• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemodelan Jumlah Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) Kota Palopo Menggunakan Model Fungsi Transfer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pemodelan Jumlah Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) Kota Palopo Menggunakan Model Fungsi Transfer"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

Pemodelan Jumlah Penderita Demam Berdarah

Dengue (DBD) Kota Palopo Menggunakan Model

Fungsi Transfer

1Taqdir Al-faritisi dan 2Asrirawan 1,2Matematika, Fakultas Sains

Universitas Cokroaminoto Palopo Jl. Lamaranginang Kota Palopo

Email: [email protected] dan [email protected]/[email protected]

ABSTRAK

Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu masalah utama bagi pemerintah. Tercatat bahwa penyebaran kasus DBD di Indonesia masih cukup tinggi sehingga pemerintah tetap berupaya untuk menekan jumlah penderita DBD tiap tahun. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat akurasi peramalan jumlah penderita DBD Kota Palopo menggunakan model SARIMA dan model fungsi transfer berdasarkan nilai MSE terkecil. Peramalan dengan model SARIMA menghasilkan SARIMA (1,1,1)(1,0,0 sebagai

model terbaik, dengan nilai MSE 281,34. Sedangkan peramalan dengan model fungsi transfer menghasilkan nilai MSE sebesar 252,73. Berdasarkan nilai MSE kedua model, dapat disimpulkan bahwa model fungsi transfer lebih baik dalam meramalkan jumlah penderita DBD Kota Palopo tahun 2015 dibandingkan dengan model SARIMA sebab memiliki nilai MSE yang lebih kecil dibandingkan dengan model SARIMA (1,1,1)(1,0,0 .

Kata kunci: model SARIMA, model fungsi transfer, peramalan jumlah DBD.

I. PENDAHULUAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes (Ae). Ae aegypti merupakan vektor yang paling utama, namun spesies lain seperti Ae albopictus juga dapat menjadi vektor penular. Nyamuk penular dengue ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat yang memiliki

ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Penyakit DBD banyak dijumpai terutama di daerah tropis dan sering menimbulkan kejadian luar biasa. Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya DBD antara lain rendahnya status kekebalan kelompok masyarakat dan kepadatan populasi nyamuk penular karena banyaknya tempat perindukan nyamuk yang biasanya terjadi pada musim penghujan. Beberapa tahun terakhir, kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) seringkali muncul di musim pancaroba (Kemenkes RI, 2015).

Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang, dan 641 diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni tahun 2013 dengan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus meninggal sebanyak 871 penderita (Tjandra, 2015). Salah satu kota potensial bagi penularan DBD adalah kota Palopo, karena jumlah penduduknya yang padat dan mempunyai mobilitas yang tinggi sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar pada tahun

(2)

3 tersebut jumlah penderita DBD Kota Palopo

sebanyak 159 orang. Penyebaran penyakit DBD dipengaruhi oleh perubahan cuaca yang menyebabkan peningkatan suhu udara, kelembaban dan curah hujan.

Iriani (2012) mengatakan bahwa terdapat korelasi antara curah hujan dan peningkatan jumlah kasus DBD. Perubahan cuaca ini akan menyebabkan modifikasi dalam habitat nyamuk Aedes aegypti. Sebuah model prediksi jumlah kejadian penyakit DBD perlu dikembangkan untuk melakukan antisipasi atau menentukan tindakan apa yang harus dilakukan pemerintah sebagai upaya penanggulangan kejadian DBD. Peramalan DBD telah banyak dilakukan di berbagai negara seperti China, Bangladesh, India dengan menggunakan beberapa metode peramalan yang ada. Salah satu contoh metode peramalan yang telah digunakan sebelumnya adalah SARIMA. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, metode SARIMA memang sesuai untuk data musiman yang fluktuatif dilihat dari grafik yang ditampilkan di penelitian-penelitian tersebut. Salah satu kasus yang mempunyai pola data musiman adalah data jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) yang telah diteliti oleh Garbhi, Quenel, dan Marrama (2011). Garbhi et al. (2011) menggunakan model SARIMA untuk memodelkan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) (2000-2006) di Guadeloupe, Perancis, dan menggunakan curah hujan, temperatur dan kelembapan udara sebagai variabel prediktor. Penelitian lainnya, Asrirawan (2014) melakukan peramalan jumlah penderita DBD di Kota

Surabaya menggunakan perbandingan antara model GSARIMA dan model SARIMA.

Model SARIMA hanya dapat digunakan untuk kasus-kasus univariat, belum bisa diterapkan pada kasus multivariat sehingga untuk memodelkan jumlah penderita DBD yang melibatkan variabel prediktor di perlukan model multivariat. Model-model yang masuk kelompok multivariat analisisnya lebih rumit dibandingkan dengan model-model univariat. Pada model multivariat sendiri bisa dalam bentuk analisis data bivariat (yaitu hanya data dua deret berkala) dan dalam bentuk data multivariat (yaitu data terdiri lebih dari dua deret berkala). Model-model multivariat diantaranya: model fungsi transfer, model analisis intervensi (intervention analysis), fourier analysis, analisis spectral dan vector time series models.

