• Tidak ada hasil yang ditemukan

KORUPSI PENGHAMBAT KEMAJUAN BANGSA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KORUPSI PENGHAMBAT KEMAJUAN BANGSA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

KORUPSI PENGHAMBAT KEMAJUAN BANGSA

disusun oleh

Nama : Muhammad Sofyan Salim Nim : 05.12.1107

Kelompok : G

Dosen : M. Ayub Pramana, SH Jurusan : Si-S1-Reguler

JURUSAN SISTEM INFORMASI

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM

YOGYAKARTA 2011

(2)

ABSTRAK

Dari peangamatan, penelitian dan pangkajian penulis tentang masalah korupsi di negeri ini, penulis menyimpulkan bahwa pemenyebab utama kemiskinan dan ketak seimbangan pembangunan, keadilan sosial dan kesejahtraan di Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Korupsi.

Oleh karena itu perlu adanya gerakan pembersihan atau pembasmian tindak kejahatan korupsi, yang tidak memandang bulu antara kaya, miskin, atasan atau bawahan. Demi menjamin keadilan kemanusian dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Serta untuk kemajuan dan keadilan kesejahteraan bangsa dan negara ini.

Langkah-langkah pembersihan korupsi, harus dilakukan dengan menggunakan pendekatan pendidikan, sosiologi, budaya, sejarah dan yuridis atau hukum. langkah terakhir adalah inti yang mengandung esensI atas unsur-unsur dari semua pendekatan-pendekatan yang ada.

(3)

I. KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “KORUPSI PENGHAMBAT KEMAJUAN BANGSA”

Makalah ini berisikan informasi tentang bagaimana KORUPSI PENGHAMBAT KEMAJUAN BANGSA atau yang lebih khususnya membahas penyebab serta langkah-lagkah mengatasi korupsi. perspektif korupsi dari segi historis, sosiologi dan Yuridis juga akan penulis paparkan dalam makalah ini. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang bahaya korupsi bagi negara kita.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Yogyakarta 24 Oktober 2011

(4)

II. Latar Belakang Masalah

Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus, politisi maupun pegawai negeri ataupun pegawai swasta, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Korupsi di Indoseia seakan menjadi budaya bangsa yang terus menerus mengalami peningkatan baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Seperti yang terlihat dewasa ini, isu korupsi menjadi pembahasan menarik pemerintah yang sangat kompleks dan sulit di atasi. Korupsi juga menjadi senjata para elit dalam kampanye pemilu untuk menarik masa namun setelah terpilih nihil implementasi. Sehingga membuat para pelakunya merasa aman dan semakin leluasa untuk melakukan aksinya.

Terkadang para elit politik serta partai yang mewadahinya menjadi tempat berkembang biaknya para koruptor yang sangat merugikan bangsa ini serta menjadikan rakyat semakin melarat. Oleh karena itu pemberantasan korupsi haruslah menjadi prioritas utama dari pemimpin negara ini agar tercipta tatanan sosial yang bersih dari ketakadilan dan kepentingan individu serta demi memajukan kesejahteraan sosial yang merata di semua daerah kesatuan Republik Indonesia.

Pemberantasan korupsi juga harus datang dari kesadaran individu bangsa ini, artinya segala entitas manusia yang ada di negara ini harus terlibat aktif. Semua elemen masyarakat harus terlibat secara tulus tanpa ada keinginginan lain dari apa yang dilakukannya. Semua itu hanya bisa di realisasikan dengan pendidikan yang luhur yang akan melahirkan budaya luhur yang akan menjadi senjata ampuh negara ini untuk maju dan bersaing di kancah global.

(5)

III. Rumusan Masalah

Agar pembahasan msalah lebih terstruktur dan sistematik maka rumusan masalah dibatasi pada:

o Apa penyebab korupsi dan mengapa korupsi semakin meningkat o Bgaimana cara mengantisipasi, mengatasi dan memberantas korupsi o Bagaimana membangun suatu budaya yang bebas dari korupsi IV. PENDEKATAN

4.1 Korupsi dari sudut pandang Historis  Definisi korupsi secara etimologi

Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus, politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

 Korupsi dalam sejarah manusia

Masalah korupsi barangkali telah sama sejarahnya dengan sejarah manusia itu sendiri. Demikian pula perjuangan untuk menentangnya, juga tidak kurang lamanya dalam sejarah manusia itu. Namun korupsi dalam bentuk dan ruang lingkupnya seperti sekarang ini, dengan bentuk, rupa, dan cara yang kita hadapi sekarang ini, mungkin belum pernah ada dalam sejarah umat manusia sebelumnya. Sekarang, korupsi dapat menjatuhkan sebuah rezim dan bahkan juga dapat menyengsarakan suatu bangsa.

