• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keabsahan suatu akad ditentukan terpenuhi tidaknya rukun dan syarat dari suatu akad. Rukun adalah unsur esensial yang mutlak harus ada dalam akad atau transaksi.

Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk melengkapi rukun.122F

123

1. Rukun Akad 123F

124

Rukun akad menurut para ulama adalah sebagai berikut: a. Kesepakatan Untuk Mengikatkan Diri (Shighat al-‘Aqd); b. Pihak-Pihak Yang Berakad (al-Muta’aqidain/al‘Aqidain);

123

Contoh perbedaan antara rukun dan syarat dalam ibadah adalah seperti ruku’, sujud dan baca al-Qur`an dengan thaharah atau wudhu. Thaharah merupakan syarat sah shalat tetapi bukan bagian langsung dari kegiatan shalat, apabila tidak melakukan thaharah pada saat mau shalat, tidak sah salatnya. Begitu pula dalam muamalat, para pihak yang berakad dengan kecakapan di antara para pihak. Para pihak merupakan rukun sedangkan kecakapan dari para pihak merupakan syarat.

124

Sebagai perbandingan, dalam KUH Perdata sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang legal (Pasal 1320). Sedangkan dalam common law legal system, sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 6 elemen (six elementof

contract) yaitu: offer; acceptence; mutual assent; capacity; conservation; and legality. Lihat Widjaya, Rai, IG, Merancang suatu kontrak, Jakarta: Mega Poin, 2002, h. 31-32.

c. Obyek Akad (al-Ma’qud alaih/mahal al-‘aqd); dan. d. Tujuan Akad (Maudhu’ al-‘Aqd).

a. Kesepakatan Untuk Mengikatkan Diri (Shighat al-‘Aqd)

Shighat al-aqd adalah cara bagaimana pernyataan pengikatan diri itu dilakukan. Shighat al-aqad ini merupakan rukun akad yang penting. Bahkan menurut ulama Hanafiyah, rukun akad itu hanya satu yaitu shighat al-aqad ini. Sedangkan yang lainnya, yang dianggap sebagai rukun akad oleh Jumhur, hanya merupakan syarat-syarat akad. Dalam literatur fiqh, shigat al-aqd biasanya diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan (offering), sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya (acceptance).

Dalam kaitannya dengan ijab dan qabul ini, karena begitu penting dan agar memiliki akibat hukum, para ulama fikih mensyaratkan bahwa ijab-qabul itu sungguh-sungguh dikehendaki oleh para pihak, dinyatakan secara jelas, pasti, dan bebas; dan adanya kesesuaian antara ijab dan qabul. Dalam ungkapan fuqaha syarat tersebut meliputi tiga hal, yaitu: tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki; antara ijab dan qabul terdapat kesesuaian; dan pernyataan ijab dan qabul ini mengacu kepada suatu kehendak masing-masing pihak secara pasti, dan tidak

ragu-ragu.125

Berkenaan dengan ijab-qabul ini, timbul pertanyaan mengenai waktu atau saatnya kesepakatan ini dianggap mengikat atau tercapai. Menurut ulama fikih, sebagaimana dikatakan ulama hanafiyah dan juga jumhur, secara umum dalam hukum Islam dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian itu sudah dianggap lahir sejak saat tercapainya kata sepakat atau konsensus di antara para pihak (hal mana asas konsensual dalam KUH Perdata).

Adapun ungkapan shigat aqad dapat dilakukan secara lisan, tulisan, atau isyarat yang memberi pengertian dengan jelas tentang adanya ijab dan qabul, dan dapat pula berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan qabul yang disebut dengan akad al-mua’thah. Misalnya di Pasar Swalayan seseorang mengambil susu kaleng lalu membayar harganya di kasir dengan harga yang tertera pada kaleng tersebut.

