• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

4. 1. Pertumbuhan Tanaman 4. 1. 1. Tinggi Tanaman

Pengaruh tiap perlakuan terhadap tinggi tanaman menghasilkan perbedaan yang nyata sejak 2 MST. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat pada budidaya konvensional memiliki tanaman yang paling tinggi, hal tersebut dikarenakan umur bibit yang digunakan berbeda. Bibit untuk konvensional berumur 26 hari sedangkan untuk S.R.I. anorganik, organik, dan semi-organik berumur 6 hari.

Tabel 3. Pengaruh sistem budidaya padi terhadap tinggi tanaman (cm) Sistem Budidaya Umur Tanaman (MST)

2 4 6 8 10

Konvensional 30.53c 49.20d 66.48b 82.28c 89.83c

S.R.I. Anorganik 27.75b 46.95c 64.98b 80.45c 87.20bc

S.R.I. Organik 25.25a 42.55a 58.18a 69.60a 78.43a

S.R.I. Semi-organik 26.23a 44.83b 62.90ab 76.60b 83.90b

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

Berdasarkan pada Tabel 3 dapat dilihat pada awalnya tinggi tanaman budidaya konvensional selalu lebih tinggi dari perlakuan lainnya dan secara statistik berbeda nyata. Mulai 6 MST tinggi tanaman antara budidaya konvensional dan S.R.I. terutama S.R.I. anorganik secara statistik tidak berbeda nyata dan selisih tinggi tanamannya tidak terlalu jauh.

Perlakuan S.R.I. organik selalu memiliki tanaman yang paling rendah, hal tersebut diduga karena pada perlakuan ini menggunakan pupuk organik yang memiliki kadar N, P, dan K yang rendah (Tabel Lampiran 2) dan dosis pupuk yang dipakai kurang sehingga pertumbuhan tanaman sedikit terhambat. Pada perlakuan yang memakai pupuk anorganik unsur hara nitrogen yang dimasukkan ke dalam tanah sebanyak 114.45 kg N/ha sedangkan jika memakai pupuk organik unsur hara nitrogen yang dimasukkan ke dalam tanah hanya 3.3 kg N/ha. Nitrogen merupakan unsur hara yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman (Tisdale et.al., 1990) dan menurut De Datta (1981), pertumbuhan tinggi tanaman dipengaruhi

(2)

oleh suplai N ke dalam tanaman. Oleh karena itu, pada budidaya konvensional, S.R.I. anorganik, dan S.R.I. semi-organik pertumbuhannya lebih baik karena menggunakan pupuk anorganik yang memiliki kadar N, P, dan K lebih tinggi sehingga lebih baik dalam penyerapan unsur N pada khususnya yang sangat dibutuhkan dalam pembentukan tinggi tanaman.

4.1.2. Jumlah Batang Per 100 m2

Perbedaan nyata pada jumlah batang per 100 m2 terlihat sejak awal pengamatan (2 MST). Budidaya konvensional berbeda nyata dengan S.R.I. anorganik, organik, dan semi-organik karena adanya perbedaan jumlah bibit yang ditanam. Budidaya S.R.I. anorganik, organik, dan semi-organik, sesuai dengan prinsip dasar S.R.I. jumlah bibit yang ditanam adalah 1 bibit per lubang tanam, sedangkan pada budidaya konvensional jumlah bibit yang ditanam adalah 8 per lubang tanam.

Tabel 4. Pengaruh sistem budidaya padi terhadap jumlah batang per 100 m2

Sistem Budidaya Umur Tanaman (MST)

