• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMODIFIKASI SENI KRIYA DI BALI Ni Luh Sutjiati Beratha, Ni Wayan Sukarini, I Made Rajeg...77

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOMODIFIKASI SENI KRIYA DI BALI Ni Luh Sutjiati Beratha, Ni Wayan Sukarini, I Made Rajeg...77"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

xiv | Kuta, 29-30 Oktober 2015

IDENTIFIKASI KEGIATAN KEAGAMAAN DAN BUDAYA MASYARAKAT SETEMPAT YANG BERPOTENSI MENDUKUNG PARIWISATA BERKELANJUTAN DI BEDUGUL: KAJIAN AWAL

Ida Bagus Putu Gunadnya, Ketut Budi Susrusa, Yohanes Setiyo, I G.N. Apriadi Aviantara ...62 PENGGUNAAN VOCATIVES SEBAGAI PENANDA KEAKRABAN SEMU

PADA INTERAKSI DI MEDIA TELEVISI

(KAJIAN PENGGUNAAN BAHASA DARI PESPEKTIF JENDER)

Luh Putu Laksminy ...69 KOMODIFIKASI SENI KRIYA DI BALI

Ni Luh Sutjiati Beratha, Ni Wayan Sukarini, I Made Rajeg ...77 IMPLEMENTASI TRI HITA KARANA DALAM PENGELOLAAN WARISAN BUDAYA DUNIA PURA TAMAN AYUN DAN TIRTA EMPUL SEBAGAI DAYA TARIK WISATA

I Wayan Ardika, I Nyoman Dhana, I Ketut Setiawan ...86 MEMBANGUN JARINGAN EKOWISATA BERKELANJUTAN DI BALI

I Gusti Ngurah Widyatmaja, Ni Made Ariani ...93 MEMBANGUN DESA WISATA BERBASIS EKONOMI KREATIF

DI DESA KENDRAN KABUPATEN GIANYAR

Ni Ketut Arismayanti, I Gusti Ngurah Widyatmaja, I Wayan Wiraatmaja ...101 DAMPAK PARIWISATA DI KAWASAN WISATA LOVINA

(Studi Tentang Sikap Masyarakat Lokal)

Agung Putri Sri, Ni Putu Ratnasari, Ni Nyoman Sri Aryanti ...108 CALONARANG

MAGIS, RITUAL DAN PERSPEKTIF KESEJARAHAN DI BALI DAN JAWA TIMUR Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, MA, Dr. I Ketut Setiawan. M.Hum

Dra. Sulandjari, MA ...115 SUMBER DAN MAKNA MOTTO UNIVERSITAS UDAYANA

“TAKI-TAKI NING SEWAKA GUNA WIDYA”

I Nyoman Suarka, A.A. Gede Bawa, Komang Paramartha ...121 PURI BADUNG:

KONSTELASI DAN PERUBAHAN SOSIAL - POLITIK DALAM PEMERINTAHAN DI BALI DARI 1950 HINGGA 2014

Piers Andreas Noak ...127 PENGEMBANGAN DESA TISTA SEBAGAI DESA WISATA DI KABUPATEN TABANAN

Agus Muriawan Putra, Ni Ketut Arismayanti, I Nyoman Sudiarta ...135 WISATAWAN SEBAGAI STAKEHOLDER PARIWISATA EKOLOGIS

BERBASIS MASYARAKAT LOKAL

(3)

KOMODIFIKASI SENI KRIYA DI BALI

Ni Luh Sutjiati Beratha (sutjiati59@gmail.com) Ni Wayan Sukarini (wayansukarini@yahoo.com)

I Made Rajeg (imaderajeg@gmail.com)

Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana

AbstrAk

Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan jenis kerajianan Bali, dan penyebab terjadinya komodifikasi khususnya terhadap seni kriya yang telah mengalami dinamika dari aslinya sebagai akibat dari pesanan (made to order) karena mengalami proses komodifikasi. Pendekatan kualitatif yang lebih mengandalkan teknik pengamatan dan wawancara mendalam di ke tiga lokasi penelitian yaitu (Desa Kedisan, Ubud, dan Celuk) diterapkan dalam pengumpulan data dan informasi. Teori-teori yang berkaitan dengan komodifikasi digunakan untuk menganalisis data makalah ini. Jenis seni kriya yang sudah menjadi komoditas saat ini adalah patung yang terdiri atas: patung garuda, patung gajah, patung jerapah. Di samping itu, ada juga cermin, panil, perhiasan, dan lukisan. Aspek-aspek yang mengalami perubahan adalah bentuk, bahan, ukuran, pewarnaan, cara pembuatannya.

Para seniman Bali melakukan perubahan ataupun komodifikasi terhadap produk kerajianan sebagai akibat dari pesanan (made to order) karena dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal disebabkan oleh made to order pesanan dari kosumen yang umumnya mengikuti selera pasar. Di samping itu, adanya pola produksi, dan pengaruh periwisata. Sedangkan untuk faktor internal, para perajin di Desa Kedisan, Ubud, dan Celuk menggunakan imajinasinya untuk berinovasi secara kreatif agar tercipta desain-desain baru dari patung-patung, panil, cermin, perhiasan, dan lukisan yang diproduksi oleh perajin di ke tiga desa tersebut. Mereka tampaknya selalu mengikuti selera pasar sehingga produk mereka sangat disukai oleh konsumen sehingga mereka memproduksi produknya secara massal. Di samping itu, para perajin ingin mengubah kehidupan sosial ekonomi mereka dan mereka memproduksi seni kerajinan kriya menjadi komoditas yang mudah dijual di pasar untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya.