Hampir tidak akan ada orang yang akan mengatakan setuju terhadap praktek korupsi, karena sangat bertentangan dengan segala nilai luhur yang dimiliki manusia. Memang, masih ada orang yang dapat memahami gejala korupsi itu, apabila kita memandangnya dari segi gaji resmi pegawai negeri yang amat tidak mencukupi, sehingga mereka menghalalkan cara-cara lain untuk bisa menutup kebutuhan-kebutuhan tersebut.

(6)

Amerika Serikat tampak telah menjadi perintis yang pantas untuk mendapatkan penghormatan tersendiri, karena telah mengkriminalkan tindakan pemberian suap itu, baik yang dilakukan oleh Amerika Serikat itu sendiri maupun yang dilakukan ditempat-tempat lain, seperti Dunia Ke-3. Sejauh ini, perhatian lebih banyak ditujukan kepada uang suap yang diberikan perusahaan Internasional kepada pegawai atau pejabat pemerintahan dinegara-negara berkembang.

Hal itu memberikan kesan seakan-akan masalah ini pada pokoknya adalah masalah negara berkembang saja, kemudian mulai terbukti, bahwa ternyata keadaannya tidak demikian, karena sebagaimana diungkapkan dalam peribahasa, Orang tidak akan dapat bertepuk, hanya dengan sebelah tangan saja.

 Korupsi dalam sejarah Indonesia

Korupsi di Indonesia sudah 'membudaya' sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh dari yang di harapkan.

Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam "budaya korupsi" yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan "perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain" dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.

(7)

 Era Sebelum Indonesia Merdeka

Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh "budaya-tradisi korupsi" yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.

Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi - memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan - belum nampak di permukaan "Wajah Sejarah Indonesia".

Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.

Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian

(8)

Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.

Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah ada yang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan "character building", mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.

Belanda memahami betul akar "budaya korup" yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik "Devide et Impera" mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta "berintegrasi' seperti sekarang. Gejala korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris "belum mengenal" atau belum memahaminya.

Perilaku "korup" bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar "mengkorup" harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda.

(9)

Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang "luar biasa" baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.

Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat "nrimo" atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.

Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran.

Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Dalam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya "dibiarkan" miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak "penguasa".

Budaya yang sangat tertutup dan penuh "keculasan" itu turut menyuburkan "budaya korupsi" di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan "korup" dalam mengambil "upeti" (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung.

(10)

Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi.

Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menyebabkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku "memaksa" rakyat kecil, di pihak lain menambah "beban" kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.

Kebiasaan mengambil "upeti" dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 - 1942) minus Zaman Inggris (1811 - 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 - 1837), Aceh (1873 - 1904) dan lain-lain.

Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem "Cuituur Stelsel (CS)" yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.

Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat "manusiawi" dan sangat "beradab", namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya "Sistem Pemaksaan". Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan "Sistem Pembudayaan" menjadi "Tanam Paksa"

(11)

Seperti apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh "Belanda Item" (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda.

2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)

3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).

4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.

5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka

kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh "Belanda Item" atau para pengumpul.

6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh "Belanda Item" yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tida mengenal kornpromi.

 Era Pasca Kemerdekaan

Bagaimana sejarah "budaya korupsi" khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya "Budaya korupsi" yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah

(12)

diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.

Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.

Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi - Paran dan Operasi Budhi - namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.

Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan - istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.

Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda). Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.

(13)

Lembaga ini di kemudian hari dikenal dengan istilah "Operasi Budhi". Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, "prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain".

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

 Era Orde Baru

Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.

Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan

(14)

banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya "macan ompong" karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) tugasnya antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

 Era Reformasi

Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya "korupsi" lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit "Virus Korupsi" yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara "konkesuen" alias "kelamaan".

