• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN ANTARA PENGGUNAAN KOIL STANDARD DAN KOIL RACING DENGAN VARIASI CELAH ELEKTRODA BUSI TERHADAP PERFORMA MESIN VARIO TECHNO 110 CC

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBANDINGAN ANTARA PENGGUNAAN KOIL STANDARD DAN KOIL RACING DENGAN VARIASI CELAH ELEKTRODA BUSI TERHADAP PERFORMA MESIN VARIO TECHNO 110 CC"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN ANTARA PENGGUNAAN

KOIL STANDARD DAN KOIL RACING DENGAN

VARIASI CELAH ELEKTRODA BUSI TERHADAP

PERFORMA MESIN VARIO TECHNO 110 CC

SKRIPSI

Skripsi ini ditulis sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Teknik Otomotif

oleh

Kukuh Adityo Prastowo 5202412051

JURUSAN TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2016

(2)

ii

PENGESAHAN

Skripsi dengan judul “Perbandingan antara Penggunaan Koil Standard dan Koil Racing dengan Variasi Celah Elektroda Busi terhadap Performa Mesin Vario Techno 110 cc” telah dipertahankan di depan sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Teknik UNNES pada tanggal 8 Desember 2016.

Oleh Nama : Kukuh Adityo Prastowo

NIM : 5202412051

Program Studi : Pendidikan Teknik Otomotif S1 Panitia

Ketua Sekretaris

Rusiyanto, S.Pd., M.T Dr. Dwi Widjanarko, S.Pd., ST., MT NIP.197403211999031002 NIP.196901061994031003

Penguji Utama Penguji II/ Pendamping I Penguji III/ Pendamping II

Dr. Abdurrahman, M.Pd Dr. Hadromi, S.Pd., MT Drs. Masugino, M.Pd NIP.196009031994031002 NIP.196908071994031004 NIP.195207211980121001

Mengetahui

Dekan Fakultas Teknik UNNES

Dr. Nur Qudus, M.T NIP.196911301994031001

(3)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama Mahasiswa : Kukuh Adityo Prastowo NIM : 5202412051

Program Studi : Pendidikan Teknik Otomotif S1

Fakultas : Teknik Mesin Universitas Negeri Semarang

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Perbandingan antara Penggunaan Koil Standard dan Koil Racing dengan Variasi Celah Elektroda Busi terhadap Performa Mesin Vario Techno 110 cc” ini merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun dan sepanjang pengetahuan saya dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Semarang,

Yang membuat Pernyataan

Kukuh Adityo Prastowo NIM. 5202412051

(4)

iv

ABSTRAK

Kukuh Adityo Prastowo (2016) “Perbandingan antara Penggunaan Koil

Standard dan Koil Racing dengan Variasi Celah Elektroda Busi terhadap Performa Mesin Vario Techno 110 cc”. Skripsi. Pendidikan Teknik Otomotif S1. Fakultas Teknik. Universitas Negeri Semarang.

Kata Kunci: Performa, Racing, Torsi, Daya dan Celah Elektroda

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui performa mesin dengan membandingkan sistem pengapian antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan variasi celah elektroda busi.

Metode penelitian yang dipergunakan adalah eksperimen. Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif yaitu mengamati dan mencatat hasil pengujian kemudian menyimpulkan dalam bentuk tabel dan grafik. Pengujian torsi dan daya dilakukan pada mesin Vario Techno 110 cc tahun 2010 menggunakan dynamometer dan alat ukur buret digunakan untuk pengujian konsumsi bahan bakar. Pengambilan data dilakukan pada putaran 4000 rpm, 6000 rpm, dan 8000 rpm.

Hasil pengujian menunjukkan adanya perbedaan torsi, daya, dan konsumsi bahan bakar spesifik (sfc). Torsi tertinggi menggunakan koil standard mencapai 11,21 Nm pada celah elektroda busi 0,7 mm, sedangkan menggunakan koil racing mencapai 11,50 Nm pada celah busi 0,9 mm. Daya tertinggi menggunakan koil standard mencapai 8,21 PS pada celah elektroda busi 0,9 mm, sedangkan menggunakan koil racing mencapai 8,43PS pada celah busi 1,3 mm. Secara rata-rata, konsumsi bahan bakar spesifik terendah menggunakan koil standard mencapai 0,098 Kg/PS Jam pada celah elektroda busi 0,9 mm, sedangkan menggunakan koil racing mencapai 0,090 Kg/PS Jam pada elektroda 1,1 mm. Hasil pengujian ini dapat disimpulkan koil racing memiliki performa yang lebih baik dari koil standard dengan variasi celah elektroda di atas spesifikasi pabrikan.

(5)

v

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan variasi celah elektroda busi terhadap performa mesin Vario Techno 110 cc”

Skripsi ini disusun dalam rangka menyelesaikan Studi Strata 1 yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Teknik Otomotif Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis dengan senang hati menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Nur Qudus, M.T. Dekan Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang 2. Rusiyanto, S.Pd., M.T. Ketua Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik

Universitas Negeri Semarang

3. Dr. Dwi Widjianarko, S.Pd., S.T., M.T. Ketua Program Studi Pendidikan Teknik Otomotif S1

4. Dr. Hadromi, S.Pd., MT. Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, arahan dan motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 5. Drs. Masugino, M.Pd. Dosen Pembimbing II yang telah memberikan

bimbingan, arahan dan motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 6. Kedua Orang Tua yang selalu memberikan semangat dan bimbingan.

7. Teman-teman PTO 2012 dan semua pihak tanpa terkecuali yang senantiasa membantu dalam penyusunan skripsi

(6)

vi

Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, dengan tangan terbuka dan tanpa mengurangi makna serta esensial skripsi ini, semoga apa yang ada dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Penulis, 8 Desember 2016

(7)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

ABSTRAK ... iv

PRAKATA ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Identifikasi Masalah ... 4 C. Pembatasan Masalah ... 4 D. Rumusan Masalah ... 5 E. Tujuan Penelitian ... 5 F. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7

A. Kajian Teori ... 7 1. Proses Pembakaran ... 7 2. Sistem Pengapian ... 11 3. Koil Pengapian ... 15 4. Busi ... 19 5. Torsi ... 26 6. Daya ... 28

7. Konsumsi Bahan Bakar ... 30

(8)

viii

C. Kerangka Pikir Penelitian ... 33

D. Pertanyaan Penelitian ... 35

BAB III METODELOGI PENELITIAN ... 36

A. Bahan Penelitian... 36

B. Alat dan Skema Penelitian ... 37

C. Pelaksanaan Penelitian ... 38

1. Proses Penelitian ... 38

b. Diagram Alir Pelakasanaan Penelitian ... 38

2. Data Penelitian ... 41

3. Analisis Data ... 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Hasil Penelitian ... 44 B. Pembahasan ... 58 C. Keterbatasan Penelitian ... 74 BAB V PENUTUP ... 75 A. Simpulan ... 75 B. Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA ... 77 LAMPIRAN ... 80

(9)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3. 1. Instrumen Uji Berdasarkan Torsi Koil Racing dan Standard ... 41

Tabel 3. 2. Instrumen Uji Berdasarkan Daya Koil Racing dan Standard ... 42

Tabel 3. 3. Instrumen Uji Berdasarkan Laju Konsumsi Bahan Bakar Koil Racing dan Standard ... 42

Tabel 3. 4. Instrumen Rata-rata Torsi Koil Racing dan Standard ... 43

Tabel 3. 5. Instrumen Rata-rata Daya Koil Racing dan Standard ... 43

Tabel 3. 6. Instrumen Konsusmsi Bahan Bakar Spesifik ... 43

Tabel 4. 1. Hasil Pengujian Berdasarkan Torsi Koil Racing ... 44

Tabel 4. 2. Hasil pengujian Berdasarkan Torsi Koil Standard ... 45

Tabel 4. 3. Hasil Pengujian Berdasarkan Torsi Rata-rata ... 45

Tabel 4. 4. Hasil Pengujian Berdasarkan Daya Menggunakan Koil Racing ... 49

Tabel 4. 5. Hasil Pengujian Berdasarkan Daya Menggunakan Koil Standard ... 49

Tabel 4. 6. Hasil Pengujian Berdasarkan Daya Rata-rata ... 50

Tabel 4. 7. Hasil Pengujian Berdasarkan Laju Konsumsi pada Koil Racing ... 53

Tabel 4. 8. Hasil Pengujian Berdasarkan Laju Konsumsi pada koil Standard ... 54

(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2. 1. Proses Pembakaran Motor 4 Langkah ... 7