2 4 6 8 10

Konvensional 19750.00b 45000.00c 66375.00c 75750.00c 60500.00c

S.R.I. anorganik 4332.90a 17381.55b 38385.05b 45717.65b 41884.70b

S.R.I. organik 3610.75a 12665.40a 27941.65a 32885.60a 28441.60a

S.R.I. semi-organik 3999.60a 16276.15ab 37496.25ab 43773.40b 37496.25ab

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

Selain jumlah bibit yang ditanam, jarak tanam yang berbeda antara budidaya konvensional dan S.R.I. juga menyebabkan perbedaan jumlah rumpun per 100 m2. Budidaya konvensional dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm pada luasan 100 m2 terdapat 2500 rumpun. Sedangkan pada budidaya S.R.I. dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm pada luasan 100 m2 terdapat 1111 rumpun. Sehingga walaupun sejak 6 hingga 10 MST pada pengamatan tanaman contoh jumlah batang per rumpun pada budidaya S.R.I. anorganik dan S.R.I. semi-organik lebih tinggi dari konvensional, tetapi karena pada budidaya konvensional jumlah

(3)

rumpun per 100 m2 lebih tinggi sehingga jumlah batang per 100 m2 juga lebih tinggi.

Berdasarkan jumlah batang per 100 m2 antara S.R.I. anorganik, organik, dan semi-organik, S.R.I. semi-organik memiliki jumlah batang per 100 m2 lebih tinggi dari S.R.I. organik dan mulai 6 MST menurut uji statistik tidak berbeda nyata dengan S.R.I. anorganik. Perlakuan S.R.I. semi-organik memiliki pertumbuhan yang baik, hal tersebut diakibatkan pada perlakuan ini diberikan pupuk organik hayati (bio-organic fertilizer). Istilah bio-organic fertilizer didefinisikan sebagai persiapan sel hidup atau dorman dari mikrob tanah yang menguntungkan seperti bakteri, fungi, atau alga untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dalam menambah suplai nutrien tanaman seperti nitrogen dan fosfor (Anas, 1997). Pupuk organik hayati yang digunakan pada penelitian ini mengandung Mikrob Pelarut Fosfat (MPF) dan Azotobacter (Tabel Lampiran 3) yang membantu untuk penyediaan unsur hara nitrogen dan fosfor. Berdasarkan dari keseluruhan perlakuan, jumlah batang per 100 m2 maksimal pada 8 MST dan pada 10 MST mengalami penurunan jumlah batang per 100 m2, hal tersebut dikarenakan adanya batang yang mati.

Budidaya S.R.I. organik selalu memiliki jumlah batang per 100 m2 yang lebih rendah dari budidaya S.R.I. lainnya. Sama halnya dengan tinggi tanaman, hal tersebut diduga karena pada S.R.I. organik menggunakan pupuk organik yang memiliki kadar N, P, dan K rendah (Tabel Lampiran 2) sehingga pembentukan anakan sedikit terhambat. Nitrogen adalah unsur hara penting yang dibutuhkan untuk pembentukan anakan. Penyediaan cukup N yang dapat diserap selama awal pertunasan menghasilkan lebih banyak anakan (Sanchez, 1993) dan menurut De Datta (1981), jumlah anakan semakin banyak dengan meningkatnya serapan N selama fase vegetatif.

4.2. Komponen Hasil

Pengamatan terhadap komponen hasil produksi dilakukan terhadap jumlah batang produktif per 100 m2, panjang malai, jumlah gabah per malai, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, bobot 1000 butir gabah, dan bobot gabah kering panen. Jumlah batang produktif merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

(4)

potensi hasil. Batang produktif adalah batang yang menghasilkan organ reproduktif berupa malai. Berdasarkan pengukuran jumlah batang per rumpun dan jumlah anakan produktif, tidak semua anakan mampu menghasilkan malai karena sebagian anakan muncul terlambat dan merupakan anakan yang tidak produktif. Pengaruh perlakuan terhadap jumlah batang produktif per 100 m2 disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh sistem budidaya padi terhadap jumlah batang produktif per 100 m2

Sistem Budidaya Jumlah Batang Presentase Batang Produktif per 100 m2 Produktif (%)

