• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. yang tersusun atas batang semu. Batang semu ini merupakan tumpukan pelepah daun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. yang tersusun atas batang semu. Batang semu ini merupakan tumpukan pelepah daun"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Sekilas Tentang Tanaman Pisang

Tanaman pisang termasuk dalam golongan monokotil tahunan berbentuk pohon yang tersusun atas batang semu. Batang semu ini merupakan tumpukan pelepah daun yang tersusun secara rapat teratur. Percabangan tanaman bertipe simpodial dengan meristem ujung memanjang dan membentuk bunga lalu buah. Bagian bawah batang pisang menggembung berupa umbi yang disebut bonggol. Pucuk lateral (sucker) muncul dari kuncup pada bonggol yang selanjutnya tumbuh menjadi tanaman pisang kepok (Sunarjono, 2003).

Tanaman Pisang (Musa paradisiaca Linn.) merupakan tanaman yang mudah tumbuh di daerah tropik. Tanaman ini banyak terdapat di Asia Tenggara. Di Indonesia, tanaman pisang masih banyak yang dapat tumbuh subur di daerah pegunungan hingga ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Tanaman pisang juga dapat bertahan hidup pada musim kering (kemarau), hal ini sebabkan oleh batang pisang yang mengandung air berkisar 80-90 % (Sunarjono, 2003).

Pisang merupakan tumbuhan asli Asia Tenggara, yaitu berasal dari Semenanjung Malaysia dan Filipina. Tetapi ada juga yang menyebutkan bahwa pisang berasal dari Brasil dan India. Dari sini kemudian menyebar hingga ke Pasifik (Sunarjono, 2003).

Pisang yang tergolong tanaman buah ini tidak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat. Tumbuhan ini berdasarkan klasifikasi ilmiahnya, pisang yang tergolong ke

(2)

Kingdom hingga species berikut ini: - Kingdom : Plantae - Division : Magnoliophyta - Class : Liliopsida - Order : Zingiberales - Family : Musaceae - Genus : Musa

- Species : Musa Paradisiaca, Linn.

(Sunarjono , 2003).

Sekilas Tentang Bonggol Pisang

Pisang (Musa paradisiacal, L) merupakan tanaman asli daerah Asia Tenggara termasuk Indonesia. Saat ini pisang telah tersebar ke berbagai pelosok dunia :kepulauan di Pasifik, kawasan Timur Tengah, India, Amerika dan Cina (Sunarjono, 2003).

Selain buahnya, ada bagian lain dari tanaman pisang yang sangat jarang dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu umbi batang pisang (bonggol pisang /rimpang pisang) (Sunarjono, 2003).

Bonggol pisang bila dibiarkan begitu saja akan menjadi limbah pertanian yang tidak bermanfaat. Di Indonesia, masalah limbah sedang giat-giatnya dipikirkan untuk bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi (Sunarjono, 2003).

Komposisi Kimia Bonggol Pisang

Bonggol pisang cukup banyak mengandung karbohidrat (11,6%), disamping mengandung mineral dan vitamin. Oleh sebab itu tidaklah salah bila bonggol pisang juga

(3)

dipergunakan sebagai bahan makanan, baik untuk manusia ataupun hewan. Karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi maka patinya dapat dipisahkan dari ampasnya (Munadjim, 1984).

Tabel 1. Komposisi Kimia Bonggol Pisang per 100 gr bahan

Komposisi Kimia Basah Kering Kalori (kal) 43 245 Protein (g) 0,6 3,4 Lemak (g) - - Karbohidrat (g) 11,6 66,2 Ca (mg) 15 60 P (mg) 60 150 Fe (mg) 0,5 2 Vitamin A (SI) - - Vitamin B (mg) 0,01 0,04 Vitamin C (mg) 12 4 Air (%) 86 20 Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan R.I., (1996).

Sekilas Tentang Tepung

Setiap jenis tepung mempunyai sifat fisik dan kimia yang sangat beragam, dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia patinya. Sifat-sifat ini sangat mempengaruhi produk makanan yang dihasilkan (Somaatmadja, 1983).

