• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, tidak dapat terlepas dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Pembangunan dan pertambahan penduduk yang sangat cepat menyebabkan meningkatnya segala kebutuhan baik perorangan maupun kebutuhan sosial. Hal tersebut secara tidak langsung telah menimbulkan berbagai dampak, terutama dampak negatif pada lingkungan, diantaranya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan penurunan kualitas atau degradasi lingkungan (Daryanto, 2013: 4). Kerusakan lingkungan pada dasarnya disebabkan oleh aktivitas manusia. Adanya kesalahan cara pandang manusia turut melahirkan pola perilaku yang salah atau keliru terhadap alam dan lingkungan hidup. Keraf (2010: 80) mengatakan bahwa cara pandang ini kemudian melahirkan sikap dan perilaku yang eksploitatif dan tidak peduli kepada alam. Menurut Hamzah (2012: 14) pengelolaan lingkungan yang dilakukan dapat dikatakan efektif tergantung dari bagaimana upaya mengadopsi etika yang baik dalam berperilaku. Perilaku yang dimaksud adalah perilaku yang ramah dan peduli dengan keadaan lingkungan.

(2)

2

Melihat dari sikap dan aktivitas yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan maka Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) perlu diberikan kepada masyarakat terutama kepada anak agar terbentuk kesadaran dan sikap peduli lingkungan sejak dini. PLH menurut Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) (Karim, 2012: 12) dibangun dengan tujuan untuk mendorong dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang pada akhirnya dapat menumbuhkan kepedulian, komitmen untuk melindungi, memperbaiki serta memanfaatkan lingkungan hidup secara bijaksana, turut menciptakan pola perilaku baru yang bersahabat dengan lingkungan hidup, mengembangkan etika lingkungan hidup, dan memperbaiki kualitas hidup. PLH merupakan salah satu faktor penting keberhasilan dalam pengelolaan lingkungan hidup dan merupakan aspek sentral dari proses menuju pembangunan berkelanjutan (BPLH, 2016: 1).

Widaningsih (2008: 8) mengatakan bahwa PLH dalam lingkup sekolah merupakan pendidikan yang membelajarkan siswa didik pada kearifan alam dan lingkungan, kreativitas, strategi dan metode pembelajarannya harus senantiasa dikembangkan berdasarkan kebutuhan perkembangan siswa didik serta kondisi alam dan lingkungan dimana siswa berada.

(3)

3

Menurut Nurjhani dan Widodo (Landriany, 2014: 82) pendidikan lingkungan dibutuhkan dan harus diberikan kepada anak sejak dini agar mereka mengerti dan tidak merusak lingkungan. Dalam hal ini PLH mempengaruhi beberapa aspek antara lain: (1) aspek kognitif, pendidikan lingkungan hidup mempunyai fungsi untuk meningkatkan pemahaman terhadap permasalahan lingkungan, juga mampu meningkatkan daya ingat, penerapan, analisis, dan evaluasi; (2) aspek afektif, pendidikan lingkungan hidup berfungsi meningkatkan penerimaan, penilaian, pengorganisasian dan karakteristik kepribadian dalam menata kehidupan dalam keselarasan dengan alam; (3) aspek psikomotorik, pendidikan lingkungan hidup berperan dalam meniru, memanipulasi dalam berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya dalam upaya meningkatkan budaya mencintai lingkungan; dan (4) aspek minat, pendidikan lingkungan hidup berfungsi meningkatkan minat dalam diri anak. Dari beberapa pendapat diatas dapat diketahui bahwa PLH merupakan langkah yang sangat efektif untuk terus menggerakkan kesadaran manusia akan kepedulian terhadap lingkungan.

PLH dapat diselenggarakan melalui pendidikan formal, misalnya melalui sekolah; informal, misalnya dalam lingkungan keluarga; non formal, misalnya dalam kelompok-kelompok belajar (Maryani, 2014: 172). Dalam

(4)

