• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketentuan-ketentuan Dalam Mudharabah a. Ketentuan Umum mudharabah

1). Pembatasan waktu mudharabah. Beberapa ulama berpandangan boleh melakukan pembatasan mudharabah pada periode tertentu.

2). Dilarang membuat kontrak yang tergantung kepada sebuah kejadian pada masa yang akan datang, karena mengandung unsur ketidakpastian.

b. Jaminan dalam mudharabah.

Pada dasarnya akad mudharabah adalah akad yang bersifat kepercayaan (trust). Karena itu, dalam mudharabah, menurut sebagian ulama, pemilik dana tidak diperkenankan meminta jaminan sebagaimana jaminan (rahn) dalam transaksi utang-piutang. Sedangkan menurut sebagian ulama lain, jaminan dapat diminta oleh pemilik dana/pemodal kepada pihak pengelola dana dan atau kepada pihak ketiga berupa agunan risiko. Kebolehan pengambilan jaminan tersebut didasarkan pada asumsi si mudharib tidak mustahil melakukan pelanggaran batas atau menyalahi ketentuan yang disepakati, atau disebut dengan jaminan khianat (moral hazard) atau jaminan kemungkinan adanya pelanggaran.

Argumentasi diperkenankannya jaminan dalam transaksi mudharabah dalam perbankan syariah yaitu :

1) Pengguna jasa bank syariah jumlahnya banyak, sehingga pemilik modal/bank tidak mengetahui dengan pasti kredibilitas dan kapabilitas dari para mudharib, tidak sebagaimana praktik mudharabah pada zaman Nabi.

2) Komitmen terhadap nilai-nilai kepercayaan (trust) sebagai alasan (illat) tidak perlu adanya jaminan, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat secara umum mengalami perubahan, sehingga alasan (illat) tersebut dapat berubah sebagaimana kaidah hukum “keberadaan hukum ditentukan oleh ada atau tidak adanya illat” (al-hukmu yaduru ma’a ‘illat wujudan wa ‘adaman).

3) Jaminan berkaitan dengan risiko terhadap pelanggaran, kelalaian, dan menyalahi kesepakatan yang telah ditentukan.

Hal mana juga diakui dalam Fatwa MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), bahwa: “ Pada prinsipnya dalam pembiayaan

mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad”.

c. Batasan Tindakan Mudharib terhadap Dana Mudharabah.

Ada tiga kategori tindakan bagi mudharib terhadap dana mudharabah, yaitu 1. tindakan yang berhak dilakukan mudharib berdasarkan kontrak; 2. tindakan yang berhak dilakukan mudharib berdasarkan kekuasaan perwakilan secara umum; dan 3. tindakan yang tidak berhak dilakukan mudharib tanpa izin eksplisit dari penyedia dana.

d. Wewenang Mudharib

Karena mudharib bertanggung jawab untuk menangani urusan-urusan yang berkaitan dengan proyek atau kegiatan usaha yang dibiayai dengan pembiayaan mudharabah, maka mudharib memiliki kekuasaan untuk dapat leluasa bertindak namun hal tersebut hanya dapat dilakukan dalam batas-batas tertentu. Sekalipun shahib al-mal memiliki hak untuk memberikan instruksi-instruksi dan pembatasan-pembatasan kepada mudharib, namun instruksi-instruksi atau pembatasan-pembatasan tersebut sepanjang tidak sampai menghalangi tercapainya tujuan-tujuan dari perjanjian mudharabah, yaitu memperoleh keuntungan melalui tindakan-tindakan bisnis yang dilakukan oleh mudharib. Apabila instruksi-instruksi atau pembatasan-pembatasan tersebut sampai menghalangi keleluasaan mudharib untuk dapat bertindak atau sampai menghalangi tercapainya tujuan-tujuan perjanjian mudharabah, maka instruksi-instruksi atau pembatasan-pembatasan tersebut

dapat dibatalkan.232

e. Batas Tanggung Jawab Mudharib

Mudharib tidak bertanggung jawab atas berkurang atau habisnya modal yang diinvestasikan oleh shahib al-mal. Tanggung jawab mudharib hanya terbatas kepada memberikan jerih payah, pikiran, dan waktunya untuk mengurus bisnis yang dibiayai dengan modal shahib al-mal. Asas ini juga merupakan syarat penting bagi keabsahan dari suatu perjanjian mudharabah. Namun, tidak ditutup kemungkinan, mudharib juga memasukkan modal bila hal itu diinginkan oleh mudharib sendiri, tetapi tidak didapat dituntut oleh shahib al-mal agar mudharib juga menanamkan modal.

Antara shahib al-mal dan mudharib dapat diperjanjikan bahwa hubungan perjanjian tersebut merupakan mudharabah muthlaqah (mudharabah mutlak atau investasi tidak

232

Nabil A Saleh, Unlawful Gain And Legitimate Profit In Islamic Law, London: Cambridge University Press, 1986, h. 113

terikat) atau merupakan mudharabah muqayyadah (mudharabah terbatas/investasi terikat), tergantung pilihan mereka sendiri.

Dalam mudharabah muthlaqah atau mudharabah mutlak, mudharib bebas mengelola modal yang diberikan oleh shahib al-mal untuk tujuan usaha apa saja yang menurut pertimbangannya akan mendatangkan keuntungan. Tidak ditentukan di daerah mana usaha tersebut akan dilakukan, tidak ditentukan line of trade, line of industry atau line of service

yang akan dikerjakan dan tidak ditentukan dari siapa barang-barang tersebut akan dibeli.233

Dalam mudharabah muthlaqah, mudharib memiliki mandat yang terbuka (open mandate) dan berwenang untuk melakukan apa saja yang diperlukan bagi keberhasilan tujuan mudharabah itu dalam rangka pelaksanaan bisnis yang bersangkutan. Namun, apabila ternyata mudharib melakukan kelalaian atau kecurangan, maka mudharib harus bertanggung jawab atas konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya, dan apabila terjadi kerugian atas usaha itu karena kelalaian dan kecurangan mudharib, maka kerugian itu harus ditanggung oleh mudharib sendiri. Namun, apabila kerugian itu akibat dari risiko bisnis/usaha maka kerugian tidak menjadi beban mudharib yang bersangkutan.

Kebebasan mudharib dalam hal mudharabah berbentuk mudharabah muthlaqah bukannya kebebasan yang tak terbatas sama sekali. Modal yang ditanamkan oleh shahib al-mal tidak boleh digunakan untuk membiayai proyek atau investasi yang dilarang oleh syariah seperti untuk keperluan spekulasi, membiayai pabrik atau perdagangan minuman keras, peternakan babi, dan lain-lain. Sudah barang tentu tidak boleh pula untuk membiayai usaha-usaha yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan negara sekalipun mungkin tidak dilarang oleh ketentuan syariah.

Apabila mudharabah tersebut merupakan mudharabah muqayyadah (mudharabah yang terikat) mudharib tidak bebas menggunakan modal tersebut menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh shahib al-mal. Syarat-syarat itu misalnya harus berdagang barang-barang tertentu saja, dilaksanakan di daerah tertentu, dan harus membeli barang dari orang tertentu.

Apabila mudharib bertindak bertentangan dengan pembatasan-pembatasan (syarat-syarat) tersebut, maka mudharib harus bertanggung jawab sendiri atas konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan. Dalam hal mudharabah tersebut dibatasi waktunya, maka mudharabah berakhir ketika jangka waktunya tiba.

233

Nabil A Saleh, Unlawful Gain And Legitimate Profit In Islamic Law, London: Cambridge University Press, 1986, h. 114