Konvensional 43000.00c 71.07

S.R.I. anorganik 33441.10b 79.84

S.R.I. organik 22275.55a 78.32

S.R.I. semi-organik 28274.95ab 75.41

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

Jumlah batang produktif per 100 m2 pada budidaya konvensional lebih tinggi dari S.R.I. anorganik, organik, dan semi-organik. Hal tersebut diakibatkan oleh jumlah rumpun per 100 m2 pada budidaya konvensional yang jauh lebih tinggi dari budidaya S.R.I. Tetapi, pada presentase batang produktif S.R.I. anorganik memiliki hasil yang tertinggi yaitu 79.84% dan hasil terendah pada konvensional yaitu 71.07%. Berdasarkan keseluruhan perlakuan S.R.I., pada S.R.I. organik memiliki jumlah batang produktif per 100 m2 yang rendah. Hal tersebut diduga disebabkan karena kekurangan unsur nitrogen. Pemberian nitrogen yang cukup akan meningkatkan jumlah batang produktif tanaman, karena nitrogen berperan penting sebagai penyusun protein yang akan digunakan oleh tanaman untuk meningkatkan jumlah malai/rumpun (Siregar, 1981).

Pengaruh perlakuan terhadap panjang malai, jumlah gabah per malai, jumlah gabah isi, dan jumlah gabah hampa disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan rata-rata pengukuran komponen hasil per rumpun pada Tabel 6 terlihat bahwa pengaruh sistem budidaya terhadap semua parameter secara statistik tidak berbeda nyata, kecuali pada panjang malai. Meskipun secara statistik tidak berbeda nyata,

(5)

tetapi pada hampir sebagian besar parameter seluruh perlakuan S.R.I. memiliki hasil yang cenderung lebih tinggi dibandingkan budidaya konvensional.

Pengukuran panjang malai dilakukan dengan mengukur dari buku malai yang tampak seperti lapisan putih hingga ujung malai. Panjang malai pada budidaya konvensional secara statistik tidak berbeda nyata dengan S.R.I. anorganik dan berbeda nyata dengan S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik. Budidaya konvensional memiliki panjang malai yang paling tinggi, sedangkan S.R.I. semi-organik memiliki panjang malai yang paling rendah.

Tabel 6. Pengaruh sistem budidaya padi terhadap panjang malai, jumlah gabah per malai, jumlah gabah isi, dan jumlah gabah hampa

Sistem Budidaya Panjang Malai Gabah Total Jumlah Gabah Jumlah Gabah (cm) Per Malai Isi Per Malai Hampa Per Malai Konvensional 23.38b 127.10a 91.60a 35.50a S.R.I. Anorganik 22.56ab 138.36a 94.49a 43.87a S.R.I. Organik 22.01a 124.04a 91.85a 32.19a S.R.I. Semi-organik 21.93a 124.57a 95.84a 28.73a

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

Jumlah gabah per malai pada semua perlakuan tidak berbeda nyata, tetapi S.R.I. anorganik memiliki jumlah gabah per malai yang paling tinggi dan S.R.I. organik memiliki jumlah gabah per malai yang paling rendah. Menurut De Datta (1981), nitrogen dibutuhkan untuk menaikkan jumlah bulir tiap malai pada masa inisiasi juga untuk meningkatkan ukuran bulir padi, fosfor berperan untuk mendorong perkembangan gabah yang baik, dan kalium diperlukan untuk meningkatkan ukuran dan berat gabah. Oleh karena itu pada perlakuan S.R.I. organik memiliki jumlah gabah per malai yang paling rendah karena pada S.R.I. organik menggunakan pupuk organik yang memiliki kadar N, P, dan K rendah sehingga pada masa pembungaan dan pembentukan bulir terganggu.

Jumlah gabah isi pada semua perlakuan tidak berbeda nyata, tetapi dapat dilihat pada Tabel 6 S.R.I. semi-organik memiliki jumlah gabah isi yang paling tinggi dan budidaya konvensional memiliki jumlah gabah isi yang paling rendah. Jumlah gabah hampa pada semua perlakuan juga tidak berbeda nyata, tetapi dapat dilihat pada Tabel 6 S.R.I. anorganik memiliki jumlah gabah hampa yang paling

(6)

tinggi dan perlakuan S.R.I. semi-organik memiliki jumlah gabah hampa yang paling rendah.

