• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

Bagian bab dua akan dikemukakan mengenai penelitian relevan, tinjauan pustaka, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian. Bagian penelitian relevan akan menampilkan penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini. Tinjauan pustaka akan memaparkan teori-teori yang menjadi landasan variabel-variabel penelitian. Kerangka berpikir dan hipotesis akan menjelaskan bagaimana alur berpikir serta hipotesis yang digunakan dalam penelitian.

A. Penelitian Relevan

Penelitian-penelitian berikut ini akan mengacu pada penelitian sebelumnya yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Kellog (2008: 22) pada artikel berjudul “Training writing skills: A cognitive developmental perspective” dalam Journal of Writing Research mengemukakan bahwa kegiatan menulis merupakan proses berkelanjutan dari kemampuan berpikir yang akhirnya dituangkan dalam sebuah tulisan yang runtut dan sistematis. Bahan-bahan yang nantinya akan dituang menjadi sebuah karya tulis di dapat dari pengalaman empiris maupun dari bahan bacaan. Jadi, pada dasarnya keemampuan menulis merupakan sebuah proses menemukan atau mengumpulkan pengetahuan untuk kemudian diubah atau dirakit menjadi sebuah pemikiran. Hasil dari pemikiran tersebut yang akhirnya dituang ke dalam bentuk karya tulis.

Penelitian Kellog tersebut menjelaskan bahwa proses berpikir yang sistematis dan analitis memang diperlukan dalam proses menulis. Hasil tulisan yang dibuat melalui proses berpikir yang sistematis dan analitis akan menghasilkan tulisan yang mampu diterima secara logika maupun keruntutannya agar tulisan tersebut dapat dipahami oleh pembaca. Bahkan untuk karya tulis berbentuk fiksi saja, masih harus terdapat beberapa standar minimal yang menjadikan hasil tulis tersebut mampu diresapi dan dipahami oleh pembaca. Tulisan yang tidak memperhatikan persepsi dan pemahaman dari target pembaca hanya akan dipahami oleh beberapa pihak namun menimbulkan kebingungan bagi para pembaca

(2)

yang lain. Hal tersebut harus diminimalisir dan penulis harus mentapkan tujuan sebelum memulai tulisan. Tujuan itu dapat berarti sasaran pembaca mana yang akan dituju agar mampu dirangkai dengan baik tulisan yang dibuat melalui proses berpikir penulis.

Hasil penelitian Kellog seakan dikukuhkan oleh penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Epting et al (2013: 252) dengan judul “Read and think before you write: Prewriting time and level of print exposure as factors in writing and revision” pada jurnal yang sama. Penelitian tersebut melakukan uji pada dua kelompok siswa, siswa yang diberi waktu berpikir dan juga membaca buku cetak sebelum menulis untuk mendapat inspirasi mengenai hal yang akan ditulis. Waktu berpikir (prewriting time) diberikan pada dua kelompok siswa, kelopok pertama mendapat waktu 10 detik sedangkan kelompok kedua mendapat waktu 70 detik. Selain itu dibedakan pula siswa dari bahan bacaan yang pernah dibaca, ada siswa yang jarang membaca buku dan siswa yang sering membaca buku. Hasil penelitian tersebut mendapati bahwa siswa yang mendapat waktu 70 detik sebelum menulis mendapat nilai rata-rata lebih tinggi dari siswa yang hanya mendapat waktu 10 detik. Selain itu, waktu jeda yang digunakan serta kesalahan kata yang dibuat oleh siswa dengan waktu 70 detik sebelum menulis lebih sedikit daripada siswa dengan waktu 10 detik sebelum menulis. Hasil memuaskan pada penelitian tersebut juga didapat pada siswa yang memiliki intensitas membaca tinggi daripada siswa dengan intensitas membaca rendah.

Hal tersebut turut meberikan bukti bahwa kegiatan berpikir sebelum menulis sangat diperlukan oleh siswa demi memaksimalkan ide menulis yang akan dituangkan. Namun begitu, ide menulis juga tidak serta-merta ada ketika seseorang melakukan kegiatan berpikir akan tetapi turut dipengaruhi oleh intensitas membaca. Intensitas membaca yang dimiliki siswa juga sangat berpengaruh dalam munculnya ide menulis ketika seseorang memutuskan untuk menulis. Siswa dengan intensitas membaca tinggi akan lebih mudah memunculkan ide, sistematika dan isi penulisan daripada siswa dengan intensitas membaca rendah. Maka dari itu, kemampuan berpikir dan intensitas membaca terbukti sangat bermanfaat untuk memaksimalkan hasil kegiatan menulis.

Penelitian yang dilakukan oleh Abalhassan (2014: 103) dengan artikel berjudul “Students Common Writing Problem & Practices at King Abdul Aziz University: An Inquiry to Move a Writing Center From Conception Towards Conceptualization” ingin

(3)

melihat kecenderungan masalah yang sering ditemui pada mahasiswa saat akan melakukan kegiatan menulis. Selain itu, penelitian tersebut ingin melihat apakah diperlukan sebuah lembaga penulisan (Writing Center) di sebuah universitas guna membantu mahasiswa dalam menemukan dan mengatasi masalah-masalah yang sering menghambat saat menulis. Hambatan-hambatan memang sering muncul pada calon penulis ketika akan melakukan sebuah kegiatan menulis seperti ide, kekurangpahaman siswa pada hal yang ingin ditulis, maupun maupun sistematika kepenulisan. Simpulan dari penelitian tersebut menyatakan bahwa mahasiswa memang membutuhkan adanya lembaga penulisan. Lembaga penulisan akan membantu semaksimal mungkin masalah yang dihadapai mahasiswa dengan memberikan beberapa saran dan informasi yang dibutuhkan oleh mahasiswa. Hal ini juga diakibatkan oleh kesulitan yang kerap dihadapi mahasiswa dan akhirnya membuat mahasiswa terhambat menyelesaikan tugas-tugas yang harus dikerjakan.

Penelitian Abalhassan mengindikasikan perlunya siswa dalam bekerjasama untuk menyelesaikan tugas, khususnya pada tugas menulis. Tugas menulis memang cukup kompleks dan memerlukan siswa untuk bekerjasama dan saling membantu. Namun, terkadang hal tersebut juga disalahgunakan oleh siswa untuk bermalas-malasan karena menganggap ia telah mendapat bantuan. Akibat yang timbul akan cukup berbahaya bila siswa menjadi kurang termotivasi dan kurang berusaha memecahkan masalah yang ia miliki secara mandiri. Hal ini secara jangka panjang akan membuat siswa merasa terlalu bergantung pada orang lain dan kurang memaksimalkan potensi yang ia miliki. Penggunaan prinsip ini bukan tidak diperbolehkan. Akan tetapi. ada baiknya jika ingin menggunakan prinsip kooperatif atau bekerjasama, diperlukan kesadaran dari dalam diri siswa untuk turut memberikan sumbangsih pada hasil karya yang akan dibuat.

Pada dasarnya, akan jauh lebih baik jika kemampuan menulis telah ditanamkan pada siswa sedini mungkin seperti yang ingin dilihat oleh Koster et al (2015: 267) pada hasil penelitiannya dengan judul “Teaching Children to Write: A Meta-analysis of Writing Intervention Research” dalam jurnal Journal of Writing Research. Penelitian tersebut melihat kurang suksesnya pengajaran menulis di Belanda, hanya beberapa sekolah saja yang dirasa mampu untuk melatih siswa-siswanya terampil menulis. Untuk itu, peneliti melakukan eksperimen untuk melihat hal-hal apa saja yang sekiranya menjadi tambahan

(4)

pemacu nilai siswa dalam menulis. Hal-hal yang yang sekiranya dapat menjadi tambahan tersebut antara lain, pengajaran struktur teks, strategi menulis, penetapan tujuan, kosakata, bantuan sesama (peer assistance), aktifitas tambahan sebelum menulis, maupun bantuan saat proses menulis.

Hasil penelitian menyatakan bahwa kegiatan sebelum menulis menempati urutan terbawah dalam penelitian dengan kisaran nilai 40, artinya hal tersebut tidak cukup membantu dalam meningkatkan kemampuan menulis siswa. Kegiatan bantuan sesama berada pada posisi sedang dalam penelitian dengan kisaran nilai 70, artinya hal tersebut cukup membantu meningkatkan nilai menulis siswa. Sementara itu posisi tertinggi ditempati oleh kegiatan-kegiatan yang memacu prestasi siswa pribadi menggunakan pelatihan pelatihan-pelatihan kepenulisan dengan kisaran nilai 90. Artinya, kemampuan menulis memang cukup baik bila dibantu oleh sesama, namun akan lebih baik jika keterampilan diri siswa yang lebih ditingkatkan.

Penelitian oleh McCutchen (2011: 58) yang berjudul “From novice to expert: Implication of language skills and writing-relevant knowledge of writing skill” menjelaskan pentingnya kemampuan berbahasa dan pengetahuan tentang hal yang akan ditulis. Untuk memulai suatu tulisan, dua hal itu merupakan hal vital yang harus sangat diperhatikan. Kemampuan berbahasa yang cukup akan membuat tulisan mudah dimengerti dan dipahamai oleh pembaca. Pengetahuan mengenai hal yang ingin ditulis nantinya akan menjadi sumber inspirasi dalam penemuan ide. Selain itu, pengatahuan mengenai hal yang akan ditulis juga sebagai bahan dari tubuh tulisan yang ada. Bukan hanya sebagai sarana menemukan ide, namun juga menjadi rangkaian isi yang saling menjali di dalam sebuah tulisan.

