1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Yunus (2008) kota selalu mengalami perkembangan dalam artian fisikal maupun non-fisikal, seperti perkembangan ekonomi, sosial, budaya, dan demografis. Perkembangan fisikal tercermin dalam perubahan kenampakan fisikalnya baik mengenai luas wilayah, penggunaan lahan, bangunan, jalur transportasi, serta prasarana kegiatan dan kehidupan lainnya.
Ernawi (2010) menyatakan bahwa perkembangan kota-kota di Indonesia dicirikan : (1) rumah berukuran besar (landed housing) yang seringkali berada di kawasan pinggiran (sub-urban/peripheri), mengingat tingginya harga properti (tanah dan bangunan) di tengah kota; (2) penggunaan kendaraan pribadi (mobil) yang menawarkan freedom of movement dalam menunjang kebutuhan untuk sirkulasi perkotaan; serta (3) ketersediaan akses transportasi yang memadai (khususnya jalan tol, dimana jarak geografis terpangkas oleh jarak waktu).
Dari perspektif morfologis, pola ini telah memicu terjadinya penjalaran perkembangan kota secara horizontal ke segala arah (urban sprawl), mendorong pergerakan orang dan barang yang bukan saja boros energi, tapi juga polutif terhadap lingkungan (konsumsi energi dalam jumlah besar, serta pelepasan karbon yang besar ke atmosfer).
Penjalaran diikuti dengan proses pemadatan (densifikasi), terjadi jauh dari pusat kegiatan hingga ke kawasan pinggiran melebihi batas-batas administratif wilayah kota. Pusat kota tidak lagi tunggal (mono-nucleus), namun tersebar di beberapa lokasi strategis (multi-nucleus). Kampung-kampung di kawasan pinggiran pun secara cepat beralih menjadi pusat kegiatan perkotaan baru yang seringkali tanpa perencanaan dan perancangan yang matang. Lahan-lahan pertanian maupun ruang terbuka hijau dikonversi menjadi lahan-lahan terbangun yang padat untuk merespon kepentingan ekonomi di atas ruang perkotaan yang semakin langka, namun seringkali mengabaikan daya dukung lingkungan.
2 Perkembangan fisik ruang kota sangat dipengaruhi oleh urbanisasi. Perkembangan urbanisasi di Indonesia dapat diamati dari 3 (tiga) aspek: pertama, jumlah penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan (kini mencapai 120 juta dari total 230 juta jiwa); kedua, sebaran penduduk yang tidak merata (hampir 70% di Jawa dengan 125 juta jiwa dan di Sumatera dengan 45 juta jiwa); serta, ketiga, laju urbanisasi yang tinggi, dimana kota-kota metropolitan, seperti: Jakarta (termasuk Bekasi, Bogor dan Tangerang), Surabaya, Bandung, Medan, Palembang, dan Makassar, merupakan magnet utamanya.
Gambar 1.1 Perkembangan Urbanisasi di Indonesia 1970 - 2020 Sumber : BPS (2010; dalam Ernawi, 2010)
Pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan terjadinya densifikasi penduduk dan permukiman yang cepat dan tidak terkendali di bagian kota seperti ditunjukkan pada gambar 1.1 di atas. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan akan ruang akan meningkat terutama untuk mengakomodasi kepentingannya. Semakin meningkatnya permintaan akan ruang khususnya untuk permukiman dan lahan terbangun lainnya berdampak kepada semakin merosotnya kondisi kualitas lingkungan. Rencana tata ruang yang telah dibuat juga tidak mampu mencegah alih fungsi lahan di perkotaan sehingga keberadaan ruang terbuka hijau semakin terancam dan kota semakin tidak nyaman untuk beraktivitas.
3 Ruang terbuka hijau menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang dapat berupa ruang terbuka hijau publik maupun ruang terbuka hijau non publik yang secara institusional harus disediakan oleh pemerintah di dalam peruntukan lahan di perkotaan.
Menurut Budiharjo (1999, dalam Alfiah 2008) menyatakan bahwa hilangnya ruang terbuka hijau di daerah perkotaan menyebabkan ketidakstabilan psikologis dan emosional sehingga ruang gerak masyarakat untuk beraktivitas dan berpikir menjadi semakin terbatas.