Model fungsi transfer merupakan salah satu model peramalan kuantitatif yang sering digunakan untuk peramalan data deret berkala yang multivariat. Model ini menggabungkan beberapa karakteristik analisis regresi berganda dengan karakteristik deret berkala ARIMA. Konsep fungsi transfer terdiri dari deret input, deret output, dan seluruh pengaruh lain yang disebut dengan gangguan. Model ini dapat digunakan untuk mendapatkan penentuan ramalan kedepan secara simultan Banyak hal di kehidupan ini yang dapat diramalkan untuk mendapatkan suatu perencanaan yang lebih baik. Kasus dalam bidang kesehatan, pertaniaan, penjualan juga bidang meteorologi dapat dilakukan peramalan

(3)

4 guna mengetahui langkah yang harus diambil

untuk memperkecil risiko yang tidak diinginkan. Berdasarkan analisis diatas maka dalam penelitian ini akan dilakukan peramalan jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) di kota Palopo tahun 2015 menggunakan model fungsi transfer dan model SARIMA dan membandingkan tingkat akurasi peramalan dari kedua model tersebut.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Analisis Deret Waktu

Wei (1994) mendefinisikan deret waktu sebagai deretan data atau amatan yang terurut berdasarkan waktu tertentu, dengan ketentuan memiliki selang waktu yang sama. Selang waktu tersebut dapat berupa harian, mingguan, bulanan, kuartal, bahkan tahunan. Sedangkan Bowerman et al (2005) mendefinisikannya sebagai deretan data atau amatan yang terurut pada variabel tertentu. Data deret waktu dapat didefinisikan dengan Y adalah suatu fungsi daripeubah bebas t, yang didapat dari suatu proses yang tidak diketahui model matematikanya. Dalam proses peramalan menggunakan data deret waktu, tidak melibatkan variabel bebas lain selain indeks waktu (t) itu sendiri, sehingga mengabaikan faktor-faktor bebas lainnya, sebab yang akan diketahui adalah model perilaku data, bukan faktor apa yang menyebabkan fluktuasi data (Suhartono, 2001).

2.2 Model Seasonal Autoregressive Integrated Moving Average (SARIMA)

Menurut Salamah et al. (2003) musiman adalah kecenderungan mengulangi pola tingkah gerak dalam periode musiman, biasanya satu tahun untuk data bulanan. Model ARIMA musiman merupakan model ARIMA yang digunakan untuk menyelesaikan time series musiman yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian tidak musiman (non-musiman) dan bagian musiman. Bagian non-musiman dari metode ini adalah model ARIMA.

Deret berkala musiman yaitu deret berkala yang mempunyai sifat berulang setelah beberapa periode waktu tertentu, misalnya satu tahun, satu bulan, triwulanan dan seterusnya. Oleh karena itu, deret berkala musiman mempunyai karakteristik yang ditunjukkan adanya korelasi yang kuat. Model ARIMA musiman atau model SARIMA (Seasonal Autoregresivve Intregrated Moving Average) secara umum ditulis dalam bentuk sebagai berikut: (Chatfield, 2004) ARIMA(p,d,q)(P,D,Q)s dengan: ( ) ( ) ( ) ( )

2.3 Model Fungsi Transfer

Makridakis et al. (1999) menyatakan bahwa, model fungsi transfer (multivariate autoregressive integrated moving average, disingkat MARIMA) bertujuan untuk menetapkan peranan indikator penentu

(4)

5 (leading indicator) dalam hal ini yaitu deret

input, dan menetapkan variabel yang dibicarakan (deret output). Seluruh model ARIMA pada dasarnya merupakan kasus khusus dari model-model fungsi transfer. Sebagai contoh, untuk ARIMA, apabila deret input dianggap sebagai at (white noise), dan

deret noise diabaikan maka deret output disebut Xt, maka berbagai macam proses

autoregresif (AR) dan moving average (MA) akan mengoperasikan input at untuk

menghasilkan output Xt. Model fungsi transfer

merupakan salah satu model peramalan kuantitatif yang dapat digunakan untuk peramalan data deret berkala yang multivariat. Fungsi transfer adalah menggabungkan karakter dari model-model ARIMA yang univariat dan beberapa karakter analisis regresi berganda.

a. Konsep Dasar Model Fungsi Transfer Asumsikan bahwa xt dan yt adalah deret

yang telah ditransformasi secara tepat sehingga keduanya stasioner. Dalam sistem linear single-input, single output, deret output yt

dan deret input xt berhubungan melalui filter

linear yaitu:

dengan ∑ mengacu kepada filter dari fungsi transfer, dan nt adalah deret

noise dari sistem yang bebas pada deret input xt. Istilah fungsi transfer biasanya digunakan

untuk menggambarkan frekuensi dari fungsi respon dalam literatur atau kepustakaan.

Persamaan (31) disebut sebagai Model Fungsi Transfer (Wei, 1994).

Koefisien dalam model fungsi transfer sering disebut sebagai bobot respon impuls (impulse response weights). Sebagai fungsi dari j, vj juga disebut sebagai fungsi respon

impuls. Model fungsi transfer dikatakan stabil apabila vj merupakan deret konvergen,

| | sehingga persamaan (31) disebut sebuah sistem stabil, jika ∑ menjadikan ∑ , dan disebut system kausal jika vj = 0 untuk j < 0.

Akibatnya, sebuah model disebut kausal apabila deret output disebabkan pengaruh deret input, dari awal hingga akhir, sepanjang sistem digunakan, tetapi tidak sebaliknya. Model kausal biasa juga dinamakan model realistis (realizable), karena model-model kausal banyak ditemukan dalam persoalan dunia nyata. Dalam praktik, sistem selalu berupa model stabil atau kausal, dan disajikan dalampersamaan berikut:

,

dengan ∑ | | disebut fungsi transfer, dengan xt serta nt

independen, Yt adalah deret output, Xt adalah

deret input, dan v0,v1,...,vj merupakan bobot

respon impuls (impuls response weight) atau bobot fungsi transfer.

Tujuan dari pemodelan fungsi transfer adalah untuk mengidentifikasi dan menduga fungsi transfer v(B) dan model noise untuk nt

(5)

6 input xt dan deret output yt. Kesulitan yang

dihadapi yaitu bahwa informasi pada xt dan yt

terbatas dan fungsi transfer v(B) dalam persamaan dibawah merupakan deret tak terbatas pada koefisien-koefisiennya. Untuk mengurangi kesulitan ini, disajikan fungsi transfer v(B) dalam bentuk pecahan sebagai berikut:

dengan dan b parameter kelambatan yang menunjukkan lag waktu sesungguhnya yang terjadi sebelum implus dari variable input menghasilkan efek atau pengaruh pada variabel output (Wei,1994).