Tidak lupa juga McCuthen menekankan pentingnya pengetahuan sampingan selain pengetahuan utama dalam menulis. Pengetahuan sampingan ialah pengetahuan yang juga berhubungan dengan tulisan. Hal ini sering dilupakan oleh banyak penulis muda yang sering membuat kesalahan dan melupakan detil-detil kecil. Detil-detil kecil ini sering muncul dari pengetahuan sampingan saat menulis dan dianggap tidak penting. Akibatnya, banyak hasil tulisan yang terkesan monoton dan tidak memiliki alur yang mengejutkan. Ini terjadi akibat terlalu sempitnya jalan cerita atau kompleksitas menulis yang diakibatkanoleh

(5)

sempitnya wawasan penulis. Banyak dari penulis terkenal telah menyadari hal tersebut dan sejak lama sering membaca tentang hal lain yang jauh dari bidang yang ditekuninya. Penulis mengumpulkan sebanyak mungkin pengetahuan kognitif yang nantinya dapat dirangkai menjadi sebuah jalinan tulisan.

Dari beberapa pembahasan di atas, kita dapat menarik suatu garis besar bahwa kegiatan menulis memerlukan dua hal pokok. Pertama berkenaan dengan kemampuan berpikir kritis dan analisis, dan yang kedua berkaitan dengan kebiasaan membaca sebagai bagian dari proses pengumpulan ide untuk menulis. Hal itu menambah pemahaman kita bahwa kegiatan membaca memang sangat dibutuhkan dalam kegiatan menulis. Penelitian oleh Nasser (2013: 68) yang berjudul “A Literacy Exercise: An Extracurricular Reading Program as an Intervention to Enrich Student Reading Habits in Qatar” mengusahakan upaya-upaya dalam meningkatkan peningkatan kebiasaan membaca siswa. Peningkatan kebiasaan di sisi lain juga dimaksudkan meningkatkan minat, agar peningkatan kebiasaan selalu terjalin terus menerus tanpa ada paksaan untuk membaca. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan hasil yang memuaskan dalam meningkatkan kebiasaan membaca bagi siswa di Qatar.

Peningkatan kebiasaan membaca dilakukan dengan memberikan beberapa program yang sekiranya dapat memacu kebiasaan membaca siswa. Program-program tersebut seperti ekstrakulikuler membaca, pekan membaca (reading week), dan sikap membaca (reading attitudes). Selain itu pelatihan juga diberikan pada guru guna memberikan pemahaman yang lebih mengenai pokok dan manfaat membaca. Untuk memunculkan sikap membaca secara luas pada suatu kelompok masyarakat, memang harus diberikan suatu program yang diupayakan dalam menggalakkan kegiatan tersebut. Upaya tersebut telah dilakukkan dengan baik oleh Nasser dalam hasil penelitian eksperimen yang ia lakukan. Nantinya, program-program tersebut harus dilaksanakan secara berkelanjutan agar dampak yang ditimbulkan dapat semakin luas.

Penelitian yang hampir serupa dengan penelitian oleh Nasser telah dilakukan Ransdell (2015: 33) dengan judul “Home Literacy, Summer School, and Kindergarten Readiness among Bilingual Preschoolers in Low-Income Families”. Isi penelitian tersebut mengamati bagaimana peran kegiatan membaca di rumah (home literacy), dan sekolah

(6)

musim panas (summer school) dapat menjadi sarana menggiatkan minat membaca pada siswa dengan ekonomi rendah. Hasil penelitian menyatakan minat membaca siswa yang mengikuti sekolah musim panas lebih baik daripada siswa dengan kegiatan membaca di rumah. Hal tersebut terjadi karena sekolah musim panas yang biasanya dilakukan selama dua bulan, mampu memberikan pemahaman lebih kepada siswa dalam kegiatan membaca.

Menanggapi hasil penelitian tersebut, bukan mengecilkan kegiatan membaca di rumah dalam meningkatkan minat membaca. Randsell mengatakan bahwa kegiatan membaca di rumah dapat semakin dimaksimalkan dengan menambah intensitas kegiatan membaca. Untuk keluarga dengan ekonomi rendah, terkadang memang cukup sulit untuk memasukkan anaknya di sekolah musim panas. Hal tersebut dapat disiasati dengan melakukan kegiatan membaca di rumah. Orang tua dapat menggunakan jasa perpustakaan umum sebagai upaya meningkatkan minat membaca anaknya. Randsel menekankan hal yang paling penting ialah dukungan penuh orang tua dalam peningkatan minat membaca anaknya dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan menggiatkan kegiatan membaca di rumah.

Sward dan Nathanson (2011: 81) juga menyadari pentingnya kegiatan membaca bagi penulis dalam artikel penelitian berjudul “An Individualised Literacy Intervention for Low Progress Readers and Writers in the Foundation Phase” pada Journal for Language Learning. Penelitian ini berisi usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kebiasaan membaca pada siswa di negara Afrika Selatan dengan minat membaca rendah melalui perlakuan yang diberikan. Sementara pada siswa dengan kebiasaan membaca tinggi tidak diberi perlakuan. Tujuannya adalah untuk memacu siswa dengan kebiasaan membaca rendah sehingga mampu mencapai nilai rata-rata teman sekelas mereka menggunakan kebiasaan membaca. Hasil penelitian menjelaskan bahwa kemampuan siswa memang cukup meningkat dalam perlakuan yang telah diberikan. Nilai yang diharapkan juga telah terpenuhi. Hanya saja, kelemahan terlihat pada guru yang kurang mengeksplorasi siswa dalam kegiatan membaca maupun menulis.

Simpulan yang diberikan oleh Sward dan Nathanson memang cukup beralasan. Selain minat membaca siswa yang harus ditingkatkan, hal tersebut sangat memerlukan peran serta guru dalam memberikan pemahaman siswa pada pentingnya hasil yang akan

(7)

dicapai dari kemampuan menulis dan kebiasaan membaca. Siswa nantinya akan terjun ke masyarakat menyadari pentingnya kemampuan yang mereka miliki dalam menyelesaikan masalah yang ada. Apa yang dihadapi guru menjadi masalah baru ketika guru dituntut untuk mengajar di kelas yang berisi siswa melebih kapasitas maksimal yang ada. Hasilnya pembelajaran menjadi kurang maksimal dan menghambat proses pembelajaran yang diberikan.

B. Tinjauan Pustaka 1. Kemampuan Menulis Cerita Pendek

a. Hakikat Menulis

Andayani (2015: 191) mengemukakan bahwa menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang sehingga orang lain dapat membaca langsung lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambaran grafik itu. Artinya, ketika seseorang menulis, hasil tulisannya harus dapat dipahami oleh orang lain yang memang mengerti struktur bahasa tertentu yang digambarkan oleh penulis. Dengan demikian, menulis merupakan sebuah kegiatan yang telah memiliki rancangan dalam menggambarkan sebuah struktur suatu bahasa ke dalam bentuk visual sebuah pola.

Kusmana (2014: 16-17) menyatakan bahwa menulis ialah sebuah kegiatan aktif-produktif-kreatif dalam berbahasa yang merupakan hasil dari proses berpikir dan disusun dengan memperhatikan unsur penalaran maupun dasar-dasar kebahasaan. Aktif maksudnya kegiatan menulis harus sering dilakukan dan untuk mendapat hasil yang maksimal. Produktif berarti kegiatan menulis merupakan sesuatu yang memberikan hasil bagi pelakunya baik itu sebuah catatan kecil, karya tulis sastra, maupun laporan. Pada beberapa konteks diperlukan juga suatu kreatifitas dalam menulis yang akan berguna memperindah dan membuat tulisan menjadi menarik untuk dibaca sendiri maupun orang lain. Semua kegiatan menulis tadi dilakukan atas dasar sadar dan merupakan sebuah hasil berpikir mengenai sebuah hal dengan memperhatikan unsur kebahasaan sekalipun dari hal yang paling dasar.

(8)

Dalman (2014: 3) menjelaskan bahwa menulis merupakan sebuah proses kreatif menuangkan gagasan berbentuk tulisan dalam berbagai tujuan seperti memberitahu, meyakinkan, atau menghibur. Tujuan-tujuan tersebut terdapat dalam berbagai jenis situasi maupun kondisi yang melatarbelakangi kegiatan menulis. Situasi yang melatarbelakangi penulis ada pada alasan penulis membuat tulisan dan akhirnya akan berpengaruh pada hasil tulisan dan jenis tulisan yang akan dibuat. Pada dasarnya, semua tujuan menulis tetap merujuk pada sebuah proses kreatif yang dilakukan oleh penulis. Hal tersebut diakibatkan karena menulis merupakan sebuah sarana dalam upaya memberitahau seseorang tentang sebuah perihal, meyakinkan, maupun menghibur pembaca dalam beberapa konteks situasi yang akhirnya mempengaruhi penulis dalam membuat sebuah hasil tulisan.

Menulis dalam hal yang lebih spesifik lagi yaitu mengarang diungkapkan Jauhari (2013: 127) merupakan suatu proses menuangkan gagasan dan merangkai kata ke dalam bentuk tulisan berdasarkan daya imajinasi. Imajinasi dalam hal ini ialah ekspresi jiwa seorang dalam mengungkapkan perasaan dalam bentuk khayalan. Kegiatan tersebut dilakukan guna mengungkapkan kandungan jiwanya kepada orang lain, atau kepada diri sendiri, dalam tulisan secara sadar dan berarah melalui tahap-tahap yang ada pada kegiatan mengarang. Menulis atau mengarang merupakan sebuah kegiatan kreatif dalam menciptakan sebuah kisah yang akan dibaca oleh orang lain maupun kepada diri sendiri. Hal tersebut perlu memperhatikan kaidah yang ada pada penulisan dengan dilakukan secara sadar oleh penulis.