126

Namun menurut jumhur ulama, seperti dikatakan Mustafa Ahmad Zarqa, ada perjanjian-perjanjian tertentu yang baru dianggap sempurna (bukan sah) apabila telah

125

Wahbah, al-Hukmu op. cit., h, 104-106. 126

Dalam KUH Perdata Pasal 1458 disebutkan “jual-beli dianggap telah terjadi seketika setelah tercapai kata sepakat tentang benda dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan atau harganya belum dibayar”.

dilakukan serah terima objek akad. Yang termasuk akad-akad tersebut adalah apa yang disebut dengan al-‘uqud al-‘ainiyyah. Akad seperti ini ada lima macam, yaitu 1). Al-Hibah, 2). Al-’ariyah (pinjam meminjam),3). al-wadi’ah, 4). Al-qiradh, dan 5). ar-rahn (jaminan utang). Untuk akad-akad seperti ini, menurut para ulama fiqh disyaratkan bahwa barang itu harus diserahkan kepada pihak yang berhak dan dikuasai sepenuhnya. Semata-mata ijab dan qabul dalam kelima macam akad di atas, belum menimbulkan akibat hukum

apapun.127

b. Subjek Akad (al-‘Aqid)

Hal ini didasarkan kepada kaidah “La yatimmu al-Tabarru’ illa bi al-Qabdhi” artinya suatu transaksi yang sifatnya tabarru’ dianggap tidak sempurna kecuali apabila objek transaksi tersebut telah diserahkan dan dikuasi oleh pihak yang menerima.

Pihak-pihak yang melakukan akad merupakan faktor utama pembentukan suatu perjanjian. Cakupan subjek akad ini, fikih pada awalnya lebih menunjukkan kepada perseorangan dan tidak dalam bentuk badan hukum. Namun sesuai dengan perkembangan, subjek akad ini tidak saja berupa orang perseorangan (al- ahwal al-Syakhsiyyah/ natuurlijk persoon) tetapi juga berbentuk badan hukum (syakhshiyyah I’tibariyyah atau al-syakshiyyah al-hukmiyyah/ rechpersoon).128

 Ahliyyatul wujub an-naqishah, yang dimiliki subjek hukum berada dalam kandungan ibu.

Menurut fikih, dalam subjek akad perorangan, tidak semua orang dipandang cakap mengadakan akad. Ada yang sama sekali dipandang tidak cakap, ada yang dipandang cakap mengenai sebagian tindakan dan tidak cakap sebagian lainnya, dan ada pula yang dipandang cakap melakukan segala macam tindakan.

Berkaitan dengan kecakapan orang yang melakukan akad ini, para fuqaha membahasnya pada dua hal pokok: Pertama, ahliyyah (kecakapan hukum). Ahliyyah ini terbagai kepada dua macam lagi, yaitu ahliyyatul wujub dan ahliyyatul ada’. Ahliyyatul wujub adalah kecakapan menerima hukum (kecakapan hukum secara pasif), sedangkan ahliyyatul ada adalah kecakapan bertindak hukum (kecakapan hukum aktif). Masing-masing dari dua kecakapan tersebut dibedakan menjadi kecakapan tidak sempurna dan kecakapan sempurna, sehingga ada 4 tingkatan kecakapan hukum, yaitu:

127

Mustafa Ahmad Azzarqa, al-Madkhal ila al-Fiqhi al-‘Am al-Islami Fi Tsaubihi al-Jadid, Beirut: Dar al-Fikr, 1968, Jilid I, h, 329.

128

Lihat Wahbah, Jilid IV, h. 10-12. Dalam ketentuan yang ada, Badan Hukum biasanya diartikan adalah “… segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban” atau “segala sesuatu yang menurut hukum dapat mempunyai hak dan kewajiban “. Lihat Chaidir Ali,

 Ahliyyatul wujub al-kamilah, yang dimiliki oleh subjeh hukum sejak lahir hingga meninggal (menjelang dewasa).

 Ahliyyatul ada’ an-naqishah, yang dimiliki sebjek hukum ketika berada dalam usia tamyiz.

 Ahliyyatul ada’ al-kamilah, yang dimiliki subjek hukum sejak menginjak dewasa hingga meninggal.

Dari bermacam-macam ahliyyah tersebut, maka yang sesuai dengan kontek pembicaraan kelayakan melakukan akad ini adalah ahliyyatul ada. Ahliyatul Ada`, yaitu kelayakan seseorang untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan syara’ atau orang yang layak dengan sendirinya dapat melakukan berbagai akad. Dimana seseorang tersebut layak mendapat ketetapan untuk menerima hak dan kewajiban serta tindakan-tindakan sesuai dengan perjanjian yang dibuatnya yang dibenarkan oleh syara’. Di samping juga terbebas

dari kemungkinan terhalangnya kelayakan tersebut (‘Awaridhul Ahliyah).129 Penentuan

kelayakan ini para fuqaha sering hanya menyebutkan mukallaf, yaitu akil balig, berakal sehat dan cakap hukum. Adapun batasan umur mukallaf tersebut biasanya diserahkan

kepada tradisi di masyarakat (‘Urf) atau peraturan perundang-undangan.130

Perbedaan antar ahliyatul ada dan wilayah, antara lain ahliyatul ada adalah kepantasan seseorang untuk berhubungan dengan akad, sedangkan al-wilayah adalah kepantasan seseorang untuk melaksanakan akad. Misalnya seseorang dinilai dapat