Jika dan b telah diperoleh, maka pembobot respon implus ditaksir berdasarkan persamaan:

yang penyelesaiannya adalah:

, jika j<b, jikaj=b, jikaj=b+1, b+2,…,b+s, , jika j > b+s.

Hal ini berarti r buah pembobot respon impuls,

merupakan nilai awal

untuk persamaan diferensi

Menurut Makridakis et al (1999), orde dari fungsi transfer adalah j (menjadi orde tertinggi untuk proses differencing) dan terkadang dapat

lebih besar (karena itu tidak perlu dibatasi). Sehingga model fungsi transfer dapat juga ditulis sebagai berikut:

dengan yt adalah nilai Yt yang telah

ditransformasi dan di differencing, xt adalah nilai

Xt yang telah ditransformasi dan di differencing,

serta p, q, r, s, dan b adalah konstanta, dan menggantikan v(B) pada persamaan (35). Moving Average ditunjukkan oleh dan autoregresif untuk gangguan nt ditunjukkan

oleh . Biasanya (r, s, b) dan (p, q) ditulis dalam dua himpunan untuk menekankan bahwa (r, s, b) menunjukkan pembentukan parameter (parameterisasi) model fungsi transfer yang menghubungkan yt dan xt, sedangkan (p, q)

menunjukkan pembentukan parameter dari model gangguan (noise model).

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan tentang hal mendasar dalam penelitian beserta tahapan-tahapan dalam menjalankannya, diantaranya sumber data, struktur data, dan prosedur penelitian.

3.1 Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Palopo periode bulan Januari 2005 sampai dengan bulan Desember 2015 dengan jumlah data 132 dan data tersebut dibagi ke

(6)

7 dalam in-sample 120 data dan out-sample 12

data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Palopo.

3.2 Struktur Data

Adapun struktur data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Struktur Data Penelitian Jumlah Penderita DBD

Kota Palopo. Tahun Bulan Jumlah Penderita DBD(Y) Curah Hujan (X) 2005 Januari Y1 X1 Februari Y2 X2 . . . . . . . . . Desember Y12 X12 2006 Januari Y13 X13 Februari Y14 X14 . . . . . . . . . Desember Y24 X24 . . . . . . . . . . . . 2015 Januari Y121 X121 Februari Y122 X122 . . . . . . . . . Desember Y132 X132 3.3 Prosedur Penelitian

1. Model SARIMA Data DBD

Adapun tahapan-tahapan dalam pembentukan model SARIMA pada data jumlah penderita DBD yaitu:

1) Identifikasi, pertama-tama, lakukan identifikasi model SARIMA pada data jumlah penderita DBD, dengan membuat plot data deret waktu, plot ACF, dan plot PACF. Adapun langkah-langkah pada tahap identifikasi ini adalah:

a) Plot data deret waktu, ACF, dan PACF dari data jumlah penderita DBD yang ingin dimodelkan. Dari ketiga plot ini, dapat dilihat apakah data ada yang telah stasioner atau belum.

b) Apabila pada tahap sebelumnya terlihat bahwa data masih belum stasioner pada varians, hal ini dapat diatasi dengan menggunakan transformasi pangkat(power transformation).

c) Apabila data masih belum stasioner pada mean, maka perlu untuk dilakukan differencing pada data.

2) Estimasi parameter, setelah menetapkan identifikasi model sementara, selanjutnya parameter-parameter yang digunakan pada model SARIMA diestimasi dengan Maximum Likelihood Estimation (MLE). Setelah parameter diestimasi, maka lakukan uji signifikansi parameter yang menggunakan statistik uji t.

3) Pemeriksaan diagnostik, tahap ini terdiri atas dua sub-tahap yaitu:

a) Uji kenormalan galat yang menggunakan statistik uji Kolmogorov-Smirnov.

b) Uji kecukupan model yang menggunakan statistik uji Q.

4) Pemilihan model terbaik berdasarkan nilai MSE.

5) Peramalan dengan model SARIMA terbaik. 2. Model Fungsi Transfer Data DBD

Tahapan-tahapan dalam pembentukan model fungsi transfer pada data jumlah penderita DBD yaitu:

(7)

8 a. Identifikasi bentuk model, tahap ini memiliki

beberapa sub-tahap sebagai berikut.

1) Mempersiapkan deret input dan deret output. Dalam penelapan model fungsi transfer ini, pada deret output digunakan data deret waktu dari jumlah penderita DBD, sedangkan untuk deret input, digunakan data deret waktu curah hujan.

2) Prewhitening deret input. 3) Prewhitening deret output.

4) Perhitungan korelasi silang (cross correlation) dan autokorelasi untuk deret input dan output yang telah white noise.

5) Penaksiran langsung bobot respon implus.

6) Penetapan (r,s,b) untuk model Fungsi Transfer yang menghubungkan deret input dan output.

7) Penaksiran awal deret noise (nt) dan

perhitungan autokorelasi serta autokorelasi parsial untuk deret ini. 8) Penetapan (pn, qn) untuk model ARIMA

(pn, 0, qn) dari deret noise atau

gangguan (nt).

b. Estimasi parameter-parameter model dari model fungsi transfer menggunakan cls (conditional least squares).

c. Uji diagnosis model fungsi transfer, dalam tahap ini, sisaan atau residual dari model diperiksa apakah white noise untuk melihat sejauh mana asumsi berjalan. Tahap-tahapnya sebagai berikut.