Gambar 2. 2 Tiga Fase Pembakaran Motor Bensin ... 9

Gambar 2. 3. Kurva Timing Pengapian ... 10

Gambar 2. 4. Cara Kerja CDI-AC ... 13

Gambar 2. 5. Sirkuit Pengapian CDI-DC dengan Arus DC ... 14

Gambar 2. 6 Koil Pengapian Tipe Moulded ... 16

Gambar 2. 7. Koil Standard Vario Techno 110 cc ... 18

Gambar 2. 8. Koil Racing Yz 125 ... 18

Gambar 2. 9. Kontruksi Busi... 20

Gambar 2. 10. Busi Panas dan Busi Dingin ... 21

Gambar 2. 11. Celah Elektroda Busi ... 23

Gambar 2. 12. Proses Percikan Bunga Api ... 26

Gambar 2. 13. Skema Pengukuran Torsi ... 27

Gambar 2. 14. Prinsip Kerja Dynamometer ... 28

Gambar 2. 15. Kerangka Pikir Penelitian... 35

Gambar 3. 1. Skema Penelitian ... 37

Gambar 3. 2. Alur Penelitian... 38

Gambar 4. 1 Diagram Grafik Perbandingan Torsi pada Celah Elektroda Busi 0,5 mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ... 46

Gambar 4. 2 Diagram Grafik Perbandingan Torsi pada Celah Elektroda Busi 0,7 mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ... 46

(11)

xi

Gambar 4. 3 Diagram Grafik Perbandingan Torsi pada Celah Elektroda Busi 0,9 mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ... 47 Gambar 4. 4 Diagram Grafik Perbandingan Torsi pada Celah Elektroda Busi 1,1

mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ... 47 Gambar 4. 5 Diagram Grafik Perbandingan Torsi pada Celah Elektroda Busi 1,3

mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ... 48 Gambar 4. 6 Diagram grafik Perbandingan Torsi ... 48 Gambar 4. 7 Diagram Grafik Perbandingan Daya pada Celah Elektroda Busi 0,5

mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ... 50 Gambar 4. 8 Diagram Grafik Perbandingan Daya pada Celah Elektroda Busi 0,7

mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ... 51 Gambar 4. 9 Diagram Grafik Perbandingan Daya pada Celah Elektroda Busi 0,9

mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ... 51 Gambar 4. 10 Diagram Grafik Perbandingan Daya pada Celah Elektroda Busi 1,1

mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ... 52 Gambar 4. 11 Diagram Grafik Perbandingan Daya pada Celah Elektroda Busi 1,3

mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ... 52 Gambar 4. 12 Diagram Grafik Perbandingan Daya ... 53 Gambar 4. 13 Diagram Grafik Perbandingan SFC pada Celah Elektroda Busi 0,5

mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ... 55 Gambar 4. 14 Diagram Grafik Perbandingan SFC pada Celah Elektroda Busi 0,7

mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ... 55 Gambar 4. 15 Diagram Grafik Perbandingan SFC pada Celah Elektroda Busi 0,9

(12)

xii

Gambar 4. 16 Diagram Grafik Perbandingan SFC pada Celah Elektroda Busi 1,1 mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ... 56 Gambar 4. 17 Diagram Grafik Perbandingan SFC pada Celah Elektroda Busi 1,3

mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing ... 57 Gambar 4. 18. Diagram Grafik Perbandingan SFC ... 57

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data Hasil Penelitian ... 81

Lampiran 2. Pengukuran Tegangan Koil ... 91

Lampiran 4. Persentase Kenaikkan Nilai Torsi... 92

Lampiran 5. Persentase Kenaikkan Nilai Daya... 92

Lampiran 6. Persentase Penurunan Sfc ... 92

Lampiran 7. Dokumentasi ... 93

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini sarana transportasi memiliki peranan penting bagi masyarakat luas. Sepeda motor merupakan salah satu sarana transportasi darat yang paling banyak digunakan masyarakat secara umum, karena sepeda motor memiliki nilai yang lebih ekonomis dibandingkan dengan mobil atau kendaraan umum lainnya. Hal ini dapat dilihat proporsi peningkatan pada tahun 2014 sepeda motor lebih besar dibandingkan dengan kendaraan lain yaitu 81,41%, diikuti mobil 11,03%, dan bis 2,01% (Badan Pusat Statistika, 2014). Suara Merdeka (2015) peningkatan sepeda motor itu sendiri, didominasi motor matic yang semakin populer karena mudah, nyaman dan lebih praktis digunakan dibandingkan dengan sepeda motor manual. Produsen sepeda motor seperti Honda, sudah mengantisipasi populernya motor matic di Indonesia. Berdasarkan Wikipedia (2015) riwayat perkembangan produsen Honda memproduksi sepeda motor matic dari tahun 2006 dengan kapasitas silinder 110 cc generasi pertamanya yaitu Vario 110 cc dan generasi keduanya Vario Techno 110 cc. Semakin pesatnya perkembangan teknologi, mendorong Honda terus berinovasi untuk meningkatkan performa motor matic dengan memproduksi beberapa sepeda motor matic di tahun 2012, 2014, dan 2015. Tahun 2014 Honda memproduksi produk sepeda motor matic injeksi Vario 110 cc dengan sistem PGM-FI (Programmed Fuel Injection) dengan kapasitas silinder yang sama yaitu 110 cc.

(15)

2

Perbandingan antara Vario Techno 110 cc dengan Vario PGM-FI (Programmed Fuel Injection) 110 cc terletak pada performa mesin. Performa mesin itu mencakup daya, torsi, dan konsumsi bahan bakar. Berdasarkan data dari Wikipedia (2015) spesifikasi sepeda motor Vario Techno hanya mencapai torsi maksimum 8,428 Nm pada 6.500 rpm, sedangkan sepeda motor Vario PGM-FI mencapai torsi maksimum 8,722 Nm pada 6.500 rpm dengan kapasitas silinder sama yaitu 110 cc. Liputan6 (2015) disisi lain kelemahan motor bersistem karburator terletak pada konsumsi bahan bakar yang kurang efisien dibandingkan menggunakan sistem injeksi yang lebih efisien. Hal ini menunjukkan performa mesin Vario Techno kurang maksimal karena masih menggunakan karburator. Ditambah masa penggunaan sepeda motor yang sudah mencapai jangka waktu 6 tahun karena diproduksi tahun 2010. Sehingga perlu adanya upaya untuk mengembalikan performa mesin seperti semula atau bahkan dapat meningkatkan performa mesin. Sedangkan performa mesin dipengaruhi oleh tiga elemen pembakaran yaitu tekanan kompresi yang tinggi, saat pengapian yang tepat dan bunga api yang kuat, dan campuran bahan bakar-udara yang sesuai. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan setidaknya satu dari tiga elemen tersebut. Salah satunya dengan memperbaiki sistem pengapian, diharapkan selain mampu meningkatkan tenaga dan torsi, juga dapat menurunkan konsumsi bahan bakar.

Jika peningkatan konsumsi bahan bakar terus meningkat seiring dengan jumlah kendaraan yang meningkat, akan berdampak pada menipisnya ketersediaan bahan bakar fosil di dalam perut bumi. Sehingga perlu adanya solusi untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil. Salah satu solusi alternatif dengan meminimalkan penggunaan bahan bakar dan mengoptimalkan pembakaran di

(16)

3

ruang bakar. Sistem pengapian yang menghasilkan loncatan bunga api yang tepat dan kuat mampu membakar campuran bahan bakar-udara secara cepat dan tepat sehingga menghasilkan kinerja mesin yang optimal.

Penelitian Subroto (2009) tentang “Pengaruh Penggunaan Koil Racing Terhadap Unjuk Kerja pada Motor Bensin” didapatkan hasil penelitian bahwa penggunaan koil racing memperoleh hasil unjuk kerja lebih baik yaitu torsi dan daya yang besar dengan konsumsi bahan bakar lebih irit dibandingkan dengan koil standard pabrikan. Penelitian ini sebagai dasar untuk mengembangkan penelitian lanjutan tentang penggunaan koil racing terhadap performa mesin dengan variasi celah elektroda busi.

Penelitian Nuramal dan Ahmad (2014) tentang “Analisis Pengaruh Jarak Celah Elektroda Busi Terhadap Performa Motor Bakar 4 Langkah Studi Kasus pada Motor Bakar Honda GX-160” didapatkan bahwa jarak celah elektroda busi 0,7 mm – 0,8 mm pada mesin Honda GX-160 menghasilkan nilai daya, torsi dan bahan bakar spesifik (sfc) yang lebih baik dibandingkan dengan jarak elektroda lainnya, hal ini dikarenakan jarak celah elektroda busi sesuai dengan spesifikasi dari mesin Honda GX-160. Hasil penelitian ini menunjukkan jika kendaraan bermotor dalam kondisi standard tanpa ada modifikasi khususnya di sistem pengapian maka celah busi yang baik masih dalam spesifikasi pabrikan. Namun jika kendaraan telah dimodifikasi pada sistem pengapian dengan menggunakan koil racing dengan output tegangan tinggi lebih dari koil standard pabrikan, memungkinkan perlu adanya penyetelan celah elektroda busi untuk mendapatkan kinerja yang optimal dari koil. Karena celah elektroda busi mempengaruhi loncatan bunga api antara elektroda pusat dan elektroda massa.