(15)

Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.

Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.

Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.

Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan

(16)

MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.

4.2 Korupsi dari sudut pandang Sosiologis

Siapapun yang mencoba melakukan analisis sosiologi tentang korupsi niscaya akhirnya akan dihadapi pada suatu problem metodologi. Apa yang biasa dilakukan oleh seorang sosiologi adalah mengamati fenomena beserta efek – efeknya dan mengumpulkan sebanyak mungkin keterangan – keterangan rahasia. Bahkan mengumpulkan sebanyak mungkin keterangan – keterangan rahasia.

Sosiologi yang mempelajari fenomena korupsi haruslah betul – betul mengenal sejarah , kebudayaan , bahasa dan paling tidak satu missal yang kompleks dan kaya yang memungkinkan untuk mengembangkan hipotesa – hepotesanya. Tanpa pengetahuan latar belakang itu , hampir tidak mungkin untuk mengajukan pandangan yang bermanfaat diluar kondisis umum. Demikian pula tanpa suatu pengamatan lama yang terus – menerus atas fenomena itu , hampor tidak mungkin untuk mengkaji validitas generalisasi tertentu tentang makna dan fungsi korupsi.

Dalam usaha memberantas korupsi terkesan oleh dua sumber korupsi yang senantiasa berulang , buruknya hokum dan buruknya manusia . Sebagaima yang di ungkapkan Syed Hussein “ Bahwa sejarah membuktikan tidaklah mungkin menyelamatkan pemerintah yang layak dengan cuma bertopang pada kekuatan hukum untuk mengendalikan para pejabat , sementara mereka sendiri bukan orang yang tepat untuk pekerjaannya.

(17)

Demikian juga adalah sia- sia untuk mendambakan pemerintahan yang efisien , yang memilki orang – orang baik dalam posisi yang layak, bila Anda memagari mereka dengan setumpuk larangan yang rumit dan terperinci sekali.

Wang An Shin berpendapat dalam analisis terakhir yang ia yakini , dua persyaratan mutlak melawan korupsi adalah para pemegang kekuasaan yang bermoral tinggi dan hokum yang efisisen dan rasional. Masing – masing tidak berfungsi tanpa yang lainnya. Yang satu memberilkan kondisi kepada yang lain.

Makna korupsi sebenarnya adalah pejabat atau pegawai negeri yang menerima sodoran yang diberikan oleh seorang swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan – kepenyingan si pemberi .Terkadang perbuatan menawarkan pemberian seperti itu atau pemberian yang lain yang menggoda juga tercakup dalam hal itu. Pemerasan yakni permintaan pemberian – pemberian atau hadiah seperti itu dalam melaksanakan tugas – tugas public, juga bias dipandang sebagai korupsi.

Sesungguhnya istilah itu terkadang juga dikenakan pada pejabat – pejabat yang menggunakan dana public yang mereka urus bagi keuntungan mereka sendiri, dengan kata lain mereka yang bersalah melakukan penggelapan diatas harga yang harus dibayar oleh public. Fenomena lain yang bias dipandang sebagai korupsi adalah pengankatan sanak saudara , teman – teman atau rekan – rekan politik pada jabatan – jabatan public tanpa memandang jasa mereka maupun konsekuensi pada kesejahteraan public disebut nepotisme.Dengan demikian ada tiga tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi : penyuapan (bribery ) , pemerasan ( extortion ) dan nepotisme. Semua itu tidak sama , namun ada benang merah yang menghubungkan ketiganya dalam penempatan kepentingan – kepentingan public.

(18)

Ciri – ciri korupsi adalah sebagai berikut :

(a) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama seperti kasus pencurian , atau penipuan .

(b) Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali dimana ia telah merajalela dan begitu dalam berurat – berakar.

(c) Korupsi melibatkan elemen keuntungan dan timbal balik . Kewajiban dan keuntungan tidaklah selalu uang.

(d) Mereka yang mempraktekkan korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi

perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum.(e) Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan – keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan – keputusan itu.

(f) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan , biasanya pada badan public atau masayarakat umum.

(g) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan .(h) Setiap bentuk orupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktifdari mereka yang melakukan tindakan itu.