Kata Kunci: komodifikasi, seni kriya

1. Pendahuluan

Makalah ini merupakan hasil penelitian yang berjudul Implikasi Made to Order dalam Autentisitas Kerajinan Bali (2015). Perda Nomor 2 Tahun 2012 mengamanatkan bahwa pengembangan pariwisata budaya Bali berorientasi pada terjalinnya hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antara pariwisata dan kebudayaan. Tujuannya adalah memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata; mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai kebudayaan, agama dan kehidupan alam Bali yang berwawasan lingkungan hidup; mencegah dan meniadakan pengaruh-pengaruh negatif kegiatan pariwisata (Ardika, 2008).

Namun bersesuaian dengan pendapat Burns dan Holden (1995:112—113) tentang pengaruh komodifikasdi budaya lokal, hasil makalah Ardika, dkk (2012) menunjukkan bahwa komodifikasi aspek budaya Bali, khususnya yang berupa barang-barang kerajinan didominasi oleh selera wisatawan yang membeli lewat proses pemesanan. Hal ini cenderung bertolakbelakang dengan amanat Perda dan tujuan pengembangan pariwisata budaya Bali sebagaimana disebutkan di atas. Oleh karena itu, kecenderungan ini jelas merupakan massalah yang perlu diantisipasi agar pariwisata budaya di Bali tidak tidak mengimplikasikan krisis identitas budaya Bali. Sehubungan dengan hal tersebut, makalah yang mendalam tentang komodifikasi dalam kaitannya dengan pariwisata perlu dilaksanakan, khususnya dengan mengkaji massalah yang akan diuraikan seperti berikut: (1) jenis kerajianan Bali apa sajakah yang mengalami dinamika dari aslinya sebagai akibat dari pesanan (made to order)?; dan (2) engapa seniman Bali melakukan komodifikasi terhadap produk kerajianan sebagai akibat dari pesanan (made to order)?

2. Suber Data dan Metode Penulisan

Data makalah ini diambil dari hasil wawancara terhadap para perajin dan pengusaha di Desa Kedisan, Ubud, dan Celuk dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang lebih mengandalkan metode observasi/ pengamatan dan kepustakaan dalam pengumpulan data dan informasi. Metode pengamatan yang

(4)

SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015

“Inovasi Humaniora, Sains dan Teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan”

78 | Kuta, 29-30 Oktober 2015

akan diterapkan adalah pengamatan terlibat, dan penerapannya dilakukan dengan cara peneliti ikut serta berada di tempat melakukan kegiatan bersama para pelakunya masing-masing. Namun perlu dikemukakan di sini, bahwa dalam pengamatan juga dilakukan wawancara dengan menanyakan sesuatu yang telah dilihat dan didengar terkait dengan masalah yang dikaji guna memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang lebih jauh. Hal ini biasa dilakukan dalam pengamatan terlibat, sehingga para ahli mengatakan pengamatan terlibat sebagai pengamatan langsung bersama metode lainnya dalam pengumpulan informasi (Mulyana, 2006 : 162), atau sebagai pengamatan yang bercirikan interaksi peneliti dengan subjek (Satori dan Komariah, 2009 : 117). Aspek-aspek yang akan dicermati dalam pengamatan adalah (1) keadaan/situasi dan di rumah informan; (2) orang-orang yang ikut serta dalam situasi tersebut, termasuk jenis kelamin, usia, profesi, tempat asal, dan lain-lain; (3) kegiatan yang dilakukan orang dalam situasi tersebut; (4) benda-benda yang ada di tempat itu serta letak dan penggunaannya; (5) perbuatan, yaitu tindakan para pelaku dalam proses berlangsungnya kegiatan dalam situasi yang diamati; ekspresi wajah yang dapat dilihat sebagai cerminan perasan dan emosi.

Analisis data/informasi dilakukan secara interprétatif, terutama secara emik dan etik, sehingga dapat dihindari kemungkinan adanya masalah dengan informan yang telah melakukan sesuatu tindakan tetapi tidak mampu menginformasikan maknanya sebagaimana dikatakan oleh Brian Vay (2004). Proses analisis ini bisa sejalan dengan proses wawancara dan pengamatan, artinya analisis dilakukan secara bergantian dengan wawancara dan pengamatan dalam satu paket waktu. Secara konkret mekanismenya bahwa setiap informasi penting yang diperoleh dari informan langsung dianalisis untuk membuat hipotesis-hipotesis kecil yang kemudian digunakan untuk membuat pertanyaan yang diajukan berikutnya. Dengan demikian teknik analisis dan wawancara tersebut mengacu kepada apa yang oleh Taylor dan Bogdan (1984 : 128) disebut dengan istilah go hand-in-hand. Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini sebagian besar berwujud data kualitatif. Data ini akan dianalisis dengan mengikuti prosedur analisis data kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992), yaitu reduksi data, menyajikan data, menafsirkan data, dan menarik simpulan.

Data dianalisis dengan menggunakan teori komodifikasi yang dikembangkan oleh Barker (2005: 517), dan Turner (1992: 115—138). Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme di mana objek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu yang memiliki tujuan utama untuk dijual di pasar. Turner (1992) dan Barker (2005) menyatakan bahwa karena faktor ekonomi (uang) yang didasari atas spirit untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya mengakibatkan munculnya komodifikasi. Komodifikasi dapat merambah ke semua sektor pariwisata dan sistem kapitalis pada umumnya, karena komodifikasi di dunia pariwisata tidak bisa dihindari.

3. Hasil dan Pembahasan

Berikut akan diuraikan jenis seni kriya yang mengalami proses komodifikasi, dan penyebab terjadinya komodifikasi.