Menurut Siahaan (2010), kecenderungan terjadinya penurunan kuantitas ruang publik, terutama ruang terbuka hijau pada 30 tahun terakhir sangat signifikan. Di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung, luasan ruang terbuka hijau telah berkurang dari 35% pada awal tahun 1970-an menjadi 10% pada saat ini. Ruang terbuka hijau yang ada sebagian besar telah dikonversi infrastruktur perkotaan seperti jaringan jalan, gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan kawasan permukiman baru.
Perlu diperhatikan bahwa ruang publik tidak otomatis dapat dikategorikan sebagai ruang terbuka hijau. Ruang publik yang baik harus dapat berfungsi dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berinteraksi dan beraktivitas dengan aman dan nyaman. Tanpa adanya aktivitas dan interaksi sosial manusia di dalamnya maka suatu ruang publik telah gagal mengemban misinya. Berbeda dengan ruang terbuka hijau, ketika tidak ada aktivitas dan interaksi di dalamnya maka fungsi ruang terbuka hijau masih dapat berlangsung dengan baik.
Kota Tangerang Selatan merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Kota Tangerang Selatan memiliki peranan strategis karena merupakan daerah penyangga bagi DKI Jakarta. Sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, Kota Tangerang Selatan mengalami pertumbuhan yang cepat (rapid growth area). Secara geografis kedua wilayah ini mempunya arti penting dan saling mempengaruhi dalam proses pertumbuhannya sehingga perlu ada kebijakan yang tepat dalam rencana pengembangannya. Oleh karena itu Kota Tangerang Selatan diharapkan dapat membantu mengurangi beban DKI Jakarta.
4 Beberapa penduduk kota khususnya penduduk DKI Jakarta yang mulai tidak nyaman dengan kondisi lingkungan di dalam kota mencari lokasi baru di pinggiran kota untuk bertempat tinggal dan menemukan suasana yang lebih baik. Kota Tangerang Selatan merupakan salah satu tempat tujuan untuk permukiman baru di pinggiran Jakarta. Banyak terdapat perumahan yang dikelola pengembang di Kota Tangerang Selatan antara lain Kawasan Mandiri Bumi Serpong Damai (BSD), Perumahan Alam Sutera, Perumahan Villa Melati Mas, dan lain sebagainya.
Transformasi spasial di pinggiran perkotaan menimbulkan beberapa permasalahan antara lain keberadaan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau merupakan salah satu komponen ruang yang tingkat ketersediannya baik secara kualitas maupun kuantitas harus selalu diperhitungkan dalam proses perencanaan kota. Keberadaan ruang terbuka hijau perlu dikelola secara berkelanjutan agar tercipta kota yang berwawasan lingkungan bagi kepentingan warga kota generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
1.2 Rumusan Masalah
Penataan ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) memiliki peran sebagai acuan bagi penyelenggaraan pembangunan yang berkaitan dengan upaya konservasi air dan tanah, upaya menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, penanggulangan banjir, dan pengembangan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat.
Strategi penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur adalah mendorong terselenggaranya pengembangan kawasan yang berdasar atas keterpaduan antar daerah sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan dan mendorong terselenggaranya pembangunan kawasan yang dapat menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan.
5 Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur menyebutkan arahan pengembangan sistem pusat permukiman sebagai upaya untuk mendorong pengembangan Pusat Kegiatan Nasional Kawasan Perkotaan Jakarta, dengan kota inti adalah Jakarta dan kota satelit adalah Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan kota lainnya. Dalam arahan struktur ruang dikembangkan Jalan Lingkar Luar Jakarta Kedua (Jakarta Outer Ring Road 2) dan jalan radialnya sebagai pembentuk struktur ruang Jabodetabekpunjur dan untuk memberikan pelayanan pengembangan sub pusat perkotaan antara lain Serpong/Kota Mandiri Bumi Serpong Damai, Cinere, Cimanggis, Cileungsi, Setu, dan Tambun/Cikarang.
Kebijakan tersebut menyebutkan peranan Kota Tangerang Selatan yang diarahkan sebagai permukiman khususnya di Kecamatan Serpong dan Serpong Utara (Kawasan Bumi Serpong Damai) serta Kecamatan Setu. Kota Tangerang Selatan berkembang secara cepat yang ditandai dengan semakin bertambahnya lahan terbangun untuk permukiman dan fasilitas pendukung lainnya.