Grabe dan Kaplan (1996: 5) mendefinisikan menulis khususnya pada bidang akademik sebagai kemampuan untuk memberikan informasi antara satu individu kepada individu lainnya. Pemberian informasi antara murid kepada guru khususnya pada tugas yang telah diberikan menunjukkan tingkat kemampuan dan pemahaman murid dalam menguasai materi yang telah diberikan oleh guru. Selain itu, catatan yang dibuat oleh murid dapat menjadi arsip tertulis dan dapat dibaca lagi sebagai informasi pengingat tentang apa yang telah disampaikan oleh guru. Hal tersebut menjelaskan bahwa menulis merupakan bagian yang penting dan tidak terpisahkan dalam proses belajar mengajar di kelas.

(9)

Beberapa pendapat ahli di atas dapat disintesiskan menjadi sebuah pengertian bahwa menulis merupakan penggambaran lambang grafik oleh seseorang yang diketahui oleh orang lain dan berisi suatu bahasa dengan bentuk visual sebagai pengantar informasi guna memberitahu, meyakinkan, atau menghibur sesuai hal yang tercermin dari lambang tersebut.

b. Hakikat Cerita Pendek

Kusmana (2014: 33) menerangkan bahwa cerita pendek merupakan karya sastra berbentuk prosa fiksi yang mengangkat suatu peristiwa sebagai tema sentralnya dan dapat dibaca dalam sekali pembacaan atau untuk mengisi waktu luang. Peristiwa yang ada akan menjadi pokok hal yang dibicarakan dalam cerita pendek tersebut karena hanya terdiri dari satu hal. Hal tersebut mengakibatkan cerita yang ada dalam cerita pendek tidak terlalu kompleks dan jumlah halamannya menjadi tidak terlalu panjang. Dengan begitu, waktu yang digunakan dalam membaca cerita pendek tidak terlalu lama. Itu pula sebabnya cerita pendek banyak digunakan untuk mengisi waktu luang pembaca.

Rokhmansyah (2014: 32) mengungkapkan bahwa cerita pendek atau biasa disingkat cerpen merupakan sebuah penceritaan ringkas dan tergolong padu yang terfokus pada bagian ke akhir cerita. Berbeda halnya dengan novel, cerita pendek memiliki kesatuan cerita yang lebih ringkas dikarenakan unsur praktis yang dimiliki dalam proses penciptaan maupun saat disajikan kepada pembaca. Sekalipun disajikan dalam bentuk praktis, cerita pendek yang ada tetap mengandalkan kepaduan cerita yang runtut agar mudah diterima oleh pembaca terutama pada hal-hal yang ingin disampaikan oleh penulis. Karena tergolong singkat, penulis biasanya menitik-beratkan inti cerita di bagian akhir agar pembaca tidak dengan mudah menebak jalan cerita yang dibawakan. Jika dalam novel, inti cerita harus diletakkan pada beberapa bagian agar pembaca memahami jalan cerita yang dibawakan, pada cerita pendek penulis dapat memberi kejutan dengan menempatkan inti cerita hanya di bagian akhir cerita saja.

Nurgiyantoro (2010: 10) menjelaskan walaupun sama-sama pendek, panjang cerita pendek itu sendiri bervariasi. Ada cerpen pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali: berkisar 500-an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan (middle short

(10)

story), serta ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata. Pembagian jumlah kata dalam cerita pendek hendaknya tidak menjadi patokan utama sekalipun hal tersebut tetap perlu dilakukan. Pembagian dan penetapan jumlah kata dalam cerpen dilakukan mengingat semakin bervariasinya cerpen-cerpen terbaru buatan sastrawan-sastrawan muda di Indonesia. Pembagian yang paling utama digunakan untuk memudahkan peneliti maupun kritikus sastra dalam menentukan panjang cerita pendek oleh satu atau beberapa pengarang dalam karyanya.

Watkins dkk. (1995: 150) menjabarkan prosa fiksi, termasuk juga cerita pendek merupakan suatu kesatuan cerita yang disampaikan secara naratif dan bukan berlandaskan rima serta bait seperti layaknya puisi. Selain itu, prosa fiksi ditulis lebih kepada tujuan sebagai bahan bacaan dan bukan untuk diperankan seperti halnya drama. Dua hal tersebut juga dapat digunakan sebagai pembeda antara prosa fiksi, puisi, dan drama. Ketiga hal tersebut merupakan kesatuan dalam sastra namun memiliki cara pembawaan yang berbeda, entah dalam hal bahasa maupun tujuan pembawaannya. Pembawaan bahasa prosa fiksi didasarkan pada penceritaan secara lugas, meskipun terkadang juga terselip beberapa unsur puitis namun hal tersebut bukan hal utama dalam prosa fiksi. Tujuan ditulisnya cerpen tidak seperti drama yang harus dipentaskan, dalam prosa fiksi cerita yang ada sudah menjadi hal utama dalam karya tersebut. Selanjutnya, pembaca sudah dapat menikmati karya tersebut walaupun tidak harus dibawakan dalam pentas panggung dan sebagainya.

Beberapa pendapat ahli di atas patut untuk disintesiskan menjadi sebuah ketetapan mengenai cerita pendek yaitu sebuah pola cerita yang dibawakan secara naratif terdiri dari 500 sampai puluhan ribu kata dengan suatu peristiwa utama sebagai acuan utamanya dan biasa selesai dibaca dalam sekali pembacaan.

c. Unsur-unsur Cerita Pendek

Cerita pendek seperti halnya juga prosa, memiliki beberapa unsur pembentuk. Walaupun tidak rinci seperti novel, unsur-unsur yang ada dalam prosa juga harus ada di dalam cerita pendek. Unsur-unsur inilah yang nantinya akan mendukung cerita menjadi sebuah kesatuan yang mencerminkan isi dari cerita tersebut. Beberapa dari unsur-unsur

(11)

tersebut yang diungkap oleh Kanadi dan Sutedjo (2010a: 6) antara lain seperti (1) tema, (2) tokoh dan penokohan, (3) plot atau alur cerita, (4) setting atau pelataran, (5) sudut pandang, (6) gaya bahasa, dan (7) pesan serta amanat. Penjelasan mengenai unsur-unsur cerita pendek akan di uraikan lebih lanjut berikut ini:

1) Penokohan dan Perwatakan

Tokoh menurut Kasnadi dan Sutedjo (2010a: 12) merujuk pada pelaku cerita, jumlah pelaku, maupun pemeran antagonis dan protagonis suatu cerita. Artinya, toko dalam suatu cerita menggambarkan isi mengenai pelaku-pelaku yang terdapat pada sebuah cerita secara kompleks. Tidak hanya menggambarkan mengenai siapa pelaku, namun juga jumlah keseluruhan total, maupun peran-peran yang tergambar pada masing-masing pelaku. Penetapan tokoh dalam ceita dianggap penting agar cerita dapat berjalan. Hal ini dikarenakan jalinan cerita dalam cerita pendek biasanya tergambar melalui konflik antar tokoh maupun tokoh dengan dirinya sendiri yang juga biasa disebut konflik batin. Dengan adanya kejadian yang ada pada pelaku, akan membuat cerita berjalan dengan sendirinya sesuai arah konflik yang menjadi pokok permasalahan.

Pernokohan merupakan buah hasil dari perbuatan dan tingkah laku yang dilakukan oleh manusia. Tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan oleh manusia akhirnya menjadi cerminan watak yang dimiliki oleh manusia tersebut berdasarkan hal-hal yang dilakukan para tokoh. Oleh karena itu, perwatakan diberikan oleh pengarang dalam suatu tokoh berlandaskan pada beberapa perilaku dari tokoh maupun konflik yang ada pada kejadian dalam suatu cerita. Pada akhirnya, baik atau buruknya perlaku suatu tokoh tersebut yang akan menjadi jalinan cerita dan bahkan unsur utama dalam konflik yang ada pada suatu cerita pendek. Oleh karena itu, tokoh dan penokohan yang dimilikinya memegang peranan penting dalam tercipta serta terjalinnya sebuah jalan cerita. Tanpa adanya tokoh yang mengadakan tindakan, Mungkin cerita tersebut juga tidak akan ada.

Dari beberapa hal tersebut, tokoh dan penokohan sesungguhnya merupakan suatu kesatuan yang saling mendukung satu sama lain di dalam sebuah cerita. Tidak akan tercermin dengan baik watak seorang tokoh jika tidak digambarkan dengan baik pula

(12)

oleh pengarang. Sebaliknya, penggambaran tokoh dengan baik oleh pengarang akan menjelaskan secara menyeluruh cerita yang akan terjalin dan mungkin akan menjadi unsur utama dalam konflik yang ada pada sebuah cerita pendek.

2) Tema

Kusmana (2014: 35) menjelaskan bahwa tema merupakan segala persoalan yang ada dalam kehidupan manusia. Pengarang tidak pernah mengatakan tema yang diusung dalam cerpennya, untuk dapat mengenali tema diperlukan pemahaman terhadap unsur-unsur pembentuk cerpen tersebut. Pembaca yang mengenali lingkup pada sebuah cerita akan langsung merujuk tema di mana hal tersebut merujuk dengan mengaitkan situasi konteks yang ada pada cerita yang dibaca. Lingkup tersebut tentu saja selalu berkaitan dengan segala persoalan yang ada dalam kehidupan manusia berdasarkan konflik yang terjadi. Oleh karena itu, tema tidak pernah lepas dari keterkaitan antara manusia dan kehidupannya.