(17)

4

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas masalah yang timbul terkait peningkatan performa sepeda motor, sebagai berikut:

1. Sarana transportasi menjadi peranan penting bagi masyarakat sehingga meningkatnya jumlah kendaraan bermotor.

2. Seiring pesatnya inovasi teknologi terbaru, performa mesin motor matic Vario Techno 110 cc kurang maksimal.

3. Penggunaan bahan bakar yang semakin meningkat mengakibatkan menipisnya ketersedian sumber bahan bakar fosil.

4. Memperbaiki sistem pengapian dengan menggunakan koil racing mampu meningkatkan performa mesin motor.

5. Celah elektroda busi mempengaruhi performa kendaraan.

C. Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada masalah-masalah yang terkait dengan judul penelitian, sebagai berikut.

1. Pengujian dilakukan pada satu jenis kendaraan yaitu Vario Techno 110 cc tahun 2010.

2. Menggunakan koil racing yang dapat digunakan harian dan race.

3. Performa sepeda motor mencakup torsi, daya dan konsumsi bahan bakar spesifik.

(18)

5

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Bagaimana perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan variasi celah elektroda busi terhadap torsi mesin Vario Techno 110 cc?

2. Bagaimana perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan variasi celah elektroda busi terhadap daya mesin Vario Techno 110 cc?

3. Bagaimana perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan variasi celah elektroda busi terhadap konsumsi bahan bakar spesifik mesin Vario Techno 110 cc?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui:

1. Perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan variasi celah elektroda busi terhadap torsi mesin Vario Techno 110 cc. 2. Perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan

variasi celah elektroda busi terhadap daya mesin Vario Techno 110 cc. 3. Perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan

variasi celah elektroda busi terhadap konsumsi bahan bakar spesifik mesin Vario Techno 110 cc.

F. Manfaat Penelitian

(19)

6

1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai bahan pustaka di lingkungan Universitas Negeri Semarang, Khususnya Program Studi Pendidikan Teknik Otomotif.

b. Sebagai bahan referensi bagi penelitian di masa yang akan datang. 2. Manfaat Praktis

a. Memberikan alternatif solusi untuk meningkatkan performa mesin pada motor matic, khususnya Vario Techno 110 cc.

b. Mengoptimalkan sistem pengapian dengan penggunaan koil racing dan variasi celah busi elektroda terhadap performa pada mesin Vario Techno 110 cc.

(20)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Proses Pembakaran

Mesin empat langkah memerlukan 2 putaran poros engkol (4 gerakan torak) untuk menyelesaikan satu siklus di dalam silinder. Proses pembakarannya sebagai berikut:

Gambar 2. 1. Proses Pembakaran Motor 4 Langkah (Jama & Wagino, 2008a: 70-73)

Sepanjang langkah hisap, udara dan bahan bakar mengalir ke area bertekanan rendah yang diciptakan oleh gerakan turun torak di dalam silinder, selanjutnya saat torak bergerak ke atas sepanjang langkah kompresi, tekanan di dalam silnder meningkat dengan cepat dan memanaskan campuran bahan bakar-udara sehingga temperatur meningkat menjelang akhir langkah kompresi campuran dinyalakan oleh percikan api dari busi, selanjutnya setelah campuran bahan bakar menyala di dalam ruang bakar, medan nyala api mulai menyebar melalui campuran untuk menghasilkan gaya dan memberikan tenaga melalui

(21)

8

poros engkol, selanjutnya setelah campuran terbakar dan torak mencapai titik mati bawah (TMB), langkah buang dimulai ketika katup buang terbuka dan torak mulai kembali ke titik mati atas (TMA) (Kristanto, 2015: 121).

Menurut Tjatur (2013: 45) menjelaskan persyaratan pembakaran yang baik ditentukan oleh rasio campuran yang sesuai, kompresi yang cukup dan percikan bunga api yang kuat. Proses pembakaran sangat dipengaruhi sistem pengapian, karena kuatnya percikan bunga api dipengaruhi oleh besar kecilnya tegangan pengapian. Menurut Kristanto, (2015: 166) proses pembakaran pada motor bensin berlangsung dalam tiga fase atau periode yaitu

a. Periode penundaan (Ө1)

Periode ini juga disebut periode pengapian dan pengembangan nyala api lebih awal. Merupakan fase pertama yaitu mulai dari saat percikan api tegangan tinggi lewat elektroda busi kemudian menyalakan uap bahan bakar udara di sekitar elektroda sampai terbentuknya nyala api untuk melepaskan energi kalor fiksi uap bahan bakar yang terbakar. Durasi periode ini bergantung pada temperatur nyala api yang lewat di antara elektroda busi, sifat alami bahan bakar, temperatur tekanan dan campuran bahan bakar-udara. Periode ini juga disebut periode pengapian dan pengembangan nyala api lebih awal.

b. Periode kenaikkan tekanan dengan cepat (Ө2)

Periode ini dikenal sebagai periode perambatan nyala api. Merupakan fase kedua yaitu waktu antara permulaan medan nyala api dan dimulainya kenaikkan tekanan ke satu titik pada saat medan nyala api yang tidak rata telah menyebar ke dinding silinder dan tekanan silinder telah mencapai nilai puncaknya.

(22)

9

c. Periode setelah pembakaran (Ө3)

Setelah medan nyala api mencapai dinding silinder, masih terdapat 25% muatan yang belum dengan sepenuhnya terbakar. Sisa oksigen di dalam muatan menjadi lebih sulit untuk bereaksi dengan uap bahan bakar hingga laju pembakaran melambat. Selama fase terakhir ini proporsi dari kalor yang hilang melalui dinding silinder, kepala silinder dan cincin torak akan lebih besar dan secara bersamaan, torak yang turun meningkatkan volume clearance dengan konsekunsi muatan mulai berkurangnya tekanan silinder dengan cepat.

Gambar 2. 2 Tiga Fase Pembakaran Motor Bensin

(Kristanto, 2015: 167)

Setelah campuran bahan bakar-udara dibakar oleh loncatan bunga api, maka diperlukan waktu tertentu bagi api untuk merambat di dalam ruang bakar. Kecepatan rata-rata api merabat di dalam ruang bakar umumnya kurang dari l0-30 m/detik (Soenarto & Shoici, 2002: 26). Agar tidak terjadi keterlambatan antara awal pembakaran dengan pencapaian tekanan pembakaran maksimal 10° setelah TMA dan memperoleh output maksimal pada mesin, maka periode perambatan api harus diperhitungkan pada saat menentukan saat pengapian (timing ignition). Bila pengapian dimajukan terlalu jauh, maka tekanan pembakaran maksimum

(23)

10

akan tercapai sebelum 10° setelah TMA. Karena tekanan di dalam silinder akan menjadi lebih tinggi dari pada pembakaran dengan waktu yang tepat, yang menimbulkan knocking. Knocking yang berlebihan akan mengakibatkan katup, busi, dan torak rusak. Sedangkan jika saat pengapian dimundurkan terlalu jauh, maka tekanan maksimum akan terjadi setelah 10° sesudah TMA (saat dimana torak turun cukup jauh). Sehingga tekanan di dalam silinder rendah dan output mesin turun, yang terjadi pemborosan bahan bakar. Menurut Soenarto & Shoici, (2002: 27) keterlambatan waktu pengapian akan menurunkan efisiensi hal ini disebabkan rendahnya tekanan akibat pertambahan volume dan waktu penyebaran api terlalu lambat, sedangkan penyalaan yang cepat dapat menurunkan efisiensi sekalipun tekanannya tinggi akibat langkah kompresi, jadi harus mempunyai waktu penyalaan yang tepat. Pembakaran sempurna setelah penyalaan dimulai, api menjalar dari busi dan menyebar keseluruh arah dalam waktu yang sebanding dengan 20° atau lebih untuk membakar campuran sampai mencapai tekanan maksimum pada 10°-20° setelah TMA.