Sedangkan Kedua, wilayah atau perwalian. Kata wilayah ini berarti adanya kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh syara’ atau undang-undang kepada seseorang untuk melakukan tindakan suatu akad, yang mempunyai akibat-akibat hukum. Kewenangan perwalian ini terdapat dalam beberapa bentuk, ada yang disebut Niyabah ashliyah, yaitu seseorang yang mempunyai kecakapan sempurna dan melakukan tindakan hukum untuk kepentingan dirinya sendiri. Ada juga yang disebut dengan niyabah al-Syar’iyyah atau wilayah Niyabiyah, yaitu kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepada pihak lain yang mempunyai kecakapan sempurna untuk melakukan tindakan hukum atas nama orang lain. Bentuk kedua ini, baik karena ikhtiyariyah (memilih menentukan sendiri) atau berdasarkan ijbariyah (keputusan tetap hakim untuk menunjuk seseorang melakukan perwalian terhadap pihak-pihak yang mengharuskan adanya perwalian, atau pihak lain sebagai wakil atas namanya berdasar ketetapan/keputusan hakim).

129

Beberapa penghalang kelayakan yaitu: gila, dungu, pingsan, tidur, mabuk, safih (bodoh), orang yang berutang, sakit mati (maradh al-maut). Wahbah Zuhaili, h, 127-138

berhubungan dengan akad apabila orang tersebut telah dewasa, sedangkan yang belum dewasa (anak-anak), ia dapat melaksanakan akad namun kepada hal-hal yang terbatas sesuai kebiasaan (‘urf) atau akad tersebut diwakilkan kepada walinya atas nama anak-anak tersebut.

a. Objek Akad (Mahal al-‘Aqd/al-ma'qud Alaih)

Mahal aqd adalah objek akad atau benda-benda yang dijadikan akad yang bentuknya tampak dan membekas. Objek akad ini tidak semata “sesuatu benda” yang bersifat material (ayn/real asset) tetapi juga bersifat subjektif dan abstrak. Dengan demikian objek akad tersebut dapat berbentuk harta benda, seperti barang dagangan; benda bukan harta, seperti dalam akad pernikahan; dapat berbentuk suatu kemanfaatan, seperti dalam upah mengupah, dan pula tanggungan atau kewajiban (dayn/debt), jaminan (tawsiq/suretyship),

dan agensi/kuasa (itlaq).131

130

Untuk kasus Indonesia, kecakapan (ahliyyah) para pihak ini apabila telah berumur 18 tahun, sudah menikah walaupun belum berumur 18 tahun, tidak di bawah pengampuan atau pailit.

131

Ibn Abidin, Radd al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, Mesir: al-Munirah, tth. Juz II, h. 448; dan Ahmad Hidayat Buang, op. cit., h.91

Oleh karenanya, objek akad bermacam-macam sesuai dengan bentuknya. Dalam akad jual-beli, objeknya adalah barang yang diperjualbelikan dan harganya. Dalam akad gadai, objeknya adalah barang gadai dan utang yang diperolehnya. Dalam akad sewa-menyewa, objeknya adalah manfaat yang disewa, seperti tenaga manusia, rumah, dan tanah. Dalam perjanjian bagi hasil, objeknya adalah kerja petani/pedagang/pengusaha dan hasil yang akan diperoleh, dan selanjutnya.

Dengan kata lain objek akad ini sering disebut dengan prestasi, yaitu apa yang menjadi kewajiban dari satu pihak dan apa yang menjadi hak bagi pihak lain. Prestasi ini bisa berupa perbuatan positif maupun negatif. Bentuknya dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata).

