PERANCANGAN STRUKTUR ATAS JEMBATAN CONDET
DENGAN KONSTRUKSI BETON PRATEGANG
Disusun oleh :
Sandy Hutama AL
4110411-048
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL & PERENCANAAN
UNIVERSITAS MERCUBUANA
JAKARTA
2009
No.Dokumen
011
423
4
41
00
Distribusi
Tgl. Efektif 7 MARET 2005Semester : X (Sepuluh) Tahun Akademik : 2009/2010
Tugas akhir ini untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Teknik, jenjang pendidikan Strata 1 (S-1), Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Mercu Buana, Jakarta.
Judul Tugas Akhir: Perancangan Struktur Atas Jembatan Condet dengan
Konstruksi Beton Prategang
Disusun Oleh :
Nama : Sandy Hutama AL
NIM : 4110411-048
Jurusan/ Program Studi : Teknik Sipil dan Perencanaan/ Teknik Sipil
Telah diajukan dan dinyatakan lulus sidang sarjana :
Jakarta, 5 September 2009
Pembimbing,
Ir. Edifrizal Darma, MT
Ketua Sidang, Ketua Program Studi Teknik Sipil,
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
Abstrak
ABSTRAK
Nama penyusun : Sandy Hutama AL, NIM : 4110411-048, Program Studi Teknik Sipil, Fakultas : Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Mercu Buana, Dosen Pembimbing : Ir. Edifrizal Darma, MT, Judul Skripsi Perancangan Struktur Atas Jembatan Condet dengan Konstruksi Beton Prategang.
Akibat perkembangan jaman dan kemajuan teknologi, menghadirkan suatu konsep yang sedikit berbeda dengan konsep beton bertulang biasa. Perpaduan atau kombinasi aktif dari beton dengan kuat tekan tinggi dan baja dengan kuat tarik yang tinggi atau kabel pratekan menghasilkan suatu konsep yang dinamakan Beton Prategang (Prestressed Concrete). Teknologi beton prategang semakin berkembang dan banyak digunakan untuk berbagai macam konstruksi bangunan seperti struktur gedung bertingkat, jembatan, cerobong, tiang pancang dan lain-lain.
Maksud dan tujuan penulisan dari tugas akhir ini adalah merancang struktur atas jembatan beton prategang.
Berdasarkan perancangan dan perhitungan maka diperoleh pipa sandaran (mutu BJ 37) Ø 76,3 mm, tiang sandaran (cast in place) ukuran 40 x 12 cm memakai tulangan utama Ø 10 mm dan tulangan sengkang Ø 6-150 mm, Plat lantai (cast
in place) tebal 20 cm memakai tulangan utama Ø10-200 mm dan Ø13-200 mm,
Deck slab precast (precast) tebal 7 cm memakai tulangan utama Ø8-50 mm dan Ø8-250 mm, Balok diafragma (Precast) ukuran 20 x 165 cm memakai tulangan utama 12 Ø 13 mm dan Ø8-100 mm, Balok girder prategang (Precast) dengan metoda posttensioning H=210 cm dan lebar 80 cm terdiri dari 5 buah tendon VSL Ø ½ inch tipe E5-17 dan E5-18 dengan sistem parabola (lengkung) serta memakai tulangan utama Ø 16 mm dan geser Ø 16 mm.
Kata kunci : Jembatan Beton Prategang (Presstressed concrete), Balok Girder, Kabel VSL, Struktur Atas, Perancangan
DAFTAR ISI
Halaman Lembar Pengesahan... i Lembar Pernyataan ... ii Abstrak ... iii Kata Pengantar... iv Daftar Isi ... viDaftar Tabel... xii
Daftar Gambar ... xiv
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang... I-1 1.2 Maksud dan Tujuan... I-2 1.3 Ruang Lingkup dan Pembatasan Masalah... I-3 1.4 Metode Penelitian... I-4 1.5 Sistematika Penulisan... I-4
Bab II Studi Pustaka
2.1 Tinjauan Umum... ... II-1 2.2 Prinsip Perencanaan Umum ... II-3 2.3 Analisa Tegangan Penampang Beton Prategang
Terhadap Lentur... II-10 2.4 Material yang Digunakan dalam Perencanaan Balok
Jembatan Aksi Komposit... ... II-13 2.4.1 Element Balok Pracetak ... II-13 2.4.2 Element Gelagar Melintang atau Balok Diafragma ... II-15 2.4.3 Element Plat Lantai Beton Bertulang Biasa ... II-15 2.4.4 Element Perkerasan Jalan... II-15 2.4.5 Element Tiang Sandaran ... II-15 2.4.6 Tulangan Baja... ... II-15
2.4.8 Selongsong... II-19 2.4.8.1 Cetakan... II-24 4.3.5.3.1 Formed Ducts... II-24 2.7.8.1.2 Cored Ducts... ... II-24 2.4.8.2 Celah atau Bukaan Suntikan... ... II-24 2.4.8.3 Ukuran Selongsong... ... II-25 2.4.8.4 Peletakan Selongsong... II-25 2.4.9 Angkur... ... II-26 2.5 Daerah Aman Kabel………. ... II-26 2.6 Pembebanan……….. II-28 2.6.1 Beban Primer... II-28 2.6.1.1 Beban Mati... ... II-28 2.6.1.2 Beban Lalu-Lintas/Beban Hidup... ... II-30 2.6.1.3 Lantai Kendaraan dan Jalur Lalu Lintas... II-30 2.6.1.3.1 Beban D... II-31 2.6.1.3.2 Beban T... II-35 2.6.1.4 Beban pada Trotoir, Kerb dan Sandaran... II-36 2.6.1.5 Faktor Beban Dinamis (FBD)... II-37 2.6.1.6 Gaya Akibat Tekanan Tanah... ... II-39 2.6.2 Beban Sekunder... ... II-39 2.6.2.1 Beban Angin... II-39 2.6.2.2 Gaya Akibat Perbedaan Suhu... II-40 2.6.2.3 Gaya Rem... ... II-42 2.6.2.4 Pengaruh Gempa... II-43 2.6.2.5 Gaya Akibat Gesekan pada
Tumpuan-Tumpuan Bergerak... ... II-47 2.6.2.6 Aliran air, benda hanyutan dan tumbukan
dengan batang kayu... II-48 2.6.2.7 Beban Pejalan Kaki... II-51 2.6.3 Kombinasi Pembebanan... II-52 2.7 Tegangan-Tegangan yang Disyaratkan... II-53 2.7.1 Tegangan Izin Beton ... II-53 2.7.2 Tegangan Tarik Izin Kabel... II-54
2.8 Kehilangan Gaya Prategang (Loss of Prestress)... II-55 2.9 Geser ... II-57
Bab III Metode Desain dan Perancangan
3.1 Desain perencanaan ... III-1 3.2 Metoda Prategang... III-2 3.2.1 Berdasarkan Sistim Penarikan Kabel... III-3 3.2.2 Berdasarkan Tingkatan Penarikan Kabel... III-6 3.3 Metoda Desain Balok Prategang Terhadap Lentur... ... III-7 2.4.1 Metoda Load Balancing... ... III-8 2.4.2 Metoda Ultimit... III-11 2.4.2.1 Prinsip Umum... III-11 2.4.2.2 Kuat Lentur Ultimit (Tanpa Tulangan Baja Non
Prategang... III-16 2.4.2.3 Kuat Lentur Ultimit (Dengan Tulangan Baja Non
Prategang... III-17 2.4.2.4 Batasan Tulangan pada Komponen Struktur
Lentur... ... III-20 2.4.3 Metoda Beban Kerja... III-22 2.4.3.1 Tahap Awal (Batas Bawah)... ... III-28 2.4.3.2 Tahap Layan/Akhir (Batas Atas)... .... III-29 3.4 Perancangan Penampang Balok Prategang Aksi Komposit ... III-30 3.5 Bentuk-bentuk Penampang Balok Prategang dan Tipe Struktur
Jembatan. ... III-35 2.5.1 Bentuk-bentuk Penampang Balok Prategang ... III-35 2.5.2 Tipe Struktur Jembatan ... III-37 3.6 Perencanaan awal ... III-38 3.6.1 Pemilihan Lokasi ... III-39 3.6.2 Tipe Struktur... III-39 3.6.3 Spesifikasi Jembatan... III-39 3.7 Spesifikasi Jembatan ... III-39 3.7.1 Data fisik jembatan ... III-40 3.7.2 Data struktur jembatan ... III-40
3.8 Perancangan awal ... III-41 3.8.1 Perencanaan Pelat Lantai ... III-41 3.8.2 Perencanaan Sandaran... III-43 3.8.3 Perencanaan gelagar melintang ... III-45 3.8.4 Perencanaan gelagar memanjang... III-45
Bab IV Analisis Perancangan Jembatan Beton Prategang
4.1 Preliminary desain... IV-1 4.1.1 Pipa Sandaran... IV-1 4.1.2 Tiang Sandaran... IV-3 4.1.3 Plat Lantai Kendaraan ... IV-5 4.1.4 Gelagar Memanjang ... IV-8 4.2 Spesifikasi jembatan ... IV-10 4.2.1 Data fisik jembatan ... IV-10 4.2.2 Data struktur jembatan ... IV-10 4.3 Analisis Perancangan ... IV-13 4.3.1 Perhitungan Sandaran... IV-13 4.3.1.1 Pipa Sandaran ... IV-14 4.3.1.2 Tiang Sandaran... IV-15 4.3.2 Plat Lantai Kendaraan ... IV-19 4.3.3 Deck Slab Precast ... IV-24 4.3.4 Balok Diafragma (Gelagar Melintang)... IV-29 4.3.5 Balok Girder Prategang ... IV-33 4.3.5.1 Spesifikasi teknis... IV-33 4.3.5.2 Analisis penampang balok girder... IV-35 4.3.5.2.2 Sebelum komposit ... IV-35 4.3.5.2.2 Gelagar penampang komposit... IV-38 4.3.5.3 Analisis pembebanan balok girder / gelagar
utama ... IV-44 4.3.5.3.1 Beban Mati ... IV-45
4.3.5.3.1.1 Beban Akibat Berat
Sendiri Balok Girder ... IV-45 4.3.5.3.1.2 Beban akibat Diafragma .... IV-47
4.3.5.3.1.3 Beban akibat Deck Slab
Precast dan Plat Lantai ... IV-50 4.3.5.3.2 Beban Hidup ... IV-53 4.3.5.3.2.1 Beban akibat Beban “D” .... IV-45 4.3.5.3.2.2 Beban akibat Beban “T”... IV-47 4.3.5.3.2.3 Beban Akibat Beban
