) bersifat pemakan jasad dasar (bottom feeders), hal ini menyebabkan air keruh dan rusaknya pematang
Tubuh ikan mas (C. carpio) berbentuk agak panjang dan sedikit pipih ke samping, bibir mulut lunak dan dapat disembulkan (protaktil), serta
memiliki kumis atau sungut (barbel) yang pendek dua pasang pada sudut-sudut mulutnya. Warna tubuhnya bermacam-macam ada yang merah, hijau,
biru keperakan, hitam, kuning muda, coklat keemasan, dan berbelang-belang campuran dari beberapa warna (Rukmana, 2003). Secara umum, hampir semua tubuh ikan mas tertutupi sisik, kecuali beberapa strain yang hanya
memiliki sisik sedikit dan tipe sisiknya adalah sisik tipe sikloid (lingkaran) (Amri, 2002).
Sirip punggung (dorsal) berukuran memanjang dengan bagian belakang berjari keras dan di bagian akhir bergerigi. Letak sirip punggung berseberangan dengan permukaan sirip perut (ventral). Sirip dubur
mempunyai ciri seperti sirip punggung, yakni berjari keras dan bagian akhirnya bergerigi. Garis rusuk (Linea lateralis atau gurat sisi) ikan mas
tergolong lengkap, berada di pertengahan tubuh melintang dari tutup insang sampai ke ujung belakang pangkal ekor. Kulitnya banyak mengandung kelenjar lendir, tertutup oleh sisik, sirip dan ekor yang simetris, insang
tertutup tutup insang (Amri, 2002).
2.1.3 Penyakit pada Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Penyakit merupakan salah satu hambatan dalam proses budidaya ikan, selain faktor lingkungan dan manajemen. Penyakit ikan dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan suatu fungsi alat
melalui proses hubungan antara tiga faktor, yaitu kondisi lingkungan (kondisi di dalam air), kondisi inang (ikan), dan adanya jasad patogen (jasad
penyakit). Dengan demikian timbulnya serangan penyakit merupakan hasil interaksi yang tidak serasi antara lingkungan, ikan, dan jasad organisme
penyakit (Kordi & Ghufran, 2004). Penyakit bakterial, virus, dan lainnya merupakan suatu kendala dalam usaha budidaya ikan air tawar (Pasaribu & Somantri, 2004).
Penyakit MAS pada ikan disebabkan oleh bakteri A. hydrophila, dan penyakit ini bersifat sistemik (Hernayanti et al., 2004). Bakteri tersebut
menyerang apabila daya tahan tubuh ikan turun akibat stress dan penurunan kualitas lingkungan (Munajat & Budiana, 2003). Penyakit MAS sering pula menjadi infeksi sekunder setelah serangan parasit (Hernayanti et al., 2004).
Menurut Tim Karya Tani (2009) ikan mas yang terserang oleh bakteri A. hydrophila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. sirip punggung, dada, dan ekor rusak serta pecah-pecah ;
2. keadaan ikan lemah, tidak lincah, dan kehilangan kesetimbangan.
3. pada permukaan tubuh ikan ada bagian yang berwarna merah berdarah,
terutama di bagian dada, perut, dan pangkal sirip ;
4. di beberapa tubuh ikan, sisik rusak dan rontok serta kulit tampak melepuh ;
2.2 Bakteri Aeromonas hydrophila
2.2.1 Klasifikasi Aeromonas hydrophila
Klasifikasi Aeromonas hydrophila menurut Holt et al. (1998) adalah sebagai berikut :
Phylum : Protophyta Classis : Schizomycetes Ordo : Pseudanonadeles
Family : Vibrionaceae Genus : Aeromonas
Species : Aeromonas hydrophila
2.2.2 Karakteristik Aeromonas hydrophila
A. hydrophila merupakan bakteri patogen yang menyerang ikan air
tawar. Bakteri A. hydrophila termasuk bakteri Gram negatif dan motil, berbentuk batang dengan ukuran 0,7-0,8 µm. Bakteri ini bersifat fakultatif
dan dapat bergerak karena mempunyai satu flagel di salah satu kutub (Robert, 1978; Munajat & Budiana, 2003).
