• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fikih Muamalah Kontemporer by Asep Supyadillah &Rini Fatma Kartika, Mei 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Fikih Muamalah Kontemporer by Asep Supyadillah &Rini Fatma Kartika, Mei 2012"

Copied!
283
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

RUANG LINGKUP MU’AMALAH 1. Pendahuluan

Islam adalah ajaran terakhir yang diwahyukan Allah Swt kepada Nabi Muhammad SAW. Substansi ajarannya benar-benar memiliki dinamika sangat tinggi, karena mampu menampung segala macam persoalan baru yang timbul seiring dengan perkembangan sosial-masyarakat. Kemampuan ajaran Islam menjawab segala persoalan masyarakat tersebut di samping didukung landasan doktrinal sebagai ajaran yang bersifat universal

untuk seluruh umat manusia (QS. Saba/34:28; al-Anbiya/21:107),1

Adanya karakteristik ajaran Islam tersebut, secara historis umat Islam telah membuktikan relevansi dan dinamika ajaran/hukum Islam. Tantangan-tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan sosial dalam perkembangan sejarah umat Islam telah mulai sejak Rasulullah Saw wafat, meskipun dalam bentuk yang berbeda dan tidak sekompleks sekarang. Berbagai bentuk tantangan itu ternyata semuanya dapat dijawab oleh hukum Islam.

juga karakteristik dari sistem ajarannya itu sendiri yang menjaga “keharmonisan” tatanan kehidupan baik secara vertikal antara manusia dengan Allah SWT maupun secara horizontal antara sesama manusia dan makhluk sekitarnya.

2

Kebanyakan ahli fiqih telah menetapkan, terjawabnya dinamika perubahan sosial masyarakat tersebut, karena adanya kaidah yang terkandung dalam mu’amah menjadikan segala sesuatu itu sangat fleksibel. Substansi kaidah tersebut yaitu bahwa hukum asal segala sesuatu dalam bidang material dan hubungan antara sesama manusia (mu'amalah)

adalah boleh, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu terlarang.3

Oleh karenanya, pembahasan bidang mu’amalah menjadi bagian penting yang perlu diketahui dan hal itu menunjukkan dinamika masyarakat. Namun perlu ditegaskan bahwa pemahaman cakupan mu’amalah juga mengalami perkembangan. Apabila pada masa Kaidah ini berlawanan dengan kaidah hukum dalam bidang ibadah. Dalam bidang yang disebut terakhir ini, terdapat kaidah bahwa ibadah tidak dapat dilakukan kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu perbuatan itu telah diperintahkan oleh Allah dan atau dicontohkan oleh Rasul.

1

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita

gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS.Saba/34:28). Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya/21:107).

2

Satria Effendi M. Zein, Pengantar, dalam Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani Relevansunya bagi Pembaharuan

(2)

klasik mu’amalah digunakan untuk segala sesuatu hubungan antara sesama manusia (hablu min an-nas), termasuk perkawinan, kewarisan, budaya, politik, ekonomi, namun dalam pengertian fiqih mu’amalah kontemporer sudah mempunyai arti khusus dan lebih sempit apabila dibandingkan dengan muamalah yang dikelompokkan oleh ulama klasik (ibadah dan mu’amalah). Fiqih muamalah kontemporer lebih menekankan pada peraturan yang menyangkut hubungan kebendaan atau yang biasa disebut dikalangan ahli hukum positif dengan nama hukum privat (al-qanun al-madani).

2. Pengertian Fikih Mu’amalah

Fikih muamalah (al-fiqh al-mu’amalah) terdiri dari dua kata, yaitu fiqih dan mu’amalah. Berikut penjelasan dari masing-masing kata tersebut.

a. Fikih

Secara bahasa kata fikih (al-fiqh) berarti pengetahuan, pengertian, dan pemahaman (tentang sesuatu). Kata tersebut juga berarti “mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik”.3 F

4

Secara terminologi, fikih menurut ahli Ushul Fikih adalah sebagai berikut:4F

5

Pengetahuan tentang hukum-hukum syara' yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang dikaji dari dalil-dalilnya secara terperinci.

Ilmu tentang seperangkat hukum syara' yang bersifat cabang ( furu'iyah) yang didapatkan melalui penalaran dan pengambilan dalil.

Dari definisi di atas hakikat fikih dapat dipahami dari unsur-unsurnya yaitu:

1) Fikih adalah ilmu tentang hukum syara’. Yaitu ketentuan atau ketetapan Allah yang mengatur amal perbuatan manusia baik berupa perintah, larangan, anjuran (iqtidha), pilihan (takhyir), maupun ketentuan sebab-akibat (al-wadh’i).

2) Fikih membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang bersifat praktis dan cabang (‘amaliyah furu’iyyah). Oleh karenanya ketentuan-ketentuan mengenai keyakinan (aqidah) seperti keesaan Allah, keyakinan terhadap nabi dan

3

Lihat al-Suyuthi, al-Asybâh wa al-Nazhâir, (t.t.: Maktab Nur Asiya, t.th.), h. 43-44. 4

Abu al-Hasan Ahmad Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1970, Jilid II, h. 442.

5

Lihat Muh. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar Fikr Arabi, 1958, h. 56; Saifuddin Amidi, Ihkam fi Ushul

(3)

risalahnya, serta keyakinan akan hari kiamat, kesemuanya tidak termasuk dalam kajian fikih.

3) Pengetahuan tentang hukum syara’ didasarkan pada dalil-dalil yang terinci (tafsili), yakni Al-Quran dan Hadis. Misalnya memakan harta benda orang lain dengan cara tidak sah adalah haram berdasarkan dalil Al-Quran yang menegaskan “dan janganlah kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil” (QS.2:188).

4) Fikih digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal mujtahid.

Berdasarkan unsur-unsur hakikat fikih tersebut, dapat diambil pengertian bahwa pembahasan fikih itu bukanlah mengenai hukum syara’ itu sendiri, tetapi interpretasi terhadap hukum syara’. Mengingat hukum syara’ itu sendiri secara substansi sudah ada dalam ketetapan Tuhan (given) dan bersifat pasti (qath’i). Fikih sifatnya hanya merupakan interpretasi yang bersifat dhanni yang terikat dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya, sehingga fikih senantiasa berubah seiring dangan perubahan waktu dan tempat. Secara ringkas fikih adalah dugaan kuat yang dicapai oleh seorang mujtahid dalam

usahanya menemukan hukum Tuhan.6

Agar proses penemuan hukum Tuhan berkaitan dengan perbuatan manusia (mukallaf) tersebut dilakukan dengan benar, maka ahli fikih (faqih, fuqaha) perlu mendasarkan prosesnya tersebut pada suatu metodologi atau cara yang juga benar, yang secara keilmuan

sering disebut dengan ushul fikih.6F

7

Secara terminologi ushul fikih adalah sebagai berikut:

Kaidah-kaidah yang digunakan seorang mujtahid untuk menyimpulkan hukum fikih dari satu persatu dalilnya.

Pengetahuan tentang dalil-dalil fikih secara global, cara mengistimbatkan (menarik) hukum dari dalil-dalil itu, dan hal-ihwal pelaku istinbat.

Dengan motodologi ini, ahli fikih akan menemukan sifat-sifat esensial dari dalil-dalil syara’ dan sifat-sifat esensial tersebut dirumuskan dalam bentuk dalil-dalil atau kaidah-kaidah secara global, yang kemudian diwujudkannya dalam penemuan satu persatu dalil

dalam Al-Quran dan Sunnah berkaitan dengan perbuatan mukallaf.7F

8

Pada akhirnya

6

Amir Syarifuddin, op.cit., h. 16. 7

Muh. Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Arabi, 1958, h. 56; Saifuddin al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Kairo: Muassasah al-Halabi, 967, Jilid I, h. 8

8

Hal ini secara akademik untuk membedakan objek pembahasan fikih dengan ushul fikih. Namun dalam tatanan praktik hal ini tidak tampak kelihatan karena menjadi satu kesatuan dalam pemahaman seorang mujtahid.