4

lingkup pendidikan formal sendiri, PLH didukung dengan adanya kebebasan yang dimiliki sekolah dimana manajemen dan pengelolaannya sepenuhnya diserahkan kepada pihak sekolah yang disebut Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sehingga selain menghasilkan generasi-generasi yang melek lingkungan juga akan mendukung dalam ketercapaian penyelenggaraan pendidikan di sekolah, sesuai dengan aturan perundang-undangan pendidikan yang berlaku (Barlian, 2013: 2). Melalui MBS, sekolah memiliki otonomi dalam hal: (1) pengetahuan (knowledge), dimana sekolah memiliki kewenangan berkaitan dengan kurikulum, termasuk membuat keputusan mengenai tujuan dan sasaran pendidikan atau pembelajaran yang akan dicapai, (2) teknologi (technology), dimana sekolah memiliki kewenangan memutuskan sarana teknologi belajar mengajar apa saja yang digunakan untuk mencapai kualitas, (3) kekuasaan (power), dimana sekolah memiiki otonomi dalam membuat keputusan terbaik yang mendorong kualitas di sekolah, (4) material (material), dimana sekolah memiliki otonomi dalam hal pengadaan dan penggunaan berbagai fasilitas peralatan sekolah secara optimal, (5) manusia (people), dimana sekolah memiliki otonomi keputusan mengenai pengembangan sumber daya manusia di sekolah, termasuk pengembangan profesionalisme yang berkaitan dengan

(5)

5

proses belajar mengajar yang mendukung terjadinya proses belajar mengajar secara efektif, (6) waktu (time), dimana sekolah memiliki otonomi keputusan mengenai pemanfaatan alokasi waktu, dan (7) keuangan (finance), dimana sekolah memiliki otonomi keputusan mengenai alokasi keuangan (Barlian, 2013: 6-7). Dengan demikian, setiap sekolah dapat menerapkan kurikulum dengan fokus penekanan kemampuan yang berbeda-beda, sesuai dengan apa yang akan dicapai oleh peserta didik. Penekanan kemampuan yang berbeda-beda ini bergantung pada sumber daya tenaga pendidik yang ada di sekolah dimana yang menjadi fokusnya adalah pengembangan kompetensi peserta didik. Oleh karena itu, pendidikan lingkungan hidup yang diintegrasikan secara formal ke dalam kurikulum sekolah merupakan salah satu alternatif yang rasional (Landriany, 2014: 82), dimana sekolah merupakan komunitas masyarakat yang di dalamnya terdiri dari siswa, guru, kepala sekolah, dan tata usaha serta karyawan merupakan salah satu medium efektif bagi pembelajaran dan penyadaran terutama warga sekolah agar individu-individu, mulai dari guru, murid, dan pekerja terlibat dalam upaya menghentikan laju kerusakan lingkungan yang disebabkan tangan manusia.

Pada tahun 2004, Kebijakan Pendidikan Lingkungan Hidup kemudian disusun oleh Kementerian

(6)

6

Negara Lingkungan Hidup yang didukung oleh Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama. Selanjutnya, pada tahun 2006 disepakati pembinaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup yang lebih intensif oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pendidikan Nasional melalui program Adiwiyata (Program Sekolah Peduli dan Berbudaya Lingkungan). Program Adiwiyata merupakan program dalam rangka mendorong terciptanya pengetahuan dan kesadaran warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup melalui prinsip edukatif, partisipatif dan berkelanjutan. Program adiwiyata ini diikuti oleh tingkat sekolah dasar, tingkat SMP dan tingkat SMA atau level pendidikan yang sama (BPLH, 2016: 2).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan dibeberapa negara mengenai program yang serupa dengan program adiwiyata, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Steven A. Marable pada tahun 2015 di

Public Schools in Virginia, Virginia Beach City Public

Schools, Virginia dengan judul “Green schools-the

Implementation and Practices of Environmental Education

in LEED and USED Green Ribbon” menemukan bahwa

dengan mengimplementasikan program LEED dan USED serta dengan adanya penghargaan yang diberikan berdampak kepada lingkungan, terutama di sekolah.

(7)

7

Sekolah memiliki lingkungan yang sehat dan kesadaran yang kuat akan pentingnya menjaga lingkungan.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Brit Shay-Margalit and Ofir D. Rubin dari Department of Public Policy & Administration, Ben-Gurion University of the

Negev, Beer-Sheva, Israel pada 9 Mei 2016 yang lalu yang

meneliti tentang Effect of the Israeli “Green Schools” Reform on Pupils’ Environmental Attitudes and Behavior”

menemukan bahwa pendidikan lingkungan memberikan efek positif pada lingkungan. Dampak sekolah hijau menunjukkan efek langsung pada perubahan tingkah laku terhadap lingkungan. Dia juga menemukan bahwa terdapat perbedaan antar siswa, dimana siswa yang lebih banyak menghabiskan waktu luang mereka dengan menonton TV atau berhubungan dengan media elektronik lainnya cenderung memiliki sikap peduli lingkungan yang kurang.