Bakteri A. hydrophila tidak membentuk kapsul maupun spora, koloni
berbentuk bulat, permukaan cembung dan berwarna kuning keputih-putihan (krem). Suhu untuk pertumbuhan bakteri A. hydrophila adalah 4-45ºC,
sedangkan suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri A. hydrophila adalah 37°C (Robert, 1978). Bakteri tersebut menyerang semua jenis ikan air tawar di daerah tropis, sehingga sangat berbahaya bagi budidaya ikan air tawar.
tinggi (80-100%) dan dalam waktu singkat (1-2 minggu), A. hydrophila sulit dikendalikan karena ada di air dan dapat menjadi resisten terhadap
obat-obatan (Kamiso, 2004).
Bakteri A. hydrophila menyerang hampir semua ikan air tawar dan ikan
kakap putih yang dipelihara di tambak dengan salinitas rendah. Serangan bakteri ini baru terlihat apabila ketahanan tubuh ikan menurun akibat stress yang disebabkan oleh penurunan kualitas air, kekurangan pakan, atau
penanganan ikan yang kurang baik (Kordi & Ghufron, 2004).
2.2.3 Patogenitas Aeromonas hydrophila
Bakteri A. hydrophila menyebabkan infeksi keseluruh tubuh ikan disertai dengan pendarahan pada organ dalam tubuh. Bakteri ini dapat menyebar secara cepat pada padat penyebaran yang tinggi, sehingga dapat
menyebabkan kematian benih sampai 90% (Kabata, 1985). Penyakit yang dapat timbul oleh serangan A. hydrophila adalah penyakit bercak merah pada
permukaan tubuh, kulit meradang yang diakhiri dengan luka yang seperti bisul. Ikan yang terinfeksi ini biasanya akan mati dalam waktu satu minggu (Dana & Angka, 1990). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Austin et al.
(1996) dalam Listriono (2009) bahwa penyakit yang ditimbulkan oleh A. hydrophila adalah busuknya sirip dan ekor, haemorrhagic septicaemia,
pengelupasan sisik dan pendarahan pada bagian insang dan anus, mata menonjol, dan abdomen membengkak.
Gejala internal yang muncul adalah pendarahan pada ginjal atau limpa,
kuning, dan rongga mulut dipenuhi cairan kuning (Munajat & Budiana, 2003). Namun gejala eksternal akibat penyakit tersebut adalah adanya ulser
(bisul) yang berbentuk bulat atau tidak teratur dan berwarna merah ke abu-abuan, mata membengkak dan menonjol (Munajat & Budiana, 2003; Kamiso,
2004; Mulia et al., 2005). Yang membedakan A. hydrophila dengan bakteri lain adalah kemampuannya yang dapat menyebabkan exophthalmia. Hal tersebut menunjukan bahwa A. hydrophila mempunyai mekanisme
patogenitas yang berbeda terhadap ikan. Patogenitas A. hydrophila ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal (Austin , 1999 dalam
Listiono, 2009).
2.3 Metabolit Sekunder
Metabolit sekunder pada tumbuhan didefinisikan sebagai senyawa yang
dihasilkan tumbuhan yang tidak terlibat secara langsung dalam pertumbuhan namun tetap diperlukan guna menjaga kelangsungan hidup tumbuhan tersebut. Metabolit sekunder yang diproduksi tanaman antara lain berperan
sebagai sistem pertahanan melawan mikroorganisme, insekta, dan herbivora. Metabolit sekunder pada tanaman seperti flavonoid, terpenoid, tanin, dan
saponin dapat bersifat antimikroba (Robinson, 1995). Metabolit sekunder
dalam menghambat dan membunuh antimikroba antara lain dengan cara perusakan dinding sel, menurunkan permeabilitas membran, perubahan
Sel memiliki jumlah enzim, protein, dan asam nukleat yang berperan dalam proses metabolik. Membran semipermeabel mempertahankan integritas
seluler yaitu secara selektif mengatur keluar masuknya zat antar sel dengan lingkungan luar. Dinding sel merupakan pelindung bagi sel dan berfungsi
dalam proses fisiologis, kerusakan pada dinding sel dapat mengawali terjadinya perubahan-perubahan pada fisiologi sel sehingga dapat menyebabkan kematian pada sel tersebut (Pelczar & Chan, 1988).
2.4 Pepaya (Carica papaya L.)
2.4.1 Klasifikasi pepaya (Carica papaya L.)
Dalam sistematika (taksonomi) tumbuh-tumbuhan pepaya
diklasifikasikan sebagai berikut (Cronquist, 1981) : Divisio : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida Ordo : Parietales Famili : Caricaceae
Genus : Carica
Gambar 2.2 Pepaya (C. papaya L.)