Kebutuhan lahan di Kota Tangerang Selatan khususnya untuk permukiman dan fasilitas penunjang lainnya yang tinggi menyebabkan ruang terbuka hijau semakin terhimpit keberadaannya. Ruang terbuka hijau memiliki fungsi yang penting untuk menjaga kondisi lingkungan kawasan perkotaan. Keberadaan ruang terbuka hijau harus tersedia secara proporsional dalam perencanaan tata ruang.
Menurut Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang penataan ruang kawasan Jabodetabekpunjur pasal 32 bahwa dalam perencanaan kawasan lindung ditetapkan kawasan lindung prioritas dengan kriteria sebagai ruang terbuka hijau regional, kawasan konservasi, dan/atau daerah resapan air. Proporsi ruang terbuka hijau publik kota/perkotaan di Kawasan Jabodetabekpunjur paling rendah 20% dari luas wilayah masing-masing kota/perkotaan.
Permasalahan utama keberadaan ruang terbuka hijau adalah semakin berkurangnya ruang terbuka hijau karena keterbatasan lahan dan ketidakkonsisten dalam menerapkan tata ruang. Berkurangnya ruang terbuka hijau disebabkan oleh konversi lahan yaitu beralih fungsinya ruang terbuka hijau untuk peruntukan ruang yang lain.
6 Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana ketersediaan ruang terbuka hijau di Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan?
2. Berapa kebutuhan ruang terbuka hijau di Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan?
3. Bagaimana arahan pengelolaan ruang terbuka hijau di Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan antara lain :
1. Mengetahui ketersediaan ruang terbuka hijau di Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan.
2. Menghitung kebutuhan ruang terbuka di Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan.
3. Menyusun arahan pengelolaan ruang terbuka hijau di Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam hal: 1. Secara teoritis peneitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara
akademis dan memberikan gambaran ruang terbuka hijau dalam konteks Perencanaan Tata Ruang.
2. Secara praktis dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam pengambilan kebijakan dalam menyusun perencanaan pembangunan wilayah khususnya tentang penataan ruang terbuka hijau.
7 1.5 Keaslian Penelitian
Penelitian terkait dengan Ruang Terbuka Hijau yang sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain:
1. Kumar, Krisna (2002) melakukan penelitian mengenai Penataan Ruang sebagai dasar pengelolaan lingkungan tentang pengkajian ruang terbuka hijau di Kota Depok.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perkembangan realisasi arahan alokasi ruang terbuka hijau di Kota Depok berdasarkan ketentuan peraturan perundangan dan menghitung kondisi keberadaan ruang terbuka hijau yang ada. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis normatif dan analisis kuantitatif.
Hasil penelitian didapatkan keberadaan ruang terbuka hijau Kota Depok masih mencukupi yakni >30%. Selain itu diperoleh kecenderungan konversi lahan secara kuantitatif dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ruang terbuka hijau.
2. Nuryadi, Deni. (2010) melakukan penelitian mengenai perencanaan penataan ruang terbuka hijau di Kota Bekasi Tahun 2010-2030. Penelitian tersebut bertujuan untuk menganalis Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi pada tahun 2010 dan 2030, menganalisis kebutuhan ruang terbuka hijau Kota Bekasi dan memberikan rekomendasi model rencana ruang terbuka hijau di Kota Bekasi.
Metode penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis spasial dari peta dan data sekunder. Hasil penelitian adalah kondisi ruang terbuka hijau Kota Bekasi menggunakan data tahun 2005 adalah 39,65% dimana ruang terbuka publik seluas 18,37%. Kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan penduduk Kota Bekasi tahun 2030 sebesar 29,82% yang mendekati proporsi yang diamanatkan Undang-undang sebesar 30%. Rekomendasi model perencanaan ruang terbuka hijau pbulik yang dapat dipenuhi Kota Bekasi Tahun 2030 sebesar 16,56%.
8 3. Alfiah, Cahyani. (2008) melakukan penelitian tentang kajian fungsi ruang terbuka hijau pada berbagai cluster Ruang di Kota Yogyakarta. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui kondisi iklim mikro yang berupa suhu, kelembaban, dan indeks kenyamanan pada tiap kawasan, mengetahui kondisi komposisi dan kerapatan vegetasi pohon pada ruang terbuka hijau pada tiap-tiap kawasan, mengetahui fungsi estetika dan fungsi sosial setiap ruang terbuka hijau pada beberapa kawasan dan mengetahui kesesuaian jenis pepohonan terhadap karakteristik ruang terbuka hijau masing-masing cluster ruang.