Tingginya jumlah gabah hampa dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Menurut Siregar (1981), kekurangan air pada waktu tanaman padi mulai berbulir bisa menimbulkan matinya primordia ataupun jika primordia tidak mati, bakal bulir gabah akan banyak mengalami kekurangan makanan (zat hara) yang menyebabkan bulir gabah banyak hampa. Selain itu, tingginya jumlah gabah hampa juga dipengaruhi oleh serangan hama walang sangit pada lahan penelitian saat fase keluar malai sampai matang susu.

Pengaruh perlakuan terhadap bobot 1000 butir gabah disajikan pada Tabel 7. Bobot 1000 butir gabah pada budidaya konvensional berbeda nyata dengan S.R.I. organik dan tidak berbeda nyata dengan S.R.I. anorganik dan S.R.I. semi-organik. Budidaya konvensional memiliki bobot 1000 butir gabah yang paling tinggi, dan yang memiliki bobot 1000 butir gabah yang paling rendah adalah S.R.I. organik.

Tabel 7. Pengaruh sistem budidaya padi terhadap bobot 1000 butir gabah Sistem Budidaya Bobot 1000 Butir Gabah

(gram)

Konvensional 29.70b

S.R.I. Anorganik 27.48ab

S.R.I. Organik 27.29a

S.R.I. Semi-organik 28.56ab

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

Bobot 1000 butir gabah dipengaruhi oleh suplai hara N, P, dan K bagi tanaman. Menurut De Datta (1981), unsur N pada pertanaman dibutuhkan untuk menaikkan jumlah bulir tiap malai dan meningkatkan bobot gabah. Unsur P berperan dalam suplai dan transfer energi seluruh proses biokimia tanaman padi, salah satunya yaitu mempercepat proses pemasakan dan mendorong perkembangan gabah sehingga memberi nilai yang tinggi terhadap kualitas dan bobot gabah (De Datta, 1981). Unsur K diperlukan untuk pertumbuhan sel, pembentukan gula, zat tepung, dan protein sehingga apabila unsur tersebut

(7)

tersedia secara berimbang pada tanaman akan menghasilkan bobot 1000 butir yang lebih tinggi (Taslim et al., 1993).

Pengaruh sistem budidaya padi terhadap bobot gabah kering panen dan gabah kering giling serta perbedaan produksi padi budidaya S.R.I. dibandingkan dengan budidaya konvensional disajikan pada Tabel 8. Hasil produksi padi pada semua perlakuan secara statistik tidak berbeda nyata, tetapi dapat dilihat pada Tabel 8 bobot Gabah Kering Panen (GKP) yang paling tinggi adalah pada S.R.I. anorganik dan yang paling rendah pada budidaya konvensional. Bobot Gabah Kering Giling (GKG) pada semua perlakuan juga tidak berbeda nyata, dapat dilihat pada Tabel 8 bobot GKG yang paling tinggi adalah pada S.R.I. organik dan yang paling rendah pada budidaya konvensional.

Perbedaan hasil panen digunakan untuk mengetahui apakah dengan perbedaan pengaruh budidaya padi secara konvensional maupun S.R.I. anorganik, S.R.I. organik, dan S.R.I. semi-organik dapat menghasilkan perbedaan produksi padi. Budidaya padi konvensional dianggap sebagai kontrol. Budidaya S.R.I. dapat meningkatkan produksi padi, masing-masing sebesar 16.16% untuk S.R.I. anorganik, 3.06% untuk S.R.I. organik, dan 8.52% untuk S.R.I. semi-organik.