Angin... IV-58 4.3.5.3.2.4 Akibat Gaya Rem dan
Traksi ... IV-61 4.3.6 Check kemampuan penampang terhadap gaya yang
bekerja ... IV-64 4.3.7 Perhitungan gaya prategang... IV-65 4.3.8 Perancangan Tendon ... IV-68 4.3.8.1 Pemilihan Tendon ... IV-68 4.3.8.2 Penentuan Letak Tendon ... IV-69 4.3.8.3 Kehilangan tegangan ... IV-77 4.3.8.3.1 Kehilangan Tegangan Pada Beton .. IV-77 4.3.8.3.2 Kehilangan Tegangan Pada Baja... IV-80 4.4 Kontrol tegangan... IV-82 4.5 Perhitungan lendutan ... IV-86 4.6 Perencanaan tulangan girder ... IV-91 4.7 Perencanaan shear conector ... IV-96 4.8 Perencanaan busting steel... IV-101
Bab IV Penutup
5.1 Kesimpulan ... V-1 5.2 Saran ... V-2
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2-1 Data-data kabel prategang seven wire strand G-270... II-20 Tabel 2-2 Berat isi untuk beban mati... II-29 Tabel 2-3 Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana... II-31 Tabel 2-4 Klarifikasi menurut kelas jalan... II-36 Tabel 2-5 Jumlah median anggapan untuk menghitung reaksi
perletakan... II-36 Tabel 2-6 Koefisien seret Cw... II-40
Tabel 2-7 Kecepatan agin rencana Vw... II-40
Tabel 2-8 Temperatur jembatan rata-rata nominal... II-41 Tabel 2-9 Sifat bahan rata-rata akibat pengaruh temperatur... II-41 Tabel 2-10 Kondisi tanah untuk koefisien geser dasar... II-44 Tabel 2-11 Faktor Kepentingan... II-44 Tabel 2-12 Faktor tipe bangunan... II-45 Tabel 2-13 Koefisien geser dasar untuk tekanan tanah lateral... II-46 Tabel 2-14 Gaya air lateral akibat gempa... II-47 Tabel 2-15 Periode ulang banjir untuk kecepatan air... II-49 Tabel 2-16 Lendutan ekuivalen untuk tumbukan batang kayu... II-51 Tabel 2-17 Kombinasi Pembebanan... II-52 Tabel 2-18 Tegangan izin beton pada kondisi transfer... II-53 Tabel 2-19 Tegangan izin beton pada kondisi service... II-54 Tabel 2-20 Ringkasan kehilangan prategang... II-56 Tabel 3-1 Tabulasi nilai Vnh... III-33
Tabel 3-2 Rumus mencari lebar sayap efektif... III-35 Tabel 4-1 Perhitungan Jarak Yb... IV-35 Tabel 4-2 Perhitungan momen Inersia (Ix)... IV-37 Tabel 4-3 Perhitungan jarak Yb’... IV-40 Tabel 4-4 Perhitungan momen Inersia (Ix)... IV-42 Tabel 4-5 Perhitungan Gaya Lintang Akibat Berat Sendiri Balok (Dx)... IV-46
Tabel 4-6 Perhitungan Momen Akibat Berat Sendiri Balok (Mx)... IV-47 Tabel 4-7 Perhitungan Gaya Lintang Akibat Beban Diafragma (Dx)... IV-49 Tabel 4-8 Perhitungan Momen Akibat Beban Diafragma (Mx)... IV-50 Tabel 4-9 Perhitungan Gaya Lintang Akibat Berat plat perkerasan (Dx)... IV-52 Tabel 4-10 Perhitungan Momen Akibat Berat plat perkerasan (Mx)... IV-53 Tabel 4-11 Perhitungan Gaya Lintang Akibat Berat plat perkerasan (Dx)... IV-55 Tabel 4-12 Perhitungan Momen Akibat Berat plat perkerasan (Mx)... IV-56 Tabel 4-13 Perhitungan Gaya Lintang Akibat Beban Angin (Dx)... IV-60
Tabel 4-14 Perhitungan Momen Akibat Beban Angin (Mx)... IV-61
Tabel 4-15 Perhitungan Gaya Lintang Akibat Gaya Rem dan Traksi (Dx)... IV-62
Tabel 4-16 Perhitungan Momen Akibat Gaya Rem dan Traksi (Mx)... IV-63
Tabel 4-17 Tabel Propertis Strand... IV-68 Tabel 4-18 Tabel Propertis Tendon... IV-69 Tabel 4-19 Perhitungan jarak garis netral tendon... IV-71 Tabel 4-20 Perhitungan jarak tendon -1 (Yi)... IV-72
Tabel 4-21 Perhitungan jarak tendon -2 (Yi)... IV-72
Tabel 4-22 Perhitungan jarak tendon -3 (Yi)... IV-73
Tabel 4-23 Perhitungan jarak tendon - 4 (Yi)... IV-74
Tabel 4-24 Perhitungan jarak tendon -5 (Yi)... IV-74
Tabel 4-25 Tabel Kehilangan Tegangan... IV-82 Tabel 4-26 Perhitungan Gaya Geser... IV-95 Tabel 4-27 Perhitungan Jarak Tulangan Geser... IV-96 Tabel 4-28 Distribusi Gaya Lintang... IV-98 Tabel 4-29 Hasil q dan s... IV-100 Tabel 4-30 Perhitungan Jumlah dan Luas Bursting Steel... IV-102
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2-1 Prinsip-prinsip dasar prategang... II-4 Gambar 2-2 Elemen prategang yang masih ditunjang oleh struktur
bekisting... II-5 Gambar 2-3 Distribusi tegangan pada tengah bentang penampang
sebelum beban hidup dan mati bekerja... II-5 Gambar 2-4 Distribusi tegangan pada tengah bentang penampang
sebelum beban hidup bekerja... II-6 Gambar 2-5 Penampang balok yang diberi gaya prategang secara
konsentris... II-6 Gambar 2-6 Distribusi tegangan pada tengah bentang penampang yang
diberi gaya prategang secara konsentris... II-6 Gambar 2-7 Distribusi tegangan pada tengah bentang penampang yang
diberi gaya prategang awal secara konsentris... II-7 Gambar 2-8 Distribusi tegangan akibat gaya prategang yang diberikan
pada 1/3 tinggi penampang balok persegi dari serat paling
bawah... II-9 Gambar 2-9 Penampang balok yang diberi gaya prategang secara
eksentris... II-9 Gambar 2-10 Distribusi tegangan pada tengah bentang penampang yang
diberi gaya prategang secara eksentris... II-9
Gambar 2-11 Penampang balok prategang dengan trase kable kurva (lengkung) dan lokasi gaya prategang pada tengah
bentang... II-11 Gambar 2-12 Pemindahan gaya Pike c.g.c menimbulkan momen
sebesar Pi.e... II-11
Gambar 2-13 Perilaku Balok Prategang Akibat Beban Lentur... II-11 Gambar 2-14 Penampang balok pracetak standar untuk jembatan... II-11 Gambar 2-15 Tipe Tulangan Baja Non Prategang... II-16
Gambar 2-16 Tanda-tanda pada Tulangan Baja Standar... II-16 Gambar 2-17 Kurva Hubungan Tegangan Regangan Untuk Berbagai Jenis
Tulangan... II-18 Gambar 2-18 Diagram Tegangan dengan Baja Prategang... II-19 Gambar 2-19 Bentuk-bentuk tendon. (a) Tendon Lurus, (b) Tendon Draped,
(c) Tendon Harped... II-21 Gambar 2-20 Jenis Tendon Prategang... II-22 Gambar 2-21 Contoh Angkur Hidup untuk Multistrand (VSL)... II-22 Gambar 2-22 Contoh Angkur Tengah (VSL)... II-23 Gambar 2-23 Contoh Angkur Mati (VSL)... II-23 Gambar 2-24 Selongsong (Duct) Tendon... II-25 Gambar 2-25 Tipe-tipe daerah aman dalam suatu perencanaan. (a) Sesuai
untuk perencanaan; (b) Perencanaan optimim; (c) Perencana
an tidak memenuhi syarat... II-27 Gambar 2-26 Distribusi beban ‘’ D’’ yang bekerja pada jembatan... II-33 Gambar 2-27 Hubungan Beban Terbagi Rata (BTR) dengn Panjang
Jembatan... II-33 Gambar 2-28 Penyebaran pembebanan pada arah melintang... II-34 Gambar 2-29 Pembebanan truck ”T” (500 kN)... II-35 Gambar 2-30 Faktor beban dinamis untuk BGT untuk pembebanan
lajur ”D”... II-38 Gambar 2-31 Gaya rem per lajur 2,75 m (KBU)... II-42 Gambar 2-32 Pembebanan untuk pejalan kaki... II-51 Gambar 2-33 Perubahan bentuk pada balok... II-57 Gambar 3-1 Skema Proses perencanaan... III-1 Gambar 3-2 Metode Pretensioning... III-4 Gambar 3-3 Metode Posttensioning... III-5 Gambar 3-4 Diagram alir proses desain balok prategang akibat lentur... III-8 Gambar 3-5 Konsep Beban Ekivalen... III-8 Gambar 3-6 Gaya-gaya yang bekerja pada beton akibat prategang... III-9 Gambar 3-7 Balok dengan Tendon Parabola... III-10 Gambar 3-8 Balok dengan Tendon Harpa (harped)... III-10 Gambar 3-9 Balok Kantilever... III-10
Gambar 3-11 Diagram Tegangan Regangan (fps= fpy)... III-12
Gambar 3-12 Konsep Blok Tegangan Persegi... III-13 Gambar 3-13 Diagram Tegangan Regangan (pilih fps)... III-13
Gambar 3-14 Konsep Blok Tegangan Persegi... III-14 Gambar 3-15 Diagram Tegangan-Regangan untuk Tendon... III-14 Gambar 3-16 Diagram Tegangan Regangan (hitung fps)... III-15
Gambar 3-17 Konsep Blok Tegangan Persegi untuk Penampang Beton
Prategang Tanpa Tulangan Baja Non Prategang... III-16
Gambar 3-18 Konsep Blok Tegangan Persegi untuk Penampang Beton
Prategang dengan Tulangan Baja Non Prategang... III-17
Gambar 3-19 Skema Penampang dalam Keadaan Lentur Batas... III-18 Gambar 3-20 Diagram Blok Tegangan untuk Pendekatan Pemilihan