Metode yang digunakan adalah metode survei analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian berupa kondisi iklim dan indeks kenyamanan pada tiap cluster (heritage, pelayanan, pendidikan, permukiman, sempadan sungai, dan pertokoan). Fungsi estetika dan fungsi sosial ruang terbuka hijau pada tiap cluster dan kesesuaian jenis pohon dengan karakteristik ruang terbuka hijau tiap cluster ruang.
4. Radnawati, Daisy. (2006) melakukan penelitian tentang Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kota Depok sebagai Kawasan Konservasi Air Menggunakan Data Satelit Multi Temporal. Penelitian ini bertujuan menganalisis secara spasial penurunan RTH Kota Depok menggunakan data citra satelit multi temporal, menganalisa RTH Kota Depok dengan pendekatan model konservasi air, dan memberi arahan revegetasi yang menunjang Kota Depok sebagai kawasan konservasi air.
Hasil penelitian berupa analisis secara spasial penurunan RTH Kota Depok menggunakan data citra satelit multi temporal, analisa RTH Kota Depok dengan pendekatan model konservasi air, dan arahan revegetasi yang menunjang Kota Depok sebagai kawasan konservasi air. Penurunan kawasan hijau di Kota Depok dalam kurun waktu 1997-2001 sebesar 36,28% karena perubahan fungsi lahan dari lahan hijau menjadu area permukiman dan fasilitas kota. Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah Landsat MSS dan TM tahun 1997 dan 2001.
9 Tabel 1.1 Penelitian Terkait Sebelumnya
No Nama Peneliti Judul Tujuan Metode/Analisis Hasil
1. Kumar, Krisna. 2002
Penataan Ruang Sebagai Dasar Pengelolaan Lingkungan (Pengkajian Ruang Terbuka Hijau Kota Depok)
1. Mempelajari
perkembangan realisasi arahan alokasi ruang terbuka hijau di Kota Depok berdasarkan ketentuan peraturan perundangan dan menghitung kondisi keberadaan ruang terbuka hijau yang ada.
 Analisis perkembangan alokasi dan kondisi keberadaan RTH (Analisis Normatif)  Analisis kecenderungan konversi lahan (Analisis Kuantitatif)  Kecenderungan konversi lahan permukiman Kota Depok tahun 1996-2000 seluas 1324 Ha.
 Penggunaan lahan yang memiliki fungsi RTH berkurang 87 Ha.
 Kondisi keberadaan RTH di Kota Depok mendekati 30%.
2. Nuryadi, Deni. 2010
Rencana Penataan Ruang Terbuka Hijau Kota Bekasi Tahun 2010-2030
1. Menganalis draft Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi (struktur dan pola ruang) pada tahun 2010 dan 2030
2. Menganalisis kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk Kota Bekasi 3. Memberikan rekomendasi
model rencana ruang terbuka hijau di Kota Bekasi.  Analisis deskriptif  Analisis spasial  Kondisi RTH di Kota Bekasi 39,65% dimana RTH publik seluas 18,37%.  Kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk Kota Bekasi tahun 2030 sebesar 29,82%.
 RTH publik yang dapat dipenuhi Kota Bekasi tahun 2030 sebesar 16,56%.
10 Lanjutan 1.1 Penelitian Terkait Sebelumnya
No Nama Peneliti Judul Tujuan Metode/Analisis Hasil
3. Alfiah,
Cahyani. 2008
Kajian Fungsi Ruang Terbuka Hijau Kota Pada Berbagai Cluster Ruang di Kota
Yogyakarta
1. Mengetahui kondisi iklim mikro yang berupa suhu, kelembaban, dan indeks kenyamanan.
2. Mengetahui kondisi komposisi dan kerapatan vegetasi pohon pada RTH. 3. Mengetahui fungsi estetika
dan fungsi sosial setiap RTH.
4. Mengetahui kesesuaian jenis pepohonan terhadap karakteristik RTH.
 Metode survei  Analisis
deskriptif kualitatif
 Kondisi iklim mikro dan indeks kenyamanan pada tiap-tiap cluster ruang  Fungsi estetika dan fungsi
sosial ruang terbuka hijau cluster
 Kesesuaian jenis pohon dengan karakteristik ruang terbuka hijau tiap cluster ruang
No Nama Peneliti Judul Tujuan Metode/Analisis Hasil
4. Radnawati, Daisy. 2006
Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kota Depok Sebagai Kawasan Konservasi Air Menggunakan Data Satelit Multi Temporal
1. Menganalisis secara spasial penurunan RTH
menggunakan data citra satelit multi temporal. 2. Menganalisa RTH
pendekatan mdel konservasi air.