1. Perhitungan korelasi silang antara nilai sisa dengan deret noise. Tahap ini dilakukan untuk memeriksa apakah deret noise at dan deret input xt adalah

independen atau saling bebas. Adapun pengujinya dilakukan dengan menggunakan statistik uji Q.

2. Perhitungan nilai autokorelasi untuk nilai sisa model (r, s, b) yang menghubungkan deret input dan output, untuk memeriksa kecukupan model noise. Untuk model yang cukup kedua ACF dan PACF sampel dan ̂t

tidak harus memperlihatkan suatu pola, pengujinya juga menggunakan statistik uji Q.

d. Pemilihan model terbaik berdasarkan nilai MSE.

e. Penggunaan model fungsi transfer.

3. Perbandingan Model SARIMA dan Model Fungsi Transfer

Kedua model terbaik yang telah di peroleh dari tahap sebelumnya akan dibandingkan untuk mengetahui, apakah dengan penambahan satu peubah pada model fungsi transfer dapat secara signifikan menghasilkan model yang lebih baik daripada model SARIMA. Dalam memperoleh model terbaik, digunakan beberapa kriteria pemilihan model yaitu MSE.

(8)

9 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Model SARIMA (Seasonal ARIMA) pada Kasus DBD Kota Palopo

1. Tahap Identifikasi Model SARIMA

Dalam tahap ini, diawali dengan membuat plot deret waktu dari data Demam Berdarah kota Palopo tahun 2005-2014 yang dapat dilihat pada Gambar 1. plot tersebut digunakan untuk mengetahui stasioneritas baik terhadap varians maupun mean.

120 108 96 84 72 60 48 36 24 12 1 70 60 50 40 30 20 10 0 Index D B D

Plot deret waktu DBD Kota Palopo

Gambar 1 Plot Deret Waktu Demam Berdarah Kota

Palopo Tahun 2005-2014

Plot Deret Waktu Demam Berdarah Kota Palopo Tahun 2005-2014 yang ditunjukkan oleh Gambar 1 mengindikasikan bahwa stasioner dalam mean teatapi belum stasioner dalam varians. Indikasi tersebut diperkuat dari plot ACF data Demam Berdarah berikut ini:

30 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 Lag A u to co rr e la ti o n

Fungsi Autokorelasi DBD Kota Palopo

(with 5% significance limits for the autocorrelations)

Gambar 2 Plot ACF Demam Berdarah Kota Palopo

Tahun 2005-2014

Berdasarkan plot ACF data menunjukkan indikasi model deret waktu musiman. Selanjutnya dilakukan proses transformasi

untuk menstasionerkan data dalam varians. Seperti yang terlihat pada gambar 3.

3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 22.5 20.0 17.5 15.0 12.5 10.0 7.5 5.0 Lambda S tD e v Lower CL Upper CL Limit Estimate 0.40 Lower CL 0.27 Upper CL 0.55 Rounded Value 0.50 (using 95.0% confidence) Lambda Box-Cox Plot of Z+0.0001

Gambar 3 Plot Transformasi Box-Cox Demam

Berdarah Kota PalopoTahun 2005-2014 Transformasi yang diguanakan adalah transformasi Box-Cox dengan data sebelumnya ditambahkan konstanta kecil (0,0001) untuk menghindari adanya nilai nol pada data. Untuk melihat data sudah stasioner yaitu, dilihat dari nilai rounded value. Jika nilai rounded value bukan 0 atau nilai rounded value > 0 maka data sudah stasioner dalam varians. Seperti dilihat pada gambar 4. 120 108 96 84 72 60 48 36 24 12 1 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Index TR A N S F

plot deret waktu DBD

Gambar 4 Plot Demam Berdarah Kota Palopo

setelah di Transformasi Tahun 2005-2014 Untuk mendapatkan plot stasioner yang lebih baik maka dilakukan differencing 1 kali, seperti dilihat pada gambar 5.

(9)

10 120 108 96 84 72 60 48 36 24 12 1 4 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 Index D IF F

plot deret waktu DBD

Gambar 5 Plot Demam Berdarah Kota Palopo

setelah di Differencing Tahun 2005-2014

Plot deret waktu Demam Berdarah Kota Palopo Tahun 2005-2014 setelah dilakukan differencing ditunjukkan oleh Gambar 6 mengindikasikan bahwa sudah stasioner dalam mean dan juga stasioner dalam varians. Berikut plot ACF dan PACF untuk data DBD yang telah di differencing. 30 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 Lag A u to co rr e la ti o n

plot fungsi autokorelasi DBD

(with 5% significance limits for the autocorrelations)

Gambar 6 Plot ACF Demam Berdarah Kota Palopo

Tahun 2005-2014 setelah Differencing

30 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 Lag P a rt ia l A u to co rr e la ti o n

plot fungsi autokorelasi parsial DBD

(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

Gambar 7 Plot PACF Demam Berdarah Kota

Palopo Tahun 2005-2014 setelah Differencing

Berdasarkan plot ACF differencing terlihat bahwa masih ada lag yang signifikan yaitu lag

12. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh musiman 12.

2. Estimasi Parameter

Tabel 2 Estimasi dan Uji Signifikansi Model

SARIMA

Model

SARIMA Parameter Estimasi

Standard error p-value (1,1,1)(1,0,0 0,5689 0,3433 0,9721 0,0914 0,0921 0,397 0,001 0,001 0,001 (1,1,1)(0,0,1 0,5534 0,9770 -0,3305 0,0864 0,0252 0,0941 0,001 0,001 0,001 (1,1,0)(1,0,1 -0,3179 0,9972 0,8608 0,0894 0,0399 0,0946 0,001 0,001 0,001 (1,1,0)(1,0,0 -0,2893 0,2783 0,0899 0,0920 0,002 0,003

Dalam tahap ini, parameter-parameter model ARIMA untuk data DBD Kota Palopo Tahun 2005-2014 yang telah melalui proses penstasioneran akan diestimasi. Tabel 2 menyajikan 4 buah model dugaan ARIMA yang memenuhi uji signifikansi parameter. Hasil estimasi dan uji signifikansi parameter dapat dilihat pada tabel 2. Model yang diduga telah memenuhi signifikansi parameter dengan nilai p-value dari parameter lebih kecil dari taraf signifikansi 5%.