3.1 Jenis Seni Kriya yang Mengalami Proses Komodifikasi

Seni Kriya pada makalah ini mengacu kerajinan dengan menggunakan tangan bisa berupa seni ukir, seni lukis, seni membuat keramik, dsb. Hasil penelitian yang dilakukan Sutjiati Beratha, dkk. (2015) tentang Implikasi Made to Order dalam Budaya Bali menunjukkan bahwa jumlah perajin khususnya tukang ukir tradisional Bali bisa dihitung dengan jari, yang artinya amat sangat sedikit. Di Desa Kedisan, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar ada pematung tradisional yang sangat terkenal bernama I Made Ada. I Made Ada adalah satu-satunya pematung Burung Garuda yang masih mempertahankan tradisinya (mengukir patung dengan tidak menggunakan mesin), dan tukang ukirnya memiliki keahlian masing-masing, seperti tukang pembuat bagian dasar patung garuda, tukang ukir sayap patung garuda, pematung burung garuda, tukang amplas, tukang warna, dsb. Saat ini, para pematung kebanyakan menggunakan mesin untuk menyelesaikan pesanannya. Ini disebabkan oleh beberapa faktor, yakni waktu, jumlah pesanan, harga, jenis kayu (bahan), dll. Untuk menggali tukang ukir tradisional Bali tentunya bisa dengan pembinaan, dan pembuatan patung kayu dengan tema binatang: gajah, kucing, kuda, dll;

(5)

pohon-pohonan atau tanaman: pisang, teratai, dsb; tempat sisir, gantungan baju, tempat obat, cermin dll yang semua ini harus bersifat fungsional.

Di Bali telah berkembang industri budaya, kondisi ini memang sulit untuk dihindari karena Pariwisata. Graburn (2000) telah melaksanakan studi tentang patung Inuit yang dituangkan dalam artikelnya berjudul ‘The Nelson Graburn and the Aesthetics of Inuit Sculpture’ sejak tahun 1959. Studi tersebut menunjukan bahwa patung-patung manusia dari suku Inuit diciptakan untuk dijual dan diekspor. Lebih lanjut Graburn mengatakan bahwa patung-patung yang dipesan oleh para wisatawan mengalami perubahan (komodifikasi) karena disesuaikan dengan selera pasar yaitu siapa pemesannya, dan dari negara mana mereka berasal. Menurut Graburn, sejak tahun 1980 – 1990, hasil karya seniman Inuit (suku bangsa di Canada Selatan) mendapat pengaruh yang kuat dari budaya barat melalui pariwisata, televisi, dan media lainnya. Para perajin Inuit mulai menciptakankan komposisi yang kompleks dari hasil kerajinannya. Ini bertujuan untuk memperkenalkan hasil kerajinan yang bersifat non Inuit sebagai akibat dari isu sosial. Tujuan utama dari terjadinya proses komodifikasi adalah agar hasil kerajinannya bisa terjual. Keberhasilannya dapat ditunjukkan dengan menyebutkan siapa-siapa saja pembeli hasil kerajinan non Inuit. Hal serupa terjadi juga pada budaya Bali khususnya pada kerajinan patung melalui pemesanan made to order. Menurut salah satu informan yang juga seorang pengusaha muda dari Desa Mas, Kabupaten Gianyar, tukang pembuat patung ada di berbagai desa di Bali, mereka bukan seniman patung dan hanya menghandalkan mesin untuk menyelesaikan semua pesanan agar bisa dikerjakan dengan cepat. Dengan hanya memberi contoh patung, ukuran patung dan jenisnya: patung gajah, jelapah, kucing,dll umumnya binatang berkaki empat, dan patung-patung tersebut sekarang sudah menjadi komoditas. Desa Mas, Kabupaten Gianyar tampaknya telah berkembang menjadi desa industri budaya. Pengusaha di desa ini selalu menerima pesananan melalui made

to order patung jerapah, gajah panil, cermin, lukisan, dan benda-benda kerajinan yang bersifat fungsional

dalam jumlah ratusan, dan bahkan ribuan untuk dipasarkan ke Eropa dan Amerika. Menurut informan, mitra bisnisnya adalah pemiliki toko-toko di negara tersebut. Para pembuat patung akan mengerjakan barang-barang yang dipesan itu di rumah mereka masing-masing dengan menggunakan mesin. Kondisi ini yang menyebabkan pematung tradisional semakin berkurang sehingga langkah pelestariannya perlu dipikirkan.

Ryan (2005), menulis pada sebuah artikel yang berjudul ‘Who Manages Indigenous Tourism Product – Aspiration and Legitimization’. Artikel tersebut menyatakan bahwa industri pariwisata selalu menyediakan produk yang berbeda karena segmen pasar yang berbeda pula. Fenomena seperti ini mengakibatkan terjadinya komodifikasi terhadap produk yang dijual oleh para perajin, sehingga para perajin sering memanipulasi produknya karena harus mengikuti keinginan pasar, yaitu wisatawan sebagai pemesan. Di Desa Celuk, perhiasan sekarang dibuat dari kuningan atau alpaka dengan tenik casting (cetak) sehingga terdapat alih teknologi dari manual dengan menggunakan kawat dan jawan untuk membuat perhiasan ke teknik cetak. Keadaan seperti ini bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari barang-barang kerajinan yang laku terjual untuk menyambung hidup mereka yang hanya memperoleh pendapatan dari sektor pariwisata sehingga proses komodifikasi pada barang-barang hasil kerajinan yang diproduksi akan dilaksanakan. Sejauh ini, para perajin akan memproduksi barang kerajinan yang dibutuhkan oleh pasar. Dewasa ini tampaknya seni bukan lagi untuk seni tapi seni untuk ekonomi seperti dikemukakan oleh Ryan karena pengaruh dari industri pariwisata.