Tema ini lazim ada pada setiap prosa fiksi termasuk cerita pendek yang terkadang disebut juga gagasan pokok (Waluyo, 2011: 7). Pembaca diharuskan membaca karya sastra yang ada secara berulang-ulang untuk dapat memahami tema yang dibawakan oleh pengarang. Terkadang sekali pembacaan belum cukup untuk dapat menentukan tema sebuah cerita. Terlebih jika cerita dibawakan dengan kompleksitas tinggi. Dengan membaca beruang-ulang, pembaca akan dapat menemukan garis besar hal yang melandasi tulisan tersebut. Garis besar cerita yang tergambar melalui sebuah tema biasanya tidak jauh dari konflik maupun kejadian-kejadian yang ada dalam kehidupan.

Kejadian-kejadian yang ada dalam kehidupan sehari-hari manusia yang paling sering menjadi tema cerita. Contoh-contoh tema yang banyak dijadikan bahan penulisan cerita pendek antara lain kasih sayang, kekuasaan, keserakahan, persahabatan, kisah horor, dan sebagainya. Kasih sayang merupakan tema yang paling banyak digunakan dalam pembuatan cerita pendek, terlebih pada sasaran pembaca usia remaja. Kisah tersebut banyak mengangkat romantisme yang terjadi pada sepasang kekasih dengan berbagai konflik yang dialami. Meskipun begitu, tema kasih sayang terkadang juga mengangkat kisah tentang keluarga dengan berbagai

(13)

fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Berbagai tema yang ada membuat pengarang lebih terarah dalam menentukan alur cerita nantinya.

Beberapa uraian di atas disintesiskan menjadi sebuah pengertian bahwa tema merupakan hal yang melandasi dan mendasari rangkaian jalinan cerita yang seringnya mengangkat konflik-konflik yang terjadi pada kehidupan masyarakat.

3) Alur (Plot)

Nurgiyantoro (2010: 114) menyatakan bahwa plot merupakan peristiwa-peritiwa cerita yang dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh (utama) cerita. Secara tidak langsung dinyatakan bahwa plot merupakan urutan peristiwa yang akhirnya membentuk suatu rangkaian cerita. Rangkaian peristiwa tersebut ditampilkan dalam perbuatan dan tingkah laku tokoh yang ada sehingga membuat cerita tersebut mengandung konflik. Konflik tersebut yang pada akhirnya akan memuat unsur-unsur plot dan akan membuat cerita menjadi bermakna. Dalam beberapa cerita pendek, plot inilah yang diandalkan oleh pengarang untuk memperindah dan memunculkan kebermaknaan cerpen yang ia buat.

Penggunaan alur cerita yang baik tidak dapat dianggap remeh dalam penulisan karya sastra. Alur merupakan jalinan kejadian dalam cerita yang harus secara logis dan berkaitan dengan kronologis yang dialami oleh pelaku (Kasnadi dan Sutedjo, 2010a: 17). Alur membuat pembaca dapat mengenali jalan cerita dan menikmati jalinan cerita yang disajikan. Selain itu, alur pula yang akan memberikan kejutan cerita yang disimpan dengan baik oleh penulis untuk dimunculkan di akhir cerita. Jika kejutan tersebut telah dimunculkan di awal cerita oleh penulis, maka cerita tersebut tidak akan lagi dinikmati sampai akhir oleh pembaca. Itulah sebabnya, kejutan cerita khususnya pada cerita pendek biasa hanya ditampilkan pada bagian akhir. Dengan begitu, pembaca dapat menikmati sampai akhir cerita yang tergolong singkat dibandingkan prosa fiksi lainnya tersebut.

Bermaknanya cerita tersebut tidak begitu saja muncul namun harus memasukkan unsur-unsur plot seperti plausibilitas (plausibility), rasa ingin tahu (suspense), kejutan (surprise), dan kepaduan (unity) agar cerita tersebut mengandung unsur sastra yang tinggi. Unsur plausibilitas menekankan agar plot cerita sesuai dengan logika cerita.

(14)

Hal tersebut akan membuat jalinan cerita lebih mudah dicerna dan dipercaya oleh pembaca karena memang memiliki unsur keterkaitan antara jalinan cerita satu dengan yang lainnya. Unsur rasa ingin tahu menekankan pada tersimpannya inti cerita dan membangkitkan rasa penasaran pembaca, khususnya pada cerita pendek. Pada cerita pendek, unsur suspense ini banyak dijadikan pokok utama dan dikeluarkan pada akhir bagian cerita pendek yang dibuat. Hal ini jika dilakukan dan digunakan dengan kalimat yang tepat maka akan mengeluarkan unsur kejutan seperti yang diharapkan. Unsur surprise adalah unsur yang diinginkan hadir pada saat pembaca menemukan hal yang telah disembunyikan dalam sebuah cerita dan ternyata saling berkaitan dengan jalinan cerita yang lain. Terakhir adalah unsur kepaduan, unsur ini digunakan guna menghubungkan tiap-tiap bagian cerita menggunakan sebuah jalinan yang saling terhubung satu sama lain (Nurgiyantoro, 2010: 130).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disintesiskan bahwa yang dimaksud dengan alur adalah jalinan cerita yang secara logis dan kronologis membangun sebuah cerita menjadi sesuatu yang bermakna bagi pembaca.

4) Latar

Waluyo (2011: 23) mengemukakan bahwa latar merupakan merupakan tempat kejadian namun dapat juga dikaitkan dengan tempat dan waktu. Latar merupakan unsur pendukung di dalam cerita yang akan menjelaskan beberapa hal mengenai cerita agar sesuai dengan konteks nyata. Penggambaran latar sebagai bagian dari cerita digunakan pengarang dengan menggunakan kalimat maupun paragraf yang tersusun sedemikian rupa. Latar tersebut nantinya akan menjelaskan mengenai tempat tokoh mengalami kejadian dalam cerita, waktu, maupun suasana saat cerita tersebut berlangsung. Beberapa pengarang tidak terlalu menganggap penting unsur latar ini. Namun, penggunaan latar pada cerita tetap perlu dilakukan sebagai bagian dari kejelasan sebuah cerita sekalipun intensitasnya sedikit.

Latar juga dapat menyangkut hal yang lebih luas seperti diungkapkan oleh Rokhmansyah (2014: 38) bahwa unsur latar dapat memuat waktu, tempat, maupun suasana atau sosial dalam cerita. Keadaan geografi, sejarah, sosial dan bahkan kadang-kadang lingkungan politik atau latar belakang tempat kisah itu berlangsung

(15)

dapat menjadi penambah gambaran cerita. Latar lingkungan geografi biasanya memuat tempat-tempat yang ada pada suatu keadaan geografis tertentu yang ingin ditonjolkan melalui peristiwa yang ada. Latar waktu biasanya ditunjukkan oleh cerita yang memuat unsur sejarah yang pada akhirnya mengangkat suatu kisah pada waktu tertentu sesuai pada zaman yang diceritakan. Keadaan sosial maupun politik pada suatu daerah dan dalam kurun waktu tertentu juga terkadang memunculkan suatu problema dan sering ada pada beberapa cerita pendek.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disintesiskan bahwa yang dimaksud dengan latar ialah pemberian unsur waktu, tempat, maupun situasi pada cerita untuk memberikan gambaran lebih jelas pada cerita mengenai hal-hal yang terjadi di dalam cerita.

5) Gaya Bahasa

Gaya bahasa menurut Kasnadi dan Sutedjo (2010a: 24) merupakan aspek bahasa yang ditimbulkan oleh pengarang di dalam karyanya guna memunculkan efek estetis. Efek estetis ini berusaha ditimbulkan oleh penarang dengan berbagai macam cara seperti menambahkan penggunaan bahasa figuratif, pencitraan, dan sebagainya. Penambahan aspek tersebut nantinya diwujudkan dalam penggunaan bahasa di berbagai aspek mulai dari fonologi, sintaksis, leksikal, maupun retorika. Pengunaan gaya bahasa dengan nilai estetis nantinya akan ditangkap oleh pembaca sesuai dengan pemahaman yang dimiliki oleh masing-masing pembaca tersebut.

Gaya bahasa diungkapkan oleh Putra (2010: 27) merupakan identitas verbal pengarang. Dengan tulisan yang dihasilkan pengarang, biasanya menimbulkan beberapa kecenderungan penggunaan pilihan kata yang khas. Kecenderungan penggunaan bahasa yang khas ini secara sadar maupun tidak seriing digunakan berulang-ulang oleh pengarang pada beberapa karyanya. Hal ini menimbulkan ciri tersendiri bagi beberapa pengarang. Meskipun tidak sebanyak puisi, gaya bahasa yang ditampilkan dalam prosa tetap memiliki keunikan maupun manfaat tersendiri dalam sebuah cerita. Keunikan ini juga yang akan menjadi pembeda antara karya sastra berbentuk prosa dan karya sastra berbentuk puisi. Pengarang akan selalu

(16)

berusaha menciptakan bahasa yang khas, yang lebih hidup, ekspresif, dan estetis (Waluyo, 2011: 26).

Ulasan di atas menghasilkan suatu sintesis bahwa gaya bahasa merupakan penggunaan bahasa yang figuratif oleh pengarang demi memunculkan nilai estetis bagi karya yang dihasilkan.