Gambar 2. 3. Kurva Timing Pengapian (Tjatur, 2013: 66)

(24)

11

2. Sistem Pengapian

Sistem pengapian berfungsi untuk membangkitkan bunga api yang dapat membakar campuran bahan bakar-udara di dalam silinder (Toyota, 1994: 1). Menurut Jama dan Wagino (2008b: 165) hal-hal yang diperlukan pada sistem pengapian agar berfungsi optimal, sebagai berikut:

a. Loncatan bunga api yang kuat

Saat campuran bahan bakar-udara dikompresi di dalam silinder, maka kesulitan utama yang terjadi adalah bunga api meloncat di antara celah elektroda busi sangat sulit, hal ini disebabkan udara merupakan tahanan listrik dan tahanannya akan naik pada saat dikompresikan. Tegangan listrik yang diperlukan harus cukup tinggi, sehingga dapat membangkitkan bunga api yang kuat di antara celah elektroda busi. Terjadinya percikan bunga api yang kuat antara lain dipengaruhi oleh pembentukan tegangan induksi yang dihasilkan oleh sistem pengapian. Semakin tinggi tegangan yang dihasilkan, maka bunga api yang dihasilkan bisa semakin kuat.

b. Saat pengapian yang tepat

Saat pengapian dari campuran bahan bakar-udara adalah saat terjadinya percikan bunga api busi beberapa derajat sebelum titik mati atas (TMA) pada akhir langkah kompresi. Pengapian harus sesuai dengan kondisi kecepatan motor, beban dan bahan bakar. Saat terjadinya percikan waktunya harus ditentukan dengan tepat supaya dapat membakar dengan sempurna campuran bahan bakar-udara agar dicapai energi maksimum. Setelah campuran bahan bakar dibakar oleh bunga api, maka diperlukan waktu tertentu bagi api untuk merambat di dalam ruangan bakar untuk mencapai tekanan pembakaran maksimum.

(25)

12

c. Kekuatan yang cukup

Sistem pengapian harus kuat dan tahan terhadap perubahan yang terjadi setiap saat pada ruang mesin, harus tahan terhadap getaran, panas, atau tahan terhadap tegangan tinggi yang dibangkitkan oleh sistem pengapian itu sendiri.

Sistem pengapian yang diterapkan pada sepeda motor ada tiga macam yaitu sistem pengapian baterai, pengapian magnet, dan sistem pengapian elektronik, seperti contohnya CDI (Capacitor Discharge Ignition). Unjuk kerja sistem pengapian CDI jauh lebih baik dibandingkan dengan pengapian konvensional, terutama pada kestabilan tegangan tinggi yang dihasilkan pada semua putaran mesin. Karena sistem pengapian elektronik jenis CDI (Capacitor Discharge Ignition) bekerja berdasarkan prinsip pengisian dan pengosongan kapasitor (Sutiman, 2013: 15). Sistem pengapian CDI banyak diaplikasikan untuk mesin putaran tinggi karena mampu bekerja pada frekuensi yang tinggi terutama pada sepeda motor. Menurut Suratman (2002: 52) secara umum beberapa kelebihan sistem pengapian CDI dibandingkan dengan sistem pengapian konvensional, antara lain: (1) Tidak memerlukan penyetelan saat pengapian, karena saat pengapian terjadi secara otomatis yang diatur secara elektronik. (3) Mesin mudah distart, karena tidak tergantung pada kondisi platina. (2) Lebih stabil pada kecepatan rendah, karena tidak ada loncatan bunga api seperti yang terjadi pada breaker point (platina) sistem pengapian konvensional. (4) Unit CDI dikemas dalam kotak plastik yang dicetak sehingga tahan terhadap air dan goncangan. (5) Pemeliharaan lebih mudah, karena kemungkinan aus pada titik kontak platina tidak ada.

(26)

13

Berdasarkan sumber arus, sistem CDI dibagi menjadi dua yaitu sistem CDI-AC (arus bolak-balik) dan CDI-DC (arus searah).

a. Sistem CDI-AC

Sistem CDI-AC pada umumnya terdapat pada sistem pengapian elektronik yang suplai tegangannya berasal dari source coil (koil pengisi/sumber) dalam flywheel magnet (flywheel generator).

Gambar 2. 4. Cara Kerja CDI-AC (Jama & Wagino, 2008b: 211)

Cara kerja sistem pengapian CDI-AC ketika magnet berputar sehingga spull pengapian menghasilkan AC (100–400 V) menuju CDI, kemudian arus diubah menjadi DC ½ gelombang oleh diode dan disimpan di kapasitor. Ketika reluctor magnet berpapasan dengan tonjolan pulser terjadi induksi menghasilkan signal dikirim ke trigger sehingga SCR (silicon-controlled rectifier) aktif. Kapasitor akan mengosongkan muatan listrik menuju kumparan primer sehingga terjadi induksi di kumparan sekunder koil dan terjadi loncatan bunga api di celah busi.

b. Sistem CDI-DC

Cara kerja sistem pengapian CDI-DC menggunakan arus yang bersumber dari baterai. Baterai memberikan suplai tegangan 12 Volt DC ke sebuah inverter

(27)

14

yang berfungsi menaikkan tegangan menjadi 220 Volt AC, selanjutnya disearahkan oleh dioda untuk disimpan sementara pada kondensor/ kapasitor, ketika reluctor magnet berpapasan dengan tonjolan pulser terjadi induksi menghasilkan signal dikirim ke trigger sehingga (silicon-controlled rectifier) SCR aktif. Kapasitor akan mengosongkan muatan listrik menuju kumparan primer sehingga terjadi induksi di kumparan sekunder koil dan terjadi loncatan bunga api di celah busi.

Gambar 2. 5. Sirkuit Pengapian CDI-DC dengan Arus DC (Jama & Wagino, 2008b: 214)

Sepeda motor Vario Techno 110 cc menggunakan sistem pengapian CDI-DC, sehingga pengapiannya dipengaruhi oleh sistem pengisian dan kondisi baterai. Jika sistem pengisian buruk mengakibatkan pengisian tidak optimal, sehingga membuat kondisi baterai tidak normal karena input baterai tidak sebanding dengan output yang dibutuhkan kendaraan. Disisi lain jika kondisi baterai yang tidak normal maka akan mengganggu kinerja sistem pengapian karena tidak optimal menyuplai tegangan 12 Volt ke CDI. Tegangan output CDI-DC Vario Techno 110 cc mencapai 220 Volt AC.

(28)

15

3. Koil Pengapian

Koil pengapian merubah sumber tegangan rendah dari baterai 12 Volt menjadi tegangan tinggi ribuan volt yang diperlukan untuk menghasilkan loncatan bunga api yang kuat pada celah busi dalam sistem pengapian (Jama & Wagino, 2008b: 174). Jadi koil pengapian hanya dapat merubah tegangan dari baterai 12 Volt menjadi tegangan tinggi 10000 Volt, prinsipnya sama seperti transformator. Transformator itu sendiri ialah alat untuk merubah tegangan dalam nilai lebih tinggi “step up” atau rendah “step down” pada arus listrik bolak balik atau arus putar (Kokelaar, 1978: 89). Koil termasuk dalam tranformator step up karena jumlah lilitan primer kurang dari lilitan sekunder dan kawat yang dipakai lebih tebal daripada lilitan sekunder. Koil tidak dapat membangkitkan tenaga, tetapi hanya merubah tenaga. Jadi tenaga yang diberikan pada kumparan primer adalah sama dengan tenaga pada kumparan sekunder, sehingga arus primer kali tegangan primer sama dengan arus sekunder kali tegangan sekunder persamaannya Ip.Vp = Is.Vs, jika tegangan sekunder lebih besar dari tegangan

primer, maka untuk memenuhi perbandingan arus primer harus lebih besar dari arus sekunder. Menurut Jama & Wagino (2008b: 177) untuk memperbesar tegangan yang dibangkitkan kumparan sekunder, maka arus yang masuk pada kumparan primer harus sebesar mungkin dan pemutusan arus primer harus secepat mungkin. Kumparan primer harus dibuat lebih berat daripada kumparan sekunder karena arus lebih besar.

Koil pada sepeda motor sama kerjanya namun terdapat pemutus arus listrik yang mengalir melalui kumparan primer membentuk medan magnet pada

(29)

16

sekeliling inti koil, dengan tiba-tiba arus listrik diputus, maka inti koil akan hilang kemagnetannya sehingga menyebabkan terbangkitnya listrik tegangan tinggi.

a. Kontruksi

Umumnya sistem pengapian sepeda motor menggunakan koil tipe moulded. Tipe koil ini inti besi di bagian tengahnya dikelilingi oleh kumparan primer, sedangkan kumparan sekunder berada di sisi luarnya. Koil tipe ini dibungkus dalam resin agar tahan terhadap getaran.

