1
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Bersamaan dengan adanya globalisasi dunia, batas antar negara semakin memudar. Karena secara tidak langsung dengan adanya globalisasi, perlahan-lahan dunia “terpaksa” menggunakan sistem yang sama, baik dari sisi ekonomi, politik maupun budaya. Khususnya dalam bidang ekonomi, globalisasi diidentikkan dengan penggunaan sistem liberal yang menuntut dihapuskannya hambatan-hambatan dalam interaksi ekonomi. Hambatan-hambatan tersebut berupa penghilangan proteksi nasional dan hambatan regional, yang mengarah pada perdagangan global. Hal ini tentu sangat berpengaruh pada kepentingan ekonomi setiap negara karena menjadi terfragmentasi dan bahkan terkadang timbul berbagai resistensi terhadap tren ekonomi global ini.
Di Jepang terjadi perubahan dalam struktur ekonomi, dimana para aktor yang berkecimpung dalam ekonomi harus mengadaptasi pandangan global tersebut dalam merencanakan dan menjalankan strategi ekonominya. Hasilnya, perlindungan nasional terhadap perdagangan dan kepentingan industri semakin sulit dilakukan mengingat tingkat kompetisi dan komunikasi global, serta perdagangan bebas yang semakin membesar. Oleh karena itu, dilaksanakan beberapa restrukturisasi kebijakan ekonomi di tingkat domestik dan internasional untuk mengatasi goncangan ekonomi akibat perdagangan bebas.
Pengadaptasian lingkungan global oleh Jepang dalam kebijakan ekonomi domestik dan internasional telah berhasil dilakukan. Jepang dapat mengikuti ritme dan “menunggangi” liberalisasi ekonomi dunia, bahkan Jepang dapat menjadi salah satu negara yang memimpin perdagangan bebas tersebut. Akan tetapi, bagaimanapun pemerintah Jepang harus tetap cermat dan selektif dalam membuat kebijakan mengenai sektor mana saja yang dapat diliberalisasi serta mana yang harus diproteksi.
Dalam konteks penelitian ini, sektor yang paling dilindungi oleh Jepang adalah sektor agrikultur. Kebijakan ini menimbulkan banyak tentangan dari berbagai negara di dunia yang
2 gaiatsu) tersebut paling dirasakan saat Putaran Uruguay tahun 1993 yang mengagendakan
liberalisasi perdagangan produk pertanian dan perdagangan jasa.1 Dengan logika ini, Jepang
sebagai anggota WTO semestinya patuh kepada aturan-aturan WTO yang merujuk kepada sistem perdagangan internasional yang liberalis. Artinya, pola-pola kebijakan yang kontraproduktif –seperti penerapan kuota impor atau tarif yang begitu tinggi- atas semangat liberalisasi tidak dapat dilakukan oleh Jepang. Melihat masih adanya kebijakan proteksi yang diterapkan Jepang pada masa liberalisasi ekonomi ini, menunjukkan bahwa Jepang belum sepenuhnya menjadi negara liberalis dan masih menjadi negara merkantilis yang memperjuangkan dan melindungi kepentingan nasionalnya.