6) Sudut Pandang

Jauhari (2011: 164) menjelaskan sudut pandang atau point of view merupakan cara yang digunakan pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Melalui sudut pandang akan dilihat posisi pengarang menempatkan dirinya dalam sebuah cerita. Posisi ini juga akan berpengaruh pada tokoh utama yang akan dibawakan oleh pengarang. Ketika pengarang menempatkan dirinya sebagai tokoh utama, pengarang dapat dengan bebas mengeksplorasi sisi kejiwaan dan konflik batin yang dirasakan tokoh utama. Meskipun demikian, pengarang juga dapat menempatkan dirinya sebagai pengamat cerita, pengarang dapat lebih mudah melihat gerak-gerik semua tokoh namun tidak dapat mengetahui dengan jelas batin tokoh yang ada. Semua bergantung pada penguasaan bahasa maupun minat yang dimiliki pengarang dalam menghasilkan suatu cerita.

Pendapat yang sama diungkapkan oleh Putra (2010: 96) di mana sudut pandang yang paling utama terbagi atas sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga. Lebih lanjut Putra mengungkapkan sudut pandang orang pertama dan ketiga dapat di aplikasikan pada cerita dalam bentuk pengarang sebagai tokoh cerita pengarang sebagai tokoh sampingan, pengarang sebagai orang ketiga (pengamat), serta pengarang sebagai pemain dan narator. Selain kedua sudut pandang orang pertama dan ketiga, masih ada beberapa sudut pandang lain namun terkadang sulit untuk diikuti. Setidaknya, kedua sudut pandang tersebut merupakan sudut pandang utama dan paling sering digunakan serta mudah diikuti oleh pembaca.

Uraian di atas menghasilkan sebuah sintesis mengenai sudut pandang yaitu cara pengarang menempatkan dirinya di dalam cerita, apakah pengarang menjadi tokoh langsung dalam cerita ataupun pengarang hanya menjadi pengamat di dalam sebuah cerita.

(17)

7) Pesan dan Moral

Pesan dan moral atau disebut juga amanat menurut Kusmana (2014: 36) merupakan hal baik atau maupun buruk yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca melalui sajian cerita secara utuh. Pesan dan moral ini tidak secara gamblang disajikan dalam kata-kata pada cerita namun dibangun secara utuh oleh seluruh unsur sastra. Pembaca harus menemukan sendiri pesan dan moral yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam cerita yang ada. Kegunaan pesan dan moral ini adalah menunjukkan bahwa hal baik harus dilakukan guna mendapat nikmat sedangkan hal buruk harus ditinggalkan karena akan mengakibatkan bencana dan malapetaka bagi tokoh-tokoh yang ada.

Jauhari (2013: 164) menjelaskan bahwa amanat merupakan hal yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui ide, perasaan, emosi, dan pikirannya dalam cerita. Hal ini biasanya disampikan melalui kejadian-kejadian yang dialami tokoh secara tersirat maupun yang diungkapkan secara langsung oleh penulis dalam bentuk narasi. Amanat yang disampaikan pengarang biasanya didapat dari pikiran pengarang. Pikiran tersebut bergantung pada pandangan hidup, filsafat, pekerjaan, maupun cita-cita pengarang. Semakin banyak pengalaman yang dimiliki pengarang, akan semakin banyak dan bervariasi pula hal yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya. Hal tersebut akan diwujudkan dalam bentuk tulisan dengan berbagai cara penceritaan. Uraian tentang di atas menghasilkan suatu sintesis bahwa pesan dan moral merupakan jalan pikiran pengarang yang ingin disampaikan dalam bentuk tulisan dengan cara tersirat ataupun tersurat tentang hal positif yang harus diikuti dan hal negatif yang harus dihindari.

d. Unsur Menulis Cerita Pendek

Unsur menulis cerita pendek seperti diungkapkan Kasnadi dan Sutedjo (2010b: 193) ialah (1) pemahaman terhadap komponen cerita pendek, (2) estetika sebuah cerita pendek, (3) pemahaman proses pembuatan garis besar cerita pendek, (4) proses penulisan cerita pendek, (5) editing dan perbaikan cerita pendek, (6) proses pengentasannya. Sebelum menulis cerita pendek, pengarang diharapkan mengetahui terlebih dahulu

(18)

komponen-komponen cerita pendek terutama unsur-unsur intrinsik sebagai landasan utama dalam menulis prosa. Setelah itu, akan sangat baik bila pengetahuan tentang komponen-komponen intrinsik tersebut dilengkapi lagi dengan pengetahuan mengenai estetika sebuah cerita pendek. Setelah itu, unsur menulis cerita pendek selanjutnya didominasi oleh pemahaman mengenai membuat garis besar cerita pendek, editing dan perbaikan tata bahasa yang digunakan, dan diakhiri dengan melengkapi unsur cerita pendek seperti judul maupun penutup cerita pendek. Unsur menulis cerita pendek ini tidak diwajibkan untuk runtut namun akan lebih baik jika pengarang memahami unsur tersebut dan menggunakannya dengan melengkapi satu sama lain.

Diungkapkan oleh Kurniawan (2012: 2) unsur penting yang menjadi penghambat dalam menulis ialah terbatasnya semangat yang dimiliki oleh pengarang tersebut. Menulis merupakan persoalan eksistensi dan semangat yang harus terus terjalin sampai cerita dapat disajikan kepada pembaca. Sangat jarang ada karya tulis yang akan selesai hanya dalam sekali tulis. Diperlukan waktu untuk merencanakan dan memilih ide penulisan untuk kemudian dituangkan dalam garis besar penulisan. Selanjutnya harus diperhitungkan pula pemilihan kata yang baik agar pembaca mudah memahami maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karya tulis yang ia buat. Artinya, setelah melakukan proses penulisan, pengarang harus meluangkan waktu untuk merevisi kembali hasil tulisan yang ia buat. Jumlah yang diperlukan oleh pengarang terkadang hingga 3 kali atau bahkan lebih untuk membaca kembali karya yang telah ditulis untuk sekedar menemukan kesalahan penulisan maupun ketepatan penggunaan kata. Pada bagian ini biasanya penulis pemula akan menemukan kesulitan dan merasa jengan dengan tulisan yang ia buat. Terkadang timbul rasa minder dan kurang percaya diri dengan hasil tulisan yang dibuat. Diperlukan pengetahuan-pengetahuan lebih mengenai menulis cerita pendek agar semangat yang dimiliki tetap terjaga dalam menulis cerita pendek.

Pemilihan ide yang masih jarang ditulis akan membuat cerita tersebut semakin menarik serta memungkinkan munculnya suspense dan surprise dalam cerita pendek. suspense adalah unsur dalam plot cerita yang membuat cerita tersebut membangkitkan daya ingin tahu pembaca sedangkan surprise merupakan unsur yang memberi kejutan pada pembaca (Nurgiyantoro, 2010: 135-136). Hal itu bukan serta merta mengharuskan

(19)

cerita dibuat mengada-ada, namun sedikit tambahan unsur suspense dan surprise ini akan membuat cerita tidak berjalan datar. Pada akhirnya, hal tersebut akan membuat cerita pendek memiliki satu atau beberapa kejutan utama dalam cerita yang melatarbelakangi munculnya cerita tersebut. Pengarang yang baik juga harus memperhitungkan antara pemilihan ide yang jarang ditulis dan minat pembaca pada kurun waktu tertentu. Terkadang terdapat kecenderungan pembaca menyukai beberapa tema pada suatu kurun waktu tertentu. Sinergi dan perhitungan yang tepat antara pemilihan ide yang masih jarang dan minat pembaca akan membuat karya yang dihasilkan memiliki kesempatan lebih besar untuk disukai lebih banyak pembaca.

Berdasarkan hasil uraian di atas, sintesis unsur menulis cerita pendek terdiri dari (1) pengetahuan awal mengenai cerita pendek maupun prosa fiksi, (2) menjaga semangat menulis tetap terjaga, dan (3) pemilihan ide menulis cerita pendek yang tepat.

e. Sistematika Menulis Cerita Pendek

Kasnadi dan Sutedjo (2010b: 193) menjabarkan beberapa langkah dalam menulis sebagai alternatif, yaitu: (1) kejelian dalam menangkap ide, (2) kemampuan menyeleksi ide, (3) penyimpanan ide, (4) penyimpanan ide ditambah beberapa pengetahuan tambahan, (5) mulai menulis cerita pendek secara garis besar, (6) penambahan bahasa yang memikat, (7) penambahan gaya bahasa dan pengucapan yang tepat, (8) penyelesaian konflik yang proporsional dan relasional, (9) pemilihan setting yang kontekstual dan kondisional, (10) pemilihan dan pemberian nama yang isnpiratif, (11) pengarakteran secara variatif, (12) pemilihan sudut kisah yang cocok, (13) pengaluran yang “logis” dan inspiratif, (14) pembingkaian tema yang sesuai dengan ide, (15) penyusupan pesan yang inspirasional, (16) pengakhiran cerita yang menarik, (17) pemilihan judul yang representative, (18) pengorganisasian cerita dengan bahasa yang memikat. Beberapa hal tersebut bukan hal yang wajib dilakukan ketika menulis namun dapat menjadi salah satu alternatif pilihan tentang hal-hal yang perlu dilakukan ketika akan mulai menulis.