(4)

pemahaman terhadap metodologi ini menjadi bagian sangat penting karena dengannya akan mengetahui dalil-dalil metode penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatarbelakangi dalil-dalil tersebut.

b. Mu’amalah

Secara etimologi, kata mu’amalat ( ) adalah bentuk jamak dari kata mu’amalah

( ), merupakan bentuk masdar dari kata ’amala, yu’amilu, mu’amalatan yang secara

bahasa (Arab) sama dan semakna dengan mufa’alah berasal dari kata fa’ala, yufa’ilu, mufa’alatan, yang artinya saling berbuat, saling bertindak, dan saling beramal atau juga berarti kegiatan atau pekerjaan. Kata ini menggambarkan suatu kegiatan atau aktivitas

yang dilakukan oleh seseorang atau lebih dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.8F

9

Secara terminologi, para ulama memberikan definisi yang beragam terhadap pengertian mu’amalah yang sekaligus juga sebagai pengertian fikih mu’amalah. Sebagian ulama mendefinisikan fikih mu’amalah dalam arti luas, dan sebagian lain mendefinisikan mu’amalah dalam artian terbatas.

Dalam arti luas, fikih mu’amalat didefinisikan antara lain sebagai berikut: “Hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan “Hukum-hukum manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan”9F

10

. Pengertian yang hampir sama juga dikemukakan oleh Yusuf Musa, bahwa mu’amalah adalah ”Aturan-aturan Allah yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan”. Definisi lain dari mu’amalah yaitu ”kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat”.

Dari beberapa definisi di atas, dapat diketahui bahwa fikih muamalat adalah aturan-aturan (hukum) Allah SWT yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakat. Dari definisi di atas juga tergambar bahwa lingkup pembahasan hukum/fikih mu’amalah sangatlah luas, seluas persoalan manusia dalam kehidupan dunia ini. Oleh karenanya, cakupan fikih muamalah dalam artian luas bisa meliputi masalah nikah, talak, jual beli, perjanjian, bisnis, peradilan, kesaksian dan hal-hal yang berhubungan dengan peradilan dan sengketa, kejahatan dan sanksinya, hibah, wakaf dan yang semacamnya, kewarisan dan lain sebagainya.

9

Abdussattar Fathullah Sa’id, al-Mu’amalat fi Al-Islam, (Makkah: Rabithah al-‘Alam al-Islami, Idarah Kitab al-Islami, 1402 H.), hal. 12; Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Lisan al-‘Arab, t.th.), jilid 2, h. 887.

10

(5)

Dalam artian sempit, fikih muamalat didefinisikan oleh para ahli hanya menyangkut dengan persoalan jual beli (al-buyu’) semata. Hal ini antara lain dikemukakan oleh Al-Bakri, salah seorang ahli hukum dari kalangan mazhab Syafii, dengan jelas menyebut

Kitab tentang jual beli (Kitab al-Buyu) adalah mu’amalah.11 Bahkan Rasyid Ridha,

mendefinisikan muamalah sebagai tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat

dengan cara-cara yang telah ditentukan12

Namun di samping pengertian yang luas dan sempit di atas, dikalangan para ahli fikih kontemporer juga ada yang mendefinsikan fikih mumalah dalam artian tidak hanya masalah jual beli, namun juga tidak mencakup persoalan-persoalan nikah dan lainnya sebagaimana pengertian yang luas, tetapi lebih menekankan bahwa fikih muamalah mencakup semua bidang hukum yang mengatur hubungan antar manusia yang berkaitan dengan harta benda (al-mal). Pengertian terakhir ini antara lain dikemukakan oleh Muhammad Utsman Syubair, sebagai berikut “Mu’amalah adalah hukum syar’i yang mengatur hubungan hukum manusia di bidang harta benda, seperti jual beli, sewa menyewa, wakaf, hibah, rahn, hiwalah (pengalihan hutang) dan sebagainya”.

13

Pendapat inilah yang pada umumnya didukung oleh mayoritas ulama termasuk didalamnya

Al-Zarqa’.14

Dalam mu’amalah dibicarakan pengertian benda dan macam-macamnya, hubungan manusia dengan benda dan macam-macamnya, hubungan manusia dengan benda yang menyangkut hak milik, pencabutan hak milik perikatan-perikatan tertentu, seperti jual beli,

utang-piutang, sewa menyewa, dan sebagainya.15

3. Hubungan Fikih Mu’amalah Dengan Syariah Islam

Pengertian terakhir inilah yang akan menjadi pembahasan dari buku ini.

a. Syariah

Secara bahasa, dalam bahasa Arab, kata syari’ah berasal dari akar kata syara'a, yang memiliki banyak arti, yaitu jalan, cara, dan aturan. Kata tersebut juga diartikan sebagai

"jalan ke tempat keluarnya air untuk minum".16

11

Al-Bakri, I’anatu Ath-Thalibin , (Kairo : Isa Al-Halabi), I, hal. 21 dan III, hal. 2. 12

Rahmat Syafe’i , Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Sedia, 2001, h. 16. 13

Muhammad Utsman Syubair, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah fi al-Fiqh al-Islami, (Yordan: Dar al-Nafa’is, 1996), h.10.

14

Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhy al-‘Amm al-Fiqh al-Islami fi Tsubih al-Jadi, (Damsyiq: Mathabi’ Alif Ba’ al-Adib, 1968), jilid 1, hal. 55.

15

Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Mu’amalah, Yogyakarta: UII Press, 2000, h.12. 16

Muhammad Faruq Nabhan, Al-Madkhal li al-Tasyri' al-Islami, Beirut: Dar al-Shadir, t.th, Jilid VIII, h. 10.

(6)

bangsa Arab sebagai jalan yang lurus yang harus diikuti,17 atau berarti sumber segala

kehidupan.18

Secara terminologi, menurut Mahmud Syaltut, syariah adalah sebagai berikut:18F

19

Artinya: Segala hukum dan aturan yang ditetapkan Allah SWT bagi hamba-Nya untuk diikuti, yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, hubungan antara manusia dengan manusia, dan hubungan antara manusia dengan lingkungan dan kehidupannya."

Sementara itu, menurut Manna' al-Qathan, syariah berarti "segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambaNya, baik menyangkut aqidah, ibadah, akhlak maupun mu'amalah".19F

20

Berdasarkan pengertian dari para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Syariah merupakan suatu sistem aturan yang didasarkan pada ajaran Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnah)-nya, yang mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia, baik menyangkut hubungan manusia dengan Allah maupun hubungan manusia dengan manusia dan alam lingkungannya.

Dari definisi di atas juga dapat dipahami bahwa syariah itu identik dengan agama. Hal ini sejalan dengan firman Allah pada surat Maidah/5: 48, Syura/42:13, dan al-Jatsiyah/45:18, sebagai berikut:

Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah dating kepadamu. UUntuk setiap umat di antara kamu, kami berikan aturan (syir’atan) dan jalan yang terang.U Kalaulah Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu,

17

Manna' al-Qathan, al-Tasyri' wa al-Fiqh fi al-Islam, t.tp: Muassasahal-Risalah, t.th, h. 14. 18

Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, Bandung: Pustaka, 1987, h. 107. 19

Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syariah, Beirut : Dar al-Fikr, tth, h. 15 20

(7)

maka berlombal;ah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepada terhadap apa yang kamu dahulu perselisihkan (QS.Al-Maidah/5:48).

Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama (syara’a lakum minaddin) yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya…. (QS.al-Syura/42:13).

Kemudian kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui (QS.al-Jatsiyah/45:18).

Walaupun syariah pada mulanya diartikan dengan agama, tetapi kemudian ia dikhususkan untuk hukum ‘amaliyah, yaitu menyangkut aktivitas manusia secara praktis (tidak termasuk keimanan dan akidah). Pengkhususan itu untuk membedakan antara agama dengan syari’ah, karena pada hakikatnya agama itu satu dan berlaku secara universal.

Sedangkan syari’ah berbeda antara satu umat dengan umat lainnya.21

Sebagai suatu sistem aturan, syariah memiliki karakteristik khusus yang menjadi landasan manusia dalam berperilaku kehidupan di dunia. Karakteristik tersebut, di antaranya, adalah al-syumul (menyeluruh), al-tawazun (seimbang), dan tsabat wa tathawwur (tetap dan luwes).

