• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Rencana reklamasi Teluk Benoa ini digagas oleh PT Tirta Wahana Bali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Rencana reklamasi Teluk Benoa ini digagas oleh PT Tirta Wahana Bali"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setidaknya sejak 2013 terjadi perdebatan di lingkup masyarakat Bali pada khususnya dan nasional juga internasional pada umumnya yang dikarenakan adanya rencana untuk mereklamasi Teluk Benoa. Secara resmi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 yang secara garis besar menyatakan bahwa Teluk Benoa berpotensi untuk dikembangkan dan dapat direklamasi sampai 700 hektar. Rencana reklamasi Teluk Benoa ini digagas oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional (PT TWBI) yang sekaligus menjadi investor mega proyek ini. Rencananya area hasil reklamasi ini akan digunakan untuk tempat pariwisata dan aktivitas pendidikan, perniagaan, dan agama. Di sisi lain, aliansi masyarakat lintas sektoral, Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI), mengklaim bahwa reklamasi akan membawa dampak negatif, di antaranya kerusakan lingkungan, banjir, dan krisis air. Reklamasi Teluk Benoa juga dianggap akan membawa ketimpangan pembangunan di area Bali karena terlalu terfokus pada Bali Selatan.1

Pada mulanya pro dan kontra terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa ini berpusat pada aspek lingkungan dan ekonomi hingga pada tahun 2015 mulai                                                                                                                

(2)

mencuat penolakan yang berlandaskan teologis, yaitu wacana tentang kawasan suci. Istilah kawasan suci sendiri di lingkup masyarakat Bali dan agama Hindu Bali sudah muncul pada tahun 1994 melalui bhisama (keputusan) yang dikeluarkan Parisada Hindu Bali Indonesia (selanjutnya disebut Parisada), majelis agama Hindu tertinggi di Indonesia. Melalui bhisama tersebut dijelaskan bahwa pantai, laut, dan campuhan (pertemuan air sungai dan laut) diyakini memiliki nilai kesucian. Keputusan Parisada tersebut kemudian diadaptasi oleh peraturan pemerintah baik di level daerah maupun pusat yang menjadikan istilah kawasan suci memiliki nilai hukum. Mengacu pada bhisama dan peraturan-peraturan pemerintah tersebut seharusnya otomatis menjadikan Teluk Benoa sebagai kawasan suci karena pantai, laut, dan campuhan terdapat di dalamnya.

Dalam konteks pembahasan Teluk Benoa sebagai kawasan suci secara spesifik, klaim kesucian kawasan Teluk Benoa pertama kali disampaikan oleh ForBALI. Berdasarkan penelitian tersebut dikatakan setidaknya ada 70 titik suci di kawasan Teluk Benoa. Dalam perkembangannya, titik suci ini bertambah menjadi 70 titik suci dikarenakan adanya data tambahan dari lapangan. Titik-titik suci tersebut terdiri dari 31 pura, 17 loloan, 2 sawangan (loloan yang dalam), 19

muntig, dan 1 lamun (kumpulan tanaman laut). Data tersebut bersumber pada

kajian lontar-lontar kuno dan wawancara dengan pemuka agama dan masyarakat setempat. Penelitian tersebut dilakukan oleh mahasiswa planologi Universitas

(3)

Negeri Hindu Indonesia dan Sugi Lanus.2 Sedang apa yang dimaksud dengan kawasan suci adalah kawasan yang memiliki nilai signifikan bagi pemeluk Hindu Bali. Salah satu signifikansi dari kawasan suci sendiri mengacu pada perannya sebagai tempat melakukan ritual atau upacara keagamaan.