3. Uji Diagnostik

Langkah selanjutnya adalah melakukan uji diagnostik dari model SARIMA yang terbentuk. Uji diagnostik dilakukan untuk mengetahui apakah model SARIMA yang terbentuk memenuhi asumsi residual white noise dan berdistribusi normal. Pengujian asumsi white noise dari model tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

(10)

11

Tabel 3 Uji White Noise Model SARIMA

Model SARIMA la g

Chi-square p-value Keterangan

(1,1,1)(1,0,0 12 24 36 48 13,4 22,9 20 39,9 0,099 0,293 0,584 0,649 White Noise (1,1,1)(0,0,1 12 24 36 48 13,3 25,2 32,6 43,9 0,101 0,193 0,438 0,477 White Noise (1,1,0)(1,0,1 12 24 36 48 18,0 26,9 32,6 42,7 0,022 0,139 0,440 0,528

Tidak White Noise

(1,1,0)(1,0,0 12 24 36 48 18,4 28,6 34,5 47,5 0,031 0,124 0,396 0,371

Tidak White Noise

Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa model yang memenuhi asumsi dari hasil pengujian white noise adalah SARIMA (1,1,1)(1,0,0 ,

dan SARIMA (1,1,1) (0,0,1 , kemudian

selanjutnya melakukan uji distribusi normal. Hasil pengujian residual berdistribusi normal dari keempat model SARIMA yang memenuhi asumsi white noise tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Uji Residual Berdistribusi Normal Model

SARIMA

Model SARIMA p-value keterangan

(1,1,1)(1,0,0 0,014 Tidak Normal

(1,1,1)(0,0,1 <0,010 Tidak Normal

Berdasarkan Tabel 4 model SARIMA tersebut tidak memenuhi asumsi residual berdistribusi normal berdasarkan kolomogorov-Smirnov.

4. Pemilihan Model Terbaik

Pemilihan model SARIMA terbaik dilakukan dengan menggunakan nilai MSE seperti pada tabel 5. Di bawah. Nilai SARIMA yang memiliki nilai MSE terkecil di pilih sebagai model terbaik.

Tabel 5 Kriteria Pemilihan Model Terbaik SARIMA

Model SARIMA MSE

(1,1,1)(1,0,0 76,24

(1,1,1)(0,0,1 76,54

Berdasarkan Tabel 5 maka model terbaik untuk data DBD Kota Palopo adalah model SARIMA (1,1,1)(1,0,0 yang memiliki nilai

MSE lebih kecil.

5. Peramalan dengan Model SARIMA Terbaik

Berdasarkan model ARIMA (1,1,1)(1,0,0)12 yang merupakan model terbaik, diramalkan jumlah penderita DBD Tahun 2015 yang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Peramalan Model SARIMA (1,1,1)(1,0,0)12 untuk Jumlah DBD Kota Palopo Tahun 2015

Tahun Bulan Ramalan

2015 Januari 13,6124 Februari 14,8091 Maret 17,2771 April 16,5502 Mei 16,9412 Juni 16,1572 Juli 19,0669 Agustus 22,9596 September 17,2129 Oktober 17,9738 November 15,2930 Desember 17,0703

4.2 Penerapan Model Fungsi Transfer Pada Kasus DBD Kota Palopo

1. Identifikasi Model Fungsi Transfer

Tahap ini dapat dijabarkan menjadi beberapa sub-tahap berikut.

a. Persiapan deret input dan output

Tahap awal yang dilakukan sebelum menggunakan model fungsi transfer yaitu mengidentifikasi bentuk model, dimana terdiri dari beberapa sub tahap. Adapun sub tahap pertama yaitu mempersiapkan deret input dan

(11)

12 output. Deret input yang digunakan yaitu data

curah hujan periode bulan Januari 2005 sampai dengan bulan Desember 2014, sedangkan deret output yang digunakan yaitu data DBD Kota Palopo periode bulan Januari 2005 sampai dengan bulan Desember 2014. Plot deret waktu dari data curah hujan periode bulan Januari 2005 sampai dengan bulan Desember 2014 yang dapat dilihat pada Gambar 8, sedangkan plot deret waktu DBD Kota Palopo periode bulan Januari 2005 sampai dengan bulan Desember 2014 disajikan pada Gambar 8. 117 104 91 78 65 52 39 26 13 1 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 Index D a ta

Plot deret waktu curah hujan

Gambar 8 Plot Deret Waktu Curah Hujan Kota Palopo

Tahun 2005-2014

b. Prewhitening deret input

Setelah pendeskripsian deret input dan output, sub tahap selanjutnya yaitu prewhitening deret input, dimana deret input dibuat menjadi white noise dengan melakukan transformasi dan differencing yang sesuai. Gambar 9 menunjukkan plot ACF dan PACF dari deret input curah hujan.