Dalam perkembangan selanjutnya kata syari’ah tertuju atau digunakan untuk menunjukkan hukum-hukum Islam, baik yang ditetapkan langsung oleh Al-Quran dan Sunnah, maupun yang telah dicampuri oleh pemikiran manusia (ijtihad).

22

21

Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1990, h.14. 22

Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalist, Lahore: Islamic Publication Ltd., 1980, h. 277-278; Anwar Haryono, Hukum Islam, Keleluasaan dan Keadilannya, Jakarta: Bulan Bintang, tth, h. 113; dan Hasbi Ash-Shiddieqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1975, h. 27.

(8)

b. Hubungan Syariah dengan fikih

Syariah sebagai hukum Allah diturunkan di muka bumi dengan tujuan menegakkan kemaslahatan, kedamaian, dan kebahagiaan umat manusia. Syari’ah ada yang diterangkan secara eksplisit (secara jelas) dalam Al-Quran dan ada pula yang bersifat implisit. Hukum Allah yang dituangkan dalam Al-Quran secara eksplisit itu pun masih terbagi dalam dua bagian, yaitu muhkam (terang) dan mutasyabih (samar). Hukum-hukum yang terkandung dalam ayat-ayat mutasyabih yang ditemui umat Islam pada masa Nabi Muhammad telah dijelaskan melalui sunnah-sunnahnya dengan sempurna, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat yang beliau tampilkan. Umat Islam harus tunduk pada ketentuan-ketentuan Al-Quran dan sunnah tersebut. Namun demikian, penjelasan-penjelasan Rasul kala itu terikat oleh dimensi-dimensi kultural, situasi, kondisi, waktu, dan tempat, sehingga penjelasan Rasul saw tersebut mesti dilanjutkan melalui pengkajian-pengkajian dan penelitian-penelitian ijtihadi. Produk-produk ijtihadi itulah yang disebut dengan fikih.

Dengan demikian istilah syariah mempunyai arti yang lebih luas dan lebih umum, sedangkan istilah fikih dipakai oleh para ahli fikih (fuqaha) sebagai ketentuan-ketentuan atau hukum terapan yang bersifat penjabaran atau pelaksanaan syariah. Sedangkan mu’malah lebih spesifik lagi yaitu ketentuan-ketentuan syariah berkaitan dengan perbuatan manusia dalam kegiatan ekonomi yang antara lain mencakup harta, kepemilikan dan proses-proses transaksi serta pendayagunaan harta tersebut.

4. Konsep Maqashid Al-Syariah Dalam Mu’amalah

Dari segi bahasa maqashid al-syari’at berarti maksud atau tujuan disyariatkan hukum Islam. Suatu hukum ditetapkan karena ia mempunyai maksud dan tujuan. Hukum Islam sering dikategorikan mengacu pada pandangan hukum yang bersifat teleologis. Artinya hukum Islam itu diciptakan karena ia mempunyai maksud dan tujuan.

Secara umum tujuan dari adanya hukum Islam adalah terciptanya kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) dan kedamaian di dunia dan kebahagiaan di akhirat (hasah fiddunya wal akhirah). Tujuan tersebut merupakan manifestasi dari sifat Maha Pengasih (rahman) dan Maha Penyayang (rahim) Allah kepada semua makhluk-Nya. Oleh

karenanya, Rahmatan lil’alamin merupakan inti syariah atau hukum Islam.23

23

Kajian tentang tujuan ditetapkannya suatu hukum dalam Islam merupakan kajian dalam bidang ushul fiqh. Bahasan utama didalamnya adalah mengenai masalah hikmat dan ilat ditetapkannya suatu hukum. Dalam perkembangan berikutnya, kajian ini merupakan kajian utama dalam filsafat hukum Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa istilah

maqashid al-syariah identik dengan filsafat hukum Islam. Istilah yang disebut terakhir ini melibatkan

(9)

Tujuan hukum dari suatu kewajiban biasanya tidaklah berdiri sendiri dan langsung dipahami dari sumber hukum, tetapi harus dikaji dan dielaborasi oleh mujtahid sesuai dengan zamannya. Maka dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam, peran mujtahid dalam berbagai disiplin ilmu dapat memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Quran dan Hadis.

Sebagaimana disebutkan di atas, tujuan Allah SWT mensyariatkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat (

) baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif (pembebanan kewajiban), yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman terhadap sumber hukum yang utama, Al-Quran dan Hadis.

Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima pokok tersebut adalah terpeliharanya agama (Hifdz al-Din), terpelihara jiwa (Hifdz al-Nafs), terpelihara keturunan (Hifdz al-Nasl), terpelihara akal (Hifdz al-Aql) dan terpelihara harta/kekayaan (Hifdz al-Maal). Seorang mukallaf akan memperoleh kemasalahatan, manakala ia dapat memelihara kelima aspek pokok tersebut, sebaliknya ia akan merasakan adanya mafsadat, manakala ia tidak dapat memelihara kelima unsur dengan baik.

Para yuris kemudian mengembangkan konsep maqashid al-syariat ini menjadi suatu konsep aplikatif dengan ungkapan konsep mashlahah. Menurut Abu Hamid al-Ghazali dan

Abu Ishaq asy-Syatibi,23F

24

tujuan utama dari syariah adalah kemaslahatan (kesejahteraan) masyarakat secara keseluruhan.

Sementara itu Ibnu al- Qayyim al-Jauziyyat 24F

25

, menegaskan bahwa:

"Syariah berlandaskan kepada kebijakan dan kesejahteraan manusia di dunia hingga hari akhir nanti. Kesejahteraan yang dimaksud meliputi rasa keadilan, kasih sayang, kebaikan serta kebijaksanaan. Apapun yang bergeser dari keadilan ke penindasan, dari kasih sayang ke kebencian, dari kesejahteraan ke kesengsaraan dan dari kebijaksanaan ke kebodohan, tidak ada hubungannya dengan syariah".

Guna kepentingan menetapkan hukum, kelima unsur di atas dibedakan menjadi tiga peringkat, dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyyat. Pengelompokkan ini didasarkan pada

24

Untuk penjelasan yang panjang lebar tentang masalah maslahah ini lihat, Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, Kairo: Sayyid al-Husein, tth., h. 250; Abu Ishaq As-Syathibi, al-Muwafaqat fi ushul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, 1341H, h. 62-64 dan 70; Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy a Study of Abu Ishaq al-Syathibi Life

and Thought, New Delhi: International Publisher, 1989, h. 225-236. Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos, 1995, h. 35-47; dan Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos, 1997, h. 125-141.

(10)

tingkat kebutuhan dan skala prioritasnya. Urutan peringkat ini akan terlihat kepentingannya manakala kemaslahatan yang ada pada masing-masing peringkat satu sama lain bertentangan. Dalam hal ini peringkat daruriyyat menempati urutan pertama, disusul oleh hajiyat, kemudian disusul oleh tahsiniyyat. Namun disisi lain dapat dilihat bahwa peringkat ketiga melengkapi peringkat kedua, dan peringkat kedua melengkapi peringkat pertama.

Yang dimaksud memelihara kelompok daruriyyat adalah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan yang esensial itu adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, dalam batas jangan sampai eksistensi kelima pokok itu terancam. Tidak terpenuhinya atau tidak terpeliharanya kebutuhan-kebutuhan itu akan berakibat terancamnya eksistensi kelima pokok di atas. Misalnya firman Allah dalam mewajibkan jihad (QS Al-Baqarah/2:193) dan mewajibkan qishah (Al-Baqarah/2:179). Tujuan dari adanya jihad berperang sebagaimana terdapat dalam ayat tersebut adalah untuk melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi gangguan dalam mengajak umat manusia untuk menyembah Allah. Begitu juga dengan disyariatkannya qishash, memiliki tujuan agar ancaman terhadap kehidupan umat manusia dapat dihilangkan. Contoh lain berupa larangan untuk mencuri dan larangan untuk membunuh serta meminum khamar, memiliki tujuan untuk menjamin keselamatan atau terlindungi harta yang dimiliki seseorang, dan agar terpelihara jiwa serta kesehatan akal pikiran seseorang.