Wacana tentang kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan suci juga digulirkan oleh Parisada. Sebelumnya pada pasamuhan agung (kongres besar) yang diadakan pada tanggal 23-25 Oktober 2015 di Jakarta, Parisada membentuk Tim 9 Pandita yang terdiri dari 9 pandita (pemuka agama Hindu Bali) yang bertugas mengkaji kesucian Teluk Benoa.3 Hasil kajian tersebut kemudian direkomendasikan kepada Sabha Pandita (organ tertinggi di Parisada yang terdiri dari 33 pandita) dalam Pasamuhan Sabha Pandita (kongres Sabha Pandita) pada 9 April 2016 di Sekretariat Parisada Bali. Berdasarkan kajian Tim 9 Pandita kawasan Teluk Benoa merupakan wilayah yang di dalamnya ada beberapa kawasan suci sesuai dengan struktur dan konstruksi kawasan suci dan tempat suci yang meliputi empat unsur: (1.) kawasan suci pantai yang digunakan untuk ritual seperti melasti (upacara pembersihan diri sebelum Nyepi), (2.) kawasan

campuhan, (3.) kawasan suci laut yang digunakan untuk ritual seperti mulang

                                                                                                               

2 Sugi Lanus adalah seorang peneliti independen. Sugi Lanus merupakan lulusan Bahasa Bali dari

Universitas Udayana. Sugi Lanus juga memperlajari Bahasa Jawa Kuno secara tradisional dan belajar pada guru-guru tradisional. Sumber yang digunakan oelh Sugi Lanus pada kajian ini adalah lontar-lontar dari abad ke-16. Figur ini mempunyai peran yang cukup sentral dalam memberikan pandangan tentang wacana kawasan suci baik di ForBALI maupun Parisada. Dalam konteks ForBALI, Sugi Lanus ikut dalam kajian kawasan suci Teluk Benoa. Sedang dalam konteks Parisada, hasil kajiannya bersama ForBALI yang dipakai oleh Sabha Walaka dalam mengajukan klaim kesucian Teluk Benoa kepada Sabha Pandita.

3 http://phdi.or.id/berita/phdi-bentuk-tim-sembilan-kaji-kawasan-teluk-benoa diakses pada 19

(4)

pekelem (ritual memberi persembahan di danau atau laut), dan (4.) tempat suci

atau pura.4 Rekomendasi dari Tim 9 Pandita tersebut disetujui oleh seluruh

pandita pada pertemuan tersebut.

Keputusan akan kesucian Teluk Benoa yang dikeluarkan oleh Parisada tersebut berlaku secara nasional. Walaupun terlihat bahwa Parisada hanya menekankan pada kajian teologis tetapi pada kenyataannya keputusan tersebut akan direkomendasikan kepada pemerintah baik di daerah maupun pusat. Hal tersebut menunjukkan bagaimana Parisada ikut berpolitik dan berupaya memberikan pengaruh pada kebijakan pemerintah dengan landasan ajaran agama. Berdasarkan sensus 2010, 83,46% penduduk di Bali adalah pemeluk Hindu Bali.5 Mengacu pada data demografi tersebut penting untuk melihat bagaimana elemen Hindu berperan signifikan dalam kehidupan di Bali, khususnya dalam aspek politik, sosial juga pariwisata.

Secara garis besar penelitian kali ini berfokus pada elemen agama, dalam hal ini legitimasi agama dan institusi agama, berperan dalam politik dan sosial di Bali pada khusunya, dan pusat pada umumnya. Penelitian kali ini berfokus pada wacana kawasan suci yang dilegitimasi ajaran Hindu Bali berperan signifikan dalam usaha penolakan rencana reklamasi Teluk Benoa dan bagaimana Parisada sebagai institusi agama menggunakan argumentasi kawasan suci untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Diangkatnya argumen agama yang bersifat                                                                                                                

4 http://posbali.com/kawasan-teluk-benoa-ditata-sesuai-bhisama-keputusan-sabha-pandita-phdi-pusat/

diakses pada 18 April 2016 diakses pada 18 April 2016  

(5)

eksklusif secara eksplisit dalam perdebatan publik dapat dikatakan sebagai anti-tesis dari anggapan bahwa dalam suatu negara demokrasi yang plural, organisasi keagamaan seharusnya tidak menggunakan landasan teologi dalam menyampaikan maupun memperkuat argumen di ruang publik. Rawls berpendapat di dalam rezim konstitusi yang berdemokrasi, doktrin komprehensif (comprehensive doctrine) mengenai kebenaran digantikan oleh nalar publik yang bersumber dari ide yang beralasan secara politik yang ditujukan kepada warga negara sebagai warga negara (1999, 55). Studi kasus ini menunjukkan bahwa bagaimana nalar agama tampil di ruang publik dan menunjukkan bahwa dalam konteks Indonesia pada umumnya dan Bali pada khususnya, dikotomi agama dan negara secara ketat perlu dipertanyakan ulang karena tidak menggambarkan realitas yang ada sebagaimana sudah dibahas dalam banyak literatur, dalam kenyataannya negara dan agama jarang terpisah secara ketat dan hal tersebut tidak serta merta bahwa demokrasi menjadi tidak mungkin.6 Tesis ini menunjukkan hal tersebut dalam kasus penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa oleh Parisada tanpa memberikan penilaian baik-buruknya argumen agama yang dikemukakan oleh Parisada.