Ardika (2008), dalam sebuah tulisannya dengan judul Periwisata dan Komodifikasi Kebudayaan

Bali menyatakan bahwa pariwisata dapat menimbulkan proses komodifikasi terhadap budaya masyarakat

lokal karena budaya dianggap sebagai objek yang memiliki daya tarik sehingga dikonsumsi oleh wisatawan, yang selanjutnya mengalami proses komersialisasi. Kenyataan seperti ini baik secara langsung maupun tidak langsung akan menurunkan kualitas kebudayaan Bali. Di Desa Ubud, para pelukis menggunakan komputer untuk melukis dan hasilnya dipantulkan dengan LCD ke kanvas, selanjutnya diwarnai sesuai dengan selera pemesan. Dengan menggunakan teknik ini pelukis mampu menyelesaikan 40 buah lukisan dalam sehari. Ini merupakan bukti bahwa lukisan pun juda mengalami proses komodifikasi. Ardika (2008) juga menyatakan bahwa dalam dunia kepariwisataan komodifikasi merupakan sesuatu yang tidak dapat

(6)

SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015

“Inovasi Humaniora, Sains dan Teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan”

80 | Kuta, 29-30 Oktober 2015

dihindari. Sadar ataupun tidak sadar pariwisata dan komodifikasi telah mengubah makna kebudayaan Bali. Watson dan Kopachevsky (1994), juga berpendapat bahwa komodifikasi sudah merambah ke seluruh sektor pariwisata serta sistem kapitalis pada umumnya seperti yang diungkapkan oleh Britton (1991). Ardika (2008) mencontohkan pertunjukan tari Barong yang ada di Desa Batubulan telah mengalami komodifikasi budaya Bali karena memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) pengemasannya (packaging) terkait dengan durasi waktu sekitar satu jam, (2) penggunaan barong tiruan (simulacra), dan (3) upacara pada saat pertunjukan dibuat sangat sederhana. Pertunjukan tari Barong untuk wisatawan dipromosikan melalui pemasaran (marketing) oleh berbagai komponen industry pariwisata (Pitana, 2006: 266—267).

Untuk menghidari dan meminimalisir adanya proses komodifikasi, komersialisi, konsumerisme, dan degradasi kebudayaan Bali dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata budaya di daerah Bali, Ardika (2008) mengusulkan: (1) peningkatan kesadaran masyarakat Bali untuk menggali kearifan lokal dan mempertahankan nilai-nilai keagamaan dan estetika kebudayaan Bali, (2) perlu dibuat peraturan dalam bentuk Perda sebagai payung hukum yang harus dipedomani untuk melindungi, melestarikan, dan mencegah proses komodifikasi kebudayaan Bali, khususnya yang memiliki kaitan dengan daya tarik wisata, (3) pemberian informasi kepada wisatawan atau pihak-pihak terkait dengan industri pariwisata tentang nilai-nilai religiusitas dan estetika kebudayaan Bali, dan (4) para perajin atau seniman untuk mematenkan hasil karyanya, atau mendaftarkan hak ciptanya agar terhindar dari peniruan atau pemalsuan karena property right ada pada pihak pemesan.

3.2 Penyebab Terjadinya Komodifikasi

Implikasi made to order sangat berpengaruh terhadap autensitas seni kerajinan Bali khususnya seni kriya. Pada Bab ini akan diuraikan penyebab terjadinya dinamika terhadap seni kerajinan Bali yang pada awalnya bukan merupakan komoditas dan sekarang menjadi komoditas. Menurut Ardika (2008: 4—5) komodifikasi pada umumnya disebabkan olek dua faktor yaitu eksternal dan internal. Dari hasil wawancara dengan sejumlah nara sumber yang terdiri atas para perajin, pengusaha seni kriya tampaknya juga mendukung pendapat Ardika (2008) bahwa ada dua faktor utama yang menyebabkan terjadinya proses komodifikasi terhadapat seni kerajinan baik yang sifatnya eksternal maupun internal. Ke duanya akan diuraikan secara rinci sebagai berikut.

3.2.1 Faktor Eksternal

Pariwisata yang dikembangkan di Bali adalah pariwisata budaya dengan tujuan untuk memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata, mempertahankan norma-norma dan nilai kebudayaan, agama, dan kehidupan alam Bali yang berwawasan lingkungan hidup, mencegah dan meniadakan pengaruh-pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata (Dinas Pariwisata Propinsi Bali, 2000). Harapan yang tersurat pada Perda ini tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan, karena telah terjadi dinamika yang menghatarkan seni kerajinan Bali mengalami proses komodifikasi. Burns dan Holden (1995: 112—113) mengatakan bahwa pariwisata dapat menimbulkan proses komodifikasi terhadap budaya masyarakat lokal karena budaya dianggap sebagai objek dan daya tarik sehingga menjadi konsumsi pariwisata.

Dinamika atau perubahan terjadi yang diakibatkan oleh faktor eksternal adalah karena adanya permintaan konsumen, selera (trend) pasar, pariwisata, dan kondisi ekonomi. Wawancara yang dilakukan dengan pengusaha dan perajin di ke tiga lokasi penelitian menunjukkan bahwa pembuatan seni kriya yang berupa patung, panil, cermin, perhiasan di perusahaan atau industri kerajinan diawali dengan adanya pesanan dari pihak konsumen dalam jumlah banyak. Pesanan tersebut bisa bersifat langsung mapun tidak langsung. Secara langsung artinya bahwa konsumen datang langsung untuk memesan ke perusahaan yang memproduksi seni kerajinan yang diinginkan. Sedangkan secara tidak langsung di mana konsumen memesan produk yang diinginkannya di pameran dagang (trade show) yang dilakukan oleh perusahaan baik di dalam maupun di luar negeri. Pada pameran dagang tersebut pihak industri dan perusahaan akan memasarkan produknya sesuai dengan trend pasar sehingga pada saat ini bertemu antara penjual dan pembeli.