Tulangan Non Prategang... III-20 Gambar 3-21 Penampang Beton Prategang dengan Tendon Parabola... III-22 Gambar 3-22 Komponen dan Resultan Gaya pada Penampang Beton
Prategang... III-22 Gambar 3-23 Distribusi Tegangan Akibat Prategang... III-23 Gambar 3-24 Distribusi Tegangan Akibat Prategang dan Beban Kerja... III-23 Gambar 3-25 Gaya Prategang pada Tendon... III-24 Gambar 3-26 Tegangan akibat Momen Decompression... III-24 Gambar 3-27 Tegangan akibat Momen Retak... III-25 Gambar 3-28 Daerah Batas Pemasangan Tendon... III-29 Gambar 3-29 Penampang Balok Prategang Komposit... III-30 Gambar 3-30 Tegangan pada Balok Komposit baik Dengan ataupun
Tanpa Perancah... III-32 Gambar 3-31 Transfer Gaya Horizontal pada Penampang Komposit... III-33 Gambar 3-32 Lebar sayap efektif penampang komposit... III-34 Gambar 3-33 Bentuk-bentuk penampang untuk balok prategang. (a) perse
gi panjang; (b) I simetris; (c) I tidak simetris (d) bentuk T; (e) I tidak simetris dimana flens bawah lebih besar dari flens
Gambar 3-34 Tipe-tipe struktur balok jembatan beton prategang. (a) jembatan komposit- balok; (b) jembatan monolit - balok; (c) balok penampang kotak menyebar; (d) jembatan box girder menyatu; (e) jembatan box girder menyebar; (f) balok pe
nampang kotak menyatu... III-37 Gambar 3-35 Diagram alir proses perancangan... III-38 Gambar 3-36 Bentuk rencana jembatan beton prategang... III-39 Gambar 3-36aPengaruh Momen Tumpuan dan Lapangan... III-42 Gambar 3-36bPengaruh Momen akibat Beban Merata... III-53 Gambar 4-1 Reaksi Perletakan Pipa untuk Preliminary... IV-2 Gambar 4-2 Rencana Lantai Kendaraan... IV-5 Gambar 4-3 Pembebanan Plat... IV-6 Gambar 4-4 Pembebanan akibat Beban P (terpusat) dan q (merata)... IV-7 Gambar 4-5 Daerah pembebanan Gelagar Memanjang... IV-8 Gambar 4-6 Denah dan Potongan Jembatan... IV-12 Gambar 4-7 Konstruksi sandaran... IV-13 Gambar 4-8 Reaksi Perletakan Pipa... IV-14 Gambar 4-9 Rencana Dimensi Sandaran... IV-15 Gambar 4-10 Penulangan Sandaran... IV-18 Gambar 4-11 Rencana Lantai Kendaraan... IV-19 Gambar 4-12 Penyebaran Beban Roda Di Tengah Plat... IV-21 Gambar 4-13 Rencana dimensi Plat... IV-22 Gambar 4-14 Penulangan Plat Lantai Kendaraan... IV-22 Gambar 4-15 Letak Deck Slab Precast... IV-25 Gambar 4-16 Dimensi Deck Slab Precast... IV-25 Gambar 4-17 Perletakan Beban Pada Deck Slab Precast... IV-25 Gambar 4-18 Penulangan Deck Slab Precast... IV-28 Gambar 4-19 Letak Dimensi Balok Diafragma... IV-29 Gambar 4-20 Rencana Penulangan Balok Diafragma... IV-31 Gambar 4-21 Penampang balok girder... IV-33 Gambar 4-22 Dimensi Penampang balok girder... IV-34 Gambar 4-23 Penampang Balok Girder... IV-34
Gambar 4-25 Penampang Balok Girder Sebelum Komposit... IV-38 Gambar 4-26 Pembagian area penampang balok girder komposit... IV-40 Gambar 4-27 Penampang Balok Girder Komposit... IV-43 Gambar 4-28 Perletakan Beban Berat Sendiri Balok Girder... IV-45 Gambar 4-29 Perletakan Beban Diafragma Terhadap Balok Girder... IV-48 Gambar 4-30 Perletakan Beban Plat lantai Jembatan Terhadap Balok
Girder... IV-50 Gambar 4-31 Daerah pembebanan Gelagar Memanjang... IV-53 Gambar 4-32 Perletakan Beban ”D” Terhadap Balok Girder... IV-54 Gambar 4-33 Garis Pengaruh beban ”T” Terhadap Balok Girder... IV-57 Gambar 4-34 Posisi Letak beban dan Titik Berat Beban Angin... IV-58 Gambar 4-35 Diagram Momen Dalam terhadap Momen Luar... IV-58 Gambar 4-36 Perletakan Beban Angin terhadap Balok Girder... IV-59 Gambar 4-37 Kedudukan dan Tinggi Gaya Rem... IV-61 Gambar 4-38 Perletakan Beban Gaya Rem terhadap Balok Girder... IV-62 Gambar 4-39 Eksentrisitas kabel dan pola tendon pada tengah bentang... IV-66 Gambar 4-40 Persamaan Parabola Untuk Menentukan... IV-70 Gambar 4-41 Posisi cgs... IV-71 Gambar 4-42 Posisi Tendon... IV-75 Gambar 4-43 Potongan Melintang Balok jarak 0 dan 4 m dari tumpuan.... IV-75 Gambar 4-44 Potongan Melintang Balok jarak 8, 12, 16 m dan Tengah
Bentang... IV-76 Gambar 4-45 Pengangkatan Girder 2 titik... IV-91 Gambar 4-46 Tulangan Konvensional Girder... IV-92 Gambar 4-47 Rencana shear connector... IV-96 Gambar 4-48 Pemasangan Studs Pada Girder dan Lantai Jembatan... IV-98 Gambar 4-49 Gaya Lintang Pada Setengah Bentang yang
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Beton bertulang adalah suatu bahan bangunan yang kuat, tahan lama dan dapat dibentuk menjadi berbagai bentuk dan ukuran, mulai dari kolom persegi sederhana sampai ke lengkung-lengkung ramping berbentuk kubah atau rumah siput. Manfaat dan keserbagunaannya dicapai dengan mengkombinasikan segi-segi yang terbaik dari beton dan baja. Tiap-tiap bahan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dengan demikian, apabila dikombinasikan, baja akan dapat menyediakan kekuatan tarik dan barangkali sebagian kekuatan geser, sedangkan beton yang kuat menahan tekanan, melindungi baja supaya awet dan tahan akan kebakaran.
Akibat perkembangan jaman dan kemajuan teknologi, menghadirkan suatu konsep yang sedikit berbeda dengan konsep beton bertulang biasa. Perpaduan atau kombinasi aktif dari beton dengan kuat tekan tinggi dan baja dengan kuat tarik yang tinggi atau kabel pratekan menghasilkan suatu konsep yang dinamakan Beton Prategang (Prestressed Concrete). Beton prategang pada dasarnya adalah beton dimana tegangan-tegangan internal dengan besar serta distribusi yang sesuai diberikan sedemikian rupa sehingga tegangan-tegangan yang diakibatkan oleh beban-beban luar dilawan sampai suatu tingkat yang diinginkan. Pada batang beton bertulang, prategang pada umumnya diberikan dengan menarik baja tulangannya.
Beton berkekuatan tinggi sangat diperlukan dalam beton prategang karena material tersebut memberikan ketahanan yang tinggi terhadap tarikan, geser, perekatan, dan dukungan. Beton berkekuatan tinggi lebih sulit mengalami retak akibat susut, dan mempunyai modulus elastisitas yang lebih tinggi serta regangan rangkak ultimit yang lebih kecil, yang menghasilkan kehilangan prategang yang lebih kecil pada baja. Pemakaian beton berkekuatan tinggi dapat memperkecil dimensi penampang melintang unsur-unsur struktural beton prategang. Sehingga beton prategang memberikan keuntungan-keuntungan teknis besar dibandingkan dengan bentuk-bentuk konstruksi lainnya.
Teknologi beton prategang semakin berkembang dan banyak digunakan untuk berbagai macam konstruksi bangunan seperti struktur gedung bertingkat, jembatan, cerobong, tiang pancang dan lain-lain. Pada konstruksi jembatan pada umumnya, seperti jembatan jalan raya yang menghubungkan dua wilayah yang dibatasi oleh sungai atau laut (bridge highway) dan jembatan jalan raya dalm kota (fly over), banyak menggunakan struktur komposit (aksi komponen antara balok dan plat) yaitu antara lain perpaduan antara balok beton pracetak (precast) dan pelat lantai beton bertulang biasa yang dicor ditempat (cast in site) dengan bentuk penampang balok I, balok kotak (box beam) dan lain-lain. Dalam tugas akhir ini akan didesain dan dirancang struktur atas jembatan beton prategang dengan sistem struktur komposit.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan penulisan dari tugas akhir ini merancang struktur atas jembatan beton prategang.
1.3 Ruang Lingkup dan Batasan Masalah
Untuk memudahkan analisis maka ruang lingkup pembahasan dibatasi pada hal-hal berikut :
1. Panjang jembatan adalah 500 m dan lebarnya 14.5 m
2. Model penampang jembatan dipakai model I dengan metoda konstruksi pracetak.
3. Penampang balok pracetak yang akan digunakan dalam perancangan adalah penampang balok pracetak standar yang direkomendasikan oleh AASHTO (American Association of State Highway Officials) dan PCI (Prestressed Concrete Institute).