                                                                                                               

6 Lihat Hefner, Robert W. 1998 Multiple Modenities: Christianity, Islam, and Hinduism in Globalizing

(6)

1.2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini akan mengkaji dan menemukan jawaban atas pertanyaan berikut:

1. Bagaimana “kawasan suci” dikonstruksi secara beragam oleh negara melalui peraturan pemerintah dan juga oleh organisasi agama dan organisasi kemasyarakatan?

Pertanyaan ini akan membantu dalam menjelaskan seberapa kuat klaim kesucian Teluk Benoa dalam penolakan reklamasi. Selain itu pertanyaan ini juga akan menjabarkan siapa dan dalam konteks apa argumentasi ini dipakai. Argumentasi kesucian kawasan Teluk Benoa yang berlandaskan ajaran Hindu Bali ini juga akan menunjukkan bahwa teori nalar publik yang menganggap bahwa nalar agama yang bersifat eksklusif tak boleh muncul dalam demokarasi menjadi tidak tepat dan perlu dipertanyakan ulang, terutama dalam konteks agama dan politik di Indonesia.

2. Apa signifikansi dari argumentasi kesucian kawasan Teluk Benoa penolakan terhadap rencana reklamasi serta sejauh apa peran Parisada dalam merespon isu reklamasi Teluk Benoa?

Salah satu subjek penting dalam penelitian ini adalah Parisada. Pertanyaan tersebut akan menjelaskan sikap serta peran apa saja yang dilakukan Parisada dalam merespon isu reklamasi. Selain itu pertanyaan ini juga akan membantu menjelaskan signifikansi keputusan dan manuver Parisada.

(7)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi elemen agama berupa wacana kawasan suci yang dilegitimasi ajaran Hindu untuk muncul dan berperan dalam ruang publik, yaitu perdebatan tentang reklamasi Teluk Benoa. Penelitian ini juga bertujuan untuk menunjukkan bahwa kemunculan elemen agama di ruang publik mendukung adanya fenomena kebangkitan agama. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk melihat peran organisasi agama di dalam aspek politik yang dilihat dari upaya organisasi agama, dalam hal ini Parisada, dalam memberikan pengaruh kepada pemerintah.

1.4. Kajian Pustaka

Wacana terhadap bagaimana kondisi ideal tentang bagaimana pandangan teologis muncul di muka publik sudah banyak dibahas. Rawls (1999) mengajukan gagasan nalar publik (public reason). Nalar publik dirasa sebagai media bagi masyarakat plural dalam menyampaikan pendapat. Rawls membagi nalar publik menjadi dua kategori, yaitu (1.) nalar publik yang menekankan pada status warga negara yang setara yang membahas esensi konstitusi dan keadilan dasar kaitannya dengan pemerintahan dan (2.) nalar publik yang menekankan pada status sebagai masyarakat yang bebas dan setara yang membahas hubungan mutual sebagai masyarakat (ibid., 55). Rawls juga berpendapat di dalam rezim konstitusi yang berdemokrasi, doktrin komprehensif (comprehensive doctrine)

(8)

mengenai kebenaran digantikan oleh nalar publik yang bersumber dari ide yang beralasan secara politik yang ditujukan kepada warga negara sebagai warga negara (ibid.). Dalam gagasan ini, masyarakat yang heterogen dianggap akan melahirkan pandangan atau doktrin komprehensif yang berbeda-beda. Dengan begitu pandangan yang bersifat eksklusif dari komunitas tertentu harus disampaikan dalam bentuk nalar publik sehingga dapat diterima oleh komunitas lain. Nalar publik dapat dikatakan menjadi jembatan di tengah pandangan masyarakat yang beragam tetapi di lain sisi justru mengurangi keberagaman itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan pandangan yang disampaikan melalui nalar publik bukan merupakan wujud yang sebenarnya. Salah satu contoh kasus yang sesuai dengan gagasan ini adalah kebijakan pelarangan pemotongan sapi di India. Pelarangan pemotongan sapi di India lebih berlandaskan pada argumen sekuler dan ilmiah dan tidak menggunakan argumentasi teologis, dalam hal ini Hindu (Chigateri 2011).