Gambar 2. 6 Koil Pengapian Tipe Moulded (Jama & Wagino, 2008b: 179) b. Mekanisme kerja koil

Arus yang dilepaskan dari kapasitor, kemudian arus mengalir ke kumparan primer koil untuk menghasilkan tegangan sebesar 100-400 volt sebagai tegangan induksi sendiri. Kemudian terjadi induksi dalam kumparan sekunder karena perbandingan kumparan sekunder lebih banyak dibandingkan kumparan primer maka tegangan sekunder mencapai 10 KV. Tegangan tinggi tersebut selanjutnya mengalir ke busi dalam bentuk loncatan bunga api yang akan membakar

(30)

17

campuran bahan bakar. Menurut Jama & Wagino (2008b: 177) besarnya arus primer yang mengalir tidak segera mengalir pada kumparan primer, karena adanya tahanan dalam kumparan tersebut, mengakibatkan perubahan garis gaya magnet yang terjadi juga secara bertahap. Jadi semakin besar arus pada kumparan primer akan semakin cepat perubahan garis gaya magnet yang dibentuk pada kumparan, maka semakin tinggi tegangan yang dibangkitkan kumparan sekunder. Tegangan tinggi yang terinduksi pada kumparan sekunder terjadi pada waktu yang sangat singkat namun mampu membakar campuran bahan bakar. Menurut Soenarto & Shoici (2002: 24) sekalipun loncatan bunga api yang sangat singkat dan total tenaganya kecil, tetapi dengan tegangan 10.000 Volt antara elektroda yang mempunyai suhu ribuan derajat Celsius, mampu menimbulkan aliran arus listrik pada molekul-molekul dari campuran udara yang kerapatannya tinggi. Jadi tegangan mempengaruhi loncatan bunga api dalam membakar campuran bahan bakar.

c. Koil standard

Koil standard merupakan koil original bawaan dari produsen motor. Koil ini mentransformasikan tegangan baterai 12 Volt menjadi tegangan tinggi lebih 5000 Volt (Tjatur, 2013: 55). Hasil pengukuran koil standard motor Honda Vario Techno memiliki tahanan kumparan primer koil pengapian 0,4 Ω, sedangkan tahanan kumparan sekunder sebesar 6,2 KΩ. Output tegangan tertinggi pada putaran mesin 1500 RPM mencapai 9,2 KV.

(31)

18

Gambar 2. 7. Koil Standard Vario Techno 110 cc (Dokumen Peneliti)

d. Koil racing

Menurut Jama & Wagino (2008b: 201) koil tersebut menaikkan tegangan tinggi mencapai lebih 10 KV. Menurut Oetomo dkk (2014: 48) perbedaan antara koil standard dan koil racing yaitu kumparan primer dan sekunder pada koil racing lebih lebih banyak daripada koil standard. Hal ini yang menyebabkan tegangan yang dihasilkan koil racing lebih besar dibandingkan koil standard.

Gambar 2. 8. Koil Racing Yz 125 (Dokumen peneliti)

Menurut Kokelaar (1978: 90) jika tegangan sekunder lebih besar dari tegangan primer maka untuk memenuhi arus primer harus lebih besar dibandingkan arus sekunder. Hasil pengukuran koil racing Yz 125 tahanan

(32)

19

kumparan primer 0,2 Ω dan tahanan kumparan sekunder 9,05 KΩ. Output tegangan tertinggi pada putaran mesin 1500 RPM mencapai 12,8 KV.

4. Busi

Busi berfungsi untuk meloncatkan bunga api listrik tegangan tinggi sehingga mampu menyalakan campuran bahan bakar dan udara yang dimampatkan di ruang bakar (Kristanto, 2015: 181). Busi menerima tegangan listrik lebih dari 10.000 Volt, pada saat terjadi pembakaran di dalam mesin. Menurut Toyota (n.d: 163) harus ada tegangan listrik yang tinggi, agar terjadi loncatan bunga api yang kuat pada elektroda busi, loncatan api inilah yang disebut tenaga pembakar pada campuran bahan bakar. Jadi tegangan listrik yang tinggi, menentukan tenaga untuk membakar campuran bahan bakar secara sempurna. Syarat-syarat busi yang baik, antara lain: (1) Harus dapat merubah tegangan tinggi menjadi loncatan bunga api pada elektroda tengahnya. (2) Harus tahan terhadap suhu pembakaran gas yang tinggi sehingga elektroda busi tidak terbakar. (3) Self cleaning action untuk menjaga kondisi busi tetap bersih dari endapan karbon.

a. Konstruksi busi

Toyota, (n.d: 6-19) komponen utama busi yaitu insulator, casing dan elektroda tengah, sebagai berikut penjelasannya:

1) Insulator keramik

Insulator keramik berfungsi untuk memegang elektroda tengah dan berguna sebagai insulator antara elektroda tengah dan casing. Gelombang yang dibuat pada permukaan insulator keramik berguna untuk memperpanjang jarak

(33)

20

permukaan antara terminal dan casing untuk mencegah terjadinya loncatan bunga api tegangan tinggi. Insulator terbuat dari porselen almunium murni yang mempunyai daya tahan panas yang sangat baik.

2) Casing

Casing berfungsi untuk menyangga insulator keramik dan juga mounting busi terhadap mesin.

Gambar 2. 9. Kontruksi Busi (Jama & Wagino, 2008b: 186)

3) Elektroda

Elektroda terdiri dari komponen-komponen: (1) Sumbu pusat (center shaft) mengalirkan arus dan meradiasikan panas yang ditimbulkan oleh elektroda. (2) Seal sebagai perapat antara center shaft dan elektroda tengah. (3) Resistor mengurangi suara pengapian untuk gangguan frekuensi radio. (4) Coppercore (inti tembaga) sebagai media merambatkan panas dari elektroda dan ujung insulator agar cepat dingin. (5) Elektroda tengah untuk membangkitkan loncatan bunga api ke massa. (6) Elektroda massa sebagai media loncatnya bunga api dari elektroda tengah, elektroda massa dibuat sama dengan elektroda tengah

(34)

21

alur U (U-groove, Alur V (V-groove) dan bentuk khusus lainnya. Tujuan pembuatan alur pada elektroda untuk memudahkan loncatan bunga api agar menaikkan kemampuan pengapian.

b. Nilai panas

Nilai panas busi adalah kemampuan meradiasikan sejumlah panas oleh busi. Busi yang dapat meradiasikan panas lebih banyak disebut busi dingin, sedangkan busi yang meradiasikan panas lebih sedikit disebut busi panas, karena menahan panas (Toyota, 1994: 30).

Gambar 2. 10. Busi Panas dan Busi Dingin (Jama & Wagino, 2008b: 192)

Temperatur elektroda busi dapat mencapai kira 2000°C (3632°F) selama langkah pembakaran, tetapi kemudian turun secara drastis pada langkah hisap karena didinginkan oleh campuran bahan bakar-udara (Toyota, n.d: 6-19). Batas operasional terendah dari busi adalah self-cleaning temperatur, sedangkan batas tertinggi adalah pre-ignition temperatur.

1) Self cleaning temperature

S e l f cleaning temperature adalah temperatur elektroda busi lebih dari 450 °C (842 °F) yang diperlukan untuk menyempurnakan proses pembakaran terhadap sisa endapan karbon pada insulator nose. Pembakaran tidak

(35)

22

sempurna apabila temperatur elektroda tengah kurang dari 450°C (842°F) karbon akan menempel pada permukaan penyekat (insulator) porselen, yang akhirnya akan mengurangi tahanan penyekat antara insulator dan casing (massa). Akibatnya terjadi misfiring, dimana tegangan tinggi yang diberikan ke elektroda akan langsung ke casing (massa) tanpa terjadi loncatan bunga api pada celah busi (Toyota, n:d: 6-20).

2) Pre-Ignition

Pre-Ignition adalah temperatur elektroda tengah lebih dari 950°C (1742°F), maka elektroda akan menjadi sumber panas yang dapat menimbulkan terjadinya penyalaan sebelum busi bekerja memercikan bunga api (Toyota n.d: 6-20).

c. Celah elektroda busi

Celah elektroda busi adalah celah antara elektroda pusat dengan elektroda massa. Menurut Kristanto (2015: 181) celah busi berpengaruh terhadap kinerja mesin, celah yang terlalu sempit menghasilkan percikan yang lemah untuk membakar campuran bahan bakar-udara, sedangkan celah yang terlalu lebar dimungkinkan gagal untuk menghasilkan percikan dan mesin sulit dihidupkan. Loncatan bunga api sangat singkat dengan tegangan lebih dari 10.000 Volt antara elektroda busi yang mempunyai suhu ribuan derajat Celsius, akan mampu menimbulkan aliran arus listrik pada molekul-molekul dari campuran bahan bakar-udara yang kerapatannya cukup tinggi. Karena pembakaran dari campuran bahan bakar-udara adalah berupa reaksi ion, maka sistem penyalaan listrik sangat sesuai untuk mendapatkan suhu yang tinggi dan dapat berlangsungnya proses ionisasi (Soenarto & Shoici, 2002: 24). Semakin kecil celah antara elektroda

(36)

23

pusat dan massa maka semakin singkat daerah yang dapat diionisasi oleh tegangan tinggi dan semakin rendah juga kebutuhan tegangan yang dibutuhkan (api semakin kecil) (Tjatur, 2013: 75). Menurut Jama dan Wagino (2008b: 188) celah elektroda yang terlalu kecil akan mengakibatkan bunga api lemah, sedangkan celah elektroda yang terlalu lebar akan mengakibatkan tegangan untuk meloncatkan bunga api lebih besar dan kelemahnya isolator-isolator bagian tegangan tinggi cepat rusak karena dibebani tegangan pengapian yang luar biasa tingginya.