Berbeda dengan kelompok daruriyyat, kebutuhan dalam kelompok hajiyat, tidak termasuk kebutuhan yang esensial, melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak terpeliharanya kelompok ini tidak mengancam eksistensi kelima pokok di atas, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Dalam bidang mu’amalah misalnya disyariatkan banyaknya macam akad dan beberapa rukhshah dalam mu’amalah, bertujuan agar dalam aktivitas ekonomi manusia memiliki pilihan-pilihan dalam melakukan transaksi sehingga terjadi kemudahan.

Sedangkan kebutuhan dalam kelompok tahsiniyyat adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Tuhannya sesuai dengan kepatutan.

Pada hakikatnya, baik kelompok daruriyyat, hajiyyat, maupun tahsiniyyat dimaksudkan memelihara ataupun mewujudkan kelima pokok seperti yang disebutkan di atas. Hanya saja peringkat kepentingannya berbeda satu sama lain, dimana untuk yang

25

(11)

pertama bersifat primer, yang kedua sekunder dan ketiga komplementer. Sebagai contoh, untuk memelihara diri, keturunan, dan harta, aspek dharuriyatnya adalah memiliki tempat berteduh. Tempat berteduh merupakan aspek dharuriyat, menjelmanya menjadi rumah merupakan aspek hajiyat, dan keharusan memiliki surat ijin mendirikan bangunan (IMB) atau surat ijin memiliki rumah merupakan aspek tahsiniyat. Apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai memelihara kebutuhan dasar five basic need secara sempurna, maka ketiga tingkat masqhasid di atas tidak dapat dipisahkan. Tingkat hajiyat adalah menyempurnakan tingkat dharuriyat, dan tingkat tahsiniyat adalah menyempurnaan tingkat hajiyat.

Dengan demikian, maqashid syariah berusaha menjaga harmonisasi secara mantap, integral, dan berkesinambungan antara ke lima hal tersebut. Apa saja yang dapat memantapkan perlindungan kelima hal itu, merupakan kemaslahatan umum dan dikehendaki oleh masyarakat. Begitu pula kewajiban zakat sebagai suatu ketetapan hukum, memiliki tujuan dan hikmah sebagaimana tujuan dari suatu hukum ditetapkan yaitu dapat membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi umat manusia. Persoalannya adalah bagaimana tujuan dari suatu ketetapan hukum tersebut dapat tercermin dalam legal formalnya (fikih) membawa pada tujuan utama syariah tersebut. Maka pada dataran ini, peran mujtahid untuk mengungkap tujuan dan hikmah suatu ketetapan hukum akan sangat berperan.

5. Prinsip-Prinsip Mu’amalah

Prinsip dalam mu’amalah adalah setiap muslim bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya sepanjang tidak dilarang oleh Allah berdasarkan Al-Quran dan al-Sunnah. Untuk itu, dalam kegiatan muamalah yang perlu diketahui secara nyata bukanlah sesuatu apa yang dibolehkan karena pada prinsipnya semua boleh, tetapi yang lebih penting adalah mengetahui hal-hal yang dilarang atau diharamkan yang kemudian untuk dihindari dalam kegiatan muamalah tersebut. Pembahasan berikut ini merupakan uraian mengenai prinsip-prinsip muamalah secara umum dan hal-hal yang diperintahkan untuk dilakukan dalam bidang mu’amalah. Sedangkan hal-hal yang dilarang dalam kegiatan mu’amalah, akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.

a. Prinsip Umum Mu’amalah

Dalam fiqh mu’amalah, terdapat beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan yaitu: Pertama, kaidah fiqh (hukum Islam) yang menyatakan:

(12)

“Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya”

Ini mengandung arti bahwa hukum Islam memberi kesempatan luas bagi perkembangan bentuk dan macam mu’amalah baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat, termasuk di dalamnya kegiatan transaksi ekonomi di Lembaga Keuangan Syariah.

Dari prinsip di atas, menurut Jamal al-Din Athiyah, 26

1) Untuk menetapkan kebolehan suatu bentuk mu’amalah tidak diperlukan mencari dasar hukum syar’i-nya (Al-Qur’an dan as-Sunnah); karena hukum asalnya adalah boleh (mubah), bukan haram.

dapat dipahami bahwa:

2) Keterangan tekstual (nash) dalam Qur’an dan sunnah tentang mu’amalah tidak dimaksudkan sebagai pembatasan dalam menciptakan bentuk-bentuk mu’amalah baru yang tidak termuat dalam Qur’an dan sunnah.

3) Dalam menciptakan bentuk-bentuk mu’amalah baru, untuk menentukan hukum kebolehannya, tidak perlu dianalogkan dengan bentuk mu’amalah yang telah dijelaskan dalam nash.

4) Di samping itu, untuk menentukan kebolehan juga tidak perlu dianalogkan (ilhaq) dengan suatu pendapat hukum Islam hasil ijtihad, atau dengan beberapa bentuk mu’amalah yang telah ada dalam literatur hukum Islam, termasuk tidak diperlukan penggabungan beberapa pendapat (taufik).

5) Ketentuan satu-satunya yang harus diperhatikan dalam menentukan kebolehan mu’amalah baru adalah “tidak melanggar nash yang mengharamkan, baik nash Al-Qur’an maupun As-Sunah”.

6) Oleh karena itu, hal yang harus dilakukan ketika membuat sebuah mu’amalah baru adalah meneliti dan mencari nash-nash yang mengharamkannya, bukan nash yang membolehkannya.

Kedua, mu’amalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan

menghindarkan mudharat (jalb al-mashalih wa dar’u al-mafasid, )

atau sering disebut maslahah (kemaslahatan). Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa segala bentuk mu’amalah yang dapat merusak atau mengganggu kehidupan masyarakat tidak dibenarkan, seperti perjudian, penjualan narkotika, prostitusi dan sebagainya.

26

Jamal al-Din ‘Athiyyah, al-Bunuk al-Islamiyyah, Jurnal Kitab al-Ummah, (Qatar: Ri’asah al-Mahakim al-Syar’iyyah wa al-Syu’uni al-Diniyyah, 1407 H.), h. 125.

(13)

Hakekat kemaslahatan dalam Islam adalah segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi integral duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual dan kolektif. Sesuatu dipandang Islam bermaslahat jika memenuhi dua unsur yakni kepatuhan syariah (halal) dan bermanfaat serta membawa kebaikan (thayyib) bagi semua aspek secara integral yang tidak menimbulkan mudharat dan merugikan pada salah satu aspek. Secara luas, maslahat ditujukan pada pemenuhan visi kemaslahatan yang tercakup dalam maqasid (tujuan) syariah yang terdiri dari 5 unsur yaitu agama dien), keturunan (al-nasl), jiwa (al-nafs), harta.kekayaan (al-maal), dan akal pikiran (al-‘aql). Indikator maslahat yaitu mendatangkan manfaat berupa mensejahterakan, membahagiakan, menguntungkan, memudahkan dan meringankan, sedangkan indikator menghindarkan mudharat berupa menyengsarakan, menyusahkan, merugikan, menyulitkan, dan memberatkan.

Ketiga, mu’amalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keseimbangan (tawazun) dalam pembangunan.

Konsep keseimbangan dalam konsep syariah/mu’amalah Islam meliputi berbagai segi yang antara lain meliputi keseimbangan antara pembangunan material dan spiritual; pengembangan sektor keuangan dan sektor riil; dan pemanfaatan dan pelestarian sumber daya. Pembangunan ekonomi syariah tidak hanya ditujukan untuk pengembangan sektor korporasi namun juga pengembangan sektor usaha kecil dan mikro yang terkadang luput dari upaya-upaya pengembangan sektor ekonomi secara keseluruhan.

Keempat, mu’amalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan dan menghindari unsur-unsur kezaliman. Segala bentuk mu’amalah yang mengandung unsur penindasan tidak dibenarkan.

Keadilan adalah menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya. Implementasi keadilan dalam aktivitas ekonomi berupa aturan prinsip mu’amalah yang melarang adanya unsur Riba, Dzalim, Maysir, Gharar, obyek transaksi yang Haram.

b. Hal-hal yang diperintahkan untuk dilakukan

Beberapa prinsip mu’amalah yang diperintahkan antara lain: Objek perniagaan harus halal dan thayyib, didasarkan pada kerelaan (antaradhin), dan pengelolaan yang amanah. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing tersebut.