Sementara itu An-Na’im mengajukan gagasan nalar kewargaan (civic

reason) berarti nalar yang diperdebatkan dan dikontestasikan secara publik oleh

semua warga negara, baik secara individu maupun kelompok, sesuai dengan norma dan respek (2008, 85). Dapat dikatakan gagasan ini mempunyai kesamaan dengan nalar publik, namun gagasan ini nampaknya memberikan ruang yang lebih kepada keberagaman. Pada gagasan ini pandangan yang bersifat eksklusif nampaknya memungkinkan untuk mencuat di dalam ruang publik selama itu

(9)

dapat diperdebatkan maupun dikontestasikan. Gagasan ini juga menekankan pada pentingnya dialog antar komunitas yang berbeda sehingga terciptanya kesepakatan. Secara khusus gagasan ini sendiri membahas kemungkinan pemeluk Islam dalam mengimplementasikan hukum Islam. Kelemahan dari gagasan ini nampaknya ada pada kondisi ideal dialog itu sendiri. Dalam kasus komunitas minoritas, gagasan tersebut tidak menjamin pandangan kelompok minoritas akan dapat mudah diterima dan menjadi konsensus. Walaupun Na’im berbicara dan setuju dengan konsep negara sekuler, tetapi nampaknya An-Na’im tidak membahas kondisi Islam atau suatu komunitas sebagai minoritas yang berada di negara yang banyak terpengaruh oleh pandangan teologis tertentu.

Sedangkan menurut Spinner-Halev komunitas agama perlu dilibatkan dalam diskusi publik yang sejalan dengan menguatkan kewarganegaraan yang liberal (2000, 143). Spinner-Halev berpendapat bahwa banyak posisi sosial dan politis yang diambil oleh kelompok konservatif tidak berlandaskan ajaran agama, ada pula yang memiliki pandangan tertentu terlebih dahulu kemudian mencari legitimasi teologis (ibid., 147-148). Menurutnya dengan meminta kaum religius konservatif untuk tidak menyampaikan pandangan religius di ruang publik menunjukkan bahwa kultur politik liberal tidak adil terhadap mereka (ibid., 150-151). Yang ditekankan oleh Spinner-Halev adalah pentingnya melibatkan segala elemen, termasuk komunitas religius, ke dalam diskusi dan ruang publik.

(10)

Mengeluarkan komunitas maupun pandangan religius akan berdampak buruk dan dirasakan akan merusak kehidupan berkewarganegaraan. Justru dengan melibatkan kaum konservatif akan membuat mereka membuktikan keabsahan keyakinan mereka dan ketika berada di publik dengan sendirinya akan mengubah sudut pandang argumen mereka dan kerap kali menggunakan argumen ilmiah untuk mendukung klaim religius mereka (ibid., 152-153). Sehingga yang ditekankan pada gagasan ini adalah adanya dialog. Pada bagian bagaimana kaum konservatif menyampaikan pandangan mereka, tampaknya Spinner-Halev terbuka terhadap nalar publik maupun nalar kewargaan dimana alasan yang dipakai bisa bersifat inklusif maupun eksklusif. Sedang untuk penekanan pentingnya dialog, hal ini nampaknya sejalan dengan pemikiran An-Na’im.

Sedangkan bagaimana elemen agama ini tampil di ruang publik baik secara langsung maupun tidak mendukung adanya gejala kebangkitan agama. Pembahasan fenomena kebangkitan agama pernah disampaikan oleh Berger. Ia telah membantah tesisnya sendiri tentang dunia yang sekuler. Menurutnya dunia pada saat ini sangatlah religius dan di beberapa tempat melebihi dari yang pernah ada (1999, 2). Berger menganggap ada dua faktor yang menyebabkan adanya kebangkitan agama ini, yaitu (1.) modernitas dan (2.) krisisnya paham sekuler (ibid., 11). Dalam paparannya kebangkitan agama yang dimaksud di sini adalah meningkatnya elemen maupun simbol agama di muka publik. Selain itu hal lain

(11)

yang ditekankan di sini adalah peran agama dalam konteks politik dan hubungan agama dengan negara.