Tepung adalah bahan makanan yang berbentuk bubuk (tepung) yang diolah dari biji-bijian, umbi-umbian dan bagian isi dari batang tanaman. Tepung makanan disini adalah tepung beras, tepung jagung, tepung terigu, tepung tapioka, tepung hun-kwee dan tepung aren (Zarlis dan Harja, 1981).

a. Tepung Tapioka

Menurut Iryanto (1985) ubi kayu disebut juga tapioka yang merupakan granula dari karbohidrat, berwarna putih, tidak mempunyai rasa manis dan tidak berbau yang

(4)

diperoleh dari hasil ekstraksi dari umbi ketela pohon (Manihot utilisima).

Tepung tapioka adalah pati yang diperoleh dari ekstrasi ubi kayu melalui proses pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan pati, dan pengeringan (Astawan, 2003).

Tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku ataupun campuran pada berbagai macam produk antara lain kerupuk, dan kue kering lainnya. Selain itu tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengental (thickener), bahan pemadat dan pengisi, bahan pengikat pada industri makanan olahan (Astwan, 2003).

Tabel 1. Komposisi Kimia Tepung Tapioka (per 100 gram bahan)

Komposisi Jumlah Kalori (kal) 362 Protein (g) 0,5 Lemak (g) 0,3 Karbohidrat (g) 86,9 Air (g) 12,0 P (mg) 0,0 Kalsium (mg) 0,0 Fe (mg) 0,0 Bdd 100

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan R.I., (1996).

b. Tepung Terigu

Tepung terigu mengandung pati 65 % - 70 % dengan rasio amilosa – amilopektin 74 % dan 26 %. Tergantung jenisnya, gandum mengandung protein sebesar 6 – 13 % (Praptiningsih, et al., 2003).

Protein dalam gandum yang berupa gliadin dan glutenin membantu proses pengikatan air dalam adonan kerupuk. Dengan demikian penambahan tepung gandum dalam pembuatan kerupuk akan meningkatkan kadar air adonan, sehingga akan

(5)

mempengaruhi proses gelatinisasi dan lama pemasakan adonan (Praptiningsih, et al., 2003).

Proporsi penggunaan terigu untuk industri pengolahan bahan pangan di Indonesia relatif besar. Oleh sebab itu, pemanfaatan tepung tapioka sebagai pensubstitusi (mengurangi penggunaan) terigu dalam pembuatan produk olahan diharapkan memberi keuntungan yang cukup besar (Astawan, 2003).

Tabel 2. Komposisi Kimia Tepung Terigu (per 100 gram bahan)

Komposisi Jumlah Kalori (kal) 365 Protein (g) 8,9 Lemak (g) 1,3 Karbohidrat (g) 77,3 Air (g) 12,0 P (mg) 106 Kalsium (mg) 16 Fe (mg) 1,2 Bdd 100

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan R.I., (1996). c. Tepung Beras

Granula pati beras memiliki ukuran paling kecil diantara pati-pati yang umum diproduksi. Pati ini memiliki ukuran yang bervariasi dari 3µ - 5µ. Pati beras menyerupai pati gandum tetapi sedikit lebih seragam dan berbentuk polygonal. Kandungan amilosa tepung beras sekitar 18,5 persen (Mulyohardjo, 1988).

(6)

Komposisi kimia tepung beras dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2. Komposisi Kimia Tepung Beras (per 100 gram bahan)

Komposisi Jumlah Kalori (kal) 364 Protein (g) 7 Lemak (g) 0,3 Karbohidrat (g) 80 Air (g) 12 P (mg) 140 Kalsium (mg) 5 Fe (mg) 0,8 Bdd 100