1) Objek Perniagaan Halal

Prinsip dalam mu’amalah adalah mesti halal dan bukan berbisnis barang-barang yang diharamkan oleh Islam. Islam memerintahkan pemeluknya untuk melaksanakan hal-hal

(14)

yang baik dan menghindari hal-hal yang dibenci Allah. Dalam perdagangan tidak dibenarkan memperjual-belikan atau melakukan tindakan haram. Umpamanya Islam melarang menjual minuman keras, najis, alat-alat perjudian, dan lain-lain. Sehubungan dengan itu, berinvestasi pada perusahaan-perusahaan yang mencampur baurkan barang halal dengan barang haram juga tidak dibenarkan oleh Islam. Investasi tidak halal yang dilakukan oleh suatu perusahaan berarti melakukan tolong-menolong dalam keburukan, sebaimana maksud firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2 :

”...Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan ketawaan dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggarn. Dan bertaqwalah kamu kepad Allah. Sesungguhnya Allah amat nerat siksa-Nya” (Q.S.Al-Maidah/5:2).

Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah swa. bersabda, ” tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual” (HR. Ibn Majah No.2289, Bab Syirkah).

Islam telah menggariskan sejumlah barang atau komoditas yang halal dan yang tidak halal. Di sini manusia dihadapkan pada pilihan untuk menggunakan, memanfaatkan semua yang halal bagi kepentingan bisnisnya. Preferensi sesorang dalam Islam bukan sekedar ditentukan oleh utility semata tetapi oleh apa yang disebut sebagai maslahat dengan tanpa meninggalkan aspek rasionalitas.

2) Adanya kerelaan (arridhaiyyah)

Dasar asas ini adalah kalimat “antaradhin minkum” (saling rela di antara kalian) sebagaimana terdapat dalam Al-Quran surat Annisa (4): 29.

(15)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (Q.S.Al-Nisa/4:29).

Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak. Kerelaan antara pihak-pihak yang berakad dianggap sebagai prasyarat bagi terwujudnya semua transaksi. Jika dalam transaksi tidak terpenuhi asas ini, maka itu sama artinya dengan memakan sesuatu dengan cara yang batil (al-akl bil bathil). Transaksi yang dilakukan tidak dapat dikatakan telah mencapai sebuah bentuk kegiatan yang saling rela di antara para pelaku, jika di dalamnya ada tekanan, paksaan, penipuan dan mis-statmen. Jadi asas ini mengharuskan tidak adanya paksaan dalam proses transaksi dari pihak manapun. Kondisi ridha ini diimplementasikan dalam perjanjian yang dilakukan di antaranya dengan kesepakatan dalam bentuk shighat (ijab dan qabul) serta adanya konsep khiyar (opsi).

3) Pengurusan yang Amanah

Dalam berbisnis, nilai kejujuran dan amanah dalam mengurus dana merupakan ciri yang mesti ditunjukan, karena merupakan sifat Nabi dan Rasul dalam kehidupan sehari-hari sebagaimanan hadis berikut..

”Dari Said, Rasulullah SAW bersabda: Pedagang yang jujur dan amanah berada bersama para Nabi, para shiddiqin dan para syuhada” (HR.Turmudzi)

Kejujuran dan amanah merupakan sifat-sifat yang hampir bersamaan, antara satu dengan yang lain saling memperkuat. Nilai-nilai amanah ini, banyak dijelaskan Al-Quran, antara lain:

Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya (Q.S.Al-Mu’minun/23:8)

Dalam pengelolaan lembaga keuangan syariah, misalnya, sifat amanah merupakan kunci kesuksesan. Dana yang disimpan oleh nasabah dan investor mesti diurus dengan rasa tanggung jawab dan berhati-hati serta dapat dikembalikan kepada pemiliknya sesuai

(16)

dengan akad yang dibuat dan sedapat mungkin mereka memperoleh imbalan yang wajar. Satu hal yang penting dalam amanah juga adalah pengusaha harus memiliki kecerdasan (rusyd) sebagaimana diatur didalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 6, sebagai berikut:

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).(Q.S.Al-Nisa/4:6)

Yang dimaksud cerdas (rusyd) dalam ayat itu, sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa setelah dilakukan penyelidikan terhadap anak yatim tersebut, baik tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai, lalu diuji kecerdasannya berupa apakah sudah memiliki kemampuan dalam mengelola harta dan skill yang baik dalam bisnisnya sehingga mampu menentukan investasi yang dimiliki memberikan tingkat imbalan (rate of return atau profit) yang tinggi tanpa meninggalkan koridor nilai-nilai Islam. Sehingga amanah yang diberikan oleh pihak pemberi saham (modal) dapat terjaga dengan baik dan tercapainyaa kepuasan sehingga mendorang untuk investasi selanjutnya.

c. Hal-hal yang dilarang untuk dilakukan

Hal-hal yang dilarang untuk dilakukan dalam kegiatan mu’amalah adalah berupa

kegiatan atau transaksi yang didasarkan pada riba27, gharar atau taghrir,28 tadlis,29 tahkir

27

Riba yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan peminjam mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah).

(17)

atau ihtikar,30 bai al-najasy,31 maysir,32 dan risywah, haram dan zalim.33 Penjelasan dari masing-masing kegiatan/transaksi yang dilarang ini lebih rinci dijelaskan pada bagian tersendiri di bab berikutnya.

28 Gharar atau taghrir yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau

tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah

29 Tadlis adalah bentuk penipuan dalam transaksi karena adanya informasi yang tidak seimbang antara penjual dan pembeli (asymetric information).

30

Ihtikar yaitu mengambil keuntungan di atas harga normal dengan melakukan tindakan monopolistik dan entry barrier 31

Bai al-Najasy yaitu suatu kegiatan transaksi yang dilakukan oleh seorang produsen dengan menciptakan permintaan palsu (false demand) sehingga harga jual produk menjadi naik di atas harga wajar.

32

Maisir yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan. 33

Risywah yaitu perbuatan suap-menyuap; haram yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.

(18)

BAB II

SUMBER HUKUM MUA’MALAH 1. Pendahuluan

Pada dasarnya sumber hukum mumalah adalah sumber hukum Islam itu sendiri. Para ulama usul fikih kontemporer membagi sumber hukum Islam ini pada dua bagian, yaitu sumber hukum yang disepakati (mashadir al-ahkam al-muttafaq ‘alaih), yakni Al-Quran dan Sunnah; dan sumber hukum yang tidak disepakati (mashadir al-ahkam al-mukhtalif ‘alaih), yakni dalil selain Al-Quran dan Sunnah. Yang termasuk dalam kategori dalil-dalil selain Al-Quran dan Sunnah adalah: ijmak, qiyas, istihsan, istishlah, istishab, sadd al-dzari’ah, ‘Urf, syar’ man qablana, dan mazhhab al-shahabi.

Al-Quran dan al-Sunnah adalah sumber hukum utama/primer yang sekaligus juga sebagai dalil hukum. Sementara yang lainnya berfungsi sebagai dalil hukum atau sebagai sumber hukum sekunder (mashadir al-tab’iyyah lilhukmi). Dalil hukum tidak boleh bertentangan dengan sumber hukum primer, karena fungsi dalil hanya sebagai penyingkapan atau memunculkan hukum yang terdapat di dalam sumbernya. Ulama usul fikih menyebut untuk kelompok dalil hukum sekunder ini dengan sebutan metode atau alat dalam menggali hukum-hukum dari Al-Quran dan Sunnah (thuruq istinbath al-ahkam). 2. Macam-Macam Sumber Hukum Dan Dalil Hukum

Berikut ini disampaikan secara ringkas penjelasan mengenai sumber hukum dan dalil hukum. Untuk dalil hukum hanya dijelaskan sebagian yang sering digunakan dan

ditemukan dalam pembahasan selanjutnya.34

a. Sumber Hukum 1) Al-Quran

a). Al-Quran sebagai Sumber Hukum

Al-Quran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Ia merupakan sumber utama, pertama dan sumber pokok bagi hukum Islam. Di samping itu Al-Quran berfungsi juga sebagai dalil pokok hukum Islam. Di dalamnya terdapat berbagai aturan menyangkut aqidah, akhlak dan hukum.