Sebagai ilustrasi dan studi kasus dalam penelitian ini, di tahun 2004 Jepang
mendapati gugatan Korea Selatan dalam panel World Trade Organization (WTO). Dalam
gugatan ini Korea Selatan berpandangan bahwa Jepang telah melakukan aksi pembatasan
kuota impor besar-besaran pada komoditas rumput laut merah (nori). Menurut Korea Selatan,
Jepang hanya memberikan kuota sebanyak 240 juta lembar per tahun, yang sedangkan potensi pasar nori Jepang ditaksir mencapai 10 miliar lembar per tahun. Dari angka diatas, terlihat bahwa Jepang begitu memproteksi pasar domestiknya dan hanya membuka sekitar
2,4% dari total pasar norinya kepada Korea Selatan. Dalam gugatannya, Korea Selatan
mengguggat Jepang dengan tiga dasar pelanggaran perdagangan, yaitu: pelanggaran atas
artikel X.3 dan XI dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) tahun 1994,
pelanggaran atas artikel 4.2 dari Agreement on Agriculture (AoA), dan pelanggaran artikel
1.2 dari Agreement on Import Licensing Procedures.2
Alih-alih Jepang mendapatkan sanksi WTO dengan harus membuka pasar norinya
dengan luas akibat pembatasan kuota impornya, dalam kasus ini Jepang justru terkesan dapat terbebas dari gugatan Korea Selatan. Dalam sengketa ini, sebagai penyelesaian, disepakati bahwa Jepang akan membuka pasarnya lebih lebar bagi Korea Selatan, dimana Jepang akan membuka kuota impornya sebesar 340 juta lembar per tahun atau 3,4% dari total potensi
1
P. Francks, J. Boestel, dan C. H. Kim, Agriculture and Economic Development in East Asia: From Growth to Protectionism in Japan, Korea and Taiwan, ESRC Pacific Asia Programme, Routledge: London and New York, 1999, p. 96-97.
2
World Trade Organization, “Japan – Import Quotas on Dried Laver and Seasoned Laver”, Dispute Settlement: Dispute DS323 (daring), February 2010, <http://www.wto.org/english/tratop_e /dispu_e/ cases_e/ds323_e.htm>, diakses pada 23 September 2014.
3
pasar Jepang. Namun, dari kesepakatan ini, Korea Selatan nampak tetap tidak puas, karena
bagaimanapun pasar yang dibuka oleh Jepang untuk Korea Selatan masih tidak sebanding
dengan potensi pasar nori yang dimiliki Jepang secara domestik. Walaupun menemui ketidak
puasan, Jepang akhirnya dapat tetap bertahan dengan memberlakukan kuota impor kepada Korea Selatan dengan pengawasan dari WTO. Sehingga dalam hal ini terlihat bagaimana Jepang dapat tetap menggunakan kebijakan yang sesungguhnya melanggar aturan WTO dalam relasi perdagangan internasionalnya dengan Korea Selatan.
Dalam kasus tersebut nampaknya Jepang telah cukup sukses melaksanakan dua kepentingannya, yaitu memanfaatkan sistem perdagangan internasional untuk keuntungan yang sebesarnya (liberalis), dan di sisi lain melindungi sektor pertaniannya dari serbuan produk asing serta mengintervensi ekonomi dalam tataran kebijakan (merkantilis). Fenomena tersebut terlihat menarik mengingat Jepang nampak “cerdik” dalam mengatur strategi ekonomi politik internasionalnya sehingga Jepang dapat meraih dua kepentingannya, internasional dan domestik. Berawal dari kasus inilah, bagaimana Jepang dapat tetap memberlakukan kuota impor yang terbatas kepada Korea Selatan walaupun telah melewati panel DSM WTO, penelitian ini menarik untuk dibahas. Diharapkan apabila judul ini diteliti lebih lanjut dengan belajar dari bentuk kebijakan dan strategi yang digunakan oleh pemerintah Jepang yang telah berhasil memenangkan kepentingan nasional dan melangkahi norma internasional di saat yang bersamaan, kemudian penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi kebijakan bagi Indonesia.
II. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang sedemikian rupa, maka dapat ditarik rumusan masalah, yaitu :
Bagaimana strategi pemerintah Jepang dalam mempertemukan tuntutan domestik dan
tuntutan internasional dalam gugatan sengketa dagang nori Korea Selatan?
III. Landasan Konseptual a. Two-level Games
Seringkali teori ini dipakai untuk menjelaskan bagaimana suatu negosiasi traktat atau perjanjian internasional dapat berhasil dilakukan dengan melihat interaksi domestik dan
4
bahwa dalam pembuatan kebijakan decision-maker bermain dalam dua level: domestik dan
internasional. Dalam konteks ini, keduanya tidak bisa dipisahkan, keduanya memiliki potensi untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Sebagai ilustrasi, bahwa pola atau kepentingan domestik seringkali dapat menentukan keberhasilan sebuah negosiasi, dan mungkin juga, di sisi yang lain, disetujuinya sebuah perjanjian internasional akan memberikan reaksi yang
dapat mendorong atau menghambat terlaksananya perjanjian tersebut. Artinya,
decision-maker diharuskan untuk berdiri dalam posisi yang memenangkan keduanya, atau dikenal
sebagai “win-set”.