4. Perancangan penampang balok prategang dengan metoda konstruksi komposit.
5. Metoda prategang yang digunakan adalah sistem Full Presstressing dan penarikan dilakukan secara pasca tarik (posttensioning).
6. Tiang sandaran, trotoar dan plat jembatan dengan metoda konstruksi beton konvensional (cast in situ) sedangkan balok diafragma atau gelagar melintang dan deck slab dengan metode konstruksi beton pracetak (precast).
7. Perancangan dilakukan dengan cara manual secara keseluruhan. 8. Perencanaan Beton Bertulang menggunakan SNI tahun 1992
sedangkan Pembebanan Jembatan menggunakan RSNI tahun 2005. 9. Struktur bawah atau pondasi tidak diperhitungkan dalam penulisan
tugas akhir ini.
10. Pedoman dari perancangan jembatan beton prategang terutama konsultasi dengan pembimbing dan dari pengetahuan yang didapat saat kuliah. Literatur diambil dari buku ”Desain Struktur Beton
Prategang” karangan T.Y.Lin Ned - H.Burns dan ”Beton Prategang”
1.4 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitan ini adalah studi kepustakaan berupa kajian literatur, baik berupa teks book maupun diktat-diktat kuliah yang diperoleh selama perkuliahan, serta konsultasi dengan dosen pembimbing.
1.5 Sistematika Penulisan
Studi yang dilakukan dari perhitungan sampai pada hasilnya dilakukan dengan manual.
Penulisan ini disusun secara sistematika sebagai kerangka masalah yang disusun dalam beberapa bagian yang ditempatkan sebagai bab per bab, dengan maksud agar dapat memberikan gambaran yang jelas dan mudah dimengerti mengenai permasalahan yang akan dibahas.
Adapun sistematika yang digunakan pada penulisan ini adalah:
Bab I Pendahuluan
Menjelaskan mengenai latar belakang masalah, maksud dan tujuan penulisan, ruang lingkup dan batasan masalah, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Studi Pustaka
Menjelaskan tentang teori dasar dan studi-studi yang dijadikan acuan dalam perencanaan jembatan beton prategang.
Bab III Metode desain dan Perancangan
Menjelaskan tentang metode desain dan perancangan jembatan beton prategang yang meliputi pedoman perencanaan, perancangan struktur
pelat, perancangan struktur gelagar, beban-beban pada struktur, analisa beban, analisa struktur, daerah aman kabel pembebanan, tegangan-tegangan yang disyaratkan dan geser.
Bab IV Analisis Perancangan Jembatan Beton Prategang
Bab ini berisikan tentang prarencana dan analisis yang meliputi spesifikasi teknis jembatan, perancangan penampang, analisis sifat-sifat penampang, pembebanan, analisis gaya prategang, kontrol tegangan dan lendutan, momen kapasitas, gaya geser, kehilangan gaya prategang (loss
of prestress) dan gambar desain jembatan.
Bab V Penutup
Bab ini merupakan penutup yang memberikan kesimpulan dan saran dari tugas akhir ini.
BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum
Dalam merencanakan jembatan jalan raya dan jembatan pejalan kaki di Indonesia dimana menggunakan komponen struktur beton bertulang dan beton prategang yang memakai beton normal harus mempunyai panjang bentang kurang dari 100 meter, apabila panjang bentang melebihi 100 meter maka menggunakan sistem struktur khusus, material khusus, ataupun cara yang pelaksanaan yang khusus pula.
Beton normal yang dipakai dalam perencanaan jembatan adalah beton yang dibuat dengan menggunakan semen portland dimana mempunyai berat jenis sekitar 2400 kg/m3 dan mempunyai kuat tekan (berdasarkan benda uji silinder) antara 20 mPa sampai 50 mPa, untuk struktur beton prategang dapat memiliki kuat tekan lebih dari 50 mPa.
Umur rencana jembatan untuk bentang pendek yaitu kurang dari 100 meter pada umumnya disyaratkan 50 tahun kecuali jembatan penting atau berbentang panjang dan bersifat khusus disyaratkan umur rencana 100 tahun.
Perkembangan jembatan beton prategang banyak diminati oleh kontruksi – kontruksi saat ini karena lebih efesien pekerjaannya, dalam merencanakannya perlu didasarkan pada perencanaan beban dan kekuatan terfaktor ( PBKT ). Disamping dalam perencanaan perlu memperhatikan faktor integritas
komponen-komponen structural keseluruhan jembatan dengan mempertimbangkan faktor – faktor sebagai berikut :
1. Kontinuitas dan redudansi
2. Semua komponen struktur jembatan harus mempunyai ketahanan yang terjamin terhadap kerusakan dan instabilitas sesuai umur jembatan yang direncanakan.
3. Aspek perlindungan eksternal terhadap kemungkinan adanya beban yang tidak direncanakan atau beban tak terduga.
Beton prategang memberikan keuntungan-keuntungan namun juga memiliki kekurangan-kekurangan dibanding dengan konstruksi lainnya.
Keuntungan dari pemakaian beton prategang :
1. Terhindar retak di daerah tarik, sehingga konstruksi lebih tahan terhadap korosi dan lebih kedap.
2. Penampang struktur lebih kecil/langsing, karena seluruh penampang dapat dipakai secara efektif.
3. Lendutan akhir yang terjadi lebih kecil dibandingkan dengan beton bertulang.
4. Dapat dibuat konstruksi dengan bentangan yang panjang.
5. Untuk bentang > 30 m dapat dibuat secara segmental sehingga mudah untuk transportasi dari pabrikasi ke lokasi proyek.
6. Ketahanan terhadap geser dan puntir bertambah, akibat pengaruh prategang meningkat.
7. Hampir tidak memerlukan perawatan dan 8. Mempunyai nilai estetika.
Kerugian dari pemakaian beton prategang :
1. Konstruksi ini memerlukan pengawasan dan pelaksanaan dengan ketelitian yang tinggi.
2. Untuk bentang > 40 m kesulitan pada saat erection karena bobot dan bahaya patah getaran.
3. Membutuhkan teknologi tinggi dan canggih. 4. Sangat sensitif dan peka terhadap pengaruh luar. 5. Biaya awal tinggi.
2.2 Prinsip Dasar Beton Prategang
Contoh-contoh yang paling dini tentang pembuatan tong kayu yang diperkuat dengan sabuk logam serta pemasangan sabuk logam disekeliling roda kayu menunjukkan bahwa seni prategangan telah dipraktekkan sejak zaman dahulu. Timbulnya retak-retak awal pada beton bertulang yang disebabkan oleh ketidakcocokan dalam regangan-regangan baja dan beton barangkali merupakan titik awal dikembangkannya suatu material baru seperti ”beton prategang”. Penerapan tegangan tekan permanen pada suatu material seperti beton, yang kuat menahan tekanan tetapi lemah dalam menahan tarikan, akan meningkatkan kekuatan tarik yang nyata dari material tersebut, sebab penerapan tegangan tarik yang berikutnya pertama-tama harus meniadakan prategang tekanan. Dalam tahun 1904, Freyssinet mencoba memasukkan gaya-gaya yang bekerja secara permanen pada beton untuk melawan gaya-gaya elastis yang ditimbulkan oleh beban dan gagasan ini kemudian telah dikembangkan dengan sebutan ”prategang”.
Sumber : Beton Prategang, Edward G.Nawy : 2001
Gambar 2-1 :Prinsip-prinsip dasar prategang.
Prategang dapat didefisinikan sebagai pemberian suatu gaya atau biasa juga dalam bentuk momen yang telah ditentukan terlebih dahulu terhadap suatu elemen struktur sedemikian rupa sehingga kombinasi dari tegangan akibat beban total dan tegangan akibat gaya prategang akan berada dalam batas tegangan tertentu yang diinginkan.
Jadi jika suatu balok lentur dipasang kabel prategang seperti pada Gambar 2-2 dan kabel tersebut berimpit dengan garis berat beton atau center gravity of
concrete (c.g.c) kemudian kabel tersebut ditarik dengan gaya Pi atau dengan
kata lain balok mendapat gaya tekan kosentris, maka meskipun beban mati balok belum bekerja (karena balok tersebut masih ditunjang oleh bekistingnya) maka balok tetap bekerja tegangan yang diagramnya seperti ditunjukkan pada Gambar 2-3.
kabel prategang (c.g.s) berimpit dengan c.g.c
kabel prategang (c.g.s) berimpit dengan c.g.c
Sumber : Desain Struktur Beton Prategang, T.Y Lin – H.Burns : 1991
Gambar 2-2 :Elemen prategang yang masih ditunjang oleh struktur bekisting.
tekan
penampang tegangan akibat persegi gaya prategang Pi
kabel
Sumber : Desain Struktur Beton Prategang, T.Y Lin – H.Burns : 1991
Gambar 2-3 :Distribusi tegangan pada tengah bentang penampang sebelum beban hidup dan mati bekerja.
Pada Gambar 2-2 diatas, jika umur beton sudah cukup maka kabel ditarik (pada saat itu struktur bekisting masih menunjang balok) dengan menggunakan dongkrak hidrolis (hydraulic jack), lalu ujung-ujungnya diangkur dan struktur bekisting dapat dilepas. Saat itu balok memikul berat sendirinya dan mendapatkan gaya tekan konsetris atau gaya prategang tepat pada c.g.c dan beban hidup belum bekerja. Adapun diagram tegangan kombinasi pada potongan balok pada tengah bentang (mid span) adalah sebagai berikut ;
tekan
penampang tegangan akibat persegi gaya prategang Pi
kabel -tekan tarik tegangan akibat -+ beban mati M + -tekan tegangan total =
Sumber : Beton Prategang, Edward G.Nawy : 2001
Gambar 2-4 :Distribusi tegangan pada tengah bentang penampang sebelum beban hidup bekerja.