30 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 Lag A u to co rr e la ti o n

plot ACF curah hujan

(with 5% significance limits for the autocorrelations)

30 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 Lag P a rt ia l A u to co rr e la ti o n

plot PACF curah hujani

(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

Gambar 9 Plot ACF dan PACF Deret Waktu Curah

Hujan

Plot ACF memperlihatkan bentuk autokorelasi yang sinusoidal dan terpotong setelah lag pertama, memperkuat indikasi bahwa proses tidak stasioner dalam varians. Untuk pengaruh musiman, perlu dilakukan differencing. Plot PACF menunjukkan adanya lag-lag yang nilainya signifikan, seperti lag 1, 3, 4, 5 dan 10. Oleh karena data mengindikasikan ketakstasioneran dalam varians, maka perlu dilakukan proses differencing yang bertujuan untuk menstabilkan varians. Adapun plot hasil differencing yang dapat dilihat pada Gambar 10

117 104 91 78 65 52 39 26 13 1 1000 500 0 -500 -1000 Index C 1 2

(12)

13

Gambar 10 Plot Deret Waktu Curah Hujan

Tahun 2005-2014 setelah

Differencing

Plot ACF dan PACF dari deret waktu curah hujan di differencing ditunjukkan oleh Gambar 12 dan Gambar 11. 30 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 Lag A u to co rr e la ti o n

plot autokorelasi curah hujan

(with 5% significance limits for the autocorrelations)

Gambar 11 Plot ACF Deret Waktu Curah Hujan

Tahun 2005-2014 setelah Differencing

30 28 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 Lag P a rt ia l A u to co rr e la ti o n

plot autokorelasi parsial curah hujan

(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

Gambar 12 Plot PACF Deret Waktu Curah

HujanTahun 2005-2014 setelah

Differencing

Plot ACF dan PACF masih menunjukkan ketakstasioneran, sebab masih terdapat lag-lag yang signifikan, sehingga perlu di differencing terhadap musiman. Plot deret waktu setelah dilakukan differencing musiman ditunjukkan oleh Gambar 13. 117 104 91 78 65 52 39 26 13 1 500 250 0 -250 -500 -750 -1000 Index C 1 2

plot deret waktu curah hujan

Gambar 13 Plot Deret Waktu Curah Hujan Tahun

2005-2014 setelah Differencing

terhadap Musiman

Plot ACF dan PACF deret waktu curah hujan setelah differencing terhadap musiman ditunjukkan oleh Gambar 14 dan 15.

26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 Lag A u to co rr e la ti o n

Plot autokorelasi curah hujan

(with 5% significance limits for the autocorrelations)

Gambar 15 Plot ACF Deret Waktu Curah Hujan

Tahun 2005-2014setelah Differencing terhadap Musiman 26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 Lag P a rt ia l A u to co rr e la ti o n

plot autokorelasi parsial curah hujan

(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

Gambar 16 Plot PACF Deret Waktu Curah Hujan

Tahun 2005-2014 setelah Differencing terhadap Musiman

Dari plot ACF differencing terhadap musiman terlihat bahwa masih ada lag yang signifikan yaitu lag 12. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh musiman 12. Langkah selanjutnya yaitu menentukan model SARIMA untuk deret input xt. Adapun model SARIMA

yang cocok untuk deret input xt yaitu SARIMA

(0,1,1)(1,1,1)12. Setelah mendapatkan model yang cocok untuk deret input selanjutnya adalah melihat nilai residual, akan diperiksa apakah nilai residual dari deret input telah

(13)

14 memenuhi asumsi white noise atau tidak.

Apabila p-value semua lag dari autokorelasi residual lebih besar dari = 0.05, maka residual dikatakan white noise. P-value dari deret input curah hujan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Uji White Noise Deret Input

Model SARIMA la g Chi-square p-value Keterangan (0,1,1)(1,1,1 12 24 36 48 13,5 17,7 28,7 39,6 0,097 0,607 0,634 0,664 White Noise

Dari hasil uji white noise deret input pada Tabel 6, model prewhitening deret input xt dapat

dinyatakan sebagai berikut:

( ) ( ) (47)

c. Prewhitening deret output

Setelah prewhitening deret input, selanjutnya dilakukan prewhitening deret output. Prewhitening yang diterapkan pada deret input, diterapkan pula pada deret output. Berdasarkan analisis model terbaik Demam Berdarah pada bagian sebelumnya diperoleh model SARIMA (0,1,1)(1,1,1 sehingga deret

yt dapat dinyatakan sebagai berikut:

( ) (48)

d. Penghitungan korelasi silang (cross corelation) dan autokorelasi untuk deret input dan output yang telah white noise; Sub tahap selanjutnya yaitu melakukan penghitungan korelasi silang antara deret input dan output. Korelasi silang digunakan untuk melihat keeratan hubungan antara deret input dengan deret output. (lihat Lampiran 3). Korelasi silang menunjukkan bahwa deret input curah hujan berpengaruh pada deret output DBD pada lag ke-0, sehingga deret input curah hujan berpengaruh langsung terhadap deret output DBD pada waktu atau t yang sama. e. Penaksiran bobot respon impuls

Penaksiran bobot respon impuls didapat dari persamaan 42, dimana korelasi silang antara dan dikalikan dengan standar deviasi dari deret dan dibagi oleh standar deviasi deret . Adapun standar deviasi deret sebesar 1,677835 sedangkan untuk deret sebesar 10,06678 Sehingga taksiran 10 bobot respon impuls pertama ditunjukkan oleh Tabel 7.

Tabel 7 Taksiran 10 Bobot Respon Impuls Pertama

lag(k) silang( korelasi

Taksiran bobot respon impuls ( ̂ 0 -0,523320 -3,13985 1 2,006032 12,03592 2 -2,006032 -12,0359 3 0,519356 3,116065 4 -0,343021 -2,05808 5 0,297928 1,787527 6 -0,543700 -3,26213 7 0,490368 2,942141 8 0,227130 1,362749 9 -1,132734 -6,79625

(14)

15 f. Penetapan (r, s, b) untuk model fungsi

transfer yang menghubungkan deret input dan output;

Gambar 17 Plot korelasi silang deret input dan

deret output

berdasarkan plot korelasi silang deret input dan deret output dapat diambil kesimpulan mengenai (r, s, b) untuk model fungsi transfer yang menghubungkan deret input dengan deret output sebagai berikut.