Gambar 2. 11. Celah Elektroda Busi (Jama & Wagino, 2008b: 188)

Umumnya celah antara elektroda pusat dan elektroda massa pada busi sekitar 0,7 mm sampai 0,9 mm, sedangkan untuk campuran sangat miskin pada umumnya celah ditingkatkan sampai 1,2 mm (Kristanto, 2015: 182). (Honda, nd: 1-9) busi standard Honda Vario Techno 110 cc menggunakan busi CR7EH-9 (NGK) dan U22FER9 (Denso) dengan ukuran celah elekroda yaitu 0,80 mm – 0,90 mm.

d. Tegangan penyalaan busi

Menurut Kristanto (2015: 183) besar tegangan aktual yang dibutuhkan memiliki beberapa faktor berikut:

(37)

24

1) Tekanan kompresi

Rasio kompresi yang meningkat, kerapatan udara di antara elektroda busi meningkat sedemikian hingga dibutuhkan tegangan ekstra untuk menghasilkan percikan bunga api di antara elektroda busi.

2) Sifat campuran

Rasio campuran bahan bakar-udara membutuhkan tegangan minimum untuk menciptakan percikan bunga api di elektroda busi.

3) Celah elektroda

Tegangan yang dibutuhkan untuk ionisasai pada celah elektroda sebanding secara langsung dengan lebar celah. Jadi celah elektroda yang lebar menuntut tegangan yang lebih besar untuk menghasilkan percikan.

4) Perubahan beban dan kecepatan

Kebutuhan tegangan busi untuk menghasilkan percikan elektroda di atas lebar kisaran kecepatan mengikuti kurva karakteristrik torsi motor. Kebutuhan tegangan juga bergantung pada bukaan trothlle karena dipengaruhi tekanan kompresi.

e. Faktor-faktor yang mempengaruhi percikan bunga api

Menurut Toyota (1994: 27) ada beberapa faktor yang mempengaruhi busi memercikan bunga api, faktor-faktor itu sebagai berikut:

1) Bentuk elektroda dan kemampuan discharge

Elektroda yang bulat akan mempersulit discharge sehingga menyebabkan misfiring, sedangkan jika elektroda runcing atau persegi akan mempermudah discharge.

(38)

25

Discharge akan menjadi sulit dan kebutuhan tegangan bertambah bila celah busi lebar, jika tegangan tidak mencukupi loncatan bunga api menjadi susah dan menyebabkan misfiring.

3) Tekanan kompresi dan tegangan yang dibutuhkan

Bila tekanan kompresi meningkat, maka discharge akan menjadi sulit dan tegangan yang dibutuhkan semakin tinggi. Suhu campuran bahan bakar yang semakin menurun membutuhan tegangan yang tinggi untuk melakukan pembakaran.

4) Suhu elektroda dan tegangan yang dibutuhkan

Suhu elektroda akan naik bila kecepatan mesin bertambah. Tetapi tegangan yang diperlukan semakin menurun.

f. Mekanisme percikan bunga api

Menurut Toyota (1994: 29) saat bunga api melalui campuran bahan bakar dari elektroda pusat ke elektroda massa, sepanjang loncatan bunga api diaktifkan dan terjadi inti api (flame nucleus). Molekul-molekul campuran bahan bakar di sekitar flame nucleus menjadi aktif oleh perambatan panas dari loncatan api dan terdorong keluar dari nucleus. Kemudian molekul-molekul tersebut menjadi bagian dari flame nucleus yang mempunyai energi yang cukup untuk melanjutkan perambatan api dengan sendirinya. Namun perambatan api itu ditahan oleh suhu elektroda yang rendah dapat menyerap panas yang dihasilkan bunga api dan cenderung memadamkan flame nucleus sering dikenal electrode quenching. Bila flame nucleus terlalu kecil, akan padam dan campuran bahan bakar tidak aktif mengakibatkan misfiring. Oleh karena itu untuk menyempurnakan pembakaran campuran bahan bakar, perlu adanya pengurangan electrode quenching dan

(39)

26

membuat flame neclues dapat berkembang akan mempertinggi pembangkitan panas serta perambatan api, dengan demikian akan menyempurnakan pembakaran campuran bahan bakar dan udara.

Gambar 2. 12. Proses Percikan Bunga Api (Toyota, 1994: 29)

5. Torsi

Menurut Rizal, (2013: 81) torsi adalah ukuran kemampuan mesin untuk melakukan kerja, jadi torsi adalah suatu energi. Besaran torsi adalah besaran turunan yang biasa digunakan untuk menghitung energi yang dihasilkan dari

(40)

27

benda yang berputar pada porosnya (Raharjo dan Karnowo, 2008: 98). Sehingga torsi adalah ukuran kemampuan mesin dari benda yang berputar pada porosnya. Apabila suatu benda berputar dan mempunyai besar gaya sentrifugal sebesar F, benda berputar pada porosnya dengan jari-jari sebesar b, dengan data tersebut torsinya adalah

T = F x b (Nm) Dimana :

T = Torsi benda berputar (Nm)

F = Gaya sentrifugal dari benda yang berputar (N) b = Jarak benda ke pusat rotasi (m)

(Raharjo dan Karnowo, 2008: 98)

Gambar 2. 13. Skema Pengukuran Torsi (Raharjo dan Karnowo, 2008: 98)

Menurut Kristanto (2015:22) torsi akan meningkat dengan meningkatnya kecepatan motor, saat motor ditingkatkan lebih lanjut, torsi mencapai maksimum dan kemudian berkurang, karena motor tidak mampu menambah muatan udara yang sudah maksimal. Cara untuk mengetahui menghitung torsi dan daya menggunakan alat yang dinamakan dynamometer. Prinsip kerja dari alat ini adalah dengan memberikan beban yang berlawanan terhadap arah putaran sampai mendekati 0 rpm. Beban ini nilainya sama dengan torsi poros. Menurut Kristanto, (2015: 21) jika torsi menyatakan kemampuan motor untuk melakukan kerja,

(41)

28

maka daya menyatakan seberapa besar kerja yang dapat dilakukan dalam satu periode waktu tertentu.

Gambar 2. 14. Prinsip Kerja Dynamometer (Rizal, 2013: 82)

6. Daya

Menurut Arends & Berenschot (1980: 19) daya efektif adalah daya untuk roda penerus. Sedangkan menurut Rizal, (2013: 83) daya mesin adalah jumlah energi yang dihasikan mesin setiap waktunya, sedangkan daya yang diukur pada poros mesin dayanya maka disebut daya poros. Sehingga daya adalah jumlah energi yang dikeluarkan untuk melakukan kerja dalam satu periode waktu tertentu. Menurut Kristanto (2015: 30) bahwa semakin tinggi putaran mesin, semakin banyak langkah kerja yang dilakukan maka daya akan meningkat secara linier terhadap putaran mesin. Sedangkan menurut Arends & Berenschot (1980: 23) sebuah kurva daya semakin meningkat sebanding frekuensi putar, hal ini disebabkan semakin banyak langkah kerja yang dialami pada waktu yang sama, namun semakin frekuensi putar ditingkatkan kurva daya akan menurun, hal ini disebabkan frekuensi putar lebih tinggi kecepatan piston terhadap lama putaran katup terbuka terlalu besar, sehingga tekanan efektif menurun karena pengisian silinder tidak optimal. Jadi semakin tinggi torsi dan putaran mesin, maka semakin

(42)

29

tinggi daya yang dihasilkan, jika putaran mesin ditingkatkan lebih tinggi maka dayanya akan turun karena tekanan efektif menurun karena pengisian silinder tidak optimal.

Daya yang didapat oleh motor dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Daya indikator merupakan daya yang dihasilkan di dalam silinder pada proses pembakaran. Untuk menghitung daya indikator perlu ditentukan terlebih dahulu tekanan indikator rata-rata yang dihasilkan dari proses pembakaran satu siklus kerja putarannya (Rizal, 2013: 84).

b. Daya efektif atau daya poros adalah daya yang diperoleh dari pengukuran torsi pada poros yang dikalikan kecepatan sudut putarannya (Rizal, 2013: 97).

Dapat dituliskan dengan persamaan sebagai berikut: Ne = Txω Nm/s

= Tx2πn

Dimana Ne = Daya poros Nm/s (kW)

T = Torsi Nm

ω = Kecepatan sudut putar n = Putaran mesin (1/min) (Raharjo dan Karnowo, 2008: 111)

Penelitian ini menggunakan satuan daya PS (Pferderstaerke) bertujuan untuk memudahkan analisis data karena spesifikasi hasil perhitungan daya dengan dynamometer GSF Dyno V0.1.19 adalah PS (Pferderstaerke). Converter nilai kilowatt ke nilai PS dikalikan 0,7355 (Kristanto, 2015: 22).