Tabel 8. Pengaruh sistem budidaya padi terhadap bobot gabah kering panen dan gabah kering giling serta perbedaan produksi padi budidaya S.R.I. dibandingkan dengan budidaya konvensional

Sistem Budidaya Bobot GKP Bobot GKG* Kenaikan Produksi Padi

(ton/ha) (ton/ha) (%)

Konvensional 4.58a 3.65a 0.00

S.R.I. Anorganik 5.32a 3.73a 16.16

S.R.I. Organik 4.72a 3.75a 3.06

S.R.I. Semi-organik 4.97a 3.73a 8.52

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

* : Bobot GKG pada kadar air gabah 14 %

Hasil bobot GKP dan GKG pada S.R.I. anorganik, organik, dan semi-organik lebih tinggi dibandingkan dengan konvensional. Hal tersebut berbeda dengan hasil pada jumlah batang per 100 m2, dimana budidaya konvensional memiliki hasil yang lebih tinggi dari S.R.I. Tetapi pada presentase jumlah batang produktif, jumlah gabah per malai, dan jumlah gabah isi per malai budidaya S.R.I.

(8)

memiliki hasil yang lebih tinggi dari konvensional sehingga bobot GKP dan GKG yang dihasilkan juga lebih tinggi dari konvensional. Tetapi hasil panen pada penelitian ini terutama pada budidaya S.R.I. lebih rendah dari hasil-hasil penelitian lain yang juga menerapkan budidaya S.R.I. Diduga, hasil panen yang kurang baik disebabkan oleh gangguan hama dan penyakit. Sejak masa awal pertanaman, lahan penelitian tidak terlepas dari hama maupun penyakit. Hama yang paling berpengaruh besar terhadap hasil panen adalah walang sangit. Walang sangit menyerang pada saat masa pengisian bulir padi, hama ini merusak dengan cara menghisap bulir padi sehingga menyebabkan bulir padi tidak terisi penuh atau hampa.

Berdasarkan penelitian yang sama di Kecamatan Tanjung Sari, rendahnya hasil panen juga disebabkan oleh gangguan hama. Hama menyerang karena masa tanam penelitian terlambat sehingga tidak bersamaan dengan petani sekitar. Urutan hasil panen dari yang tertinggi hingga terendah yaitu S.R.I. anorganik 4.35 ton/ha, S.R.I semi-organik 3.96 ton/ha, konvensional 3.59 ton/ha, dan S.R.I organik 3.55 ton/ha (Agusmiati, tidak dipublikasikan).

Hasil panen di Desa Limo, Depok juga rendah karena disebabkan adanya cekaman air. Dampak terbesar penurunan hasil panen akibat cekaman air dialami oleh S.R.I. anorganik, S.R.I. organik, dan S.R.I. semiorganik. Karena pada saat terjadi kekeringan tanaman berusia 64 hari setelah tanam dan itu merupakan fase pembentukan malai, sedangkan untuk budidaya konvensional yang umurnya 20 hari lebih tua dampaknya tidak sebesar yang dialami oleh budidaya S.R.I. Urutan hasil panen dari yang tertinggi hingga terendah yaitu konvensional 3.38 ton/ha, S.R.I. anorganik 2.76 ton/ha, S.R.I. semi-organik 2.41 ton/ha, dan S.R.I. organik 1.83 ton/ha (Nurwitasari, tidak dipublikasikan).

Menurut penelitian yang dilakukan Ardi (2009), budidaya S.R.I. nyata meningkatkan produksi padi. Produksi padi tertinggi dari hasil ubinan ada pada perlakuan S.R.I. anorganik sedangkan yang terendah ada pada perlakuan konvensional. Rata-rata produksi padi pada perlakuan S.R.I. 9.93 ton/ha konvensional 8.60 ton/ha gabah kering panen. Perlakuan S.R.I. anorganik dapat meningkatkan produksi padi sebesar 27.44 % dibanding perlakuan konvensional. Perlakuan S.R.I. organik dapat meningkatkan produksi sebesar 9.30 % dan S.R.I.

(9)

semi-organik 9.77 % dibandingkan konvensional. Secara keseluruhan rata-rata perlakuan S.R.I. dapat meningkatkan produksi padi 15.5 % dibandingkan konvensional.