1) sampai lag waktu ke-1, korelasi silang tidak berbeda dari satu secara signifikan, sehingga b = 1 ,

2) setelah lag ke-0, tidak terdapat lag-lag lain yang signifikan sehingga s = 0 ,

3) untuk r time lag selanjutnya, korelasi silang akan menunjukkan suatu pola yang jelas sehingga r = 1 .

Model yang dipilih yaitu model dengan (r, s, b) = (1,0,1), sehingga akan diterapkan persamaan sebagai berikut:

4. Penetapan ( pn, qn ) untuk model ARIMA (

pn , 0, qn) dari deret noise (nt).

Langkah selanjutnya yaitu memodelkan deret noise berdasarkan plot residual ACF dan

PACF dari model fungsi transfer. Plot ACF dan PACF residual model untuk komponen residual adalah ARIMA(1,0,1)yaitu

Sehingga secara umum model fungsi transfer yang diperoleh adalah Model I :

2. Estimasi Parameter-parameter Model dari Model Fungsi Transfer

Pada tahap ini, akan diduga parameter-parameter yang terdapat dalam model fungsi transfer. Estimasi parameter fungsi transfer untuk model fungsi transfer disajikan oleh Tabel 8 Tabel ini menunjukkan estimasi parameter dengan galat standar yang sesuai, semua galat standar bernilai kecil dan nilai-nilai parameter secara signifikan berbeda nyata dengan nol.

Tabel 8 Estimasi Parameter Fungsi Transfer Model

Fungsi Transfer Parameter

Estimasi

Parameter Galat Standar

0,04127 0,10621 1,44718 1,44048

Model fungsi transfer dengan parameter yang telah diestimasi dapat dinyatakan sebagai berikut

3. Penggunaan Model Fungsi Transfer Dari model fungsi transfer pada persamaan sebelumnya didapat ramalan DBD Kota Palopo Tahun 2015 yang dapat dilihat pada Tabel 9.

(15)

16

Tabel 9 Peramalan Model Fungsi Transfer untuk

Jumlah DBD Kota Palopo Tahun 2015

Tahun Bulan Ramalan

2015 Januari 12,64 Februari 15,44 Maret 19,06 April 17,79 Mei 18,46 Juni 19,28 Juli 24,11 Agustus 27,01 September 21,95 Oktober 23,48 November 15,76 Desember 20,42 4.3 Perbandingan Model SARIMA dan Model

Fungsi Transfer

Dari penerapan kedua metode peramalan, diperoleh bahwa model fungsi transfer menghasilkan nilai MSE yang lebih kecil dibandingkan dengan model SARIMA, dengan perbandingan nilai MSE kedua model disajikan dalam Tabel 10.

Tabel 10 Perbandingan Nilai MSE untuk Model

SARIMA dan Model Fungsi Transfer

Estimasi Model MSE

SARIMA

(1,1,1)(1,0,0 281,34

Fungsi Transfer 252,73

Berdasarkan hasil perbandingan nilai MSE untuk model SARIMA dan Model Fungsi Transfer dapat disimpulkan bahwa model fungsi transfer merupakan model yang terbaik dalam meramalkan jumlah DBD Kota Palopo dengan MSE sebesar 31,1081.

Tabel 11 Perbandingan Peramalan DBD

menggunakan model SARIMA dan fungsi transfer

Tahun Bulan Data Aktual Forecast SARIMA Forecast Fungsi Transfer 2015 Januari 25 13,6124 12,64 Februari 15 14,8091 15,44 Maret 12 17,2771 19,06 April 17 16,5502 17,79 Mei 18 16,9412 18,46 Juni 18 16,1572 19,28 Juli 17 19,0669 24,11 Agustus 18 22,9596 27,01 September 24 17,2129 21,95 Oktober 29 17,9738 23,48 November 15 15,2930 15,76 Desember 74 17,0703 20,42 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 80 70 60 50 40 30 20 10 Index D at a data aktual Fungsi Transfer SARIMA Variable

Time Series Plot of data aktual; Fungsi Transfer; SARIMA

Gambar 18 Perbandingan Peramalan DBD

menggunakan Model SARIMA dan fungsi transfer

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam skripsi ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Model terbaik untuk peramalan jumlah penderita DBD Kota Palopo tahun 2015 diperoleh sebagai berikut:

a. Model SARIMA (1,1,1)(1,0,0 dengan

nilai MSE 281,34. b. Model fungsi transfer

(16)

17

dengan nilai MSE 252,73.

2. Dari kedua model yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa model fungsi transfer

merupakan model terbaik, sebab memiliki nilai MSE yang lebih kecil dibandingkan model SARIMA. Sehingga model fungsi transfer yang menambahkan variabel curah hujan dalam meramalkan jumlah DBD, telah menghasilkan model yang lebih baik dibandingkan model SARIMA.

5.2 Saran

Penggunaan model fungsi transfer sebagai salah satu model untuk meramalkan jumlah DBD, dengan single-input yaitu curah hujan, telah mampu menghasilkan model yang lebih baik dibandingkan SARIMA. Namun akan lebih baik lagi apabila dipertimbangkan pula untuk menggunakan variabel-variabel lain yang berkaitan dengan DBD, misalkan: suhu udara dan kelembapan udara. Sehingga model fungsi transfer yang dibentuk adalah model fungsi transfer multi-input dengan single-output.

DAFTAR PUSTAKA

Andayani Nurfaizah, Rochdi Wasono, Siti Hajar Rahmawati. 2013. Pemodelan Fungsi Transfer Untuk Meramalkan Curah Hujan Di Kota Semarang. Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Muhammadiyah Semarang.