Jika beban luar mulai bekerja maka diagram tegangan kombinasinya adalah sebagai berikut ;
P
P
L
Sumber : Beton Prategang, Edward G.Nawy : 2001
Gambar 2-5 :Penampang balok yang diberi gaya prategang secara konsentris.
tekan
-tekan
tarik (a) tegangan akibat
-+ beban mati + = tekan tarik -+ + -(b) tegangan akibat gaya prategang (c) tegangan akibat beban hidup (d) tegangan total tekan
Sumber : Beton Prategang, Edward G.Nawy : 2001
Dapat dilihat bahwa tegangan tarik lentur pada serat bawah akibat beban mati dan beban hidup harus tereliminir oleh tegangan tekan yang dihasilkan oleh gaya prategang yang besarnya harus sama dengan jumlah tegangan tarik lentur tadi. Sehingga dengan kata lain tegangan kombinasi atau tegangan total pada serat bawah antara tegangan tarik dan tegangan tekan saling menghapuskan hingga tidak ada lagi tegangan tarik yang bekerja (full presstresing).
Pada beton prategang, terdapat reduksi atau kehilangan gaya prategang (loss of
presstress) yang disebabkan atau dipengaruhi oleh waktu, akibat creep (rangkak
pada beton), shrinkage (penyusutan pada beton) dan relaksasi kabel baja prategang. Biasanya kehilangan gaya prategang yang terjadi berkisar antara 10 % hingga 30 %. Jika tidak boleh ada tegangan tarik yang diijinkan terjadi pada beton, maka perlu kiranya untuk memberikan gaya prategang awal (initial
presstress) yang lebih besar dari pada yang dibutuhkan untuk mengantisipasi
terjadinya kehilangan gaya prategang. Karena itu, jika distribusi tegangan akibat kehilangan gaya prategang terjadi, distribusi tegangan pada pemberian gaya prategang awal harus seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.7 berikut ini ;
tekan
-tekan
tarik (a) tegangan akibat
-+ beban mati + = tekan tarik -+ + -(b) tegangan akibat gaya prategang awal
(c) tegangan akibat beban hidup
(d) tegangan total sebelum terjadi tekan
kehilangan gaya prategang
Sumber : Beton Prategang, Edward G.Nawy : 2001
Gambar 2-7 :Distribusi tegangan pada tengah bentang penampang yang diberi gaya prategang awal secara konsentris
Pemberian gaya prategang dengan gaya yang konsentris seperti yang telah diilustrasikan di atas, memiliki kerugian yaitu bahwa serat atas yang dimaksudkan untuk melawan tegangan tekan yang diakibatkan oleh pemberian gaya prategang semakin bertambah dari tegangan tekan yang dihasilkan dari beban rencana. Apabila, karena pemberian gaya prategang yang efektif harus diberikan untuk menekan serat atas dan juga serat bawah, jika pemberian gaya prategang efektif sudah direncanakan untuk mengeliminir semua tegangan tarik lentur, tegangan total yang diakibatkan pemberian gaya prategang (P/A) harus sama dengan tegangan tarik lentur maksimum yang dihasilkan dari beban rencana.
Jika balok persegi yang sama diberi gaya prategang yang diletakkan pada 1/3 tinggi balok dari serat paling bawah balok (eksentris), distribusi tegangan akibat pemberian gaya prategang akan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2-7. Pada kasus ini, seperti contoh yang terdahulu, tegangan akhir pada serat bawah yang diakibatkan oleh pemberian gaya prategang harus sama besarnya dengan jumlah tegangan tarik yang dihasilkan dari beban rencana. Dengan membandingkan kedua diagram tegangan akibat prategang (gambar 6 dan 2-7), membuktikan bahwa tegangan rata-rata balok, yang diberi gaya prategang pada eksentrisitas 1/3 tinggi balok dari serat paling bawah, adalah hanya setengahnya dari yang dibutuhkan oleh balok yang diberikan gaya prategang konsentris. Maka dari itu gaya prategang total yang dibutuhkan untuk mendapatkan besar pemberian gaya prategang yang diinginkan pada contoh kedua hanya setengahnya dari jumlah yang dibutuhkan pada contoh pertama. Sebagai tambahan, serat atas tidak membutuhkan untuk membawa tegangan
tekan lain akibat pemberian gaya prategang pada saat gaya diaplikasikan di sepertiga tinggi balok.
tegangan akhir
tegangan awal
Sumber : Struktur Beton Prategang, Nova
Gambar 2-8 :Distribusi tegangan akibat gaya prategang yang diberikan pada 1/3 tinggi penampang balok persegi dari serat paling bawah
Jika kabel lurus dipasang pada eksentrisitas e dihitung dari c.g.c maka diagram tegangan kombinasinya adalah sebagai berikut ;
Pi
L
Pi c.g.c c.g.s eSumber : Beton Prategang, Edward G.Nawy : 2001
Gambar 2-9 :Penampang balok yang diberi gaya prategang secara eksentris
penampang persegi kabel -tarik tekan tegangan akibat Pi.e + -tekan tegangan akibat = MDL + Pi + -tekan tegangan total
Sumber : Beton Prategang, Edward G.Nawy : 2001
Gambar 2-10 :Distribusi tegangan pada tengah bentang penampang yang diberi gaya prategang secara eksentris
Karena pemberian gaya prategang pada kabel lurus yang dipasang pada eksentrisitas e dihitung dari c.g.c akan menimbulkan momen lentur sebesar Pi.e
Dengan membandingkan kedua diagram tegangan total, memberi bukti jelas bahwa pemberian gaya prategang eksentris lebih efektif daripada yang konsentris karena tegangan total (akibat beban mati, beban hidup dan gaya prategang) yang terjadi pada serat atas balok berupa tegangan tekan yang lebih kecil dari tegangan tekan serat bawahnya. Hal ini dianggap efektif karena pada umumnya beban-beban yang dipakai untuk mendisain balok jembatan dan beban mati balok itu sendiri menimbulkan tegangan tarik terhadap bidang bagian bawah dan ini diimbangi dengan lebih efektif dengan memakai tendon eksentris.
2.3 Analisa Tegangan Penampang Beton Prategang Terhadap Lentur
Perjanjian tanda yang dipakai untuk analisa tegangan ini adalah (+) untuk tegangan tarik dan (-) untuk tegangan tekan.
Kita tinjau balok prategang dimana kabelnya berimpit dengan c.g.c (centre
gravity of concrete).
Kabel ditarik dengan gaya prategang dengan gaya awal sebesar Pi, kemudian
ujung-ujungnya diangkur dan didongkrak hidrolis dilepas. Pada saat itu akan terjadi transfer atau pemindahan gaya prategang (tarik pada kabel menjadi tekan pada penampang beton). Tegangan tekan yang bekerja pada beton adalah :
) 1 . 2 ...( ... ... ... ... ... Ac Pi − = σ
Dimana :
= tegangan pada penampang beton Pi = gaya tekan konsentris
Ac = luas penampang beton
Jika kita tinjau balok prategang dimana trase kabelnya berbentuk lengkung seperti gambar dibawah ini :
c.g.c c.g.s e
P
iP
i c.g.c c.g.s eP
iSumber : Beton Prategang, Edward G.Nawy : 2001
Gambar 2-11 :Penampang balok prategang dengan trase kable kurva (lengkung) dan lokasi gaya prategang pada tengah bentang.
Gaya tekan Pi eksentris pada jarak e dari c.g.s. (centre gravity of steel). Jika
gaya Pi dipindahkan ke c.g.c, maka akan timbul momen sebesar Pi. e seperti
pada gambar dibawah ini :
c.g.c c.g.s
e
P
iP
i.
eSumber : Beton Prategang, Edward G.Nawy : 2001
Gambar 2-12 :Pemindahan gaya Pike c.g.c menimbulkan momen sebesar Pi.e
Momen ini akan mengakibatkan tegangan tarik (+) pada serat atas dan tegangan tekan (-) pada serat bawah. Tegangan total yang terjadi pada penampang beton akibat gaya prategang sebesar Piadalah sebagai berikut :
Dimana :
= tegangan pada penampang beton Pi = gaya tekan konsentris
Ac = luas penampang beton
M = momen Wa = momen lawan
Ix = Inersia penampang terhadap sumbu x
Secara umum perilaku balok prategang akibat lentur dapat dibedakan menjadi 5, yaitu :
1. Tidak berdefleksi (not deflection), jika kondisi tegangan persegi (merata) di setiap irisan penampang
2. Tidak tarik (not tension), jika kondisi tegangan segitiga dengan tegangan nol pada tepi bawah penampang
3. Retak (cracking), jika tegangan pada tepi bawah mencapai modulus retak bahan
4. Leleh (yielding), jika baja telah mencapai titik lelehnya 5. Ultimate, yaitu menggambarkan kondisi pada saat runtuh
) 2 . 2 ...( ... ... ... ... ... . . I y e Pi Ac Pi ± − = σ Wa M Ac Pi Ix y e Pi Ac Pi atas =− + . . = − + σ Wa M Ac Pi Ix y e Pi Ac Pi bawah = − − . . =− − σ
Dan gambar 2-13 menunjukkan grafik perilaku balok prategang akibat lentur tersebut.
Sumber : Stuktur Beton Prategang, Nova
Gambar 2-13 :Perilaku Balok Prategang Akibat Beban Lentur.
2.4 Material yang Digunakan Dalam Perancangan Balok Jembatan Aksi
Komposit
2.4.1 Element Balok Pracetak
Produksi element balok pracetak dalam skala besar biasanya dilakukan di pabrik atau wokshop pracetak atau pada proyek-proyek yang sangat besar. Pengambilan keputusan untuk memesan elemen pracetak dari pabrik atau menyediakan sendiri, biasanya dipengaruhi oleh letak lokasi, kondisi lapangan, efisiensi biaya, transportasi, perlengkapan dan peralatan, waktu dan lain-lain.
Kebanyakan dari elemen balok pracetak untuk jembatan jalan raya adalah sudah standar dalam hal satuan ukuran. Biasanya satuan ukuran yang sering digunakan adalah dalam satuan ft (foot) untuk ukuran dimensional dan mutu beton untuk beton prategang minimum K-350.