Toft et al. (2011) nampaknya mempunyai mendapat yang secara umum sejalan dengan Berger. Toft et al. juga menekankan pada bagaimana makin banyaknya simbol agama muncul di muka publik juga bagaimana jumlah pemeluk agama mulai meningkat. Pada tulisannya ditekankan juga bagaimana agama mulai memberikan pengaruh pada kebijakan pemerintah. Peran tersebut dijalankan oleh aktor religius yang dapat diwakili oleh individu maupun komunitas religius dengan menggunakan media yang disebut dengan politik teologi, yaitu media yang dipakai aktor religius untuk menyampaikan gagasannya. Pengaruh agama dalam hal politik sendiri sudah muncul sejak 40 tahun yang lalu (ibid., 9) Karakteristik kebangkitan agama menurut Toft et al. adalah (1.) melibatkan masyarakat dan komunitas religius dalam berbagai aspek dan berupaya untuk berpengaruh dalam konstitusi, hukum, dan kebijakan, (2.) adanya krisis di ideologi sekuler, (3.) adanya pencarian kebebasan dari kontrol negara oleh komunitas religius, dan (4.) dalam mencapai kebebasan dan pengaruh politik, komunitas religius diuntungkan oleh perkembangan zaman seperti demokrasi, globalisasi, dan modernisasi teknologi (ibid., 13-14). Kriteria tersebut memiliki beberapa kesamaan dengan kriteria menurut Berger, namun di sini Toft et al. mencoba menekankan pada upaya dari komunitas religius untuk

(12)

memberikan pengaruh kepada kebijakan dan upaya untuk mencapai kebebasan dari kontrol negara.

Di sisi lain Hefner (2010) justru menekankan pada bagaimana elemen dari lingkup terkecil seperti individu, keluarga, maupun keseharian ikut berperan dalam fenomena kebangkitan agama, terutama di Asia. Hefner sendiri sebenarnya tidak menyangkal peran dari aspek politik, sosial, dan ekonomi yang ikut memperkuat adanya kebangkitan agama. Menurutnya kebangkitan agama di Asia disebabkan sekarang keseharian sudah berubah menjadi jaringan lintas-nasional akan informasi, komoditi, dan kekuatan (ibid., 1034).

Sedangkan jauh sebelum istilah kebangkitan agama mulai dipakai, Kartodirdjo sudah menyebutkan istilah ini dalam tulisannya yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1966. Menurutnya kebangkitan agama sudah terjadi pada abad ke-19 (2015, 155). Dalam tulisannya, kebangkitan agama mengacu bagaimana badan keagamaan berperan bahkan menjadi pusat dalam protes politik. Dalam tulisannya, Kartodirdjo juga menyebutkan bagaimana simbol agama mulai banyak muncul di muka publik dan bagaimana pemuka agama memiliki andil dalam menggerakkan masa. Tulisannya sendiri mengisahkan bagaimana elemen agama, dalam hal ini Islam, banyak berperan dalam perlawanan masyarakat Banten terhadap kolonialisme Belanda yang memuncak pada tahun 1888.

(13)

Terlepas dari apa pemicu fenomena kebangkitan agama serta kapan sebenarnya kebangkitan agama muncul, semua pembahasan menyebutkan bahwa di dalam kebangkitan agama terdapat simbol agama yang muncul di ruang publik. Tak hanya tampil di muka publik, tetapi kebangkitan agama juga mengacu pada kemampuan elemen agama baik individu, komunitas, maupun legitimasi agama dalam memberikan pengaruh pada kehidupan, termasuk politik. Kebangkitan agama juga merujuk pada keadaan dimana simbol, elemen, dan peran agama lebih mendominasi dibandingkan masa-masa sebelumnya.