Dari beberapa penelitian diatas kita menemukan bahwa penerapan program Adiwiyata di sekolah memang memberikan dampak positif terhadap sikap kepada lingkungan. Gordon mengatakan (2010: 1) sekolah hijau atau sekolah yang menerapkan program Adiwiyata akan berusaha untuk menciptakan lingkungan yang optimal dengan menyediakan udara yang segar, rentang suhu yang nyaman, dengan banyak pencahayaan alami, dan meminimalkan gangguan suara di sekitar sekolah.

(8)

8

Selain itu pula memaksimalkan efisiensi sumber daya, meminimalkan polusi, dan mengajarkan kepada siswa pentingnya inovasi di lingkungan. Sehingga, terintegrasinya pendidikan lingkungan hidup ke dalam program sekolah diharapkan dapat menjadi proses pembiasaan sehingga diharapkan adanya pengembangan perilaku, sikap dari siswa untuk menghargai, mencintai dan memelihara lingkungan hidup yang dapat menjadi kebiasaan sehari-hari (Aini, 2014: 279).

Di kota Salatiga terdapat beberapa sekolah yang memang sudah menjalankan program Adiwiyata dan sudah mendapatkan penghargaan baik di tingkat kota, provinsi, nasional maupun Adiwiyata Mandiri, salah satunya SMP Negeri 6 Salatiga. SMP Negeri 6 Salatiga merupakan salah satu sekolah yang fokus untuk mengembangkan diri menjadi sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan atau yang disebut dengan sekolah Adiwiyata. Hal ini terlihat dari visinya yaitu unggul dalam mutu, berpijak pada iman dan taqwa yang berwawasan lingkungan. Untuk mewujudkannya sekolah memiliki satu misi yang berkaitan dengan lingkungan yaitu mewujudkan lingkungan pembelajaran yang kondusif dan mewujudkan sekolah Adiwiyata. Dalam rangka mewujudkan visi dan misi sekolah, yaitu mewujudkan sekolah Adiwiyata, sekolah telah

(9)

9

melakukan persiapan sejak tahun 2010 sehingga pada tahun 2011 sekolah tersebut mendapatkan penghargaan sebagai calon sekolah Adiwiyata tingkat kota Salatiga, kemudian pada tahun 2012 sekolah mendapatkan penghargaan sebagai sekolah Adiwiyata tingkat kota, dan pada tahun 2013 sekolah mendapatkan penghargaan sebagai sekolah Adiwiyata tingkat nasional. Pencapaian yang diraih sekolah tidak bisa lepas dari adanya kerjasama seluruh warga sekolah, termasuk di dalamnya kepala sekolah sebagai manajer sekolah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sugiyantono pada tahun 2015, secara institusional SMP Negeri 6 Salatiga telah berhasil mengembangkan sekolah Adiwiyata dimana di dalamnya terdapat kegiatan-kegiatan yang dibuat berorientasi lingkungan yang baik dan mampu menanamkan nilai-nilai cinta lingkungan kepada seluruh warga sekolah.

Untuk terus mengembangkan sekolah Adiwiyata, sekolah mengajukan diri sebagai calon sekolah Adiwiyata Mandiri pada tahun 2015 sebagai usulan dari pemerintah provinsi. Dalam rangka mempersiapkan diri menjadi sekolah Adiwiyata Mandiri, SMP Negeri 6 Salatiga melakukan pembinaan kepada sekolah-sekolah di Salatiga sebagai salah satu prasyarat bahwa sebagai calon sekolah Adiwiyata Mandiri sekolah harus memiliki

(10)