1'-4" 1' 5" 5" 11" 5" 4" 2'-4"
Sumber : Beton Prategang, Edward G.Nawy : 2001
Gambar 2-14 :Penampang balok pracetak standar untuk jembatan
Barangkali salah satu dari produksi pracetak yang paling sering digunakan saat ini adalah untuk balok jembatan jalan raya. Beberapa departemen perhubungan dengan jembatan jalan raya seperti AASTHO yang bekerja sama dengan PCI telah mengeluarkan desain balok pracetak standar yang lebih spesifik dalam penggunaan bermacam konstruksi jembatan. Balok pracetak didesain juga untuk terjadinya aksi komposit antara lantai (slab) yang dicor di tempat (cast in place) dan balok pracetak. Fungsi tipe balok jembatan ini sangat mirip dengan balok baja pada jembatan rangka baja biasa. Pengalaman telah memperlihatkan
bahwa pelaksana atau kontraktor sangat tertarik dengan desain tipe ini, karena pelaksanaan konstruksinya sangat mirip dengan apa yang mereka kenal selama ini. Konstruksi tipe ini biasa digunakan juga karena selama ini ditemukan lendutan yang relatif kecil dan dapat secara mudah ditanggulangi dan umumnya lebih ekonomis bila dibandingkan dengan tipe struktur yang lain.
2.4.2 Elemen Gelagar Melintang atau Balok Diafragma
Elemen gelagar melintang atau balok diafragma yang digunakan adalah beton pracetak (precast) dengan perkuatan tulangan baja biasa (mild steel).
2.4.3 Elemen Plat Lantai Beton Bertulang Biasa
Elemen plat lantai (slab) yang digunakan adalah beton bertulang biasa yang dicor ditempat (cast in place) dengan perkuatan tulangan baja biasa (mild steel).
2.4.4 Elemen Perkerasan Jalan
Elemen perkerasan jalan yang digunakan adalah aspal sesuai dengan ketentuan dan persyaratan tata cara perencanaan perkerasan jalan raya.
2.4.5 Element Tiang Sandaran
Demikian juga untuk elemen tiang sandaran yang digunakan adalah beton bertulang biasa yang dicor ditempat (cast in place) dengan perkuatan tulangan baja biasa (mild steel) dan sandarannya memakai pipa besi.
2.4.6 Tulangan Baja
1) Batang polos
2) Batang ulir (hot rolled) 3) Jaring kawat las
Sumber : Beton Prategang, Modu l Kuliah
Gambar 2-15 :Tipe Tulangan Baja Non Prategang.
Sumber : Beton Prategang, Edward G.Nawy : 2001
Maksud dari penggunaan baja tulangan, yaitu : 1. Meningkatkan kuat lentur ultimate. 2. Memberikan ketahanan geser.
3. Mencegah bursting dan spalling pada zona angkur.
Berdasarkan grade yang ditentukan sesuai dengan “Standard Spesification for
Deformed and Plain-Billet Stell Bars” ASTM A615, jenis tulangan baja ada 3
jenis, yaitu : 1. Grade 60
fy = 400 mPa. Ukuran diameter tulangan : D10 sampai D56. Umumnya
digunakan pada bangunan dan jembatan 2. Grade 40
fy = 280 mPa. Diameter tulangan : D10 sampai D19. Bersifat lebih daktail
3. Grade 75
fy = 525 mPa. Diameter tulangan : D19 sampai D56
Adapun bentuk kurva hubungan tegangan regangan untuk berbagai jenis tulangan seperti terlihat pada Gambar 2-17.
Sumber : Beton Prategang, Modul Kuliah
Gambar 2-17 :Kurva Hubungan Tegangan Regangan Untuk Berbagai Jenis Tulangan.
2.4.7 Kabel Prategang
Baja prategang atau kabel prategang memiliki mutu yang lebih tinggi dari baja tulangan biasa. Menurut ASTM A 416, kabel prategang memiliki 2 grade atau tingkatan yaitu grade 250 (G 250) dan grade 270 (G 270). Untuk kabel prategang G 250 memiliki tegangan batas 250.000 psi dan tegangan tarik minimum 17.500
kg/cm2. Sedangkan untuk kabel prategang G 270 memiliki tegangan tarik batas
Sumber : Beton Prategang, Edward G.Nawy : 2001
Gambar 2-18 :Diagram Tegangan dengan Baja Prategang.
Ada jenis kabel prategang, yaitu :
1. Kawat (wire) relaksasi rendah atau stress-relieved tak berlapisan
2. Untaian kawat (strand) relaksasi rendah atau stress-relieved strands tak berlapisan
3. Batang-batang baja mutu tinggi tak berlapisan (bar)
Menurut referensi “Prestressed Concrete Analysis and Design by Naaman”, pada gambar 2.3 (Sumitomo tensioning materials), macam-macam kabel prategang adalah kawat berpenampang bundar, kawat bertakik (indented wire), sumi twist,
two ply wire 2 lapis, untaian 7 kawat (seven wire strand), round bar (batang
Berikut ini adalah tabel mengenai seven wire strand menurut standar ASTM A. 4.1.6 untuk G-270
Tabel 2-1:Data-data kabel prategang seven wire strand G-270.
Diameter Luas Penampang nominal pu Grade in mm In2 mm2 ksi mPa 270 0,375 9,53 0,085 58,84 270 1860 0,438 11,11 0,115 74,19 270 1860 0,500 12,54 0,153 98,71 270 1860 0,563 14,29 0,192 123,87 270 1860 0,600 15,24 0,216 139,35 270 1860
Sumber : Desain Struktur Beton Prategang, T.Y. Lin – H.Burns : 1991
Untuk elemen baja, misalnya kawat baja, kabel batang, kawat untai atau suatu bundel dari elemen-elemen tersebut yang digunakan untuk memberi gaya prategang pada beton atau disebut juga tendon dibagi 2 jenis yaitu :
1. Tendon lurus 2. Tendon tidak lurus
Pada tendon lurus banyak digunakan pada balok pracetak dengan bentang sedang, sedangkan penggunaan tendon tidak lurus atau lengkung lebih umum digunakan pada elemen pascatarik atau posttensioning yang dicor ditempat.
Tendon yang tidak lurus ada dua macam yaitu : 1. Tendon Draped.
2. Tendon Harped
Tendon miring dengan diskontinuitas alinyemen di bidang-bidang dimana terdapat beban terpusat, digunakan pada balok yang terutama mengalami beban transversal terpusat.
e
Beban terbagi rata w/ft
Tendon lurus pratarik
Beban terbagi rata w/ft
Tendon pascatarik berbentuk parabolik e
Beban terbagi rata w/ft
Tendon pascatarik berbentuk harped e (a) (b) (c)
Sumber : Beton Prategang, Edward G.Nawy : 2001
Gambar 2-19 :Bentuk-bentuk tendon. (a) Tendon Lurus, (b) Tendon Draped, (c) Tendon Harped
Keuntungan penggunaan tendon berbentuk Draped dan Harped yaitu :
1. Balok prategang yang dihasilkan mampu memikul beban besar karena adanya efek penyeimbang komponen vertikal dari tendon prategang tak lurus.
2. Kekuatan tekan seragam jika tendon bekerja di pusat berat beton di tumpuan.
3. Strands yang diperlukan lebih sedikit. 4. Penampang beton lebih efisien.
Sumber : Beton Prategang, Edward G.Nawy : 2001
Gambar 2-20 :Jenis Tendon Prategang.
Sumber : Beton Prategang, Edward G.Nawy : 2001
Gambar 2-22 :Contoh Angkur Tengah (VSL).
Sumber : Beton Prategang, Edward G.Nawy : 2001
2.4.8 Selongsong
2.4.8.1 Cetakan
2.4.8.1.1 Formed Ducts
Selongsong yang dibuat dengan mengunakan lapisan tipis yang tetap di tempat. Harus berupa bahan yang tidak memungkinkan tembusnya pasta semen. Selongsong tersebut harus mentransfer tegangan lekatan yang dibutuhkan dan harus dapat mempertahankan bentuknya pada saat memikul berat beton. Selongsong logam harus berupa besi, yang dapat saja digalvanisasi
2.4.8.1.2 Cored Ducts
Selongsong seperti ini harus dibentuk tanpa adanya tekanan yang dapat mencegah aliran suntikan. Semua material pembentuk saluran jenis ini disingkirkan.
2.4.8.2 Celah atau Bukaan Suntikan
Semua selongsong harus mempunyai bukaan untuk suntikan di kedua ujung. Untuk kabel drapped, semua titik yang tinggi harus mempunyai celah suntikan kecuali di lokasi dengan kelengkungan kecil, seperti pada slab menerus. Celah suntikan atau lubang buangan harus digunakan di titik-titik rendah jika tendon akan diletakkan, diberi tegangan dan disuntik pada cuaca beku. Semua celah atau bukaan suntikan harus dapat mencegah bocornya suntikan.
2.4.8.3 Ukuran Selongsong
Untuk tendon yang terdiri dari kawat, batang atau strands, luas selongsong harus sedikitnya dua kali luas netto baja prategang. Untuk tendon yang terdiri atas satu kawat, batang atau strands, diameter selongsongnya harus sedikitnya ¼ lebih besar dari pada diameter nominal kawat, batang atau strands.
2.4.8.4 Peletakan Selongsong
Sesudah selongsong diletakkan dan pencetakan selesai, harus dilakukan pemeriksaan untuk menyelidiki kerusakan selongsong yang mungkin ada. Selongsong harus dikecangkan dengan baik pada jarak-jarak yang cukup dekat, untuk mencegah peralihan selama pengecoran beton. Semua lubang atau bukaan di selongsong harus diperbaiki sebelum pengecoran beton. Celah atau bukaan untuk penyuntikan harus diangkur dengan baik pada selubung dan pada baja tulangan atau cetakan, untuk mencegah peralihan selama operasi pengecoran beton.
Sumber : Beton Prategang, Edward G.Nawy : 2001
2.4.9 Angkur
Suatu alat yang digunakan untuk menjangkarkan tendon kepada komponen struktur beton dalam sistem posttensioning atau suatu alat yang digunakan untuk menjangkarkan tendon selama proses pengerasan beton dalam sistem posttensioning.
2.5 Daerah aman kabel
Definisi dari daerah aman atau daerah kern adalah daerah yang dibatasi oleh batas atas dan batas bawah kabel dimana tempat kedudukan atau lokasi resultan gaya tekan atau garis tekan atau C line (Compression line, Pressure line, Thrust line) harus berada di dalam derah ini agar tegangan tarik dan tegangan tekan yang terjadi masih dalam batas tegangan yang diizinkan.