(i) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma- norma tugas dan pertanggung jawaban dalam tatanan masyarakat. Suatu perbincangan tentang korupsi bisa dibagi kedalam bidang masalah:

(a) fungsi korupsi , (b) sebab – sebab korupsi dan (c) jalan – jalan dan cara – cara menghilangkan dan mengekang pengaruh korupsi.Dalam hal ini akan segera terlihat sebab – sebab dan fungsi korupsi dalam negeri – negeri yang sedang berkembang menderita kekurangan metodologi serius.

Contoh dekat yang terbaik adalah pengakuan bahwa korupsi mempunyai sumbangan yang positif bagi kemajuan kawasan – kawasan yang sedang berkembang.Konteks suatu masyarakat yang telah membikin uang suap menjadi “pelumas yang mempercepat mekanisme administrasi” Adalah ketika memikirkan uang sogok dalam konteks total, ketika memperoleh gambaran yang berbeda tentang fungsi korupsi yang bersifat memeras.

(19)

Contoh contoh berikut bias diamati oleh siapa saja yang punya waktu dan kesabaran untuk berwaspada terhadap efek – efek korupsi yang bersifat memeras. Transaksi – transaksi uang suap yang tak henti – hentinya dalam kawasan yang sedang berkembang yang melibatkan entah berapa ratus dolar dan entah berapa ratus ribu keputusn – keputusan dunia usaha menjadi beban bagi public, karena biasa untuk uang sosgok akhirnya akan berjalan terus menuju konsumen.

Meskipun dalam kasusu – kasus tertentu uang sosgok meningkatkan efisiensi, namun secara keseluruhan ia cenderung menurunkan efisiensi kepegawain.Dalam praktek yang sebenarnya, korupsi yang bersifat memeras merupakan suatu fenomena yang cenderung menjalar dengan cepat, yang membawa keteledoran dan ketidak efisiensinan.Korupsi merongrong respek bagi kewenangan yang ada.

Secara garis besar, korupsi dapat dibedakan menjadi tiga tahap :

(a) Tahap dimana korupsi relative terbatas, tanpa mempengaruhi kehidupan politik yang luas.

(b) Tahap kedua adalah dimana korupsi telah merajalela dan menembus segala kehidupan. Hampir tidak dapat dilakukan tanpa suapan.

(c) Tahap ketiga dari korupsi adalah yang paling menarik dan terkadang sulit untuk dibicarakan. Hal ini terjadai apabila korupsi menjadi membinasakan diri sendiri yang menghancurkan bangunan masyarakat.

Sebab – sebab korupsi anatara lain :

(a) Ketiadaan dan kelemahan kepemimpinan dalam posisi – posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang

menjinakkkan korupsi.

(b) Kelemahan – kelemahan pengajaran etika. (c) kolonialisme.

(d) Kurangnya pendidikan. (e) Kemiskinan.

(20)

(g) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi. (h) Stuktur pemerintahan.

(i) Perubahan radikal.Tatkala suatu system nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional.

(j) Keadaan masyarakat . Korupsi dalam suatu birokrasi bisa memberikan cerminan keadaan masyarakat secara keseluruhan.

Meskipun factor – factor diatas merupakan elemen – elemen pokok penyebab kejangkitan korupsi , namun dengan berdiri sendiri, factor – factor ini tidaklah cukup untu menerangkan fenomena itu. Suatu pengutaraan bentuk – bentuk korupsi menunjukkan bahawa korupsi , sebagaimana halnya tanaman parasit, akan menjalar memenuhi setiap lingkungan yang cocock dan menyediakan kebutuhan- kebutuhannya, dan paling jelas kebiasaan pemberian hadiah adalah lingkungan – lingkungan yang memungkinkan.

Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan morala dan intelektual para pemimpin masyarakat. Kita bisa mencatat kondisi – kondisis berikut yang menjinakkkan korupsi , sekalipun tidak memeberantasnya.

(a) Suatu keterikatan positif pada pemeritahan dan keterlibatan spiritual dalam tugas dan kemajuan nasional dari public maupun demokrasi.

(b) Administrasi yang efisiendan penyesuaian stuktural yang layak dari mesin dan aturan pemerintah sehingga menghidari penciptaan sumber – sumber korupsi. (c) Kondisi sejarah dan sosiologi yang menguntungkan .