Mengacu pada definisi dan kriteria tersebut, beberapa studi kasus, khususnya dalam konteks Parisada dan Bali, telah menunjukkan hal tersebut walaupun tidak secara eksplisit menyebutkan terminologi kebangkitan agama. Lanus (2014, 259-261) pernah membahas bagaimana Parisada berperan besar dalam perekonstruksian agama Hindu Bali, termasuk memformulasikan ritual harian umat Hindu Bali. Putra & Hitchcock (2005, 230) menyebutkan Parisada mewakili umat Hindu Bali berhasil menolak proposal dari pemerintah pusat untuk menjadikan Pura Besakih sebagai Situs Warisan Dunia. Stuart-Fox (2002, 315-317) memaparkan bagaimana Parisada diserahi otoritas untuk mengembangkan Pura Besakih oleh pemerintah. Sedang studi kasus ini berbeda dengan studi kasus yang lain karena menunjukkan bagaimana legitimasi agama, dalam hal ini wacana kawasan suci, mencuat di ruang publik dan signifikansinya dalam penolakan reklamasi Teluk Benoa. Selain itu tulisan ini juga menekankan

(14)

pada peran institusi agama, dalam hal ini Parisada, dalam usaha memberikan pengaruh kepada kebijakan pemerintah. Kemunculan elemen agama di ruang publik juga peran Parisada sebagai organisasi agama ini dianggap mendukung adanya fenomena kebangkitan agama.

1.5. Kerangka Teori 1.5.1. Nalar Publik

Studi kasus ini membuktikan bahwa dalam konteks agama dan politik di Indonesia, teori nalar publik (public reason) yang diajukan oleh Rawls tidak sepenuhnya menggambarkan proses deliberasi dalam negara demokratis yang plural. Secara garis besar nalar publik mengacu pada keadaan masyarakat yang heterogen dimana timbul pertanyaan bagaimana suatu komunitas dapat menyampaikan pandangannya untuk dapat diterima oleh komunitas lain. Di dalam masyarakat yang plural akan terdapat banyak pandangan tentang apa yang baik untuk masyarakat. Dengan kata lain terdapat keberagaman dalam hal agama ataupun pandangan yang disebut dengan doktrin komprehensif (comprehensive doctrines). Di dalam rezim konstitusi yang berdemokrasi, doktrin komprehensif mengenai kebenaran digantikan oleh nalar publik yang bersumber dari ide yang beralasan secara politik yang ditujukan kepada warga negara sebagai warga negara (Rawls 1999, 55). Dengan kata lain, legitimasi yang

(15)

digunakan tidak berlandaskan pada keyakinan tertentu yang bersifat eksklusif, akan tetapi dibuat umum sehingga dapat diterima oleh komunitas lain. Studi kasus ini justru menunjukkan hal yang berbeda dimana landasan teologis yang bersifat eksklusif justru digunakan secara eksplisit dalam argumentasi penolakan reklamasi Teluk Benoa. Di dalam perdebatan reklamasi Teluk Benoa, wacana tentang kesucian Teluk Benoa mulai bergulir pada tahun 2015. Wacana tentang kawasan suci ini berlandaskan pada ajaran Hindu Bali. Studi kasus ini menunjukkan bagaimana pandangan eksklusif, dalam hal ini wacana kawasan suci yang didasarkan pada nilai Hindu Bali, dipakai di perdebatan publik secara eksplisit, dalam konteks ini argumen untuk menolak reklamasi. Dalam konteks yang lebih luas, studi kasus ini menunjukkan bahwa dikotomi antara agama dan negara perlu dipertanyakan ulang karena agama sendiri dapat muncul dalam berbagai bentuk atau bukan entitas tunggal. Hal tersebut mengacu pada realitas yang menunjukkan bahwa nilai agama dapat hadir dalam peraturan pemerintah, keputusan organisasi, bahkan hal-hal yang dikategorikan sebagai sekuler.