Penentuan derah aman untuk menentukan lokasi kabel prategang pada elemen balok prategang, yaitu :
Untuk batas atas atau kern atas dimana tegangan tarik tidak boleh terjadi,
e diukur atau diplot dari kern atas.
Sedangkan untuk batas bawah atau kern bawah dimana tegangan tarik tidak boleh terjadi,
e diukur atau diplot dari kern atas.
P M e= T P M e= T
Dimana :
e = eksentrisitas
MT = Momen total akibat beban mati dan beban hidup
MG = Momen total akibat beban mati dan beban mati
Pe = Gaya prategang efektif setelah terjadi kehilangan gaya
prategang
Ada beberapa kemungkinan daerah aman dalam suatu perencanaan, yaitu :
c.g.c C c.g.c C (a) (b) c.g.c C (c)
Sumber : Struktur Beton Prategang, Nova
Gambar 2-25 : Tipe-tipe daerah aman dalam suatu perencanaan. (a) Sesuai untuk perencanaan; (b) Perencanaan optimim; (c) Perencanaan tidak memenuhi syarat.
a. Pada tengah bentang, dimana jarak antara batas atas dan batas bawah cukup besar maka posisi kabel dapat ditempatkan diantara kedua batas tersebut (Gambar 2-25a). Hal ini sesuai dengan perancanaan yang diinginkan.
b. Pada tengah bentang, dimana batas atas dan batas bawah saling berhimpit maka posisi kabel harus tepat berada di titik yang berhimpit tersebut (Gambar 2-25b). Perencanaan dalam kondisi seperti ini adalah sangat optimum.
c. Pada tengah bentang, dimana daerah aman berada diluar penampang (Gambar 2-25c) maka kabel tidak dapat ditempatkan pada kondisi ini. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh tinggi penampang yang kurang besar atau memadai sehingga perencanaan harus diubah.
2.6 Pembebanan
Kriteria perancangan yang digunakan untuk penentuan pembebanan berdasarkan pada pedoman Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI-T-02-2005). Pembebanan pada perencanaan jembatan terdiri dari beban primer dan beban sekunder.
2.6.1 Beban Primer
2.6.1.1 Beban Mati
Beban mati adalah beban seluruh beban yang berasal dari berat sendiri bangunan atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala unsur tambahan yang dianggap merupakan satu kesatuan tetap dihitung berdasarkan volume dikalikan dengan berat jenis bahan.
Tabel 2-2 :Berat isi untuk beban mati No Bahan Berat/Satuan Isi (kN/m3) Kerapatan Masa (kg/m3) 1 Campuran aluminium 26.7 2720
2 Lapisan permukaan beraspal 22 2240
3 Besi tuang 71 1760
4 Timbunan tanah dipadatkan 17.2 1920-2320
5 Kerikil dipadatkan 18.8-22.7 1920-2320 6 Aspal beton 22 2240 7 Beton ringan 12.25-19.6 1250-2000 8 Beton 22.0-25.0 2240-2560 9 Beton prategang 25.0-26.0 2560-2640 10 Beton bertulang 23.5-25.5 2400-2600 11 Timbal 111 11 400 12 Lempung lepas 12.5 1280 13 Batu pasangan 23.5 2400 14 Neoprin 11.3 1150 15 Pasir kering 15.7-17.2 1600-1760 16 Pasir basah 18.0-18.8 1840-1920 17 Lumpur lunak 17.2 1760 18 Baja 77 7850 19 Kayu (ringan) 7.8 800 20 Kayu (keras) 11 1120 21 Air murni 9.8 1000 22 Air garam 10 1025 23 Besi tempa 75.5 7680 Sumber : RSNI T-02-2005
Untuk unsur tambahan dapat bervariasi pada jembatan misalnya : 1. Perawatan permukaan khusus
2. Pelapisan ulang dianggap menyimpang dan dianggap 50 mm aspal beton 3. Perhitungan beratnya :
4. T x d x Bj aspal
5. Dimana : t = tebal perkerasan d = lebar efektif jalan
6. Sandaran, pagar pengaman dan penghalang beton 7. Tanda – tanda dan perlengkapan jalan
2.6.1.2 Beban Lalu-Lintas/Beban Hidup
Beban lalu-lintas adalah semua beban yang berasal dari berat kendaraan yang bergerak dan beban orang yang berjalan kaki dianggap bekerja pada jembatan. Beban lalu-lintas pada jembatan ditinjau dalam dua macam pembebanan, yaitu beban lajur D yang merupakan beban jalur untuk gelagar dan beban truck T yang merupakan beban untuk lantai kendaraan.
2.6.1.3 Lantai Kendaraan dan Jalur Lalu lintas
Jalur lalu lintas mempunyai lebar minimum 2,75 meter dan lebar maksimum 3,75 meter. Sedangkan beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan terdiri atas beban lajur "D" dan beban truk "T". Untuk lebar jalur minimum harus digunakan untuk menentukan beban ‘’D’’ perjalur. Jumlah jalur lalu lintas untuk lantai kendaraan yang di gunakan untuk menentukan beban ‘’D’’ per jalur di tentukan menurut Tabel 2-3, jumlah jalur jembatan ini di gunakan dalam menentukan beban ‘’D’’ pada perhitungan reaksi perletakan.
Tabel 2-3 :Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana
Tipe Jembatan (1) Lebar Jalur Kendaraan (m) (2) Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana (n1)
Satu Lajur 4.0 ~ 5.0 1
Dua arah, tanpa median 5.5 ~ 8.25 11,3 ~ 15.0 2 (3) 4 Banyak Arah 8.25 ~ 11.25 11.3 ~ 15.0 15.1 ~ 18.75 18.8 ~ 22.5 3 4 5 6 Catatan (1) Catatan (2) Catatan (3)
Untuk jembatan tipe lain, jumlah lajur lalu lintas rencana harus ditentukan oleh Instansi yang berwenang.
Lebar jalur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb atau rintangan untuk satu arah atau jarak antara kerb/rintangan/median dengan median untuk banyak arah.
Lebar minimum yang aman untuk dua-lajur kendaraan adalah 6.0 m.
Sumber : RSNI T-02-2005
2.6.1.3.1 Beban D
Beban lajur "D" bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan suatu iring-iringan kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur "D" yang bekerja tergantung pada lebar jalur kendaraan itu sendiri.
Secara umum, beban "D" akan menjadi beban penentu dalam perhitungan jembatan yang mempunyai bentang sedang sampai panjang, sedangkan beban "T" digunakan untuk bentang pendek dan lantai kendaraan.
Dalam menghitung momen maksimum positif akibat beban lalu-lintas atau beban hidup (beban merata dan beban garis) pada gelagar diatas dua perletakan atau simple span, dipakai satu beban terpusat yang diletakkan ditengah-tengah
bentang dan beban merata sepanjang bentang gelagar. Dalam keadaan tertentu beban "D" yang harganya telah diturunkan atau dinaikkan mungkin dapat digunakan. Beban lajur "D" terdiri dari beban tersebar merata (BTR) yang digabung dengan beban garis (BGT) seperti terlihat dalam Gambar 2-26.
Beban terbagi rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa, dimana besarnya q tergantung pada panjang total yang dibebani L seperti berikut :
L≤ 30 m : q = 9,0 kPa
L > 30 m : q = 9,0 ( 0.5 + 15/L ) kPa
dengan pengertian :
q adalah intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang jembatan L adalah panjang total jembatan yang dibebani (meter) Hubungan ini bisa dilihat dalam Gambar 2-27.
Panjang yang dibebani L adalah panjang total BTR yang bekerja pada jembatan. BTR mungkin harus dipecah menjadi panjang-panjang tertentu untuk mendapatkan pengaruh maksimum pada jembatan menerus atau bangunan khusus.
Beban garis (BGT) dengan intensitas p kN/m harus ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas pada jembatan. Besarnya intensitas p adalah 49,0 kN/m.
Untuk mendapatkan momen lentur negatif maksimum pada jembatan menerus, BGT kedua yang identik harus ditempatkan pada posisi dalam arah melintang jembatan pada bentang lainnya. Ini bisa dilihat dalam Gambar 6.
Sumber : RSNI-02-2005
Gambar 2-26 :Distribusi beban ‘’ D’’ yang bekerja pada jembatan
Sumber : RSNI T-02-2005
Gambar 2-27 :Hubungan Beban Terbagi Rata (BTR) dengn Panjang Jembatan
Beban "D" harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga menimbulkan momen maksimum. Penyusunan komponen-komponen BTR dan BGT dari beban "D" pada arah melintang harus sama. Penempatan beban ini dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Bila lebar jalur kendaraan jembatan kurang atau sama dengan 5,5 m, maka beban "D" harus ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100 %.
2. Apabila lebar jalur lebih besar dari 5,5 m, beban "D" harus ditempatkan pada jumlah lajur lalu lintas rencana (nl) yang berdekatan (Tabel 2-3), dengan intensitas 100%. Hasilnya adalah beban garis ekuivalen sebesar nl x 2,75 q kN/m dan beban terpusat ekuivalen sebesar nl x 2,75 p kN, kedua-duanya bekerja berupa strip pada jalur selebar nl x 2,75 m; 3. Lajur lalu lintas rencana yang membentuk strip ini bisa ditempatkan
dimana saja pada jalur jembatan. Beban "D" tambahan harus ditempatkan pada seluruh lebar sisa dari jalur dengan intensitas sebesar 50%. Susunan pembebanan ini bisa dilihat dalam Gambar 2-28.
4. Luas jalur yang ditempati median harus dianggap bagian jalur dan dibebani dengan beban yang sesuai, kecuali apabila median tersebut terbuat dari penghalang lalu lintas yang tetap.
b 100 % Intensitas beban "b" KURANG DARI 5.5 m Intensitas beban n1 x 2.75 b 50 %100 % Intensitas beban n1 x 2.75 b 50 %100 %
"b" LEBIH DARI 5.5 m - PENEMPATAN ALTERNATIF
Sumber : RSNI T-02-2005
Gambar 2-28 :Penyebaran pembebanan pada arah melintang
Distribusi beban hidup dalam arah melintang digunakan untuk memperoleh momen dan geser dalam arah longitudinal pada gelagar
lebar balok (tidak termasuk kerb dan trotoar) dengan intensitas100% untuk panjang terbebani yang sesuai.