Namun di sisi lain, teori ini tak hanya dapat menjelaskan tentang keberhasilan atau kegagalan sebuah negosiasi perjanjian atau traktat internasional, teori ini juga dapat dikembangkan pada hubungan luar negeri suatu negara yang memang memiliki basis kepentingan domestik yang cukup kuat. Putnam menjelaskan bahwa dalam level nasional, kelompok-kelompok domestik berusaha mengejar kepentingannya dengan menekan pemerintah agar mengadopsi kebijakan yang diharapkan, di saat yang sama politisi mencari kekuasaan dengan membentuk koalisi dengan kelompok tersebut. Dalam level internasional, pemerintah nasional berusaha memaksimalisasi kemampuan nasionalnya untuk memuaskan tekanan domestik, sembari meminimalisasi konsekuensi merugikan dari praktik
pembangunan luar negeri.3
Dari kacamata ini, kita dapat melihat usaha proteksionisme Jepang dilakukan dengan
asas two-level game. Dalam hal ini pemerintah Jepang memiliki kepentingan untuk
memproteksi produk agrikultur domestiknya. Dapat pula dilihat dalam tataran domestik, terdapat tekanan dari kalangan petani ataupun masyarakat secara luas untuk melakukan
perlindungan terhadap produk nasional Jepang.4 Segala hal yang terjadi dalam tataran
domestik yang berbentuk sebagai tuntutan disebut sebagai “domestic preferential”, dimana
preferensi tersebut nantinya akan dijabarkan dengan tuntutan petani, tuntutan kelompok-kelompok penekan, serta posisi pemerintah Jepang dalam kasus sengketa diatas. Dalam hal ini, pemerintah Jepang memandang perlindungan terhadap produksinya sebagai sebuah kepentingan politik dan ekonomi bagi Jepang. Namun di saat yang sama, dalam level
3
R. D. Putnam, „Diplomacy and Domestic Politics: the Logic of Two-level Games,‟ International
Organization, vol. 42. No. 3, 1988, p. 434.
4
J. Soble, “Japan‟s Farmers Dig in Against Trade Deal”, Financial Times (daring), 18 Maret 2013, <http://www.ft.com/cms/s/0/b44ae458-8fa0-11e2-9239-00144feabdc0.html#axzz3EngehpUD>, diakses pada 23 September 2014.
5 internasional, Jepang tidak bisa dengan seenaknya memberlakukan aksi proteksi dengan menggunakan praktik impor kuota atau pembatasan tarif karena melanggar peraturan
perdagangan bebas. Oleh karena itu, dalam konteks penelitian ini, Jepang memperoleh “
win-set” dengan melakukan strategi-strategi khusus yang dilakukan dalam proses negosiasi
secara multilateral hingga kemudian berubah menjadi negosiasi bilateral. Dalam penelitian ini, penulis melihat adanya aksi strategis dari pemerintah Jepang yang dapat mengamankan kepentingan domestiknya untuk melindungi petani dan kepentingan internasionalnya untuk memberlakukan proteksi secara legal.
b. Disguised Protectionism
Konsep “disguised protectionism” atau “proteksionisme terselubung” dalam
penelitian ini berguna sebagai perspektif dalam melihat aksi strategis Jepang dalam usaha perlindungannya terhadap produk agrikultur domestiknya. Secara mendasar, aksi “proteksionisme” merupakan bentuk aksi kebijakan perdagangan yang berttujuan untuk lebih
memberikan akses competitive advantage kepada pasar domestik dibandingkan dengan pasar
asing. Regulasi proteksionisme didefinisikan sebagai penggunaan regulasi kebijakan yang bertujuan untuk mendiskriminasi produk ataupun firma asing sehingga tidak diperbolehkan
masuk secara sah dengan peraturan yang ada.5 Dalam prakteknya, proteksionisme dapat
dilihat sebagai aksi yang membatasi perdagangan antarnegara melalui cara tata niaga,
pemberlakuan tariff bea masuk impor (tariff protection), jalan pembatasan kuota (non-tariff
protection), sistem kenaikan tariff dan aturan berbagai upaya menekan impor bahkan larangan impor.