2.4.2 Morfologi Pepaya (Carica papaya L.)
Pepaya merupakan tanaman semak berbentuk pohon, tumbuh tegak,
batang berongga dan tidak berkayu, pada kulit batang terdapat tanda berkas tangkai daun yang telah lepas dan bergetah, terkadang pada bagian atas
terdapat percabangan, tinggi pohon tidak mencapai 10 m (van Steenis, 2008). Bentuk bunga pepaya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu bunga jantan (tidak memiliki putik), bunga sempurna (berjenis kelamin dua/hermaprodit), dan
bunga betina (tidak memiliki benangsari), berwarna putih kekuningan. Bakal buah menumpang, buah memilki satu ruang dan dengan 5 sekat semu,
termasuk buah buni (dinding buah terdiri dari dua lapisan, dengan lapisan luar tipis, dan lapisan dalam yang tebal, lunak, dan berdaging). Biji berjumlah banyak, bulat, permukaan berkerut, dan berwarna hitam (Tjitrosoepomo,
bulat silindris, berongga. Helaian daun berbentuk bulat telur, berbagi menjari (tulang daun menjari dengan torehan lebih dari setengah panjang tulang
daun), ujung daun meruncing, pangkal berlekuk, warna permukaan atas berwarna hijau tua, permukaan bawah hijau muda, tulang daun menonjol
pada permukaan bawah (van Steenis, 2008; Tjitrosoepomo, 2002).
2.4.3 Kegunaan Pepaya (Carica papaya L.)
Pepaya (Carica papaya) merupakan salah satu tanaman yang sering
dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Kebanyakan masyarakat di Indonesia memanfaatkan pepaya pada bagian buah, bunga, daun muda, dan batang
muda untuk bahan makanan, sedangkan getah daunnya sering digunakan untuk melunakan daging (Dalimartha, 2009). Bagian-bagian dari pohon pepaya dapat digunakan untuk obat mulai dari bagian buah, akar pohon, daun,
biji buah pepaya, dan getahnya pun dapat digunakan sebagai obat-obatan. Buah pepaya berguna untuk mengobati maag, memperbaiki pencernaan,
sembelit, dan sariawan. Akar pohon pepaya dapat digunakan untuk mengobati cacingan, penyakit ginjal, encok, dan racun ular. Bagian daun pepaya dapat digunakan untuk mengatasi cacingan, demam, beri-beri,
disentri, kaki gajah, dan kanker. Biji buah pepaya dapat digunakan untuk mengobati cacingan, dispepsia (kembung, mual, nyeri lambung) penyakit
kulit dan diare. Pada bagian getahnya dapat digunakan untuk mengobati luka bakar, jerawat, kutil, dan eksim (Dalimartha, 2009). Secara tradisional biji pepaya dapat dimanfaatkan sebagai obat cacing gelang, gangguan
angin dan sebagai sumber untuk mendapatkan minyak dengan kandungan asam-asam lemak tertentu. Minyak biji pepaya yang berwarna kuning
diketahui mengandung 71,60 % asam oleat, 15,13 % asam palmitat, 7,68 % asam linoleat, 3,60% asam stearat, dan asam-asam lemak lain dalam jumlah
relatif sedikit atau terbatas (Warisno, 2003). Selain mengandung asam-asam lemak, biji pepaya mengandung metabolit sekunder seperti golongan fenol, terpenoid, alkaloid, dan saponin. Golongan Triterpenoid merupakan
komponen utama dari biji pepaya dan memiliki aktifitas fisiologi sebagai sebagai anti bakteri (Sukadana et al., 2008).
2.5 Cara Pemberian Obat Pada Ikan
2.5.1 Rendaman
Metode pengobatan secara rendaman dilakukan bila ikan yang terkena
penyakit hanya beberapa ekor, perendaman dapat dilakukan di dalam bak atau wadah kecil. Akan tetapi jika jumlah ikan yang terserang cukup banyak, sebaiknya dilakukan perendaman dalam kolam/bak. Untuk melakukan
perendaman ikan di kolam/tambak, terlebih dahulu harus dihitung berapa volume air yang terdapat di dalam kolam/tambak tersebut. Volume air
kolam/tambak dapat dihitung dengan mengukur panjang, lebar, dan tinggi permukaan kolam/tambak (Kordi & Ghufran, 2004).
