• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nabi Muhammad saw. sebagai penyampai ajaran Al-Qur’an diberi otoritas untuk menjelaskan lebih lanjut apa yang telah diwahyukan kepadanya. Ia berfungsi sebagai penjelas dan pelaksana dari apa yang ditulis dalam Al-Quran. Dari sini dapat diketahui bahwa al-Sunnah, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan dan taqrir (diamnya Nabi terhadap suatu ucapan atau tindakan) Nabi, merupakan sumber kedua setelah al-Qur’an. Hal ini sudah disepakati oleh seluruh umat Islam.

a). Kedudukan Al-Sunnah Sebagai Sumber Hukum

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa Al-Quran ditinjau dari segi lafadz dan maknanya datang dari Allah tanpa diragukan lagi keasliannya sehingga bersifat qath’i al-wurud. Sedangkan al-Sunnah, selain yang mutawatir, bersifat dzanni al-al-wurud. Dari kenyataan ini jumhur ulama menyatakan bahwa al-Sunnah menempati urutan yang kedua setelah Al-Quran.

Dalil-dalil yang menunjukkan kedudukan Sunnah sebagai dasar hukum kedua setelah Al-Quran adalah sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar

35

beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Al-Nisa/4:59).

Allah menilai bahwa orang yang menaati Rasul adalah sama dengan menaati Allah seperti dalam ayat:

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (Al-Nisa/4:80)

Dan Allah menganggap tidak ideal iman seseorang yang tidak menyerahkan segala persoalannya kepada pedoman yang telah ditentukan oleh Muhammad Rasulullah SAW, sebagaimana firman Allah:

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (al-Nisa/4:65)

Allah juga menyebutkan bahwa Rasulullah adalah sebagai penafsir dari ayat-ayat Al-Quran, seperti disebutkan dalam sebuah ayat:

Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (An-Nahl/16:44).

Ayat-ayat di atas secara jelas menunjukkan wajibnya mengikut Rasulullah, yang tidak lain adalah mengikuti sunnah-nya. Berdasarkan beberapa ayat tersebut, para sahabat semasa hidup nabi dan setelah wafatnya telah sepakat atas keharusan menjadikan Sunnah Rasul sebagai sumber hukum.

Menurut al-Siba’i,36 al-Sunnah selain yang mutawatir, dilihat dari eksistensinya menempati urutan yang kedua setelah Al-Quran. Namun jika dilihat dari segi pemahaman nash, maka pemahaman terhadap nash itu tidak akan benar jika tidak merujuk kepada al-Sunnah. Dari sisi ini, menurutnya, bisa saja dikatakan bahwa al-Sunnah sejajar dengan Al-Quran. Yang jelas bahwa al-Sunnah dan Al-Quran adalah dua sumber yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.

b). Fungsi Al-Sunnah terjadap Al-Quran

Menurut para ulama ushul fikih, fungsi al-Sunnah terhadap Al-Quran terdapat tiga bagian, yaitu:

Pertama, memperkuat apa yang telah ditetapkan oleh Al-Quran. Tidak menjelaskan apalagi menambah ketetapan al-Qur’an. Contoh dari fungsi Sunnah yang memperkuat apa yang telah ditetapkan Al-Quran ini antara lain adalah wajibnya ada kerelaan/ridha dalam suatu transaksi, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:

Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya jual beli hanya sah dengan saling merelakan ( Riwayat Ibn Hibban dan Ibn Majah)

Dari Abi Hurairah r.a. dari Nabi Saw bersabda: janganlah dua orang yang jual beli berpisah, sebelum saling merelakan (Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi).

Kedua hadis tersebut memperkuat keterangan Al-Quran mengenai kewajiban melakukan transaksi dengan rela sama rela (‘an taradhin), sebagaimana difirmankan dalam Surat Al-Nisa/4: 29.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama kamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di anatar kamu (QS.Al-Nisa/4:2).

36

Kedua, memperjelas atau merinci apa yang telah digariskan dalam Al-Quran, ini yang paling banyak. Misalnya dalam Al-Quran dijelaskan bahwa Allah telah menghalalkan transaksi jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah/2:275).

Kemudian Rasulullah memerinci ayat tersebut antara lain dengan memberikan penjelasan tentang bentuk-bentuk jual beli, jual beli yang tidak sah, dan macam-macam riba yang diharamkan tersebut.

Penjelasan Nabi tentang bentuk-bentuk jual beli antara lain sebagai berikut:

- Kebolehan melakukan jual beli salam (bai’ al- salam) karena mengandung kemaslahatan bagi masyarakat pada saat itu hingga sekarang.

Hadis riwayat Bukhari dari Ibn 'Abbas, Nabi bersabda:

Dari Ibn Abbas r.a. bahwa Rasulullah datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salam dalam buha-buahan untuk jangka waktu dua dan tiga tahun. Rasulullah bersabda: ”Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui" (HR. Bukhari, No. 2240).

- Melakukan jual beli secara tidak tunai termasuk yang mendapat keberkahan karena membantu sesama.

Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:

“Nabi bersabda: ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).