(d) Berfungsinya suatu system nilai yang anti korupsi.

(e) Kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar moral dan intelektual yang tinggi.

(f) Publik yang terdidik dengan integelensia yang cukup untuk menilai dan mengikuti tingkah laku peristiwa.

(21)

4.3 Korupsi dari sudut pandang Hukum

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasalpasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kerugian keuangan negara 2. Suap-menyuap

3. Penggelapan dalam jabatan 4. Pemerasan

5. Perbuatan curang

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan 7. Gratifikasi

Selain bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan diatas, masih ada tindak pidana lain yang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang pada UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Jenis tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi itu adalah:

1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi

2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar 3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka

4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu 5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu

(22)

Pasal-pasal berikut dibawah ini dapat dikaitkan dengan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.

 2.1. Melawan Hukum untuk Memperkaya Diri Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:

Rumusan korupsi pada Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999, pertama kali termuat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a UU No. 3 Tahun 1971. Perbedaan rumusan terletak pada masuknya kata ”dapat” sebelum unsur ”merugikan keuangan/perekonomian negara” pada UU No. 31 Tahun 1999. Sampai dengan saat ini, pasal ini termasuk paling banyak digunakan untuk memidana koruptor.

Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal ini, harus memenuhi unsur-unsur:

1. Setiap orang atau korporasi; 2. Melawan hukum;

3. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi; 4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

2.2. Menyalahgunakan Kewenangan

Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(23)

Rumusan korupsi pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, pertama kali termuat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1971. Perbedaan rumusan terletak pada masuknya kata ”dapat” sebelum unsur ”merugikan keuangan/perekonomian negara” pada UU No. 31 Tahun 1999. Sampai dengan saat ini, pasal ini termasuk paling banyak digunakan untuk memidana koruptor.

Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal ini, harus memenuhi unsur-unsur:

1. Setiap orang;

2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana;

4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 2.3. Menyuap Pegawai Negeri

Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001

Rumusan korupsi pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 209 ayat (1) angka 1 dan 2 KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.

Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi unsur-unsur:

1. Setiap orang;

2. Memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu;

3. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;

4. Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

(24)

Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 5 ayat (1) huruf b UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi unsur-unsur:

5. Setiap orang; 6. Memberi sesuatu;

7. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;

8. Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

2.4. Pemborong Berbuat Curang

Pasal 7 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001

Rumusan korupsi pada Pasal 7 ayat (1) huruf a dan b UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 387 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 7 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.

Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 7 ayat (1) huruf a UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi unsur-unsur:

1. Pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangunan; 2. Melakukan perbuatan curang;

3. Pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan; 4. Yang dapat membahayakan keamanan orang atau keamanan barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang.

Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi unsur-unsur:

1. Pengawas bangunan atau pengawas penyerahan bahan bangunan;

2. Membiarkan dilakukannya perbuatan curang pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan;

(25)

3. Dilakukan dengan sengaja;

4. Sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) huruf a.

2.5. Pegawai Negeri Menerima Hadiah/Janji Berhubungan dengan Jabatannya Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Rumusan korupsi pada Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 418 KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001

2.6. Pegawai Negeri Memeras dan Turut Serta Dalam Pengadaan Diurusnya Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. ...

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan

kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

(26)

f. ...

i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskanuntuk mengurus atau mengawasinya.

Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf e dan i UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 423 dan 435 KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001

2.7. Gratifikasi dan Tidak Lapor KPK

Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut::

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;;

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 12 C UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan

(27)

Tindak Pidana Korupsi.

(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi

dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undangundang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Rumusan korupsi pada Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 adalah rumusan tindak pidana korupsi baru yang dibuat pada UU No. 20 Tahun 2001. Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 12 B dan 12 C UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi unsaur-unsur:

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2. Menerima gratifikasi (pemberian dalam arti kata luas);

3. Yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya;

4. Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi.