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan R.I., (1996). d. Tepung Jagung Granula pati jagung memiliki ukuran yang bervariasi dari 10 – 25µ. Walaupun demikian pati jagung dari pabrik modern memiliki ukuran diameter kurang lebih 5µ dan biasanya berbentuk polygonal walaupun ada granula yang berbentuk bulat yang berasal dari endosperm bagian dalam (Mulyohardjo, 1988). Komposisi kimia tepung jagung dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2. Komposisi Kimia Tepung Jagung (per 100 gram bahan) Komposisi Jumlah Kalori (kal) 355 Protein (g) 9,2 Lemak (g) 3,9 Karbohidrat (g) 73,7 Air (g) 12 P (mg) 256 Kalsium (mg) 10 Fe (mg) 2,4 Bdd 100

(7)

Manfaat Pemberian Tepung pada Bahan Pangan a. Tepung sebagai Bahan Pengisi

Bahan pengisi merupakan bahan yang ditambahkan dalam jumlah yang lebih sedikit dari bahan utamanya. Pada umumnya bahan pengisi terdiri dari materi yang dapat mengembang dan mempunyai kandungan air relatif rendah (Forkner, 1974). Menurut Wilson, (1960) penambahan bahan pengisi berfungsi untuk menarik air, memberikan warna khas dan membentuk tekstur yang padat.

b. Tepung sebagai Bahan Perbaikan Tekstur

Pati dapat memberikan tekstur, kekentalan dan meningkatkan permeabilitas dari berbagai bahan makanan. Kegunaannya yang paling banyak adalah untuk perkat

(Buckle, et al., 1987).

Pati mempunyai rasa tidak manis, tidak larut dalam air dingin tapi larut dalam air panas, dapat membentuk sol atau gel yang bersifat kental. Sifat kental ini dapat dipakai untuk mengatur tekstur makanan Tarigan, (1986). Menurut Moehyi, (1992) pati digunakan untuk memperbaiki tekstur serta rasa makanan.

Pembuatan Tepung Bonggol Pisang

Pengupasan adalah proses memisahkan bahan dari luarnya. Biasanya bagian luar bahan memiliki karakteristik yang berbeda dengan isi bahan. Pengupasan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan alat yang terbuat dari stainless steel untuk menghindari terbawanya ion-ion logam (besi atau tembaga) yang dapat mempercepat timbulnya reaksi pencokelatan sehingga warnanya menjadi cokelat (Sulistyowati, 2001).

Pencucian daging buah dengan air bersih yang mengalir dimaksudkan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih melekat maupun tercampur pada daging

(8)

buah (Sulistyowati, 2001).

Pengecilan ukuran dilakukan untuk mendapatkan hasil yang mutunya bagus dan mempercepat proses pengeringan (Rahayu dan Berlian, 1999).

Setelah pekerjaan pengupasan kulit selesai, dilakukan pemotongan bahan. Umumnya bahan pangan yang akan dikeringkan dipotong-potong atau diiris-iris untuk mempercepat pengeringan. Hal ini dapat terjadi karena :

1. Pemotongan atau pengirisan tersebut akan memperluas permukaan bahan dan permukaan yang luas dapat memberikan lebih banyak permukaan bahan yang dapat berhubungan dengan medium pemanas serta lebih banyak permukaan air yang keluar.

2. Potongan-potongan atau lapisan yang tipis mengurangi jarak dimana melalui massa air dari pusat bahan harus keluar ke permukaan bahan dan kemudian keluar dari bahan

(Kartasapoetra, 1994).

Reaksi browning mulai terjadi beberapa saat setelah bonggol pisang kepok dikupas atau diiris. Daging pada bekas irisan atau kupasan yang semula berwarna putih, mula-mula akan berubah warna menjadi cokelat dan akhirnya menjadi hitam. Untuk mencegah terjadinya reaksi browning tersebut, dapat digunakan bahan-bahan kimia yang berfungsi sebagai bahan pemutih, dalam hal ini natrium metabisulfit yang digunakan dalam dosis minimal 0,2% (2 gr dalam tiap 1 liter air perendaman) (Suprapti, 2002).