Berdasarkan sebagian besar hasil penelitian, baik dari pertumbuhan tanaman maupun dari komponen hasil perlakuan S.R.I. organik memiliki hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan S.R.I. lainnya. Hal tersebut disebabkan pada perlakuan S.R.I. organik menggunakan pupuk kompos yang memiliki kadar unsur hara N, P, dan K yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar unsur hara pada pupuk anorganik. Selain itu pemberian bahan organik pada tanah yang belum pernah sama sekali diaplikasikan pupuk organik akan menghasilkan pertumbuhan dan hasil yang rendah. Tetapi pada Gabah Kering Panen S.R.I. organik memiliki hasil yang lebih tinggi, hal tersebut diduga disebabkan oleh efisiensi pemanfaatan bahan organik oleh tanah. Terganggunya pertumbuhan tanaman dapat disebabkan karena bahan organik menyediakan unsur hara secara perlahan-lahan, berbeda dengan unsur hara yang terkandung dalam pupuk anorganik lebih cepat tersedia bagi tanaman.

4. 3. Kondisi Lahan

4. 3. 1. Sifat Kimia dan Fisik Tanah

Berdasarkan analisis kandungan hara tanah sebelum penelitian diketahui bahwa nilai pH adalah 6.20 atau termasuk agak masam, kandungan C-organik tergolong tinggi yaitu 3.04%, N-total tergolong sedang yaitu 0.26%, kandungan P tergolong sangat rendah yaitu 5.0 ppm, K tergolong tinggi yaitu 0.83 me/100 g, Ca tergolong sedang yaitu 6.33 me/100 g, Mg tergolong tinggi yaitu 2.95 me/100 g, Na tergolong sangat tinggi yaitu 1.04 me/100 g, KTK tergolong tinggi yaitu 26.22 me/100 g dan kejenuhan basa tergolong sedang yaitu 44.05% (PPT, 1983

dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Tekstur tanahnya mengandung 8.37% pasir, 47.67% debu, dan 43.96 liat. Berdasarkan sifat kimia dan fisik tanah, lahan penelitian ini cukup sesuai untuk tanaman padi.

(10)

4. 3. 2. Nilai pH dan Eh Tanah

Nilai pH tanah selama masa pertanaman dapat dilihat pada Tabel 9. Pengaruh budidaya padi secara konvensional maupun S.R.I. menyebabkan perbedaan yang nyata untuk nilai pH pada 2 MST dan 10 MST. Setiap pengamatan nilai pH tanah antar perlakuan budidaya padi tidak berbeda jauh. Menurut Sudadi (2001), pengaruh utama penggenangan adalah meningkatkan pH tanah masam dan menurunkan pH tanah sodik dan tanah berbahan induk kapur. Penggenangan akan menyebabkan pH semua tanah kecuali tanah gambut masam dan tanah dengan kadar Fe-aktif rendah terkonvergensi ke nilai 7.

Berdasarkan nilai pH yang dapat dilihat pada Tabel 9, pada perlakuan S.R.I. organik memiliki nilai pH yang cenderung lebih rendah. Hal tersebut disebabkan adanya penambahan bahan organik. Menurut Sugito et al. (1995), bahan organik dapat menurunkan pH tanah. Penurunan pH tanah sebagai akibat pemberian bahan organik dapat terjadi karena mineralisasi bahan organik yang banyak menghasilkan asam-asam dominan.

Tabel 9. Nilai pH tanah umur 2 – 10 MST

Sistem Budidaya Umur Tanaman (MST)

2 4 6 8 10

Konvensional 6.43b 6.77a 6.54a 6.58a 5.09a

S.R.I. Anorganik 6.11ab 6.42a 6.50a 6.38a 5.40b

S.R.I. Organik 5.90a 6.09a 6.18a 6.11a 5.40b

S.R.I. Semiorganik 6.29ab 5.71a 6.28a 6.08a 5.49b

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

Lain halnya dengan nilai Eh, seperti terlihat pada Tabel 10 perlakuan T0 yang merupakan budidaya konvensional nilai Eh selalu lebih negatif dibandingkan perlakuan S.R.I. Hal tersebut disebabkan karena pada budidaya konvensional lahan selalu digenangi sehingga terjadi penurunan potensial redoks. Nilai Eh dapat menjadi parameter tingkat reduksi-oksidasi (redoks) di dalam tanah untuk mengetahui reaksi yang dominan.