(28)

V. Pembahasan

Dengan begitu banyak fakta tentang korupsi yang berhasil merugikan negara maka sudah sepatutnya pemerintah mendukung segala upaya dalam masyarakat untuk merealisasikan segala tindakan pemberantasan korupsi yang berlandaskan fakta otentik bukan berlandaskan kepentinga seorang figur atau tokoh masyarakat, klompok maupun agama. Dalam hal ini ditinjau dari segi budaya korupsi dari bangsa ini perlu adanya pembelajaran sosial yang luhur kepada masyarakat agar mampu membaca situasi dan tidak mudah terjebak dalam kondisi politik kepentuingan dari individu-individu rakus serta arogan yang mengangkat isu korupsi demi merealisasikan ambisinya.

Masyarakat perlu memahami dan menyadari secara mendasar perilaku setiap individu calon-calon pemimpin bangsa ini serta kelompok-kelompok atau organisasi serta partai yang mendukung setiap calon pemimpin bangsa. Agar tercipta keadilan bagi setiap manusia yang hidup di bumi pertiwi ini.

Sentimen kesukuan dan agama yangg sudah mengakar sejak awal pembentukan bangsa ini juga menjadi faktor penyebab terjadinya korupsi, dimana setiap kelompok melakukan nepotisme demi kemajuan daerah tempat kelahiranyya sendiri tanpa meperdulikan nasib saudara sebangsanya yang memiliki kelemahan intelektual untuk mengembangkan daerahnya.

Akibat ketidak jujuran kelompok ”intelek” yang berkuasa naka suatu bangsa akan menjadi terbelakang bukan karena sumberdaya manusia atau sumberdaya alam yang tidak ada namun akibat dari keegoisan setiap individu yang ada dalam kelompok intelek tersebut yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Selain itu, terjadi juga friksi diantara kelompuk ”intelek” akibat dari budaya mau menang sendiri yang mendasari sifat dari setiap individu yang ada dalam kelompok tersebut.

(29)

Maka lahirlah sebuah tindakan curang, kotor dan ogois yang menghalalkan segala cara demi memperkaya diri sendiri. Sifat korup dari kelompok ”elit” tersebut melahirkan pemimpin-pemimpin yang tidak bertanggungjawab yang suka memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.

Oleh karena itu perlu adanya pembelajaran dengan implementasi nyata tentang bahaya korupsi dan pengaruhnya pada tatanan sosial masyarakat, agar tatanan sosial suatu bangsa menjadi harmonis, sejahtera dan makmur . Sesuai dengan keinginan luhur manusia keteraturan serta keadilan adalah obsesi alami manusia yang jika tidak dikotori dengan budaya kotor yang datang dari luar atau lingkungan yang kurang sehat dan berlanjut terus menerus.

Secara otomatis individu tersebut akan menjadi bagian pembentukan karakter dari lingkungan yang kurang baik tersebut, individu tersebut akan menjalani kehidupan konkritnya sesuai dengan nilai-nilai buruk yang di dapatkannya dari lingkungan yang buruk tersebut.

Menanamkan nilai-nilai kebaikan seperi pembudayaan yang baik. akan melahirkan individu yang bertanggungjawab yang amanah serta jujur dan pantas untuk diandalkan. Pembudayaan termasuk didalamnya nilai-nilai agama dalam artian budaya individu tersebut berlandaskan ahamanya karna jika budaya tanpa landasan agama, maka akan melahirkan individu yang kurang terbuka dan cenderung sukuisme atau rasis.

Agama menjadi bagian mendasar dari proses pembudayaan, karena setiap agama pasti mengajarkan keberagaman yang lebih luhur dari pandangan filsafat apapun. Sebab ajaran-ajaran agama bersifat universal dan tidak terjebak dalam ruang-ruang tertentu dalam tatanan sosial masyarakat.

Selain itu pendidikan yang berkualitas juga mempengaruhi tatanan sosial suatu bangsa kemerataan menjadi bagian utama dalam pembangunan suatu tatan sosial yang maju dan bebas dari korupsi, karena jika pendidikan yang baik menjadi mudah dijangkau

(30)

masyarakat akan mengakibatkan keinginan untuk belajar menjadi tinggi di kalangan sosial masyarakat. Ketersediaan fasilitas pendidikan adalah bagian tak terpisahkan dari pendidikan, oleh sebab itu pemerintah suatu negara harus memperhatikan ketersediaan fasilitas yang ada dalam dunia pendidikan yang ada dalam negara tersebut.