Penjelasan Nabi tentang bentuk-bentuk jual beli yang tidak sah antara lain adalah sebagai berikut:

Dari Anas r.a, ia berkata; Rasulullah saw melarang jual beli muhaqallah, muhadharah, mulamasah, munabazah dan muzabanah.

Rasulullah saw melarang jual beli gharar.

Rasulullah saw jual beli Najsy.

Contoh lain bentuk kedua ini adalah bahwa Allah telah menjelaskan haramnya bangkai sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah/2:173, Al-Maidah/5:3, dan Al-Nahl/16:115. Kemudian As-Sunnah memberikan penjelasan bahwa ada bangkai yang tidak haram yaitu bangkai binatang laut dan belalang. Berikut adalah ayat-ayat Al-Quran dimaksud berikut dengan hadis-hadisnya.

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. Al-Baqarah/2:173).

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan (Q.S. Al-Maidah/5:3).

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak Menganiaya dan tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S.Al-Nahl/16:115).

“Seorang bertanya kepada Rasulullah dengan menyatakan: Wahai Rasulullah! Kami mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air, apabila kami berwudhu dengannya, maka kami kehausan, apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Rasululloh shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab: Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR Sunan Al Arba’ah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dan dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa’ no.9 dan Silsilah Al Ahadits Al Shahihah no. 480).

“Dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (lever) dan limpa.” (HR Ibnu Majah no. 3314 dan dishahihkan Syeikh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Al Shahihah no.1118)

“Kami berperang pada pasukan Al Khobath (dinamakan demikian karena mereka memakan dedaunan yang gugur dari pohonnya) dan yang menjadi amir (panglima) adalah Abu Ubaidah, lalu kami merasa sangat lapar. Tiba-tiba lautan melempar bangkai ikan yang tidak pernah kami lihat sebesar itu, dinamakan ikan Al Anbar (paus). Lalu kami memakan ikan tersebut selama setengah bulan, lalu Abu Ubaidah memasang salah satu tulangnya lalu orang berkendaraan dapat lewat dibawahnya. Ketika kami sampai diMadinah, kami sampaikan hal tersebut kepada Nabi n lalu beliau bersabda: Makanlah! Itu rizki yang Allah karuniakan. Berilah untuk kami makan bila ada (sekarang) bersama

kalian. Lalu sebagian mereka menyerahkannya dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam memakannya.” (HR Al Bukhari dan Muslim)

“Dihalalkan bagu kalian dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (lever) dan limpa.” (HR Ibnu Majah no. 3314 dan dishahihkan Syeikh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Al Shahihah no.1118).

Kami berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam tujuh atau enam peperangan, kami memakan bersama beliau belalang.” (HR Al Jamaah kecuali Ibnu Majah).

Ketiga, menetapkan hukum yang belum diatur di dalam Al-Quran. Contoh bentuk penetapan hukum adalah hadis Rasulullah tentang haramnya binatang buas yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai kuku tajam. Dalam Al-Quran, tentang benda/zat yang haram dimakan sebagaimana dijelaskan pada Q.S.Baqarah/2:173; Al-Maidah/5:3, dan Al-Nahl/16:115, tidak menjelaskan tentang haramnya binatang buas. Namun hadis Rasulullah berikut, menegaskan tentang hal tersebut. Hadis tersebut bunyinya adalah sebagai berikut:

Dari Abu Haurairah, dari Nabi Saw bersabda semua jenis binatang buruan yang mempunyai taring dan buruan yang mempunyai cakar, maka hukum memakannya adalah haram (HR. An-Nasa’i).

Untuk fungsi yang terakhir, yaitu menetapkan hukum yang belum diatur di dalam Al-Quran, para ulama berbeda pendapat. Perbedaan tersebut secara umum terbagi kepada dua yaitu yang menerima fungsi mutsbit (menetapkan hukum) yang mandiri dan yang sebagian lainnya tidak menerima fungsi mutsbit tersebut.

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum yang ada pada al-Sunnah terkadang menetapkan hukum-hukum yang ada dalam Al-Quran, atau memberi penjelasan terhadap Al-Quran, terkadang menetapkan hukum baru yang tidak ada di dalam Al-Quran yang penetapannya dilakukan secara analogi menurut nash yang terdapat dalam Al-Quran atau menerapkan pokok-pokok dan dasar-dasar yang umum. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Al-Quran dan al-Sunnah.

b. Dalil Hukum 1) Ijma’

Ijma’ ialah konsensus para mujtahid dari kalangan ummat Muhammad setelah beliau

wafat pada suatu masa atas suatu hukum syara.37

Keabsahan ijma’ sebagai dalil hukum diakui oleh mayoritas ulama. Di antara dalil keabsahan ijma sebagai dasar hukum adalah:

1) Firman Allah dalam surah Annisa ayat 115.

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (Al-Nisa/4:115).

Ayat tersebut mengancam golongan yang menentang Rasulullah dan mengikuti jalan orang-orang yang bukan mukmin. Dari ayat itu dipahami, bahwa wajib hukumnya mengikuti jalan orang-orang yang mukmin yaitu mengikuti kesepakatan mereka.