(11)

Tabel 10. Nilai Eh tanah (mV) umur 2 – 10 MST

Sistem Budidaya Umur Tanaman (MST)

2 4 6 8 10

Konvensional -44.25a -277.25a -154.75a -212.00a -59.00a

S.R.I. Anorganik 81.75b -73.75b -35.25b -60.75b 10.75a

S.R.I. Organik 49.25ab -48.25b -19.50b -65.25b 19.25a

S.R.I. Semiorganik 19.50ab -9.00b -51.75ab -38.00b -52.00a

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

Nilai Eh pada S.R.I. anorganik, organik, dan semi-organik selalu lebih tinggi dari budidaya konvensional karena pada seluruh perlakuan S.R.I. tanah hanya diairi hingga kondisi macak-macak sehingga penurunan potensial redoks tidak terlalu signifikan. Hal tersebut menandakan bahwa pada seluruh budidaya S.R.I. lahan dalam keadaan teroksidasi karena pada S.R.I. tanah cukup dijaga tetap lembab selama tahap vegetatif untuk memungkinkan lebih banyak oksigen bagi pertumbuhan akar. Kondisi tidak tergenang akan menghasilkan lebih banyak udara masuk kedalam tanah dan akar berkembang lebih besar sehingga dapat menyerap nutrisi lebih banyak. Sebaliknya, jika sawah terus digenangi, akar akan sulit tumbuh dan menyebar, serta kekurangan oksigen untuk dapat tumbuh dengan subur (Berkelaar, 2001). Oleh karena itu, pada budidaya S.R.I. tanaman dapat tumbuh lebih baik karena ditunjang oleh perkembangan akar yang lebih baik dari sistem konvensional.

Saat awal masa pertanaman nilai Eh pada seluruh perlakuan belum menurun secara drastis, semakin lama lahan diairi nilai Eh semakin menurun. Tetapi pada masa akhir pertanaman, yaitu mulai 10 MST nilai Eh kembali naik karena air pada lahan mulai dikurangi. Tetapi pada perlakuan S.R.I. semi-organik saat 10 MST nilai Eh lebih negatif, hal tersebut disebabkan pada saat pengukuran di lahan banyak terdapat air tergenang akibat hujan sehingga nilai Eh lebih negatif.

4. 3. 3. Hama dan Penyakit Tanaman

Keong mas adalah hama yang paling awal menyerang pada masa pertanaman. Keong mas menyerang pertanaman pada 0 – 3 MST, hal ini disebabkan pada umur tersebut batang padi masih muda. Hama ini merusak

(12)

tanaman dengan memotong bagian pangkal batang dan memakannya, sehingga menyebabkan bibit hilang di pertanaman. Untuk mengatasi bibit yang dimakan keong maka dilakukan penyulaman dari bibit yang umurnya sama. Usaha yang dilakukan untuk menanggulangi keong mas adalah dengan mengurangi air pada lahan terutama pada perlakuan konvensional karena menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007), keong mas bersifat aktif pada air yang menggenang. Selain dengan mengurangi air, untuk menanggulangi keong mas dilakukan dengan menaruh daun pepaya dan daun singkong di lahan sebagai pengalih perhatian keong mas serta dengan pengambilan secara manual telur dan keong mas dari petakan.

Saat tanaman berumur 4 MST, tanaman memperlihatkan ciri-ciri daun tanaman berwarna kuning hingga jingga dimulai dari pucuk ke pangkalnya, jumlah batang per rumpun berkurang, dan tanaman tidak bertambah tinggi. Gejala tersebut merupakan gejala penyakit tungro yang penyebarannya terjadi melalui hama wereng hijau dan wereng coklat. Penyakit ini menyerang ± 40% tanaman, kondisi tersebut dikarenakan daerah lokasi penelitian ini yaitu Kabupaten Sukabumi termasuk daerah endemik tungro. Usaha yang dilakukan untuk menanggulangi tungro adalah dengan menggunakan obat yang biasa digunakan oleh petani setempat yaitu “P2O”. Obat ini termasuk organik dan diaplikasikan dengan cara disemprot. Penyemprotan dilakukan tiga kali yaitu saat 4 MST, 6 MST, dan 8 MST.