Penceluran adalah proses pemanasan pendahuluan yang dilakukan terhadap buah dan sayur sebelum bahan tersebut sebelum dikeringkan, dengan tujuan menghilangkan udara dari jaringan bahan, menonaktifkan enzim, membunuh mikroorganisme dalam

(9)

bahan, mempercepat pengeringan serta dapat mempertahankan karotenoid dan asam askorbat dari kerusakan karena oksidasi selama pengeringan maupun penyimpanan (Woodroof dan Luh, 1975).

Pengeringan adalah suatu metoda untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air dikurangi sampai batas agar mikroba tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya (Winarno, et al., 1980).

Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengepakan dan pengangkutan, dengan demikian diharapkan biaya produksi menjadi lebih murah (Winarno, 1993).

Disamping itu pengeringan juga mempunyai kelemahan antara lain; terjadi perubahan warna dan tekstur. Perubahan warna tersebut disebabkan karena zat warna alami pada bahan tidak tahan terhadap suhu tinggi (Buckle, et al., 1987).

Banyaknya kandungan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan dan aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan aktivfitas kimiawi, yaitu terjadi ketengikan, reaksi non enzimatis, sehingga menimbulkan sifat-sifat organoleptik, penampakan, tekstur dan cita rasa serta nilai gizi yang berubah, dimana kadar air pada bahan pangan dapat diukur dengan berbagai cara. Metoda yang umum untuk pengukuran kadar air di laboratorium adalah dengan cara pemanasan dalam oven atau dengan cara destilasi sampai suhu 12 – 15% (Syarief dan Hariyadi, 1993).

Pada waktu pengeringan masih berlangsung proses enzimatis. Pengeringan dengan oven lebih baik ditinjau dari segi kecepatan pengeringan dan bahaya serangan

(10)

jamur pada waktu pengeringan (Tjiptadi,1982).

Setelah pengeringan dilakukan dengan menggunakan alat pengering, kemudian dilakukan penggilingan dengan alat dan dilanjutkan dengan pengayakan

(Susanto dan Saneto, 1994).

Untuk tujuan penghalusan suatu bahan atau hasil pertanian digunakan alat penggiling. Dalam hal ini metode dasar seperti memukul, menggesek, menumbuk dan sebagainya digunakan secara bersama-sama atau sendiri tergantung pada ukuran yang ingin dicapai. Batas ukuran yang digunakan dapat dicapai dengan melibatkan perlengkapan pengayak atau penyortir dalam sistem penggiling (Bernasconi, et al., 1999).

Pengayakan dimaksudkan untuk menghasilkan campuran butiran dengan ukuran tertentu agar diperoleh penampilan atau bentuk komersil yang diinginkan. Untuk mendapatkan hasil yang mutunya bagus, sering digunakan alat penggiling tepung yang dilengkapi dengan ayakan. Ayakan yang dipakai ukuran lubang 80-100 mesh (Rahayu dan Berlian, 1999).

Setelah bahan jadi, dilakukan pengemasan. Pengemasan bahan pangan harus memperlihatkan tiga fungsi utama :

1. Harus dapat mempertahankan produk agar lebih bersih dan memberikan perlindungan terhadap kotoran dan pencemaran lainnya.

2. Harus memperhatikan perlindungan kepada bahan pangan terhadap kerusakan fisik, air, oksigen dan sinar.

3. Harus berfungsi benar, efisien dan ekonomis dalam proses pengepakan. (Buckle, et al., 1987).

(11)

Pengemasan produk bertujuan untuk mengurangi kerusakan, memberi kemudahan dalam penanganan selanjutnya, memperpanjang masa simpan dan memberi daya tarik bagi konsumen. Kemasan harus tetap kuat selama dalam pengangkutan dan pemasaran (Winarno dan Laksmi, 1983).