Prinsip umum dari objek akad ini adalah terbebas dari gharar dan hal-hal yang dilarang oleh syara (nash/undang-undang). Untuk terbebas dari gharar para fuqaha telah memberikan beberapa syarat yang mesti dipenuhi pada saat kontrak tersebut hendak dibuat. Syarat tersebut biasanya disebut dengan sahnya akad (syarth sihhah). Di antara syarat tersebut ialah pertama, objek mesti dikenal pasti dan diketahui tentang sifat, jenis, jumlah dan jangka waktu (ma’lum al-sifah, wal nau’, wal qadr wal ajal); kedua, dapat diserahkan pada waktu akad (Qudrah ‘ala taslim); dan ketiga dimiliki secara sah (milk al-tam).

b. Tujuan Akad (Maudhu’ul ‘Aqdi)

Tujuan akad merupakan salah satu bagian penting dari rukun akad. Yang dimaksud dengan maudhu’ul aqd adalah almaqshudul ashliy alladzi syara’a al-’aqdu min ajlih (Tujuan utama kenapa ditentukan adanya akad).

Dalam hukum positif yang menentukan tujuan ini adalah undang-undang itu sendiri. Sedangkan dalam syariah Islam, yang menentukan tujuan akad adalah yang memberikan syara’ (al-syari’) yaitu Allah Swt. Jadi Tuhanlah yang menentukan tujuan dari setiap perjanjian yang dibuat. Tujuan perjanjian adalah satu, meskipun beranekaragam jenis dan bentuknya sesuai dengan bermacam-macam jenis dan bentuk akad. Misalnya, dalam jual-beli tujuannya adalah pemindahan hak milik dari suatu barang dengan imbalan tertentu. Dalam sewa menyewa, tujuannya adalah memberi manfaat/faedah dari barang yang disewakan. Dalam perkawinan tujuannya adalah menghalalkan ber-tamattu’ (berhubungan) antara suami-istri. Tujuan setiap akad menurut ulama fikih, hanya diketahui melalui syara’ dan harus sejalan dengan kehendak syara’. Atas dasar itu, seluruh akad yang mempunyai tujuan atau akibat hukum yang tidak sejalan dengan syara’ hukumnya tidak sah, seperti berbagai akad yang dilangsungkan dalam rangka menghalalkan riba, seperti bai al-‘inah, menjual yang diharamkan syara’ seperti khamar (Bai’ al’inab li’ashiril khamri), atau Zawajul Muhallil (perkawinan muhallil),132 atau tujuan untuk melakukan tindak pidana (jinayah) seperti untuk pembunuhan, penipuan, pelacuran, dan sejenisnya. Bahkan kontrak yang akan menimbulkan pelanggaran terhadap nilai-nilai moral/kepatutan dan ketertiban umum juga bukan menjadi tujuan dari akad yang dibenarkan. Begitu juga larangan terhadap akad yang bertujuan untuk melakukan diskriminasi, monopolistic, dan penindasan. Tujuan akad memperoleh tempat penting untuk menentukan apakah suatu akad dipandang sah atau tidak. Tujuan ini berkaitan dengan motivasi atau niat seseorang

melakukan akad.133

Dalam kaidah hukum Islam dikenal suatu asas, yaitu “segala sesuatu

dipertimbangkan menurut tujuannya’ (al-umuru bi maqashidiha).134

132

Wahbah Zuhaili , op. cit., h, 186-187 133

Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mu’amalat, Yogyakarta: UII Press, 2000, h. 99-100. 134

As-Sayuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, Beirul: Dar al-Kurtub al-Islamiyyah, 1403 H, h. 8.

Dengan demikian, secara ringkas suatu akad mesti mempunyai tujuan, dan tujuan tersebut mestilah dibenarkan syara’. Keperluan tujuan di dalam akad ini banyak terkait dengan kerelaan dan kebebasan melakukan akad dan aspek-aspek subjektif dari para pihak yang melakukan akad. Misalnya, untuk terjadinya kerelaan dalam akad, maka segala sesuatu yang akan menimbulkan kecacatan kehendak dan kerelaan menjadi perhatian dalam fikih. Di antara

yang termasuk cacat kehendak dan kerelaan (‘uyubul iradah au ‘uyubul al-ridha), yaitu terpaksa (al-Ikrah), kesalahan (al-ghalat) penipuan (al-tadlis atau al-taghrir), tidak adil

dan menipu (ghaban).135

a. Syarat terjadinya akad

Semua kecacatan tersebut merupakan hal-hal yang dapat merusak atau membatalkan akad yang dibuat.