Hama lain yang menyerang tanaman yaitu hama penggerek batang. Hama ini menyebabkan batang padi kosong dan pada saat masa reproduksi tidak akan menghasilkan malai. Serangan hama ini terjadi saat 6 – 8 MST, namun serangan hama ini cukup sedikit. Tanaman yang telah mengalami masa pembungaan dan menuju pada tahap masak susu diserang oleh hama walang sangit. Walang sangit merupakan hama yang umum menyerang pada fase pemasakan bulir padi. Hama ini merusak dengan menghisap bulir padi dan kerusakan yang ditimbulkannya menyebabkan gabah hampa dan berwarna coklat. Pada saat yang bersamaan lahan percobaan juga diserang oleh belalang. Hama ini merusak tanaman dengan cara memakan daun.

(13)

Tikus menyerang mulai 10 MST, saat padi telah mengeluarkan malai. Hama ini merusak tanaman dengan menggigiti batang tanaman sehingga batang tanaman putus dan rebah. Untuk menanggulangi tikus digunakan racun tikus berupa cairan yang disiramkan di sekitar lahan percobaan untuk mencegah tikus datang. Saat malai mulai masak hama yang menyerang adalah burung. Hama ini merusak tanaman dengan memakan bulir padi secara langsung. Cara pengendalian burung dilakukan secara manual yaitu dengan mengusir burung. Banyaknya serangan hama pada lahan percobaan karena penelitian ini terlambat ditanam sehingga tidak bersamaan dengan petani sekitar. Serangan hama dan penyakit yang terjadi pada penelitian ini merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi dan menyebabkan hasil produksi kurang sesuai dengan apa yang diharapkan.

Gambar

Tabel 3. Pengaruh sistem budidaya padi terhadap tinggi tanaman (cm)
Tabel 4. Pengaruh sistem budidaya padi terhadap jumlah batang per 100 m 2
Tabel 5. Pengaruh sistem budidaya padi terhadap  jumlah batang produktif     per 100 m 2
Tabel 6. Pengaruh sistem budidaya padi terhadap panjang malai, jumlah gabah     per malai, jumlah gabah isi, dan jumlah gabah hampa
+3

Referensi

Dokumen terkait

 Dalam pemasaran hasil posisi tawar petani padi cenderung lemah, dikarenakan : (a) umumnya petani menjual padi segera setelah panen dalam bentuk gabah kering panen (GKP),

Hasil uji statistik bobot gabah per malai tanaman padi yang tidak berbeda nyata pada dua teknik pemberian air pada tanaman padi tersebut menunjukkan bahwa bobot gabah per malai

Perlakuan bentuk pupuk organik berpengaruh nyata pada tinggi tanaman, luas daun, jumlah anakan padi produktif, panjang malai, berat 1000 gabah, berat kering panen per rumpun,

Hasil gabah kering panen per rumpun merupakan rata-rata hasil gabah kering panen (GKP)dan Gabah Kering Giling (GKG) per rumpun setelah gabah bernas dipisahkan

sawah, namun pada faktor pemberian bakteri pelarut fosfat memberikan pengaruh nyata terhadap bobot netto gabah kering padi sawah.Dapat dilihat bobot netto gabah

Penerimaan usahatani padi anorganik diperoleh dari hasil kali antara jumlah produksi gabah kering panen (GKP) setiap kg yang dihasilkan dengan harga jual yang berlaku

Berdasarkan Ariwibawa (2012), produksi padi gabah kering panen (GKP) di Desa Kerta, Kecamatan Payangan Gianyar Bali yang menerapkan sistem tanam jajar legowo 2:1

Dalam satu diktumnya menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) pada tingkat petani adalah Rp 3 300 per kg. Angka ini mengalami peningkatan Rp