Nuraeti (2006) meneliti pengaruh ekstrak metanol daun jarak cina
terhadap sintasan ikan mas yang terinfeksi bakteri A. hydrophila dengan cara perendaman dan dapat menghasilkan sintasan sebesar 73,3% dibandingkan
2.5.2 Pembilasan
Pembilasan biasanya diterapkan pada telur ikan yang telah terserang
penyakit jamur. Metode pembilasan dilakukan dengan memakai konsentrasi yang relatif tinggi. Ikan dibilas sekaligus sambil dilakukan penggantian air
(Kordi & Ghufran, 2004).
2.5.3 Penyuntikan
Pengobatan melalui penyuntikan dilakukan untuk mengobati ikan yang
terserang penyakit infeksi. Tindakan pengobatan melalui penyuntikan hanya efektif digunakan jika ikan yang terserang jumlahnya relatif sedikit (Kordi &
Ghufran, 2004).
Penyuntikan dapat dilakukan secara intraperitoneal (IP), yaitu penyuntikan dilakukan pada bagian belakang dari rongga perut yakni tepat di
depan sirip perut, dan secara intramuscular (IM), yaitu penyuntikan dilakukan pada bagian tengah otot punggung dekat sirip punggung.
Penyuntikan secara intramuscular ini dianggap lebih baik, sebab selain sering dilakukan, resikonya juga relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan penyuntikan secara intraperitoneal (Kordi & Ghufran, 2004).
2.5.4 Penyemprotan
Penanggulangan penyakit di kolam/tambak dapat dilakukan dengan
cara penyemprotan. Bahan yang digunakan biasanya adalah pestisida. Pengobatan dengan penyemprotan pestisida ini hanya dilakukan sebagai cara terakhir, setelah cara-cara lain tidak ada yang efektif (Kordi & Ghufran,
2.5.5 Pengobatan Melalui Makanan
Ikan yang telah terserang penyakit dapat juga disembuhkan dengan
pengobatan melalui makanan, terutama terhadap serangan penyakit yang tidak mengakibatkan kematian secara tiba-tiba. Pengobatan melalui pakan
sebaiknya segera dilakukan pada tahap awal terjadinya serangan, sebab pada saat itu ikan masih mempunyai nafsu makan. Caranya, obat yang hendak digunakan dicampurkan dengan makanan (sesuai dosis) sesaat sebelum
makanan diberikan (Kordi, 2004).
2.6 Kualitas Air
Air merupakan media yang paling vital bagi kehidupan ikan. Di dalam
budidaya ikan, kualitas air dan kuantitas air yang memenuhi syarat merupakan salah satu kunci keberhasilan budidaya ikan.
2.6.1 Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor fisika yang sangat berpengaruh bagi kehidupan ikan. Suhu mempengaruhi aktifitas fisika dan kimia dalam
perairan. Kenaikan suhu perairan akan menaikan derajat metabolisme. Suhu optimal untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis adalah 28-32ºC. Pada
kisaran tersebut, konsumsi oksigen mencapai 2,2 mg/g berat tubuh per jam. Pada suhu 18-25ºC, ikan masih bertahan hidup tapi nafsu makannya mulai menurun. Suhu air 12-18ºC mulai berbahaya bagi ikan, sedangkan pada suhu
2.6.2 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) adalah logaritma negatif dari konsentrasi ion
hidrogen yang terlepas dalam suatu cairan. pH suatu perairan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan suatu organisme perairan.
Pergoncangan pH yang terlalu besar secara terus menerus akan mengakibatkan terlambatnya pertumbuhan ikan maupun organisme yang hidup di perairan. Pada umumnya nilai pH turun bersama dengan turunnya
kandungan mineral yang ada dalam perairan (Effendie, 1997). pH optimal untuk ikan mas adalah kisaran 7-9 (Rukmana, 2003).
2.6.3 Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut adalah banyaknya oksigen yang terkandung dalam air. Oksigen sangat penting bagi kehidupan organisme, baik di darat maupun di
air. Oksigen agar dapat dimanfaatkan oleh organisme yang hidup di air harus berada dalam keadaan terlarut dalam air. Kandungan oksigen terlarut dalam
suatu perairan dipengaruhi oleh luasnya daerah permukaan air yang bersinggungan langsung dengan atmosfer, tekanan atmosfer, dan udara di sekelilingnya. Pengurangan oksigen di air disebabkan oleh proses pernafasan
hewan dan tumbuhan air, serta proses penguraian bahan organik. Oksigen terlarut dalam perairan sangat dibutuhkan semua organisme yang ada di