Reaksi Pencoklatan

Pada umumnya ada tiga jenis reaksi pencoklatan non enzimatis, yaitu reaksi

Maillard, Karamelisasi dan pencoklatan akibat oksidasi dari vitamin C (Winarno, 1989).

a. Reaksi Maillard

Reaksi Maillard ini bisa terjadi antara amin, asam amino dan protein dengan gula pereduksi, aldehida atau keton. Reaksi Maillard inilah yang terjadi pada reaksi pencoklatan jika makanan dipanaskan atau pada penyimpanan makanan yang lama (Eskin, et al., 1971).

b. Karamelisasi

Karamelisasi merupakan suatu proses pencoklatan non enzimatis yang meliputi degradasi gula-gula tanpa adanya asam-asam amino atau protein. Bila gula dipanaskan di atas titik leburnya, warnanya berubah menjadi coklat disertai perubahan cita rasa (Eskin, et al., 1971).

Winarno (1999) menyebutkan bahwa pada proses karamelisasi mula-mula sukrosa pecah menjadi glukosa dan fruktosan (fruktosa yang kekurangan satu molekul air). Suhu yang tinggi mempu mengeluarkan satu molekul air dari setiap molekul gula sehingga terjadi glukosan yang kemudian dilanjutkan dengan dehidrasi polimerisasi dan beberapa jenis asam yang timbul di dalamnya

(12)

c. Oksidasi Asam Askorbat

Asam askorbat merupakan suatu senyawa reduktor yang juga dapat bertindak sebagai prekursor untuk pencoklatan non enzimatis. Asam-asam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversibel dengan membentuk suatu senyawa diketoglukonat (Winarno, 1989).

Penceluran

Penceluran adalah proses pemanasan pendahuluan yang dilakukan terhadap buah dan sayur sebelum bahan tersebut dikeringkan, dengan tujuan menghilangkan udara dari jaringan bahan, menonaktifkan enzim, membunuh mikroorganisme dalam bahan, mempercepat pengeringan serta dapat mempertahankan karotenoid dan asam askorbat dari kerusakan karena oksidasi selama pengeringan maupun penyimpanan

(Woodroof dan Luh, 1975).

Penceluran dapat membuat produk hasil penggorengan menjadi lebih seragam, absorbsi minyak oleh produk dapat berkurang karena adanya gelatinisasi pati, mengurangi lama waktu penggorengan dan dapat memperbaiki tekstur hasil penggorengan (Fuestel dan Kueneman, 1975).

Proses pencetakan dimaksudkan untuk memperoleh bentuk dan ukuran yang lebih seragam dan lebih menarik. Keseragaman ukuran penting untuk memperoleh penampakan dan penetrasi panas yang merata sehingga memudahkan proses penggorengan dan menghasilkan produk garing dengan warna yang lebih seragam (Muchtadi, et al., 1979).

(13)

Penceluran dapat dilakukan dengan pencelupan bahan yang akan diolah kedalam air panas dengan suhu 82-100oC atau dengan pengukusan. Lama perlakuan penceluran tergantung pada jenis komoditi, tebal irisan, dan jumlah bahan. Pada umumnya proses blansing dilakukan selama 5-10 menit. Semakin banyak bahan yang akan dicelurkan dan semakin tebel irisannya, maka akan semakin lama waktu yang diperlukan (Satuhu, 1996).

Penceluran dengan suhu 81,7-93oC adalah pemanasan yang biasanya dilakukan pada permukaan bahan yang akan dibekukan, dikeringkan ataupun yang akan dikalengkan. Tujuan penceluran adalah :

1. Menonaktifkan enzim

Ada dua jenis enzim yang umum terdapat pada jaringan tanaman yakni enzim peroksidase dan katalase, dan enzim-enzim ini digunakan sebagai indikator untuk menentukan selesainya Penceluran suatu bahan. Apabila kedua enzim ini telah inaktif akibat blansing dapat disimpulkan bahwa enzim-enzim lain juga telah mati. Penceluran biasanya dilakukan dalam waktu singkat yaitu 1,5 sampai dengan 3 menit, tergantung dari jenis dan besar dari bahan yang akan diblansing. 2. Mengeluarkan gas dari bahan untuk mengurangi/menghilangkan bau mentah

(pada beberapa sayuran hijau).