2.6.1.3.2 Beban T
Beban truk "T" adalah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap as terdiri dari dua bidang kontak pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi pengaruh roda kendaraan berat. Pembebanan truk "T" terdiri dari kendaraan truk semi-trailer yang mempunyai susunan dan berat as seperti terlihat dalam Gambar 7. Berat dari masing-masing as disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang merupakan bidang kontak antara roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2 as tersebut bias diubah-ubah antara 4,0 m sampai 9,0 m untuk mendapatkan pengaruh terbesar pada arah memanjang jembatan.
Sumber : RSNI T-02-2005
Gambar 2-29 :Pembebanan truck ”T” (500 kN).
Dalam arah melintang terlepas dari panjang jembatan atau susunan bentang, hanya ada satu kendaraan truk "T" yang bisa ditempatkan pada satu lajur lalu
lintas rencana. Kendaraan truk "T" ini harus ditempatkan ditengah-tengah lajur lalu lintas rencana seperti terlihat dalam Gambar 2-29.
Jumlah maksimum lajur lalulintas rencana di berikan dalam Tabel 4. lajur – jalur ini di tempatkan di mana saja antar kerb.
Tabel 2-4 :Klarifikasi menurut kelas jalan
Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat
MST ( ton ) Arteri I II III A >10 10 8 Kolektor III A III B 8
Sumber : Bridge Management System, 1992
2.6.1.4 Beban pada Trotoir, Kerb dan Sandaran
Kontruksi trotoir harus di perhitungkan terhadap beban hidup sebesar 500 kg/m2. dalam perhitungan kekuatan gelagar karena pengaruh beban hidup pada trotoir, di perhitungkan beban sebesar 60% beban hidup trotoir.
Tabel 2-5 :Jumlah median anggapan untuk menghitung reaksi perletakan Jumlah Jalur Lalu lintas Jumlah Median Anggapan Jumlah Jalur Lalu lintas Jumlah Median Anggapan n = 4 n = 5 n = 6 n = 7 1 1 1 1 n = 8 n = 9 n = 10 3 3 3
Sumber : Bridge Management System, 1992
Kerb yang terdapat pada tepi-tepi lantai kendaran harus di perhitungkan untuk dapat menahan satu beban horizontal kearah melintang jembatan sebesar 500
kg/m’ yang bekerja pada puncak yang bersangkutan atau pada tinggi 25 cm di atas permukaan lantai kendaraan apabila kerb yang bersangkutan lebih tinggi dari 25 cm.
Tiang – tiang sandaran pada setiap tepi trotoir harus di perhitungkan untuk dapat menahan beban horizontal sebesar 100 kg/m’, yang bekerja pada tinggi 90 cm di atas lantai trotoir.
2.6.1.5 Faktor Beban Dinamis (FBD)
1. Faktor beban dinamis (FBD) merupakan hasil interaksi antara kendaraan yang bergerak dengan jembatan. Besarnya FBD tergantung kepada frekuensi dasar dari suspensi kendaraan, biasanya antara 2 sampai 5 Hz untuk kendaraan berat, dan frekuensi dari getaran lentur jembatan.
2. Besarnya BGT dari pembebanan lajur "D" dan beban roda dari Pembebanan Truk "T" harus cukup untuk memberikan terjadinya interaksi antara kendaraan yang bergerak dengan jembatan. Besarnya nilai tambah dinyatakan dalam fraksi dari beban statis. FBD ini diterapkan pada keadaan batas daya layan dan batas ultimit.
3. Untuk pembebanan "D" : FBD merupakan fungsi dari panjang bentang ekuivalen seperti tercantum dalam Gambar 2-30. Untuk bentang tunggal panjang bentang ekuivalen diambil sama dengan panjang bentang sebenarnya. Untuk bentang menerus panjang bentang ekuivalen LE diberikan dengan rumus :
Dengan pengertian :
LAV adalah panjang bentang rata-rata dari kelompok bentang yang
disambungkan secara menerus.
MAX AV E L L
Lmax adalah panjang bentang maksimum dalam kelompok bentang yang
disambung secara menerus.
4. Untuk pembebanan truk "T" : FBD diambil 30%. Harga FBD yang dihitung digunakan pada seluruh bagian bangunan yang berada diatas permukaan tanah. Untuk bagian bangunan bawah dan fondasi yang berada dibawah garis permukaan, harga FBD harus diambil sebagai peralihan linier dari harga pada garis permukaan tanah sampai nol pada kedalaman 2 m. Untuk bangunan yang terkubur, seperti halnya gorong-gorong dan struktur baja-tanah, harga FBD jangan diambil kurang dari 40% untuk kedalaman nol dan jangan kurang dari 10% untuk kedalaman 2 m. Untuk kedalaman antara bisa diinterpolasi linier. Harga FBD yang digunakan untuk kedalaman yang dipilih harus diterapkan untuk bangunan seutuhnya.
Sumber : RSNI T-02-2005
Gambar 2-30 :Faktor beban dinamis untuk BGT untuk pembebanan lajur ”D”.
2.6.1.6 Gaya akibat tekanan tanah
Bagian bangunan jembatan yang menahan tanah harus di rencanakan dapat menahan tekanan tanah sesuai rumus-rumus yang ada. Beban kendaraan di
belakang bangunan penahan tanah di perhitungkan senilai dengan muatan tanah setinggi 60 cm.
2.6.2 Beban Sekunder
2.6.2.1 Beban Angin
Gaya nominal ultimit dan daya layan jembatan akibat angin tergantung kecepatan angin rencana seperti berikut :
TEW = 0,0006 Cw (Vw)2 Ab [ kN ]
dengan pengertian :
VW adalah kecepatan angin rencana (m/s) untuk keadaan batas yang ditinjau.
CW adalah koefisien seret - lihat Tabel 2-6
Ab adalah luas koefisien bagian samping jembatan (m2)
Kecepatan angin rencana harus diambil seperti yang diberikan dalam Tabel 2-7. Luas ekuivalen bagian samping jembatan adalah luas total bagian yang masif dalam arah tegak lurus sumbu memanjang jembatan. Untuk jembatan rangka luas ekivalen ini dianggap 30 % dari luas yang dibatasi oleh batang-batang bagian terluar. Angin harus dianggap bekerja secara merata pada seluruh bangunan atas. Apabila suatu kendaraan sedang berada diatas jembatan, beban garis merata tambahan arah horisontal harus diterapkan pada permukaan lantai seperti diberikan dengan rumus :
TEW = 0,0012 Cw (Vw)2 Ab [ kN ]
dengan pengertian : CW = 1.2
Tabel 2-6 :Koefisien seret Cw
Tipe Jembatan CW
Bangunan atas massif : (1), (2)
b/d = 2.0 1.5 (3)
b/d 6.0 1.25 (3)
Bangunan atas rangka 1.2
Catatan (1) b = lebar keseluruhan jembatan dihitung dari sisi luar sandaran
d = tinggi bangunan atas, termasuk tinggi bagian sandaran yang massif Catatan (2) Untuk harga antara dari b / d bisa di interpolasi linier
Catatan (3) Apabila bangunan atas mempunyai superelevasi, Cw harus dinaikkan sebesar 3 % untuk setiap derajat superelevasi, dengan kenaikan maksimum
Sumber : RSNI T-02-2005
Tabel 2-7 :Kecepatan agin rencana Vw
Lokasi Keadaan
Batas Sampai 5 km dari pantai > 5 km dari pantai
Daya Layan 30 m/s 25 m/s
Ultimit 35 m/s 30 m/s
Sumber : RSNI T-02-2005
2.6.2.2 Gaya akibat perbedaan suhu
Pengaruh temperatur dibagi menjadi :
1. Variasi temperatur jembatan rata-rata digunakan dalam menghitung pergerakan pada temperatur dan sambungan pelat lantai, dan untuk menghitung beban akibat terjadinya pengekangan dari pergerakan tersebut. Variasi temperatur rata-rata berbagai tipe bangunan jembatan diberikan dalam Tabel 2-8. Besarnya harga koefisien perpanjangan dan modulus elastisitas yang digunakan untuk menghitung besarnya pergerakan dan gaya yang terjadi diberikan dalam Tabel 2-9.
2. Variasi temperatur di dalam bangunan atas jembatan atau perbedaan temperatur disebabkan oleh pemanasan langsung dari sinar matahari di waktu siang pada bagian atas permukaan lantai dan pelepasan kembali
radiasi dari seluruh permukaan jembatan di waktu malam. Pada tipe jembatan yang lebar mungkin diperlukan untuk meninjau gradien perbedaan temperatur dalam arah melintang.
Tabel 2-8 :Temperatur jembatan rata-rata nominal
Tipe Bangunan Atas Temperatur Jembatan
Rata-rata Minimum (1)
Temperatur Jembatan Rata-rata Maksimum
Lantai beton di atas gelagar atau boks beton.
15 °C 40 °C
Lantai beton di atas gelagar, boks atau rangka baja.
15 °C 40 °C
Lantai pelat baja di atas gelagar, boks atau rangka baja.
15 °C 45 °C
Catatan (1) Temperatur jembatan rata-rata minimum bisa dikurangi 5°C untuk lokasi yang terletak pada ketinggian lebih besar dari 500 m diatas permukaan laut.
Sumber : RSNI T-02-2005
Tabel 2-9 :Sifat bahan rata-rata akibat pengaruh temperatur Bahan Koefisien perpanjangan
akibat suhu
Modulus Elastisitas mPa
Baja Beton :
Kuat tekan <30 mPa Kuat tekan <30 mPa Aluminium 12 x 10-6 per °C 10 x 10-6 per °C 11 x 10-6 per °C 24 x 10-6 per °C 200.000 25.000 34.000 70.000 Sumber : RSNI T-02-2005 2.6.2.3 Gaya rem
Bekerjanya gaya-gaya di arah memanjang jembatan, akibat gaya rem dan traksi, harus ditinjau untuk kedua jurusan lalu lintas. Pengaruh ini diperhitungkan senilai