10

minimal 10 (sepuluh) sekolah imbas yang memenuhi kriteria Adiwiyata minimal kabupaten/kota. Hasil wawancara awal dengan salah satu pengurus Adiwiyata SMP Negeri 6 Salatiga didapat bahwa bahwa dalam menjalankan pembinaan, pada awalnya sekolah mengadakan pertemuan dengan mengundang setiap perwakilan dari sekolah-sekolah yang bisa dijadikan sebagai calon sekolah Adiwiyata yang dalam hal ini disebut sekolah imbas, kemudian melakukan sosialisasi mengenai sekolah Adiwiyata dengan harapan nantinya calon sekolah imbas mau dibina untuk menjadi calon sekolah Adiwiyata. Setelah itu sekolah dibina, diawasi, dan dievaluasi. Dalam pelaksanaannya, pembinaan yang dilakukan kepada sekolah imbas dilakukan oleh kepala sekolah saja dan bersifat monitoring untuk melihat bagaimana capaian yang telah dilakukan oleh sekolah dalam rangka mengikuti program Adiwiyata. Berdasarkan hasil observasi peneliti lebih lanjut, SMP Negeri 6 mengalami pergantian kepala sekolah, sehingga peneliti kesulitan untuk mencari informasi lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan di sekolah tersebut karena pengurus Adiwiyata lainnya di sekolah tersebut kurang memahami proses pembinaan itu sendiri. Oleh karena itu, peneliti kemudian mencoba mencari sekolah lain yang juga memiliki kriteria seperti SMP Negeri 6 Salatiga, yaitu sekolah yang sedang mengikuti program

(11)

11

Adiwiyata Mandiri ataupun sekolah yang sudah pernah berhasil menjadi sekolah Adiwiyata Mandiri, yaitu SD Marsudirini 77 Salatiga dimana sekolah tersebut juga merupakan sekolah yang berfokus untuk mengembangkan diri dengan mengikuti program Adiwiyata Mandiri.

Berdasarkan hasil wawancara awal yang dilakukan kepada ketua Adiwiyata di SD Marsudirini 77 Salatiga, Bapak Fx. Ernastyono, S.Pd didapatkan bahwa pembinaan Adiwiyata dilakukan oleh ketua Adiwiyata sekolah dan bersifat monitoring. Tinjauan atau kunjungan ke sekolah-sekolah imbas jarang dilakukan, dan apabila dilakukan hanya jika ada sekolah imbas yang meminta agar pembina datang untuk melihat capaian sekolah imbas itu sendiri. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena adanya kesulitan pembina dalam membagi waktu untuk membina sekolah imbas dan beban mengajar yang harus dijalankan serta tugas administrasi lainnya. Sejalan dalam proses pembinaan, pembina merasa kesulitan karena ada beberapa sekolah imbas kurang memiliki motivasi dan antusias, serta komitmen dalam mengikuti program Adiwiyata, sehingga hal inipun menjadi tantangan bagi pembina untuk bagaimana memberikan motivasi kepada sekolah imbas dalam pembinaan.

(12)

12

Studi pendahuluan lebih lanjut mendapatkan bahwa keefektifan pembinaan Adiwiyata yang dilakukan oleh sekolah masih rendah, hal ini sesuai dengan hasil wawancara lebih lanjut dengan ketua Adiwiyata di SD Marsudirini 77 yang sekaligus sebagai pembina mengatakan bahwa belum ada perencanaan khusus untuk pembinaan itu sendiri karena mengingat adanya beberapa pertimbangan terutama waktu, sehingga pembinaan bisa dilakukan ketika ada waktu kosong atau tidak sedang mengajar dan juga harus menyesuaikan dengan waktu yang dimiliki oleh sekolah imbas itu sendiri, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pembinaannya masih bersifat isidental. Selain itu pula adanya perubahan rencana karena antara pihak sekolah imbas dan sekolah induk sering berbenturan jadwalnya dengan kegiatan dinas lainnya.

Dalam pengorganisasiannya sendiri belum ada pembentukan tim khusus pembinaan, sehingga selama ini yang melakukan pembinaan hanya ketua Adiwiyata terkadang juga bersama Suster Kepala. Hal ini juga menjadi kendala karena dengan begitu seluruh tugas dan peran yang seharusnya tidak dikerjakan oleh pembina, maka kemudian dikerjakan oleh pembina. Untuk pelaksanaan pembinaan belum berjalan dengan efektif dan maksimal dikarenakan sekolah imbas belum

(13)

13

banyak berpartisipasi secara utuh karena kurang termotivasi dan juga masih memiliki komitmen yang rendah dalam melaksanakan program Adiwiyata ini, padahal keberhasilan untuk mewujudkan harapan seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, sesungguhnya membutuhkan partisipasi masyarakat melalui berbagai aktivitas yang dapat dihubungkan dengan pembinaan untuk kepentingan pelestarian lingkungan hidup, sehingga evaluasi yang dilakukan oleh pembina belum dapat mempengaruhi sekolah imbas secara optimal.