Sebagai hukum utama dan pertama, Al-Quran oleh umat Islam harus dinomorsatukan dalam menemukan dan menarik hukum. Ayat-ayat harus didahulukan dalam menjawab permasalahan yang muncul ke permukaaan. Kaum muslimin tidak diperkenankan

34

Bagian ini sebagian disadur dari tulisan Prof. Dr. Fathurrahman Djamil,MA dan Asep Supyadillah,M.Ag, “Sumber Hukum Mumalah Islam” dalam Modul Akad Keuangan Islam, Magister Keuangan Syariah-Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan, Jakarta, 2010.

(19)

mengambil hukum dan jawaban atas problematikanya dari luar Al-Quran selama hukum dan jawaban tersebut dapat ditemukan dalam nash-nash Al-Quran.

Bukti yang menyatakan bahwa Al-Quran sumber dan dalil hukum yang utama dan pokok dapat ditemukan dalam ayat-ayat Quran sendiri. Lebih dari tiga puluh kali Al-Quran menyuruh umat Islam mematuhi Allah. Mematuhi Allah berarti mematuhi ucapan-ucapan-Nya. Ucapan-ucapan-Nya merupakan hukum yang kesemuanya terkandung dalam kitab suci Al-Quran. Beberapa ayat Al-Quran tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu (al-Maidah/5:48)

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Al-Nisa/4:59)

Bahkan riwayat Mu’adz bin Jabal ketika diutus Rasulullah ke negeri Yaman juga merupakan bukti bahwa Al-Quran merupakan hukum utama dan pokok bagi umat Islam. Riwayat tersebut berbunyi sebagai berikut:

(20)

Diriwayatkan dari Haris bin Umar, dan dari sahabat Mu’az ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw ketika bermaksud untuk mengutus Mu’az ke Yaman, beliau bertanya ’apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana anda memutuskannya? Mu’az menjawab: ’Saya akan memutuskannya berdasarkan Al-Quran. Nabi bertanya lagi: ’jika kasus ini tidak anda temukan dalam Al-Quran? Mu’az menjawab, ’saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya,’ jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah dan Al-Quran? Mu’az menjawab:’aku akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Mu’az dengan tangannya, seraya berkata: ’segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridhainya. (HR. Abu Dawud, Hadis ke 1327).

Seluruh ayat Al-Quran dari segi lafadz dan maknanya adalah qath’i al-wurud. Artinya, semua lafadz dan makna Al-Quran datang dari Allah tanpa diragukan lagi keasliannya. Dengan demikian semua lafadz dan makna Al-Quran adalah mutawatir. Sedangkan dari segi dalalah hukumnya, sebagian qath’i al-dalalah dan sebagian lagi zhanny al-dalalah. Qath’i al-dalalah berarti ketentuan hukumnya tidak membutuhkan penafsiran lagi. Sedangkan ketentuan hukum yang zhanny al-dalalah adalah mengandung dan menampung berbagai penafsiran.

b). Penunjukkan Al-Quran tentang Hukum

Al-Quran dari segi penjelasan artinya ada dua model, yaitu muhkam (jelas) dan mutasyabih (samar), sebagaimana diungkapkan Al-Quran dalam surat Ali Imran/3 ayat 7.

Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkam, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Quran) dan yang lain

(21)

mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “kami beriman kepadanya (Al-Quran), semuanya dari sisi Tuhan kami”. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal (QS. Ali Imran/3:7).

Ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang terang artinya, jelas maksudnya, dan tidak mengandung keraguan, serta tidak mengandung pemahaman lain selain pemahaman yang terdapat dalam lafadz ayat Al-Quran tersebut. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang tidak jelas artinya, sehingga terbuka kemungkinan adanya berbagai penafsiran dan pemahaman. Ayat-ayat muhkam ini berlaku pada bidang ibadah, aqidah dan norma-norma baik buruk, seperti tentang keesaan Allah, shalat, dan berbakti kepada kedua orang tua. Ayat-ayat mutasyabih, penjelasan hukumnya bersifat zhanny dan umumnya berlaku pada bidang mu’amalah, hubungan manusia dengan manusia atau masyarakat.

Perbedaan penafsiran dan pemahaman ayat-ayat Al-Quran yang mutasyabih itu disebabkan oleh dua hal, yaitu:

Pertama, adanya satu kata dalam Al-Quran yang mempunyai dua arti atau dua maksud, dinamakan musytarak. Seperti lafadz qar’un atau quru’ dalam surat al-Baqarah ayat 228. Lafadz tersebut mempunyai dua arti yang sama-sama diakui, yaitu “suci” dan “haidh”. Demikian pula dengan lafdz ‘uqdah al-nikah dan lafadz au la mastum al-Nisa. Lafadz ‘uqdah al-nikah (al-Baqarah:237) mempunyai dua arti, yaitu wali dan isteri. Sedangkan kata au la mastum al-Nisa (al-Nisa:43), juga mempunyai dua arti, yaitu bersentuh kulit dan bersetubuh. Ayat-ayat tersebut berbunyi sebagai berikut:

”Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan

(22)

tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (al-Baqarah/2:228).

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun” (Q.S. al-Nisa/4:43).

”Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah (suami atau wali), dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan”. (al-Baqarah/2:237)

Sebab kedua dari perbedaan pelaksanaan ayat-ayat Al-Quran yang mutasyabih adalah penggunaan nama-nama dan kata-kata kiasan pada beberapa ayat Al-Quran. Nama dan kiasan itu dalam pengertian tekstualnya, menimbulkan kebimbangan dan keraguan bagi pembacanya. Seperti peletakan sifat manusia pada dzat Allah. Padahal diyakini bahwa

(23)

Allah berbeda dengan sesuatu yang baru/makhluknya (mukhalafa al-hawadits). Peletakan sifat manusia pada Allah berarti menyerupakan Allah dengan manusia, menyamakan Allah dengan hamba-Nya, dan menjisimkan Dzat Yang Maha Suci. Contoh lafazh-lafazd ini adalah:

Tangan Allah di atas tangan mereka (QS. al-Fath/48:10).

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. (QS. Yunus/10:3).

Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (QS. al-Rahman/55:27)

Terhadap lafadz-lafadz kata “yadullah”, “istawa ‘alal ‘arsy” , dan wajhu rabbik tersebut, ada yang mengartikan tetap sebagaimana harfiahnya, yaitu tangan Allah, bersemayam di ‘arasy, dan wajah Tuhan. Tetapi juga terdapat pemaknaan dengan makna yang sesuai dengan ke-Agungan Allah dan ke-Maha Sucian-Nya, yaitu dengan pengertian Allah berkuasa.

Penjelasan Al-Quran dari segi uraiannya mengenai masalah hukum terdiri dari tiga sifat, yaitu terinci, garis besar, dan ibarat atau isyarat. Penjelasan terinci Al-Quran tentang suatu hukum berarti keterangan Al-Quran mengenai suatu hukum telah jelas dan sempurna, tanpa membutuhkan penafsiran lagi. Apa yang ditulis dalam Al-Quran dapat langsung dipahami oleh yang mempelajarinya, meski tanpa dijelaskan lagi oleh Sunnah Nabi saw. seperti ayat waris dalam surat Al-Nisa ayat 11-12 dan tentang zina dalam surat An-Nur/24 ayat 4.

Ayat Al-Quran yang mengambil model “garis besar” tentang suatu hukum, maka ia memerlukan penerangan dan penjelasan dalam pelaksanaannya. Penjelasan dan penafsiran pertama adalah hak milik Nabi Muhammad saw dengan sunnahnya sebagai mufassir Al-Quran yang ditulis oleh Allah swt. Penjelasan Nabi Muhammad tersebut ada yang berbentuk pasti hingga tidak memberikan kemungkinan pemahaman lain. Di samping itu

(24)

ada pula yang dijelaskan dalam bentuk yang masih memerlukan perincian dan memberikan kemungkinan pemahaman, sehingga diperlukan ijtihad dari umat Islam. Dari sinilah tampak dinamika hukum Islam yang berupa fleksibilitasnya untuk berhadapan dengan segala zaman dan daya adaptifnya.