Jika dipadatkan, cara menulis cerita pendek di atas dapat dimulai dengan memilih bahan pembicaraan atau topik. Hal ini dilakukan sebagai dasar utama maupun pemetaan tentang hal apa yang ingin dituangkan ke dalam tulisan. Tahap ini memuat pemikiran

(20)

paling dasar dan masih secara garis besar tentang hal yang ingin ditulis. Setelah itu, pemilihan bahan pembicaraan dituangkan dalam tema yang akan digunakan dalam menulis. Pemilihan tema dilakukan guna semakin menegaskan arah pembicaraan maupun hal yang ingin ditulis. Selanjutnya, penulis akan memutuskan tulisan tersebut akan dibuat dalam bentuk karangan novel ataupun cerita pendek. Pemilihan novel ataupun cerpen didasarkan pada kompleksitas maupun panjang cerita, penulis biasanya akan dengan mudah memutuskan akan membuat sebuah novel atau cerita pendek jika telah memiliki konsep tema yang akan dibuat dalam tulisan. Kemudian, penulis diharapkan dapat memutuskan pendekatan apa yang digunakan dalam mengarahkan tulisan pada tema yang telah ditetapkan. Hal tersebut dapat menggunakan pemilihan sudut pandang tokoh maupun prolog cerita.

Tahap selanjutnya diisi dengan kegiatan penulis mulai melakukan kegiatan menulis secara konkrit. Kegiatan menulis secara konkrit dilakukan dengan membuat bagan atau rencana pembicaraan terlebih dahulu. Bagan akan mengarahkan cerita pada alur yang dinginkan dari sebuah cerita. Setelah itu, cerita dimulai dan diakhiri sesuai dengan bagan yang telah ditentukan. Pada tahap ini dibutuhkan wawasan yang luas maupun penguasaan kosakata penulis agar hasil tulisan semenarik mungkin dengan bahasa yang mudah dimengerti pembaca. Hal ini penting karena cerita yang disusun dengan kalimat yang berbelit-belit tanpa arah yang jelas akan membingungkan, terlebih lagi jika dibawakan dengan kosakata sulit dicerna ataupun monoton di sepanjang cerita. Kemampuan penulis dalam membangun paragraf dan menjalin kesinambungan paragraf juga diperlukan agar cerita menjadi lebih terarah dan terstruktur dengan baik. Langkah terakhir ialah membuat judul karangan. Judul karangan harus dibuat menarik untuk menimbulkan kesan awal yang baik dan memunculkan keinginan untuk dibaca.

Berdasarkan uraian tersebut, sintesis dari sistematika menulis cerita pendek adalah memilih topik, menentukan tema, menentukan bentuk karangan, menentukan pendekatan terhadap tema, membuat bagan atau kerangka, memulai karangan, membangun dan menjalin kesinambungan paragraf, mengakhiri karangan, serta membuat judul karangan.

(21)

f. Penilaian Kemampuan Menulis Cerita Pendek

Penilaian kemampuan menulis cerita pendek dilakukan secara holistis melalui beberapa kriteria yang telah dijadikan patokan sebelumnya. Penilaian tersebut merujuk pada aspek-aspek yang diharapkan ada dan terorganisir dengan baik di dalam kemampuan menulis khususnya karangan atau cerita pendek. Aspek-aspek yang ada dalam penilaian kemampuan menulis cerita pendek disusun guna memberikan arah tujuan yang ingin di capai dalam kemampuan menulis cerita pendek.

Iskandarwassid dan Sunendar (2011: 251) menekankan bahwa pengajaran bahasa Indonesia khususnya di tingkat SMA memiliki tujuan agara siswa melatih dan membekali dirinya dengan kemampuan mengkomunikasikan gagasan yang dimiliki. Hal tersebut menegaskan bahwa pengajaran menulis tidak hanya bertujuan sebagai pengantar bahasa namun juga media agar siswa dapat menyampaikan dengan baik gagasan yang dimiliki secara jelas dan terorganisir. Hal ini yang nantinya akan dibawakan oleh kemampuan menulis cerita pendek bagi siswa khusunya tingkat SMA. Pada tingkat tersebut siswa telah dapat berpikir kritis dan analitis dalam menyampaikan gagasan yang dimiliki khususnya pada taraf yang cukup baik.

Penilaian kemampuan menulis cerita pendek erat kaitannya dengan penilaian yang bersifat subjektif, oleh karena itu penilaian yang dilakukan juga harus memperhatikan kaidah-kaidah yang ada dalam penilaian bahasa khususnya pada tes subjektif. Penilaian tes subjektif tidak ditentukan oleh kunci jawaban. Jawaban yang diberikan oleh siswa akan dihubungkan dengan rambu-rambu penskoran yang berfungsi sebagai pedoman bagi penilai tes untuk mencocokan antara jawaban dengan rambu-rambu yang ada. Pedoman tersebut khususnya pada kemampuan menulis, biasanya berisi tentang relevansi isi dengan tema yang diungkapkan, susunan karangan, bahasa yang digunakan, dan lain-lain (Djiwandono: 2011: 58).

Nurgiyantoro (1988: 279) menjabarkan kemampuan menulis khususnya menulis karangan di sekolah harus memperhatikan beberapa aspek, antara lain: (1) kualitas dan ruang lingkup isi, (2) organisasi dan penyajian isi, (3) gaya dan bentuk bahasa, (4) mekanik: tata bahasa, ejaan, dan tanda baca, kerapian tulisan, dan kebersihan, serta (5) respon afektif guru terhadap karya tulis. Kualitas dan ruang lingkup isi menunjukan

(22)

pemilihan tema dan relevasi dalam kalimat-kalimat yang digunakan. Aspek respon afektif guru dikaitkan dengan kapasitas guru sebagai pembaca yang tertarik, kurang, atau tidak tertarik pada isi karangan. Sementara itu, pada aspek yang lain telah banyak dijelaskan dalam bagian sebelumnya yaitu pada bagian unsur menulis cerita pendek.

Selanjutnya diungkapkan oleh Nurgiyantoro (1988: 280), untuk keperluan praktis, perlu ditentukan terlebih dahulu bobot atau besarnya “porsi” untuk masing-masing unsur tersebut. Pemberian bobot ditentukan oleh kompleksitas unsur atau aspek yang akan diukur dalam sebuah keterampilan. Dengan kata lain, pembobotan mencerminkan tingkat pentingnya masing-masing unsur dalam karangan. Dengan begitu, unsur yang lebih dipentingkan mendapat bobot yang lebih tinggi dan sebagliknya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pembobotan unsur kemampuan menulis cerita pendek didapat hasil dengan kemungkinan skor maksimal 100 sebagai berikut:

Tabel 1. Tabel Penilaian Kemampuan Menulis Cerita Pendek

No. Unsur yang dinilai Skor Maksimal Skor Siswa

1. Kualitas dan ruang lingkup isi 20 ...

2. Organisasi dan penyajian isi 30 ...

3. Gaya dan bentuk bahasa 15 ...

4. Mekanik: tata bahasa, ejaan, dan tanda baca,

kerapian tulisan, dan kebersihan 25 ...

5. Respon afektif guru terhadap karya tulis 10 ...

Jumlah 100 ...

Berdasarkan hasil uraian di atas, variabel kemampuan menulis cerita pendek disintesiskan dalam paparan mengenai kegiatan menulis seperti hakikat menulis, hakikat cerita pendek, unsur-unsur cerita pendek, unsur menulis cerita pendek, sistematika menulis cerita pendek, dan penilaian kemampuan menulis cerita pendek. Hakikat menulis dan hakikat cerita pendek menjelaskan pengertian menulis maupun cerita pendek. Dua hal tersebut nantinya akan berhubungan dan memiliki keterkaitan dalam pelaksanaan pembelajaran menulis cerita pendek. Pelaksanaan pembelajaran menulis cerita pendek tidak

(23)

luput dari unsur-unsur menulis cerita pendek dan sistematika yang ada. Pada akhirnya, kegiatan tersebut akan dinilai menggunakan perangkat penilaian kemampuan menulis cerita pendek yang telah dicetuskan oleh ahli.

2. Metode Mengajar

a. Metode Mengajar Menemukan (Inquiry) 1) Hakikat Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontekstual merupakan kelanjutan proses pembelajaran konvensional, pendekatan ini menekankan pada proses belajar yang menghubungkan antara materi pembelajaran dengan penerapannya pada kehidupan sebagai anggota masyarakat. Selain itu, dalam pendekatan kontekstual peserta didik diharapkan dapat berpikir kritis dan analisis melalui proses menemukan (inquiry). Diharapkan dengan menggunakan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran, peserta didik akan lebih bersemangat dalam kegiatan pembelajaran. Peserta didik dapat lebih bersemangat dalam kegiatan pembelajaran karena hal yang dipelajari ditemukan pada kehidupan sehari-hari.

Riyanto (2010: 159) menyatakan bahwa pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dalam masyarakat. Guru akan dibantu oleh beberapa struktur yang telah ada dalam pendekatan kontekstual untuk menghubungkan isi pembelajaran dengan pengalaman yang telah dimiliki peserta didik. Pengalaman tersebut merupakan pengetahuan yang akan dihubungkan dalam isi pembelajaran yang disampaikan.

Andayani (2015: 217) menjelaskan bahwa pendekatan kontekstual adalah suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi peserta didik untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajari dengan mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga peserta didik memiliki pengetahuan atau keterampilan yang dapat diterapkan secara

(24)

fleksibel dari suatu permasalahan ke permasalahan lain dan dari satu konteks ke konteks lainnya. Peserta didik akan diberikan stimulasi motivasi oleh guru yang akan membangkitkan minat dalam kegiatan pembelajaran karena dihubungkan dengan konteks kehidupan mereka. Pengetahuan yang dimiliki akan di terapkan dalam menyelesaikan satu masalah ke masalah lain yang mempunyai beberapa kesamaan dalam penyelesaiannya.