(7)

Konsumen pada umumnya berasal dari perusahaan yang ingin memberikan kepuasan kepada konsumennya juga sehingga kualitas produk, harga, dan variasi terhadap produk yang akan dipesan menjadi tujuan utama. Pesanan hasil kerajinan seni kriya melalui made to order adalah sangat inovatif, pemesan yang biasanya memberikan ide untuk perubahan (inovasi) bentuk yang harus dilakukan perajin dan pengusaha dengan memberikan contoh, atau membuat hibridisasi terhadap sebuah produk seni kriya. Patung gajah memiliki beraneka bentuk dan variasi yang dipesan memalui made to order dan bersifat fungsional karena patung gajah tidak hanya sebagai pajangan namun juga bisa digunakan untuk tempat kartu nama. Patung jerapah adalah hibridisasi dari jerapah Indonesia dan Afrika. Keberhasilan untuk menciptakan bentuk baru dengan beraneka ragam variasi dari sebuah produk seni adalah hasil inovasi bersama antara penjual (perusahaan yang akan merealisasikannya kepada perajin) dan konsumen dengan tujuan untuk mendapatkan pesanan dalam jumlah banyak dan keuntungan sebanyak-banyaknya. Di samping itu, trend pasar juga menjadi pertimbangan utama dalam menentukan pesanan dari konsumen. Misalnya, konsumen menjelang hari raya ingin terlihat cantik pasti sehingga perlu menggunakan perhiasan, selanjutnya akan terjadi permintaan demand yang tinggi terhadap perhisan. Kondisi ini diikuti oleh harga logam mulia yang begitu tinggi yang menyebabkan bahan baku perhiasan yang awalnya dibuat dari emas dan perak kemudian diganti dengan kuningan atau alpaka dan menggunakan system casting ‘cetak’. Kondisi ini merupakan faktor eksternal di mana proses komodifikasi terhadap produk seni tidak bisa dihindari.

Di samping itu, perkembangan pariwisata juga sangat mempengaruhi perekonomian dunia. Apabila perekonomian dunia stabil (tidak ada krisis global) maka produksi kerajian seni kriya yang berkembang di Desa Kedisan, Ubud, dan Celuk berjalan dengan baik, pengririman pesanan yang melalui made to order bisa dilaksanakan setiap bulannya sesuai dengan jumlah pesanan yang selalu dalam jumlah banyak (di atas seribu) untuk dikirim ke Eropa dan Amerika. Menurut pemilik perusahaan CV Dharma Siadja, pada tahun 2009 telah terjadi krisis moneter sehingga dampaknya berimbas sampai tahun 2010, pesanan menjadi sangat menurun namun sejak tahun 2012 pesanan mulai bangkit kembali (demand mulai meningkat. Krisis global yang ditandai dengan berkurangnya jumlah pesanan atau permintaan, dan mungkin disebabkan oleh jatuhnya industri mitra dagang mereka yang ada di Eropa dan Amerika sehingga proses produksi menjadi terganggu. Konsumen (buyer) perusahaan tersebut adalah pemilik toko-toko kerajian importer atau store owner. Penurunan kualitas wisatawan juga dapat memengaruhi produksi kerajinan seni kriya karena walaupun jumlah wisatawan yang datang ke Bali masih banyak, namun daya beli mereka sangat rendah, kondisi ini juga sebagai penyebab minimnya pesanan terhadap produk yang dipasarkan melalui

made to order.

A. Pesanan dari Konsumen

Menurut I Made Ada, pemilik CV Dharma Siadja, Celuk Design Centre (CDC) para perajin (dari hasil wawancara) bahwa pesanan dari konsumen bisa bersifat langsung dan tidak langsung. Secaea langsung artinya pemesan patung Garuda, gajah, jerapah, panil, cermin dan perhiasan datang secara langsung ke tempat industri kerajinan seni kriya tersebut diproduksi bisa secara eceran (retail), dan bisa dalam partai besar. Sedangkan secara tidak langsung, pesanan melalui made to order dilakukan pada saat para pengusaha, perajin melakukan pameran dagang trade fair baik di dalam maupun di luar negeri. Para pengusaha dari pihak industri atau perusahaan akan memasarkan produk-produk mereka yang tentunya sudah disesuaikan dengan selera pasar. Pada pameran dagang itu terjadi transaksi antara pembeli atau komsumen dengan penjual, dan pertemuan mereka selalu diatur dengan membuat janji terlebih dahulu

(arrange by appointment).

Konsumen dari CV Dharma Siadja adalah mitra dagang perusahaan itu yang berasal dari Eropa dan Amerika berharap agar produk yang mereka pesan melalui made to order secara tidak langsung memiliki kualitas yang baik walaupun selalu dipesan dalam jumlah banyak, desain-desain yang inovatif, produk bervariasi (ada patung, cermin, panil, perhiasan) dengan harga terjangkau. Untuk memenuhi harapan konsumen, pihak industri atau perusahaan harus sanggup bekerja keras agar tercipta produk-produk yang sesuai selera mereka baik dari aspek budaya maupun non budaya. Dari aspek budaya, produk yang

(8)

SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015

“Inovasi Humaniora, Sains dan Teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan”

82 | Kuta, 29-30 Oktober 2015

dipesan bisa bersifat fungsional, misalnya sebuah patung di samping sebagai pajangan, patung tersebut bisa memilki fungsi lain: tempat obat, kartu, tempat lilin, tempat make up, gantungan baju, dan lain-lainnya. Dari aspek non budaya, perusahaan harus juga memikirkan tentang tempratur (suhu), dan cuaca dari negara mana konsumen itu berasal. Ini menjadi pertimbangan utama di dalam memilih jenis bahan (kayu) yang akan digunakan untuk membuat pesanan agar produk yang dipesan tidak pecah setelah tiba di negara asal pemesan atau tidak dalam keadaan dimakan rayap karena sistem pengeringan yang kurang baik pada saat memproduksinya. Pihak perusahaan dan industri selalu memikirkan kondisi ini karena konsumen memesan produk yang mengalami proses komodifikasi secara massal. Pihak konsumen dan industri sama-sama tidak mau dirugikan, mereka sama-sama menjaga trust (kepercayaan) dan komunikasi dengan sebaik-baiknya untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.