Dari paparan tersebut terlihat bahwa model pembinaan Adiwiyata yang ada belum dapat menjawab permasalahan di dalam melaksanakan pembinaan, dimana pembinaan belum terkonsep dengan baik serta kurangnya partisipasi secara tidak langsung pula memberi dampak negatif baik kepada sekolah induk maupun sekolah imbas dimana program Adiwiyata sulit atau tidak berjalan sebagaimana mestinya dan pada akhirnya tujuan program Adiwiyata sulit untuk tercapai. Jika merujuk kepada teori mengenai pembinaan sebuah organisasi yang dikemukakan oleh Ivancevich (2009: 46) pembinaan adalah sebuah proses sistematis untuk mengubah perilaku kerja seorang/sekelompok pegawai dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi.

(14)

14

Untuk menghasilkan kinerja pada tingkat yang tinggi, maka seorang manajer atau pemimpin berjuang untuk memotivasi orang-orang di dalamnya dengan melibatkan mereka untuk turut ambil bagian dalam setiap prosesnya, sehingga muncul pertanggungjawaban dalam diri mereka untuk melaksanakan setiap tugas dan tanggungjawab yang diberikan. Terkait dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Abdul Karim pada tahun 2012 mengenai “Manajemen Pendidikan Lingkungan Hidup Berbasis Partisipasi” juga menyatakan bahwa partisipasi dapat memberikan kontribusi untuk mengisi dan mengatasi berbagai permasalahan lingkungan. Bentuk-bentuk partisipasi bisa mulai dari spektrum yang paling ekstrim sampai pada bentuk kemitraan. Melalui partisipasi yang aktif, mereka dapat mengeksplorasikan kepeduliaannya maupun melakukan kontrol.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ratna Dwi Utami Juliari dan rekan-rekannya pada tahun 2015 mengenai “Strategi Pembinaan Sekolah Adiwiyata di Kota Batu” menemukan hasil bahwa status pengelolaan sekolah adiwiyata nasional sangat baik pada aspek kebijakan dan aspek sarana dan prasarana, tetapi pada aspek kurikulum dan aspek partisipatif memiliki status baik. Hal ini sesuai dengan hasil penilaian tim adiwiyata, dimana pada kedua aspek ini merupakan aspek yang

(15)

15

sedang diupayakan untuk ditingkatkan melalui upaya menjalin kemitraan dengan pihak luar, aktif menjadi narasumber dan meningkatkan kompetensi guru dalam mengembangkan isu lokal dan global serta mengembangkan indikator pembelajaran dan pada sekolah adiwiyata provinsi serta sekolah adiwiyata kota, status pengelolaan yang paling lemah justru pada aspek partisipatif, hal ini dikarenakan sekolah adiwiyata provinsi dan sekolah adiwiyata kota belum memiliki keberanian untuk menjalin kemitraan dengan pihak luar terutama sebagai narasumber pada instansi/sekolah lain.

Dari paparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk melakukan pembinaan harus jelas prosesnya dan harus sistematis, tahapan-tahapannya harus jelas mulai dari perencanaan hingga evaluasinya sehingga pembinaan dapat berjalan dengan efektif. Selain itu pula, motivasi di dalam diri seseorang atau dalam organisasi diperlukan dalam membantu ketercapaian strategi yang telah direncanakan. Motivasi dapat dimunculkan melalui pelibatan secara langsung ke dalam setiap tahapan pembinaan. Dalam hal ini berarti diperlukan sebuah model pembinaan Adiwiyata yang terkonsep mulai dari tahap perencanaan hingga tahap evaluasinya secara kongkret. Selain itu memasukkan basis partisipasi dalam model sangat

(16)