Dan untuk bisa memberantas korupsi di negeri ini setiap elemen yang terpelajar harus bersungguh-sungguh memberantas korupsi yang ada di negeri ini, tanpa memandang tingkatan sosial, kelas atau jabatan dari setiap terdakwa kasus korupsi agar kepercayaan masyarakat meningkat terhadap lembaga-lembaga yang memiliki andil untukmemberantas masalah ini.

Kepemimpinan yang jujur, amanah, adil serta berani dalam mengambil tindakan akan menjadikan iklim sosial yang sehat, dan melahirkan individu-individu penerus cita-cita bangsa lebih baikdan lebihberwibawa serta akan mampu menjalankan amana yang di berikan bangsa ini kepada tiap-tiapindividu tersebut.

VI. Kesimpulan dan saran

Bahaya korupsi, seperti yang telah kitaketahui adalah bahaya yang benar-benar mengancam tatanan sosial suatu bangsa serta kemajuan bangsa itu sendiri. oleh karena itu perlu adanya kesadaran setiap individu suatu bangsa tentang bahaya korupsi. Agar setiap budaya ini bisa sirna dari tatanan sosial budaya bangsa ini.

Penulis menyarankan kepada setiap orang yang mebaca tulisan ini, untuk lebih meningkatkan nilai-nilai kebaikan dalam agamanya masing-masing demi membentuk karakter yang bersemangat, amanah, siddiq, serta tidak gentar menghadapi kemungkaran yang ada di bumi ini. Penulis menyadari tulisan ini jauh dari sempurna karena penulis bukanlah manusia sempurna, penulis hanya berusaha untuk menyampaikan apa yang penulis ketahui tentang bahaya korupsi. Oleh karena itu penulis mohon maaf atas segala kekurangan dalam tulisan ini, menerima masukkan serta kritikan yang membangun dari setiap pembaca. Kesalahan hanya milik manusia, kesempurnaan milik Allah s.w.t

(31)

Referensi

Korupsi dalam sejarah Manusia

http://id.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2051406-korupsi-dalam-sejarah-manusia/

Sejarah korupsi di indonesia

http://asepsofyan.multiply.com/journal/item/20?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal %2Fitem

Korupsi

http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi

Tebang pilih kasus korupsi dalam tinjauan sosiologi hokum http://www.lbh-makassar.org/?p=3807

Dasar Logika Part 11

http://fisip.uns.ac.id/blog/ori/2011/05/11/dasar-logika-part-11/ Kpk (Komisi Pemberantasan Korupsi Rpublik Indonesia)

Definisi korupsi menurut prespektif hukum dan e-announcement untuk tatakelola pemerintahan yang lebih terbuka, transparan dan akuntabel.

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga urutan untuk merancang sebuah robot ialah mulai dari mendesign mekanik , kemudian bagian elektrik dan yang terakhir bagian programming tetapi untuk dapat merancang

Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi akibat pemberian atau pemakaian jenis obat-obatan tertentu yang biasanya dikarakteristik

Dokumen Rencana Strategis Disperakim (berdasarkan pada Pergub Jateng No 37 tahun 2017 tentang Rencana Strategis Perangkat Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 - 2018, untuk SKPD

PT ROHM AND HAAS INDONESIA meminta setiap pelanggan atau penerima LDK ini untuk mempelajarinya secara cermat dan berkonsultasi dengan ahli-ahli yang sesuai, sebagaimana

Berapa roti bolu dan roti selai harus diproduksi supaya biaya yang dikeluarkan minimum dengan keterbatasan bahan baku tepung 3 kg dan gula 2 kg?.. Banyaknya variabel sisipan

Ada hal yang harus saya ingatkan kepada Anda, bila Anda tidak pernah membuat keputusan dan menentukan pilihan, maka pada akhirnya orang lain yang akan memutuskan dan

Ini bisa menjadi salah satu penjelasan mengapa remaja wanita dalam hal ini siswi SMA Islam Al Azhar 2 tidak begitu memperhatikan citra tubuh karena dalam berpakaian di sekolah

memperhatikan isi kolom dalam kisi-kisi (Materi yg diujikan, hasil belajar/ pengalaman belajar/ indikator pembelajaran, dan kompetensi dasar. • INDIKATOR SOAL dirumuskan