Setelah terjadi kesepakatan dalam pameran dagang tersebut, proses selanjutnya adalah akan segera melakukan proses produksinya yang tentunya diawali dengan penandatangan Surat Perjanjian Dagang dari pihak perusahaan dan konsumen. Proses produksi produk akan dijelaskan pada sub-bab berikut.

B. Proses Produksi Massal

Proses produksi ditangani oleh sebuah departemen yang ada dalam sebuah perusahaan. Departemen produksi memiliki peran yang amat penting untuk menjaga kelancaran proses produksi sebuah produk dikerjakan. Produk-produk kerajinan seni kriya yang dipesan melalui made to order selalu diproduksi secara massal karena telah mengalami proses komodifikasi dari bentuk (bervariasi dan inovatif hasil hibrid Indonesia – Eropa/ Amerika, dll), bahan baku (seperti kayu, plywood (MDF), kuningan, nikel (alpaka), ukuran (besar, sedang, kecil), sistem pewarnaan alami atau warna dari zat pewarna pabrik. Komoditas ini merupakan hasil imajinasi pera perajin yang begitu sangat inovatif dan kreatif sehingga menghasilkan produk baru yang sesuai dengan selera pasar sehingga laku terjual. Departemen produksi mengelola semua sumberdaya manusia yang terlibat untuk memproduksi pesanan dari konsumen. Di samping itu, departemen ini juga harus mengelola peralatan seperti beraneka jenis mesin (karena telah terjadi perubahan teknologi dari manual (menggunakan tangan) ke mesin untuk menunjang tahapan-tahapan produksi agar sesuai dengan target yang harus dicapai.

Produk kerajinan seni kriya yang dipesan secara massal tentunya harus memperhatikan beberapa hal penting. Contoh, produksi secara massal akan dimulai setelah pemesan atau konsumen bersepakat tentang (komuditasnya: bahan, ukuran, harga, dll). Setelah itu ke dua belah pihak mengikat kesepakatan itu dengan Surat Perjanjian. Berdasarkan Surat Perjanjian, proses pembuatan komoditas yang dipesan (patung, panil, cermin, dan perhiasan) dimulai. Tahapannya adalah dengan mempersiapkan bahan baku, proses pembuatannya sesuai dengan jenis produk yang dipesan, proses pengeringan dengan menggunakan mesin pengering (dry killn) khususnya untuk jenis produk yang menggunakan bahan dari kayu Albesia, berikutnya adalah penghalusan dengan amplas, dan proses akhir finishing dengan pengecatan atau penyemiran (polising) bila diperlukan, dan tahapan yang terakhir adalah packaging (pengepakan). Pada tahap akhir ini, perusahaan akan mengemas produk kerajinan seni kriya yang dipesan oleh konsumen ke dalam suatu kemassaln sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam Surat Perjanjian antara ke dua belah pihak, yaitu pihak perusahaan dan konsumen.

C. Saluran Distribusi

Sub-bab ini akan membahas tentang saluran distribusi komoditas khusunya seni kriya yang dipesan melalui made to order. Saluran distribusi memiliki peran yang sangat penting agar produk tersebut bisa sampai ke tangan konsumen. Dari hasil wawancara dengan para pengusaha, perajin, dan observasi di ke tiga lokasi penelitian di Kabupaten Gianyar, tampaknya, saluran distribusi terdiri atas dua yaitu pendistribusia secara langsung maupun tidak langsung. Pendistribusian secara langsung, artinya pihak industri atau perusahaan akan secara langsung membawa dan memberikan secara langsung produk yang dipesan oleh konsumen (mereka bisa sebagai wisatawan domestik, manca negara, atau perusahaan dalam atau luar negeri). Pendistribusian secara langsung dapat berlangsung untuk pesanan dalam jumlah banyak

(9)

dan sedikit. Sedangkan penditribusian tidak langsung adalah pihak industri atau perusahaan menunjuk pihak ke tiga yaitu perusahaan kargo untuk mengurus proses pendistribusian (bisa dari perusahaan jasa transportasi).

Pendistribusian baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki tujuan agar produk seni kerajianan kriya yang dipesan (patung-patung, cermin, panil, dan perhisanan) bisa sampai ke konsumen (bisa perusahaan, atau individu) dengan selamat. Perusahaan kargo biasanya menangani pengiriman dan sekaligus mendistribusiakan pesanan produk kerajinan seni kriya yang dipesan melalui made to order, mulai dari pemilihan jenis transportasi, pengurusan dokumen-dokumen seperti daftar harga (invoice), Surat Keterangan asal produk, dan lain sebagainya sesuai kesepakatan yang tertulis dalam Kontrak Dagang bila produk tersebut dikirim ke luar negeri (diekspor). Pendistribusian yang tidak langsung dari produk kerajianan seni kriya yang dipesan biasanya sudah dalam kondisi yang dikemas sehingga pihak perusahaan kargo yang ditunjuk oleh konsumen untuk mengurus pendistribusiannya agar bisa sampai di tempat tujuan dalam keadaan selamat.

Akan tetapi, bila pesanan tersebut untuk dikirim di dalam negeri, perusahaan hanya menyiapkan Surat Jalan, dan data-data penunjang lain, seperti daftar kemassaln sebagai bukti jumlah produk yang dikirim. Saluran distribusi menekankan pada pesanan konsumen baik dari individu maupun perusahaan yang telah melakukan transaksi bersifat massal (whole sale) atau eceran (retail) sampai kepada mereka karena mereka telah melakukan made to order melalui mitra dagang sebelumnya..