Namun, dalam konteks penelitian ini, konsep proteksionisme yang dirujuk bukanlah sekedar konsep proteksionisme tradisional seperti contoh diatas, namun dalam penelitian ini
konsep “proteksionisme” difokuskan pada aksi “disguised protectionism”. Konsep
“disguised protectionism” digunakan sebagai alat bantu untuk melihat proses bargaining Jepang dalam level internasional yang terlihat dalam kebijakan domestik dan negosiasi
sidang panel sengketa dagang komoditas nori ini. Berdasarkan GATT/WTO aksi-aksi
proteksionisme tradisional seperti diatas merupakan bentuk pelanggaran yang jelas dalam
norma perdagangan internasional. Dalam konteks ini, konsep “disguised protectionism”
5
K. Watson dan S. James, „Regulatory Protectionism: A Hidden Threat to Free Trade,‟ Policy Analysis, no. 723, April 2013, p. 2.
6 didefinisikan sebagai sebuah aksi proteksi terselubung oleh negara yang berpedoman pada aturan-aturan perdagangan internasional, dimana dalam usaha untuk memproteksi pasarnya,
negara berlindung atas alasan kesehatan, lingkungan, dan perlindungan pasar domestik.6 Aksi
proteksi ini seringkali didasarkan oleh beberapa aturan didalam GATT/WTO, seperti: Artikel
XX GATT/WTO, Technical Barriers to Trade Agreement (TBT), dan Sanitary and
Phytosanitary Measures Agreement (SPS) yang menjelaskan secara implisit bahwa negara-negara anggota WTO diperbolehkan untuk melakukan proteksi apabila ditujukan untuk
melindungi kehidupan manusia (masyarakat), hewan, dan tumbuhan7
Dalam prakteknya pada kasus diatas, Jepang dapat terlihat menggunakan aksi “disguised protectionism” dalam usaha proteksinya pada produk nori kepada Korea Selatan. Jepang menggunakan alasan perlindungan kepada produsen lokal yang tertuang pada Artikel XX GATT 1994. Berangkat dari alasan itulah, kemudian Jepang dapat terkesan “lepas” dari sanksi-sanksi yang memberatkan dari WTO, dan hanya merekomendasikan Jepang untuk sedikit leluasa membuka pasar norinya. Berangkat dari pandangan tersebut, sebuah aksi proteksi yang berkedok legitimasi legal yang termaktub dalam perjanjian perdagangan internasional merupakan cara pandang atas bagaimana melihat strategi dari aksi
proteksionisme agrikultur Jepang, terutama komoditas nori yang disengketakan.
IV. Argumen Utama
Pertama, secara domestik pemerintah Jepang memiliki policy discretion yang begitu
sempit untuk membuka liberalisasi pasar nori domestik. Hal ini didasarkan oleh banyaknya
kebijakan pemerintah yang mendukung konsumsi nori domestik, tekanan produsen nori lokal
yang meminta untuk diproteksi dari persaingan asing, dan adanya tekanan dari konsumen
untuk tetap mengonsumsi nori lokal Jepang karena higienitas dan kualitasnya. Keleluasaan
yang begitu sempit ini yang kemudian membuat domestic preferential Jepang berposisi untuk
tetap memproteksi pasar nori yang ada. Berangkat dari hal inilah, dalam spektrum
international bargaining Jepang harus dapat tetap memproteksi produk lokalnya. Dalam persidangan panel, pemerintah Jepang menggunakan Artikel XI:2(c)(i) untuk memandulkan
6
R. K. Gupta, “Non-Tariffs Barriers or Disguised Protectionism”, CUTS International Briefing Paper No.2/1997, <http://www.cuts-international.org/1997-2.htm#MEANING OF NON-TARIFF>, diakses pada 23 September 2014.