(43)

30

7. Konsumsi Bahan Bakar

Menurut Kristanto, (2015: 26) konsumsi bahan bakar diukur sebagai laju aliran massa bahan bakar per satuan waktu, maka untuk ukuran bagaimana motor menggunakan secara efisien untuk menghasilkan kerja disebut konsumsi bahan bakar spesifik. Sedangkan menurut Raharjo dan Karnowo (2008:115) konsumsi bahan bakar spesifik atau Spesific Fuel Consumtion (SFC) adalah jumlah bahan bakar (kg) perwaktunya untuk menghasilkan daya. Jadi SFC adalah ukuran ekonomi pemakaian bahan bakar untuk mengasilkan daya mesin, semakin kecil nilai bahan bakar spesifik maka mesin dikatakan efisien atau irit.

Perhitungan untuk mengetahui SFC sebagai berikut:

Dimana:

= Laju pemakaian bahan bakar spesifik (kg/PS jam) = massa jenis bahan bakar (kg/l)

= konsumsi bahan bakar (kg/h)

b = volume burret yang dipakai dalam pengujian (cc) t = waktu yang diperlukan untuk mengosongkan burret (s) = daya poros atau daya efektif (PS)

(Raharjo dan Karnowo, 2008: 115)

Menurut Kristanto (2015: 32) konsumsi bahan bakar meningkat pada kecepatan tinggi karena kerugian gesekkan bertambah besar, sedangkan pada kecepatan rendah, waktu yang dibutuhkan per siklus menjadi lebih panjang

(44)

31

sehingga memungkinkan kerugian kalor lebih besar dan konsumsi bahan bakar meningkat. Sedangkan menurut Toyota (167) saat kecepatan mesin sama, campuran bahan bakar masuk ke dalam silinder berubah-ubah bergantung dengan membukanya throttle, sedangkan saat throttle membuka, banyaknya campuran yang dihisap akan berubah-ubah bergantung dengan kecepatan mesin. Jadi konsumsi bahan bakar dipengaruhi oleh kecepatan mesin dan pembukaan throttle. Penelitian ini menggunakan bahan bakar pertamax RON 92. (Pertamina, 2007: 5) berat jenis bahan bakar pertamax pada suhu terendah (15°C) yaitu 0,715 kg/l, sedangkan suhu maksimal 0,770 kg/l.

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan bahan penelitian yang berbeda atau sama antara lain:

1. Penelitian yang dilakukan Siswanto dan Yosep (2015) yang berjudul peningkatan performa sepeda motor dengan variasi CDI programmable. Menyimpulkan adanya perbedaan performa mesin dengan menggunakan CDI genuine dan CDI programmable, daya tertinggi dicapai hampir semua variasi CDI programmable, yaitu sebesar 8,2 hp sedangkan torsi tertinggi dicapai dengan memajukan timming CDI programmable 2° mencapai 10,33 Nm pada putaran mesin 4670 rpm. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menggunakan CDI programmable lebih baik dari CDI genuine, karena kurva pengapian berupa ignition timing dapat diatur sesuai dengan perubahan spesifikasi mesin. Pengaturan dilakukan dengan menggunakan program/software pada PC (personal computer) dan dihubungkan ke unit

(45)

32

CDI dengan koneksi kabel USB to serial converter. Di dalam programmable CDI terdapat IC memori EEPROM (electrical erasable progammed memory) sehingga data kurva pengapian dapat disimpan dan dihapus kembali. Sedangkan pada CDI genuine kurva pengapian berupa ignition timing sudah diatur oleh produsen dan tidak dapat diubah (fixed). Menjadikan penelitian ini sebagai acuan untuk mengembangkan penelitian lanjutan meningkatkan performa mesin dengan meng-upgrade sistem pengapian melalui komponen lain seperti koil racing. Karena loncatan bunga api pengapian yang kuat dihasilkan dari besarnya tegangan output yang dihasilkan koil dan timing pengapian yang tepat dihasilkan dari CDI pengapian berdasarkan kecepatan, beban, dan campuran bahan bakar.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Subroto (2009) yang berjudul pengaruh penggunaan koil racing terhadap unjuk kerja pada motor bensin. Menyimpulkan penggunaan koil racing memperoleh hasil unjuk kerja lebih baik yaitu daya dan torsi lebih besar dengan konsumsi bahan bakar lebih irit dibandingkan dengan koil standard pabrikan. Penelitian ini menunjukkan bahwa menggunakan koil racing lebih baik dari koil standard. Faktor penyebabnya terletak pada kinerja koil itu sendiri. Kinerja koil dipengaruhi oleh radiasi panas yang diakibatkan dari tegangan listrik. Koil yang sedemikian itu tidak dapat dibuat dengan ukuran yang lebih besar untuk memberikan permukaan radiasi lebih. Namun untuk mengatasi masalah itu pada koil racing penghambat penyekat primer dikurangi lewat penggunaan kumparan tembaga yang lebih besar sehingga dapat mengurangi beban panas pada koil. Penelitian ini dapat menjadi dasar untuk meningkatkan performa

(46)

33

mesin menggunakan koil racing. Namun untuk lebih meningkatkan performa mesin dan mengembangkan penelitian lanjutan ini ditambah dengan variasi celah elektroda busi.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Markus (2013) yang berjudul pengaruh gap elektroda busi terhadap kinerja mesin sepeda motor satu silinder 4 langkah berbahan bakar bensin. Menyimpulkan pada celah elektroda busi 0,7 mm torsi mesin mencapai puncak tertinggi sebesar 6,68 Nm dan daya mesin mencapai puncak tertinggi sebesar 5,8 hp dibandingkan dengan jarak celah elektroda busi lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengapian standard pabrikan tanpa variasi, celah elekroda busi yang optimal sesuai spesifikasi pabrikan yaitu 7,0 mm - 8,0 mm. Menjadikan penelitian ini sebagai acuan dasar bahwa celah elektroda busi yang sesuai mempengaruhi performa mesin, semakin besar output tegangan koil racing maka loncatan bunga api yang besar, maka harus ditentukan celah elektroda busi yang sesuai ketika menggunakan koil racing. Penelitian lanjutan ini menggunakan koil racing dengan variasi celah elektroda busi dari 0,5 mm hingga 1,3 mm.

C. Kerangka Pikir Penelitian

Pesatnnya kemajuan teknologi di bidang otomotif menghasilkan banyak inovasi terbaru untuk memperbaharui teknologi yang telah ada, bahkan dapat menggantikan teknologi yang telah ada. Latar belakang penelitian ini terletak pada performa mesin motor matic Vario Techno 110 cc yang kurang maksimal dibandingkan dengan teknologi yang terbaru saat ini, sehingga untuk menyeimbangkan perlu adanya upaya untuk meningkatkan performa motor matic

(47)

34

Vario Techno 110 cc. Jika tidak ada upaya untuk meningkatkan performa mesin akan berdampak pada konsumsi bahan bakar kurang efisien. Semakin meningkat penggunaan bahan bakar mengakibatkan menipisnya ketersedian sumber bahan bakar fosil.

Salah satu solusi alternatif dengan memperbaiki sistem pengapian, karena sistem pengapian merupakan salah satu dari tiga elemen yang mempengaruhi kinerja mesin. Memperbaiki sistem pengapian dengan memodifikasi komponen di dalamnya dapat meningkatkan performa mesin. Dalam penelitian ini upaya yang dilakukan dalam sistem pengapian yaitu pertama, mengganti koil standard menggunakan koil racing dengan tujuan membandingkan performa dari koil standard dan koil racing. Kedua, memvariasi celah elektroda dengan tujuan membandingkan celah elektroda yang optimal pada masing-masing koil. Menurut teori output tegangan koil racing lebih tinggi dari koil standard, sehingga tidak menutup kemungkinan perlu adanya penyetelan celah elektroda busi untuk menghasilkan performa yang optimal.

Hasil yang diharapkan dalam upaya meningkatkan performa mesin adanya perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan variasi celah elektroda busi terhadap meningkatnya performa mesin dari segi daya, torsi, dan konsumsi bahan bakar.

(48)

35

Gambar 2. 15. Kerangka Pikir Penelitian

D. Pertanyaan Penelitian

1. Adakah perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan variasi celah elektroda busi terhadap torsi mesin Vario Techno 110 cc?

2. Adakah perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan variasi celah elektroda busi terhadap daya mesin Vario Techno 110 cc?

3. Adakah ada perbandingan antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan variasi celah elektroda busi terhadap konsumsi bahan bakar spesifik mesin Vario Techno 110 cc?

(49)

75

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan, terdapat perbedaan daya, torsi, dan konsumsi bahan bakar spesifik pada motor Honda Vario Techno 110 cc tahun 2010 antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan variasi celah elektroda busi, dapat disimpulkan bahwa:

1. Torsi yang dihasilkan koil racing lebih tinggi dibandingkan dengan koil standard pada setiap putaran mesin dan kondisi celah elektroda busi yang sama. Torsi tertinggi terjadi pada putaran mesin 4000 rpm, koil standard torsinya mencapai 11,21 Nm pada celah elektroda busi 0,7 mm, sedangkan koil racing mencapai 11,50 Nm pada celah busi 0,9 mm.