Asrirawan. 2014. Generalized Seasonal Autoregressive Integrated Moving Average (GSARIMA) Models for Forecasting The Number of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Patients In Surabaya. Proceeding. SEMIRATA IPB Bogor.

Atik Nurhayati, Darnah A. Nohe, dan Syaripuddin. 2003. Peramalan menggunakan Model ARIMA Musiman dan Verifikasi Hasil Peramalan dengan Grafik Pengendali Moving Range (Studi Kasus: Produksi Air Bersih di PDAM Tirta Kencana Samarinda). Jurnal Eksponensial volume 4. Universitas Mulawarman. Samarinda.

Bowerman, B.L., R.T. O’Connell, and A.B. Koehler. 2005. Forecasting, Time Series, and Regression: An Applied Approach, Edisi Keempat. Brooks/Cole. Boston. Cryer, J.D. 1986. Time Series Analysis. Duxbury Press. Boston.

Farisma Indrawati B.N dan Brodjol Sutijo. 2012. Pemodelan Jumlah Ketersediaan Beras untuk Jawa Timur dengan Pendekatan Fungsi Transfer. Jurnal Sains Dan Seni ITS. Surabaya.

Garbhi, M., Quenel, P., & Maramma, L. (2011). Time Series Analysis Of Dengue Incidence in Guadeloupe, French West Indies: Forecasting Models Using Climate Variabels as Predictors. BMC Infect Disease, 11, 166.

http://www.depkes.go.id. Diakses pada tanggal

26 Oktober 2015.

Iriani Yuli. 2012. Hubungan antara Curah Hujan dan Peningkatan Kasus Demam Berdarah Dengue Anak di Kota Palembang. Jurnal vol 13. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Palembang.

(17)

18 Khrisna Yuli Siswanti, Dhoriva Urwatul Wutsqa.

2011. Peramalan Curah Hujan Di Kota Yogyakarta Dengan Model Fungsi Transfer Multivariat. Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.

Lind, D. A., W.G. Marchal, and R.D. Mason. 2001. Statistical Techniques in Business and Economics, 11th ed. McGraw-Hill, Inc. Boston.

Makridakis, S., S.C. Wheelwright, dan V.E. McGee. 1999. Metode dan Aplikasi Peramalan. Edisi 2. Jilid 1. Diterjemahkan oleh Hari Suminto. Binarupa Aksara. Jakarta.

Mansjoer Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Media Aesculappius. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Mansjoer Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi . Jilid 2. Media Aesculappius. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

National Institute for Standard Technology. 2003. Definitions, Application, and Techniques Time Series Analysis National Institute for Standard Technology. Boston.

Putu Gita Suari Miranti. 2009. Perbandingan Peramalan Produksi Kedelai Provinsi Bali Tahun 2009 Menggunakan Model Arima Dan Model Fungsi Transfer. Skripsi. Universitas Udayana. Bali.

Sitepu Robinson. 2008. Pemodelan dan Peramalan Deret Waktu Musiman Dengan Pendekatan Filter Bank. Thesis. Universitas Sumatera Utara. Medan. Suhartono, B. W. 2001. Laporan Penelitian:

Penerapan dan Perbandingan Model Intervensi dan Model Fungsi Transfer untuk Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Jumlah Penumpang Kereta Api dan Pesawat Udara Jurusan Surabaya-Jakarta. Lembaga Penelitian Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya.

Susan W. Gikungu, Anthony G. Waititu, John M. Kihoro. 2015. Forecasting inflation rate in Kenya using SARIMA model. American Journal of Theoretical and Applied Statistics.

Ul Ukhira Annisa. 2003. Pemodelan dan Peramalan Deret Waktu dengan Metode Seasonal ARIMA. Jurnal Matematika UNAND. Padang.

Wei, W.W.S. 1994. Time Series Analysis: Univariate and Multivariate Methods, Second Edition. Addison-Wesley Publishing, Co. Canada.

Gambar

Gambar 1 Plot Deret Waktu Demam Berdarah Kota  Palopo Tahun 2005-2014
Gambar 7 Plot PACF Demam Berdarah Kota  Palopo Tahun 2005-2014 setelah Differencing
Tabel 4 Uji Residual Berdistribusi Normal Model  SARIMA
Gambar 8 Plot Deret Waktu Curah Hujan Kota Palopo  Tahun 2005-2014
+4

Referensi

Dokumen terkait

PREDIKSI BANYAKNYA PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA SURAKARTA DENGAN MODEL REGRESI SPASIAL LAG.. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Untuk mengurangi angka kematian akibat DBD, maka penelitian ini akan memodelkan waktu survival pasien penderita DBD yang dirawat di RSU Haji Surabaya dengan faktor-faktor

Selanjutnya dijelaskan mengenai karakteristik waktu survival pasien DBD RSU Haji Surabaya berdasarkan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi waktu survival

ANALISIS TAHAN HIDUP PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KABUPATEN KARANGANYAR DENGAN PENDEKATAN BAYESIAN.. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui model fungsi transfer multivariat dari jumlah penderita Demam Berdarah Dengue di Kota Denpasar dan untuk

Untuk mengurangi angka kematian akibat DBD, maka penelitian ini akan memodelkan waktu survival pasien penderita DBD yang dirawat di RSU Haji Surabaya dengan faktor-faktor

Dibutuhkan layanan sebuah sistem integrasi data laporan DBD pada dinas kesehatan untuk menginformasikan atau menampilkan data maupun laporan dari masing-masing puskesmas,

Pola trombositopenia yang terjadi pada anak-anak yang menderita DBD menunjukkan bahwa pada awal infeksi virus dengue, penderita yang mengalami infeksi sekunder