Penjelasan Al-Quran tentang hukum yang bercorak “ibarat dan isyarat” memberikan beberapa maksud, yaitu maksud tersurat dan maksud tersirat. Maksud tersirat dari Quran hanya dapat dipahami oleh penelaahan yang mendalam pada saat memahami Al-Quran.

c). Ibarat Al-Quran dalam menetapkan Hukum

Ibarat Al-Quran dalam menetapkan dan menjelaskan hukum yang berupa perintah dan larangan ada beberapa model. Pertama dalam bentuk tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat melakukan sesuatu yang disebutkan suruhan, atau tuntutat untuk meninggalkan sesuatu yang disebut larangan. Jadi ibarat yang pertama dari Al-Quran adalah menetapkan hukum berupa suruhan untuk melaksanakan sesuatu atau suruhan untuk meninggalkan sesuatu. Suruhan berarti keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Seperti perintah mendirikan shalat, Allah berfirman.

Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat (Q.S. Al-Anbiya/21:73 dan (Q.S. An-Nur/24:37)

Sedangkan larangan menunjukkan keharusan meninggalkan perbuatan seperti larangan membunuh dan mendekati perbuatan keji serta larangan menikahi muhrim.

”Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar” (Al-An’am/6:151).

(25)

D iharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak perempuanmu, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;.... (Al-Nisa/4:23)

Kedua, ibarat Al-Quran dinyatakan dalam bentuk janji baik dan buruk, pahala dan dosa, serta pujian dan celaan. Seperti firman Allah SWT sebagai berikut:

” Siapa yang taat Allah dan Rasul, niscaya ia akan dimasukkan-Nya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar” (QS. Al-Nisa/4:1)

”Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Maidah:38)

Ketiga, model yang ketiga adalah dengan cara ibarat yang berbentuk berita tetapi mengandung arti tuntutan. Umpanya keharusan istri yang ditalak untuk menjalani masa iddah, sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Baqarah ayat 228, yang berbunyi sebagai berikut:

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.(Al-Baqarah/2:228)

Di luar yang ditetapkan secara perintah dan larangan sebagaimana di atas, ibarat Al-Quran juga menggunakan kebolehan dari suatu perbuatan, atau disebut dengan mubah atau halal (boleh). Seperti bolehnya memakan binatang ternak atau bolehnya mengqashar shalat dalam perjalanan sebagaimana bunyi firman Allah sebagai berikut:

(26)

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar shalat.. (Al-Nisa:101).

d). Sistematika Hukum Dalam Al-Quran

Al-Quran merupakan cahaya yang diturunkan Allah untuk memberi petunjuk dengan penuh rahmat kepada kebahagiaan umat manusia. Kandungan Al-Quran tidak mengarahkan manusia hanya untuk memperoleh kesejahteraan yang parsial di dunia atau di akhirat saja, tetapi juga kebahagiaan dan keselamatan yang integral, komprehensif dan universal di dunia dan akhirat. Hukum-hukum dalam Al-Quran mencakup bidang kehidupan jasmaniah dan rohaniah. Ia memuaskan kebutuhan batin dan tidak melupakan kebutuhan lahir manusia. Hukum dalam Al-Quran memberikan tempat yang seimbang antara hubungan horisontal dengan sesama manusia dan hubungan vertikal dengan Allah, Pencipta yang Maha Agung. Ia tidak hanya memikirkan kepentingan akhirat, tetapi juga memikirkan dan memperhatikan secara mendalam urusan dunia. Al-Quran memperingatkan kepada manusia sebagai berikut:

”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Al-Qashash/28:77).

Ada ungkapan lain yang senada dengan firman tersebut, yaitu:

Beramallah untuk duniamu seakan-akan kamu mau hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mau mati besok.

Secara garis besar hukum Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1) Hukum I’tiqadiyyah (aqidah). Hukum ini mengatus hubungan rohaniah manusia dengan Yang Maha Kuasa dalam masalah keimanan dan ketaqwaan.

(27)

2) Hukum khuluqiyah (akhlak). Hukum ini mengatur hubungan manusia dengan manusia dan makhluk lain dalam hubungan beragama, bermasyarakat, dan bernegara. Tercakup dalam hukum khuluqiyah ini adalah hubungan manusia dengan dirinya sendiri yang merupakan tonggak dalam rangka menuju akhlak dengan sesama makhluk.

3) Hukum amaliyyah /syar’iyyah. Hukum ini mengatur hubungan hidup lahiriyah antara manusia dengan makhluk lain, dengan Tuhan-nya selain bersifat rohani, dan dengan

alam sekitarnya.35

2) Sunnah Rasulullah

Nabi Muhammad saw. sebagai penyampai ajaran Al-Qur’an diberi otoritas untuk menjelaskan lebih lanjut apa yang telah diwahyukan kepadanya. Ia berfungsi sebagai penjelas dan pelaksana dari apa yang ditulis dalam Al-Quran. Dari sini dapat diketahui bahwa al-Sunnah, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan dan taqrir (diamnya Nabi terhadap suatu ucapan atau tindakan) Nabi, merupakan sumber kedua setelah al-Qur’an. Hal ini sudah disepakati oleh seluruh umat Islam.

a). Kedudukan Al-Sunnah Sebagai Sumber Hukum

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa Al-Quran ditinjau dari segi lafadz dan maknanya datang dari Allah tanpa diragukan lagi keasliannya sehingga bersifat qath’i al-wurud. Sedangkan al-Sunnah, selain yang mutawatir, bersifat dzanni al-al-wurud. Dari kenyataan ini jumhur ulama menyatakan bahwa al-Sunnah menempati urutan yang kedua setelah Al-Quran.

Dalil-dalil yang menunjukkan kedudukan Sunnah sebagai dasar hukum kedua setelah Al-Quran adalah sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar

35

(28)

beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Al-Nisa/4:59).

Allah menilai bahwa orang yang menaati Rasul adalah sama dengan menaati Allah seperti dalam ayat:

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (Al-Nisa/4:80)

Dan Allah menganggap tidak ideal iman seseorang yang tidak menyerahkan segala persoalannya kepada pedoman yang telah ditentukan oleh Muhammad Rasulullah SAW, sebagaimana firman Allah:

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (al-Nisa/4:65)

Allah juga menyebutkan bahwa Rasulullah adalah sebagai penafsir dari ayat-ayat Al-Quran, seperti disebutkan dalam sebuah ayat:

Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (An-Nahl/16:44).

Ayat-ayat di atas secara jelas menunjukkan wajibnya mengikut Rasulullah, yang tidak lain adalah mengikuti sunnah-nya. Berdasarkan beberapa ayat tersebut, para sahabat semasa hidup nabi dan setelah wafatnya telah sepakat atas keharusan menjadikan Sunnah Rasul sebagai sumber hukum.

(29)

Menurut al-Siba’i,36 al-Sunnah selain yang mutawatir, dilihat dari eksistensinya menempati urutan yang kedua setelah Al-Quran. Namun jika dilihat dari segi pemahaman nash, maka pemahaman terhadap nash itu tidak akan benar jika tidak merujuk kepada al-Sunnah. Dari sisi ini, menurutnya, bisa saja dikatakan bahwa al-Sunnah sejajar dengan Al-Quran. Yang jelas bahwa al-Sunnah dan Al-Quran adalah dua sumber yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.

b). Fungsi Al-Sunnah terjadap Al-Quran

Menurut para ulama ushul fikih, fungsi al-Sunnah terhadap Al-Quran terdapat tiga bagian, yaitu:

Pertama, memperkuat apa yang telah ditetapkan oleh Al-Quran. Tidak menjelaskan apalagi menambah ketetapan al-Qur’an. Contoh dari fungsi Sunnah yang memperkuat apa yang telah ditetapkan Al-Quran ini antara lain adalah wajibnya ada kerelaan/ridha dalam suatu transaksi, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:

Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya jual beli hanya sah dengan saling merelakan ( Riwayat Ibn Hibban dan Ibn Majah)

Dari Abi Hurairah r.a. dari Nabi Saw bersabda: janganlah dua orang yang jual beli berpisah, sebelum saling merelakan (Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi).