3. Memberi arahan revegetasi yang menunjang Kota Depok sebagai kawasan konservasi air.
 Analisis spasial  Analisis
konservasi air
 Perubahan RTH Kota Depok menggunakan data citra satelit multi
temporal.
 Analisa RTH Kota Depok dengan pendekatan model konservasi air.
 Arahan revegetasi yang menunjang Kota Depok sebagai kawasan
11 Tabel : 1.2. Penelitian yang Dilakukan
No Nama Peneliti Judul Tujuan Metode/Analisis Hasil
1. Dwihatmojo, Roswidyatmoko. 2014
Kajian Ruang Terbuka Hijau di Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan
1. Bagaimana ketersediaan ruang terbuka hijau di Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan? 2. Berapa kebutuhan ruang
terbuka hijau di
Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan? 3. Bagaimana arahan
pengelolaan ruang terbuka hijau di Kecamatan
Serpong, Kota Tangerang Selatan?  Analisis spasial  Analisis tabel silang  Analisis frekuensi  Ketersediaan RTH di Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan adalah 765,13 Ha (31,83%)  Kebutuhan RTH
berdasarkan luas wilayah 721,20 Ha, berdasarkan jumlah penduduk 276,91 Ha (11,52%) dan berdasarkan kebutuhan oksigen 862,12 Ha (35,86%).  Arahan pengelolaan RTH dialokasikan seluas 975,85 Ha (40,59%).
12 Beberapa penelitian tentang ruang terbuka hijau telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya sesuai dengan tabel 1.1 di atas. Kajian mengenai ruang terbuka hijau sangat menarik untuk diteliti karena peranan dan permasalahannya yang kompleks. Berdasarkan berbagai sumber pustaka sebagaimana telah diuraikan di atas, maka penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan sebelumnya. Tabel 1.2 di atas menunjukkan penelitian yang dilakukan. Penelitian ini akan menggambarkan ketersediaan ruang terbuka hijau di Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan menggunakan citra resolusi tinggi. Penelitian ini juga akan menghitung kebutuhan ruang terbuka hijau di Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan. Selain itu peneliti juga menyusun arahan pengelolaan ruang terbuka hijau. Berdasarkan pertimbangan di atas maka keaslian penelitian dapat dipertanggungjawabkan.
1.6 Batasan Istilah
Hutan kota adalah kawasan konservasi dan penyangga lingkungan kota (pelestarian, perlindungan, dan pemanfaatan plasma nutfah, keanekaragaman hayati (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008).
Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi (Permendagri Nomor 1 Tahun 2007).
Kota ditinjau dari segi yuridis administratif, merupakan suatu daerah tertentu dalam wilayah negara dimana keberadaannya diatur oleh undang-undang dibatasi oleh batas administrasi tertentu berstatus kota (kota dalam administrasi, kotamadya, atau kota besar) berpemerintah tertentu dengan segala hak dan kewajibannya mengatur wilayahnya (Yunus, 1997).
13 Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009).
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian ruang (Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang).
Penginderaan Jauh adalah ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, fenmena melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa kontak langsung dengan obek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand-Kiefer, 2004).
Ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/alur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang Terbuka terdiri atas ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non hijau. (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008).
Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok yang penggunaannya bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008).
Ruang terbuka non hijau adalah ruang terbuka di wilayah perkotaan yang tidak termasuk ruang terbuka hijau, berupa lahan yang diperkeras maupun yang berupa badan air. (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008).
14 Ruang terbuka hijau privat, adalah ruang terbuka hijau milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008).
Ruang terbuka hijau publik, adalah ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008).
Sistem Informasi Geografi merupakan kumpulan teroganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak data geografi dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, mengupdate, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografis (Prahasta, 2002).
Vegetasi/tumbuhan, adalah keseluruhan tetumbuhan dari suatu kawasan baik yang berasal dari kawasan itu atau didatangkan dari luar, meliputi pohon, perdu, semak, dan rumput. (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008).