Muslich (2008: 41) menerangkan bahwa pendekatan kontekstual berlandaskan kontruktivisme, yaitu filosofi belajar tidak hanya sekedar menghafal, tetapi merekonstruksi atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya. Pembelajaran yang hanya berlandaskan pada kegiatan menghafal dianggap tidak mampu menjangkau keseluruhan tujuan pembelajaran. Fakta-fakta yang ada dapat membantu peserta didik dalam membangun pengetahuan dan keterampilan baru dengan cara bersinergi dan pada beberapa hal yang saling berkaitan dalam kegiatan pembelajaran.

Suprijono (2013: 50) memberikan pengertian bahwa pembelajaran kontekstual merupakan konsep yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dalam penerapan di kehidupan sebagai anggota masyarakat melalui kerangka kerja tertentu. Kerangka kerja tersebut merupakan bagian dari rumusan masalah yang harus ditentukan siswa dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Permasalahan yang biasa dihadapi siswa saat pembelajaran khususnya bahasa Indonesia sangat berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari terutama jika dikaitkan dengan bahasa sebagai media penyampai informasi maupun gagasan. Bahasa Indonesia juga sangat erat kaitannya jika berhubungan dengan sastra karena merupakan cerminan kehidupan masyarakat dengan segala problema yang terjadi. Melalui hal ini juga siswa diajarkan untuk merumuskan masalah dan mencari jalan penyelesaiannya sebagai bekal untuk menjalani kehidupan di masyarakat. Contoh pembelajaran sastra yang ada misalnya pembelajaran puisi, pembelajaran cerita pendek, dan pembelajaran drama. Hal-hal yang terdapat di dalam puisi, cerita pendek, maupun drama tentu saja akan sangat berkaitan dengan kehidupan. Hal tersebut dapat terjadi mengingat sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat maupun pengarangnya dengan bahasa sebagai media pengantarnya.

(25)

Berdasarkan uraian di atas dapat disintesiskan bahwa yang dimaksud dengan pendekatan kontekstual merupakan sebuah kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru guna memotivasi dan menghubungkan antara materi pembelajaran dengan konteks kehidupan peserta didik yang dapat menumbuhkan pengetahuan baru dari pengalaman yang telah ada pada peserta didik serta dapat menumbuhkan sikap berpikir kritis dan analisis dari proses menemukan (inquiry).

2) Komponen Pendekatan Kontekstual

Komponen pendekatan kontekstual menurut Riyanto (2010: 169-177) terbagi dalam tujuh bagian, yaitu: konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Komponen pendekatan kontekstual lebih lanjut dapat dilihat pada penjabaran di bawah ini:

a) Konstruktivisme (Constructivism)

Andayani (2015: 224) mengungkapkan bahwa konstruktivisme merupakan pengetahuan peserta didik yang dibangun secara bertahap dan hasil yang diperoleh melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan yang diperoleh tidak hanya seperangkat fakta, konsep, kaidah belaka namun peserta didik juga harus merekonstruksi sendiri pengetahuan tersebut untuk kemudian memberi makna melalui pengalaman yang nyata. Guru memunculkan dan menilai seberapa luas pengetahuan peserta didik tentang materi pembelajaran yang akan disampaikan. Setelah melakukan kegiatan tersebut, guru kemudian mengarahkan peserta didik untuk menghubungkan pengetahuan yang mereka miliki dalam kehidupan nyata atau yang pernah peserta didik alami sendiri.

Uraian di atas menghasilkan suatu sintesis konstruktivisme (constructivism) merupakan upaya memunculkan dan merekonstruksi beberapa pengetahuan yang telah dimiliki siswa untuk kemudian dihubungkan dengan pengalaman nyata.

b) Menemukan (Inquiry)

Menemukan (inquiry) dengan kata kunci menemukan sendiri, merupakan kegiatan inti dari pembelajaran berbasis kontekstual. Menemukan dalam arti

(26)

melakukan penelitian secara sederhana maupun secara kompleks yang dilakukan peserta didik akan menumbuhkan sifat keilmuan yang tinggi terlebih dalam masalah-masalah yang perlu pemecahan. Peran guru ialah membantu, membimbing, dan memantau siswa dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.

Siklus kegiatan menemukan (inquiry) menurut Riyanto (2010: 171) terbagi atas 5 poin utama yaitu observation, questioning, hypotheses, data gathering, dan conclusion. Observation berhubungan dengan kegiatan mengamati, kegiatan tersebut merujuk pada melihat dan mengamati masalah yang ada dan perlu untuk dicarikan solusi penyelesaian. Questioning merujuk pada kegiatan bertanya, bertanya dalam hal merumuskan hal-hal apa yang perlu dicarikan solusi penyelesaian masalah. Hypotheses berkaitan dengan dugaan sementara, peserta didik akan menduga suatu penyelesaian masalah dengan teori maupun pengetahuan yang dimiliki. Data gathering berhubungan dengan pemerolehan data, dalam tahap ini akan dilihat keberhasilan atau ketepatan dari hipotesis yang telah dibuat. Conclusion sama artinya dengan kesimpulan, hasil akhir dari hal yang diamati sehingga membuahkan suatu keputusan dari penelitian.

Berdasarkan paparan di atas dapat disintesiskan bahwa yang dimaksud dengan menemukan (inquiry) ialah kegiatan mengumpulkan informasi yang dilakukan oleh siswa secara kritis dan analitis menggunakan beberapa tahap seperti observasi, merumuskan pertanyaan, membuat hipotesis, mengumpulkan data, dan membuat simpulan.

c) Bertanya (Questioning)

Bertanya dalam pembelajaran kontekstual menurut Suprijono (2013: 87) merupakan suatu kegiatan siswa untuk menggali informasi, mengonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Kegiatan bertanya diketahui sebagai aspek yang membimbing siswa untuk mendapatkan informasi maksimal dari apa yang dipelajari dengan terus menggali informasi yang dibutuhkan. Melalui berbagai kegiatan bertanya, siswa akan lebih yakin dengan apa yang telah didapat maupun di pelajari. Artinya kegiatan bertanya juga berfungsi sebagai penegasan dalam kegiatan belajar. Selain

(27)

itu, kegiatan bertanya akan menjadi indikator bagi siswa mengenai aspek-aspek dalam pembelajaran yang belum ia ketahui dari kesimpulan yang didapat pada hasil jawaban. Artinya, kegiatan bertanya menjadi pondasi dari interaksi belajar mengajar yang ideal.

Ketika kegiatan bertanya dijadikan pondasi dalam keiatan belajar mengajar, artinya kegiatan tersebut harus diseimbangkan antara kegiatan bertanya yang dilakukan oleh guru maupun oleh murid. Bertanya dalam sudut pandang guru merupakan kegiatan untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Seyogyanya, guru harus dapat mengarahkan pembelajaran dengan memperhatikan dua hal tersebut guna menyeimbangkan proses pembelajaran tidak hanya guru sebagai penanya namun juga siswa sebagai penanya. Guru mengarahkan siswa yang belum bertanya untuk menggali hal yang sekiranya belum mereka ketahui dengan kegiatan yang inovatif dan menyenangkan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disintesiskan bahwa yang dimaksud dengan bertanya (questioning) merupakan kegiatan siswa menggali informasi, mengonfirmasi apa yang diketahui, dan mengarahkan pada aspek yang belum diketahui dengan dibantu dan diarahkan oleh guru agar sesuai dengan konteks pembelajaran.

d) Mayarakat Belajar (Learning Community)

Konsep masyarakat belajar menurut Muslich (2008: 46) menyarankan bahwa hasil belajar sebaiknya diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Hal tersebut dapat merujuk pada kegiatan sharing maupun diskusi antarteman, antarkelompok, dan antara yang tahu kepada yang tidak tahu, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Kegiatan sharing dan diskusi tidak hanya antarteman dalam satu kelompok namun juga antarkelompok menumbuhkan sifat luwes dalam pergaulan. Hal ini akan menunjukkan bahwa dalam mencari ilmu tidak ada sekat pembatas antara satu kelompok dan kelompok lainnya. Antarkelompok dapat saling berdiskusi sehingga mendapatkan suatu kesimpulan bersama yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu pemahaman bersama tentang pokok permasalahan yang ada.

(28)

Berdasarkan paparan di atas dapat disintesiskan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat belajar (learning community) adalah kegiatan belajar bersama yang dilakukan siswa antarkelompok maupun antarindividu untuk saling berdiskusi dan memecahkan permasalahan yang pada akhirnya akan menimbulkan pemahaman bersama mengenai masalah yang dihadapi.

e) Pemodelan (Modelling)

Maksud dari pemodelan menurut Andayani (2015: 228) adalah pembelajaran dilakukan dengan menampilkan model yang dapat dilihat, dirasa, dan bahkan ditiru siswa. Model dalam arti ini merujuk pada objek yang dapat diamati dan dijadikan sesuatu untuk dilihat sampai dengan ditiru. Merujuk pada objek yang dapat dilihat atau diamati, siswa di dalam kegiatan pembelajaran akan mengetahui secara lebih realistis apa yang ia dapatkan pada teori pembelajaran yang disampaikan guru. Selanjutnya, hasil pengamatan yang telah dimodelkan tersebut akan menjadi otoritas siswa apakah model yang ia lihat hanya sebatas diketahui, ditiru secara total, atau ditiru dengan beberapa modifikasi.