2. Daya yang dihasilkan koil racing lebih tinggi dibandingkan dengan koil standard pada setiap putaran mesin dan kondisi celah elektroda busi yang sama. Daya tertinggi pada putaran mesin 8000 rpm, koil standard dayanya mencapai 8,21 PS pada celah elektroda busi 0,9 mm, sedangkan menggunakan koil racing mencapai 8,43 PS pada celah busi 1,3 mm.

3. Konsumsi bahan bakar yang dihasilkan koil racing lebih rendah dibandingkan dengan koil standard pada setiap putaran mesin dan kondisi celah elektroda busi yang sama. Secara rata-rata, konsumsi bahan bakar spesifik terendah menggunakan koil standard mencapai 0,098 Kg/PS Jam pada celah elektroda busi 0,9 mm, sedangkan menggunakan koil racing mencapai 0,090 Kg/PS Jam pada elektroda 1,1 mm.

(50)

76

B. Saran

1. Pengguna Sepeda motor Honda Vario Techno 110 cc tahun 2010 apabila mengharapkan power pada kecepatan tinggi hendaknya menggunakan koil racing dengan variasi celah elektroda busi 1,3 mm.

2. Peneliti di masa yang akan datang dapat meneliti kandungan emisi antara penggunaan koil standard dan koil racing dengan variasi celah elektroda busi.

(51)

77

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, IWB. 2009. Upaya Peningkatan Unjuk Kerja Mesin dengan Menggunakan Sistem Pengapian Elektronis pada Kendaraan Bermotor. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin CakraM Vol. 3 No. 1, April 2009 hal 87-92 Arends, BMP dan Berenschot H. 1980. Motor Bensin. Jakarta: Erlangga

Badan Pusat Statistika. 2014. Statistika Transportasi Darat. http: //www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Transportasi--Darat--2014.pdf. diakses hari Rabu, 24 februari 2016 14.36 WIB

Badrawada, IGG. 2008. Pengaruh Perubahan Sudut PcngapianTcrhadap Prestasi Mesin Motor 4 Langkah. Jurnal Forum Teknik Vol. 32, No.3, September 2008. Hal 221-231

Hermanto, SD. 2015. Analisa Penggunaan koil racing terhadap daya pada sepeda motor Honda Supra X 100 cc. Skripsi. Fakultas Teknik UNPKediri. Honda. (n.d). Buku Pedoman Reparasi Honda Vario. Jakarta: P.T. Astra Honda

Motor

Jama, J dan Wagino. 2008a. Teknik Sepeda Motor Jilid 1. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

Jama, J dan Wagino. 2008b. Teknik Sepeda Motor Jilid 2. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

Kokelaar, PH. J. 1978. Teknik Listrik Jilid II. Jakarta: Pradnya Paramita. Kristanto, P. 2015. Motor Bakar Torak. Yogyakarta: CV. Andi Offest.

Liputan6. 2015. Kelebihan dan Kekurangan Motor Karburator. Online. http://otomotif.liputan6.com/read/2284388/kelebihan-dan-kekurangan-motor-karburator. diakses Kamis 18 Februari 2016

Machmud, S dan Yokie GI. 2011. Dampak Kerenggangan Celah Elektroda Busi Terhadap Kinerja Motor Bensin 4 Tak. Jurnal Teknik Vol.1 No. 2 / Oktober 2011

Markus. 2013. Pengaruh Gap Elektroda Busi Terhadap Kinerja Mesin Sepeda Motor Satu Silinder 4 Langkah Berbahan Bakar Bensin. Jurnal Refrigerasi, Tata Udara dan Energi Race. Vol 7 No. 1, Maret 2013, hal 749-752

Nuramal, A dan Ahmad FS. 2014. Analisa Pengaruh Jarak Celah Elektroda Busi Terhadap Performa Motor Bakar 4 Langkah Studi Kasus Pada Motor

(52)

78

Bakar Honda GX-160. Jurnal Ilmiah Bidang Sains-Teknologi Murni Disiplin dan Antar Disiplin Vol. 1 No.14. TahunVIII maret 2014

Oetomo, JAS dkk. 2014. Analisis Penggunaan Koil Racing Terhadap Daya Pada Sepeda Motor. Jurnal Teknik Mesin, Tahun 22, No. 1, April 2014, hal 46-56 Pertamina. 2007. Material Safety Data Sheet Gasoline 92. Jakarta: PT. Pertamina

(Persero)

Raharjo, WD dan Karnowo. 2008. Mesin Konversi Energi. Semarang: UNNES PRESS

Rizal, MS. 2013. Konversi Energi. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

Sarwono, E dkk. 2013. Study Experimental Pengaruh Spark Plug Clearance Terhadap Daya Dan Efisiensi Pada Motor Matic. Jurnal Proton Vol. 5 No 1/Hal 18-22.

Siswanto, I dan Yosep E. 2015. Peningkatan Performa Sepeda Motor Dengan Variasi CDI Programmable. Jurnal Science Tech LP2M UST Yogyakarta Vol. 1 No.1 Agustus 2015, 1-12.

Soenarto, N dan Shoici F. 2002. Motor serba guna. Jakarta: Pradnya Paramita. SuaraMerdeka. 2015. Pasar Motor Matic Melejit. Online.

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/pasar-motor-matic-melejit/. diakses Selasa 23 November 2016

Subroto. 2009. Pengaruh Penggunaan Koil Racing Terhadap Unjuk Kerja Motor Bensin. Jurnal MEDIA MESIN, Vol. 10, No. I, Januari 2009, 8-14.

Suratman, M. 2002. Servis dan Teknik Reparasi Sepeda Motor. Bandung: CV.Pustaka Grafika.

Sutiman. 2013 . Sistem pengapian elektronik. Yogyakarta: PT. Citra Aji Parama Tjatur, A. 2013. Pemeliharaan Kelistrikan Sepeda Motor. Jakarta: Direktorat

Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

Toyota. n.d. Dasar-Dasar Automobil. Jakarta: P.T. Toyota-Astra Motor

Toyota.n.d. New Step 1 Manual Training Toyota. Jakarta: Toyota Astra Motor Toyota. 1994. New Step 2 Manual Training Toyota. Jakarta: Toyota Astra Motor.

(53)

79

Widodo, ES dan Zephini A. 2016. Pengaruh Kualiatas Transformator Step Up Pengapian Terhadap Emisi gas Buang dan Performa Motor satu Silinder 4-Tak. Jurnal. Prosiding SNATIF Ke 3 Tahun 2016

Wikipedia. 2015. Honda Vario.Online. https://id.wikipedia.org/wiki/Honda_Vario . diakses Kamis 18 Februari 2016

Gambar

Gambar 4. 16 Diagram Grafik Perbandingan SFC pada Celah Elektroda Busi 1,1   mm Menggunakan Koil Standard dan Koil Racing .......................
Gambar 2. 1. Proses Pembakaran Motor 4 Langkah    (Jama & Wagino, 2008a: 70-73)
Gambar 2. 3. Kurva Timing Pengapian  (Tjatur, 2013: 66)
Gambar 2. 4. Cara Kerja CDI-AC  (Jama & Wagino, 2008b: 211)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Aktivitas katalitik tertinggi dari TS-1 mesopori pada oksidasi Aktivitas katalitik tertinggi dari TS-1 mesopori pada oksidasi fenol diperoleh pada kondisi reaksi : pelarut

Tujuan dari peneliti adalah untuk mengetahui bagaimanakah implementasi pembelajaran kooperatif model jigsaw untuk meningkatkan kemandirian belajar siswa dan hasil belajar IPS

efektivitas pengadaan barang atau jasa konvensional dengan elektronik, yaitu memberi tanda ( X ) pada kolom yang dianggap mewakili pendapat anda. KLASIFIKASI : R = Apabila

Pembuatan Papan Partikel (Particle Board) dari Tandan Kosong Sawit (Elaeis guineensis Jacq) dengan Perekat Likuida Kulit Batang Jambu Biji (Loly Adinegara, Halaman, 19 Tabel,

perencanaan sampai penilaian terhadap tindakan nyata di dalam kelas yang berupa kegiatan belajar-mengajar, untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi pembelajaran

PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA BID ANG PENYELENGGARAAN D AN EVALUASI TERHAD AP KINERJA PEGAWAI D I PUSAT PEND IDIKAN D AN PELATIHAN (PUSD IKLAT) GEOLOGI BAND UNG Universitas

Untuk meningkatkan hasil belajar biologi siswa setelah dilakukan model. pembelajaran

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) Unsur Intrinsik dalam naskah drama Lautan Bernyanyi karya Putu Wijaya, (2) Keterjalinan antar