7
World Trade Organization, “Understanding the WTO: The Agreement”. Standards and Safety. (daring)
7 tuduhan-tuduhan Korea Selatan. Di saat yang bersamaan, pada spektrum domestik Jepang
secara khusus menggunakan strategi „disguised protectionism‟ dengan alasan kemanusiaan
atas kehidupan para petani. Strategi ini menekankan pada penggunaan beberapa regulasi
seperti Basic Law Agrikultur, Basic Plan Agrikultur, Measures for Stabble Supply of
Fishery Products, dan Food Sanitation Law yang berkesuaian dengan SPS Agreement WTO sebagai legitimasi dalam upaya proteksionisme yang melanggar aturan atau norma dagang dalam sistem ekonomi internasional. Dengan menggunakan strategi dengan regulasi ini, Jepang dapat dengan leluasa memproteksi pasar domestiknya tanpa harus melanggar atau dapat dikenai sanksi oleh negara-negara lain.
V. Jangkauan Penelitian
Tinjauan penelitian ini dibatasi dari tahun 2004 hingga tahun 2006. Tahun 2004 adalah tahun ketika awal mula sengketa terpicu, tahun 2005 merupakan tahun dimana Korea Selatan mengajukan gugatan kepada Jepang dalam panel WTO, sedangkan tahun 2006 merupakan tahun dimana terdapat kesepakatan penyelesaian gugatan produk rumput laut merah diatas. Penekanan penulis membatasi pembahasan dalam salah satu kasus gugatan perdagangan komoditas domestik dikarenakan melalui kasus tersebut ilustrasi strategi proteksionisme Jepang dapat terlihat dengan jelas.
VI. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan dukungan data kualitatif dan kuantitatif. Dalam proses pengumpulan data, penulis akan menggunakan studi literatur/kajian pustaka. Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari beberapa situs resmi yang berkaitan dengan peraturan pemerintah Jepang dan data perdagangan agrikultur Jepang seperti situs pemerintah pemerintah Jepang,
seperti Ministry of Agriculture, Forestry, and Fisheries (MAFF), Ministry of Finance (MoF),
dan Ministry of Economic, Trade and Industries (METI), situs resmi WTO, dan situs lain yang relevan dengan penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari buku atau jurnal ilmiah baik
berupa media cetak maupun digital.
Untuk menganalisis data yang telah diperoleh, penulis akan menggunakan teknik
analisis data kualitatif. Teknik ini terdiri dari tiga bagian yang berkesinambungan, yaitu reduksi data, organisasi data, dan interpretasi. Reduksi data meliputi manipulasi, integrasi,
8
transformasi, dan mengambil benang merah dari data serta meringkas, coding, dan
kategorisasi. Organisasi data ialah mengumpulkan informasi yang terkait dengan tema, mengategorisasi informasi dalam kelompok yang lebih spesifik, dan menyampaikan hasilnya dalam berbagai bentuk. Sedangkan interpretasi ialah pengambilan keputusan dan mengidentifikasi pola, perkembangan, dan penjelasan.
VII. Sistematika Penulisan
BAB I berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, landasan konseptual, argumen utama, jangkauan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan dari penelitian ini.
BAB II secara umum akan menjelaskan tentang bagaimana persengketaan ini
berawal, berlangsung, dan bagaimana komoditas nori menjadi penting untuk diproteksi bagi
pemerintah Jepang.
BAB III secara umum akan menjelaskan tentang bagaimana strategi negosiasi Jepang dalam level internasional dengan menggunakan Artikel XI:2(c)(i) GATT 1994 dan
kebijakan-kebijakan domestik dengan menggunakan Basic Law Agrikultur, Basic Plan
Agrikultur, Measures for Stabble Supply of Fishery Products, dan Food Sanitation Law yang
berkesuaian dengan SPS Agreement WTO sehingga Jepang dapat melunakkan tuntutan
internasional dan tetap dapat melakukan aksi proteksionisme komoditas nori domestik.
BAB IV berisi tentang kesimpulan penelitian yang menjawab rumusan masalah dari penelitian ini