D. Pola Konsumsi

Wawancara yang dilakukan kepada perusahaan yang ada di Desa Kedisan, Ubud, dan Celuk mengatakan bahwa hasil industri kerajinan seni kriya dikonsumsi oleh perusahaan sebagai mitra dagang baik yang berada di dalam maupun di luar negeri dengan pola konsumsi massal. Perusahaan kerajinan di Desa Kedisan, dan Celuk tergolong industri kecil menengah dengan tenaga kerja antara 25 – 75, sedangkan untuk perusahaan CV Dharma Siadja adalah tergolong industri berskala besar dengan jumlah tenaga mencapai 400 orang. Perusahaan di ke tiga desa ini memproduksi kerajinan seni kriya (patung-patung, panil, cermin, perhiasan) melalui proses komodifikasi. Perusahaan tersebut selalu menggunakan imaginasi secara kreatif dan inovatif untuk menciptakan desain-desain baru. Mereka melakukan perubahan teknologi dari manual (dengan menggunakan tangan) ke penggunaan mesin. Perusahaan telah melakukan perubahan bentuk, ukuran, bahan baku, sistem pewarnaan, dan lain-lain, sehingga mereka memproduksi komoditas baru secara massal. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya karena proses komodifikasi terjadi sebagai akibat dari telah terjadi perubahan pola konsumsi yaitu dari konsumsi individu ke konsumsi massal (oleh konsumen yaitu perusahaan melalui made to order). Untuk mencapai tujuan ini pihak perusahaan harus secara terus menerus mampu menghasilkan produk-produk sesuai permintaan pasar (mengikuti trend pasar).

Setiap perusahaan memilki designer yang memiliki tanggung jawab untuk mendesain produk-produk baru, seperti berbagai jenis patung sesuai yang dipesan, panil, cermin, atau perhiasan. Para designer yang bekerja di perusahaan tersebut dituntut untuk menciptakan karya seni baru sesuai dengan daya imajinasi, kreativitas atau kemampuan yang mereka miliki, namun mereka tidak poleh lepas dari parameter (pakem) yang berisikan nilai-nilai (values) seni budaya Bali yang merupakan taksu (inner beauty) dan hanya dimiliki oleh budaya Bali.

Hasil wawancara yang dilakukan dengan para perajin seni kriya di desa Kedisan, Ubud, dan Celuk, tampaknya sering terjadi banyak kemiripan dari desain-desain para perajin patung, panil, cermin, dan perhiasan. Untuk mengantisipasi adanya proses komodifikasi, komersialisi, konsumerisme, plagiat, dan degradasi kebudayaan Bali dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata budaya di daerah Bali, Ardika (2008) mengusulkan: (1) peningkatan kesadaran masyarakat Bali untuk menggali kearifan lokal untuk mempertahankan nilai-nilai keagamaan dan estetika kebudayaan Bali, (2) perlu dibuat peraturan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) sebagai payung hukum yang harus dipedomani untuk melindungi, melestarikan, dan mencegah proses komodifikasi kebudayaan Bali, khususnya yang memiliki kaitan

(10)

SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015

“Inovasi Humaniora, Sains dan Teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan”

84 | Kuta, 29-30 Oktober 2015

dengan daya tarik wisata, (3) pemberian informasi kepada wisatawan atau pihak-pihak terkait dengan industri pariwisata tentang nilai-nilai religiusitas dan estetika kebudayaan Bali, dan (4) para perajin atau seniman untuk mematenkan hasil karyanya, atau mendaftarkan hak ciptanya (HAKI) agar terhindar dari peniruan atau pemalsuan. Menurut para pengusaha kerajinan seni kriya di ke tiga lokasi penelitian, tampaknya industri kerajinan yang ada di Bali umumnya memiliki kaitan erat dengan kondisi pariwisata dan perekonomian dunia. Kenyataan ini disebabkan oleh produk kerajinan seni kriya yang mereka produksi diekspor ke manca negara seperti Eropa, Amerika, Australia, dan lain sebagainya.

3.2.2 Faktor Internal

Faktor internal disebabkan oleh keinginan para perajin itu sendiri untuk berinovasi dengan menggunakan imajinasikan menciptakan desain-desain baru secara kreatif dari kerajian produk aslinya untuk menghindari kebosanan atau kejenuhan. Di samping itu, faktor ekonomi juga sebagai pemicu agar para perajin terus berinovasi, berkreasi untuk menciptakan desain-desain baru dari sebuah karya seni kriya agar produk-produk itu bisa laku di pasaran.

Seni Kriya, yaitu patung, panil, cermin dan perhiasan yang menjadi komodidas karena telah mengalami proses komodifikasi telah mengalami perubahan (umumnya penyederhanaan) dari teknologi (tangan ke mesin, bentuk (berbagai jenis betuk), ukuran, bahan baku (dari kayu yang keras ke yang lunak), pewarnaan (dari warna alamiah ke penggunaan zat-zat pewarna pabrik.

Ardika (2008), dalam sebuah tulisannya dengan judul Periwisata dan Komodifikasi Kebudayaan Bali menyatakan bahwa pariwisata dapat menimbulkan proses komodifikasi terhadap budaya masyarakat lokal karena budaya dianggap sebagai objek yang memiliki daya tarik sehingga dikonsumsi oleh wisatawan, yang selanjutnya mengalami proses komersialisasi. Kenyataan seperti ini baik secara langsung maupun tidak langsung akan menurunkan kualitas kebudayaan Bali

4. Simpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jenis kerajianan Bali yang mengalami dinamika dari aslinya sebagai akibat dari pesanan (made to order) dan mengalami proses komodifikasi adalah seni kerajinan patung yang terdiri atas: patung garuda, patung gajah, patung jerapah. Di samping itu, ada juga cermin, panil, perhiasan, dan lukisan.