3. Mengurangi volume dengan Penceluran permukaan menjadi lebih lunak sehingga lebih mudah tersusun.

4. Untuk melayukan jaringan sehingga memudahkan penanganan dan pengemasan (Purba dan Karo-Karo, 1997).

(14)

Natrium Metabisulfit

Sulfitasi merupakan salah satu perlakuan pendahuluan pada pengolahan kerupuk. Tujuan utama dari sulfitasi adalah untuk mengurangi pencoklatan pada waktu pengolahan dan penyimpanan berikutnya. SO2 tidak dapat secara mutlak menghentikan reaksi

pencoklatan tetapi dapat memperlambat reaksi tersebut (Hulme, 1975).

Salah satu bentuk aplikasi yang digunakan sebagai sumber sulfur dioksida adalah natrrium matabisulfit merupakan bahan pengawet yang digolongkan ke dalam garam-garam sulfit. Natrium metabisulfit biasa digunakan pada bahan pangan untuk mencegah pencoklatan enzimatis maupun non enzimatis, sebagai pemutih, antioksidan, penghambat bakteri, kapang dan khamir (Desrosier, 1988).

Natrium metabisufit berbentuk serbuk, berwarna putih mudah larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol, dan berbau khas seperti gas sulfur dioksida, mempunyai rasa asam dan asin. Pada konsentrasi 200 ppm bahan pengawet ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri, kapang dan khamir (Chicester dan Tanner, 1975).

Mekanisme menghambat pertumbuhan mikrobia oleh senyawa sulfur adalah dengan merusak sel mikrobia, mereduksi ikatan sulfida, bereaksi dengan gugus karbonil. Molekul asam sulfit yang tidak terdisosiasi akan masuk ke dalam sel mikrobia. Karena sel mikrobia pHnya netral, asam sulfit akan terdisosiasi sehingga dalam sel mikrobia banyak terdapat ion H+ yang menyebabkan pH sel menjadi rendah, keadaan ini menyebabkan organ-organ sel mikrobia rusak (Winarno dan Betty, 1974).

Sodium metabisulfit adalah bahan sulfitasi yang tidak karsinogenik dan telah mendapat predikat GRAS (Generally As Save) dari Food and Drugs Administration (FDA) sejak Agustus 1959. Artinya bahan pengawet ini aman untuk digunakan pada

(15)

bahan pangan sesuai dengan batas konsentrasi yang diizinkan. Batas maksimum penggunaan sulfur dioksida dalam bahan makanan yang dikeringkan di Amerika Serikat yang ditetapkan FDA yaitu 200 ppm sampai 3000 ppm (Barnet, 1985).

Garam-garam sulfit dalam air akan membentuk asam sulfit, ion HSO3- dan SO2+,

yang masing-masing jumlahnya dipengaruhi oleh bahan. Reaksi penguraian garam sulfit menjadi ion-ion sebagaimana tersebut dibawah digambarkan oleh Frazier (1976) sebagai berikut :

Na2S2O5 + H2O 2 NaHSO3

NaHSO3 Na+ + HSO3

-HSO3- + H+ H2SO3

H2SO3- + H+ SO2 + H2O

Sodium metabisulfit mengandung sekitar 58,5- 67,4 % SO2. Tetapi Deman (1980)

mengatakan bahwa SO2 mudah menguap dan hilang ke udara. Sehingga residu SO2 pada

bahan padatan jauh lebih rendah dari jumlah aplikasi semula. Selanjutnya SO2 menguap

sekitar 90 % selama pemasakan sayuran dan buah (Borgstorm, 1971).

Kontrol Pencoklatan

Natrium metabisulfit yang diberikan selain bertujuan menyerap air juga untuk mengontrol pencoklatan yang terjadi pada bahan, karena bahan mengandung gula pereduksi. Dimana gula reduksi ini bila bereaksi dengan asam amino selama pengolahan akan menimbulkan warna coklat dan bisulfit dapat menghambat proses pencoklatan karena glukosa dan akan membentuk α-hidroksisulfonat, dimana sulfit bereaksi dengan gugus aldehid atau keton sehingga reaksi antara gula reduksi dengan asam amino tidak terjadi (Apandi, 1984).