16

diperlukan sehingga dapat memotivasi sekolah-sekolah imbas dan dapat memunculkan keberanian dalam diri sekolah imbas untuk menjalin kerja sama dengan pihak atau instansi lainnya. Dengan adanya model pembinaan berbasis partisipasi pula akan diketahui seberapa jauh keefektifan dan keberhasilan pembinaan tersebut dilakukan. Selain itu bila dilihat dari segi waktu akan menjadi lebih efisien serta apabila sewaktu-waktu sekolah imbas dilepas atau dihentikan pembinaannya, mereka dapat berdiri sendiri karena sudah memiliki patokan yang jelas dalam melaksanakan program Adiwiyata.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang, dilihat dari model pembinaan yang selama ini dilaksanakan, didapat bahwa: (1) dari segi perencanaan pembinaan belum ada perencanaan khusus yang dibuat untuk pembinaan karena mengingat adanya beberapa pertimbangan terutama waktu, sehingga pembinaan masih bersifat isidental. Selain itu pula ada perubahan rencana pembinaan karena antara pihak sekolah imbas dan sekolah induk sering berbenturan jadwalnya dengan kegiatan dinas lainnya; (2) dalam pengorganisasiannya sendiri belum ada pembentukan tim khusus pembinaan, sehingga selama ini yang melakukan perencanaan dan

(17)

17

pembinaan hanya ketua Adiwiyata; (3) dalam pelaksanaan pembinaan belum berjalan dengan efektif dikarenakan sekolah imbas belum banyak berpartisipasi secara utuh, kurang termotivasi dan juga masih memiliki komitmen yang rendah dalam melaksanakan program Adiwiyata, sehingga evaluasi yang dilakukan oleh pembina belum dapat mempengaruhi sekolah imbas secara optimal.

Paparan diatas menunjukkan bahwa pembinaan yang dijalankan di sekolah belum terkonsep dengan baik dari segi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi sehingga berdampak kepada pelaksanaan pembinaan Adiwiyata yang tidak efektif. Jika merujuk kepada tujuan dari sebuah pembinaan, apabila masalah-masalah tersebut tidak segera diatasi maka akan berdampak kepada kegagalan sekolah untuk menjadi sekolah Adiwiyata Mandiri. Selain itu pula bagi sekolah imbas ketika menghadapi permasalahan menyangkut program Adiwiyata tidak segera mendapat solusi sehingga program Adiwiyata tidak berjalan sebagaimana mestinya dan pada akhirnya tujuan program Adiwiyata sulit untuk tercapai. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan model pembinaan yang terkonsep berbasis partisipasi sehingga dapat memberikan motivasi agar pembinaan terhadap

(18)

18

sekolah imbas dapat berjalan dan tujuan utama dari pembinaan dapat tercapai.

1.3 Pembatasan Masalah

Melihat luasnya cakupan mengenai konsep dan pelaksanaan Adiwiyata, maka dalam penelitian ini dibatasi khusus untuk menyelesaikan masalah dalam pembinaan Adiwiyata, dimana dikhususkan untuk merancang sebuah model pembinaan yang bisa memotivasi sekolah imbas sebagai langkah untuk menuju sekolah Adiwiyata yang dalam hal ini adalah model pembinaan berbasis partisipasi.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah untuk penelitian ini adalah

1. Bagaimana model manajemen pembinaan sekolah imbas Adiwiyata yang digunakan selama ini?

2. Bagaimana pengembangan model pembinaan sekolah imbas Adiwiyata berbasis partisipasi?

1.5 Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah penelitian, maka tujuan dari pengembangan ini adalah:

1. Mengetahui model manajemen pembinaan sekolah imbas Adiwiyata yang digunakan selama ini.

(19)

19

2. Mengembangkan model pembinaan sekolah imbas Adiwiyata berbasis partisipasi.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoritis

Melalui pengembangan ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dibidang pengembangan model pembinaan khususnya pengembangan model pembinaan sekolah imbas Adiwiyata berbasis partisipasi.

1.6.2 Manfaat Praktis

1. Bagi sekolah pembina, model diharapkan dapat membantu dalam pelaksanaan pembinaan menjadi lebih terkonsep atau terprogram sehingga capaian sekolah imbas dapat maksimal dalam mengikuti program Adiwiyata dan pada akhirnya tujuan pembinaan juga dapat tercapai dengan maksimal.