Para seniman Bali melakukan perubahan ataupun komodifikasi terhadap produk kerajianan sebagai akibat dari pesanan (made to order) karena dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal disebabkan oleh made to order pesanan dari kosumen yang umumnya mengikuti selera pasar. Di samping itu, adanya pola produksi, dan pengaruh periwisata. Sedangkan untuk faktor internal, para perajin di Desa Kedisan, Ubud, dan Celuk menggunakan imajinasinya untuk berinovasi secara kreatif agar tercipta desain-desain baru dari patung-patung, panil, cermin, dan perhiasan yang diproduksi oleh perajin di ke tiga tersebut. Mereka tampaknya selalu mengikuti selera pasar sehingga produk mereka sangat disukai oleh konsumen sehingga mereka memproduksi produknya secara massal. Di samping itu, para perajin ingin mengubah kehidupan sosial ekonomi mereka dan mereka memproduksi seni kerajinan kriya menjadi komoditas yang mudah dijual di pasar dengan harga murah.

Ucapan Terima Kasih

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas rahmatNya penelitian berjudul IMPLIKASI MADE TO ORDER DALAM AUTENTISITAS KERAJINAN BALI adalah Penelitian Hibah Grup Riset yang dibiayai dari dana DIPA, PNBP Universitas Udayana Tahun Anggaran 2015 dapat diselesaikan tepat pada waktunya dan makalah ini merupakan bagian dari penelitian tersebut. Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penelitian ini sehingga dapat berjalan dengan baik dan lancar yang meliputi: Bapak Rektor Universitas Udayana; Bapak Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Udayana; Bapak Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana; Bapak Kepala Desa Kedisan,

(11)

Kecamatan Tegallalang, Bapak Kepala Desa Ubud di Kelurahan Ubud dan Desa Celuk, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar beserta staf; dan para informan di Desa Kedisan, Ubud, dan Celuk. Penulis mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua.

Daftar Pustaka

Ardika, I Wayan. 2008. ‘Pariwisata dan Komodifikasi Kebudayaan Bali’ dalam Pusaka Budaya dan

Nilai-nilai Religiusitas, ( I Ketut Setiawan ed.) 1 – 9. Denpasar: Fakultas Sastra, Unud.

Ardika, I Wayan, dkk. 2012. Pengembangan Pariwisata Budaya Bernuansa Ekonomi Kreatif yang

Berkeadilan dan Berkelanjutan di Bali. Laporan Penelitian. Denpasar: Universitas Udayana.

Barker, C. 2005, ‘Cultural Studies Teori dan Praktik’ dalam For a Critique of the Political Economy of

the Sign (Jean Baudrillard ed.). Yogyakarta: PT Benteng Pustaka.

Fairclough, N. 1995. Discourse and Social Change. Cambridge: Policy Press.

Moleong, L. J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Piliang, Y. A. 1999. Hiper-Realitas dan Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS

Rai Sukmawati, Ni Made. 2011. Komodifikasi Kerajinan Seni Patung Kayu di Desa Mas, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Tesis pada Program Studi Magister (S2) Kajian Pariwisata. Denpasar: Universitas Udayana.

Richards, . 1996. Cultural Tourism in Europe. London: Cab International.

Ryan, C. 2005. ‘Who Manages Indigenous Tourism Product – Aspiration and Legitimization’. Indigenous

Tourism: The commodificatiom and Management of Culture (Chris Ryan dan Michelle Aicken, ed.).

Oxford: Elsevier.

Sida Arsa, I Ketut dan I Nyoman Laba. 2014. Inovasi Kerajinan Perhiasan Melalui Pemanfaatan Limbah

Kuningan di Desa Celuk, Sukawati, Gianyar, Bali. Laporan Tahunan Penelitin Hibah Bersaing.

Denpasar: Institut Seni Indonesia Denpasar.

Thomas. 1992. The Arts and Their Interrelation. New York: USA Press.

Tunis, Roslyn and Nelson Graburn. 2000. ‘The Nelson Graburn and the Aesthetics of Inuit Sculpture’.

Curatorial Notes at the Phoebe A. Hearst Museum of Anthropology, Berkeley, California October

2000 through September 2001.

Turner, B. S. 1992. Max Weber: From History to Modernity. London: Routledge.

Udiana, Nindhia Pemayun, Tjokorda. 2009. Komodifikasi Patung Garuda di Banjar Pakudui Desa Kedisan: Sebuah Kajian Budaya.

Referensi

Dokumen terkait

persepsi pada penelitian ini dilihat dari jumlah responden yang berbeda, karena jumlah. responden yang lama bekerja < 3 tahun lebih banyak dari pada responden

Kompetisi dengan Kantor Akuntan Publik (KAP) di dalam negeri, juga persaingan yang muncul dengan Kantor Akuntan Publik (KAP) berbendera asing atau Kantor Akuntan Publik

Lagi pula, kalau kita tidak tahu apa yang disukai pasangan kita pada diri kita, akan sulit bagi kita untuk membuat dia senang.. Sorang gadis remaja berkata kepada saya, “Aku

Sementara para peneliti masih berpikir bahwa HIV hanya menyerang sistem kekebalan, semua orang yang terinfeksi virus ini tetapi tidak menunjukkan gejala terjangkit AIDS atau

Pasien yang dikategorikan hipertensi dilaporkan cenderung mengalami ketidakstabilan hemodinamik berupa hipotensi setelah penggunaan induksi anestesi, hal ini dimungkinkan

Tabel 5.3 Gambaran Perilaku Berisiko Terinfeksi Toxoplasma gondii Terkait Praktik Higiene dan Sanitasi pada Pedagang Daging di Pasar Tradisional Kabupaten

Hasil Belajar MYOB ( Mind Your Own Business ) ditinjau dari Pemahaman Pengantar Akuntansi dan Bahasa Inggris pada Mahasiswa Pendidikan Akuntansi Fakultas Keguruan

Bab enam Rancangan Malaysia Kesebelas (RMK-11) menyokong pembangunan ke arah pertumbuhan hijau bagi meningkatkan kemampanan dan daya tahan. Pendekatan pengurusan