(16)

Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metoda untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air dikurangi sampai batas agar mikroba tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya (Winarno, et al., 1980).

Pengeringan adalah suatu proses pemindahan panas dan uap air yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air dalam bahan yang dikeringkan. Kemampuan bahan untuk melepaskan air dari permukaannya akan semakin besar dengan meningkatnya suhu udara pengering yang digunakan (Taib, et al., 1988).

Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengepakan dan pengangkutan, dengan demikian diharapkan biaya produksi menjadi lebih murah (Winarno, 1993).

Disamping itu pengeringan juga mempunyai kelemahan antara lain ; terjadi perubahan warna dan tekstur. Perubahan warna tersebut disebabkan karena zat warna alami pada tidak tahan terhadap suhu tinggi (Buckle, et al., 1987).

Mekanisme pengeringan hasil pertanian adalah dengan pemanfaatan panas, berlangsung sebagai akibat konveksi, radiasi dan konduksi. Pada batas-batas tertentu, kandungan air dapat diturunkan sehingga kualitas dari produk pertanian tersebut tetap memenuhi persyaratan seperti yang direncanakan sebelumnya. Dengan adanya pengeringan ini maka diharapkan akan menimbulkan keuntungan-keuntungan (Matondang, 1999).

(17)

Banyaknya kandungan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan dan aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan aktivfitas kimiawi, yaitu terjadi ketengikan, reaksi non enzimatis, sehingga menimbulkan sifat-sifat organoleptik, penampakan, tekstur dan cita rasa serta nilai gizi yang berubah, di mana kadar air pada bahan pangan dapat diukur dengan berbagai cara. Metoda yang umum untuk pengukuran kadar air di laboratorium adalah dengan cara pemanasan dalam oven atau dengan cara destilasi (Syarief dan Hariyadi, 1993).

Pada waktu pengeringan masih berlangsung proses enzimatis. Pengeringan dengan oven lebih baik ditinjau dari segi kecepatan pengeringan dan bahaya serangan jamur pada waktu pegeringan (Tjiptadi,1982).

Pengeringan dengan menggunakan alat mekanis (pengeringan buatan) yang menggunakan tambahan panas memberikan keuntungan, diantaranya tidak tergantung cuaca, kapasitas pengeringan dipilih sesuai dengan yang diperlukan, tidak memerlukan tempat yang luas, serta kondisi pengeringan dapat dikontrol. Pengeringan memerlukan energi untuk memanaskan alat pengering, mengimbangi radiasi panas yang keluar dari alat dan memanaskan bahan (Kartasapoetra, 1994).

Referensi

Dokumen terkait

memnbuat santri menjadi jenuh mendengar keterangan ustadz yang kurang jelas”(Wawancara pengurus Pondok Pesantren Al- Hikmah, Hery Suwasono, 01/03/2016). Disimpulkan bahwa

• Di pabrik produksi semua bahan baku diolah sebaik mungkin sehingga menjadi produk yang berkualitas tinggi, di pabrik tidak hanya terdapat kegiatan produksi, namun juga

Masyarakat pada dasarnya dapat memahami eksistensi jemaah Ahmadiyah dan tidak ada keinginan untuk mengusir jemaahnya, tetapi mayoritas masyarakat tetap menolak paham

Syarief Hasan Lutfie-” Pusat Pelayanan Terpadu Kesehatan Haji dan umrah (P2TKHU) tentu tidak terlepas dari kegiatan publikasi yang di lakukan oleh humas Rumah

[r]

[r]

Raya Kalimalang Jati Waringin, Cipinang Melayu, Jakarta Timur, telp..

dapat memecahkan masalah kolektif yang sedang dihadapi. Hal ini berkaitan dengan ketepatan pendifinisian akar masalah, tawaran solusi dan enabling condition yang