2. Bagi sekolah imbas, model diharapkan menjadi pedoman dalam melaksanakan program Adiwiyata.

3. Bagi BLH dapat digunakan sebagai bahan penyusunan kembali model pembinaan.

(20)

20

1.7 Spesifikasi Produk yang Dikembangkan

Produk yang dikembangkan adalah sebuah model prosedural, dimana di dalamnya terdapat rangkaian langkah kegiatan untuk mencapai suatu tujuan yaitu pencapaian maksimal program Adiwiyata oleh sekolah imbas yang berbasis partisipasi. Model ini dikembangkan berdasarkan langkah-langkah pengembangan model yang dipaparkan oleh Borg and Gall. Model tersebut menjelaskan komponen pengelolaan pembinaan, yaitu dari tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi dimana pada setiap tahap dilengkapi dengan komponen-komponen yang disediakan untuk kegiatan pembinaan. Basis partisipasi yang digunakan di dalam model digunakan untuk melibatkan seluruh personil dalam setiap komponen pembinaan untuk memunculkan rasa tanggung jawab dan motivasi kepada seluruh personil yang terlibat. Model berisi: (1) rasional pelaksanaan pembinaan berbasis partisipasi; (2) materi pembinaan berbasis partisipasi; (3) perencanaan pembinaan yang meliputi, identifikasi kebutuhan, perumusan tujuan, penyusunan program, materi, metode, media, serta buku panduan; (4) pengorganisasian pembinaan yang meliputi, sekolah imbas, pembina, jadwal pembinaan, tempat pembinaan, biaya, serta evaluasinya; (5) pelaksanaan yang meliputi

(21)

21

persiapan pembinaan, pra-pembinaan, pembinaan, dan pengakhiran; (6) evaluasi yang meliputi evaluasi program pembinaan, evaluasi pelaksanaan, evaluasi sekolah imbas, pembina, dan evaluasi hasil.

Model juga dilengkapi dengan panduan pelaksanaan pembinaan untuk sekolah induk dan juga untuk sekolah imbas, serta dilengkapi dengan buku panduan monitoring dan evaluasi bagi sekolah induk dan juga sekolah imbas.

1.8 Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan

Pengembangan model ini didasarkan pada asumsi bahwa dalam rangka mengikuti program sekolah Adiwiyata Mandiri, maka sekolah induk harus melakukan pembinaan, dimana pelaksanaan pembinaan sekolah imbas merupakan bentuk upaya untuk meningkatkan kesadaran warga terutama warga sekolah akan pentingnya menjaga dan mengelola lingkungan dengan bijaksana yang dilakukan oleh sekolah induk, sebagai bentuk bagian dari program Adiwiyata Mandiri. Mengingat pentingnya pembinaan tersebut, maka agar pembinaan berhasil maka diperlukan pembinaan yang terkonsep mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasinya sehingga dapat diketahui bagaimana kemajuan dari pembinaan itu sendiri. Sebuah program pembinaan harus

(22)

22

memberikan kesempatan kepada seluruh pihak yang terlibat di dalamnya. Model berbasis partisipasi yang dimasukkan dalam pengembangan model hendaknya dapat memotivasi sekolah imbas dalam mengikuti program Adiwiyata.

Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah subyek ujicoba model ini hanya dilakukan pada satu sekolah calon Adiwiyata mandiri yang ada di Salatiga, sehingga belum dapat menjamin bahwa model ini dapat memecahkan semua kendala yang ada dalam pembinaan sekolah imbas Adiwiyata serta pengembangan yang dilakukan difokuskan kepada sistem manajemen pembinaannya.

Referensi

Dokumen terkait

H asil penelitiannya adalah kualitas layanan berpengaruh terhadap kepuasan konsumen pada depot air minum isi ulang di Tirta M ulya, dan dari lima kualitas jasa layanan tersebut

Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang pemenuhannya setelah kebutuhan primer terpenuhi, namun tetap harus dipenuhi, agar kehidupan manusia berjalan dengan baik. Contoh: pariwisata

untuk liabilitas keuangan non-derivatif dengan periode pembayaran yang disepakati Grup. Tabel telah dibuat berdasarkan arus kas yang didiskontokan dari liabilitas

Suku bunga efektif adalah suku bunga yang secara tepat mendiskontokan estimasi penerimaan atau pembayaran kas di masa datang (mencakup seluruh komisi dan bentuk

algoritma kompresi LZW akan membentuk dictionary selama proses kompresinya belangsung kemudian setelah selesai maka dictionary tersebut tidak ikut disimpan dalam file yang

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Pendekatan dapat diartikan sebagai metode ilmiah yang memberikan tekanan utama pada penjelasan konsep dasar yang kemudian dipergunakan sebagai sarana

Audit, Bonus Audit, Pengalaman Audit, Kualitas Audit. Persaingan dalam bisnis jasa akuntan publik yang semakin ketat, keinginan menghimpun klien sebanyak mungkin dan harapan agar