Ditambahkan oleh Andayani bahwa guru bukan satu-satunya model. Guru dapat menunjuk siswa yang dianggap mampu atau mendatangkan para pakar agar dapat mendemonstrasikan kompetensinya di dalam kelas. Kegiatan menjadikan guru sebagai satu-satunya model akan menjadikan kegiatan belajar terkesan monoton dan tidak menarik bagi siswa. Siswa akan lebih bersemangat dan berusaha melakukan yang terbaik apabila ia juga dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran. Sementara itu, jika guru memiliki kenalan atau relasi dalam upaya menampilkan para ahli pada sebuah kegiatan pembelajaran maka akan semakin baik pula hasil yang didapatkan. Siswa akan lebih antusias dalam mengikuti pembelajaran karena mendapat materi dari seseorang yang memang ahli pada suatu kompetensi. Kualitas materi yang diterima oleh siswa nantinya juga akan semakin baik dengan adanya dua hal tersebut.

Berdasarkan paparan di atas dapat disintesiskan bahwa yang dimaksud dengan pemodelan (modelling) merupakan usaha untuk belajar dengan menggunakan media

(29)

yang dapat dilihat, dirasa, diraba, maupun didengar sebagai upaya untuk memaksimalkan pengetahuan yang dimiliki siswa.

f) Refleksi (Reflection)

Refleksi merupakan bagian penting dari akhir setiap kegiatan pembelajaran. Kegiatan ini digunakan untuk mengukur seberapa besar siswa menguasai materi yang telah diajarkan sebelumnya oleh guru maupun siswa itu sendiri. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Suprijono (2013: 87) yang menyatakan bahwa refleksi merupakan upaya untuk melihat, mengorganisir, menganalisis, mengklarifikasi kembali, dan mengevaluasi hal-hal yang telah dipelajari. Mengingat hal yang telah dipelajari akan membuat siswa semakin mendalami lagi hal yang telah ia dapatkan walaupun dalam taraf yang lebih singkat. Kegiatan itu akan memunculkan kembali materi yang ada secara sepintas dan semakin meningkatkan pemahaman maupun ingatan siswa.

Dari hasil uraian di atas dapat disintesiskan bahwa yang dimaksud refleksi (reflection) ialah suatu upaya untuk mengingat kembali hal-hal yang telah dilakukan saat pembelajaran guna pendalaman kembali materi yang telah didapat siswa. Berdasarkan hasil uraian di atas, komponen pendekatan kontekstual disintesiskan ke dalam beberapa hal yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection).

3) Kelebihan Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontekstual menurut menurut Suryani dan Agung (2012: 77) memiliki beberapa kelebihan antara lain: (1) menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan pembelajaran, (2) membangkitkan motivasi siswa untuk belajar, (3) merangsag keinginan siswa terhadap sesuatu, (4) memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan, dan (5) membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu. Beberapa kelebihan tersebut didapat akibat beberapa unsur yang melekat pada pendekatan kontekstual. Menghubungkan konteks lingkungan masyarakat atau pengalaman siswa

(30)

dengan isi pembelajaran akan membangkitkan minat dan motivasi belajar siswa. Hal tersebut terjadi karena siswa menyadari bahwa apa yang ia pelajari tidak akan sia-sia begitu saja namun dapat dimanfaatkan pada kehidupan bermasyarakat. Kemampuan dalam menggali informasi tentang kemampuan siswa didapat oleh guru dari kegiatan tanya jawab yang dilakukan oleh guru maupun oleh siswa. Siswa juga akan lebih telatih dalam menemukan atau menyimpulkan sesuatu dari apa yang ia pelajari dan cermati dengan mengandalkan unsur inquiry yang ada pada pendekatan kontekstual. Tentu saja hal tersebut akan mengembangkan sikap mandiri siswa karena dituntut untuk menemukan informasi yang dibutuhkan secara mandiri. Hal ini berkebalikan dengan pengajaran konvensional yang menunjukkan bahwa guru sebagai sumber informasi utama. Diharapkan dengan adanya keunggulan pada pendekatan kontekstual akan menumbuhkan sikap keilmuan pada siswa namun juga tetap berlandaskan sikap sosial bermasyarakat baik secara mandiri maupun bekerja sama.

Berdasarkan uraian di atas dapat disintesiskan bahwa kelebihan pendekatan kontekstual ialah membuat siswa menjadi lebih teliti dan meningkatkan kemandirian siswa serta melatih siswa menghubungkan pengetahuan yang dimiliki dengan hal-hal yang ada di masyarakat.

4) Kekurangan Pendekatan Kontekstual

Kekurangan pendekatan kontekstual khusunya pada metode mengajar inquiry ditunjukkan oleh Majid (2013: 227) antara lain: (1) jika digunakan sebagai metode mengajar akan sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa, (2) metode ini sulit dalam perencanaan pembelajaran karena terbentur dengan kebiasaan siswa dalam belajar, (3) kadang-kadang dalam mengimplementasikannya, memerlukan waktu yang panjang sehingga sering guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan, dan (4) selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa menguasai materi pelajaran, metode mengajar ini akan sulit diimplementasikan oleh setiap guru. Kekurangan tersebut bukan mustahil sebenarnya untuk dipahami dan dicarikan alternatif pada setiap pemecahan masalah yang ada. Metode ini akan dianggap berhasil apabila dapat secara efektif terbukti meningkatkan hasil belajar siswa atau lebih baik dari metode

(31)

mengajar lain dalam suatu kompetensi pembelajaran pada beberapa penelitian yang ada. Sementara perencanaan pembelajaran akan ditentukan dari beberapa pendapat ahli untuk kemudian diimplementasikan di dalam maupun diluar sekolah (PR) pada siswa. Sementara itu, keberhasilan siswa dalam metode mengajar akan dilihat pada hasil tes yang diperoleh oleh siswa di akhir pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas dapat disintesiskan bahwa kekurangan pendekatan kontekstual ialah cukup sulit bagi guru untuk mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa dalam pembelajaran dikarenakan harus menyesuaikan dengan waktu belajar siswa di dalam dan luar kelas.

5) Metode Mengajar Menemukan (Inquiry)

Metode mengajar menemukan (inquiry) merupakan metode mengajar yang berpusat pada kemampuan siswa dalam mengeluarkan kemampuan berpikir yang kritis dan analitis sebagai usaha memecahkan masalah yang ada. Schlenker dalam Joyce, Weil, dan Calhoun (2000: 176) pada laporan penelitiannya mengemukakan bahwa metode mengajar menemukan (inquiry) dapat menambah pemahaman berpikir ilmiah, produktivitas dalam berpikir kreatif, serta kemampuan dalam mengumpulkan maupun menganalisa informasi. Berpikir ilmiah, berpikir kreatif, serta kemampuan mengumpulkan dan menganalisa informasi sangat diperlukan guna menganalisa suatu masalah dan mencari beberapa alternatif pemecahan masalah. Metode mengajar menemukan (inquiry) diharapkan dapat menjadi bekal bagi siswa dalam menyelesaikan semua masalah yang dihadapi pada materi pembelajaran lain ataupun ketika terjun ke masyarakat.

Metode mengajar inquiry selanjutnya diungkapkan oleh Majid (2013: 221-222) yang menyatakan bahwa metode mengajar inquiry menekankan pada proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran oleh siswa. Hal tersebut menggantikan fungsi utama guru sebagai penyampai informasi dalam materi pelajaran yang utama menjadi fasilitator dan pembimbing siswa untuk belajar. Terkadang siswa salah dalam memahami informasi yang ia dapatkan, maka di sana peran guru dalam meluruskan pemahaman yang didapat oleh siswa. Pada akahirnya hal tersebut akan menjadikan kelas sebagai wahana tanya jawab sebagai indikator pembelajaran yang dinamis dan aktif.

Gambar

Tabel 1. Tabel Penilaian Kemampuan Menulis Cerita Pendek
Tabel 2. Perbandingan langkah-langkah Metode Mengajar Inquiry dan Two Stay  Two Stray
Gambar 1. Alur Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Pajak Daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah (Suandy, 2011). Menurut

Berdasarkan uji t tersebut kontribusi minat belajar terhadap hasil belajar matematika siswa diperoleh hasil perhitungan

Keberterimaan bahan ajar menggali informasi dari teks narasi sejarah untuk menanamkan karakter bagi peserta didik kelas V SD diketahui dari beberapa hasil angket,

adalah teman sekelas atau teman sebangku yang usianya relatif sama, dan siswa yang kurang paham bisa bertanya langsung kepada teman sebangkunya (tutor yang di

• Bongkar besar dilakukan dengan membersihkan seluruh ruangan mulai dari lantai, dinding, plafon, kaca dan peralatan yang dipergunakan dengan mengunakan bahan kimia

Bedasarkan penilaian tingkat kesehatan yang telah ditentukan oleh Bank Indonesia PT BPR Dana Utama berasa pada kriteria “Tidak Sehat” dan rasio NPL yang

Ini adalah port 0 yang merupakan saluran/bus I/O 8 bit open collector, dapat juga digunakan sebagai multipleks bus alamat rendah dan bus data selama adanya akses ke memori program

Sedangkan data (10) kalimat di atas dapat dikategorikan sebagai pararelisme sebab gagasan yang ingin disampaikan dibungkus dengan pola yang mirip, yang mana memakai