Kedua hadis tersebut memperkuat keterangan Al-Quran mengenai kewajiban melakukan transaksi dengan rela sama rela (‘an taradhin), sebagaimana difirmankan dalam Surat Al-Nisa/4: 29.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama kamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di anatar kamu (QS.Al-Nisa/4:2).

36

(30)

Kedua, memperjelas atau merinci apa yang telah digariskan dalam Al-Quran, ini yang paling banyak. Misalnya dalam Al-Quran dijelaskan bahwa Allah telah menghalalkan transaksi jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah/2:275).

Kemudian Rasulullah memerinci ayat tersebut antara lain dengan memberikan penjelasan tentang bentuk-bentuk jual beli, jual beli yang tidak sah, dan macam-macam riba yang diharamkan tersebut.

Penjelasan Nabi tentang bentuk-bentuk jual beli antara lain sebagai berikut:

- Kebolehan melakukan jual beli salam (bai’ al- salam) karena mengandung kemaslahatan bagi masyarakat pada saat itu hingga sekarang.

Hadis riwayat Bukhari dari Ibn 'Abbas, Nabi bersabda:

Dari Ibn Abbas r.a. bahwa Rasulullah datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salam dalam buha-buahan untuk jangka waktu dua dan tiga tahun. Rasulullah bersabda: ”Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui" (HR. Bukhari, No. 2240).

- Melakukan jual beli secara tidak tunai termasuk yang mendapat keberkahan karena membantu sesama.

Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:

“Nabi bersabda: ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).

Penjelasan Nabi tentang bentuk-bentuk jual beli yang tidak sah antara lain adalah sebagai berikut:

(31)

Dari Anas r.a, ia berkata; Rasulullah saw melarang jual beli muhaqallah, muhadharah, mulamasah, munabazah dan muzabanah.

Rasulullah saw melarang jual beli gharar.

Rasulullah saw jual beli Najsy.

Contoh lain bentuk kedua ini adalah bahwa Allah telah menjelaskan haramnya bangkai sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah/2:173, Al-Maidah/5:3, dan Al-Nahl/16:115. Kemudian As-Sunnah memberikan penjelasan bahwa ada bangkai yang tidak haram yaitu bangkai binatang laut dan belalang. Berikut adalah ayat-ayat Al-Quran dimaksud berikut dengan hadis-hadisnya.

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. Al-Baqarah/2:173).

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan (Q.S. Al-Maidah/5:3).

(32)

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak Menganiaya dan tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S.Al-Nahl/16:115).

“Seorang bertanya kepada Rasulullah dengan menyatakan: Wahai Rasulullah! Kami mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air, apabila kami berwudhu dengannya, maka kami kehausan, apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Rasululloh shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab: Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR Sunan Al Arba’ah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dan dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa’ no.9 dan Silsilah Al Ahadits Al Shahihah no. 480).

“Dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (lever) dan limpa.” (HR Ibnu Majah no. 3314 dan dishahihkan Syeikh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Al Shahihah no.1118)

“Kami berperang pada pasukan Al Khobath (dinamakan demikian karena mereka memakan dedaunan yang gugur dari pohonnya) dan yang menjadi amir (panglima) adalah Abu Ubaidah, lalu kami merasa sangat lapar. Tiba-tiba lautan melempar bangkai ikan yang tidak pernah kami lihat sebesar itu, dinamakan ikan Al Anbar (paus). Lalu kami memakan ikan tersebut selama setengah bulan, lalu Abu Ubaidah memasang salah satu tulangnya lalu orang berkendaraan dapat lewat dibawahnya. Ketika kami sampai diMadinah, kami sampaikan hal tersebut kepada Nabi n lalu beliau bersabda: Makanlah! Itu rizki yang Allah karuniakan. Berilah untuk kami makan bila ada (sekarang) bersama

(33)

kalian. Lalu sebagian mereka menyerahkannya dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam memakannya.” (HR Al Bukhari dan Muslim)

“Dihalalkan bagu kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (lever) dan limpa.” (HR Ibnu Majah no. 3314 dan dishahihkan Syeikh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Al Shahihah no.1118).

Kami berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam tujuh atau enam peperangan, kami memakan bersama beliau belalang.” (HR Al Jamaah kecuali Ibnu Majah).

Ketiga, menetapkan hukum yang belum diatur di dalam Al-Quran. Contoh bentuk penetapan hukum adalah hadis Rasulullah tentang haramnya binatang buas yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai kuku tajam. Dalam Al-Quran, tentang benda/zat yang haram dimakan sebagaimana dijelaskan pada Q.S.Baqarah/2:173; Al-Maidah/5:3, dan Al-Nahl/16:115, tidak menjelaskan tentang haramnya binatang buas. Namun hadis Rasulullah berikut, menegaskan tentang hal tersebut. Hadis tersebut bunyinya adalah sebagai berikut:

Dari Abu Haurairah, dari Nabi Saw bersabda semua jenis binatang buruan yang mempunyai taring dan buruan yang mempunyai cakar, maka hukum memakannya adalah haram (HR. An-Nasa’i).

Untuk fungsi yang terakhir, yaitu menetapkan hukum yang belum diatur di dalam Al-Quran, para ulama berbeda pendapat. Perbedaan tersebut secara umum terbagi kepada dua yaitu yang menerima fungsi mutsbit (menetapkan hukum) yang mandiri dan yang sebagian lainnya tidak menerima fungsi mutsbit tersebut.

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum yang ada pada al-Sunnah terkadang menetapkan hukum-hukum yang ada dalam Al-Quran, atau memberi penjelasan terhadap Al-Quran, terkadang menetapkan hukum baru yang tidak ada di dalam Al-Quran yang penetapannya dilakukan secara analogi menurut nash yang terdapat dalam Al-Quran atau menerapkan pokok-pokok dan dasar-dasar yang umum. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Al-Quran dan al-Sunnah.

(34)

b. Dalil Hukum 1) Ijma’

Ijma’ ialah konsensus para mujtahid dari kalangan ummat Muhammad setelah beliau

wafat pada suatu masa atas suatu hukum syara.37

Keabsahan ijma’ sebagai dalil hukum diakui oleh mayoritas ulama. Di antara dalil keabsahan ijma sebagai dasar hukum adalah:

1) Firman Allah dalam surah Annisa ayat 115.

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (Al-Nisa/4:115).

Ayat tersebut mengancam golongan yang menentang Rasulullah dan mengikuti jalan orang-orang yang bukan mukmin. Dari ayat itu dipahami, bahwa wajib hukumnya mengikuti jalan orang-orang yang mukmin yaitu mengikuti kesepakatan mereka.

Dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda: ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku, atau beliau berkata umat Muhammad saw atas kesesatan.

Sekalipun terdapat kesepakatan dari para ulama bahwa ijma sebagai dalil hukum, namun di dalamnya mengandung perdebatan. Perdebatan paling dominan ialah masa ijma’ itu diakui sebagai dalil hukum. Sebagian berpendapat bahwa ijma’ itu diakui sebagai dalil hukum hanya pada masa sahabat, bahkan ada yang mengatakan hanya pada masa Abu Bakar dan Umar saja, sedangkan setelahnya tidak diakui ijma ini. Sebagian berpendapat, bahwa ijma diakui sebagai dalil hukum sepanjang masa selama masih ada para mujtahid.

Perdebatan lainnya adalah berkaitan dengan jumlah pelaku yang melakukan kesepakatan. Menurut Mazhab Maliki, kesepakatan sudah dianggap ijma’ meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk Madinah yang dikenal ijma’ ahl al-Madinah. Menurut

37

Untuk definisi ijma lihat Abd Wahab Khalaf, Mashadir Tasyri Islami fi ma la nashhsha fih, (kuwait: Dar al-Qalam, 1972), h. 45; Wahbah al-Zuhaili, , al-Wasith fi Ushul al-Fiqhi, (Dimasyqi: al-Mathba’at al-‘Ilmiyyat, 1969), j. I, h.. 490

Referensi

Dokumen terkait