1.5.2. Kebangkitan Agama

Studi kasus ini juga mendukung adanya fenomena kebangkitan agama, dalam hal ini Hindu Bali di Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Ada empat karakteristik dalam kebangkitan agama, yaitu:

(16)

(1.) melibatkan masyarakat dan komunitas religius dalam berbagai aspek dan berupaya untuk berpengaruh dalam konstitusi, hukum, dan kebijakan, (2.) adanya krisis di ideologi sekuler, (3.) adanya pencarian kebebasan dari kontrol negara oleh komunitas religius, dan (4.) dalam mencapai kebebasan dan pengaruh politik, komunitas religius diuntungkan oleh perkembangan zaman seperti demokrasi, globalisasi, dan modernisasi teknologi (Toft et al. 2011, 13-14). Teori ini juga menekankan pada peran aktor religius dan politik teologi dalam fenomena kebangkitan agama. Studi kasus ini akan menunjukkan peran Parisada sebagai aktor religius dan keputusannya sebagai politik teologi dalam merespon isu reklamasi Teluk Benoa.

1.6. Metode Penelitian

Dalam mengumpulkan data yang diperlukan, penelitian dilakukan dengan penelitian lapangan dan melakukan wawancara dengan berbagai narasumber yang terkait. Mengingat bagaimana kinerja dan keputusan Parisada dihasilkan, wawancara dilakukan dengan anggota Parisada baik di level pusat maupun daerah. Pada level daerah dipilih Parisada Bali karena cabang ini paling relevan dan terkait lokasi reklamasi Teluk Benoa berada di Bali. Selain itu wawancara juga dilakukan dengan perwakilan tiap organ di Parisada, yaitu Sabha Pandita (Dewan Pemuka Agama), Sabha Walaka (Dewan Pengkaji), dan Pengurus

(17)

Harian. Terkait dengan perannya dalam kajian terhadap kesucian Teluk Benoa, wawancara juga dilakukan dengan anggota dari Tim 9 Pandita. Wawancara juga dilakukan dengan masyarakat setempat, termasuk tokoh masyarakat dan juga pemimpin agama setempat. Terkait klaim kawasan suci di Teluk Benoa yang dikeluarkan oleh ForBALI, dilakukan juga wawancara dengan narasumber yang berperan langsung maupun tidak dengan penelitian tersebut. Selain data yang didapatkan dari penelitian lapangan, data dari studi pustaka dan internet juga akan digunakan sebagai data pendukung penelitian ini.

1.7. Sistematika Penulisan

Tulisan ini akan dibagi menjadi 5 bagian. Bab I memuat kerangka teoritis tulisan ini yang terdiri dari latar belakang penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Pada Bab II terdapat informasi mengenai reklamasi Teluk Benoa serta sejarah dan profil singkat Parisada. Bab III menyajikan definisi kawasan suci dan pembahasan klaim kesucian kawasan Teluk Benoa. Sedang Bab IV memuat respon Parisada terhadap isu reklamasi Teluk Benoa beserta pemaparan tentang keputusan Parisada terkait rencana reklamasi. Bab V merupakan bagian terakhir pada tulisan ini yang berisi kesimpulan dari penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan salah satu yang sumber penerimaan daerah dari bentuknya sebagai hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan halnya yang tercantum

Dari Enam Variabel Dampak Fly Over Gajah Mada-Juanda terhadap Kondisi Lingkungan, berdasarkan Persepsi Masyarakat variable yang terkena Dampak Fly Over Gajah

Jika Anda sudah mantap dengan alat serta bahan yang tersedia, marilah kita akan memulai membahas secara khusus tentang perangkat lunak atau software Audacity yang

Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang jasa, aspek sumber daya manusia (SDM) merupakan sesuatu yang sangat penting. Keberhasilan sebuah usaha tidak lepas dari peran

Persentase turnover yang melebihi standar yaitu diatas 10% tergolong sangat tinggi, sehingga hal ini menjadi perhatian yang serius bagi pihak manajemen terutama

Hasil uji keragaman pada setiap periode pengamatan menunjukkan adanya pengaruh perlakuan konsentrasi ekstrak daun cengkeh yang sangat nyata terhadap persentase kematian larva

Penelitian ini juga tidak menemukan perbedaan yang bermakna kadar timbal dalam darah pekerja yang pada siang hari beristirahat di pinggir jalan raya dengan pekerja yang beristirahat

$ektor aat pasir betina %sand &y'( serangga peng!isap dara! yang !idup di daera! tropis dan subtropis. *akro)ag akan mem)agositosit promastigot. Di daam makro)ag